commit to user
KAJIAN KONSTRUKSI HUKUM PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI TERHADAP
PUTUSAN PEMIDANAAN ATAS DIRI TERDAKWA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
AMBAR PUSPITASARI WIJAYANTI NIM : E0007072
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
PERNYATAAN
Nama : Ambar Puspitasari Wijayanti
NIM : E0007072
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
KAJIAN KONSTRUKSI HUKUM PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM
DALAM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI TERHADAP PUTUSAN
PEMIDANAAN ATAS DIRI TERDAKWA (Studi Putusan Pengadilan
Negeri Sleman Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn) betul-betul karya sendiri. Hal
hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditujukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum
(skripsi) dan gelar saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, April 2010
Yang membuat pernyataan
Ambar Puspitasari Wijayanti
commit to user
Motto
Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu
bertambah bila dibelanjakan.
-Khalifah Ali bin Abi Talib-
Nasibmu adalah kumpulan dari tindakanmu, dan kumpulan dari apa yang sanggup engkau lakukan. Tidak ada lagi.
(Mahatma Gandhi)
Peluang sekecil apapun yang membawa kita pada keberhasilan harus kita perjuangkan dengan rasa optimis yang kuat untuk meraihnya
commit to user
PERSEMBAHAN
Dengan rasa bersyukur kepada Allah, skripsi ini dipersembahkan kepada :
Ayahanda dan Ibunda Sarjiman tercinta Adik Atika tersayang
commit to user
ABSTRAK
Ambar Puspitasari Wijayanti, E0007072. KAJIAN KONSTRUKSI HUKUM
PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA
GRATIFIKASI TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN ATAS DIRI TERDAKWA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn). Fakultas Hukum. Universitas Sebelas Maret. Penulisan Hukum (Skripsi). 2011.
Penelitian Hukum ini bertujuan untuk mengetahui bentuk konstruksi hukum pembuktian Penuntut Umum dalam tindak pidana gratifikasi terhadap putusan pemidanaan atas diri terdakwa.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : jenis penelitian normatif, sifat penelitian preskriptif, pendekatan kasus, teknik analisis bahan hukum dengan metode deduksi, pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka dan bahan hukum sekunder (buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, makalah, dan majalah), bahan non-hukum (kamus dan pustaka maya), dan sumber penelitian hukum dari bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim serta bahan hukum sekunder yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, bentuk dakwaan tindak pidana gratifikasi yang dituntut Penuntut Umum menggunakan dakwaan tunggal. Bentuk dakwaan tunggal karena pembuktiannya lebih sederhana dan dakwaannya hanya satu. Dan pembuktiannya sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Implikasi yuridis konstruksi hukum yang disusun Penuntut Umum bagi penjatuhan vonis yakni menunjukkan pengaruh signifikan, hal demikian dikarenakan Putusan Hakim 5 tahun sementara tuntutan oleh Penuntut Umum 7 tahun. Sehingga, hakim tidak mengesampingkan pembuktian yang diajukan Jaksa Penuntut Umum di persidangan.
commit to user
ABSTRACT
Ambar Puspitasari Wijayanti, E0007072. STUDY ON PROSECUTION EVIDENCE LAW CONSTRUCTION IN GRATIFICATION CRIME ON THE VERDICT OF CONVICTION ON SELF-DEFENDANT (STUDY ON
SLEMAN’S DISTRICT COURT DECISION NUMBER
534/PID.B/2008.SLMN). Faculty of Law. Sebelas Maret University. Legal Writing (Thesis). 2011.
This legal research aimed to know the legal construction of the Public Prosecutor law evidence in criminal convictions against the decision of gratification upon the defendant. The research methods used in this legal writing are as follows: formative type research, prescriptive research, law case approaches of technical legislation analysis with the method of deduction of legal materials, collection of legal materials from the literatures and secondary legal materials (text books written by law experts, law journals, the opinion of graduated students, scientific works, papers and magazines), non-legal materials (dictionaries and the Internet), and sources of legal research of primary legal materials consist of legislation, official records or minutes in making legislation and the decisions of judges and secondary legal materials, i.e. all the publicities about law that are not official documents. Publication of the law includes text books, law dictionaries, law journals, and comments on the decision of the court.
Based on the research results, it can be concluded that this form of criminal charges gratification demanded the Public Prosecutor is a single indictment. It is a single indictment because the proof is simpler and there is only one indictment. And the proof is in accordance with Article 184 Criminal Procedure Code. Juridical implication of law construction prepared by the Public Prosecutor for the convictions indicates a significant effect, because the Judge’s decision is 5 years and Public Prosecutor’s decision is 7 years. Thus, the judge did not rule out the evidentiary proposed by Public Prosecutors in the trial.
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya telah
memberikan kemudahan, semangat, dan kelancaran kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan hukum ini. Tiada daya dan upaya penulis tanpa
kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini
sebagai syarat untuk meraih gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul : KAJIAN
KONSTRUKSI HUKUM PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DALAM
TINDAK PIDANA GRATIFIKASI TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN
ATAS DIRI TERDAKWA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor
534/Pid.B/2008/PN.Slmn)
Banyak hambatan dan permasalahan yang penulis alami, menyangkut
penyelesaian penulisan hukum ini, baik yang langsung maupun yang tidak
langsung. Namun berkat bimbingan, saran, dan bantuan dari berbagai pihak, serta
kebersamaan orang-orang disekitar penulis, oleh karena itu pada kesempatan ini
dengan perasaan yang setulus-tulusnya dari hati yang paling dalam, penulis
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuannya di dalam penyusunan penulisan hukum ini. Untuk itu
dengan segenap kerendahan hati dan kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasi kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak memberi
kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak Wasis Sugandha, S.H.,M.Hum selaku Pembimbing Akademik yang
telah memberikan saran dan nasehat kepada penulis selama belajar di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., Selaku Ketua Bagian hukum Acara
sekaligus Pembimbing Skripsi yang telah sangat membantu, mendukung,
commit to user
dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Terima kasih atas
bimbingannya selama penulisan skripsi hingga selesai.
4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H., Selaku Pembimbing Skripsi
yang telah sangat membantu, mendukung, membimbing, dan mengarahkan
dengan penuh kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan
hukum ini. Terima kasih atas bimbingannya selama penulisan skripsi
hingga selesai.
5. Dosen Fakultas Hukum, yang selama ini telah banyak memberikan bekal
ilmu bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
6. Staff di bagian kemahasiswaan, bagian Akademik, bagian Transit, dan
bagian perpustakaan pusat maupun fakultas serta bagian Tata Usaha
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
7. Ayahanda dan Ibunda Sarjiman tercinta yang senantiasa memberikan doa
dan restu serta pengorbanan yang luar biasa untuk masa depan penulis. 8. Adik Atika Puspitasari Wijayanti dan Suryo Bintoro yang selalu
memberikan semangat dan doanya agar penulis cepat menyelesaikan
skripsi ini.
9. Teman-temanku seperjuangan Rini, Vina, Adelike, Bella, Dyah, Desy, dan
teman-temanku di Fakultas Hukum angkatan 2007 yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas doa dan dukungannya
selama ini.
10. Warga Three Ana Satu Intan, Vita, Mbak Windra, Jouli serta bapak dan
ibu Mulyono, terima kasih atas doa serta supportnya selama penulisan
skripsi ini.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut
membantu serta memperlancar penyusunan Penulisan Hukum Ini. Semoga
yang telah diberikan akan mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah
commit to user
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu berbagai kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata semoga penulisan hukum ini bermanfaat bagi perkembangan
Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu Hukum.
Surakarta, April 2011
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……….. iii
HALAMAN PERNYATAAN………... iv
HALAMAN MOTTO……… v
HALAMAN PERSEMBAHAN……… vi
ABSTRAK………... vii
KATA PENGANTAR………...……… ix
DAFTAR ISI………. xii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL………. Xiv BAB I. PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang………... 1
B. Perumusan Masalah………...……… 4
C. Tujuan Penelitian………... 5
D. Manfaat Penelitian………. 5
E. Metode Penelitian……….. 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ………...………... 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 11
A. Kerangka Teori……….. 11
1. Tinjauan Tentang Pembuktian………. 11
2. Tinjauan Tentang Penuntut Umum……….. 21
3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana………. 23
4. Tinjauan Tentang Gratifikasi………... 26
5. Tinjauan Tentang Putusan Hakim………... 32
6. Tinjauan Tentang Terdakwa……… 35
B. Kerangka Pemikiran……….. 38
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 41
A. Hasil Penelitian……….. 41
commit to user
2. Dakwaan………. 50
3. Tuntutan……….. 68
4. Putusan……….. 69
B. Pembahasan………. 71
1. Konstruksi Hukum Pembuktian Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Gratifikasi No: 534/Pid.B/2008/PN.Slmn 71 2. Implikasi Yuridis Pembuktian Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Pemidanaan Dalam Kasus Tindak Pidana Gratifikasi Atas Diri Terdakwa Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn………….. 101 BAB IV. PENUTUP………... 109
A. Simpulan………. 109
B. Saran………... 110
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran……… 38
Tabel 1. Tabel Alat Bukti Saksi……… 73
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Praktik korupsi di Indonesia mengalami perkembangan dengan
munculnya praktik-praktik baru yang berusaha memanfaatkan celah atau
kelemahan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Pemberian
hadiah seringkali kita anggap hanyalah sebagai suatu ucapan terima kasih
atau ucapan selamat kepada seorang pejabat. Pemberian hadiah sebagai suatu
perbuatan atau tindakan seseorang yang memberikan sesuatu (uang atau
benda) kepada orang lain tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun jika
pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan
atau kebijakan dari pejabat yang diberi hadiah, maka pemberian itu tidak hanya sekedar ucapan selamat atau tanda terima kasih, akan tetapi sebagai
suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang
akan mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya, adalah
sebagai suatu tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam
pengertian gratifikasi. Sesungguhnya pelarangan atas segala bentuk pemberian
hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait kapasitasnya sebagai pejabat
atau penyelenggara negara bukanlah sesuatu yang baru.
Sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, gratifikasi menjadi
perhatian khusus, karena merupakan ketentuan yang baru dalam
perundang-undangan dan perlu sosialisasi yang lebih optimal. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendefinisikan gratifikasi
sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang,
rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20
commit to user
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ditinjau secara hukum,
sebenarnya tidak ada masalah dengan gratifikasi. Tindakan ini hanyalah
sekadar suatu perbuatan seseorang memberikan hadiah atau hibah kepada
orang lain. Tentu saja hal tersebut diperbolehkan.
”Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau
Gratification adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”. Gratifikasi
dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah
dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa
pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan
balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan
dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan
birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan.
Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai
arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Kenyataannya
seseorang yang memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa
adanya pamrih. Oleh karena itu para pembentuk undang-undang berusaha
dengan gigih membuat jaring hukum yang sangat rapat agar tidak ada
celah-celah kemungkinan bebasnya pegawai negeri dari jaring hukum dalam
menerima setiap pemberian dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Oleh
karena itu undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dibuat
sedemikian rupa dan mengatur semua hal yang menyangkut tentang
penyelewengan Keuangan Negara sampai pegawai negeri.
Pada akhirnya pembentuk undang-undang sepakat untuk memasukkan
gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang
commit to user
melengkapi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
pengaturan mengenai gratifikasi belum ada. Jadi, gratifikasi adalah pemberian
dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan
perjalanan wisata dan fasilitas lainnya, baik yang diterima didalam atau luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun
tanpa sarana elektronik.
Namun, kendala untuk mengungkap tindak pidana korupsi terutama
tindak pidana gratifikasi bukanlah perkara yang mudah dan ringan. Kendala
utamanya terletak pada pembuktian tindak pidana tersebut. Karena tindak
pidana korupsi khususnya gratifikasi mempunyai karakteristik tertentu, yang
menyulitkan bagi penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Banyaknya perkara korupsi yang gagal dibuktikan di pengadilan, yang
ditandai dengan dijatuhkan putusan bebas untuk terdakwa, menunjukkan
bahwa perkara korupsi memang mengandung tingkat kesulitan yang sangat
tinggi dalam masalah pembuktian.
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah
ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Sebaliknya apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti
yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP antara lain keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Maka, terdakwa
harus dinyatakan bersalah dan akan dijatuhi putusan pemidanaan yang
dijatuhkan oleh hakim.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka hakim harus berhati-hati,
commit to user
pembuktian. Hakim harus meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan
pembuktian dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP (Yahya Harahap, 2000:783).
Pada perkara nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn tentang mantan ketua
DPRD Kabupaten Sleman yang menerima gratifikasi dari suatu korporasi yang menjadi mitra dalam pengadaan buku wajib teks SD/MI, SMP/MTs dan
SMA/MA, yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp1.230.050.000,00
(satu milyar dua ratus tiga puluh juta lima puluh ribu rupiah). Penuntut Umum
menggunakan dakwaan tunggal dalam tindak pidana gratifikasi. Hal tersebut
dikarenakan dakwaan tunggal lebih sederhana dan pembuktiannya mudah.
Dan hakim dalam menjatuhkan putusan itu seimbang dengan tuntutan Jaksa
Penuntut Umum sehingga hakim tidak mengabaikan pembuktian Jaksa
Penuntut Umum pada waktu persidangan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan mencermati hal-hal
yang mungkin timbul dari segala permasalahan di atas, maka dalam penelitian
hukum ini penulis memilih judul : “KAJIAN KONSTRUKSI HUKUM
PEMBUKTIAN PENUNTUT UMUM DALAM TINDAK PIDANA
GRATIFIKASI TERHADAP PUTUSAN PEMIDANAAN ATAS DIRI
TERDAKWA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor
534/Pid.B/2008/PN.Slmn)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang ada, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konstruksi hukum pembuktian Jaksa Penuntut Umum
dalam perkara tindak pidana gratifikasi Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn?
2. Bagaimana implikasi yuridis pembuktian Jaksa Penuntut Umum terhadap
putusan pemidanaan dalam kasus tindak pidana gratifikasi atas diri
commit to user
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan penilitian
adalah untuk memecahkan masalah agar suatu penelitian dapat lebih terarah
dalam menyajikan data akurat dan dapat memberi manfaat. Berdasarkan hal
tersebut maka penulisan hukum ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a) Mengetahui konstruksi hukum pembuktian Jaksa Penuntut Umum
dalam perkara tindak pidana gratifikasi.
b) Mengetahui implikasi yuridis pembuktian Jaksa Penuntut Umum
terhadap putusan pemidanaan dalam kasus tindak pidana gratifikasi atas
diri terdakwa.
2. Tujuan Subyektif
a) Menambah pemahaman penulis dalam bidang ilmu hukum khususnya
Hukum Acara Pidana.
b) Menambah wawasan dan memperluas pengetahuan serta pemahaman
penulis terhadap teori-teori mata kuliah yang telah diterima selama
menempuh kuliah guna melatih kemampuan penulis dalam
menerapkan teori-teori tersebut dalam prakteknya di masyarakat. c) Sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam
ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian selain mempunyai tujuan yang jelas juga diharapkan
memberikan manfaat. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian
adalah :
1. Manfaat Teoritis
a) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana
commit to user
b) Diharapkan dapat menambah literatur dan bahan-bahan informasi
ilmiah yang dapat dijadikan acuan terhadap penelitian-penelitian
sejenis untuk tahap berikutnya.
c) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a) Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
membentuk pola pikir ilmiah, sekaligus untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang di peroleh; b) Untuk memberikan jawaban atas masalah yang diteliti;
c) Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung
dengan penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskripsif
ilmu hukum” (Peter Mahmud Marzuki. 2006: 35).
Penelitian hukum di lakukan untuk mencari pemecahan atau isu
hukum yang timbul, dengan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan
deskripsi mangenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan (Peter
Mahmud Marzuki, 2006:41). Dalam penelitian hukum tersebut seorang
peneliti hukum dapat melakukan aktivitas-aktivitas untuk mengungkapkan
kebenaran hukum. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Dalam usaha penulis memperoleh bahan hukum yang diperlukan
commit to user
doktrinal. Penelitian hukum ini merupakan penelitian doktrinal karena
keilmuan hukum bersifat preskriptif (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 33).
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif dan terapan, sesuai dengan
karakteristik ilmu hukum. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu
hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu
terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan,
rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud
Marzuki, 2006: 22).
Berpegang kepada karakteristik Ilmu Hukum sebagai ilmu terapan,
preskripsi yang diberikan bukan merupakan sesuatu yang telah diterapkan
atau yang sudah ada. Oleh karena itulah yang dihasilkan oleh penelitian
hukum sekalipun bukan asas hukum yang baru atau teori baru, paling
tidak argumentasi baru. Bertolak dari argumentasi baru itulah diberikan
preskripsi sehingga preskripsi tersebut bukan merupakan suatu fantasia
atau angan-angan kosong (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 206-207).
Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan tentang
konstruksi hukum pembuktian penuntut umum dalam tindak pidana
gratifikasi terhadap putusan pemidanaan atas diri terdakwa.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum menurut Peter
commit to user
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan kasus (case aprroach), yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada
putusannya (Peter Mahmud Marzuki. 2008: 119). Penelitian hukum ini
megkaji mengenai pembuktian penuntut umum dalam tindak pidana
gratifikasi terhadap putusan pemidanaan terhadap diri terdakwa
4. Sumber Penelitian Hukum
Sumber bahan hukum merupakan tempat data diperoleh. Sumber
bahan hukum dalam penelitian ini adalah sumber bahan hukum sekunder.
Sumber bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini
meliputi :
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai
kekuatan hukum mengikat dalam hal ini adalah norma atau kaidah
dasar peraturan perundang-undangan, terdiri dari: (1). Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
(2). Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana
(3). Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
(4). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
(5). Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor
534/Pid.B/2008/PN.Slmn.
b) Bahan hukum sekundar, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil karya ilmiah
para sarjana, hasil penelitian, buku-buku, majalah, internet, dan
commit to user
c) Bahan non-hukum yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat menunjang
bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus bahasa
inggris-indonesia, kamus hukum bahasa inggris-indonesia, jurnal-jurnal non-hukum
yang relevan dengan penelitian hukum dan lainnya.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Suatu penelitian membutuhkan bahan hukum yang lengkap dan
memiliki nilai validitas yang cukup tinggi. Untuk mengumpulkan bahan
hukum tersebut, maka perlu dilakukan dengan cara atau dengan teknik
tertentu. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan oleh
penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka.
Studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan
usaha-usaha pengumpulan bahan hukum terkait dengan konstruksi hukum
pembuktian penuntut umum dalam tindak pidana gratifikasi terhadap
putusan pemidanaan atas diri terdakwa dalam putusan nomor
534/Pid.B/2008/PN.Slmn dengan cara membaca putusan tersebut,
mengunjungi perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji, dan
mempelajari buku-buku, literature, arikel, majalah, koran, karangan
ilmiah, makalah dan sebagainya yang berkaitan erat dengan pengaturan
pembuktian penuntut umum dalam tindak pidana gratifikasi terhadap
putusan pemidanaan atas diri terdakwa.
6. Teknik Analisis
Teknik anasisis bahan hukum merupakan langkah selanjutnya untuk
mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Penelitian ini
mempergunakan teknis analisis data dengan metode deduksi.
Sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan
metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian
diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu
commit to user
F. Sistematika Penulisan Hukum
Agar penulisan skripsi ini dapat dipahami dan mudah dipahami oleh
para pembaca, maka skripsi ini disusun secara sistematika. Adapun perincian
sistematikanya akan penulis sajikan sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan hukum.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini terdiri dari kerangka teori tentang pembuktian, tinjauan
tentang penuntut umum, tinjauan tindak pidana gratifikasi dan
tinjauan tentang pemidanaan serta kerangka berpikir.
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini penulis menyajikan tentang hasil penelitian beserta
pembahasan yang meliputi :
a. Konstruksi hukum pembuktian Jaksa Penuntut Umum dalam
perkara tindak pidana gratifikasi Nomor
534/Pid.B/2008/PN.Slmn.
b. Implikasi yuridis pembuktian Jaksa Penuntut Umum terhadap
putusan pemidanaan dalam kasus tindak pidana gratifikasi atas
diri terdakwa Nomor 534/Pid.B/2008/PN.Slmn.
BAB IV. PENUTUP
Bab ini berisi simpulan dan saran yang berdasarkan pembahasan dan
jawaban atas rumusan masalah yang telah diuraikan.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
G. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Pembuktian
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian (pertama) adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti
yang diajukan dimuka siding oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat
Hukum atau atas Kebijakan Majelis Hakim. Pembuktian dalam arti sempit
adalah pembuktian yang berupa penganalisisan fakta-fakta yang di dapat
dalam persidangan dan penganalisisan hokum masing-masing oleh jaksa
Penuntut Umum, Penasehat Hukum dan Hakim.Pembuktian dalam arti
luas adalah seluruh kegiatan pembuktian dalam arti yang pertama yang
sekaligus atau termasuk pembuktian dalam arti sempit (Adami Chazawi,
2008: 21-22).
Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa (Yahya harahap. 2000: 252).
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung
beberapa pengertian:
1) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku
bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2) Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif
sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
a) kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif
commit to user
b) kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
3) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat
khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan
demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.
b. Asas-Asas Pembuktian
Di dalam pembuktian pidana ada beberapa prinsip yang harus
diketahui, antara lain:
1) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang
berbunyi: “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan”. Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum yang didasarkan pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau peristiwa
akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu
demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-undang, hakim tidak boleh yakin
akan kesalahan terdakwa.
2) Menjadi saksi adalah kewajiban
Diatur dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP yang berbunyi: saksi adalah
orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dengan
demikian syarat seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang
commit to user
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 159 ayat (2)
KUHAP.
3) Satu saksi bukan saksi.
Prinsip ini terkait dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang
berbunyi: keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut undang-undang menjadi
saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman di lapangan,
keterangan saksi merupakan alat bukti yang dominan dalam mengadili
perkara pidana di pengadilan.
Setiap acara pemeriksaan biasa, hampir sering dikuatkan dengan
alat bukti saksi. Keterangan saksi yang diberikan apabilahanya berdiri
sendiri dan tidak di kuatkan dengan alat bukti lain yang sah, maka
kesaksian yang berdiri sendiri tersebut tidak cukup membuktikan
kesalahan terdakwa dan untuk itu hakim harus membebaskan terdakwa
dari tuntutan penuntut umum.
4) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum
membuktikan kesalahan terdakwa.
Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan keterangan terdakwa saja
tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat
bukti lain.
c. Teori-Teori Pembuktian
Teori pembuktian terdapat 2 masa, yaitu teori pembuktian
commit to user
sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para
pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :
1) Teori Pembuktian Tradisonal, antara lain:
a) Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat
diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada
hakim dalam mencari kebenaran.
b) Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang
mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini
dilarang dengan pengecualian (Pasal 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)
c) Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya
perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan
syarat (Pasal. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
2) Teori Pembuktian Modern, antara lain:
a) Conviction – in Time
Sistem pembuktian conviction – in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian
“keyakinan” hakim. Kenyataan hakim yang menentukan
keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan
menyimpulkan keyakinannnya, tidak menjadi masalah dalam
sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari
alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa
commit to user
langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan
terdakwa.
Sistem pembuktin conviction – in time sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman
pada seseorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan”
belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya
hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang
dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti
dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa.
Jadi, dalam sistem pembuktian conviction – in time, seklipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian
yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim.
Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar
alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah,
semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang
“dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya
terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib
terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan
hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem
pembuktin ini.
b) Conviction – Raisonee
Sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya
terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, factor
keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian
commit to user
menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan
hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning tersebut harus reasonable yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus
mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat
diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang
tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
c) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
Pembuktian menurut undang-undang secara positif
merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem
pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan
hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan
terdakwa.
Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman
pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa
semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal
undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa
tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.
Dalam sistem ini, hakim seolah-olah merupakan “robot
pelaksana” undang-undang yang tak memiliki hati nurani.
Sehingga, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan
jauh-jauh factor keyakinan, tetapi berdiri tegak pada nilai pembuktian
objektif tanpa mencampur adukkan hasil pembuktian yang
commit to user
d) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang
secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time. Sehingga, untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan
hakim semata-mata. Atau hanya didasarkan atas keterbuktian
menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat
dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan
kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian
kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim.
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa
menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat
dua komponen:
(1). Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
(2). Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem pembuktian negatif dapat dilihat dalam Pasal 183
KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP, dimana
commit to user
ditekankan pada perumusan yang tertera dalam undang-undang,
seseorang untuk dapat dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhkan
pidana kepadanya, apabila:
(1). Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat
bukti”,
(2). Dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
tersebut, hakim akan “memperoleh keyakinan “bahwa tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Sistem pembuktian di Indonesia hanya mengakui alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat digunakan
untuk pembuktian. Dalam pembuktian penuntut umum membuat
surat dakwaan dan oleh karena itu, ia bertanggung jawab untuk
menyusun alat bukti dan pembuktian tentang kebenaran surat
dakwaan atau tentang kesalahan terdakwa, bukan sebaliknya
terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
“Pembuktian juga dimaksudkan untuk mencapai suatu kebenaran
yang sesungguhnya, yaitu kebenaran dari hubungan hukum
terhadap pihak-pihak yang berperkara” (Teguh Samudera. 2007.
“Pemahaman Hukum Pembuktian dan Alat Bukti Sebagai Upaya
Meningkatkan Pembangunan Bangsa”. Jurnal Hukum Respublica.
Vol. 6. No. 2).
Hakim dalam menjatuhkan putusan akan menilai semua
alat bukti yang sah untuk menyusun keyakinan hakim dengan
mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang didakwakan itu
terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan pidana apa yang
commit to user
Pembuktian di pengadilan yang salah membuktikan
keadilan yang lemah. Pelanggaran-pelanggaran ini menginfeksi
keakuratan proses pencarian fakta dan merusak integritas
keseluruhan sistem peradilan. Jaksa tidak berperforma baik sebagai
penyedia bukti membebaskan tetapi tetap teguh pada perlawanan
mereka. Pengadilan pidana harus melihat serius alat bukti di dua
belah pihak serta praktek-praktek yang memungkinkan berperkara
untuk memperkenalkan penemuan kesalahan bukti di pengadilan,
baik nantinya pengadilan dikenakan sanksi atau sebagai bukti yang
relevan kelemahan kasus terdakwa (Cynthia E. Jones. 2010. “A
Reason To Doubt: The Suppression Of Evidence And The
Inference Of Innocence”. Northwestern University, School Of Law
Vol. 100, No. 2).
Jenis alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1)
KUHAP, meliputi:
1. Keterangan saksi
Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang
didengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27
KUHAP). Dari urut-urutan penyebutan alat-alat bukti tersebut
dapat disimpulkan bahwa di dalam perkara pidana yang
terutama suatu tindak pidana dibuktikan dengan alat bukti
saksi. Karena di dalam melakukan suatu kejahatan, seseorang
akan berusaha menghilangkan jejaknya (Hari Sasangka dan
Liliy Rosita, 2003: 224).
2. Keterangan ahli
Keterangan yang diberikan oleh seseorang, yang memiliki
commit to user
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan
(Pasal 1 butir 28 KUHAP). Keterangan ahli tidak mempunyai
nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan.
Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya
dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat
bukti keterangan saksi (Yahya Harahab, 2003: 304).
3. Surat
Surat sebagai alat bukti yang sah menurut Pasal 187 KUHAP,
adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau surat yang
dikuatkan dengan sumpah.
4. Petunjuk
Perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun dengan tindak pidana sendiri, menandakan bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal
188 ayat (1) KUHAP). Alat bukti petunjuk diperoleh dari alat
bukti saksi, surat dan keterangan terdakwa saat di persidangan.
5. Keterangan terdakwa
Merupakan apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perubahan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Keterangan
terdakwa sebagai alat bukti merupakan keterangan terdakwa
yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan keadaan atau
perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai
commit to user
2. Tinjauan Tentang Penuntut Umum
a. Pengertian Penuntut Umum
Menurut Pasal 1 butir (6) KUHAP, penuntut umum adalah Jaksa
yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Dasar penuntutan perkara pidana yang dibuat oleh jaksa
penuntut umum adalah surat dakwaan dan diajukan ke pengadilan
dengan adanya surat dakwaan tersebut berarti ruang lingkup
pemeriksaan telah dibatasi dan jika dalam pemeriksaan terjadi
penyimpangan dari surat dakwaan, maka hakim ketua sidang
mempunyai wewenang untuk memberikan teguran kepada jaksa atau
penasihat hukum tersangka (Kuswindiarti.2009.”Pola Pembelaan dalam
Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Terdakwa dalam Proses
Pemeriksaan di Pengadilan”. Jurnal Manajerial. Vol. 5, No. 2).
Sesuai dengan tugasnya sebagai Penuntut Umum maka ia juga
berkewajiban membuat surat penuntutan, menurut Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang Kejaksaan yang disebut
penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Asas-asas pokok dalam penuntutan yakni :
a. Asas oportunitas yaitu penuntut umum tidak diharuskan menuntut
seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan
suatu tindak pidana yang dapat dihukum.
b. Asas legalitas yaitu penuntut umum diwajibkan menuntut semua
orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah
commit to user
Menurut asas legalitas, penuntut umum wajib menuntut
seseorang yang didakwakan telah melakukan tindak pidana. Sedangkan
asas oportunitas, penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang
melakukan suatu tindak pidana jika menurut pertimbangannya jika
orang tersebut dituntut akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi
kepentingan umum, seseorang yang melakukan tindak pidana tidak
dapat dituntut. Penerapan asas oportunitas di negara kita berdasarkan
untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan kepentingan
pribadi.
Jaksa sebagai penuntut umum mempunyai kebijaksanaan yang
luas. Jaksa yang bisa memutuskan apa dan siapa yang akan dituntut
serta dapat merekomendasikan mengenai hukuman ringan. Dan ketika
bukti-bukti membebaskan terdakwa, jaksa memutuskan apakah akan
terus menuntut atau menghentikan kasus ini. Karena pentingnya
penuntutan pidana dan jaksa mempunyai kebijaksanaan yang luas
dalam mengejar terdakwa. Seorang jaksa berkewajiban untuk mencari
keadilan, bukan hanya memenangkan keyakinan (Melanie
D.Wilson.2008. ”Finding A Happy and Ethical Medium Between A
Prosecutor Who Believes the Defendant didn’t do it and the Boss Who
Says that He did”. Northwestern University School of Law, Vol. 103).
b. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum
Menurut Pasal 14 KUHAP, disebutkan tugas dan wewenang
Penuntut Umum, antara lain:
1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu.
2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketetentuan Pasal 10 ayat (3)
dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
commit to user
3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.
4) Membuat surat dakwaan.
5) Melimpahkan perkara ke pengadilan
6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan,
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada
sidang yang telah ditentukan. 7) Melakukan penuntutan.
8) Menutup perkara demi kepentingan hukum.
9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang
ini.
10) Melaksanakan penetapan hakim.
Kewenangan Penuntut Umum harus sesuai Peraturan
Perundang-undangan untuk menegakkan kebijakan yang ditetapkan
dalam undang-undang diberlakukan oleh legislatif. Jaksa hanyalah
menegakkan aturan yang sudah ditetapkan, ditambah kemampuan untuk
mengancam kalimat kasar dan wajib, jaksa memiliki begitu banyak
pengaruh dalam negosiasi dengan terdakwa yang mereka miliki, untuk
semua tujuan (Rachel E. Barkow.2009. “The Prosecutor as Regulatory
Agency”. Public Law and Legal Theory Reseach Journal Series.
Vol.40, No. 9).
3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan
commit to user
memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud
dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut. Pembentuk undang-undang tidak memberikan suatu penjelasan mengenai maksud dari perkataan
“strafbaar feit”, maka timbullah berbagai pendapat tentang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit”. Moeljatno mengutip pendapat dari beberapa ahli hukum asing yang menjelaskan tentang “strafbaar feit”, antara lain:
Simon menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel merumuskan
sebagai berikut stafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.
Menurut Wirjono Projodikoro, “Tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana” (Wirjono
Projodikoro.2002:55).
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana untuk tindak pidana yaitu perbuatan yang oleh suatu aturan hokum dilarang dan diancam pidana asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangannya ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuannya) sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno.2000:54).
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana di bagi menjadi 2 (dua) yaitu unsur
commit to user
Yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana adalah
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa).
b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan,dll.
d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan
menurut Pasal 340 KUHP.
e) Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
2) Unsur Obyektif
Yaitu unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana, yaitu:
a) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid
b) Kualitas dari si pelaku, misalnya: keadaan sebagai seorang
pegawai negara di dalam kejahatan” jabatan menurut Pasal
415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari
suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal
commit to user
c) Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
(Lamintang, 1997: 193-194).
Selain unsur subyektif dan unsur obyektif, menurut Moeljatno
terdapat beberapa unsur-unsur tindak pidana lain, antara lain:
a) Kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperluka pula adanya.
b) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. c) Unsur-unsur yang memberatkan pidana.
d) Sifat melawan hukumnya perbuatan.
e) Tergatung niat dari orang yang melakukan tindak pidana tersebut. (Moeljatno, 2002: 58-62).
4. Tinjauan Tentang Gratifikasi
a. Pengertian Gratifikasi
Berdasarkan kamus hukum, gratifikasi berasal dari bahasa
Belanda “Gratificatie” yang berarti hadiah uang, atau pemberian uang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gratifikasi diartikan
sebagai uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah
ditentukan (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005: 157). Black’s Law
Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification
adalah sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau
keuntungan”(http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Gratifikasi.
pdf, diakses pada tanggal 27 Februari 2011 pukul 11.04 WIB).
Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi
positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus
dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian
dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun.
commit to user
pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan
birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan.
Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu
mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan
gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik seseorang memberikan sesuatu
tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya pamrih
(http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Gratifikasi.pdf, diakses
pada tanggal 27 Februari 2011 pukul 11.04 WIB).
Menurut Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
(a). Yang nilai gratifikasi Rp 10.000.000,00 atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
(b). Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh Penuntut Umum.
Penjelasan pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
“Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tapa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut
commit to user
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik”.
b. Subyek dan Obyek Gratifikasi
1) Subyek Gratifikasi
a) Pegawai Negeri
Dalam tindak pidana korupsi untuk definisi tentang Pegawai
sangat luas tidak hanya memiliki definisi dalam UU Pokok-pokok
Kepegawaian saja. Dituangkan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 31
Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001:
Dalam ketentuan yang dimaksud Pegawai Negeri adalah
meliputi :
(a) Pegawai Negeri sebagaimana di maksud dalam
undang-undang tentang kepegawaian;
(b) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana;
(c) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi
yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah;
(d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi
yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;
(e) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau
masyarakat.
b) Penyelenggara Negara
Pasal 1 angka (1) UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, yang dimaksud dengan Penyelenggara
commit to user
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara
meliputi:
(a) Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara;
(b) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
(c) Menteri;
(d) Gubernur;
(e) Hakim;
(f) Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan
(g) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo.
No. 20 Tahun 2001 tersebut dapat disimpulkan bahwasanya Pegawai
Negeri atau Penyelenggara Negara memiliki definsi yang
sangat-sangat luas yaitu adalah Setiap Orang yang menerima gaji atau upah dari APBN, APBD, dari Korporasi yang menerima bantuan APBN, APBD, modal dan fasilitas negara atau masyarakat (http://advokatpanji.blogspot.com/diakses pada tanggal 22 Oktober
pukul 9.15 WIB).
2) Obyek Gratifikasi
Dilihat dari penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi, maka disebutkan
commit to user
perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik
atau tanpa sarana elektronik. Selain itu terdapat juga kasus-kasus
yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi yaitu:
(1) Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini
dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh
eksekutif.
(2) Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/
kelulusan. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda
bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat
bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi
(dinas pendapatan daerah), LLAJR dan masyarakat (preman).
Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan pelaporan yang
dipublikasikan ke media massa dan penindakan tegas pada
pelaku.
(3) Uang restribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan
oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas
Pendapatan Daerah.
(4) Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke
pejabat.
(5) Perjalanan wisata bagi Bupati menjelang akhir jabatan.
(6) Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena
biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat
ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai
dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat
menggunakan kotak amal.
(7) Hadiah pernikahan ke keluarga PNS yang melewati batas
commit to user
(8) Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang "dipercepat" dengan uang
tambahan.
(9) Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya
perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya
penerimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal.
(10) Pengurusan ijin yang dipersulit.
c. Unsur-Unsur Gratifikasi
Rumusan korupsi pada Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah dimana pada
peraturan perundangan sebelumnya tidak diatur secara khusus.
Unsur-unsur gratifikasi, antara lain:
a) Unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;
b) Unsur Menerima Gratifikasi;
c) Unsur yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya;
d) Unsur penerimaan Gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK
dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya Gratifikasi (alasan
peniadaan pidana/menghilangkan sifat melawan hukumnya).
d. Batasan Gratifikasi
Batasan Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B ayat (1) yaitu:
a) Yang nilai gratifikasi Rp 10.000.000,00 atau lebih, pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi.
b) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh Penuntut Umum.
Ketentuan tersebut tidak berlaku jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya pada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Dan penyampaian paling lambat 30 hari sejak diterima
commit to user
5. Tinjauan Tentang Putusan Hakim
a. Dasar Penjatuhan Putusan Hakim
Pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakukan setelah
masing-masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau
pertimbangan serta keyakinan atas suatu perkara lalu dilakukan
musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis berusaha agar diperoleh
permufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2) KUHAP). Jika permufakatan
bulat tidak diperoleh, putusan diambil dengan suara terbanyak.
Adakalanya para hakim berbeda pendapat atau pertimbangan sehingga
suara terbanyak pun tidak dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi
maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling
menguntungkan terdakwa (Pasal 182 ayat (6) KUHAP).
b.Teori Pemidanaan
1) Teori Absolut
Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena
seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindakan pidana
(qui peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya
atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Menurut Johanes Andreas tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolute adalah “untuk memuaskan tuntutan
keadilan”. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat
dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant dalam bukunya
Philosophy of Law sebagai berikut:
“…Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana
untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu
commit to user
dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan
suatu kejahatan. Walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat
untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan
masyarakatnya), pembunuh terakhir yang masih berada di dalam
penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan
pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini dilakukan karena
setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan
perasaan balas dendamyang tidak dibolehkan tetap ada pada
anggota masyarakat, sebab apabila tidak demikian mereka dapat
dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam
pembunuhan yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan
umum”. Jadi, pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai
tujuan melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid).
2) Teori Relatif
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan
tuntutan absolute dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak
mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi
kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, J. Andeanaes
berpendapat teori ini disebut “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence).
Menurut Nigel Walker teoriini lebih tepat disebut teori atau
aliran reduktif (the “reductive” point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah mengurangi frekuensi
kejahatan. Pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan
atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak
pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh