• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Evaluasi Kepatuhan Minum Obat Antipsikotik Oral Pasien Skizofrenia Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah X.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAHULUAN Evaluasi Kepatuhan Minum Obat Antipsikotik Oral Pasien Skizofrenia Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah X."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi atau waham), efek tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berpikir abstrak) serta mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat et al., 2011). Tanda skizofrenia atau split mind adalah terbelahnya hubungan normal antara persepsi, mood, pikiran, perilaku, dan kontak dengan kenyataan (Katona et al., 2008). Prevalensi skizofrenia yang ada di dunia sebesar 26,3 juta orang (WHO, 2008). Sebanyak 90% pasien yang mengalami episode psikotik yang pertama akan sembuh dalam waktu 1 tahun, tetapi sekitar 80% akan mengalami episode berikutnya dalam 5 tahun (Katona et al., 2008) . Prevalensi skizofrenia di Indonesia 1,7 per mil dan di provinsi Jawa Tengah sebesar 2,3 per mil (Riskesdas, 2013). Penelitian Katona et al. (2008) menyebutkan bahwa 75% pasien akan menghentikan pengobatannya dalam waktu 18 bulan pertama, dan pasien yang menghentikan pengobatan antipsikotik tersebut memiliki peluang 5 kali lebih besar untuk kambuh (Katona et al., 2008).

(2)

kompleksitas regimen, dan hubungan keluarga dengan lingkungan sosial (Fenton et al., 1997).

Penghentian obat antipsikotik setelah episode psikotik menunjukan bahwa terjadi risiko kekambuhan. Beberapa pedoman nasional tentang skizofrenia merekomendasikan penggunaan obat antipsikotik terus-menerus setelah episode psikotik untuk meminimalkan kekambuhan (Pikalov et al., 2014). Oleh karena itu, kepatuhan minum obat dan konsistensi dalam minum obat sangat perlu diperhatikan (Barkhof et al., 2012). Hal inilah yang mendasari perlunya dilakukan penelitian kepatuhan minum obat antipsikotik pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan. Penelitian ini dilakukan di RSJD Surakarta karena prevalensi skizofrenia yang tinggi di provinsi Jawa Tengah (Rikesdas, 2013). Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kepatuhan minum obat antipsikotik oral pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu :

1. Seberapa besar tingkat kepatuhan minum obat antipsikotik oral pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD Surakarta?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat antipsikotik oral pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengukur tingkat kepatuhan minum obat antipsikotik oral pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan RSJD Surakarta.

(3)

D. Tinjauan Pustaka

1. Skizofrenia

a. Definisi

Menurut Keliat et al. (2011) penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi atau waham), efek tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berpikir abstrak) serta mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari merupakan beberapa tanda yang dapat terjadi pada penderita skizofrenia. Menurut Katona et al. (2008) tanda dari skizofrenia atau split mind adalah terbelahnya hubungan normal antara persepsi, mood, pikiran, perilaku, dan kontak dengan kenyataan. Ardani dan Ardi (2013) menyatakan bahwa skizofrenia merupakan gangguan yang ditandai dengan disorganisasi kepribadian yang cukup parah, distorsi realita dan ketidakmampuan berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari. Seseorang yang mengalami skizofrenia biasanya pikirannya tidak teratur, dan mungkin mengalami delusi atau halusinasi pendengaran. Karakeristik skizofrenia menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th Edition (DSM-IV) adalah delusi, halusinasi, bicara yang tidak terkontrol, perubahan perilaku yang signifikan dan simptom negatif (Tandon et al., 2013). Menurut Ingram et al. (1995) dalam kasus yang berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Penyakit ini bersifat kronis dan sesekali terjadi serangan. Pada penyakit skizofrenia jarang dapat terjadi pemulihan sempurna dengan spontan (Ingram et al., 1995).

b. Jenis-jenis Skizofrenia

Ardani dan Ardi (2013) menyatakan bahwa jenis-jenis skizofrenia ada berbagai jenis yaitu :

1) Skizofrenia Hebephrenic

(4)

2) Skizofrenia Catatonic

Skizofrenia catatonic memiliki gejala seperti :

a) Anggota badannya sering berlama-lama pada kondisi yang sama disebabkan urat-uratnya kaku dan beku (chorea-flexibility) yang terjadi secara tidak sadar. b) Terjadi gerak-gerak otomatis dengan tingkah laku aneh tanpa disadari.

c) Penderita merasa terbius disertai delusi-delusi kematian tanpa respon sama sekali terhadap lingkungan, disebut juga tingkah laku stereotips.

d) Kadang-kadang disertai sikap meledak-ledak dan ribut tanpa sebab atau catatonic excitement (Ardani and Ardi, 2013).

3) Skizofrenia Paranoid

Skizofrenia paranoid yang paling rentan terhadap terjadinya delusi, baik berupa delusi positif atau negatif, gejala-gejalanya meliputi :

a) Pasien seringkali merasa diancam, diamati, diikuti, disakiti, bahkan hendak dibunuh (jenis persecutory).

b) Jenis grandiose yaitu penderita sering merasa bahwa penderita adalah orang hebat dan berbakat.

c) Penderita sering merasa terobsesi dan mencintai mendalam pada seseorang diluar batas kewajaran (jenis erotomatic).

d) Penderita merasa dihinggapi sesuatu atau penyakit parah yang sebenarnya tidak ada (jenis somatic).

e) Jenis pencemburu yaitu penderita sering merasa cemburu yang berlebihan tanpa alasan yang logis (Ardani and Ardi, 2013).

4) Skizofrenia Simplex

Skizofrenia simplex sering terjadi pada masa pubertas dengan gejala yaitu kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan disertai dengan gangguan berpikir, sering terjadi perilaku-perilaku tidak bermakna, tidak ada minat, tanpa tujuan hidup dan penarikan diri secara sosial (Ardani and Ardi, 2013).

c. Terapi Penatalaksanaan 1) Farmakoterapi

(5)

pemberian antispikotik tunggal. Antipsikotik Generasi Kedua (AGK) merupakan pilihan pertama untuk kondisi ini. Pasien pada episode pertama psikosis biasanya membutuhkan dosis antipsikotik yang lebih rendah dan harus dimonitoring kejadian efek samping. Tahap 2 diberikan kepada pasien dengan sakit kronis jika pengobatan pada tahap pertama tidak berespon maka diberikan pengobatan tunggal dengan Antipsikotik Generasi Kedua (AGK) atau Antipsikotik Generasi Pertama (AGP) namun selain antipsikotik yang diberikan pada pengobatan tahap 1.

Apabila pengobatan tahap 2 tidak ada respon maka diberikan clozapin sebagai pengobatan tahap 3. Clozapin memiliki efek besar untuk penurunan keinginan bunuh diri sehingga merupakan pilihan pertama untuk pasien dengan kecenderungan ingin bunuh diri, riwayat kekerasan dan penyalahgunaan obat. Tahap 4 diberikan terapi Clozapin dikombinasi dengan AGK atau AGP atau dengan Electroconvulsive therapy (ECT), terapi ini diberikan apabila pengobatan tahap 3 tidak terjadi perbaikan kondisi pasien. Terapi untuk tahap 5 yang tidak merespon dari terapi kombinasi tahap 4 kembali diberikan AGK atau AGP selain yang diberikan pada tahap 1 dan 2 (Dipiro et al., 2008).

(6)
[image:6.612.131.497.85.464.2]

Gambar 1. Algoritma pengobatan pasien skizofrenia (Dipiro et al., 2008)

Setelah terapi pada episode pertama psikosis selanjutnya diberikan terapi pemeliharaan. Obat harus tetap diberikan minimal 12 bulan setelah remisi. Pasien skizofrenia mendapatkan terapi pengobatan setidaknya selama 5 tahun. Pada pasien yang menderita sakit kronis sebaiknya pengobatan diberikan seumur hidup untuk mencegah kekambuhan. Penghentian pengobatan antipiskotik harus diturunkan secara perlahan untuk menghindari cholinergic rebound. Penggantian antipsikotik lain dilakukan dengan memberikan antipsikotik kedua dengan cara menghentikan antipsikotik pertama setelah 1-2 minggu pemberian antipsikotik kedua dilakukan penurunan dosis perlahan dan penghentian antipsikotik pertama (Dipiro et al., 2008).

Tahap 1

Pemberian AGK tunggal

Tahap 2

Pemberian AGK atau AGP kecuali yang dipakai pada tahap pertama

Tahap 3 CLOZAPIN

Tahap 4 CLOZAPIN

+

AGP, AGK, atau ECT

Tahap 5

Coba terapi dengan agen tunggal AGP atau AGK (selain yang diberikan pada tahap 1, 2)

Tahap 6

(7)

Pada penderita skizofrenia menahun diberikan neuroleptik dosis efektif rendah dan dosis efektif tinggi diberikan kepada penderita dengan psikomotorik yang meningkat. Untuk pasien menahun diberikan neuroleptik dalam jangka waktu yang lamanya tidak ditentukan dan dosis naik-turun sesuai kondisi pasien. Hasil lebih baik didapatkan bila neuroleptik diberikan pada dua tahun pertama dari penyakit. Pada penderita skizofrenia paranoid diberikan Trifluoperazin. Phenothiazine diberikan untuk skizofrenia dengan waham dan halusinasi biasanya hilang dalam waktu 2-3 minggu. Sesudah semua gejala menghilang maka dosis dipertahankan beberapa bulan untuk serangan yang baru pertama kali muncul. Jika serangan sudah lebih dari satu kali maka sesudah gejala mereda obat diberikan terus selama satu atau dua tahun (Maramis, 2004).

Pemberian neuroleptik digunakan untuk menjernihkan pikiran pasien, menghilangkan delusi dan halusinasi. Terapi dengan obat tidak boleh inkonsisten atau penghentian obat secara mendadak karena dapat memperparah kondisi pasien (Pieter et al., 2011).

2) Non farmakoterapi a) Pengobatan psikososial

(8)

b) Terapi elektrokonvulsi

Terapi elektrokonvulsi dapat digunakan untuk memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan pasien, tetapi serangan ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang. Kelebihan dari terapi ini adalah lebih mudah diberikan, dapat dilakukan dalam ambulan, bahaya lebih kecil, lebih murah, dan tidak memerlukan tenaga yang khusus. Terapi ini mendapat hasil yang efektif pada skizofrenia jenis katatonik terutama stupor. Terapi elektrokonvulsi pada skizofrenia jenis simplex didapatkan hasil yang mengecewakan, kadang-kadang dapat menyebabkan gejala memburuk (Keliat et al., 2011).

2. Antipsikotik

Obat antipsikosik juga dikenal sebagai neuroleptik. Obat antipsikotik pada umumnya membuat tenang tanpa mempengaruhi kesadaran dan tanpa menyebabkan efek kegembiraan paradoksikal (paradoxical excitement) namun tidak dapat dianggap sebagai transkuiliser saja. Penggunaan jangka pendek digunakan untuk menenangkan pasien yang mengganggu apapun psikopatologi yang mendasarinya, bisa dikarenakan skizofrenia, kerusakan otak, atau depresi teragitasi. Obat antipsikotik digunakan untuk meredakan ansietas berat tetapi hanya untuk penggunaan jangka pendek. Obat antipsikotik meringankan gejala psikotik florid (florid psychotic symptoms) seperti gangguan berfikir, halusinasi, dan delusi serta mencegah kekambuhan (Keliat et al., 2011).

Menurut Irwan et al. (2008) terdapat 3 kategori obat antipsikotik yaitu: a. Antipsikotik konvensional atau dengan nama lain first-generation

antipsychotics. Golongan ini meliputi Haloperidol, Klorpromazin, Thioridazin, Trifluoperazin, Thiotiksen, Perfenazin, dan Fluphenazin.

b. Newer Atypical atau disebut juga antipsikotik generasi kedua. Golongan ini antara lain Risperidon, Kuetiapin, dan Olanzapin.

c. Clozaril.

(9)

3. Kepatuhan Minum Obat

a. Pengertian

Kepatuhan adalah ketaatan pasien menjalankan ketentuan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Keterlibatan pasien sangat diperlukan dalam penyembuhan dirinya baik melalui kepatuhan atas instruksi yang diberikan untuk terapi maupun anjuran lain dalam mendukung terapi (Niven, 2002).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Depkes (2007) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien meliputi :

1) Faktor Penyakit

Faktor penyakit ini terdapat penyebab ketidakpatuhan dikarenakan keparahan atau stadium penyakit seperti pasien sudah merasa sembuh dan tidak mau minum obat kembali. Hubungan lamanya terapi dengan lamanya pengobatan menyebabkan penurunan tingkat kepatuhan pasien dalam pengobatan (Depkes, 2007).

2) Faktor Terapi

Faktor terapi meliputi regimen pengobatan yang kompleks baik jumlah maupun frekuensinya, kesulitan dalam penggunaan, efek samping yang ditimbulkan mengganggu, dan jadwal kegiatan sehari-hari yang tidak sesuai dengan jadwal minum obat (Depkes, 2007).

3) Faktor Pasien

Pasien belum memahami mengenai keparahan penyakit jika tidak diobati, menganggap pengobatan tidak efektif, kurang motivasi untuk sembuh, kepribadian pasien, dukungan lingkungan/keluarga, dan sosio-demografi pasien (Depkes, 2007).

4) Faktor Komunikasi

(10)

c. Penghitungan Obat (Pill Count)

Masalah ketidakpatuhan tidak mudah untuk dideteksi dan dikuantifikasi karena setiap metode dapat menghasilkan hasil yang berbeda dengan metode yang lain (Masand et al., 2009). Metode pill count merupakan salah satu metode tidak langsung yang digunakan untuk menilai kepatuhan pasien dalam minum obat. Metode ini dilakukan dengan cara menghitung sisa obat pasien yang didapatkan selama terapi pada periode waktu tertentu. Pill count memiliki kelebihan yaitu bersifat obyektif, kuantitatif dan mudah dilakukan. Kelemahan dari metode pill count yaitu pasien dapat melakukan pengubahan data dengan mudah (Lars Osterberg and Terrence Blaschke, 2005). Menurut Jasti et al. (2005), perhitungan pill count dilakukan dengan cara menghitung obat sisa untuk menilai persentase kepatuhan :

% Kepatuhan =

F. Keterangan Empiris

Gambar

Gambar 1. Algoritma pengobatan pasien skizofrenia (Dipiro et al., 2008)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan dengan menganalisis data rekam medis pasien dan berdasarkan kebijakan rumah sakit hanya diperbolehkan untuk mengambil sampel sebanyak 3 bulan yaitu

Menambah wawasan tentang dukungan keluarga terhadap kepatuhan mengkonsumsi obat antipsikotik pada pasien yang mengalami gangguan jiwa di poli rawat jalan Rumah

Penelitian menyimpulkan bahwa: (1) dukungan keluarga dalam mengkonsumsi obat antipsikotik adalah cukup (66%), (2) kepatuhan mengkonsumsi obat antipsikotik adalah cukup patuh

Berdasarkan penelitian ditemukan dari 88 pasien skizofrenia rawat jalan yang berpotensi mengalami interaksi obat adalah sebanyak 74 pasien (85,09%). Golongan obat antipsikotik

Populasi dalam penelitian ini adalah semua data rekam medik pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi antipsikotik di Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.. Sampel dalam

Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Daerah Provinsi Sumatera Utara.Skripsi.. Medan: Fakultas

Efek samping obat kombinasi antipsikotik generasi kedua (AGK-AGK) yang terjadi pada pasien rawat inap skizofrenia RSJ Sambang Lihum Kalimantan Selatan periode Februari 20161. No

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat kepatuhan pasien rawat jalan skizofrenia dan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pasien