• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI. Metode pengumpulan dan perancangan dalam penelitian menggunakan metode

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III METODOLOGI. Metode pengumpulan dan perancangan dalam penelitian menggunakan metode"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

99

BAB III METODOLOGI

3.1. Gambaran Umum

Metode pengumpulan dan perancangan dalam penelitian menggunakan metode design thinking dari Robert Curedale. Metode perancangan Design Thinking Robert Curedale terdiri dari 8 tahapan yaitu (1) Empathy Research, (2) Synthesis, (3) Point of View Brief, (4) Ideation Generate Ideas, (5) Prototype, (6) Design, (7) Test.

Pada tahap empathy research, riset yang dilakukan oleh penulis merupakan pendekatan gabungan, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualititatif.

Pada pendekatan kuantitatif, cara untuk mengumpulkan data adalah kuesioner.

Kuesioner ditujukan kepada murid-murid salah satu Sekolah Dasar Negeri di Jakarta. Pada pendekatan kualitatif, cara untuk mengumpulkan data adalah observasi, wawancara, dan focus group discussion. Observasi dilakukan ke salah satu Sekolah Dasar Negeri yang sama dengan penulis riset kuantitatif. Wawancara dilakukan kepada KPAI, Psikolog Anak, salah satu saksi perundungan, dan pakar game. Lalu focus group discussion dilakukan kepada guru-guru wali kelas salah satu Sekolah Dasar Negeri yang sama.

Tahap kedua synthesis, penulis mengumpulkan semua hasil data riset dan studi pustaka ke dalam bentuk mindmap. Setelah mencatat proses pengumpulan data ke dalam mindmap, langkah selanjutnya yang dilakukan penulis adalah menyusun empathy map yang kemudian dipakai untuk menyusun persona. Tujuan

(2)

100 pembuatan persona adalah membuat perancangan menjadi lebih fokus dan lebih spesifik.

Tahap ketiga point of view project brief, penulis melakukan checklist kebutuhan penting yang harus dimasukkan ke dalam berdasarkan pengolahan data yang dilakukan pada tahap synthesis.

Tahap keempat ideation generate ideas, penulis melakukan brainstorming dengan anggota tim. Brainstorming dilakukan untuk mendapatkan kesan, tipe game serta cara bermain yang ingin disampaikan tim kepada pemain. Pada tahap ini, proses brainstorming yang dilakuakan antara lain keyword gameplay, fitur dan fungsi, user goal, task flow, information architecture, flowchart, dan wireflow.

Tahap kelima prototype, penulis melakukan prototyping berupa animate prototyping pada hasil wireflow. Tujuan wireflow ini dilakukan untuk memastikan experience perpindahan halaman sudah baik.

Tahap keenam design, penulis melakukan design berupa user interface.

User interface yang penulis rancang terdiri natural user interface dan graphical user interface. Masing-masing kategori ini memiliki feel berbeda berdasarkan teori user interface bab dua. Setelah melakukan proses desain, penulis melakukan tahapan mockup dan prototyping sekali lagi untuk meemastikan peletakan dan feel pada user interface sudah tersampaikan dengan baik atau belum.

Tahap ketujuh test, penulis melakukan test perancangan pada prototype day tanggal 25 Oktober 2019. Test ini dilakukan kepada pengunjung prototype day untuk mendapatkan feedback berupa kelebihan dan kekurangan pada

(3)

101 perancangan. Setelah proses test selesai, penulis merekap hasil feedback yang kemudian dianalisa di bab empat.

Gambar 3.1. Skema Perancangan 3.2. Empathy Research

Pada tahapan ini, pengguna melakukan riset dengan cara-cara yang berbeda yaitu kuesioner, observasi, wawancara, dan focus group discussion. Kuesioner digunakan untuk mengetahui jenis perundungan yang terjadi di sekolah dasar negeri, kebiasaan anak menggunakan telepon seluler, penggunaan jenis telepon

(4)

102 seluler, jenis mobile game yang dimainkan, dan motivasi anak memainkan game tersebut. Tahapan observasi dilakukan untuk mengetahui

3.2.1. Kuesioner

Kuesioner diberikan kepada anak Sekolah Dasar Negeri kelas 5 di salah satu Sekolah Dasar Negeri di Jakarta dengan total 48 anak pada tanggal 28 Agustus 2019. Kuesioner yang diberikan kepada anak berupa kuesioner fisik. Sekolah Dasar Negeri yang diriset tidak ada laboratorium komputer dan tidak memperbolehkan siswa untuk membawa telepon seluler sehingga tidak memungkinkan penulis bersama anggota tim kelompok untuk memberikan kuesioner dalam bentuk online. Kuesioner yang diberikan bertujuan untuk memperoleh data mengenai perundungan yang terjadi di sekolah, kebiasaan anak menggunakan telepon seluler, penggunaan jenis telepon seluler, jenis mobile game yang dimainkan untuk mengetahui pola kerja tangan, dan motivasi memainkan game tersebut. Berikut data yang diperoleh :

Gambar 3.2. Diagram Jenis Perundungan Yang Ada Pada Sekolah Dasar Negeri

(5)

103 Gambar 3.3. Diagram Sikap Jika Melihat Teman Diejek/Diperlakukam Kasar Oleh

Temanmu yang lain

Gambar 3.4. Diagram Punya Smartphone

(6)

104 Gambar 3.5. Diagram Jenis Smartphone

Gambar 3.6. Diagram Jam Main Game Smartphone

(7)

105 Gambar 3.7. Diagram Jenis Game Yang Disuka

Tabel 3.1. Tabel Alasan Anak Suka Game

Alasan Jumlah

Suka bertanding 8

Menciptakan sesuatu 6

Mengumpulkan barang 2

Bermain dengan teman 19

Suka menebak teka-teki dan melatih otak 5 Suka dinosaur (Jurassic World Mobile) 1

Bertahan hidup (surviving) 3

Suka tantangan dan menegangkan 2

Suka bertani 1

Berdasarkan hasil kuesioner yang tertera di atas, penulis mendapat insight.

Pertama, bahwa anak-anak dapat bermain game smartphone tanpa harus memiliki smartphone karena dapat meminjam smartphone dari orangtua sendiri. Kedua, jam bermain smartphone dilakukan setelah jam pulang sekolah pukul 12.00.

Ketiga, jenis permainan yang dimainkan adalah jenis game aktif yang banyak gameplay bertolak belakang dengan game yang pasif yang banyak story dibanding

(8)

106 gameplay. Keempat, Pola genggam tangan saat memainkan game berupa two hands – landscape dilihat dari jenis game yang dimainkan berupa MOBA dan action. Kelima, jenis perundungan yang banyak terjadi di Sekolah Dasar Negeri tersebut adalah verbal.

3.2.2. Observasi

Observasi lapangan dilakukan pada salah satu Sekolah Dasar Negeri yang sama dengan penulis gunakan untuk cara kuesioner pada tanggal 28 Agustus 2019.

Observasi dilakukan dengan mengelilingi dua gedung sekolah untuk mengetahui cara anak-anak bergaul, berperilaku keseharian di sekolah dan menggali informasi langsung mengenai perundungan dengan anak-anak. Cara Observasi ini dilakukan karena cara kuesioner masih belum dapat menggali lebih dalam mengenai perundungan yang terjadi di sekolah serta perilaku keseharian anak di sekolah.

Setelah melakukan observasi di Sekolah Dasar Negeri selama 5 jam dari pukul 08.00 WIB, hasil yang dapat ditemukan adalah :

1. Terdapat kekerasan fisik yang terjadi di lorong depan salah satu kelas.

Kekerasan fisik tersebut berupa pukulan tangan kepada temannya disertai kata-kata kasar. Pada saat kejadian tersebut, penulis berusaha mendekati anak-anak tersebut untuk melakukan peleraian dan berhasil mengambil foto kejadian terlebih dahulu. Setelah penulis mendekati kejadian tersebut, situasi anak-anak mencekam dan langsung bubar ketika melihat penulis.

(9)

107 Gambar 3.8. Foto Kejadian Kekerasan Fisik di Sekolah Dasar Negeri 2. Terdapat perundungan relasional yang terjadi pada saat anak-anak

mengerumuni penulis bersama anggota kelompok perancangan. Bentuk perundungan relasional yang terjadi adalah anak-anak berteriak keras-keras dan menunjuk temannya melakukan perundungan. Hal ini disaksikan dan didengar langsung oleh penulis dan penulis berhasil mengambil foto hasil kejadian tersebut.

Gambar 3.9. Foto Kejadian Perundungan Relasional di Sekolah Dasar Negeri

(10)

108 3.2.3. Focus Group Discussion

Focus group discussion (FGD) dilakukan kepada guru-guru yang menjadi wali kelas Sekolah Dasar Negeri yang penulis lakukan untuk riset dengan kuesioner dan observasi. Tujuan FGD ini adalah menggali informasi mengenai perundungan yang pernah terjadi di sekolah dan cara penanganan beliau-beliau jika ada kasus perunudungan terjadi. Waktu wawancara dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2019, pukul 09.00 WIB. Berikut merupakan hasil FGD :

FGD dimulai pengenalan diri penulis bersama anggota tim perancangan dan menceritakan tujuan kedatangan untuk mengumpulkan informasi serta tujaun perancangan. Guru-guru menceritakan biasa bentuk perundungan yang didengar maupun dilihat secara langsung adalah verbal berupa ejekan nama orangtua yang akhirnya ujungnya ada perkelahian. Bentuk penanganan yang dilakukan guru selanjutnya adalah peneguran agar tidak saling mengejek lagi. Namun berdasarkan informasi yang diberikan oleh guru, perilaku perundungan verbal ejekan dimulai lagi di esok hari seterusnya walau peneguran sudah dilakukan.

Guru-guru memberitahu bahwa pernah ada satu anak yang keturunan orangtuanya Nigeria, anak tersebut diejek hitam oleh teman-teman sekitarnya.

Peneguran dari guru-guru dilakukan untuk anak-anak yang berkata kasar, namun pada esoknya kejadian perundungan tersebut terjadi lagi hingga ia lulus dari Sekolah Dasar.

Ada dua kejadian unik yang diberitahu oleh guru-guru bahwa ada kasus toleransi yang kuat pada anak berkebutuhan khusus dan perundungan relasional.

Pertama, Anak yang berkebutuhan khusus selalu dibantu oleh teman sekitarnya

(11)

109 untuk melakukan aktivitas tertentu di sekolah. Namun guru-guru tidak tahu apakah luar yang dilihat itu adalah benar sesuai dengan dalamnya. Kedua, ada anak berkebutuhan khusus lain yang dijauhi oleh teman-temannya karena dicap berbahaya dan aneh oleh teman-temannya. Bahaya dalam artian anak berkebutuhan khusus tersebut sering berbicara hal yang aneh.

Gambar 3.10. Foto Focus Group Discussion Guru-Guru Sekolah Dasar Negeri 3.2.4. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu proses pernelitian maupun perancangan penulis. Wawancara telah dilakukan kepada 5 orang, yaitu (1) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), (2) Psikolog Anak, (3), 2D Artist Toge Production, dan (4) salah satu murid saksi perundungan.

Berikut merupakan rekapan hasil wawancara yang telah dilakukan :

1. Wawancara dengan Elita Gafar (Sekretariat Komisi Perlindungan Anak Indonesia)

Tempat : Jl. Teuku Umar No. 10-12, RT.1/RW.1, Gondangdia, Kec.

Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta Waktu : 5 Agustus 2019, 14.00 WIB

(12)

110 Wawancara dimulai dari perkenalan pewawancara dengan Elita selaku narasumber. Pembahasan wawancara mengenai kasus-kasus kekerasan di sekolah.

Elita menjelaskan visi dna misi KPAI terlebih dahulu sebelum pewawancara memulai pertanyaan. Berbagai kerjaan KPAI yang disosialisasikan ke pemerintah berkaitan dengan anak adalah pembuatan trotoar karena berhubungan dengan anak difabel, toilet pria wanita sekolah, dan masih banyak lainnya. Elita menekankan bahwa KPAI hanya bertugas untuk pengawasan, penyelenggaran dan perlindungan anak.

Elita memberitahu bahwa ada 4 jenis kekerasan yang terjadi pada anak yaitu kekerasan fisik yaitu memukul, menendang, kekerasan psikis yaitu mengejak jelek, kekerasan seksusal dan penelantaran. KPAI mengawasi dalam penyelenggaraan, memberi masukan tentang kebijakan, melayani pengajuan secara langsung dan tidak langsung seperti media sosial. Elita menberitahu bahwa segala pengaduan dalam bentuk akan dilayani oleh KPAI. Elita menjelaskan bahwa jika pengaduan berupa data, KPAI melayani dan membantu dalam bentuk mediasi. Namun per pidana, KPAI akan merujuk kepada lembaga yang terdapat di pemerintahan. KPAI juga melapor ke pihak berwajib

Elita menceritakan komisioner yang ada di KPAI dari kesehatan, pendidikan, agama, budaya dan masih banyak lainnya. Elita pernah menemui kasus kawin campur melibatkan anak yang akhirnya hak pengasuhan. Elita memberitahu bahwa KPAI juga mengawasi kebijakan

(13)

111 pemerintah yang melibatkan anak-anak. KPAI mengawasi apakah kebijakan tersebut bagus terhadap anak dan memonitori sekolah dasar negeri dengan sekolah menengah pertama.

Elita memberitahu bahwa kekerasan yang terjadi di sekolah dapat terjadi di mana-mana. Beliau memberikan contoh di ruang UKS yaitu penukaran baju. Elita menceritakan bahwa KPAI yang menyarankan sekolah-sekolah untuk memisahkan toilet perempuan dan toilet untuk laki- laki sehingga akan terlihat nampak kelihatan menyimpang. Guru juga ada yang menyimpang seperti guru olahraga dan agama. Ada kasus guru olahraga yang mengintip murid-muridnya sedang mengganti baju. Elita menceritakan pengalaman KPAI menangani dibidang kesehatan seperti ada anak yang meninggal karena kesalahan dokter dalam malpraktek.

Elita menjelaskan bahwa kasus pengaduan anak yang paling banyak dilaporkan adalah bullying. Elita membertitahu yang menjadi pelaku bully adalah kawan sebaya melakukan kekerasan yang akhirnya menyebabkan korban bully menjadi trauma, takut ke sekolah dan berefek negatif ke masa dewasa.

Elita menceritakan ada game yang terdapat konten yang negatif berupa kekerasan fisik, seksual, dan lain-lain. Beliau menyarankan kepada penulis bahwa pembuatan game untuk anak-anak dibuat dalam bentuk edukatif. Hal ini disebutkan beliau karena jika ada kesalahan dalam pemasukan konten ke media tersebut, maka penderitaan korban akan bertambah dan berlanjut selama 20 tahun.

(14)

112 Elita menjelaskan bahwa di antara 1 dari 3 anak di sekolah mengalami kekerasan. Selain itu, banyak kasus yang tidak dapat direkap maupun terpublikasi oleh KPAI mengenai kekerasan di sekolah. Bentuk- bentuk kekerasan psikis yang sering dilaporkan oleh pengadu ke KPAI.

Tindakan perundungan di sekolah dapat bermacam-macam yaitu antar siswa, laki-laki dengan perempuan, senior dengan junior, dan guru ke murid. Dalam hal ini, Elita memberikan data kasus perundungan yang terjadi di sekolah. Data tersebut diperbarui pada 31 Mei 2019 Pukul 18.00 WIB.

Gambar 3.11. Data Kasus Perundungan di Sekolah Menurut KPAI Tahun 2011 - 2019

Selanjutnya, Elita menceritakan bahwa pelaku bully melakukan tindakan perundungan dari tontontan televisi dan mencoba untuk menirunya agar terlihat gagah di mata temannya. Lalu perilaku pola asuh orangtua juga dapat memberikan dampak bagi anak untuk meniru perilaku orangtuanya.

Elita menjelaskan cara penyelesaian perundungan adalah mediasi.

Tapi jika sudah terjadi kasus pembunuhan dan pemerkosaan, Undang- Undang berlaku bagi anak tersebut untuk anak usia 12 tahun ke atas. Jika

(15)

113 pelakunya adalah 12 tahun ke bawah, maka ada proses yang dinamakan diversi antara aparat hukum pihak kepolisian dan kejaksaan yang kemudian ada proses rehabilitasi pada anak.

Elita menceritakan bahwa rata-rata korban kasus perundungan dalam setiap kasus pada perempuan ada 1. Namun jika rata-rata korban kasus perundungan pada laki-laki, korbannya lebih dari 1.Terakhir, penulis menanyakan posisi mediator, apakah posisi mediator hanya pada orang dewasa atau anak usia sebaya. Elita menjawab KPAI ada 2 posisi kasus perundungan yaitu pelapor dan pelopor. Pelapor adalah orang yang melaporkan kasus perundungan, sedangkan pelopor adalah orang yang berusaha membantu menyelesaikan kasus perundungan. Anak usia sebaya dapat membantu temannya yang terkena perundungan dengan menjadi pelopor.

Gambar 3.12. Wawancara dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia

(16)

114 2. Wawancara Adib Setiawan (Psikolog anak-anak, Yayasan Praktek

Psikolog Indonesia)

Tempat : Gedung Bintaro Business Centre, Jl. RC. Veteran Raya No. 1-I, RT.1/RW3, Bintaro, Kec. Pesanggarahan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Waktu : 22 Juli 2019, 11.00

Wawancara dimulai dari perkenalan pewawancara dan Adib selaku narasumber. Pembahasan wawancara mengenai pola pikir anak usia 9-12 tahun.

Wawancara dimulai dari pewawancara menjelaskan dahulu bahwa pewawancara mengetahui teori psikologi Piaget dan Kohlberg tentang perbandingan perkembangan anak 9-12 tahun dan umur di bawah umur tersebut dan menanyakan kecocokan usia tersebut dengan nilai moral.

Adib memberitahukan nilai-nilai moral memang harus ditanamkan sejak dini. Nilai-nilai moral yang biasa diajarkan kepada anak-anak berupa memahami keadaan orangtuanya, dan memahami teman-temannya. Beliau mengatakan untuk pengajaran nilai moral kepada umur 9-12 tahun sudah cocok.

Adib menjelaskan usia 9-12 tahun adalah usia yang tepat untuk mengajarkan bagaimana menolong orang lain, kerjasama, dan terutama menghargai orang lain. Adib juga menjelaskan bahwa menghargai itu diawali dari bagaimana menghargai diri sendiri, menghargai orangtuanya, teman, tetangganya, saudara, dan sepupu.

(17)

115 Adib mengatakan bahwa perkembangan psikologi anak di usia 9- 12 tahun, anak mengalami transisi pemikiran konkrit menjadi abstrak.

Anak-anak umur 8 tahun ke bawah berpikir konkrit. Adib mencontohkan umu 9-12 tahun mulai mempelajari idiom seperti menggunakan tangan kanan untuk mengambil dan menyerahkan barang, dan mengarang, sedangkan usia tahun ke bawah masih mempelajari cara berhitung. Adib memberitahu pembelajaran abstrak paling cocok seperti menghargai pengemis, menghargai orangtua, menghargai guru, sehingga akhirnya menghargai teman. Yang membuat anak susah untuk menghargai adalah doktrin. Doktrin itu terkait dengan stereotype. Stereotype adalah suatu kebencian dari individu karena ada pengalaman tertentu, karena pengalaman tersebutlah yang membuat sesuatu kurang menyenangkan sehingga muncul kata-kata.

Adib menjelaskan perkembangan sosial emosional anak usia 9-12 tahun sudah mulai menghargai orang lain. Perkembangannya dilihat dari alur bahasa karena sudah dapat merangkai kata dan mengarang kata-kata.

Perkembangan sosial emosioanl pada anak usia 9-12 tahun lebih stabil dibanding anak usia 8 tahun ke bawah karena masih cenderung egosentris.

Adib membertitahu bahwa anak usia 9-12 tahun sedang lagi masa-masa senangnya bermain dengan teman.

Adib memberitahu usia 9-12 tahun butuh pembiasaan. Adib memberitahu menurut erikson, usia-usia anak perlu membuat sebuah industry atau membuat sebuah kemampuan seperti kemampuan

(18)

116 matematika, kemampuan olahraga, seni. Kemampuan-kemampuan tersebut harus dikuasaia agar lebih percaya diri. Dalam perkembangan moral perlu diberikan contoh terkait dengan moral.

Adib memberitahu bahwa konflik di sekolah sering terjadi pada anak usia 9-12 tahun adalah bullying. Anak merasa minder, kemampuan bahasanya kurang sehingga dia tidak bisa mengkomunikasikan apa yang dirasakan. Adib memberi contoh bahwa ada teman anak yang secara fisik lebih kuat, menonjok, memukul anak yang lebih lemah sehingga anak lemah tersebut muncul kebencian ketika menjadi korban bullying, tapi biasanya anak yang menjadi korban bullying pada dasarnya dari keluarga karena keluarga kurang perhatian kepada anak. Dari kekurangan perhatian itulah yang membuat kemampuan komunikasi anak menjadi kurang. Dari sisi pelaku bully juga sama. Karena kurang perhatian maka pelaku tersebut mencari perhatian. Adib memberitahu biasanya korban bullying akan menjadi intoleran karena sudah dendam kepada pelaku di hatinya.

Adib memberitahu bahwa yang perlu ditahu efek korban bully yang terkena bullying adalah apakah ditaruh ke batin, apakah korban dapat memaafkan pelaku bully. Kalau korban bully dapat memaafkan, maka tidak akan menjadi masalah besar. Jika tidak bisa memaafkan, maka akan muncul kebencian.

Adib menjelaskan bahwa guru tidak memperhatikan jika korban bully terkena bullying. Guru biasanya mengarah ke academic oriented, tidak terlalu memperhatikan korban bully. Jarang sekali ada guru yang

(19)

117 memperhatikan muridnya. Cara guru biasanya membantu korban bully adalah membenarkannya, mendorong korban agar bisa bermain dengan teman-teman kelas lain supaya lebih peduli terhadap orang lain.

Adib memberitahu bahwa biasanya korban bully setelah di bully tidak akan menceritakannya kepada orang lain melainkan dipendam ke hati. Adib juga memberitahu biasanya korban bully menceritakan bullynya ke orangtuanya atau gurunya. Kalau korban bully semakin mau bercerita kepada orang lain, maka tidak akan menjadi trauma yang berlebih.

Adib menjelaskan bentuk-bentuk emosi yang ditunjukkan korban bully adalah murung dan agresif. Adib menekankan bahwa bullying yang paling keras adalah mendapatkan kekerasan dari kedua orang tua. Kalau orangtuanya fine aja, maka dampak bully tidak berbahaya karena bisa ditangkal. Tapi kalau bullynya dari orangtuanya dan temannya, maka biasanya sifat korban tersebut adalah pendiam sekali dan biasanya menjadi pelaku-pelaku yang sangat intoleran memicu ekstrimisme seperti pembunuhan, terorisme. Jika korban memiliki keluarga dan teman yang melakukan kekerasan , maka korban lama-lama mempunyai pemikiran radikal.

Adib menjelaskan bahwa pengetahuan moral anak usia 9-12 tahun baik asalkan moral masyarakat lingkungan sekitar dan sekolah juga baik.

Anak umur 9-12 tahun juga tidak peduli dengan perihal politik. Kekerasan dari orangtua dan teman akan bermetamorfosis menjadi sikap-sikap

(20)

118 intoleran jika ada doktrin tertentu yang menyampurinya yang akan datang ketika menginjak remaja terutama umur 12 tahun ke atas.

Adib memberitahu untuk meningkatkan moralitas pada anak dapat dengan cara memberi contoh baik, publikasi disertai kampanye yang positif. Adib menjelaskan bahwa Adib menjelaskan bahwa cara efektif untuk anak mempelajari moral adalah terlibat langsung terhadap kegiatan- kegiatan yang bersifat heterogen karena lingkungan sekolah dasar sekarang homogen. Adib menambahkan anak-anak akan mempunyai norma yang buruk jika keluarganya juga mempunyai norma yang buruk sehingga orangtua merupakan role model yang penting bagi anak.

Terakhir Adib memberitahu bahwa metode pembelajaran moral dengan smartphone efektif karena anak-anak sekolah dasar sekatrang sudah memakai smartphone dan diperbolehkan orangtua. Adib menyarankan bahwa gamenya harus bersifat heterogen bersama manusia saling mengasihi dan mencintai.

Gambar 3.13. Wawancara dengan Psikolog Anak

(21)

119 3. Wawancara dengan Dio (2D Artist, dari Toge Production)

Tempat : Maxx Coffee – MaxxBoxx Lippo Karawaci Waktu : 13 September 2019, 19.00 WIB

Wawancara dimulai dengan perkenalan pewawancara dengan Dio selaku 2D Artist dari Toge Production. Pembahasan wawancara mengenai tahapan game development dan peranan UI/UX dalam game.

Dio menjelaskan bahwa dalam merancang suatu game, perlu melakukan riset kepada target pasar. Lalu untuk merancang game, pemain harus ada merasa menang karena tingkat pemain untuk memainkan game akan meningkat dan tidak bosan.

Sebelum melalui tahap proses pembenahan fitur dan fungsi, perancang UI/UX harus memperjelas gameplay terlebih dahulu dikarenakan posisi level designer tidak ada pada tim. Lalu berdasarkan riset tertentu, pemain yang berupa anak-anak tidak menyukai jenis permainan yang berat pada cerita (story).

Dio menyarankan untuk membuat milestone berupa MVP (Minimum Viable Product). MVP yang dimaksud terdiri dari tingkat pemain untuk menggunakan produk lagi, bisa direplay/loop, ada objektif, dan bisa dimainkan.

Dio menjelaskkan kembali tahapan proses pembuatan game, yaitu : 1. Tentukan tema.

2. Tentukan target pasar.

3. Cari referensi (art) dari tema / target pasar yang sama.

(22)

120 4. Tentukan jenis game yang dituju, misalnya tujuan game adalah

edukasi, dll)

5. Komunikasi antar tim sangat penting. Masing-masing setuju dengan konsep dan pastikan komunikasi tidak tumpeng tindih.

Selanjutnya, Dio menjelaskan seberapa penting peranan UI/UX dalam game. Peran UI/UX dalam game adalah menciptakan ease of use (usability). UX mempengaruhi seberapa pemain ingin memainkan game yang sudah dimainkan lagi. Standarisasi UI/UX berasal dari target pasar.

Pengerjaan UI/UX harus berbarengan dengan environment dan karakter.

Pengerjaan UI/UX pada game dapat berupa storyboard (objektif, transisi perpindahan tempat, dan cutscene). Cutscene dipengaruhi oleh character artist berupa ekspresi, sifat, gestur, dan dialog. Dio menyarankan untuk mempelajari golden rules of UI/UX terlebih dahulu sebelum memulai.

Terakhir, Dio memberitahu bahwa bentuk akhir dari pekerjaan UI/UX adalah mockup/screenshot dari pemetaan per adegan karena programming bukan tugas dari UI/UX.

Gambar 3.14. Wawancara dengan Dio dari Toge Production

(23)

121 4. Wawancara dengan salah satu saksi perundungan di Sekolah Dasar Negeri

Wawancara dimulai dengan pengenalan diri dari penulis dengan salah satu saksi perundungan di Sekolah Dasar Negeri. Pembahasan wawancara mengenai profil, konflik perundungan yang terjadi, hubungan saksi dengan pelaku dan korban perundungan, jalan untuk menyelamatkan korban perundungan, pandangan tentang perundungan, hal yang dilihat dan didengar dari tindakan perundungan, game yang sering dimainkan, motivasi dalam bermain, pain dan gain dalam membantu korban perundungan, dan goal untuk menghentikan perundungan. Pertanyaan- pertanyaan yang diajukan kepada saksi perundungan berhubungan dengan penyusunan empathy map sehingga hasil yang dari wawancara dengan saksi perundungan dapat diterjemahkan langsung ke dalam empathy map dan dapat membentuk persona.

Salah satu saksi perundungan di Sekolah Dasar Negeri atau bisa disebut A, merupakan murid kelas 5. A menceritakan dirinya yang menjadi saksi perundungan yang belum lama terjadi. Kejadian perundungan dimulai dari pelaku perundungan mengejek korban perundungan dengan sebutan “virus”. Korban perundungan dijauhi oleh teman-teman lainnya karena merasa jijik diakibatkan pengaruh dari pelaku perundungan. Sebutan virus diawali dari permainan yang akhirnya korban perundungan dijuluki virus. A menceritakan bahwa korban perundungan tiap kali berjalan ke lorong kelas maupun lain, selalu ditertawakan, dikucilkan, dan diperlakukan kasar.

(24)

122 A menceritakan bahwa waktu tindakan perundungan terjadi, A hanya diam saja karena takut dibully pada akhirnya. Namun A ingin menolong korban tersebut. A merasa bahwa jika ia membela korban, maka ia akan dicap sebagai pembela atau penantang. Selain itu untuk menghindari menjadi korban perundungan, A menjadi korban perundungan agar tidak terkena perundungan. Namun A merasa kasihan kepada korban karena A melihat korban hampir tidak mempunyai teman sama sekali sehingga A pada akhirnya memilih untuk diam saja. A menceritakan bahwa melaporkan ke guru memperparah keadaan dan membuat A menjadi terkena perundungan karena dicap “tukang ngadu”.

Menurut A, jalan untuk menghentikan perundungan adalah pindah sekolah yang jauh agar tidak ada yang mengenali. A juga menceritakan bahwa korban perundungan bercerita setelah lulus kelas 6 ia akan pindah sekolah.

Selanjutnya, A merasa sangat kesulitan dalam membantu korban karena takut dibully kembali. A menceritakan sekolahnya bahwa jika bertindak menolong sedikit maka langsung terbawa arus bully diejek, dan membuatnya harus berpikir kembali ingin membantu korban perundungan atau tidak. Lalu, A bicara bahwa jika korban perundungan adalah teman dekatnya maka A akan memutuskan langsung untuk menolongnya. Tujuan A ingin membantu adalah ingin korban perundungan bisa nyaman belajar di sekolah seperti teman-teman sekitarnya dan agar kedepannya korban

(25)

123 perundungan dapat membantunya jika suatu ada kesusahan. Selain itu, A ingin menolong agar diterima oleh Yang Maha Kuasa.

3.3. Synthesis

Pada tahapan ini, pengguna melakukan pendalaman lebih lanjut melalui studi pustaka. Setelah melakukan studi pustaka, penulis melakukan pemetaan data dari hasil riset dan hasil pembelajaran studi pustaka. Lalu, penulis melakukan tahap pembentukan persona dari hasil riset wawancara saksi perundungan dan kuesioner. Setelah proses ini selesai, penulis melanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu point of view project brief.

3.3.1. Studi Pustaka

Penulis melakukan studi pustaka secara bertahap sesuai dengan kebutuhan penulis dan membuka jalan pikiran serta menambah pengetahuan penulis bahwa setiap perancangan mempunyai maksud tertentu dan teori tertentu. Dari studi pustaka, penulis mendapat banyak wawasan mengenai perundungan, tahapan pembuatan game, dan tahapan pembuatan UI/UX. Jenis-jenis studi pustaka yang dilakukan adalah buku fisik, e-book, e-journal, internet berupa website dan artikel berita.

Dari studi pustaka yang telah dilakukan, penulis mendapat informasi berupa cara penyelesaian perundungan yang efektif adalah dengan cara pencegahan. Cara-cara pencegahan yang disebutkan dari pustaka terdapat dua cara yaitu dengan cara solution card dan what if. Pada pustaka ini, penulis memilih cara solution card. Penulis melakukan analisa terhadap what if. What if merupakan salah satu permainan yang mirip dengan puzzle game design riddle dan lateral thinking yang harus menggunakan kemampuan berpikir tinggi dan

(26)

124 menggunakan kata-kata atau cerita dalam. Sedangkan solution card mirip dengan puzzle game design logic, exploration, dan item use. Melalui hal ini, penulis dapat menyimpulkan sedikit tipe game yang akan dipakai untuk menyelesaikan perundungan yaitu solution card.

Lalu penulis mendapat wawasan mengenai user interface dan user experience yang lebih mendalam. Dari studi pustaka, penulis mengetahui bahwa user interface terdapat 3 tipe yaitu CLI (Command Line Interface)¸ GUI (Graphical User Interface), dan NUI ( Natural User Interface). Penulis memilih GUI dan NUI. Penulis memilih GUI karena penulis melihat tipe game yang dimainkan masih menggunakan GUI untuk penerjemahan infomasi berupa ikon dan fitur. GUI juga mengandalkan visual metaphor untuk pembentukan ikon dan fitur. Lalu penulis juga menggunakan NUI karena interaksi yang disampaikan lebih dalam dan mempercepat alur informasi yang ingin disampaikan dan memperkuat usability.

Penulis juga mendapat wawasan lebih mengenai game terutama adventure dan puzzle game design. Hal ini penulis melihat kembali hasil riset game yang dimainkan dengan teori game development dan puzzle game design, penulis memilih game dengan kategori puzzle logic, exploration, dan item use disertai cerita. Logic yang dimaksud adalah pemilihan pertanyaan dan jawaban yang tepat, exploration yang dimaksud adalah pemain harus mencari barang, dan item use adalah menggunakan objek untuk dapat menyelesaikan level selanjutnya.

(27)

125 3.3.2. Mind Maps

Penulis melakukan Mind Maps untuk memetakan hasil riset dan pustaka. Tujuan penulis melakukan mind maps adalah untuk menambah wawasan penulis terhadap segala kemungkinan yang dalam melakukan perancangan dan merapikan data yang sudah diperoleh. Namun pada tahapan mind maps ini, penulis belum dapat menentukan interface feel yang harus dirasakan pemain karena tahapan ini masih dalam bentuk usability user experience dan fokus cerita.

Gambar 3.15. Mind Maps UX, Jenis UI, Cerita, Perundungan dan Gameplay 3.3.3. Persona

Penulis membuat persona untuk membuat perancangan lebih fokus dan spesifik ke target pasar. Selain itu, persona membantu penulis untuk berpikir seberapa sulit gameplay penulis harus merancang. Sebelum membuat persona, penulis membuat

(28)

126 penyusunan data riset wawancara dan kuesioner ke empathy map canvas.

Pemetaan pada empathy map canvas dilakukan untuk mengetahui : 1. Target yang dituju.

2. Tindakan yang harus dilakukan 3. Hal yang dilihat

4. Hal yang dibicarakan 5. Hal yang dilakukan 6. Hal yang didengar

7. Hal yang dipikirkan dan dirasakan 8. Goal

Berikut merupakan hasil penyusunan empathy map canvas :

Gambar 3.16. Empathy Map Canvas

(29)

127 Dari hasil penyusunan empathy map canvas, penulis memperoleh informasi berupa profil, personalitas, kerterampilan teknologi, frustrasi, keuntungan yang didapat, rutinitas, motivasi bermain dan goal. Tujuan persona juga membantu proses perancangan karakter dan environment. Tujuan pemberian profil adalah memberikan spesifikasi jenis dan resolusi smartphone yang digunakan. Personalitas untuk mengetahui pola pikir target pasar dalam merancang tingkat kesusahan gameplay. Keterampilan teknologi untuk mengetahui keterampilan dalam menggunakan smartphone dalam menyusun user experience yang mudah untuk digunakan. Frustasi, keuntungan, rutinitas dan goal membentu penulis untuk menerapkan tujuan perancangan.

Gambar 3.17. Persona “Budi”

Pada persona yang disusun bernama “Budi” merupakan sosok saksi perundungan yang melihat kasus perundungan yang terjadi pada temannya tanpa membantunya. Budi tidak membantunya karena takut terkena arus perundungan.

Lalu Budi memilih jalur aman yang tidak terkena perundungan sama sekali yaitu menjadi pelaku perundungan. Namun Budi ingin menolong korban perundungan

(30)

128 karena ingin korban perundungan dapat hidup dengan tenang seperti dia. Budi sempat ingin melaporkan kasus perundungan. Namun Budi teringat pernah ada kasus perundungan, seseorang pernah melaporakan ke guru. Setelah itu orang yang melaporkan tersebut terkena kasus perundungan yang lebih ekstrem dibanding korban perundungan yang asli. Sehingga Budi harus memikirkan kembali apakah membantunya atau tidak. Budi ingin menolongnya apabila korban perundungan adalah teman dekatnya. Teknologi yang dikuasai Budi adalah smartphone karena Budi jarang mengoperasi komputer. Di sekolah Budi tidak terdapat laboratorium komputer.

3.4. Point of View Project Brief

Pada tahapan ini, penulis menyusun daftar kebutuhan yang harus ada pada perancangan. Daftar kebutuhan tersebut disusun dalam bentuk checklist :

1. Cerita konflik perundungan.

2. Karakter pelaku, korban dan saksi perundungan.

3. Kartu Solusi.

4. Mencari kartu solusi.

5. Menyelesaikan konflik perundungan dengan kartu solusi.

6. Two hands-landscape.

7. Logic, exploration dan item use puzzle.

Pada tahapan ini, penulis dapat memperkirakan sedikit jenis user experience dan jenis puzzle yang dapat dimasukkan ke dalam perancangan karena bentuk pola genggam tangan pemain. Selain itu, bentuk cerita sudah dipikirkan bersama anggota tim dan dialog sudah diperkirakan oleh perancang karakter berdasarkan

(31)

129 teori yang digunakannya. Namun pada tahapan ini, penulis belum dapat membentuk daftar kebutuhan user interface karena membutuhkan referensi game.

3.5. Ideation Generate Ideas

Pada tahapan ideation generate ideas, penulis melakukan brainstorming bersama anggota tim untuk menghasilkan kesan game yang ingin ditonjolkan. Setelah kesan game sudah disepakati oleh tim dan mempunyai alasan yang kuat, penulis melakukan studi referensi mengenai game yang mempunyai kesan mirip. Setelah melakukan studi referensi, penulis dapat mengkategorikan fitur dan fungsi yang ingin dimasukkan ke dalam perancangan. Proses tahapan ideate ini mencapai wireflow.

3.5.1. Brainstorming

Penulis melakukan brainstorming kesan yang ingin disampaikan ketika pemain memainkan game “PrAbu”. Brainstorming dilakukan pada tanggal 2 Oktober 2019 bersama tim. Brainstorming dilakukan oleh penulis bersama anggota tim dengan cara menghasilkan keywords sebanyak-banyaknya dalam kurun waktu 1 menit. Objek yang dipakai sewaktu brainstorming adalah sticky notes, pena, dan spidol.

Gambar 3.18. Proses Brainstorming

(32)

130 Setelah melewati 1 menit, penulis mengumpulkan keywords dan menyusunnya sesuai dengan warna sticky notes. Total keywords yang dihasilkan dari brainstorming adalah 18. Dari hasil diskusi dan kesepakatan kelompok, terpilihlah 3 keywords yaitu heroic, tension, dan curious. Pemilihan heroic dikarenakan sosok saksi perundungan harus berani, kuat dan dapat menolong temannya yang terkena kasus perundungan. Pemilihan tension dikarenakan pencocokan masalah perundungan dengan kartu solusi menegangkan. Pemilihan curious dikarenakan pencarian kartu solusi dan informasi tambahan yang membantu penyelesaian perundungan membuat pemain penasaran.

Gambar 3.19. Keywords 3.5.2. Studi Referensi

Setelah melakukan proses brainstorming, penulis mencari dan melakukan studi referensi game yang mirip dengan keywords heroic, tension dan curious. Studi referensi dilakukan untuk memberi wawasan baru kepada penulis dan mendapatkan cara merancang UI dan UX. Game yang ditemukan mirip dengan keywords tersebut adalah “Jenny Leclue”, “Jo Wilder and The Capitol Case”,

“She and The Light Bearer”, “Ace Attorney”, dan “Oxenfree”

1. “Jenny LeClue”

“Jenny LeClue” merupakan game dengan genre adventure yang dirilis pada 19 September 2019. “Jenny LeClue” dirancang dan dikembangkan

(33)

131 oleh tim Mografi. “Jenny LeClue” menggunakan jenis pembangunan cerita metanaratif yaitu intro, conflict, dan resolution. “Jenny LeClue”

memiliki gameplay mencari barang, mencocokkan barang dengan yang dimiliki, dan quick time answer menjawab pertanyaan dengan jawaban yang tepat. Permainan “Jenny LeClue” adalah multiplatform yang terdiri dari iOS, Windows, macOS, Linux, Playstation 4, dan Nintendo Switch.

“Jenny LeClue” menceritakan seorang heroine bernama Jenny LeClue yang merupakan seorang detektif jenius, intuitif, dan pengejar criminal yang berusaha untuk mencari kebenaran. Ibu dari Jenny dituduh dalam kasus pembunuhan. Melalui hal ini, Jenny berusaha untuk mencari kebenaran dengan perjalanan yang tidak terduga atau tak disengaja untuk membuktikan ketidakbersalahan ibunya.

Menurut penulis, game “Jenny LeClue” menarik dari banyak segi macam hal meliputi sistem dialog yang menunjukkan gestur karakter, sistem pencarian barang, quick time answer, buku catatan, dan dialog yang mempunyai hirarki.

Pada dialog yang menunjukkan gestur karakter, penulis melihat bahwa UX ini merupakan hal bagus karena pemain dapat merasakan emosi dan reaksi langsung kepada karakter. Perpindahan dialog karakter dengan kamera membuat UX pada game membuatnya menarik dan terfokus kepada gestur karakter yang utama kemudian isi dialog menjadi kedua.

(34)

132 Gambar 3.20. Sistem Dialog “Jenny LeClue”

Pada dialog yang menunjukkan gestur karakter, penulis melihat bahwa UX ini merupakan hal bagus karena pemain berempati langsung kepada karakter. Perpindahan dialog karakter dengan kamera membuat UX pada game menarik dan terfokus kepada gestur karakter yang menjadi utama kemudian isi dialog menjadi kedua terpenting sehingga hirarki sebuah desain dapat terlihat.

Sistem pencarian barang pada “Jenny LeClue” membuat penulis terasa penasaran karena penggunaan NUI (Natural User Interface) berupa sistem zoom in dan gestur interaksi berupa tap dan drag. Pencarian barang ini harus teliti karena hal kecil dapat menjadi clues.

Gambar 3.21. Sistem Pencarian Barang “Jenny LeClue”

Gambar 3.22. Sistem Pencarian Barang 2 “Jenny LeClue”

Sistem pencocokan pertanyaan dengan jawaban pada “Jenny LeClue” membuat permainan yang masih terlihat ceria menjadi

(35)

133 menegangkan karena terdapat keterbatasan waktu dalam menjawab dan terdapat konsekuensi jika salah menjawab.

Gambar 3.23. Quick Time Answer “Jenny LeClue”

Sistem buku catatan pada “Jenny LeClue” adalah sebagai pengingat kepada pemain berupa hal yang sudah dilakukan oleh pemain, kasus-kasus detektif yang sudah dilakukan, misi yang harus dilakukan, menyimpan clue dalam bentuk tempelan plester, dan menyimpan map perjalanan tempuh. Sistem ini mempunyai peranan UX yang bagus karena dapat mengenali, menganalisis, dan dapat mencegah pemain dalam melakukan kesalahan pada aksi di dalam game.

Gambar 3.24. Buku Catatan “Jenny LeClue”

Pada buku catatan “Jenny LeClue”, terdapat penerapan UI yang menarik. Pemain dapat mengetahui informasi-informasi yang belum terkumpulkan dan sudah terkumpulkan. Pada informasi dan aksi yang

(36)

134 belum terkumpulkan berbentuk “?” sedangkan informasi dan aksi quick time answer sudah terkumpul dan dilakukan, maka informasi tersebut terisi dan menampilkan sejarah pemain melakukan pilihan quick time answer.

Gambar 3.25. Informasi pada Buku Catatan “Jenny LeClue”

Sistem hirarki dialog pada “Jenny LeClue” memiliki prinsip desain visual hirarki, focal point dan UX yang memiliki peranan penting di dalamnya untuk menyampaikan informasi penting yang pemain harus tahu. Prinsip desain hirarkikal dialog pada “Jenny LeClue” didukung dengan warna serta ukuran teks.

Gambar 3.26. Hirarki Teks Dialog “Jenny LeClue”

Menu utama pada “Jenny LeClue” memiliki prinsip desain asymmetrical balance. Jenny pada menu utama berada di sisi kiri dengan

(37)

135 ukuran besar, sedangkan tombol-tombol menu utama berada di sebelah kanan dengan ukuran yang cukup kecil. Selain itu, UX pada menu utama cukup terasa. Ketika pemain mengarahkan kursor atau menyentuh setiap tombol, reaksi dan emosi yang dihasilkan oleh Jenny berbeda. Misalnya, ketika pemain mengarahkan ke tombol keluar maka reaksi Jenny terakhir seperti orang mati.

Gambar 3.27. Menu Utama “Jenny LeClue”

Secara keseluruhan gameplay dan fitur pada “Jenny LeClue”

berfungsi dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun UX pada “Jenny LeClue”, dibutuhkan sinkronisasi antara karakter dan environment untuk menghasilkan UX yang efektif dalam gameplay dan fitur yang digunakan.

Dalam analisa UI, “Jenny LeClue” masih ada kekurangan yaitu pada tulisan dialog dan tulisan pada buku catatan. Pada tulisan kotak dialog percakapan antar karakter memakai archetype type uppercase. Jenis tulisan berkapital ditujukan untuk orang dyslexic kareana jenis tulisan berkapital agak sulit terbaca secara langsung dan membutuhkan waktu agak lama untuk membacanya sekaligus tidak mempunyai kontras

(38)

136 ascender dan descenders. Penggunaan dan peletakan jenis tulisan pada buku catatan membuat pemain bingung mana yang menjadi informasi prioritas dan memakai huruf kapital.

Gambar 3.28. Penulisan Buku Catatan “Jenny LeClue”

Melalui hasil analisis yang telah dilakukan penulis pada game

“Jenny LeClue”, penulis mempelajarinya dan game tersebut menjadi acuan dalam perancangan penulis berupa buku catatan, sistem dialog percakapan, sistem pencarian barang, quick time answer, dan karakter tokoh heroine Jenny.

2. “Jo Wilder and The Capitol Case”

“Jo Wilder and The Capitol Case” merupakan salah satu game dengan genre adventure yang dirilis pada tahun 2018. Game “Jo Wilder and The Capitol Case” dirancang dan dikembangkan oleh Field Day Lab dan Wisconsin Public Television (WPT). “Jo Wilder and The Capitol Case”

menggunakan jenis pembangunan cerita yang dengan “Jenny LeClue”

yaitu metanaratif. “Jo Wilder and The Capitol Case” dikembangkan sebagai media pembelajaran sejarah yang berkaitan dengan Wisconsin. “Jo

(39)

137 Wilder and The Capitol Case” memiliki gameplay dan fitur yang mirip dengan “Jenny LeClue” yaitu mencari barang, mencocokan jawaban dengan informasi dan barang yang sudah dikumpulkan, dan buku catatan.

Permainan “Jo Wilder and The Capitol Case” ini dapat diakses melalui WPT website dan bebas biaya akses.

Cerita“Jo Wilder and The Capitol Case” bermula dari tokoh utama yang bernama Jo Wilder melakukan perjalanannya untuk menyelesaikan misteri di balik artefak sejarah dan mencari musang peliharaannya yang hilang bernama Teddy. Penulis menemukan banyak hal menarik pada “Jo Wilder and The Capitol Case” yang meliputi navigasi pemain, buku catatan, eksplorasi karakter ke environment, dan navigasi peta.

Navigasi pemain pada “Jo Wilder and The Capitol Case”

merupakan penerapan dari NUI yang berupa munculnya munculnya pointer pada saat pemain mengarahkan Jo ke area lain. Navigasi ini merupakan hal yang menarik karena membuat desain game menjadi lebih intuitif. Visualisasi navigasi pada “Jo Wilder and The Capitol Case”

berbentuk lingkaran dengan animasi kecil ke besar. Animasi pada navigasi merupakan bentuk micro interaction pada pemain.

(40)

138 Gambar 3.29. Navigasi Karakter “Jo Wilder and The Capitol Case”

Buku catatan pada “Jo Wilder and The Capitol Case” memiliki kesamaan dengan “Jenny LeClue” yaitu berfungsi sebagai pengingat kepada pemain hal-hal yang harus dan sudah dilakukan, dan informasi- informasi yang sudah dikumpulkan sebagai kenangan dalam bentuk tempelan dengan didukung plester. Penulisan pada buku catatan menggunakan archetype type lowercase sehingga tulisan pada buku catatan menjadi mudah terbaca dan memiliki kontras ascender dan descender pada teks buku catatan.

Gambar 3.30. Buku Catatan “Jo Wilder and The Capitol Case”

Eksplorasi karakter terhadap environment mempunyai feel yang bagus karena pemain dapat eksplor ke area dengan bebas dan tak terbatas oleh gerakan statik atau kaku pada area-area tertentu. Jenis proyeksi digunakan “Jo Wilder and The Capitol Case” adalah graphical projections gabungan parallel dan perspective berupa oblique cabinet, orthographic side view dan perspektif satu titik hilang.

(41)

139 Gambar 3.31. Graphical Projections “Jo Wilder and The Capitol Case”

Navigasi peta pada “Jo Wilder and The Capitol Case” mempunyai fungsi memberitahu lokasi pemain berada dan memberitahu lokasi misi selanjutnya. Pemberitahuan misi pada peta diberitahukan melalui “!”.

Selain itu, fungsi peta pada “Jo Wilder and The Capitol Case” dirancang agar pemain tidak tersesat karena environmentnya yang luas. . Navigasi peta pada “Jo Wilder and The Capitol Case” dibuat berdasarkan profil dari museum dan terdapat blocking berupa area dan objek yang dapat dimasuki dan diinteraksi oleh Jo berdasarkan kepentingan atau misi.

Gambar 3.32. Peta “Jo Wilder and The Capitol Case”

Pada dialog percakapan “Jo Wilder and The Capitol Case”

menggunakan bubble text. Penggunaan teks dialog ini terfokus menjadi yang utama dan gestur dan ekspresi menjadi yang kedua. Namun

(42)

140 penggunaan archetype type teks dialog adalah uppercase sehingga keterbacaannya menjadi menurun.

Gambar 3.33. Bubble Dialog Text “Jo Wilder and The Capitol Case”

Melalui analisis yang sudah dilakukan penulis terhadap game “Jo Wilder and The Capitol Case”, penulis mempelajarinya lebih dalam dan game tersebut menjadi acuan penulis dalam perancangan, meliputi navigasi karakter, proyeksi game, buku catatan, dan navigasi peta.

3. “She and The Light Bearer”

“She and The Light Bearer” merupakan game dengan genre adventure point and click yang dirilis pada 17 Januari 2019. Game “She and The Light Bearer” dirancang oleh Mojiken Studo dan Toge Production. “She and The Light Bearer” menggunakan puzzle design berupa riddle, exploration, dan item use. “She and The Light Bearer” mempunyai fokus utama terhadap art, puisi, dialog, dan musik untuk menyampaikan cerita.

Jenis pembangunan cerita yang digunakan “She and The Light Bearer”

adalah metanaratif karena konflik dan goal pada game hanya satu yaitu menemukan dan menyelamatkan mother. Game “She and The Light Bearer” dimainkan pada platform iOS, Nintendo Switch, Windows, Linux, dan macOS.

(43)

141 Cerita “She and The Light Bearer” diawali dengan firefly yang diberikan tanggung jawab untuk mencari tahu keberadaan mother. Firefly melakukan perjalanan dengan melewati hutan-hutan yang indah dan hidup.

Firefly harus melewati rintangan puzzle dan berbicara dengan sejumlah makhluk hidup tumbuhan yang hidup dan aneh. Penulis melihat banyak hal yang menarik pada “She and The Light Bearer” yaitu menu utama, percakapan dialog, teks narator, inventory, navigation arrow, efek objek yang dapat disentuh, dan pause menu.

Pada menu utama “She and The Light Bearer” terdapat fungsi continue, start, gallery, settings dan quit. Fungsi continue adalah melanjutkan kembali permainan. Start adalah memulai permainan baru.

Gallery berfungsi sebagai penyimpan memori cutscene yang telah dilihat.

Settings berfungsi sebagai pengatur suara dan kualiitas grafis. Quit berfungsi untuk keluar dari permainan. Menurut penulis peletakan tombol- tombol fungsi menu utama di tengah layar sulit dijangkau ibu jari tanggan karena daya jangkau ibu jari tangan adalah sekitar pinggir layar.

Gambar 3.34. Menu Utama “She and The Light Bearer”

Pada percakapan dialog “She and The Light Bearer”, menggunakan stardarisasi sistem dialog yang berupa karakter saling

(44)

142 berhadapan dan terdapat kotak teks dialog. Emosi karakter pada waktu dialog cukup terasa karena gestur dan emosi karakter bergerak sesuai konten dialog percakapan. Namun keterbacaan dan hirarki pada teks dialog masih kurang.

Gambar 3.35. Dialog Percakapan Antar Karakter “She and The Light Bearer”

Teks Narator pada game “She and The Light Bearer” mempunyai feel yang bagus karena background pada teks narator dibuat opacity yang tipis untuk menampilkan environment yang sesuai dengan teks narator.

Gambar 3.36. Teks Narator “She and The Light Bearer”

Fitur inventory pada game “She and The Light Bearer” berfungsi sebagai tempat menaruh barang atau objek dan penggunaan barang atau objek kepada objek tertentu. Peletakan inventory di sisi kiri bawah mempermudah pengguna untuk meraihnya karena masih dalam jangkauan

(45)

143 ibu jari tangan. Lalu peletakan barang pada inventory cukup efektif berada di bawah yang tidak ada dalam area bermain karena tidak menganggu proses bermain dan visual environment. Selain itu, bentuk ikon nventory menyerupai tas.

Gambar 3.37. Inventory “She and The Light Bearer”

Navigation Arrow pada “She and The Light Bearer” berfungsi sebagai arah kepada pemain area yang dapat dituju. Fungsi navigation arrow ini cukup efektif kepada game yang arah pergantian dan nama tempat tidak dapat diketahui oleh pemain.

Gambar 3.38. Navigation Arrow “She and The Light Bearer”

Pada game “She and The Light Bearer”, objek yang dapat disentuh dan diinteraksikan bisa dibedakan dengan objek lainnya yang tidak dapat disentuh atau diinteraksikan. UX dan UI pada animasi efek ini cukup bagus karena memberikan informasi dengan tepat.

(46)

144 Gambar 3.39. Objek yang Bisa Disentuh pada “She and The Light Bearer”

Pada pause menu game “She and The Light Bearer”, bentuk ikon pause menu menyerupai hamburger button. Lalu layout pause menu berbentuk vertikal karena pengguna dapat melihat informasi secara lebih cepat. Penggunaan background dengan opacity tipis berfungsi untuk pemain dapat melihat dan mengingat hal yang belum lama dilakukan sembari berada di pause menu. Fungsi-fungsi pada pause menu “She and The Light Bearer” merupakan hal-hal standar yaitu resume, save, load, history, settings, dan quit.

Gambar 3.40. Pause Menu “She and The Light Bearer”

Melalui analisis yang sudah dilakukan penulis terhadap game “She and The Light Bearer”, penulis mempelajarinya lebih dalam dan game tersebut menjadi acuan penulis dalam perancangan, meliputi navigation

(47)

145 arrow, menu utama, teks narator, inventory, efek objek yang bisa disentuh, dan pause menu.

4. “Ace Attorney”

“Ace Attorney” merupakan game dengan genre adventure yang dirilis pada 12 Oktober 2001. “Ace Attorney” dirancang oleh Nintendo of America Inc., Capcom, Level-5, Nintendo Australia, dan CE Europe Ltd.

Game “Ace Attorney” menggunakan pembangunan cerita dramatic arc yang membuat game ini berdramatis. “Ace Attorney” dapat dimainkan pada multiplatform terutama Android dan iOS.

“Ace Attorney” menceritakan pemain menjadi seorang pengacara bernama Phoenix Wright sebagai tokoh utama dalam game. Peran pengacara dalam game adalah harus membela klien, menyelidiki kasus, mencari kebenaran, mencari bukti-bukti kebenaran, cross examining tersangka, dan menemukan ketidakkonsistenan antara tersangka dengan bukti-bukti kebenaran yang sudah terkumpul. Total kasus yang harus diselesaikan untuk menyelesaikan game “Ace Attorney” adalah sejumlah 66 kasus yang saling berkaitan ceritanya. Penulis menemukan hal menarik pada game “Ace Attorney” berupa cross examining, batas kesempatan salah membuktikan kesalahan saksi, dan percakapan dialog antar karakter.

Pada saat cross examining, Ace membuktikan ketidakkonsistenan dengan informasi dan objek yang sudah terkumpul. Suasana waktu cross examining sangat menegangkan karena jika salah membuktikan maka tidak dapat petunjuk lainnya yang membuktikan kesalahan tersangka.

(48)

146 Selain itu, cross examining berhubungan batas kesempatan kesalahan untuk pembuktian.

Gambar 3.41. Cross Examining dan Batas Kesempatan Kesalahan “Ace Attorney”

Dialog percakapan dialog pada “Ace Attorney”, pemain dapat melihat reaksi dan emosi yang ditunjukkan oleh tiap karakter. Pada waktu bercakap dan cross examining, pemain dapat melihat perubahan ekspresi dan gestur tubuh tersangka. Pemain dapat membedakan tersangka sedang berbohong, mencari alasan, marah atau bentuk emosi lainnya melalui gestur tubuh dan ekspresi wajah.

Gambar 3.42. Reaksi Cross Examining Benar

Melalui analisis yang sudah dilakukan penulis terhadap game “Ace Attorney”, penulis mempelajarinya lebih dalam dan game tersebut menjadi acuan penulis dalam perancangan, meliputi cross examining, batas kesempatan salah menjawab, dan dialog percakapan.

5. “Oxenfree”

(49)

147

“Oxenfree” merupakan game dengan genre graphical adventure yang dirilis pada 15 Januari 2016. “Oxenfree” dirancang oleh Night School Studio. “Oxenfree” menggunakan pembangunan cerita dramatic arc dengan branching plot dengan akhir yang berbeda. Game “Oxenfree”

dapat dimainkan secara multiplatform termasuk di Android.

“Oxenfree” menceritakan seorang remaja bernama Alex sebagai tokoh utama dalam game bersama dengan lima orang temannya terdampar di sebuah pulau berhantu dan harus menemukan jalan pulang. “Oxenfree”

berfokus kepada eksplorasi dan pilihan dialog.

Penulis menemukan game ini menarik dari navigasi. Navigasi pada

“Oxenfree” berupa peta yang menunjukkan lokasi Alex bersama teman- temannya berada. Peta yang ditunjukkan cukup membuat pemain mengerti lokasi pemain sedang berada dengan menunjukkan portrait kepala Alex di peta. Peletakan peta navigasi terletak di pause menu.

Gambar 3.43. Peta Navigasi “Oxenfree”

Penulis juga menemukan fungsi UX yang efektif pada navigasi tempat. Navigasi tempat yang dimaksud adalah pemberitahuan lokasi di

(50)

148 kiri dan kanan. Hal ini membantu pemain tahu lokasi sebelum berpindah tempat.

Gambar 3.44. Navigasi Tempat “Oxenfree”

Melalui analisis yang sudah dilakukan penulis terhadap game

“Oxenfree”, penulis mempelajarinya lebih dalam dan game tersebut menjadi acuan penulis dalam perancangan, meliputi navigasi peta dan navigasi tempat.

3.5.3. Objek, Fitur, Fungsi

Melalui studi referensi yang sudah dilakukan, penulis membuat kembali daftar kebutuhan yang harus ada pada game “PrAbu”. Daftar kebutuhan terdiri dari objek, fitur, dan fungsi.

1. Objek

Objek yang harus ada pada game terdiri dari :

a. Karakter hero sebagai saksi perundungan dan melakukan pertolongan terhadap korban perundungan dari pelaku perundungan.

b. Jenis perundungan yang dimasukkan ke dalam cerita adalah verbal.

c. Sosok pelaku perundungan yang sedang melakukan aksi perundungan terhadap sosok korban perundungan.

(51)

149 d. Sosok guru yang sudah berusaha semampu mungkin menghentikan

perundungan, namun perundungan tetap tidak berhenti.

e. Guru meminta pertolongan karakter hero untuk menghentikan perundungan yang terjadi dengan teman-teman sebayanya.

2. Fitur dan fungsi

Fitur dan fungsi yang harus ada pada game terdiri dari :

a. Menu utama yang mempunyai fungsi memulai permainan, melanjutkan permainan, mengatur suara, dan keluar dari permainan.

b. Sistem dialog yang hirarki dengan memberitahu pemain informasi- informasi penting yang harus diketahui oleh pemain.

c. Cutscene dialog percakapan antar karakter dengan zoom in dan pergeseran kamera sesuai dengan karakter.

d. Navigasi karakter dengan fungsi menunjukkan karakter bergerak ke arah yang dituju.

e. Teks narator yang berfungsi memberitahu pemain situasi tempat dan waktu.

f. Navigasi tempat dengan tujuan menunjukkan pemain perpindahan lokasi.

g. Buku catatan dengan fungsi memperkenalkan karakter-karakter yang mempunyai peran penting, dan achievement yang harus dilakukan oleh pemain termasuk pengumpulan kartu solusi.

h. Inventory berfungsi sebagai tas penampung barang yang mempunyai tujuan penting dalam pengumpulan kartu solusi.

(52)

150 i. Menu opsi yang berfungsi sebagai pause dengan fungsi lain yang terdiri kembali melanjurkan permainan, save, load, pengaturan suara, cara bermain, kembali ke menu utama, dan peta navigasi.

j. Peta navigasi yang menunjukkan lokasi karakter berada dan petunjuk lokasi kartu solusi.

k. Tutorial dengan informasi cara bermain meliputi eksplorasi, kartu solusi, buku catatan, inventory, masalah perundungan, pencocokan jawaban dengan masalah menggunakan kartu solusi, save, dan load.

l. Pencarian kartu solusi 1, 2, dan 3.

m. Pencocokan solusi dan masalah dengan fungsi pemberitahuan kepada pemain dengan batas waktu dan kesempatan dalam menyelesaikan perundungan dengan kartu solusi.

n. Kartu solusi sebagai pilihan jawaban yang disediakan untuk menyelesaikan perundungan.

o. Batas waktu menyelesaikan perundungan.

p. Batas kesempatan menyelesaikan perundungan.

q. Salah waktu menjawab dengan kartu solusi.

r. Benar waktu menjawab dengan kartu solusi.

s. Penyelesaian dengan kartu solusi terhadap konflik perundungan dengan benar dan cepat.

t. Penyelesaian dengan kartu solusi terhadap konflik yang salah.

(53)

151 3.5.4. User Goal

Melalui daftar kebutuhan yang sudah didaftarkan oleh penulis, penulis dapat set goal kepada pengguna. Set Goal pemain adalah mencari dan menyelesaikan konflik perundungan dengan kartu solusi.

3.5.5. Concepting

Setelah membuat mind maps, persona, studi referensi, susun daftar kebutuhan dan set user goal, penulis melakukan tahapan konsep, yakni genre adventure, gameplay puzzle design design, formal game element, dan dramatic game element.

1. Puzzle game design yang digunakan pada perancangan adalah logic, exploration, dan item use. Logic pada gameplay adalah pencocokan masalah perundungan dengan kartu solusi. Exploration pada gameplay adalah pencarian kartu solusi di berbagai ruangan. Item use pada gameplay adalah penggunaan barang untuk menemukan kartu solusi.

2. Formal game element pada game “PrAbu” :

a. Player : Pola interaksi individu pemain dengan sistem game.

b. Objective : Mencari kartu solusi dan menyelesaikan kasus perundungan dengan kartu solusi.

c. Procedure : Starting action berupa tombol mulai pada menu utama sebagai awal permulaan game dimulai, progression of action berupa eksplorasi berbagai ruangan untuk mencari 3 kartu solusi , special actions berupa kartu solusi terakhir didapat dengan cara membuka

(54)

152 suatu ruangan dengan kunci ruangan , dan resolving actions berupa penggunaan kartu solusi terhadap kasus perundungan.

d. Rules : Pemain tidak dapat menemukan masalah perundungan jika belum berhasil mengumpulkan semua kartu solusi.

e. Resource : Inventory, buku catatan, kartu solusi, kunci ruangan, waktu dan batas kesempatan pencocokan kartu solusi dengan masalah perundungan.

f. Conflict : Pelaku perundungan melakukan tindakan perundungan terhadap korban perundungan.

g. Boundaries : Area tempat pemain melakukan eksplorasi yaitu lorong kelas, lorong tangga, ruang kelas, ruang UKS, tata usaha dan gudang sekolah.

h. Outcome : Pemain harus dapat menyelesaikan masalah perundungan dengan kartu solusi dengan benar.

3. Dramatic game element pada game “PrAbu” :

a. Challenge : Kartu solusi terakhir tidak mudah didapatkan dengan cara yang sama dengan kartu solusi 1 dan 2. Kartu solusi terakhir terletak di gudang, namun gudang terkunci. Untuk membuka pintu gudang, pemain harus mendapatkan kunci gudang dengan mengobrol petugas tata usaha.

b. Play : Make believe. Pemain menjadi karakter hero pada game untuk menyelamatkan korban perundungan.

(55)

153 c. Premise : Terdapat kasus perundungan di sekolah yang tidak dapat guru sekolah selesaikan dan meminta bantuan karakter hero murid untuk menyelesaikan perundungan dengan kartu solusi.

d. Story : Sebuah sekolah dasar negeri di Jakarta yang mempunyai banyak kasus perundungan dan guru meminta bantuan kepada karakter hero untuk menyelesaikan kasus perundungan yang terjadi dengan menggunakan kartu solusi yang disebarkan di berbagai ruangan oleh ibu guru.

e. Character : Karakter hero, pelaku perundungan, korban perundungan, ibu guru, dan petugas tata usaha yang menyimpan kunci gudang.

4. Merancang berdasarkan pola genggam tangan pengguna two hands- landscape.

5. Menggunakan hirarki visual z pattern pada peletakan tombol dalam permainan.

Setelah melakukan concepting, penulis menyusun daftar kebutuhan menjadi tahapan flow maupun task yang terdiri dari task flow, information architecture, flowchart, dan wireflow. Pada proses ini, penulis merancang UX bagian flow permainan dan peletakan tombol dengan bentuk akhir wire flow.

3.5.5.1. Information Architecture

Pada tahapan ini, penulis menyusun information architecture dengan pola combined (hirarki + data base). Tujuan penyusunan information architecture pada “PrAbu” adalah mengorganisisr konten dan mencari jalan pengguna meraih informasi-informasi tertera.

(56)

154 Pada saat pemain memulai permainan, pemain langsung diarahkan ke menu utama yang berisi mulai permainan, lanjut permainan, pengaturan, dan keluar dari permainan. Alur permainan utama adalah pemain memulai permainan dengan misi utama mencari kartu solusi dan informasi perndukung menyelesaikan kasus perundungan, mencari kasus perundungan, dan menyelesaikan kasus perundungan dengan kartu solusi dan informasi pendukung. Selain itu, fitur utama pendukung yang mendukung proses mencari kartu solusi yaitu inventory dan buku catatan.

Gambar 3.45. Information Architecture “PrAbu”

3.5.5.2. Task Flow

Pada tahapan ini, penulis menyusun task flow untuk memperdetil arah tiap fitur dan fungsi. Berikut merupakan hasil task flow :

(57)

155 Gambar 3.46. Task Flow Overall “PrAbu”

Penulis juga memperdetil cara mencari kartu solusi pertama, kedua dan ketiga serta informasi tambahan yang berkaitan dengan perundungan.

Gambar 3.47. Task Flow Kartu Solusi dan Informasi Tambahan “PrAbu”

3.5.5.3. Flowchart

Penulis merancang flowchart untuk memikirkan programming logic untuk dikomunikasikan kepada developer serta logika dan pemahaman aksi dalam setiap fitur dan fungsi.

(58)

156 Gambar 3.48. Flowchart “PrAbu”

3.6. Prototype

Pada tahapan ini, penulis menggunakan wire flow yang merupakan gabungan dari wireframe dan flowchart.

3.6.1. Wireflow

Penulis merancang wireflow untuk merealiasikan peletakan tombol beserta ukuran tombol dan ikon dengan menggunakan visual hirarki z pattern dan studi referensi yang telah dilakukan oleh penulis. Pada tahapan perancangan wireflow, penulis menggunakan grid modular dan visual hirarki z pattern untuk menyelaraskan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilakukan dengan melakukan survey yang disebar kepada 50 responden untuk mengetahui pengalaman pengguna dalam mengakses web seperti kesulitan yang

 Jadi, pemanasan global adalah merupakan meningkatnya temperatur di planet bumi secara global, meliputi peningkatan temperatur atmosfir, temperatur laut dan

Dalam hal ini, pembacaan hermenitik menghasilkan pemahan bahwa masyarakat beranggapan generasi muda sekarang (generasi Z) merupakan generasi yang

Hasil penelitian ini diharapkan Principal mampu menentukan kinerja guru dalam Islam SMK XYZ dengan efekif, efisien, dan obyektif dengan batas nilai ≥ 7,5, cukup <7,5 dan kurang

Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima

Hal ini menyebabkan ditemukannya pergeseran bentuk dalam TSa, khususnya pergeseran bentuk pada unit, karena terjemahan verba pasif TSu diterjemahkan menjadi verba

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: ada tidaknya pengaruh yang positif dan signifikan antara minat belajar dan lingkungan belajar terhadap prestasi belajar

Perlakuan yang diberikan adalah penyimpanan adonan kerupuk pada suhu yang berbeda, yaitu pada suhu ruang dan suhu refrigerator setelah proses pengukusan serta pendiaman