• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENJUALAN PAKAIAN BEKAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENJUALAN PAKAIAN BEKAS"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

PENJUALAN PAKAIAN BEKAS

(Studi Deskriptif: Penjualan Pakaian Bekas Sebagai Bidang Sosial Semi-Otonom di Pasar Simpang Melati Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam bidang Antropologi

Disusun oleh Lelyta A.Girsang

040905034

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009

(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 13

1.3 Lokasi Penelitian ... 14

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.5 Tinjauan Pustaka ... 15

1.6 Metode Penelitian ... 28

1.6.1 Sifat Penelitian ... 28

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data ... 29

1.7 Analisa Data ... 31

1.8 Rangkaian Pengalaman Penelitian ... 31

BAB II GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ... 34

2.1 Letak dan Lokasi Pasar Simpang Melati ... 34

2.2 Lokasi dan Keadaan Alam Kelurahan Tanjung Selamat ... 35

2.2.1 Lokasi dan Batas-Batas Wilayah ... 35

2.2.2 Keadaan Alam ... 36

2.3 Gambaran Penduduk Desa Kelurahan Tanjung Selamat ... 38

2.3.1 Keadaan Penduduk... 38

2.3.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 40

2.3.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pencaharian Pokok ... 40

BAB III GAMBARAN UMUM PENJUALAN PAKAIAN BEKAS DI PASAR SIMPANG MELATI ... 42

3.1 Pengertian Pasar ... 42

3.2 Sejarah Nama Pasar Simpang Melati ... 45

3.3 Asal-Usul Pakaian Bekas di Pasar Simpang Melati ... 46

3.4 Asal-Usul Kepemilikan Tempat Berjualan Pakaian Bekas ... 50

3.5 Kontribusi Penjualan Pakaian Bekas Bagi Aktor-Aktor Yang Terlibat ... 51

3.6 Keberadaan Penjualan Pakaian Bekas ... 57

(3)

3.8 Asal Mula Kedatangan Bal-Bal Pakaian Bekas ... 62

3.9 Transaksi Penjualan Pakaian Bekas ... 66

3.9.1 Penjualan Bal ataupun Gombal ... 71

3.9.2 Penjualan Secara Menarget ... 74

3.9.3 Penjualan Secara Memilih ... 75

3.9.4 Penjualan Secara Borongan ... 75

3.10 Peranan dari Aktor-aktor yang Terlibat ... 78

3.10.1 Toke ... 78

3.10.2 Penjual-Penjual ... 84

3.10.3 Pemilik Kios/Lapak ... 84

3.10.4 Penjaga Gudang ... 86

3.10.5 Penjaga Keamanan dan Penjaga Kebersihan ... 87

3.11 Peran dari Patung, Body dan Hanger dalam Penjualan Pakaian Bekas ... 90

3.12 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Penjualan Pakaian Bekas ... 90

3.13 Keuntungan Toke dan penjual dalam berjualan pakaian bekas ... 97

3.14 Jenis Pakaian Bekas yang dijual ... 105

3.15 Jaringan Penjualan Pakaian Bekas ... 107

BAB IV PENJUALAN PAKAIAN BEKAS SEBAGAI BIDANG SOSIAL SEMI-OTONOM DI PASAR SIMPANG MELATI ... 112

4.1 Bidang Sosial Semi-Otonom dalam Penjualan Pakaian Bekas ... 112

4.2 Pengaturan Sendiri dengan Aktor-Aktor Yang Terlibat ... 113

4.3 Munculnya Pengaturan Sendiri ... 114

4.4 Sebutan Tuan Takur Untuk Pemilik Lapak/Kios ... 115

4.5 Aturan-Aturan yang Ditetapkan oleh Pemilik Lapak/Kios ... 117

4.5.1 Uang Hangus ... 117

4.5.2 Kutipan Sekali Pekan ... 118

4.6. Aturan yang Ditetapkan Toke Kepada Penjual ... 120

4.6.1 Adanya Cicilan yang diberikan Toke Kepada Penjual ... 120

4.6.2 Adanya Pembagian Tipe-Tipe Pakaian Bekas ... 121

4.7 Aturan yang ditetapkan oleh Penjaga Gudang, Petugas Keamanan dan Kebersihan Kepada Toke dan Penjual-Penjual Selaku Penyewa Kios ... 125

4.8 Hubungan Antara Aktor-Aktor yang Terlibat ... 128

4.8.1 Hubungan Antara Toke dengan Penjual-Penjual ... 128 4.8.2 Hubungan Antara Toke dan Penjual-

(4)

Penjual Kepada Pemilik Lapak/Kios ... 129

4.8.3 Hubungan Antara Toke dan Penjual- Penjual Selaku Penyewa Kios dengan Penjaga Gudang, Petugas Keamanan dan Kebersihan ... 130

4.9 Hak dan Kewajiban Aktor-Aktor yang Terlibat ... 132

4.10 Sisi Kehidupan Penjual Pakaian Bekas di Pasar Simpang Melati ... 134

4.10.1 Sisi Kehidupan Seorang Ibu Penjual Pakaian Bekas Penjual Pakaian Bekas ... 134

4.11 Bentuk Interaksi Dalam Pasar ... 139

4.11.1 Kerja sama ... 139

4.11.2 Persaingan ... 144

4.11.3 Pertentangan ... 146

BAB V PENUTUP... 149

A. Kesimpulan ... 149

B. Saran ... 153

DAFTAR PUSTAKA ………..154 DAFTAR INFORMAN

INTERVIEW GUIDE PETA

SURAT PENELITIAN

(5)

Abstrak

Lelyta Anglina Girsang 2009, Judul:Penjualan Pakaian Bekas (Study Deskriptif:Penjualan Pakaian Bekas Sebagai Bidang Sosial Semi-Otonom di Pasar Simpang Melati, Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan).

Skripsi ini terdiri dari 5 Bab 153Halaman 18 Tabel dan 18 Daftar Pustaka.

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana Penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi otonom di Pasar Simpang Melati yang dikaji melalui pendekatan Antropologi Hukum. Hal yang dikaji adalah mendeskripsikan siapa-siapa saja aktor- aktor yang terlibat, menjelaskan bagaimana kesepakatan-kesepakatan dan aturan-aturan yang dibuat oleh aktor-aktor yang terlibat sehingga menimbulkan jaringan dalam penjualan pakaian bekas di pasar Simpang Melati Kecamatan Medan Tuntungan Kelurahan Tanjung Selamat dan Mendeskripsikan hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh aktor-aktor yang terlibat dalam penjualan pakaian bekas sehingga masih tetap eksis (bertahan) sampai saat ini di Pasar Simpang Melati.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat mendeskripsikan.

Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa adanya aturan-aturan yang dibuat dan disepakati bersama serta hanya dipahami oleh aktor-aktor yang terlibat dalam penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk memasuki aturan-aturan yang ada dalam penjualan pakaian bekas adalah melaui Undang- Undang.

Kesimpulan penelitian ini adalah adanya pluralisme hukum dalam penjualan pakaian bekas dan hukum yang berlaku dalam penjualan pakaian bekas adalah aturan- aturan dan norma-norma yang berasal dari actor-aktor yang terlibat yang berjualan pakaian bekas. Aturan-aturan dan norma-norma ini disebut dengan pengaturan sendiri.

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Dalam usaha memenuhi kebutuhan, salah satu kegiatan memerlukan adanya pasar sebagai sarana pendukungnya. Kegiatan di pasar berarti melibatkan masyarakat baik selaku pembeli maupun penjual yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Oleh sebab itu pasar sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat, terutama pada masyarakat pedesaan. Keberadaan pasar pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat agar bisa memenuhi berbagai keinginan yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup sehari-hari. Tetapi pada perkembangan sekarang ini pasar tidak hanya terlihat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (keperluan akan makanan dan pakaian), namun juga menawarkan benda-benda lain disamping kebutuhan pokok tersebut. Dikarenakan pentingnya pasar, maka kini hampir setiap kelompok masyarakat bahkan di desa terpencil sekalipun memiliki pasar. Pasar yang merupakan tempat bertemunya para penjual dan pembeli dari berbagai lapisan masyarakat itu akhirnya berperan sebagai arena sosial. Pasar sebagai tempat pertemuan antara masyarakat yang berbeda-beda itu dapat juga diartikan sebagai pintu gerbang yang menghubungkan dengan dunia luar, sehingga dapat menimbulkan terjadinya pertautan kebudayaan yang berlainan dari kebudayaan setempat yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan didalam kehidupan suatu masyarakat. Interaksi yang terjadi di pasar dipengaruhi pula oleh pengetahuan setiap individu atau kelompok masyarakat, sedangkan pengetahuan kebudayaan merupakan kompleks, ide, nilai-nilai, serta gagasan

(7)

utama yang menjadi sumber dan tolak ukur bagi setiap individu dalam bertingkah laku (Koentjaraningrat, 1981:180).

Belshaw dalam Frans Seda (1981:10) menyebutkan pasar adalah tempat pembeli dan penjual untuk mengadakan transaksi/tukar-menukar, adapun yang ditukar adalah barang. Barang adalah alat pemuas kebutuhan yang berwujud. Tukar-menukar barang di pasar dapat dipandang dari : 1) sifat interaksi antara penjual dan pembeli:

apakah tanpa pandang bulu atau tidak dan, 2) sistematisasi dari nilai tukar (yaitu harga- harga) sehingga dapat kita lihat apa dan bagaimana nilai-nilai tersebut saling mempengaruhi. Pasar dapat pula diartikan sebagai pusat pertemuan dari masyarakat pedesaan yang berada disekitarnya. Interaksi sesama warga masyarakat pedesaan di pasar tersebut diikuti pula dengan tukar-menukar benda-benda hasil produksi bahkan pertukaran informasi tentang berbagai pengalaman diantara sesama mereka. Pada masa dahulu di pasar terjadi transaksi antara para petani dengan cara “barter” (pertukaran barang dengan barang) dimana para pedagang atau pembeli berasal dari desa disekitar pasar (pekan). Akan tetapi pasar semakin berkembang dan pertukaran barang atau barter sudah mulai pudar dengan hadirnya uang sebagai alat pembayaran yang sah.

Harga ditetapkan dengan tawar-menawar1

1 Ibid Menurut Belshaw dalam Frans Seda (1981:75-79)

, dimana kelangkaan barang tentu mempengaruhi posisi pembeli dan penjual. Pengetahuan mengenai kekuatan yang sedang berjalan di pasar, diteruskan dari mulut ke mulut sehingga tersebar menjadi berita. Begitu pula pengetahuan tentang perbandingan transaksi-transaksi di pasar, penyesuaian para pembeli dan penjual dengan kekuatan yang ada. Di pasar umumnya para pedagang mencari untung, terutama mencari kemungkinan untuk membeli dengan murah dan menjual dengan mahal. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan membeli dari produsen dan

(8)

menjual kepada konsumen, dan mengusahakan persediaan terus-menerus sehingga konsumen mendapat kepastian sebelumnya bahwa dia akan mendapat apa yang dikehendakinya. Laba tidak boleh terlalu tinggi, mengingat adanya kemungkinan bahwa produsen menjual langsung kepada konsumen. Karena keuntungan memang sengaja dibuat rendah, maka begitu pula modal yang dikumpulkan.

Bagi barang-barang yang terdapat di pasar dan masuk ke toko harga-harga ditentukan tanpa tawar-menawar, dengan demikian sudah ada label harga yang tertera pada barang tersebut sehingga tidak ada kesepakatan-kesepakatan khusus ataupun aturan- aturan khusus yang disepakati antara penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli di pasar. Biasanya barang yang sudah masuk toko tersebut adalah barang-barang baru yang bermerk dan Berkualitas seperti pakaian baru.

Berbeda halnya dengan penjualan pakaian bekas yang dijual secara eceran di pasar maka harga ditentukan secara tawar-menawar. Dimana label harganya tidak diletakkan pada bajunya dan disaat penjualan lebih memungkinkan terjadinya tawar- menawar dan harganya dapat berubah-ubah sewaktu-waktu sesuai dengan keinginan si penjual ataupun si pembeli. Hal ini telah mengaktifkan hubungan yang lebih mempribadi (personal) dan ikatan emosional yang ada diantara penjual dan pembeli pada saat melakukan transaksi penjualan pakaian bekas.

Di Negara Amerika Utara ada kebangkitan pasar loak (flea-market), dimana setiap orang dengan sedikit imbalan dapat memamerkan dan menjual kerajinan tangan, barang-barang bekas, hasil pertanian, dan lukisan-lukisan. Di pasar loak ini ada gairah untuk mencari barang-barang murah dan ada kesempatan untuk tawar-menawar (Haviland 1985:62).

(9)

Di Propinsi Sumatera Utara juga ada pasar loak seperti yang ada di Negara Amerika Utara, namun tempat ini merupakan khusus grosir yang menjual pakaian–

pakaian bekas dari Negara-negara luar. Negara-negara luar tersebut seperti dari Jepang, Italia, Thailand, Korea, Amerika, Singapura, dan Eropa. Tempat ini bernama Tanjung Balai yang berasal dari deretan rumah toko (ruko) di sepanjang jalan Jamin Ginting, Terminal Baru, Kecamatan Datuk Bandar. Tempat ini dikenal dengan sebutan Monza, yang memiliki luas 6,052 ha dan namanya sempat menggaung seantaro negeri sebagai kota perdagangan. Tempat ini sudah berusia 386 tahun dan dikenal sebagai salah satu kota rawan penyelundupan barang termasuk didalamnya juga pakaian bekas. Bulan Juli 2006 tempat ini sudah ditutup, seiring operasi yang digelar polisi dalam memberantas penyelundupan termasuk larangan masuk pakaian bekas asal Negara luar2

Di Kota Medan penjualan pakaian bekas awalnya di jajakan di sepanjang jalan Mongonsidi. Masyarakat menyebut penjualan pakaian bekas itu dengan istilah monza, singkatan dari Mongonsidi Plaza untuk menjuluki kawasan perbelanjaan jalan Mongonsidi. Adapun istilah lain dari Monza seperti pakaian Rozer dan Burger. Rozer artinya robek-robek jerman, sedangkan Burger artinya buruk-buruk jerman. Pada tahun 1980-an merupakan zaman keemasan monza, diaman pada saat itu sering ditemukan merk-merk busana berkelas seperti “Arrow, Crochodille, Bosnia dan Louis Vuitton”

.

3

2 Sumber Elektronik: 30 juli 2006, “Dampak Operasi di Kota Penyelundupan”

http=//www.suarapembaruan.com/news/2006/07/30/hokum/hk03.htm

3 Sumber Elektronik: 30 Januari 2008, “Belanja Monza Yuk”

http=//tonggo.wordpress.com/2008/01/30/Belanja-Monza-Yuk.

. Di Kota Medan tersebar beberapa pasar yang menjual impor pakaian bekas diantaranya: di pusat pasar sambu, Pasar sore Padang Bulan, Pasar Pringgan, Pasar Simalingkar, Pasar

(10)

Bengkok sepanjang jalan pancing, Pasar Sei-kambing Helvetia, Pasar Petisah dan Pasar Simpang Melati.

Salah satu pusat penjualan pakaian bekas di kota Medan yang cukup ramai dikunjungi pembeli, ditemukan di Pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan. Penjualan pakaian bekas ini dilakukan oleh banyak penjual, pengecer dan bahkan ada juga yang berstatus sebagai toke di deretan kios-kios kecil yang berdindingkan kayu, beratapkan tenda plastik, dan beralaskan tanah. Penjualan pakaian bekas ini melibatkan beberapa aktor-aktor diantaranya: toke, Calo, Penjual- penjual, Pengecer, Pemilik kios/Lapak, Penjaga Gudang, Penjaga Keamanan dan Kebersihan.

Penjualan pakaian bekas dianggap oleh sebagian orang menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Harga pakaian bekas yang dijual relatif murah dengan kualitas yang sangat bagus membuatnya laku di pasaran. Usaha ini memiliki dampak positif, terutama bagi pengusaha kecil dan menengah dan tidak dapat dipungkiri keberadaannya menyebabkan usaha tekstil lokal menjadi terganggu4

4 Sumber Elektronik:10 April 2003, ”Pakaian Bekas Impor Hancurkan TPT Lokal”

http=//www.balipost.com/balipostcetak/2003/04/10/e5.htm

. Hal ini dikarenakan impor pakaian bekas diperkirakan telah menyebabkan sekitar 600 ribu tenaga kerja Indonesia di industri tekstil dan garmen terancam kehilangan mata pencaharian. Padahal, industri tekstil dan garmen di Indonesia telah mampu memproduksi pakaian dengan harga yang lebih murah dari harga impor pakaian bekas. Pakaian bekas impor itu tidak seluruhnya bekas pakai, karena ada sebagian diantaranya yang merupakan pakaian dari gerai ritel yang sudah

(11)

ketinggalan mode setelah tidak laku dijual, walaupun dengan potongan harga yang cukup besar5

1) Polda Sumut mengamankan sebuah truk dengan nomor polisi BK 8073 VK yang datang dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan membawa 139 bal pakaian bekas eks luar negeri yang diduga diselundupkan ke Indonesia. Truk itu ditangkap di Langkat pada 14 September 2008 oleh tim Direktorat Reskrim Polda Sumut yang sedang bertugas di daerah itu, kata Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol .

Larangan impor pakaian bekas termasuk pakaian bekas sudah diberlakukan sejak 18 januari 1982 oleh Mentri Perdagangan dan Koperasi. Larangan (Radius Prawiro), kemudian dipertegas lagi oleh Mentri perindustrian dan Perdagangan (Rini Suwandi) dengan mengeluarkan SK no 642/MPP/Kep/9/2002, tanggal 23 september 2002 tentang larangan impor gombal. Impor gombal ataupun kain perca (berupa potongan kain untuk pengisi jok mebel atau jok mobil) yang semula diizinkan untuk diimpor. Dengan SK 642 tersebut impor kain perca tidak diperbolehkan lagi untuk diimpor mengingat didalam negeri sendiri banyak tersedia gombal. Larangan impor gombal sendiri tidak menimbulkan protes dari para perajin jok mobil dan mebel. Izin impor gombal yang berlaku selama ini disalahgunakan untuk mengimpor pakaian bekas sehingga terkesan pemerintah selama ini memperbolehkan impor pakaian bekas (Harian Media industri dan Perdagangan hal 19 yang berjudul “Pemusnahan Barang Bekas Impor illegal”.tanggal 25 februari 2003).

Usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menindak-lanjuti penjualan bal-bal pakaian bekas diantaranya:

5 Sumber AElektronik: 06 Mei 2003, “Peran Produsen TPT di balik Perdagangan Pakaian Bekas”, http=//www.bisnis.com/servlet?pageid=268&dau=portal30&schema=PORTAL30&p.are

did=232971&pared.atop.id=011.

(12)

Baharudin Djafar di Medan, Rabu [08/10]. Dalam pemeriksaan selanjutnya, DM dan YS mengaku 139 bal pakaian bekas tersebut berasal dari Peurlak, Aceh Timur, NAD, milik seorang pengusaha berinisial BU, penduduk Desa Cut Uno Kecamatan Jeumpa, Bireun, NAD. Kedua tersangka masih menjalani pemeriksaan secara intensif. “Kedua akan dikenakan Pasal 102 UU 10/1995 tentang Kepabeanan yang mengandung ancaman hukuman maksimal delapan tahun penjara dan/atau denda Rp500 juta.

2) Menurut harian Medan Bisnis 24 Juli 2007, Polda Sumut berhasil menyita 206 bal pakaian bekas dari dua tempat yang berbeda yakni di Perumnas Simalingkar dan Kabanjahe, Kabupaten Karo. Laporan itu ditindak lanjuti dengan ditemukan unsur pidana pelanggaran UU Kepabeanan tahun 2006 dan keputusan Memperindag tahun 2002 tentang larangan barang gombal.

3) Menurut harian Global 13 Juli 2007, Polres Langkat mengamankan 5 truk tronton bermuatan pakaian bekas selundupan asal luar negeri, kamis 13 Juli 2007 dinihari.

Kelima truk yang dating dari dua pelabuhan di Aceh Timur ini ditangkap petugas yang tengah melakukan sweeping di kawasan Jalinsum Stabat, tepatnya depan Mapolsek. Dari truk yang berisi muatan pakaian bekas, polisi mengamankan 660 bal atau 52,8 ton pakaian bekas tanpa surat-surat resmi karena melanggar UU no 10 tahun 1995 tentang kepabean dengan ancaman hukuman 8 tahun penjara.

4) Selasa 15 Mei 2007 Kanwil IV Direktorat Jendral Bea dan Cukai Departemen Keuangan berhasil menangkap 9 Kapal Motor yang menyelundupkan sebanyak 15.120 bal pakaian bekas dan 600 karung sepatu dari Malaysia di Perairan Berakit Kepulauan Riau. Penangkapan kapal-kapal tersebut dilakukan pada hari jumat 11

(13)

mei 2007pukul 06.35 wib oleh kapal patroli BC10001 yang dinakhodai Kapten Sjamsul Bahri. Ke delapan belas tersangka tersebut dinyatakan telah melanggar pasal 102 huruf a, UUNo.10 Tahun 1995 tentang kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU No17 Tahun 2006 yang menyebutkan setiap orang yang mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest maka dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun, serta dipidana denda paling sedikit Rp.50 juta dan paling tinggi Rp.5 miliar. Sementara pasal 102 B, UU N0.10Tahun 1995 tentang kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU No.17 tahun 2006 menyebutkan pelanggaran yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian Negara dan akan dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 5miliar dan paling banyak Rp 100 miliar.

5) Menurut Harian Pos Metro Asahan 15 Agustus 2008 Polres Asahan berhasil mengamankan 116 bal pakaian bekas dan satu unit mobil pick up Bk 9543vm.

Peristiwa penangkapan tersebut dilakukan berkat laporan warga. Barang-barang eks luar negeri itu berhasil diamankan petugas dari beberapa tempat berbeda.

Awalnya petugas mengamankan mobil pick up bermuatan 88 bal pakaian bekas dari rumah seorang warga di jalan williem iskandar mutiara Kisaran. Dari rumah tersebut petugas akhirnya meluncur menuju rumah Hotber (45) di desa Jabut air batu asahan, dirumah tersebut petugas mengamankan 20 bal berisi pakaian bekas.

Selanjutnya petugas mengamankan 8 bal pakaian bekas, dari rumah Warsinah (50) warga kelurahan sentang Kisaran Timur. Petugas langsung memboyong ratusan pakaian bekas tersebut ke Mapolres asahan guna pengusutan. Tersangka

(14)

Ramot saat diperiksa diruang periksa Mapolres asahan mengaku barang tersebut dibeli dengan harga sekitar Rp.300.000 hingga Rp.500.000. Barang-barang selundupan tersebut didatangkan dari Malaysia diangkut dengan kapal laut melalui perairan sungai kuala bangka tanjung pasie aek kanopan labuhan batu.

Menurut Tersangka pakaian bekas tersebut rencananya akan dijual di Tanjung Balai, Kisaran dan Siantar dengan harga Rp.1000.000 hingga Rp.1.500.000.

Menurut Kepala satuan Reserse Kriminal polres Asahan AKP Hendri Yuliantosik, tersangka di jerat pasal 102 sub 103 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang kepabeanan dengan hukuman 7 sampai 8 tahun penjara.

Berdasarkan atas usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam menindak- lanjuti penjualan pakaian bekas terlihat bahwa sebenarnya penjualan pakaian bekas sudah dilarang untuk dijual oleh pemerintah, namun aktor-aktor yang menjual pakaian bekas ini tidak mempedulikannya. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa ada hukum yang lain selain dari hukum pemerintah yang berupa aturan-aturan dan norma-norma yang berasal dari aktor-aktor yang menjual bal-bal pakaian bekas. Adanya hukum yang lain diluar hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dalam penjualan pakaian bekas menyebabkan munculnya pluralisme hukum (kemajemukan hukum).

Griffiths berpendapat bahwa pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial (Irianto dalam Ihromi 1993). Griffiths dan Hooker sama-sama mengemukakan satu unsur pokok dalam kaitannya dengan pengertian pluralisme hukum yaitu bahwa pluralisme hukum ditandai dengan adanya situsi dimana didalam masyarakat terdapat dua atau lebih sistem hukum untuk dapat dijadikan pegangan dalam menghadapi masalah-masalah masyarakat yang bersangkutan. Dalam

(15)

hal ini Griffiths memiliki gagasan mengenai “weak legal pluralism” (pluralisme hukum yang lemah) dan “strong legal pluralism” (pluralisme hukum yang kuat). Weak legal pluralism menunjukkan suatu kenyataan bahwa dari bermacam-macam sistem hukum yang berlaku pada akhirnya hukum negaralah yang paling dominan/berpengaruh. Strong legal pluralism menunjukkan suatu kenyataan bahwa sistem hukum yang paling kuat/dominan adalah norma-norma yang muncul dari kepentingan-kepentingan pribadi/kelompok berhadapan dengan kondisi sosial masyarakat yang terus berubah, selain bisa ditentukan juga oleh kebiasaan-kebiasaan kelompok/komunitas budaya dimana seorang pribadi/kelompok tumbuh dan dididik. Griffiths menambahkan bahwa aturan, adat, simbol yang diciptakan sendiri tersebut rentan terhadap aturan-aturan, keputusan-keputusan dan kekuatan dari luar yang lebih besar dan mengelilinginya.

Griffiths lebih menekankan pluralisme hukum yang diadopsinya dari Sally F.Moore yang berkaitan dengan keragaman organisasi sosial, yang mana memiliki otonomi terbatas (Irianto dalam Ihromi 1993). Sally F.Moore menyebut otonomi terbatas dengan semi outonomous social field artinya dalam satu lapangan sosial tidak ada hukum yang dominan. Suatu aturan hukum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain yang ada disekitarnya.

Pluralisme hukum yang diadopsi dari Sally F.Moore terlihat dalam penjualan pakaian bekas, dimana tidak ada hukum yang dominan dalam penjualan pakaian bekas.

Penjualan pakaian bekas merupakan bidang sosial yang semi otonom karena menghasilkan aturan-aturan, norma-norma dan kesepakatan-kesepakatan yang hanya dipahami oleh aktor-aktor yang terlibat di Pasar Simpang Melati Medan.

(16)

Adanya pluralisme hukum (kemajemukan hukum) dalam penjualan pakaian bekas di pasar Simpang Melati terlihat dari adanya lebih dari satu hukum yang berlaku bagi aktor-aktor yang terlibat. Hukum tersebut ada yang berasal dari pemerintah dan ada juga yang berasal dari aktor-aktor yang menjual bal-bal pakaian bekas. Hukum yang berasal dari pemerintah seperti dikeluarkannya larangan impor pakaian bekas oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan usaha-usaha pemerintah dalam memberikan sanksi kepada aktor-aktor yang mengirimkan bal-bal pakaian bekas untuk dijual. Hukum yang berasal dari aktor-aktor yang menjual bal-bal pakaian bekas yakni berupa norma- norma yang muncul dari kepentingan-kepentingan pribadi/kelompok berhadapan dengan kondisi sosial masyarakat yang terus berubah yang ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan kelompok/komunitas budaya dimana seorang pribadi/kelompok tumbuh dan dididik.

Seperti halnya aktor-aktor yang menjual bal-bal pakaian bekas yang memiliki aturan- aturan dan norma-norma yang mereka buat dan pahami serta mereka sebut sebagai hukum diluar daripada hukum pemerintah.

Sally F.Moore (1983) menambahkan bahwa seluruh aneka norma/aturan yang muncul dari individu/masyarakat tertentu dapat berfungsi sebagaimana halnya dengan hukum. Dalam hal ini, Moore melihat bahwa pluralisme hukum dapat terjadi karena adanya kenyataan bahwa warga suatu masyarakat sebagai individu berada dalam beberapa lapangan/arena interaksi sosial yang masing-masing memiliki normanya sendiri sehingga individu yang bersangkutan dituntut untuk mengikuti norma tersebut. Aneka jenis pengaturan yang ada dalam masyarakat tidak semuanya berstatus hukum, namun sering dihayati sebagai sesuatu yang mengikat dan tidak kalah pentingnya dengan norma hukum. Adapun aturan dari masing-masing arena sosial itu saling berpengaruh satu sama

(17)

lain dan rentan terhadap pengaruh hukum dari luar. Pengkajian Moore dilakukan terhadap bidang-bidang sosial/arena sosial yang semi otonom, yang tidak ditentukan melalui organisasinya melainkan dengan suatu ciri prosesual (yang terjadi secara berangsur), yaitu bahwa ia dapat menimbulkan aturan-aturan dan memaksakan ketaatan orang pada aturan-aturan tersebut. Banyaknya bidang sosial (social field) yang satu sama lain saling berhubungan akan membentuk suatu mata rantai yang kompleks, seperti halnya jaringan- jaringan sosial antar individu yang saling terikat menjadi jalinan yang tidak ada akhirnya.

Dalam kenyataan aturan-aturan hukum yang dibuat oleh negara sering kali gagal memasuki bidang-bidang sosial semi otonom yang sebelumnya sudah memberlakukan hubungan-hubungan sosial dan berbagai macam kewajiban yang mengikat (Moore dalam Ihromi 1993:148-181).

Berdasarkan hal diatas terlihat bahwa penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi otonom menunjukkan adanya norma-norma dan aturan-aturan sendiri dari aktor-aktor yang terlibat didalamnya (toke, penjual-penjual, pengecer, pemilik lapak, petugas kebersihan, penjaga keamanan, penjaga gudang) untuk berjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati. Norma-norma dan aturan-aturan yang dibuat oleh aktor-aktor yang terlibat dalam penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati Medan tidak berstatus hukum, namun dipahami oleh aktor-aktor yang terlibat sebagai sesuatu yang mengikat dengan norma hukum. Penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi otonom artinya bahwa dalam penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati Medan tidak ada hukum yang dominan dan suatu aturan hukum akan terpengaruh oleh hukum- hukum lain yang ada di sekitar penjualan pakaian bekas seperti norma-norma dan aturan-

(18)

aturan yang dihasilkan dan hanya dipahami bersama oleh aktor-aktor yang terlibat di Pasar Simpang Melati Medan.

Dalam proses penjualan pakaian bekas, aktor-aktor yang terlibat memiliki aturan- aturan, ataupun kesepakatan-kesepakatan khusus diantara mereka guna mendukung kelancaran penjualan pakaian bekas hingga sampai ke tangan pembeli6

Sehubungan dengan latar belakang masalah yang ada pada penelitian tersebut, perlu ditentukan perumusan masalah yang akan diteliti agar penelitian yang dilakukan menjadi terarah dan jelas tujuannya. Dalam Penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi otonom memunculkan pengaturan sendiri dengan aktor-aktor yang terlibat di pasar Simpang Melati Kecamatan Medan Tuntungan kelurahan Tanjung Selamat. Dikatakan semi-otonom karena masih ada . Adanya jaringan informal yang diantara aktor-aktor yang terlibat sehingga impor penjualan pakaian bekas ini dapat eksis (masih bertahan), walaupun telah dikeluarkannya kebijakan dari pemerintah dalam hal larangan impor pakaian bekas. Aturan-aturan dan kesepakatan- kesepakatan ini merupakan hasil hubungan timbal-balik sehingga semua aktor-aktor yang terlibat dapat saling bergantung dan bekerja sama.

Dari hal diatas saya menjadi tertarik untuk meneliti bagaimana penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi otonom dapat memunculkan pengaturan-pengaturan sendiri bagi aktor-aktor yang terlibat (toke, Calo, Penjual-penjual, Pengecer, Pemilik kios/Lapak, Penjaga Gudang, Penjaga Keamanan dan Kebersihan) di Pasar Simpang Melati, Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan.

I.2 Rumusan Masalah

6 Berdasarkan wawancara dengan seorang informana yang bernama Bapak Dolok Tambunan di Pasar Simpang Melati, Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan tanggal 17 dan 20 (selasa dan jumat 2008).

(19)

hukum-hukum yang lain seperti nilai-nilai, norma-norma, pranata-pranata, kesepakatan- kesepakatan, dan aturan-aturan yang berkaitan dengan agama, adat dan kebiasaan lain yang juga mengatur hidup dan mempengaruhi kehidupan masyarakat khususnya dalam hal penjualan pakaian bekas di pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat.

Pengaturan sendiri merupakan aturan-aturan, kesepakatan-kesepakatan, nilai-nilai, norma-norma, yang hanya dipahami oleh aktor-aktor yang terlibat di Pasar Simpang Melati kecamatan Medan Tuntungan Kelurahan Tanjung Selamat.

Mengacu dari keadaan yang telah di jelaskan diatas, maka hal-hal yang hendak dikaji dapat diuraikan dalam beberapa pertanyaan berikut :

01) Siapa-siapa sajakah aktor-aktor yang terlibat dalam penjualan pakaian bekas di pasar Simpang Melati Kecamatan Medan Tuntungan Kelurahan Tanjung Selamat?

02) Menjelaskan bagaimana kesepakatan-kesepakatan dan aturan-aturan yang dibuat oleh aktor-aktor yang terlibat sehingga menimbulkan jaringan dalam penjualan pakaian bekas di pasar Simpang Melati Kecamatan Medan Tuntungan Kelurahan Tanjung Selamat?

03) Mendeskripsikan Penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi–otonom memunculkan pengaturan sendiri yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat di pasar Simpang Melati?

04) Mendeskripsikan hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh aktor-aktor yang terlibat dalam penjualan pakaian bekas sehingga masih tetap eksis (bertahan) sampai saat ini di Pasar Simpang Melati?

(20)

1.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat penelitian dilaksanakan. Lokasi penelitian ini sangat penting dalam setiap penelitian untuk mendapatkan data yang diperlukan.

Sehingga peneliti perlu menetapkan terlebih dahulu lokasi penelitian. Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi penelitian di Pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan. Adapun penentuan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan karena lokasi ini merupakan salah satu lokasi penjualan pakaian bekas yang cukup diminati masyarakat dan masih bertahan di kota Medan, selain di Pusat Pasar Sambu, Pasar Sore Padang Bulan, Pasar Pringgan, Pasar Simaingkar, Pasar Bengkok sepanjang Jalan Pancing, Pasar Petisah dan Pasar Seikambing-Helvetia.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana bidang sosial semi-otonom melahirkan pengaturan sendiri yang melibatkan beberapa aktor-aktor dalam penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan.

Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan dapat menambah kepustakaan dalam ilmu Antropologi khususnya dalam bidang Antropologi hukum yang mendeskripsikan bidang sosial semi-otonom yang oleh Moore melahirkan pengaturan sendiri selain hukum yang dibuat oleh pemerintah.

1.5 Tinjauan Pustaka

Griffiths berpendapat bahwa pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial (Irianto dalam Ihromi 1993). Griffiths dan Hooker sama-sama mengemukakan satu unsur pokok dalam kaitannya dengan pengertian

(21)

pluralisme hukum yaitu bahwa pluralisme hukum ditandai dengan adanya situsi dimana didalam masyarakat terdapat dua atau lebih sistem hukum untuk dapat dijadikan pegangan dalam menghadapi masalah-masalah masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini Griffiths memiliki gagasan mengenai “weak legal pluralism” (pluralisme hukum yang lemah) dan “strong legal pluralism” (pluralisme hukum yang kuat). Weak legal pluralism menunjukkan suatu kenyataan bahwa dari bermacam-macam sistem hukum yang berlaku pada akhirnya hukum negaralah yang paling dominan/berpengaruh. Strong legal pluralism menunjukkan suatu kenyataan bahwa sistem hukum yang paling kuat/dominan adalah norma-norma yang muncul dari kepentingan-kepentingan pribadi/kelompok berhadapan dengan kondisi sosial masyarakat yang terus berubah,selain bisa ditentukan juga oleh kebiasaan-kebiasaan kelompok/komunitas budaya dimanaseorang pribadi/kelompok tumbuh dan dididik. Griffiths menambahkan bahwa aturan, adat, simbol yang diciptakan sendiri tersebut rentan terhadap aturan- aturan, keputusan-keputusan dan kekuatan dariluar yang lebih besar dan mengelilinginya.

Griffiths lebih menekankan pluralisme hukum yang diadopsinya dari Sally F.Moore yang berkaitan dengan keragaman organisasi sosial, yang mana memiliki otonomi terbatas (Irianto dalam Ihromi 1993). Sally F.Moore menyebut otonomi terbatas dengan semi outonomous social field artinya dalam satu lapangan sosial tidak ada hukum yang dominan. Suatu aturan hukum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain yang ada disekitarnya.

Sally F.Moore (1983) menambahkan bahwa seluruh aneka norma/aturan yang muncul dari individu/masyarakat tertentu dapat berfungsi sebagaimana halnya dengan hukum. Dalam hal ini, Moore melihat bahwa pluralisme hukum dapat terjadi karena

(22)

adanya kenyataan bahwa warga suatu masyarakat sebagai individu berada dalam beberapa lapangan/arena interaksi sosial yang masing-masing memiliki normanya sendiri sehingga individu yang bersangkutan dituntut untuk mengikuti norma tersebut. Aneka jenis pengaturan yang ada dalam masyarakat tidak semuanya berstatus hukum, namun sering dihayati sebagai sesuatu yang mengikat dan tidak kalah pentingnya dengan norma hukum. Adapun aturan dari masing-masing arena sosial itu saling berpengaruh satu sama lain dan rentan terhadap pengaruh hukum dari luar. Pengkajian Moore dilakukan terhadap bidang-bidang sosial/arena sosial yang semi otonom, yang tidak ditentukan melalui organisasinya melainkan dengan suatu ciri prosesual (yang terjadi secara berangsur), yaitu bahwa ia dapat menimbulkan aturan-aturan dan memaksakan ketaatan orang pada aturan-aturan tersebut. Banyaknya bidang sosial (social field) yang satu sama lain saling berhubungan akan membentuk suatu mata rantai yang kompleks, seperti halnya jaringan- jaringan sosial antar individu yang saling terikat menjadi jalinan yang tidak ada akhirnya.

Dalam kenyataan aturan-aturan hukum yang dibuat oleh negara sering kali gagal memasuki bidang-bidang sosial semi otonom yang sebelumnya sudah memberlakukan hubungan-hubungan sosial dan berbagai macam kewajiban yang mengikat (Moore dalam Ihromi 1993:148-181).

Berdasarkan hal diatas terlihat bahwa penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi otonom menunjukkan adanya norma-norma dan aturan-aturan sendiri dari aktor-aktor yang terlibat didalamnya (toke, penjual-penjual, pengecer, pemilik lapak, petugas kebersihan, penjaga keamanan, penjaga gudang) untuk berjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati. Norma-norma dan aturan-aturan yang dibuat oleh aktor-aktor yang terlibat dalam penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati Medan tidak

(23)

berstatus hukum, namun dipahami oleh aktor-aktor yang terlibat sebagai sesuatu yang mengikat dengan norma hukum.

Penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi otonom artinya bahwa dalam penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati Medan tidak ada hukum yang dominan dan suatu aturan hukum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain yang ada di sekitar penjualan pakaian bekas seperti norma-norma dan aturan-aturan yang dihasilkan dan hanya dipahami bersama oleh aktor-aktor yang terlibat di Pasar Simpang Melati Medan.

Masalah pluralisme hukum dalam pandangan prosesual adalah setiap orang menanggapi suatu aturan hukum tertentu dengan cara yang berbeda karena mempunyai pengetahuan, harapan-harapan dan kepentingan-kepentingan atau tepatnya budaya hukum7

7 Budaya hukum adalah bagian dari kekuatan-kekuatan sosial tersebut, yang yang memberi masukan menjadi penggerak dan selanjutnya memberi output kepda system hukum. Menurut Friedman kekuatan sosial secara terus menerus mempengaruhi sistem hukum kadang-kadang ia merusak, memperbaharui, memperkuat atau memilih untuk lebih menampilkan segi-segi tertenti. Dengan demikian kita dapat mengkaji bagaimana substansi hukum berupa aturan-aturan dan norma-normayang merumuskan suatu permasalahan dan bagaiaman institusi serta para penegak hukum menanggapi aturan-aturan tersebut dan bagaimana budaya hukum yang ada dalam masyarakatmemberi pengaruh terhadap bekerjanya aturan- aturan yang telah dirumuskan dan disepakati bersama (Ihromi dalam E.K.M Masinambow 2003:72).

yang berbeda. Hal ini dapat dilihat ketika seseorang dihadapkan pada pranata hukum mana yang hendak dipilihnya. Ia akan memilih suatu pranata hukum tertentu, atau kombinasi lebih dari satu aturan hukum yang memungkinkan ia mendapatkan akses kepada sumber daya atau pemenuhan kepentingannya. Hal ini dapat terlihat dalam penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati Medan dimana aktor-aktor yang terlibat dalam penjualan pakaian bekas menanggapi aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah dengan cara yang berbeda. Dimana larangan impor pakaian bekas termasuk sudah diberlakukan sejak 18 januari 1982 oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi.

Larangan (Radius Prawiro), kemudian dipertegas lagi oleh Mentri perindustrian dan Perdagangan (Rini Suwandi) dengan mengeluarkan SK no 642/MPP/Kep/9/2002, tanggal

(24)

23 september 2002 tentang larangan impor gombal. Impor gombal ataupun kain perca (berupa potongan kain untuk pengisi jok mebel atau jok mobil) yang semula diizinkan untuk diimpor. Dengan SK 642 tersebut impor kain perca tidak diperbolehkan lagi untuk diimpor mengingat didalam negeri sendiri banyak tersedia gombal. Larangan impor gombal sendiri tidak menimbulkan protes dari para perajin jok mobil dan mebel. Izin impor gombal yang berlaku selama ini disalahgunakan untuk mengimpor pakaian bekas sehingga terkesan pemerintah selama ini memperbolehkan impor pakaian bekas (Harian Media industri dan Perdagangan hal 19 yang berjudul “Pemusnahan Barang Bekas Impor illegal”.tanggal 25 februari 2003).

Dikatakan berbeda karena aktor-aktor yang terlibat dalam penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati memilih suatu aturan-aturan atau norma-norma tertentu selain dari pada aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah atau kombinasi dari aturan hukum pemerintah. Hal ini dibuktikan dari adanya usaha-usaha dari pemerintah untuk mencegah datangnya penjualan bal-bal pakaian bekas dari luar negeri ke Medan seperti yang diungkapkan dalam harian Medan Bisnis 24 juli 2007, dimana Polda Sumut berhasil menyita 206 bal pakaian bekas dari dua tempat yang berbeda yakni di Perumnas Simalingkar dan Kabanjahe, Kabupaten Karo. Laporan itu ditindak lanjuti dengan ditemukan unsur pidana pelanggaran UU Kepabeanan tahun 2006 dan keputusan Memperindag tahun 2002 tentang larangan barang gombal.

Berdasarkan hal ini berarti adanya pandangan prosesual dari aktor-aktor yang terlibat dalam menanggapi aturan-aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah yakni dengan menggabungkan antara aturan-aturan ataupun norma-norma yang dibuat oleh aktor-aktor yang terlibat dalam penjualan pakaian bekas dengan aturan hukum

(25)

pemerintah yang apabila penjualan bal-bal pakaian bekas ini diketahui keberadaannya penjualannya maka akan dimusnahkan oleh pemerintah. Namun apabila tidak diketahui oleh pemerintah maka penjualan pakaian bekas ini akan terus berlangsung.

Penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi otonom ini telah dilakukan oleh Moore dalam T.O.Ihromi (1993:154-159), yakni tentang industri pakaian gaun mahal di New York. Dimana dalam industri gaun mahal di New York ada beberapa aktor-aktor yang terlibat guna mendukung penjualan industri gaun mahal sebagai bidang sosial semi otonom di New York.

Aktor-aktor yang terlibat itu diantaranya: (1) Jobber/pemborong adalah orang yang merancangkan model untuk dikerjakan. Jobber tidak sendirian dalam merancang modelnya, maka dia membutuhkan, (2) kontraktor adalah orang yang mengatur ruangan jobber, selain itu dia juga bertugas untuk memotong kain dan membuat gaun. Untuk mendukung usaha industri gaun tersebut jobber membutuhkan (3) faktor adalah orang yang meminjamkan uang dengan kutipan bunga, dan untuk menentukan perincian tentang susunan kerja maka seorang jobber membutuhkan (4) tukang produksi adalah orang yang menentukan perincian tentang susunan kerja kontraktor seberapa banyak kerjaan kontraktor dan macam-macam model, (5) Pemeriksa adalah orang yang memeriksa gaun- gaun yang setelah dibuat oleh kontraktor untuk melihat apakah sesuai dengan spesifikasi perancang dan standar jobber, (6) Floor Lady adalah orang yang mengawasi toko dan berperan strategis dalam negosiasi-negosiasi dengan tukang produksi untuk mencapai kata sepakat mengenai harga gaun yang dibuat, (7) Pihak serikat Pekerja adalah mewakili serikat pekerja adalah agen yang bertugas mengawasi apakah aturan-aturan serikat pekerja dipatuhi baik oleh para kontraktor maupun pekerja-pekerja anggota serikat

(26)

pekerja. Perjanjian pekerja kolektif dari serikat pekerja dimana aturan-aturan ini diuraikan adalah kontrak antara suatu perkumpulan kontraktor dan jobber dengan Serikat Internasional Pekerja Pakaian Wanita. Kontrak ini memperinci hal-hal sehubungan dengan jam dan upah kerja.

Bila diadakan perubahan pada kontrak kerja sehingga syarat-syaratnya menjadi lebih sesuai dengan kondisi musiman yang sebenarnya maka dampak negatif akan terjadi dalam bisnis ini. Kalau perubahan seperti itu dibuat, maka posisi tawar-menawar agen serikat pekerja yang dalam hal ini tergantung pada supervise terhadap pelanggaran- pelanggaran kecil tersebut dimuka akan terganggu.

Sebagai balasan atas kebaikannya ini, agen serikat pekerja mendapat banyak kemudahan dari pihak kontraktor, Mungkin padanya akan diberikan hadiah-hadiah seperti wiski dalam jumlah yang besar pada saat hari natal. Kontraktor mungkin akan membuat gaun untuk istrinya, mengunjunginya di rumah sakit saat ia sakit, dan memberikan saran tentang lapangan pekerjaan untuk anak lelakinya. Semua pemberian hadiah-hadiah dan tolong-menolong ini dilakukan dalam bentuk persahabatan sukarela dan saat-saat hadiah diberikan adalah pada hari liburan Natal atau saat-saat yang dianggap tepat untuk menjaga hubungan persahabatan. Tidak ada diantara kegiatan ini yang merupakan kewajiban yang secara yuridis dapat dipaksakan. Kedua belah pihak menyadari keperluan bisnis yang mendesak untuk melakukan hal itu, dan mereka berulangkali melakukan pertukaran-pertukaran yang mengungkapkan kepercayaan timbal-balik. Agen bisnis serikat pekerja menutup mata, dan kontraktor membuat gaun- gaun untuk istri agen serikat pekerja tersebut. Dengan demikian tercapailah suatu keseimbangan yang memuaskan.

(27)

Semua pemberian diluar hukum ini dapat disebut suap kalau ada yang mau menekankan pada sifat-sifatnya yang berada diluar hukum formal. Sebaliknya seseorang dapat menggunakan pendekatan antropologi yang klasik tentang pertentangan obligasi moral dan obligasi hukum dan menyebutnya sebagai obligasi moral, karena merupakan obligasi yang bersumber pada hubungan yang tidak dapat dipaksakan secara hukum, tetapi kelestariannyatergantung pada nilaidari hubungan itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa ini adalah persahabatan fiktif. Persahabatan fiktif semacam ini merupakan bagian dari proses melalui mana sumberdaya yang langka dibagikan.

Banyak dari hak-hak yang sah dalam lingkungan semacam ini dapat diartikan sebagai kemampuan orang-orang tertentu didalam bidang sosial untuk untuk mengerahkan Negara demi kepentingan mereka. Demikian pula halnya dengan kemampuan untuk mengerahkan serikat pekerja atau perkumpulan para pemborong dan kontraktor merupakan imbangan yang penting di dalam negosiasi bisnis yang dilakukan dalam industri pakaian gaun. Maka bidang sosial adalah semi-otonom bukan karena hanya bisa dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar yang menerpanya, tetapi karena orang-orang di dalam bidang sosial itu dapat mengerahkan kekuatan-kekuatan luar tersebut atau mengancam untuk melakukannya di dalam proses tawar-menawar mereka.

Sanksi terhadap orang-orang yang tidak ikut bermain menurut aturan-aturan secara hukum, non hukum, dan yang melanggar hukum didalam industri pakaian gaun mahal merupakan kerugian secara ekonomis, hilangnya reputasi, hilangnya keinginan baik (goodwill), dan tersisihnya dari jalur-jalur yang dapat menghasilkan uang.

Hal ini bisa dilihat dalam penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi otonom di Pasar Simpang Melati Medan dimana beberapa aktor-aktor yang terlibat guna

(28)

mendukung penjualan pakaian bekas diantaranya: (1) Toke adalah orang yang memiliki modal sekaligus jaringan/relasi untuk mendapatkan bal pakaian bekas, (2) Calo adalah orang yang memberikan informasi kapan datangnya bal dan juga orang yang mempertemukan tokeh dengan penjual dan pengecer, (3) Penjual-penjual adalah orang yang berjualan pakaian bekas di kios–kios pasar simpang melati, yang dapat membeli pakaian bekas secara perbal dan menarget serta bahkan memilih, (4) Pengecer adalah orang yang berjualan secara memilih dan membeli pakaian restand/ sisa dari tokeh dan penjual untuk dijual kepada pembeli yang berada di pasar simpang melati dan diluar pasar simpang melati, (5) Pemilik kios/Lapak adalah pemilik tanah di pasar simpang melati. Tanah tempat penjualan pakaian bekas ini adalah tanah milik pribadi dari orang- orang yang bertempat tinggal di pasar simpang melati. Pemilik kios/lapak adalah orang yang berhak memberikan aturan-aturan dalam hal sewa-menyewa kios untuk tempat berjualan pakaian bekas, (6) Penjaga Gudang adalah tempat penitipan bal (karung plastik berisi pakaian bekas). Ketika hari sudah mulai gelap dan menunjukkan pukul 19.00 wib sore, maka seorang penjaga gudang membawa kereta sorong untuk mengambil bal yang telah disusun rapi oleh penjual untuk disimpan di gudang. Gudang tempat penyimpanan bal pakaian bekas yang telah dikemas/dibungkus rapi oleh penjual disesuaikan dengan lapak/kios tempat dia sewa, karena setiap kios kios/lapak selalu menyediakan gudang bagi setiap penjual pakaian bekas untuk disewa. Biaya pengangkatan/pengambilan bal pakaian bekas serta penjagaannya di gudang untuk setiap 1 bal adalah Rp 6000/pekan. (7) Penjaga Keamanan dan Kebersihan adalah beberapa orang yang menjaga keamanan dan kebersihan khusus tempat penjualan pakaian bekas di pasar simpang melati. Biaya untuk

(29)

penjagaan keamanan sebesar Rp 2000/pekan dan untuk kebersihan sebesar Rp 1000/pekan.

Masih ada aktor lainnya diluar dari pada aktor-aktor yang terlibat langsung di pasar Simpang Melati Medan yakni: (1) pengedar (Tidak diketahui siapa orangnya, namun dia adalah orang yang mendapatkan bal-bal pakaian bekas di luarnegeri), (2) agen (perpanjangan tangan dari pengedar dalam menghantarkan bal apakaian bekas hingga sampai ketangan toke bal, dan (3) toke bal (orang yang mendapatkan bal-bal pakaian bekas kemudian menjualkannya kembali kepada toke penjual) dan (4) toke penjual (orang yang menjual pakaian bekas kepada toke-toke yang ada di Pasar Simpang Melati Medan). Sesampainya di Pasar Simpang Melati Medan para toke kemudian menjual bal- bal pakaian bekasnya kepada penjual-penjual-penjual ataupun pengecer-pengecer, Kalaupun dia tidak mendapatkan aktor-aktor tersebut untuk menjualkan pakaian bekasnya maka si toke akan menjual sendiri dan membuat pembagian tipe-tipe pakaian bekas sendiri. Namun apabila si toke memiliki dana yang cukup maka si toke dapat menyuruh calo untuk mencarikannya aktor-aktor yang terlibat untuk menjual pakaian bekas miliknya.

Penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati Medan memiliki kesamaan dengan industri gaun mahal di New York yakni :

01) Adanya Perubahan

Bila dikaitkan dengan industri gaun mahal yang lebih menekankan pada adanya perubahan dalam kontrak kerja yakni apabila bisnis industri gaun mahal sedang sepi maka para pekerja harus dibayar meskipun mereka sebenarnya tidak. Bila dikaitkan dengan penjualan pakaian bekas yakni sama–sama memiliki adanya perubahan yakni

(30)

adanya perubahan yang terlihat dari aktor-aktor yang terlibat dalam penjualan pakaian bekas karena aktor-aktor tersebut tidak pernah mengetahui kapan pastinya bal-bal pakaian bekas masuk ke pasar, misalnya toke bal tidak mengetahui kapan pastinya pengedar mengiriman bal-bal pakaian bekas melalui perantaraan agen hingga sampai kepada toke di Pasar Simpang Melati Medan dan Adanya perubahan dalam penjualan bal-bal pakaian bekas juga terlihat dari kualitas dari bal pakaian bekas tersebut yang terkadang bagus kualitasnya bahkan terkadang jelek kualitasnya, dikatakan kualitasnya jelek apabila isinya sebagian besar hanya guntingan-guntingan kain saja dan beberapa pakaian bekas yang bernoda dan robek. Adanya perubahan ini juga terlihat dari semakin bertambahnya biaya pengangkatan dan sewa gudang yang ditetapkan oleh penjaga gudang kepada toke dan penjual-penjual apabila bal-bal pakaian bekas milik mereka semakin bertambah beratnya. Adanya perubahan juga terlihat dari adanya perubahan harga selah bal-bal pakaian bekas dibongkar oleh toke dan ditetapkan kedalam tipe-tipe berdasarkan kualitas dan kondisi pakaian bekas, apabila kulaitas dan kondisi pakaian bekas masih bagus maka harganya akan semakin tinggi begitu juga sebaliknya.

02) adanya balasan atas kebaikan

Bila dikaitkan dengan industri gaun mahal maka adanya balasan atas kebaikan ini terlihat dari agen serikat pekerja mendapat banyak kemudahan dari pihak kontraktor, Mungkin padanya akan diberikan hadiah-hadiah seperti wiski dalam jumlah yang besar pada saat hari natal. Kontraktor mungkin akan membuat gaun untuk istrinya, mengunjunginya di rumah sakit saat ia sakit, dan memberikan saran tentang lapangan pekerjaan untuk anak lelakinya. Semua pemberian hadiah-hadiah dan tolong-menolong ini dilakukan dalam bentuk persahabatan sukarela dan saat-saat hadiah diberikan adalah

(31)

pada hari liburan Natal atau saat-saat yang dianggap tepat untuk menjaga hubungan persahabatan. Bila dikaitkan dengan penjualan pakaian bekas yakni sama–sama memiliki adanya balasan atas kebaikan misalnya si penjual-penjual ataupun toke yang berjualan pakaian bekas diberikan kemudahan oleh si penjual patung dan body dalam membayar alat tersebut yakni bisa dengan mencicil untuk setiap pembeliannya. Selain itu adanya balasan atas kebaikan ini terlihat juga dari bal pakaian bekas yang diangkat oleh abang kenek ketika pekan dimulai dan pekan selesai selain itu pula bal-bal pakaian beka ini disimpan dengan aman digudang penyimpanan sehingga toke dan penjual-penjual tidak perlu merasa khawatir lagi atas bal pakaian bekas mereka karena sudah ada penjaga gudang yang menjamin keselamatannya. Selain itu balasan atas kebaikan itu juga terlihat dari pemilik kios/lapak yang menyediakan kios/kapling lengkap dengan fasilitas lampu, sehingga toke dan penjual-penjual tidak perlu lagi membayar uang lampu karena semuanya dimasukkan kedalam aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemilik lapak/kios yakni pembayaran uang atas hak pakai dan kutipan sekali pekan. Adanya balasan atas kebaikan ini merupakan aturan-aturan yang hanya dipahami bersama oleh aktor-aktor yang terlibat dalam penjualan pakaian bekas.

03) adanya kepercayaan timbal balik

Dalam industri gaun mahal maka adanya kepercayaan timbal balik terlihat dari pemberian hadiah-hadiah dan tolong-menolong oleh kontraktor kepada agen serikat pekerja dilakukan dalam bentuk persahabatan sukarela dan saat-saat hadiah diberikan adalah pada hari liburan Natal atau saat-saat yang dianggap tepat untuk menjaga hubungan persahabatan diantara yang merupakan kewajiban yang secara yuridis tidak dapat dipaksakan. Kedua belah pihak menyadari keperluan bisnis yang mendesak untuk

(32)

melakukan hal itu, dan mereka berulangkali melakukan pertukaran-pertukaran yang mengungkapkan kepercayaan timbal-balik. Dalam penjualan pakaian bekas kepercayaan timbal-balik terlihat dari adanya kepercayaan yang diberikan oleh pemilik kios/kapling kepada toke dan penjual-penjual yang berjualan pakaian bekas untuk menempati kios tempat berjualan asalkan membayar uang atas hak pakai kios/kapling walaupun setiap pekannya harus membayar pungutan wajib yang beruap kutipan sekali pekan yang harus diberikan toke dan penjual-penjual kepada pemilik kios/lapak pada setiap kali pekan.

4) adanya pemberian diluar hukum yang disebut sebagai suap

Pemberian atau perhatian yang berupa suap ini telah diperhitungkan untuk dapat mendorong atau memudahkan pembagian sumberdaya-sumberdaya yang langka berupa gaun-gaun mahal. Bujukan-bujukan dan paksaan-paksaan yang dipakai dalam sistem hubungan ini didasarkan pada keinginan untuk tetap bertahan dalam bisnis industri gaun mahal dan keinginan untuk sukses dengan usaha tersebut. Begitu juga dalam penjualan bal-bal pakaian bekas juga memiliki kesamaan dengan industri gaun mahal dimana juga ada pemberian diluar hukum yang disebut sebagai suap, hal ini terlihat dari adanya pungutan-pungutan liar yang dibebankan kepada aktor-aktor yang terlibat dalam membawa bal-bal pakaian bekas sampai ke pasar Simpang Melati Medan oleh aparat keamanan. Adanya bujukan-bujukan dari agen dan toke bal kepada aparat keamanan apabila bal-bal pakaian bekas mereka tertangkap, bujukan-bujukan ini merupa uang suap untuk memperlancar pengiriman bal-bal pakaian bekas sampai ke Pasar Simpang Melati Medan. Selain adanya bujukan-bujukan yang berupa pemberian uang suap dalam industri gaun mahal penjualan bal-bal pakaian bekas juga memiliki persahabatan fiktif8

.

(33)

Dengan adanya persahabatan fiktif maka muncul perhatian dan kebaikan hati kepada orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk menyediakan tenaga kerja, capital, atau transaksi bisnis bisa dianggap sebagai “harga untuk distribusi”, yang secara simbolis dilambangkan sebagai hadiah tanpa diminta sebagai buah persahabatan.

Persahabatan ini berasal hubungan kekerabatan, hubungan keturunan dan perkawinan.

Persahabatan fiktif ini terlihat dalam penjualan pakaian bekas antara

toke dan penjual-penjual pakaian bekas dengan penjual patung atau body. Dalam persahabatan ini toke dan penjual-penjual bersikap ramah dan bertanggung jawab untuk membayar cicilan patung atau body kepada penjual patung agar dapat diberikan kesempatan untuk mencicil pembayaran atas patung atau body dilain waktu.

Persahabatan fiktif ini juga terlihat antara pemilik lapak dengan toke dan penjual-penjual yang menyewa kios sebagai tempat berjualan pakaian bekas. Dalam persahabatan ini toke dan penjual-penjual selaku penyewa memiliki perhatian kepada pemilik lapak dengan bersikap ramah dan bertanggung jawab dalam hal mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemilik lapak tentang sewa menyewa kios.

5) adanya sanksi terhadap orang-orang yang tidak ikut bermain menurut aturan-aturan secara hukum, non hukum dan yang melanggar hukum.

Sanksi tersebut didalam industri pakaian gaun seperti kerugian secara ekonomis, hilangnya reputasi, hilangnya keinginan baik (goodwill), dan tersisihnya dari jalur-jalur yang menghasilkan uang. Sanksi dalam industri gaun dapat terjadi apabila aktor-aktor yang terlibat tidak patuh dengan aturan-aturan secara hukum, non hukum dan melanggar hukum yang sudah dipahami bersama oleh aktor-aktor yang terlibat. Kepatuhan untuk

(34)

mengikuti aturan didorong oleh keinginan untuk tetap bertahan dalam bisnis industri gaun dan mencari keuntungan.

Sanksi dalam industri gaun seperti kerugian secara ekonomis terjadi apabil actor- aktor yang terlibat dalam industri gaun tidak membina hubungan baik yang mengakibatkan tidak selesainya pekerjaan membuat gaun dan penjualan gaun menjadi tidak lancar sehingga beberapa aktor-aktor yang terlibat akan kehilangan pekerjaannya dan kehilangan kesempatan untuk menghasilkan uang. Hal ini juga terlihat dalam penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati yang memiliki sanksi hampir sama dengan industri pakaian gaun yakni apabila aktor-aktor yang terlibat tidak membina hubungan baik antara aktor-aktor yang terlibat maka akan mengalami kerugian secara ekonomis yakni penjualan pakaian bekas tidak lancar, sehingga aktor-aktor akan kehilangan pekerjaannya serta kehilangan kesempatan untuk menghasilkan uang.

Berdasarkan atas kesamaan antara industri gaun dan penjualan pakaian bekas diatas dapat terlibat bahwa adanya aturan-aturan yang hanya dipahami oleh aktor-aktor yang terlibat selain daripada aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga dapat bertahan.

1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989:29) penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau

(35)

penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain.

Metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif digunakan untuk mendapatkan deskripsi atau gambaran bagaimana bidang sosial semi otonom melahirkan pengaturan sendiri yang melibatkan beberapa aktor-aktor dalam penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan.

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara dan observasi (pengamatan). Wawancara mendalam (depth interview) dan wawancara biasa digunakan untuk memperoleh informasi mengenai bagaimana penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi-otonom melahirkan pengaturan sendiri yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat di Pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai acuan dan dibantu alat tulis untuk mencatat hasil wawancara. Selain itu digunakan alat perekam seperti tape rekorder untuk merekam hasil wawancara sehingga dapat menghindari kelupaan dalam menulis laporan.

Informan dalam penelitian ini adalah toke, penjual dan pengecer, pemilik kios, penjaga gudang, petugas keamanan dan kebersihan di Pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan. Namun disini peneliti mengadakan pengkategorisasian informan menjadi: informan pangkal, informan kunci dan informan biasa.

Menurut Koentjaraningrat (1989:30) dalam suatu masyarakat baru, tentu kita harus lebih dahulu memulai dari keterangan seorang informan pangkal yang dapat

(36)

memberikan berbagai keterangan lebih lanjut yang kita perlukan. Informan-informan serupa itu sebaiknya orang yang mempunyai pengetahuan luas mengenai berbagai sektor dalam penjualan pakaian bekas seperti kepala desa Kelurahan Tanjung Selamat dan orang yang bergerak dalam organisasi kemasyarakatan pasar serta pegawai administrasi desa Ibu Syarifah yang memberikan informasi kepada peneliti tentang bagaimana awal munculnya pasar Simpang Melati dan juga mengintroduksikan peneliti kepada informan lain yang merupakan ahli tentang sektor-sektor orang yang berhubungan dengan penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan.

Informan kunci merupakan orang-orang yang ahli tentang unsur-unsur pengadaan barang dan penjualan pakaian bekas. Dalam penelitian ini, informan kunci adalah toke, penjual dan pengecer yang berjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati.

Dari informan kunci ini akan diperoleh informasi yang lebih jelas tentang bagaimana penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi-otonom melahirkan pengaturan sendiri yang diperankan oleh aktor-aktor di Pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan. Informan kunci yang diwawancarai dalam penyusunan skripsi adalah pemilik kios yang bernama Arih Perangin-angin dan Bapak Malem Ginting yang memberikan informasi bagaimana sewa-menyewa dengan toke dan penjual-penjual pakaian bekas di Pasar Simpang Melati. Informan kunci lainnya adalah toke penjual pakaian bekas yakni Jobi dan Bang Rudi yang memberikan informasi tentang bagaimana hubungan dengan aktor-aktor yang terlibat dan bagaimana penentuan tipe-tipe pakaian bekas dianatara sesama aktor-aktor yang terlibata dalam penjualan pakaian bekas.

(37)

Selain informan pangkal dan informan kunci dalam penelitian ini juga dibutuhkan informan biasa. Informan biasa dalam penelitian ini adalah kakak Lamtiur yang merupakan pembeli pakaian bekas di Pasar Simpang Melati. Informan biasa ini diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai bagaimana pengaruh ataupun tanggapan mengenai penjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati, guna menambah kelengkapan data atas informasi dalam penelitian.

Selain wawancara mendalam (depth interview) dan wawancara biasa peneliti juga melakukan observasi (pengamatan) untuk mendeskripsikan bagaimana penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi otonom yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat di Pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan. Dalam hal ini, peneliti akan mencoba mengamati mereka tanpa mengganggu aktivitas yang mereka lakukan.

1.7 Analisa Data

Setelah data selesai dikumpulkan dari lapangan, tahap berikutnya adalah tahap analisa data. Sesuai dengan sifat data yang dikumpulkan dalam penelitian ini maka analisa data adalah analisa kualitatif. Tujuan analisa data adalah untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan interpretasikan. Dengan analisa data ini maka penulis dapat mendeskripsikan bagaimana penjualan pakaian bekas sebagai bidang sosial semi–otonom memunculkan pengaturan sendiri yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat di pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan Tuntungan. Analisa data yang dilakukan, diharapkan dapat mengungkapkan data apa yang masih kurang, kesalahan yang harus diperbaiki, juga untuk mengetahui metode apa yang harus dilakukan untuk memperoleh informasi baru. Hal ini dilakukan untuk

(38)

menghasilkan suatu karya ilmiah yang saling berkaitan dan sesuai dengan tujuan penelitian.

1.8 Rangkaian Pengalaman Penelitian

Pengalaman penelitian di lapangan dalam penyusunan skripsi ini berawal dari melengkapi surat-surat dari balitbang hingga ke kantor kecamatan dan kelurahan. Hal ini diperbuat untuk memperlancar berkas-berkas dalam penyusunan skripsi. Selanjutnya si peneliti melanjutkan penelitian ke lapangan, yakni dengan melakukan observasi dan wawancara dengan aktor-aktor yang terlibat. Awalnya sangat susah untuk mendekati dan mewawancarai beberapa informan, dikarenakan beberapa informan ada yang terlalu cuek dan tidak mau bercerita dengan orang yang belum dikenalnya. Bahkan ada juga beberapa informan yang tidak mau diajak bercerita apabila pakaian bekas yang dijualnya tidak dibeli oleh si peneliti.

Untuk mengatasi hal ini selanjutnya setiap saat melakukan penelitian, saya harus membeli beberapa potong pakaian bekas untuk dapat berbicara dan mendapatkan informasi dari aktor-aktor yang terlibat. Beberapa penjual juga ada yag bersikap ramah ketika saya memasuki kiosnya, dia adalah seorang wanita yang sudah berumur kira-kira 34 tahun. Kakak Maya namanya. Awalnya kiosnya sepi dan kakak itu sedang menyuapi anaknya makan. Saya awalnya melihat-lihat pakaian bekas yang dipajang dikiosnya, ternyata ada yang sesuatu yang menarik dari pakaian bekas itu sehingga saya mengenakannya dan mencobanya di cermin. Sesaat kemudian nasi yang disuapi kakak itu kepada anaknya habis juga dan kakak itu berkata bagus dek kemejanya sepertinya pas dibadanmu. Sambil mencoba pakaian bekas milik kakak itu dicermin saya mencoba bertanya kepada kakak itu tentang seputar penjualan pakaian bekas bagaimana sewa-

(39)

menyewanya, bagaimana sampai kakak itu berjualan pakaian bekas hingga dari mana datangnya bal-bal pakaian bekas. Kakak itu menjawab semuanya tanpa curiga. Setela selesai dengan jawabannya kakak itu kembali bertanya kepada saya adik seorang watwan yah, tidak jawabku saya adalah seorang mahasiswa kakak di FISIP-USU. Saya sedang menyusun skripsi dan judulnya tentang pakaian bekas, oh kebetulan ada juga adik saya yang kuliah disana namanya Luna, apakah kamu kenal kata kakak itu, ya saya kenal kakak. Selanjutnya saya semakin akrab dengan kakak Maya karena dia ramah dan mau memberikan informasi tentang penjualan pakaian bekas dengan saya, dikarenakan saya mengenal adiknya yang satu jurusan dengan saya dan kakak kelas saya.

Pada hari pekan berikutnya kakak Maya mengenalkan saya dengan beberapa toke dan penjual-penjual lain yang berjualan pakaian bekas di Pasar Simpang Melati, dan memohon agar saya dibantu mereka dalam mendapatkan informasi. Saya mengucapkan terimakasih kepada kakak Maya. Beliau adalah orang yang cukup berjasa dalam penyusunan skripsi saya, tanpa beliau saya tidak mungkin mendapatkan kenalan-kenalan beberapa toke dan penjual serta informasi tentang pakaian bekas di Pasar Simpang Melati Kelurahan Tanjung Selamat.

(40)

BAB II

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

2.1 Letak dan Lokasi Pasar Simpang Melati

Pasar Simpang Melati terletak di Kecamatan Medan Tuntungan Kelurahan Tanjung Selamat. Kecamatan Medan Tuntungan sebelumnya merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang, berdasarkan Peraturan Pemerintah no 22 tahun 1973 tentang perluasan Kota Madya Daerah Tingkat II Medan dengan mengambil tanah Negara, tanah adat yang ada di sekitarnya termasuk Kabupaten Deli Serdang. Sejak di keluarkannya Peraturan Pemerintah no 22 tahun 1973 tersebut Kota Medan menjadi 11 Kecamatan dari 4 Kecamatan, termasuk Kecamatan Medan Tuntungan.

Kecamatan Medan Tuntungan luasnya 19.793 Km2 dan membawahi 11 desa yang kemudian status desa berdasarkan Peraturan Pemerintah no 5 tahun 1980 di sahkan menjadi status kelurahan. Adapun 11 kelurahan di Kecamatan Medan Tuntungan yakni :

a) Kelurahan Baru Ladang Baru b) Kelurahan Sido Mulyo c) Kelurahan Lau Cih d) Kelurahan Namo Gajah e) Kelurahan Kemenangan Tani f) Kelurahan Simalingkar B g) Kelurahan Simpang Selayang h) Kelurahan Tanjung Selamat

(41)

i) Kelurahan Perbatasan Selayang II j) Kelurahan Asam Kumbang k) Kelurahan Tanjung Sari

Pada tahun 1991 sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI NO 50 Tahun 1991 terjadi pemekaran Kecamatan yang ada di kota Medan dari 11 Kecamatan menjadi 9 kecamatan. Kecamatan Medan Tuntungan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI no 50 Tahun 1991 dimekarkan menjadi 2 Kecamatan yaitu Kecamatan Medan Tuntungan dan Kecamatan Medan Selayang.

Kecamatan Medan Tuntungan meliputi 9 Kelurahan : 1) Kelurahan Mangga

2) Kelurahan Tanjung Selamat 3) Kelurahan Lau Cih

4) Kelurahan Namo Gajah 5) Kelurahan Sido Mulyo

6) Kelurahan Baru Ladang Bambu 7) Kelurahan Kemenangan Tani 8) Kelurahan Simalingkar B 9) Kelurahan Simpang Selayang

2.2 Lokasi dan Keadaan Alam Kelurahan Tanjung Selamat 2.2.1 Lokasi dan Batas-Batas Wilayah

Kelurahan Tanjung Selamat merupakan salah satu kelurahan dari Kecamatan Medan Tuntungan. Jarak antara kelurahan Tanjung Selamat dengan kecamatan Medan Tuntungan adalah 2 Km, ke Ibukota Propinsi (Medan) 12 Km. Kelurahan Tanjung

(42)

Selamat dipimpin oleh seorang kepala desa, wakil kepala desa, sekretaris desa dan pegawai yang membantu kelancaran administrasi desa.

Berdasarkan letak geografisnya Kelurahan Tanjung Selamat seperti Tanjung yang berbatasan dengan sungai Belawan. Batas-batas wilayah kelurahan Tanjung Selamat yakni:

a) Sebelah utara berbatasan dengan kelurahan Asam Kumbang

b) Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Namuraca/Simpang Selayang c) Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Sari

d) Sebelah barat berbatasan dengan sungai Belawan 2.2.2 Keadaan Alam

Kelurahan Tanjung Selamat merupakan daerah yang seperti Tanjung, karena berbatasan dengan sungai belawan. Dimana sumber mata air sungai Belawan ini berasal dari mata air Semabahe. Kelurahan Tanjung Selamat memiliki luas pemukiman 2.89 km2, Luas kuburan 0,03 km2, luas pekarangan 0,07 km2, luas prasarana umum lainnya 0,01 km2. Luas keseluruhan Kelurahan Tanjung Selamat adalah 300 Ha, dan sebagian besar dimiliki oleh penduduk yang dikelola untuk lahan pertanian, pemukiman, tempat ibadah, pekuburan dan juga kantor instansi pemerintah.

Tabel 1

Tata Guna Tanah Kelurahan Tanjung Selamat

No Jenis Penggunaan Luas (Ha)

01. Pemukiman 80

02. Perkantoran/milik pemerintah 25

03. Sawah 30

04. Ladang 20

05. Pekuburan 20

06. Tempat Ibadah 15

07. Sekolah 40

(43)

08. Jambur/Tempat Pesta 35

09. Puskesmas 25

10. Kios-Kios Penjualan Pakaian Bekas 6

11. Sarana dan Prasarana lainnya 4

Jumlah 300 Ha

Sumber Kantor Kepala Desa Kelurahan Tanjung Selamat 2007

Lahan pemukiman berupa bangunan berupa rumah untuk dihuni penduduk yang ada di kelurahan tanjung selamat. Pemukiman di kelurahan Tanjung Selamat di huni oleh 9 lingkungan, 5 RW dan 14 RT. Pemukiman di kelurahan Tanjung Selamat pada awalnya hanya berupa papan yang selanjutnya berkembang menjadi semi permanen yang terdiri setengah batu dan setengah papan. Pemukiman ini kemudian berkembang lagi dengan berdirinya rumah permanent dan selanjutnya pertengahan tahun 2006 mulai dibangun pemukiman berupa ruko dan dilanjutkan dengan perumahan mewah.

Lahan pertanian digunakan untuk persawahan dan perladangan. Pada umumnya para penduduk sebagian besar menanam padi, padi yang ditanam adalah jenis padi yang sudah modern yang mana dapat panen hingga 3 kali dalam setahun. Tanaman lain yang ada di kelurahan Tanjung Selamat ini adalah seperti: kacang, ubi, kopi, pisang, coklat, jahe, tomat, cabe dan jagung. Pengolahannya telah menggunakan system irigasi yang masih sederhana dengan mengalirkan melalui parit yang sebagian ditembok dengan semesn dan sebagian lagi hanya digali berupa saluran air tanpa tembok semen.

Selain dari tanaman pokok mereka, juga didapat beberapa ternak, seperti : babi, anjing, ayam, lembu, ikan, dan bebek.

2.3 Gambaran Penduduk Desa Kelurahan Tanjung Selamat 2.3.1 Keadaan Penduduk

Penduduk kelurahan Tanjung Selamat di tahun 2007 seluruhnya berjumlah 9162 jiwa yang terdiri 4362 jiwa laki-laki dan 4800 jiwa perempuan dari 2160 kepala

Gambar

Tabel 9  No  Pungutan  Jumlahnya  01  02  03  04.  05  06  Sewa kios   Uang kebersihan  Uang Keamanan   Uang jaga gudang Uang makan Ongkos PP  Rp 25.000 Rp   1000 Rp   2000 Rp   6000 Rp   6000 Rp   6000  Rp 46.000
Tabel 11  No  Pungutan  Jumlahnya  01  02  03  Sewa kios   Uang kebersihan  Uang Keamanan   Rp 25.000x3 = Rp   75000 Rp   1000 x3 = Rp     3000  Rp   2000 x3=  Rp      6000
Tabel 13  No  Pungutan  Jumlahnya  01  02  03  04.  05  06  Sewa kios   Uang kebersihan  Uang Keamanan   Uang jaga gudang Uang makan Ongkos PP  Rp 25.000x12= Rp   300.000 Rp   1000 x12= Rp     12.000  Rp   2000 x12=  Rp      24.000 Rp   6000 x12=  Rp    72
Tabel 14  No  Pungutan  Jumlahnya  01  02  03  04.  05  06  07.  08  Sewa kios   Uang kebersihan  Uang Keamanan   Uang jaga gudang Uang makan Ongkos PP
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan proses Penunjukan Langsung, maka telah diterbitkan Surat Penetapan Penyedia Barang/Jasa Nomor: 013/Opr/PPBJ-BP4K/V/2013

Penelitian ini juga menunjukkan sebelum dilakukan terapi bermain peran terdapat 7 orang (23,4%) anak yang memiliki tingkat sosialisasi cukup, anak yang memiliki

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin,

Dengan adanya program ini diharapkan akan bisa di jadikan acuan untuk menemukan pemecahan terhadap masalah dalam data kepegawaian dan agar sistem informasi

5.3.1 Purata Peratus Kehadiran Murid ke Sekolah bagi Tahun Terkini.  Analisis Kehadiran murid –

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus yang masing- masing siklus terdiri dari dua kali pertemuan maka dapat diambil simpulan

Penentuan fungsi dan program ruang berbasis aktivitas kebutuhan kawasan superblok atau sesuai kebutuhan masyarakat Jakarta Utara yang tergolong metropolitan terdiri

ISPRS Annals of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume III-1, 2016 XXIII ISPRS Congress, 12–19 July 2016, Prague, Czech Republic... generation