• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KONSTRUKSI HUKUM PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN ATAS DIRI TERDAKWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN KONSTRUKSI HUKUM PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN ATAS DIRI TERDAKWA"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KAJIAN KONSTRUKSI HUKUM PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI TERHADAP

PUTUSAN PEMIDANAAN ATAS DIRI TERDAKWA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

AMBAR PUSPITASARI WIJAYANTI NIM : E0007072

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)
(3)
(4)

commit to user

PERNYATAAN

Nama : Ambar Puspitasari Wijayanti

NIM : E0007072

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

KAJIAN KONSTRUKSI HUKUM PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM

DALAM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI TERHADAP PUTUSAN

PEMIDANAAN ATAS DIRI TERDAKWA (Studi Putusan Pengadilan

Negeri Sleman Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn) betul-betul karya sendiri. Hal

hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditujukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum

(skripsi) dan gelar saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, April 2010

Yang membuat pernyataan

Ambar Puspitasari Wijayanti

(5)

commit to user

Motto

Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu

bertambah bila dibelanjakan.

-Khalifah Ali bin Abi Talib-

Nasibmu adalah kumpulan dari tindakanmu, dan kumpulan dari apa yang sanggup engkau lakukan. Tidak ada lagi.

(Mahatma Gandhi)

Peluang sekecil apapun yang membawa kita pada keberhasilan harus kita perjuangkan dengan rasa optimis yang kuat untuk meraihnya

(6)

commit to user

PERSEMBAHAN

Dengan rasa bersyukur kepada Allah, skripsi ini dipersembahkan kepada :

Ayahanda dan Ibunda Sarjiman tercinta Adik Atika tersayang

(7)

commit to user

ABSTRAK

Ambar Puspitasari Wijayanti, E0007072. KAJIAN KONSTRUKSI HUKUM

PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA

GRATIFIKASI TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN ATAS DIRI TERDAKWA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn). Fakultas Hukum. Universitas Sebelas Maret. Penulisan Hukum (Skripsi). 2011.

Penelitian Hukum ini bertujuan untuk mengetahui bentuk konstruksi hukum pembuktian Penuntut Umum dalam tindak pidana gratifikasi terhadap putusan pemidanaan atas diri terdakwa.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : jenis penelitian normatif, sifat penelitian preskriptif, pendekatan kasus, teknik analisis bahan hukum dengan metode deduksi, pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka dan bahan hukum sekunder (buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, makalah, dan majalah), bahan non-hukum (kamus dan pustaka maya), dan sumber penelitian hukum dari bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim serta bahan hukum sekunder yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, bentuk dakwaan tindak pidana gratifikasi yang dituntut Penuntut Umum menggunakan dakwaan tunggal. Bentuk dakwaan tunggal karena pembuktiannya lebih sederhana dan dakwaannya hanya satu. Dan pembuktiannya sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Implikasi yuridis konstruksi hukum yang disusun Penuntut Umum bagi penjatuhan vonis yakni menunjukkan pengaruh signifikan, hal demikian dikarenakan Putusan Hakim 5 tahun sementara tuntutan oleh Penuntut Umum 7 tahun. Sehingga, hakim tidak mengesampingkan pembuktian yang diajukan Jaksa Penuntut Umum di persidangan.

(8)

commit to user

ABSTRACT

Ambar Puspitasari Wijayanti, E0007072. STUDY ON PROSECUTION EVIDENCE LAW CONSTRUCTION IN GRATIFICATION CRIME ON THE VERDICT OF CONVICTION ON SELF-DEFENDANT (STUDY ON

SLEMAN’S DISTRICT COURT DECISION NUMBER

534/PID.B/2008.SLMN). Faculty of Law. Sebelas Maret University. Legal Writing (Thesis). 2011.

This legal research aimed to know the legal construction of the Public Prosecutor law evidence in criminal convictions against the decision of gratification upon the defendant. The research methods used in this legal writing are as follows: formative type research, prescriptive research, law case approaches of technical legislation analysis with the method of deduction of legal materials, collection of legal materials from the literatures and secondary legal materials (text books written by law experts, law journals, the opinion of graduated students, scientific works, papers and magazines), non-legal materials (dictionaries and the Internet), and sources of legal research of primary legal materials consist of legislation, official records or minutes in making legislation and the decisions of judges and secondary legal materials, i.e. all the publicities about law that are not official documents. Publication of the law includes text books, law dictionaries, law journals, and comments on the decision of the court.

Based on the research results, it can be concluded that this form of criminal charges gratification demanded the Public Prosecutor is a single indictment. It is a single indictment because the proof is simpler and there is only one indictment. And the proof is in accordance with Article 184 Criminal Procedure Code. Juridical implication of law construction prepared by the Public Prosecutor for the convictions indicates a significant effect, because the Judge’s decision is 5 years and Public Prosecutor’s decision is 7 years. Thus, the judge did not rule out the evidentiary proposed by Public Prosecutors in the trial.

(9)

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya telah

memberikan kemudahan, semangat, dan kelancaran kepada penulis dalam

menyelesaikan penulisan hukum ini. Tiada daya dan upaya penulis tanpa

kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini

sebagai syarat untuk meraih gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul : KAJIAN

KONSTRUKSI HUKUM PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DALAM

TINDAK PIDANA GRATIFIKASI TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN

ATAS DIRI TERDAKWA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor

534/Pid.B/2008/PN.Slmn)

Banyak hambatan dan permasalahan yang penulis alami, menyangkut

penyelesaian penulisan hukum ini, baik yang langsung maupun yang tidak

langsung. Namun berkat bimbingan, saran, dan bantuan dari berbagai pihak, serta

kebersamaan orang-orang disekitar penulis, oleh karena itu pada kesempatan ini

dengan perasaan yang setulus-tulusnya dari hati yang paling dalam, penulis

ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

memberikan bantuannya di dalam penyusunan penulisan hukum ini. Untuk itu

dengan segenap kerendahan hati dan kesempatan ini penulis menyampaikan

ucapan terima kasi kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak memberi

kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak Wasis Sugandha, S.H.,M.Hum selaku Pembimbing Akademik yang

telah memberikan saran dan nasehat kepada penulis selama belajar di

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., Selaku Ketua Bagian hukum Acara

sekaligus Pembimbing Skripsi yang telah sangat membantu, mendukung,

(10)

commit to user

dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Terima kasih atas

bimbingannya selama penulisan skripsi hingga selesai.

4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H., Selaku Pembimbing Skripsi

yang telah sangat membantu, mendukung, membimbing, dan mengarahkan

dengan penuh kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan

hukum ini. Terima kasih atas bimbingannya selama penulisan skripsi

hingga selesai.

5. Dosen Fakultas Hukum, yang selama ini telah banyak memberikan bekal

ilmu bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret.

6. Staff di bagian kemahasiswaan, bagian Akademik, bagian Transit, dan

bagian perpustakaan pusat maupun fakultas serta bagian Tata Usaha

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

7. Ayahanda dan Ibunda Sarjiman tercinta yang senantiasa memberikan doa

dan restu serta pengorbanan yang luar biasa untuk masa depan penulis. 8. Adik Atika Puspitasari Wijayanti dan Suryo Bintoro yang selalu

memberikan semangat dan doanya agar penulis cepat menyelesaikan

skripsi ini.

9. Teman-temanku seperjuangan Rini, Vina, Adelike, Bella, Dyah, Desy, dan

teman-temanku di Fakultas Hukum angkatan 2007 yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas doa dan dukungannya

selama ini.

10. Warga Three Ana Satu Intan, Vita, Mbak Windra, Jouli serta bapak dan

ibu Mulyono, terima kasih atas doa serta supportnya selama penulisan

skripsi ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut

membantu serta memperlancar penyusunan Penulisan Hukum Ini. Semoga

yang telah diberikan akan mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah

(11)

commit to user

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu berbagai kritik dan saran yang bersifat

membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata semoga penulisan hukum ini bermanfaat bagi perkembangan

Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu Hukum.

Surakarta, April 2011

(12)

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……….. iii

HALAMAN PERNYATAAN………... iv

HALAMAN MOTTO……… v

HALAMAN PERSEMBAHAN……… vi

ABSTRAK………... vii

KATA PENGANTAR………...……… ix

DAFTAR ISI………. xii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL………. Xiv BAB I. PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Perumusan Masalah………...……… 4

C. Tujuan Penelitian………... 5

D. Manfaat Penelitian………. 5

E. Metode Penelitian……….. 6

F. Sistematika Penulisan Hukum ………...………... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 11

A. Kerangka Teori……….. 11

1. Tinjauan Tentang Pembuktian………. 11

2. Tinjauan Tentang Penuntut Umum……….. 21

3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana………. 23

4. Tinjauan Tentang Gratifikasi………... 26

5. Tinjauan Tentang Putusan Hakim………... 32

6. Tinjauan Tentang Terdakwa……… 35

B. Kerangka Pemikiran……….. 38

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 41

A. Hasil Penelitian……….. 41

(13)

commit to user

2. Dakwaan………. 50

3. Tuntutan……….. 68

4. Putusan……….. 69

B. Pembahasan………. 71

1. Konstruksi Hukum Pembuktian Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Gratifikasi No: 534/Pid.B/2008/PN.Slmn 71 2. Implikasi Yuridis Pembuktian Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Pemidanaan Dalam Kasus Tindak Pidana Gratifikasi Atas Diri Terdakwa Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn………….. 101 BAB IV. PENUTUP………... 109

A. Simpulan………. 109

B. Saran………... 110

DAFTAR PUSTAKA

(14)

commit to user

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran……… 38

Tabel 1. Tabel Alat Bukti Saksi……… 73

(15)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Praktik korupsi di Indonesia mengalami perkembangan dengan

munculnya praktik-praktik baru yang berusaha memanfaatkan celah atau

kelemahan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Pemberian

hadiah seringkali kita anggap hanyalah sebagai suatu ucapan terima kasih

atau ucapan selamat kepada seorang pejabat. Pemberian hadiah sebagai suatu

perbuatan atau tindakan seseorang yang memberikan sesuatu (uang atau

benda) kepada orang lain tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun jika

pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan

atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian itu tidak hanya sekedar ucapan selamat atau tanda terima kasih, akan tetapi sebagai

suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang

akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya, adalah

sebagai suatu tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam

pengertian gratifikasi. Sesungguhnya pelarangan atas segala bentuk pemberian

hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait kapasitasnya sebagai pejabat

atau penyelenggara negara bukanlah sesuatu yang baru.

Sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, gratifikasi menjadi

perhatian khusus, karena merupakan ketentuan yang baru dalam

perundang-undangan dan perlu sosialisasi yang lebih optimal. UU No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendefinisikan gratifikasi

sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang,

rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas

penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20

(16)

commit to user

gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap

pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang

berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ditinjau secara hukum,

sebenarnya tidak ada masalah dengan gratifikasi. Tindakan ini hanyalah

sekadar suatu perbuatan seseorang memberikan hadiah atau hibah kepada

orang lain. Tentu saja hal tersebut diperbolehkan.

”Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau

Gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”. Gratifikasi

dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah

dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa

pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan

balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan

dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan

birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan.

Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai

arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Kenyataannya

seseorang yang memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa

adanya pamrih. Oleh karena itu para pembentuk undang-undang berusaha

dengan gigih membuat jaring hukum yang sangat rapat agar tidak ada

celah-celah kemungkinan bebasnya pegawai negeri dari jaring hukum dalam

menerima setiap pemberian dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Oleh

karena itu undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dibuat

sedemikian rupa dan mengatur semua hal yang menyangkut tentang

penyelewengan Keuangan Negara sampai pegawai negeri.

Pada akhirnya pembentuk undang-undang sepakat untuk memasukkan

gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang

(17)

commit to user

melengkapi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

pengaturan mengenai gratifikasi belum ada. Jadi, gratifikasi adalah pemberian

dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan

perjalanan wisata dan fasilitas lainnya, baik yang diterima didalam atau luar

negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun

tanpa sarana elektronik.

Namun, kendala untuk mengungkap tindak pidana korupsi terutama

tindak pidana gratifikasi bukanlah perkara yang mudah dan ringan. Kendala

utamanya terletak pada pembuktian tindak pidana tersebut. Karena tindak

pidana korupsi khususnya gratifikasi mempunyai karakteristik tertentu, yang

menyulitkan bagi penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Banyaknya perkara korupsi yang gagal dibuktikan di pengadilan, yang

ditandai dengan dijatuhkan putusan bebas untuk terdakwa, menunjukkan

bahwa perkara korupsi memang mengandung tingkat kesulitan yang sangat

tinggi dalam masalah pembuktian.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting

dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah

ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti

yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman.

Sebaliknya apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti

yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP antara lain keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Maka, terdakwa

harus dinyatakan bersalah dan akan dijatuhi putusan pemidanaan yang

dijatuhkan oleh hakim.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka hakim harus berhati-hati,

(18)

commit to user

pembuktian. Hakim harus meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan

pembuktian dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1)

KUHAP (Yahya Harahap, 2000:783).

Pada perkara nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn tentang mantan ketua

DPRD Kabupaten Sleman yang menerima gratifikasi dari suatu korporasi yang menjadi mitra dalam pengadaan buku wajib teks SD/MI, SMP/MTs dan

SMA/MA, yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp1.230.050.000,00

(satu milyar dua ratus tiga puluh juta lima puluh ribu rupiah). Penuntut Umum

menggunakan dakwaan tunggal dalam tindak pidana gratifikasi. Hal tersebut

dikarenakan dakwaan tunggal lebih sederhana dan pembuktiannya mudah.

Dan hakim dalam menjatuhkan putusan itu seimbang dengan tuntutan Jaksa

Penuntut Umum sehingga hakim tidak mengabaikan pembuktian Jaksa

Penuntut Umum pada waktu persidangan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan mencermati hal-hal

yang mungkin timbul dari segala permasalahan di atas, maka dalam penelitian

hukum ini penulis memilih judul : “KAJIAN KONSTRUKSI HUKUM

PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA

GRATIFIKASI TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN ATAS DIRI

TERDAKWA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor

534/Pid.B/2008/PN.Slmn)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang ada, maka penulis

merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konstruksi hukum pembuktian Jaksa Penuntut Umum

dalam perkara tindak pidana gratifikasi Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn?

2. Bagaimana implikasi yuridis pembuktian Jaksa Penuntut Umum terhadap

putusan pemidanaan dalam kasus tindak pidana gratifikasi atas diri

(19)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan penilitian

adalah untuk memecahkan masalah agar suatu penelitian dapat lebih terarah

dalam menyajikan data akurat dan dapat memberi manfaat. Berdasarkan hal

tersebut maka penulisan hukum ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a) Mengetahui konstruksi hukum pembuktian Jaksa Penuntut Umum

dalam perkara tindak pidana gratifikasi.

b) Mengetahui implikasi yuridis pembuktian Jaksa Penuntut Umum

terhadap putusan pemidanaan dalam kasus tindak pidana gratifikasi atas

diri terdakwa.

2. Tujuan Subyektif

a) Menambah pemahaman penulis dalam bidang ilmu hukum khususnya

Hukum Acara Pidana.

b) Menambah wawasan dan memperluas pengetahuan serta pemahaman

penulis terhadap teori-teori mata kuliah yang telah diterima selama

menempuh kuliah guna melatih kemampuan penulis dalam

menerapkan teori-teori tersebut dalam prakteknya di masyarakat. c) Sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam

ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian selain mempunyai tujuan yang jelas juga diharapkan

memberikan manfaat. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian

adalah :

1. Manfaat Teoritis

a) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana

(20)

commit to user

b) Diharapkan dapat menambah literatur dan bahan-bahan informasi

ilmiah yang dapat dijadikan acuan terhadap penelitian-penelitian

sejenis untuk tahap berikutnya.

c) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap

penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a) Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan

membentuk pola pikir ilmiah, sekaligus untuk mengetahui kemampuan

penulis dalam menerapkan ilmu yang di peroleh; b) Untuk memberikan jawaban atas masalah yang diteliti;

c) Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung

dengan penelitian ini.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskripsif

ilmu hukum” (Peter Mahmud Marzuki. 2006: 35).

Penelitian hukum di lakukan untuk mencari pemecahan atau isu

hukum yang timbul, dengan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan

deskripsi mangenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan (Peter

Mahmud Marzuki, 2006:41). Dalam penelitian hukum tersebut seorang

peneliti hukum dapat melakukan aktivitas-aktivitas untuk mengungkapkan

kebenaran hukum. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode

penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Dalam usaha penulis memperoleh bahan hukum yang diperlukan

(21)

commit to user

doktrinal. Penelitian hukum ini merupakan penelitian doktrinal karena

keilmuan hukum bersifat preskriptif (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 33).

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat preskriptif dan terapan, sesuai dengan

karakteristik ilmu hukum. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu

hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu

terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan,

rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud

Marzuki, 2006: 22).

Berpegang kepada karakteristik Ilmu Hukum sebagai ilmu terapan,

preskripsi yang diberikan bukan merupakan sesuatu yang telah diterapkan

atau yang sudah ada. Oleh karena itulah yang dihasilkan oleh penelitian

hukum sekalipun bukan asas hukum yang baru atau teori baru, paling

tidak argumentasi baru. Bertolak dari argumentasi baru itulah diberikan

preskripsi sehingga preskripsi tersebut bukan merupakan suatu fantasia

atau angan-angan kosong (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 206-207).

Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan tentang

konstruksi hukum pembuktian penuntut umum dalam tindak pidana

gratifikasi terhadap putusan pemidanaan atas diri terdakwa.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum menurut Peter

(22)

commit to user

Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan kasus (case aprroach), yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada

putusannya (Peter Mahmud Marzuki. 2008: 119). Penelitian hukum ini

megkaji mengenai pembuktian penuntut umum dalam tindak pidana

gratifikasi terhadap putusan pemidanaan terhadap diri terdakwa

4. Sumber Penelitian Hukum

Sumber bahan hukum merupakan tempat data diperoleh. Sumber

bahan hukum dalam penelitian ini adalah sumber bahan hukum sekunder.

Sumber bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini

meliputi :

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai

kekuatan hukum mengikat dalam hal ini adalah norma atau kaidah

dasar peraturan perundang-undangan, terdiri dari: (1). Kitab Undang- Undang Hukum Pidana

(2). Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana

(3). Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

(4). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

(5). Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor

534/Pid.B/2008/PN.Slmn.

b) Bahan hukum sekundar, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil karya ilmiah

para sarjana, hasil penelitian, buku-buku, majalah, internet, dan

(23)

commit to user

c) Bahan non-hukum yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat menunjang

bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus bahasa

inggris-indonesia, kamus hukum bahasa inggris-indonesia, jurnal-jurnal non-hukum

yang relevan dengan penelitian hukum dan lainnya.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Suatu penelitian membutuhkan bahan hukum yang lengkap dan

memiliki nilai validitas yang cukup tinggi. Untuk mengumpulkan bahan

hukum tersebut, maka perlu dilakukan dengan cara atau dengan teknik

tertentu. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan oleh

penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka.

Studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan

usaha-usaha pengumpulan bahan hukum terkait dengan konstruksi hukum

pembuktian penuntut umum dalam tindak pidana gratifikasi terhadap

putusan pemidanaan atas diri terdakwa dalam putusan nomor

534/Pid.B/2008/PN.Slmn dengan cara membaca putusan tersebut,

mengunjungi perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji, dan

mempelajari buku-buku, literature, arikel, majalah, koran, karangan

ilmiah, makalah dan sebagainya yang berkaitan erat dengan pengaturan

pembuktian penuntut umum dalam tindak pidana gratifikasi terhadap

putusan pemidanaan atas diri terdakwa.

6. Teknik Analisis

Teknik anasisis bahan hukum merupakan langkah selanjutnya untuk

mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Penelitian ini

mempergunakan teknis analisis data dengan metode deduksi.

Sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan

metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian

diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu

(24)

commit to user

F. Sistematika Penulisan Hukum

Agar penulisan skripsi ini dapat dipahami dan mudah dipahami oleh

para pembaca, maka skripsi ini disusun secara sistematika. Adapun perincian

sistematikanya akan penulis sajikan sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika

penulisan hukum.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini terdiri dari kerangka teori tentang pembuktian, tinjauan

tentang penuntut umum, tinjauan tindak pidana gratifikasi dan

tinjauan tentang pemidanaan serta kerangka berpikir.

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini penulis menyajikan tentang hasil penelitian beserta

pembahasan yang meliputi :

a. Konstruksi hukum pembuktian Jaksa Penuntut Umum dalam

perkara tindak pidana gratifikasi Nomor

534/Pid.B/2008/PN.Slmn.

b. Implikasi yuridis pembuktian Jaksa Penuntut Umum terhadap

putusan pemidanaan dalam kasus tindak pidana gratifikasi atas

diri terdakwa Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn.

BAB IV. PENUTUP

Bab ini berisi simpulan dan saran yang berdasarkan pembahasan dan

jawaban atas rumusan masalah yang telah diuraikan.

DAFTAR PUSTAKA

(25)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

G. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian (pertama) adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti

yang diajukan dimuka siding oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat

Hukum atau atas Kebijakan Majelis Hakim. Pembuktian dalam arti sempit

adalah pembuktian yang berupa penganalisisan fakta-fakta yang di dapat

dalam persidangan dan penganalisisan hokum masing-masing oleh jaksa

Penuntut Umum, Penasehat Hukum dan Hakim.Pembuktian dalam arti

luas adalah seluruh kegiatan pembuktian dalam arti yang pertama yang

sekaligus atau termasuk pembuktian dalam arti sempit (Adami Chazawi,

2008: 21-22).

Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (Yahya harahap. 2000: 252).

Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung

beberapa pengertian:

1) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah

Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku

bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

2) Membuktikan dalam arti konvensionil

Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif

sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:

a) kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif

(26)

commit to user

b) kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)

3) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis

Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat

khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan

demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.

b. Asas-Asas Pembuktian

Di dalam pembuktian pidana ada beberapa prinsip yang harus

diketahui, antara lain:

1) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan

Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang

berbunyi: “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu

dibuktikan”. Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum yang didasarkan pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau peristiwa

akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu

demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-undang, hakim tidak boleh yakin

akan kesalahan terdakwa.

2) Menjadi saksi adalah kewajiban

Diatur dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP yang berbunyi: saksi adalah

orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan

demikian syarat seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang

(27)

commit to user

penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 159 ayat (2)

KUHAP.

3) Satu saksi bukan saksi.

Prinsip ini terkait dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang

berbunyi: keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan

kepadanya. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut undang-undang menjadi

saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman di lapangan,

keterangan saksi merupakan alat bukti yang dominan dalam mengadili

perkara pidana di pengadilan.

Setiap acara pemeriksaan biasa, hampir sering dikuatkan dengan

alat bukti saksi. Keterangan saksi yang diberikan apabilahanya berdiri

sendiri dan tidak di kuatkan dengan alat bukti lain yang sah, maka

kesaksian yang berdiri sendiri tersebut tidak cukup membuktikan

kesalahan terdakwa dan untuk itu hakim harus membebaskan terdakwa

dari tuntutan penuntut umum.

4) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum

membuktikan kesalahan terdakwa.

Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan keterangan terdakwa saja

tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan

yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat

bukti lain.

c. Teori-Teori Pembuktian

Teori pembuktian terdapat 2 masa, yaitu teori pembuktian

(28)

commit to user

sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para

pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :

1) Teori Pembuktian Tradisonal, antara lain:

a) Teori Pembuktian Bebas

Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang

mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat

diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada

hakim dalam mencari kebenaran.

b) Teori Pembuktian Negatif

Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang

mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan

sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini

dilarang dengan pengecualian (Pasal 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)

c) Teori Pembuktian Positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya

perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan

syarat (Pasal. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).

2) Teori Pembuktian Modern, antara lain:

a) Conviction – in Time

Sistem pembuktian conviction – in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian

“keyakinan” hakim. Kenyataan hakim yang menentukan

keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan

menyimpulkan keyakinannnya, tidak menjadi masalah dalam

sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari

alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa

(29)

commit to user

langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan

terdakwa.

Sistem pembuktin conviction – in time sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman

pada seseorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan”

belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya

hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang

dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti

dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas

kesalahan terdakwa.

Jadi, dalam sistem pembuktian conviction – in time, seklipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian

yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim.

Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar

alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah,

semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang

“dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya

terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib

terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan

hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem

pembuktin ini.

b) Conviction – Raisonee

Sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya

terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, factor

keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian

(30)

commit to user

menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari

keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan

hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning tersebut harus reasonable yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus

mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat

diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang

tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.

c) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

Pembuktian menurut undang-undang secara positif

merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem

pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan

hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan

terdakwa.

Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan

menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman

pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan

undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa

semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal

undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa

tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.

Dalam sistem ini, hakim seolah-olah merupakan “robot

pelaksana” undang-undang yang tak memiliki hati nurani.

Sehingga, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan

jauh-jauh factor keyakinan, tetapi berdiri tegak pada nilai pembuktian

objektif tanpa mencampur adukkan hasil pembuktian yang

(31)

commit to user

d) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang

secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

conviction-in time. Sehingga, untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan

hakim semata-mata. Atau hanya didasarkan atas keterbuktian

menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti

yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat

dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan

kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian

kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim.

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa

menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat

dua komponen:

(1). Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang.

(2). Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan

dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Sistem pembuktian negatif dapat dilihat dalam Pasal 183

KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana

kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua

alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP, dimana

(32)

commit to user

ditekankan pada perumusan yang tertera dalam undang-undang,

seseorang untuk dapat dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhkan

pidana kepadanya, apabila:

(1). Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat

bukti”,

(2). Dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

tersebut, hakim akan “memperoleh keyakinan “bahwa tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Sistem pembuktian di Indonesia hanya mengakui alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat digunakan

untuk pembuktian. Dalam pembuktian penuntut umum membuat

surat dakwaan dan oleh karena itu, ia bertanggung jawab untuk

menyusun alat bukti dan pembuktian tentang kebenaran surat

dakwaan atau tentang kesalahan terdakwa, bukan sebaliknya

terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

“Pembuktian juga dimaksudkan untuk mencapai suatu kebenaran

yang sesungguhnya, yaitu kebenaran dari hubungan hukum

terhadap pihak-pihak yang berperkara” (Teguh Samudera. 2007.

“Pemahaman Hukum Pembuktian dan Alat Bukti Sebagai Upaya

Meningkatkan Pembangunan Bangsa”. Jurnal Hukum Respublica.

Vol. 6. No. 2).

Hakim dalam menjatuhkan putusan akan menilai semua

alat bukti yang sah untuk menyusun keyakinan hakim dengan

mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang didakwakan itu

terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan pidana apa yang

(33)

commit to user

Pembuktian di pengadilan yang salah membuktikan

keadilan yang lemah. Pelanggaran-pelanggaran ini menginfeksi

keakuratan proses pencarian fakta dan merusak integritas

keseluruhan sistem peradilan. Jaksa tidak berperforma baik sebagai

penyedia bukti membebaskan tetapi tetap teguh pada perlawanan

mereka. Pengadilan pidana harus melihat serius alat bukti di dua

belah pihak serta praktek-praktek yang memungkinkan berperkara

untuk memperkenalkan penemuan kesalahan bukti di pengadilan,

baik nantinya pengadilan dikenakan sanksi atau sebagai bukti yang

relevan kelemahan kasus terdakwa (Cynthia E. Jones. 2010. “A

Reason To Doubt: The Suppression Of Evidence And The

Inference Of Innocence”. Northwestern University, School Of Law

Vol. 100, No. 2).

Jenis alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1)

KUHAP, meliputi:

1. Keterangan saksi

Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa

keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang

didengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27

KUHAP). Dari urut-urutan penyebutan alat-alat bukti tersebut

dapat disimpulkan bahwa di dalam perkara pidana yang

terutama suatu tindak pidana dibuktikan dengan alat bukti

saksi. Karena di dalam melakukan suatu kejahatan, seseorang

akan berusaha menghilangkan jejaknya (Hari Sasangka dan

Liliy Rosita, 2003: 224).

2. Keterangan ahli

Keterangan yang diberikan oleh seseorang, yang memiliki

(34)

commit to user

terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan

(Pasal 1 butir 28 KUHAP). Keterangan ahli tidak mempunyai

nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan.

Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya

dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat

bukti keterangan saksi (Yahya Harahab, 2003: 304).

3. Surat

Surat sebagai alat bukti yang sah menurut Pasal 187 KUHAP,

adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau surat yang

dikuatkan dengan sumpah.

4. Petunjuk

Perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,

maupun dengan tindak pidana sendiri, menandakan bahwa

telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal

188 ayat (1) KUHAP). Alat bukti petunjuk diperoleh dari alat

bukti saksi, surat dan keterangan terdakwa saat di persidangan.

5. Keterangan terdakwa

Merupakan apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang

perubahan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau

alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Keterangan

terdakwa sebagai alat bukti merupakan keterangan terdakwa

yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan keadaan atau

perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai

(35)

commit to user

2. Tinjauan Tentang Penuntut Umum

a. Pengertian Penuntut Umum

Menurut Pasal 1 butir (6) KUHAP, penuntut umum adalah Jaksa

yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan

penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Dasar penuntutan perkara pidana yang dibuat oleh jaksa

penuntut umum adalah surat dakwaan dan diajukan ke pengadilan

dengan adanya surat dakwaan tersebut berarti ruang lingkup

pemeriksaan telah dibatasi dan jika dalam pemeriksaan terjadi

penyimpangan dari surat dakwaan, maka hakim ketua sidang

mempunyai wewenang untuk memberikan teguran kepada jaksa atau

penasihat hukum tersangka (Kuswindiarti.2009.”Pola Pembelaan dalam

Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Terdakwa dalam Proses

Pemeriksaan di Pengadilan”. Jurnal Manajerial. Vol. 5, No. 2).

Sesuai dengan tugasnya sebagai Penuntut Umum maka ia juga

berkewajiban membuat surat penuntutan, menurut Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang Kejaksaan yang disebut

penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya

diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Asas-asas pokok dalam penuntutan yakni :

a. Asas oportunitas yaitu penuntut umum tidak diharuskan menuntut

seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan

suatu tindak pidana yang dapat dihukum.

b. Asas legalitas yaitu penuntut umum diwajibkan menuntut semua

orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah

(36)

commit to user

Menurut asas legalitas, penuntut umum wajib menuntut

seseorang yang didakwakan telah melakukan tindak pidana. Sedangkan

asas oportunitas, penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang

melakukan suatu tindak pidana jika menurut pertimbangannya jika

orang tersebut dituntut akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi

kepentingan umum, seseorang yang melakukan tindak pidana tidak

dapat dituntut. Penerapan asas oportunitas di negara kita berdasarkan

untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan kepentingan

pribadi.

Jaksa sebagai penuntut umum mempunyai kebijaksanaan yang

luas. Jaksa yang bisa memutuskan apa dan siapa yang akan dituntut

serta dapat merekomendasikan mengenai hukuman ringan. Dan ketika

bukti-bukti membebaskan terdakwa, jaksa memutuskan apakah akan

terus menuntut atau menghentikan kasus ini. Karena pentingnya

penuntutan pidana dan jaksa mempunyai kebijaksanaan yang luas

dalam mengejar terdakwa. Seorang jaksa berkewajiban untuk mencari

keadilan, bukan hanya memenangkan keyakinan (Melanie

D.Wilson.2008. ”Finding A Happy and Ethical Medium Between A

Prosecutor Who Believes the Defendant didn’t do it and the Boss Who

Says that He did”. Northwestern University School of Law, Vol. 103).

b. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

Menurut Pasal 14 KUHAP, disebutkan tugas dan wewenang

Penuntut Umum, antara lain:

1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik

atau penyidik pembantu.

2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan dengan memperhatikan ketetentuan Pasal 10 ayat (3)

dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka

(37)

commit to user

3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah

perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.

4) Membuat surat dakwaan.

5) Melimpahkan perkara ke pengadilan

6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan

hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan,

baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada

sidang yang telah ditentukan. 7) Melakukan penuntutan.

8) Menutup perkara demi kepentingan hukum.

9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung

jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang

ini.

10) Melaksanakan penetapan hakim.

Kewenangan Penuntut Umum harus sesuai Peraturan

Perundang-undangan untuk menegakkan kebijakan yang ditetapkan

dalam undang-undang diberlakukan oleh legislatif. Jaksa hanyalah

menegakkan aturan yang sudah ditetapkan, ditambah kemampuan untuk

mengancam kalimat kasar dan wajib, jaksa memiliki begitu banyak

pengaruh dalam negosiasi dengan terdakwa yang mereka miliki, untuk

semua tujuan (Rachel E. Barkow.2009. “The Prosecutor as Regulatory

Agency”. Public Law and Legal Theory Reseach Journal Series.

Vol.40, No. 9).

3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan

(38)

commit to user

memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud

dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut. Pembentuk undang-undang tidak memberikan suatu penjelasan mengenai maksud dari perkataan

strafbaar feit”, maka timbullah berbagai pendapat tentang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit”. Moeljatno mengutip pendapat dari beberapa ahli hukum asing yang menjelaskan tentang “strafbaar feit”, antara lain:

Simon menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh

orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel merumuskan

sebagai berikut stafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.

Menurut Wirjono Projodikoro, “Tindak pidana adalah suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana” (Wirjono

Projodikoro.2002:55).

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana untuk tindak pidana yaitu perbuatan yang oleh suatu aturan hokum dilarang dan diancam pidana asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangannya ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuannya) sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno.2000:54).

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana di bagi menjadi 2 (dua) yaitu unsur

(39)

commit to user

Yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang

berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana adalah

a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa).

b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat

misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,

pemerasan, pemalsuan,dll.

d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan

menurut Pasal 340 KUHP.

e) Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat di dalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

2) Unsur Obyektif

Yaitu unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan

dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana, yaitu:

a) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid

b) Kualitas dari si pelaku, misalnya: keadaan sebagai seorang

pegawai negara di dalam kejahatan” jabatan menurut Pasal

415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari

suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal

(40)

commit to user

c) Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

(Lamintang, 1997: 193-194).

Selain unsur subyektif dan unsur obyektif, menurut Moeljatno

terdapat beberapa unsur-unsur tindak pidana lain, antara lain:

a) Kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperluka pula adanya.

b) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. c) Unsur-unsur yang memberatkan pidana.

d) Sifat melawan hukumnya perbuatan.

e) Tergatung niat dari orang yang melakukan tindak pidana tersebut. (Moeljatno, 2002: 58-62).

4. Tinjauan Tentang Gratifikasi

a. Pengertian Gratifikasi

Berdasarkan kamus hukum, gratifikasi berasal dari bahasa

Belanda “Gratificatie” yang berarti hadiah uang, atau pemberian uang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gratifikasi diartikan

sebagai uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah

ditentukan (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 157). Black’s Law

Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification

adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau

keuntungan”(http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Gratifikasi.

pdf, diakses pada tanggal 27 Februari 2011 pukul 11.04 WIB).

Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi

positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus

dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian

dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun.

(41)

commit to user

pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan

birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan.

Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu

mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan

gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik seseorang memberikan sesuatu

tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya pamrih

(http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Gratifikasi.pdf, diakses

pada tanggal 27 Februari 2011 pukul 11.04 WIB).

Menurut Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Setiap

gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan

berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan

sebagai berikut:

(a). Yang nilai gratifikasi Rp 10.000.000,00 atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.

(b). Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh Penuntut Umum.

Penjelasan pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

“Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi

pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tapa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,

pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut

(42)

commit to user

dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana

elektronik”.

b. Subyek dan Obyek Gratifikasi

1) Subyek Gratifikasi

a) Pegawai Negeri

Dalam tindak pidana korupsi untuk definisi tentang Pegawai

sangat luas tidak hanya memiliki definisi dalam UU Pokok-pokok

Kepegawaian saja. Dituangkan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 31

Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001:

Dalam ketentuan yang dimaksud Pegawai Negeri adalah

meliputi :

(a) Pegawai Negeri sebagaimana di maksud dalam

undang-undang tentang kepegawaian;

(b) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana;

(c) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi

yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau

daerah;

(d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi

yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;

(e) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau

masyarakat.

b) Penyelenggara Negara

Pasal 1 angka (1) UU No. 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,

Kolusi dan Nepotisme, yang dimaksud dengan Penyelenggara

(43)

commit to user

legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas

pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara

meliputi:

(a) Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara;

(b) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;

(c) Menteri;

(d) Gubernur;

(e) Hakim;

(f) Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dan

(g) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya

dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo.

No. 20 Tahun 2001 tersebut dapat disimpulkan bahwasanya Pegawai

Negeri atau Penyelenggara Negara memiliki definsi yang

sangat-sangat luas yaitu adalah Setiap Orang yang menerima gaji atau upah dari APBN, APBD, dari Korporasi yang menerima bantuan APBN, APBD, modal dan fasilitas negara atau masyarakat (http://advokatpanji.blogspot.com/diakses pada tanggal 22 Oktober

pukul 9.15 WIB).

2) Obyek Gratifikasi

Dilihat dari penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi, maka disebutkan

(44)

commit to user

perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar

negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik

atau tanpa sarana elektronik. Selain itu terdapat juga kasus-kasus

yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi yaitu:

(1) Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini

dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh

eksekutif.

(2) Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/

kelulusan. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda

bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat

bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi

(dinas pendapatan daerah), LLAJR dan masyarakat (preman).

Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan pelaporan yang

dipublikasikan ke media massa dan penindakan tegas pada

pelaku.

(3) Uang restribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan

oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas

Pendapatan Daerah.

(4) Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke

pejabat.

(5) Perjalanan wisata bagi Bupati menjelang akhir jabatan.

(6) Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena

biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat

ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai

dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat

menggunakan kotak amal.

(7) Hadiah pernikahan ke keluarga PNS yang melewati batas

(45)

commit to user

(8) Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang "dipercepat" dengan uang

tambahan.

(9) Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya

perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya

penerimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal.

(10) Pengurusan ijin yang dipersulit.

c. Unsur-Unsur Gratifikasi

Rumusan korupsi pada Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah dimana pada

peraturan perundangan sebelumnya tidak diatur secara khusus.

Unsur-unsur gratifikasi, antara lain:

a) Unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;

b) Unsur Menerima Gratifikasi;

c) Unsur yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan

kewajiban atau tugasnya;

d) Unsur penerimaan Gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK

dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya Gratifikasi (alasan

peniadaan pidana/menghilangkan sifat melawan hukumnya).

d. Batasan Gratifikasi

Batasan Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B ayat (1) yaitu:

a) Yang nilai gratifikasi Rp 10.000.000,00 atau lebih, pembuktian

bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh

penerima gratifikasi.

b) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00, pembuktian bahwa

gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh Penuntut Umum.

Ketentuan tersebut tidak berlaku jika penerima melaporkan

gratifikasi yang diterimanya pada Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK). Dan penyampaian paling lambat 30 hari sejak diterima

(46)

commit to user

5. Tinjauan Tentang Putusan Hakim

a. Dasar Penjatuhan Putusan Hakim

Pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakukan setelah

masing-masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau

pertimbangan serta keyakinan atas suatu perkara lalu dilakukan

musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis berusaha agar diperoleh

permufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2) KUHAP). Jika permufakatan

bulat tidak diperoleh, putusan diambil dengan suara terbanyak.

Adakalanya para hakim berbeda pendapat atau pertimbangan sehingga

suara terbanyak pun tidak dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi

maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling

menguntungkan terdakwa (Pasal 182 ayat (6) KUHAP).

b.Teori Pemidanaan

1) Teori Absolut

Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena

seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindakan pidana

(qui peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan

kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya

atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

Menurut Johanes Andreas tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolute adalah “untuk memuaskan tuntutan

keadilan”. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat

dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant dalam bukunya

Philosophy of Law sebagai berikut:

“…Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana

untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu

(47)

commit to user

dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan

suatu kejahatan. Walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat

untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan

masyarakatnya), pembunuh terakhir yang masih berada di dalam

penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan

pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini dilakukan karena

setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan

perasaan balas dendamyang tidak dibolehkan tetap ada pada

anggota masyarakat, sebab apabila tidak demikian mereka dapat

dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam

pembunuhan yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan

umum”. Jadi, pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai

tujuan melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid).

2) Teori Relatif

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan

tuntutan absolute dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak

mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi

kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, J. Andeanaes

berpendapat teori ini disebut “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence).

Menurut Nigel Walker teoriini lebih tepat disebut teori atau

aliran reduktif (the “reductive” point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah mengurangi frekuensi

kejahatan. Pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan

atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak

pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh

Gambar

Tabel 2. Tuntutan dan Putusan……………………………………………....     101
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran
Tabel I. Alat Bukti Tindak Pidana Gratifikasi
Tabel 2. Tuntutan dan Putusan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian upaya pembuktian Penuntut Umum terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan terdakwa berdasarkan alat-alat

PERMOHONAN KASASI PENUNTUT UMUM ATAS DASAR PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MALANG OLEH PENGADILAN TINGGI SURABAYA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN

TINJAUAN ARGUMENTASI HUKUM PENUNTUT UMUM KEJAKSAAAN NEGERI JEMBER MENGAJUKAN KEBERATAN TERHADAP PUTUSAN BEBAS PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI SURABAYA DALAM PERKARA

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM DI LUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA.. PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK (Perkara

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: UPAYA PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DAN PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS TINDAK PIDANA MENAWARKAN

KESALAHAN PENERAPAN HUKUM PEMBUKTIAN OLEH JUDEX FACTI SEBAGAI ALASAN KASASI PENUNTUT UMUM DAN PERTIMBANGAN JUDEX JURIS MEMUTUS TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Mahkamah

Bagaimana Solusi-Solusi dalam pembuktian dan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Tujuan dalam penelitian hukum ini agar dapat diketahui bagaimana kesesuaian pembuktian oleh Penuntut Umum dengan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum