• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Ajar Avertebrata Air

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Buku Ajar Avertebrata Air"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

AVERTEBRATA AIR

PENULIS:

Putri Anugerah, S.Pi., M.P.

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

2022

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan anugerahNya yang memberikan kekuatan kepada penulis sehingga buku ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Buku yang berjudul “Avertebrata Air”, disusun untuk menambah pengetahuan bagi pembaca secara umum.

Penyusunan buku tersebut, dibuat berdasarkan beberapa referensi. Dalam penyusunan buku ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menentukan judul, penyusunan hingga menjadi sebuah buku. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan buku ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan buku ini masih belum sempurna, oleh karena itu masukan dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca serta bermanfaat dalam menambah pengetahuan dunia pendidikan, penelitian dan ekosistem perairan.

Samarinda, November 2022 Putri Anugerah, S. Pi., M.P.

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Pengertian Avertebrata Air ... 1

B. Kriteria Klasifikasi Avertebrata Air ... 3

BAB II RUANG LINGKUP AVERTEBRATA AIR SEBAGAI BIOINDIKATOR ... 7

A. Peran Makroinvertebrata Sebagai Bioindikator ... 7

B. Bioindikator ... 9

C. Keanekaragaman Makroinvertebrata Digunakan sebagai Bioindikator ... 11

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas air Berdasarkan Indikator Makroinvertebrata Perairan ... 15

BAB III FILUM PROTOZOA ... 21

A. Pendahuluan Protozoa ... 21

B. Klasifikasi Protozoa ... 22

C. Peranan Protozoa ... 27

BAB IV FILUM PORIFERA ... 29

A. Pendahuluan... 29

B. Klasifikasi Porifera ... 32

C. Peranan Porifera ... 35

BAB V ... 37

COELENTERATA ... 37

A. Pendahuluan... 37

B. Klasifikasi Coelenterata ... 39

BAB VI CTENOPHORA ... 46

(5)

PLATYHELMINTHES ... 54

A. Pengantar ... 54

B. Klasifikasi Platyhelminthes ... 55

BAB VIII RHINCHOCOELA ... 64

BAB IX ROTIFERA ... 69

BAB X ANNELIDA ... 72

A. Pengantar Annelida... 72

B. Ciri-Ciri Annelida... 73

C. KLASIFIKASI ANNELIDA ... 74

BAB XI MOLLUSCA ... 78

A. Ciri-ciri ... 79

B. Klasifikasi Mollusca... 79

BAB XII ARTHROPODA ... 83

BAB XIII ECHINODERMATA ... 86

A. Pengertian Echinodermata ... 86

B. Morfologi dan Fisiologi... 87

C. Sistem Gerak ... 88

D. Klasifiksi Echinodermata ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 96

BIODATA PENULIS... 97

(6)
(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Avertebrata Air

Ilmu yang mempelajari tentang hewan atau Zoologi (Yunani, Zoon = hewan + Logos = ilmu) merupakan bagian dari biologi. Hewan (animalia) adalah bentuk kehidupan paling beragam di muka bumi. pada saat ini para ahli zoologi telah berhasil mendeskripsikan kurang lebih satu juta spesies hewan yang terdapat di muka bumi dan kurang lebih 5%

mempunyai tulang belakang (vertebrata). Sisa hewan yang ada merupakan hewan yang tidak bertulang belakang (avertebrata).

Sejak zaman Aristoteles pengelompokan hewan di alam ini telah mengalami beberapa kali perubahan, bahkan pengelompokan ke dalam katagori takson filum pun berbeda- beda sesuai dengan dasar atau kriteria pengelompokan yang digunakan oleh masing-masing ahli. Sebagai contoh: pada awalnya kita hanya mengenal 7 filum yang termasuk ke dalam invertebrata, yaitu :

(8)

1.Protozoa 2.Porifera 3.Coelenterata 4.Vermes 5.Mollusca 6.Echinodermata 7.Arthropoda

Sejalan dengan perkembangannya yang dilakukan melalui observasi dan penelitian, para ahli sepakat bahwa filum Vermes yang semula membawahi 3 kelas (classis) yaitu Platyhelminthes, Nemathelminthes dan Annelida sudah tidak cocok lagi karena masing-masing kelas tersebut.

memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, baik dilihat dari habitat, struktur, maupun fisiologinya. Oleh karena itu kedudukan katagori takson kelas berubah menjadi filum dan Vermes tidak digunakan lagi.

Dengan demikian sekarang ini kita mengenal 9 filum invertebrata, yaitu:

1.Protozoa 2.Porifera 3.Coelenterata 4.Platyhelminthes 5.Nemathelminthes 6.Annelida

7.Mollusca 8.Echinodermata 9.Arthropoda

Dilihat dari susunan filum tersebut, berdasarkan struktur tubuhnya para ahli menetapkan bahwa Protozoa merupakan filum yang paling rendah derajatnya dibandingkan dengan filum-filum berikutnya, filum Porifera/Sponge dianggap lebih

(9)

tinggi dari Protozoa akan tetapi lebih rendah dari Coelenterata, demikian seterusnya. Namun pada saat ini, dasar penyusunan tinggi rendahnya tingkat filum tersebut telah mengalami perkembangan, ada yang didasarkan pada fisiologi yang mencakup: respirasi; ekskresi; nutrisi; sistem saraf; sistem peredaran darah, dan reproduksi), filogenetik (kekerabatan), susunan kimia tubuh, dan coelomnya. Berdasarkan susunan kimia tubuh dan coelomnya, para ahli menetapkan bahwa Echinodermata dianggap paling tinggi derajatnya di antara invertebrata karena susunan kimia penyusun tubuh echinodermata paling lengkap dibandingkan dengan invertebrata lainnya, bahkan hampir sama dengan susunan kimia tubuh yang dimiliki Chordata. Berdasarkan filogenetiknya Annelida dianggap memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan Arthropoda sehingga dalam urutannya Annelida senantiasa berdekatan Arthropoda. Demikian pula dengan fisiologi yang dimiliki oleh setiap filum, semakin lengkap fisiologinya semakin tinggi derajatnya. Namun yang menjadi masalah bagi para ahli adalah tidak adanya keteraturan di antara dasar pengelompkan yang digunakannya. Misalkan saja, tidak seluruh filum yang memiliki susunan kimia tubuh lebih lengkap, memiliki struktur tubuh yang lebih lengkap pula dibandingkan dengan filum- filum yang dianggap derajatnya lebih rendah, sebagai contoh:

struktur tubuh Echinodermata tidak lebih baik dibandingkan dengan Arthropoda atau Mollusca, dll.

B. Kriteria Klasifikasi Avertebrata Air

Klasifikasi hewan dapat didasarkan pada beberapa karakteristik tertentu, seperti jumlah sel, lapisan lembaga (germ layer), saluran pencernaan, rongga tubuh (coelom),

(10)

metamerisme atau segmentasi, rangka (skeleton), embelan (appendages), dan simetri tubuh. Karakter tersebut dapat digunakan sendirisendiri atau bersamaan dalam memilah- milah kelompok hewan ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Berdasarkan jumlah sel penyusun tubuh, hewan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Seluruh hewan yang tubuhnya hanya terdiri dari satu sel dikelompokkan ke dalam Protozoa. Sedangkan hewan yang memiliki tubuh yang tersusun oleh banyak sel dikelompokkan ke dalam Mesozoa, Parazoa atau Metazoa. Mesozoa dan Parazoa walaupun tubuhnya tersusun dari banyak sel tapi belum terdiferensiasi menjadi jaringan, sedangkan Metazoa sudah terdiferensiasi menjadi jaringan. Lapisan lembaga mudah dipelajari pada perkembangan zigot atau sel telur yang telah dibuahi melalui tahapan morula, blastula, dan gastrula.

Lapisan ini umumnya terbentuk pada proses invaginasi pada tahap gastrula dengan membentuk tiga lapisan yang terdiri dari endoderm, mesoderm, dan ektoderm. Pada hewan-hewan tingkat rendah mesoderm tidak terbentuk, jika ada hanya berupa sekat yang disebut mesoglea. Jadi, kelompok hewan ini hanya memiliki dua lapisan lembaga saja dan dikelompokkan ke dalam Diploblastik. Kelompok hewan yang lebih tinggi umumnya memiliki tiga lapisan lembaga dan dikelompokkan ke dalam Triploblastik. Kelompok hewan triploblastik dapat dibagi dua berdasarkan perkembangan blastoporusnya. Bila blastoporus berkembang menjadi mulut maka hewan tersebut dikelompokkan ke dalam Prostostomia. Sebaliknya apabila blastoporus berkembang menjadi anus maka dikelompokkan ke dalam Deuterostomia. Pengelompokan hewan dapat juga ditinjau dari kesempurnaan saluran pencernaannya. Ada kelompok hewan yang memiliki saluran

(11)

pencernaan tidak sempurna karena hanya memiliki mulut dan tanpa anus. Bahkan ada kelompok hewan yang tidak memiliki saluran pencernaan sama sekali. Hewan-hewan tingkat rendah umumnya memiliki saluran pencernaan tidak sempurna.

Kelompok hewan yang memiliki saluran pencernaan sempurna sudah dapat dijumpai adanya mulut, usus, dan anus.

Termasuk ke dalam kelompok terakhir ini adalah hewan- hewan yang kedudukannya lebih tinggi dalam dugaan evolusinya. Rongga tubuh (coelom) merupakan salah satu karakter yang dapat digunakan dalam pengelompokan hewan.

Hewan-hewan yang tidak memiliki rongga tubuh dikelompokkan ke dalam Acoelomata. Selama perkembangannya, rongga tubuh dapat terbentuk tidak sempurna dan disebut rongga palsu. Disebut demikian oleh karena pada perkembangannya sel-sel merenggang ke tepi membentuk semacam rongga, tapi tanpa dinding. Kelompok hewan yang memiliki rongga tubuh palsu seperti ini dikelompok-kan ke dalam Pseudocoelomata. Sedangkan seluruh hewan yang memiliki rongga tubuh yang sebenarnya dikelompokkan ke dalam Eucoelomata atau Coelomata.

Segmentasi menyebabkan tubuh hewan seolah-olah terbagi menjadi beberapa ruang yang dipisahkan oleh sekat.

Segmentasi seperti ini dapat dijumpai pada kelompok hewan tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Pada hewan tingkat rendah segmentasinya disebut metamer. Pada hewan ini tiaptiap segmen akan dijumpai adanya organ yang sama.

Kelompok hewan yang memiliki tubuh demikian disebut hewan yang segmentasinya internal, tapi juga memperlihatkan segmentasi yang eksternal. Makin tinggi tingkat kedudukan suatu hewan, segmentasinya akan hilang dan pada kelompok hewan vertebrata segmentasinya sudah sukar dilihat jika ada disebut somit. Jadi, hewan dapat

(12)

dikelompokkan menjadi hewan yang bersegmen atau tidak bersegmen. Untuk melindungi organ dalam atau tubuhnya hewan juga dapat memiliki rangka (skeleton). Berdasarkan hal ini hewan dapat memiliki rangka luar (eksoskeleton) atau rangka dalam (endoskeleton). Eksoskeleton umumnya terbuat dari bahan kapur atau kitin, sedangkan endoskeleton terbuat dari kapur. Makin tinggi tingkat kedudukan suatu hewan rangkanya akan berupa endoskeleton. Embelan atau appendages adalah anggota badan yang dapat berbentuk tentakel, rambut getar, sayap, kaki, sirip dan sebagainya yang umumnya digunakan sebagai alat gerak. Berdasarkan hal ini hewan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan ada tidaknya bentuk atau tipe alat gerak tersebut.

Contohnya, Flagellata merupakan kelompok hewan yang bergerak dengan flagel sebaliknya Ciliata merupakan kelompok hewan yang bergerak dengan silia. Simetri tubuh atau bayangan cermin juga merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam pengelompokan hewan. Hewan- hewan yang tidak memiliki simetri tubuh dikelompokkan ke dalam Asimetri. Kelompok hewan yang tubuhnya dapat dibagi menjadi beberapa bagian melalui jari-jari memiliki simetri tubuh yang radial (radial simetri) dan dikelompokkan ke dalam grade Radiata. Sedangkan kelompok hewan yang tubuhnya dapat dibagi menjadi dua yang sama persis melalui satu bidang (anterior-posterior) memiliki simetri bilateral dan dikelompokkan ke dalam grade Bilateria. Makin tinggi tingkatan hewan maka akan memiliki tubuh yang simetri bilateral dan pada hewan ini akan dapat dijumpai istilah ventral, dorsal, kranial, dan sebagainya.

(13)

BAB II

RUANG LINGKUP AVERTEBRATA AIR SEBAGAI BIOINDIKATOR

A. Peran Makroinvertebrata Sebagai Bioindikator

Menurut Wardhana (2006) jenis hewan makroinvertebrata untuk memantau kualitas perairan tawar meliputi Polychaeta, Gastropoda, Pelecypoda, Crustacea dan Insecta. Rahayu (2009) menyatakan bahwa makroinvertebrata air merupakan biotik pada ekosistem perairan yang dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisik, kimia dan biologi suatu perairan, sehingga bisa digunakan sebagai indikator perairan (Rahayu, 2009). Makroinvertebrata merupakan hewan yang sering digunakan sebagai uji bioindikator kualitas air. Suatu perairan yang terlihat sehat (belum tercemar) akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dan hampir semua spesies yang ada, sebaliknya suatu perairan yang tercemar, penyebaran individu tidak merata cenderung terdapat spesies yang mendominasi (Sinaga, 2009). Keuntungan dari menggunakan makroinvertebrata sebagai bioindokator menurut Widiyanto (2016) yaitu karena hidupnya melekat pada substrat dan motilitasnya (perubahannya) rendah sehingga tidak mudah

(14)

bergerak berpindah. Makroinvertebrata pada umumnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan perairan yang ditempatinya, karena itulah makroinvertebrata sering dijadikan sebagai indikator ekologi dari suatu ekosistem perairan (Sinaga, 2009). Jumlah spesies, keanekaragaman dan beberapa kelompok fungsional pada komunitas makroinvertebrata dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan kualitas suatu perairan. Perairan yang tercemar dapat mempengaruhi kelangsungan hidup organisme makroinvertebrata, menurut Khairuddin (2016) Organisme yang menempati komunitas di perairan adalah biota yang toleran, memiliki ketahanan terhadap kondisi perairan tercemar ringan maupun berat, dan mampu bereproduksi dalam habitat tersebut. Keanekaragaman jenis hewan makroinvertebrata perairan dapat mengindikasikan kondisi suatu ekosistem perairan. Menurut Djumanto (2013) setiap hewan makroinvertebrata perairan memiliki batas kisaran toleransi terhadap kualitas ekosistem perairan untuk menormalkan metabolism tubuhnya. Kelompok makroinvertebrata merupakan kelompok hewan yang relative menetap di dasar perairan dan sering digunakan sebagai petunjuk biologis (indikator) kualitas perairan.

Bioindikator atau indikator ekologis merupakan kelompok organisme yang sensitif dan dapat dijadikan petunjuk bahwa mereka dipengaruhi oleh tekanan lingkungan akibat dari kegiatan manusia dan destruksi sistem biotik perairan.

Penelitian mengenai makroinvertebrata di Waduk Selorejo memberikan informasi mengenai tingkat kualitas perairan. Hal ini karena hewan makroinvertebrata Famili Thiaridae dari Ordo Gastropoda memiliki toleransi yang baik dengan kondisi perairan mulai dari yang tercemar ringan sampai berat (Widiyanto, 2016). Kisaran toleransi hewan-hewan

(15)

akuatik pada umumnya relatif sempit jika dibandingkan dengan hewan-hewan daratan. Suhu perairan dapat bervariasi tergantung pada faktor adanya pencemaran pembuangan air limbah dan dapat menyebabkan kenaikan suhu perairan sehingga dapat mengganggu kehidupan air (Odum, 1993).

Menurut Rahayu 2009 dalam Panjaitan 2011, Makroinvertebrata air memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1.

Sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya, sehingga akan dipengaruhi komposisi dan kelimpahannya; 2.

Ditemukan hampir di semua perairan; 3. Jenisnya cukup banyak dan memberikan respon yang berbeda akibat gangguan yang berbeda; 4. Pergerakannya terbatas, sehingga dapat sebagai penunjuk keadaan lingkungan setempat; 5.

Mudah dikumpulkan dan diidentifikasi paling tidak sampai tingkat family; 6. Pengambilan contoh mudah dilakukan, karena memerlukan peralatan sederhana, murah dan tidak berpengaruh terhadap makhluk hidup lainnya.

B. Bioindikator

Bioindikator berasal dari dua kata yaitu bio dan indikator, bio artinya mahluk hidup seperti hewan, tumbuhan dan mikroba, sedangkan indikator artinya variabel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keadaan atau status untuk memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Jadi bioindikator adalah komponen biotik (mahluk hidup) yang dijadikan sebagai indikator. Menurut Soeprobowati (2015), Bioindikator dapat didefinisikan sebagai organisme atau komunitas organisme yang kehadirannya mencerminkan kondisi lingkungan atau

(16)

perilakunya di alam berkorelasi dengan kondisi lingkungan, sehingga dapat digunakan sebagai indikator kualitas lingkungan. Hendra (2012) menyatakan bioindikator juga merupakan indikator biotis yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi, kondisi alam (bencana alam), serta perubahan kualitas lingkungan yang telah terjadi karena aktifitas manusia.

Menurut Roziaty (2017) Bioindikator dapat dibagi menjadi dua, yaitu bioindikator pasif dan bioindikator aktif.

Bioindikator pasif adalah suatu spesies organisme, penghuni asli di suatu habitat, yang mampu menunjukkan adanya perubahan yang dapat diukur (misalnya perilaku, kematian, morfologi) pada lingkungan yang berubah di biotop (detektor).

Bioindikator aktif adalah suatu spesies organisme yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap polutan, yang mana spesies organisme ini umumnya diintroduksikan ke suatu habitat untuk mengetahui dan memberi peringatan dini terjadinya polusi (Ghia, 2010). Purwati (2015), menyatakan bahwa sebuah bioindikator yang ideal setidaknya harus memiliki karakteristik yaitu Kesederhanaan taksonomi (mudah dikenali oleh nonspesialis), berdistribusi lebar, mobilitas rendah (indikasi lokal), memiliki karakteristik ekologi yang jelas diketahui, melimpah dan dapat dihitung, dapat dilakukan analisis di laboratorium, sensitifitas tinggi terhadap tekanan lingkungan, memiliki kemampuan untuk dikuantifikasi dan distandardisasi. Salah satu cara yang digunakan untuk memantau perubahan yang terjadi di dalam suatu komunitas atau ekosistem adalah pemanfaatan bioindikator. Bioindikator atau indikator ekologi merupakan kelompok organisme yang sensitif terhadap gejala perubahan dari lingkungan akibat aktifitas manusia yang menekan

(17)

lingkungan dan merusak sistem biotik (Suheriyanto, 2012).

Jenis atau kelompok yang respon terhadap kondisi lingkungan yang rusak atau perubahan kondisi lingkungan dengan organisme yang dapat digunakan untuk menduga perubahan kondisi lingkungan. Hal ini juga dinyatakan oleh Atmojo (2003) bahwa hewan atau tumbuhan dapat memberikan informasi mengenai perubahan suatu lingkungan dengan kondisi lingkungan seperti tanah pertanian merupakan lingkungan yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas manusia sehingga terjadinya perubahan kondisi di lingkungan tersebut sangat cepat.

C. Keanekaragaman Makroinvertebrata Digunakan sebagai Bioindikator

Toleransi hewan-hewan akuatik pada umumnya relatif sempit jika dibandingkan dengan hewan-hewan daratan. Suhu perairan dapat bervariasi tergantung pada faktor adanya pencemaran pembuangan air limbah dan dapat menyebabkan kenaikan suhu perairan sehingga dapat mengganggu kehidupan air (Prawito, 2016). Berdasarkan penggunaan makroinvertebrata sebagai bioindikator kualitas air untuk mempermudah dalam penafsiran tentang keadaan lingkungan perairan, sehingga daya toleransi makroinvertebrata terhadap pencemaran bahan organik dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Jenis Intoleran Jenis intoleran memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap pencemaran dan tidak tahan terhadap tekanan lingkungan, sehingga hanya hidup dan berkembang di perairan yang belum atau sedikit tercemar seperti halnya ordo Ephemeroptera (Mayflay) akan mencapai kelimpahan tinggi jika berada pada lingkungan yang cenderung dingin,

(18)

berarus sedang sampai deras serta berbatu. Pada beberapa famili dari ordo ini bersifat burrowers atau penggali pada sedimen halus yang berada diatas bebatuan. Mayflay adalah pemakan rumput, meskipun di klasifikasikan sebagai herbivora, Mayflay juga mengkonsumsi sejumlah besar bakteri (Prawito,2016). Baetis sp dari famili Baetidae merupakan salah satu spesies makroinvertebrata yang paling toleran dari ordo ini untuk pencemaran yang ringan. Biasanya hewan pada golongan ini akan mengalami penurunan kelimpahan jika terdapat sedimentasi serta polusi organik, hewan ini memerlukan banyak oksigen. Salah satu contoh spesies makroinvertebrata yang tidak tahan terhadap tekanan lingkungan dan memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap pencemaran atau merupakan jenis intoleran adalah famili Baetidae.

1. Jenis Fakultatif

Jenis fakultatif dapat bertahan hidup terhadap lingkungan yang agak luas, antara perairan yang belum tercemar sampai dengan tercemar sedang dan masih dapat hidup pada perairan yang tercemar berat. Jenis ini dibedakan menjadi fakultatif intoleran dan fakultatif toleran. Menurut Wilhm (1975), Fakultatif intoleran merupakan jenis yang lebih banyak hidup di kualitas perairan tercemar sedang. Famili Tipulidae dari Ordo Diptera termasuk dalam kelompok fakultatif. Jenis fakultatif dapat bertahan hidup terhadap lingkungan yang agak luas, antara perairan yang belum tercemar sedang dan masih dapat hidup pada perairan yang tercemar berat. Tipulidae merupakan salah satu contoh spesies hewan makroinvertebrata dimana tingkatnya tergolong ke dalam jenis fakultatif.

(19)

2. Jenis Toleran

Jenis toleran mempunyai daya toleran yang luas, sehingga dapat berkembang mencapai kepadatan tertinggi dalam perairan yang tercemar barat. Oleh karena itu, untuk mengtahui kehadiran atau ketidak hadiran organisme pada lingkungan perairan digunakan indikator yang menunjukkan tingkat atau derajat kualitas sebuah habitat. Famili Ampullaridae merupakan merupakan salah satu Famili yang berada pada Ordo Mesogastropoda pada kelas Gastropoda (Asdak, 2010). Ciri khas dan morfologi dari famili ini adalah mempunyai badan yang tidak simetri dengan mantelnya terletak di bagian depan, cangkangnya beserta isi perutnya tergulung spiral kearah belakang. Letak mantel di bagian belakang inilah yang mengakibatkan gerakan torsi atau perputaran pada pertumbuhan Gastropoda. Proses torsi ini dimulai sejak dari perkembangan larvanya. Gastropoda merupakan salah satu kelas dari filum Mollusca dari kelompok hewan Avertebrata, dan merupakan salah satu jenis komunitas fauna bentik yang hidup didasar perairan (Gundo, 2010). Kelas Gastropoda atau siput ini merupakan salah satu makroinvertebrata yang terdapat diberbagai perairan, baik perairan tawar ataupun air laut. Kehidupannya sangat beragam dan hampir ada disemua tempat perairan kecil seperti genangan perairan lahan pertanian di sawah, empang dan sebagainya. Furaidah (2013) menyatakan bahwa Gastropoda, Bivalvia dan Crustaceae yang juga mampu hidup di perairan yang tercemar atau kandungan garam tinggi.

Kondisi habitat yang disukai Gastropoda adalah berada pada pH dengan kisaran 6,7-9,0 serta kadar oksigen terlarut antar 0,5-14 ppm. Beberapa banyak penelitian menunjukkan

(20)

bahwa Gastropoda dapat bertahan hidup pada daerah yang tercemar berat dan bahan-bahan pencemaran tersebut seperti logam berat, pestisida, radioaktif, terkonsentasi pada organ serta cangkang.

Makroinvertebrata ini pada umumnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan perairan yang ditempatinya, karena itulah makroinvertebrata ini sering dijadikan indikator ekologi di suatu perairan dikarenakan cara hidup, ukuran tubuh, dan perbedaan kisaran toleransi di antara jenis di dalam lingkungan perairan. Keuntungan dengan menggunakan makroinvertebrata sebagai bioindikator uji kualitas air adalah makroinvertebrata hidup melekat pada tanah atau di dalam tanah dan motilitasnya rendah sehingga dia tidak mudah bergerak dan pindah. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah FBI (Biotic family Indeks) dimana dengan metode ini menunjukan kualitas air secara jelas (Rini DS, 2011). Makroinvertebrata juga berperan dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organi, baik yang berasal dari perairan (autokton) maupun daratan (allokton) serta menduduki urutan ke dua dan tiga dalam rantai kehidupan suatu perairan. Banyak bahan tercemar dalam perairan dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme perairan, yaitu dapat membunuh spesies tertentu dan sebaliknya dapat mendukung perkembangan jenis lain.

Jadi apabila air tercemar ada kemungkinan terjadinya pergeseran dari jumlah spesies yang banyak dengan populasi yang sedang menjadi jumlah jenis yang sedikit tapi populasinya tinggi. Oleh karena itu penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran (Sastrawijaya, 2009). Memantau kualitas air digunakan kombinasi parameter fisika, kimia, dan biologi, tetapi yang sering digunakan hanyalah parameter fisika dan

(21)

kima. Parameter biologi jarang digunakan sebagai parameter penentu pencemaran. Pengukuran parameter fisika dan kimia hanya memberikan gambaran kualitas lingkungan sesaat.

Indikator biologi digunakan untuk menilai secara makro perubahan keseimbangan ekologi, khususnya ekosistem akibat pengaruh limbah. Dibandingkan dengan menggunakan parameter fisika dan kimia, indikator biologi dapat memantau secara berkelanjutan. Hal ini karena komunitas biota perairan (flora dan fauna) menghabiskan seluruh hidupnya di lingkungan tersebut, sehingga bila terjadi pencemaran akan bersifat akumulasi atau penimbunan bahan pencemar (Sastrawijaya, 2009). Indikator biologi adalah biota air yang keberadaannya dalam suatu ekosistem perairan menunjukkan kondisi spesifik dari periran tersebut (Wediawati, W. 2001).

Indikator biologi merupakan petunjuk yang mudah untuk memantau terjadinya pencemaran. Adanya pencemaran suatu lingkungan mengakibatkan jenis keanekaragaman jenis akan mengalami penurunan dan mata rantai makanannya menjadi sederhana, kecuali bila terjadi penyuburan (Sastrawijaya, 2009). Jenis ideal yang digunakan sebagai indikator biologi untuk lingkungan akuatik tersebut masuk dalam kelompok organisme yang tidak mempunyai tulang belakang atau bisa disebut dengan makroinvertebrata (Arisandi, 2001)

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas air Berdasarkan Indikator Makroinvertebrata Perairan Sifat fisika kimia perairan sangat penting bagi suatu ekologi, selain melakukan pengamatan pada faktor biotik seperti pada makroinvertebrata, juga dilakukan pengamatan fisika kimia suatu perairan. Aspek selain ketergantungan

(22)

antara organisme dengan faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran kualitas suatu perairan. Sebagaimana kehidupan biota lainnya, maka penyebaran

jenis dan populasi komunitas makroinvertebrata ditentukan oleh sifat fisika kimia dan biologis perairan. Sifat fisik dari perairan seperti pasang surut, kedalaman, kecepatan arus, kekeruhan, atau kecerahan, substrat dasar dan suhu air.

Sifat kimia antara lain kandungan oksigen, karbohidrat terlarut, pH, bahan organik dan kandungan hara berpengaruh terhadap makroinvertebrata. Sifat fisika kimia air berpengaruh langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan makroinvertebrata atau sering juga disebut segi hewan bentos.

Perubahan kondisi fisika kimia suatu perairan dapat menimbulkan akibat yang merugikan terhadap populasi makroinvertebrata yang hidup pada ekosistem perairan (Prawito, 2016). Faktor abiotik (fisika dan kimia) perairan yang mempengaruhi kehidupan makroinvertebrata terdapat beberapa hal sebagai berikut: 2.4.1 Substrat Substrat mempunyai peranan penting bagi organisme yang hidup di zona dasar seperti hewan makroinvertebrata perairan khusunya Gastropoda baik pada air diam maupun air yang mengalir, bahan organik utama yang terdapat dalam air adalah asam amino, protein, karbohidrat, dan lemak. Prawito (2016) menyatakan bahwa komponen lain dari bahan organik yaitu asam organik, hidrokarbon, vitamin, homone juga ditemukan di perairan, tetapi hanya 10% dari mineral organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan. Prawito (2016) umumnya Gastropoda hidup disubstrat untuk menentukan pola hidup, ketiadaan dan tipe organisme.

Ukuran sangat berpengaruh dalam menentukan kemampuan gastropoda menahan sirkulasi air.

(23)

Bahan organik dan tekstur sedimen sangat menentukan keberadaan dari gastropoda. Tekstur sedimen atau substrat dasar merupakan tempat untuk menempel dan merayap atau berjalan, sedangkan bahan organik merupakan sumber makanannya. Substrat menjadi tempat bagi spesies yang melekat sepanjang hidupnya, juga digunakan oleh hewan yang bergerak sebagai tempat perlindungan dari predator. Substrat dasar yang berupa lumpur pasir dan tanah liat menjadi tempat makan dan perlindungan bagi organisme yang hidup di dasar perairan (Prawito, 2016). Substrat dasar yang berupa batu- batu pipih atau bebatuan merupakan lingkungan hidup yang baik bagi makroinvertebrata sehingga biasanya kepadatan dan keragaman yang besar (Prawito, 2016).

Suhu

Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukkan derajat panas benda, suhu biasanya digambarkan sebagai ukuran energi gerkan molekul. Umumnya suhu dinyatakan dengan derajat Celcius (°C) atau derajat Fahrenheit (°F). Perubahan suhu dapat berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Menurut Hutabarat (1995) Suhu di perairan merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme di dalamnya, karena suhu mempengaruhi

aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan. Riniatsih (2009) menyatakan bahwa secara ekologis perubahan suhu menyebabkan perbedaan komposisi dan kelimpahan Gastropoda. Menurut Effendi (2008) Suhu sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan, suhu juga merupakan pengatur utama proses fisika dan kimia yang terjadi di dalam perairan. Suhu

(24)

air secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kelarutan oksigen, dan kelarutan oksigen ini secara langsung mempengaruhi kehidupan organisme, seperti tumbuhan dan reproduksi biota. Menurut Effendi (2003) dalam Sinaga (2016) Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalm hari, penutupan awan dan kedalaman perairan. 2.4.3 pH pH atau derajat Keasaman merupakan suatu ukuran konsentrasi ion hydrogen dan menunjukkan kondisi air tersebut bereaksi asam atau basa. Air dapat bersifat asam atau basa tergantung pada besar kecil pH air atau besarnya konsentrasi ion hydrogen di dalam air. Air limbah dan bahan buangan dari kegiatan industry yang dibuang ke air akan mengubah pH air yang pada akhirnya dapat mengganggu kehidupan organisme di dalam air tersebut (Kusrini, 2006). Rukminasari (2014) menyatakan bahwa tingkat pH yang baik untuk kehidupan biota perairan adalah berkisar 6,8-7,5 dengan demikian kisaran pH di setiap stasiun penelitian dapat dikatakan memenuhi. Fadhilah (2013) mengungkapkan bahwa hewan klas Gastropoda air tawar umumnya dapat hidup secara optimal pada lingkungan dengan kisaran pH 5,0-9,0

Total Suspended Solid (TSS)

Total Suspended Solid (TSS) atau padatan tersuspensi total adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2µm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Total Suspended Solid (TSS) menyebabkan kekeruhan pada air akibat padatan tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap. Total Suspended Solid (TSS) terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kebil dari sedimen, misalnya

(25)

tanah liat, bahan-bahan organic tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan sebagainya (Nasution, 2008) Menurut Winnarsih (2016) jika suatu perairan memiliki nilai kekeruhan atau Total Suspended Solid yang tinggi maka semakin rendah nilai produktivitas suatu perairan tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan proses fhotosintesis dan respirasi organisme perairan.

Dissolved Oxygen (DO)

Dissolved Oxygen (DO) menurut Prahutama (2013) merupakan oksigen terlarut yang digunakan untuk mengukur kualitas kebersihan air. Semakin tinggi kandungan Dissolved Oxygen (DO) maka semakin bagus kualitas air tersebut.

Oksigen merupakan gas yang amat penting bagi hewan, salah satunya hewan makroinvertebrata perairan. Wahyuni (2015) menyatakan bahwa perubahan kandungan oksigen sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bagi biota.

Semakin tinggi kadar oksigen di perairan maka semakin banyak organisme yang bisa bertahan hidup. Prawito (2016)menyatakan bahwa sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan lain atau fitoplankton. Kelarutan oksigen dalam suatu perairan menurut Lestari (2004) sangat dipengaruhi oleh temperatur dan jumlah garam terlarut pada air, kelarutan maksimum oksigen dalam air pada suhu 0 ºʗ yaitu 14, 16 mg/l.

Nilai oksigen terlarut diperairan sebaiknya tidak lebih dari 8 mg/l. Nilai oksigen yang dibutuhkan oleh organisme Gastropoda berkisar antara 1,00-3,00 mg/L. Semakin besar kandungan oksigen di dalamnya maka semakin baik untuk kelangsungan hidup organisme yang

(26)

mendiaminya (Syamsurial, 2011).

Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Kebutuhan oksigen biologi Biochemical Oxygen Demand (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Prawito, 2016). Parameter Biochemical Oxygen Demand (BOD), secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Selama pemeriksaan Biochemical Oxygen Demand (BOD), sampel yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk mencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas (Salmin, 2005). Hal ini diungkapkan Prawito (2016) dimungkinkan karena semakin tinggi Biochemical Oxygen Demand (BOD) suatu perairan maka semakin sedikit kandungan oksigen suatu perairan dan akhirnya secara otomatis akan mengakibatkan menurunnya jumlah biota perairan dan makroinvertebrata yang ada.

(27)

BAB 3

FILUM PROTOZOA

A. Pendahuluan Protozoa

Kata Protozoa berasal dari bahasa Yunani, yaitu proto = pertama atau mula-mula, dan zoon = hewan. Protozoa adalah protista dengan ciri hewan yang dapat bergerak aktif atau pindah tempat dan tidak memliki dinding sel. Tubuh protozoa hanya satu sel. Semua anggota protozoa memiliki ukuran tubuh yang mikroskopis. Protozoa dapat melakukan berbagai aktfitas seperti bergerak, reproduksi, transportasi zat dan regulasi (Pujiyanto, 2008, h.94). Pada beberapa perotozoa memliki vakuola kontraktil yang berfungsi untuk memompa kelebihan air keluar dari sel sehingga mempertahankan konsentrasi ion dan molekul yang sesuai di dalam sel.

Bentuk tubuh protista bervariasi seperti bulat, oval dan memanjang. Bentuk yang berbeda-beda menyebabkan semetris tubuh yang bermacammacam seperti simetri bilateral, simetri radial atau tidak ada simetri tubuh. Protozoa dapat hidup bebas dan mudah ditemukan dimana- mana (kosmopolit). Beberapa spesies mampu hidup

(28)

dilingkungan yang kurang menguntungkan dengan membentuk dinding pelindung atau cangkok (kista) ,dalam memenuhi kebutuhan nutrisi protozoa bersifat holozoik, saprozoik, holofitik atau autotrof dan saprofitik. Holozoik yaitu memakan organisme hidup lain seperti bakteri, algae, dan jamut. Saprozoik yaitu memakan organisme yang telah mati dan mengalami pembusukan. Holofitik atau autotrof yaitu dapat mmbentuk makanan sendiri melalui proses fotosintesis.

Saptofitik yaitu menyerap makanan atau zat organik yang ada dilingkungan sekitarnya.

B. Klasifikasi Protozoa

Filum Protozoa yang pernah diketahui hidup di bumi sedikitnya ada sejumlah 46.000 spesies, jumlah itu menyusut keberadaannya karena pertambahan usia bumi dengan aneka kejadian peristiwa alam. Ulah manusia dalam mengeksploitasi alam juga mempengaruhi penyusutan jumlah spesies yang ada. Jumlah spesies yang sudah punah dan menjadi fosil diantaranya tercatat sedikitnya sejumlah

20.00 spesies atau 20.000 jenis.

Filum Protozoa terbagi menjadi 4 sub Filum yaitu:

a. Sarcodina atau Rhizopoda

Filum Sarcodina atau Rhizopoda (rhizoid = akar, podos = kaki) beranggotakan semua organisme yang menggunakan kaki semu atau pseupodia (Pujiyanto, 2008, h. 95). Anggota Rhizopoda mempunya tubuh yang selalu berubah-ubah. Tubuh yang berubah karena terjadi tonjolan yang selalu berpindah- pindah pada tubuhnya. Tonjolah tersebut yang digunakan untuk bergerak layaknya kaki (Djuhanda, 1980, h. 10).

Rhizopoda melakukan respirasi dan ekskresi melalui

(29)

permukaan tubuh. Pencernaan makanan secara internal pada vakuola makanan (Sutarto. 200, h. 6). Vakuola makanan bergabung dengan lisosom untuk mencerna mangsa atau makanan. Selanjutnya, hasil pencertaan diserap oleh sitoplasma dan diedarkan ke seluruh tubuh (Pujiyanto, 2008, h.96). Contoh Rhizopoda yang terkenal adalah Amoeba. Ciri dari Amoeba adalah bentuknya tidak tetap dan selalu berubah- ubah. Struktur tubuh sel Amoeba terdiri dari membran sel, kaki semu (pseudopodia), sitoplasma, vakuola makanan, vakuola kontraktil dan inti sel yang terlihat jelas. Vakuola kontraktil selain berfungsi sebagai osmoregulator tetapi berfungsi sebagai alat ekskresi. Inti dalam sel Amoeba merupakan bagian terpenting karena mengatur kegiatan kerja sel dan reproduksi.

Gambar. Bentuk tubuh Amuba

Adapun contoh-contoh Rhizopoda lainnya adalah Amoeba proteus, Entamoeba gingivalis, Entamoeba coli, Entamoeba histolytica, Difflugia, Arcella, Foraminifera, Radiolaria, dan Heliozoa.

b. Mastigophora atau Flagellata

Flagellata memiliki bentuk tubuh yang tetap karena terbungkus dengan selaput sel yang kuat. Dinding tubuh berupa pellice yang tersusun oleh protein dan karbonat yang

(30)

menyebabkan bentuk tubuh Flagellata relatif tetap (Sutarto, 2009, h. 6). Beberapa pada spesies Flagellata memiliki kloroplas di dalam protoplasmanya yang berfungsi untuk fotosintesis. Flagellata melakukan ekskresi dan respirasi dengan permukaan tubuhnya. Reproduksi dilakukan secara aseksual dan seksual. Reproduksi secara aseksual dilakukan dengan pembelahan biner secara longitudinal. Anggota filum Flagellata memiliki ciri khusus yaitu memiliki flagela atau bulu cambuk sebagai alat geraknya. Flagela merupakan tonjolan protoplasma yang panjang seperti cambuk (Djuhanda, 1980, h.

46). Selain berfungsi sebagai alat gerak, flagela dapat berfungsi untuk mengalirkan aliran air di sekitar mulutnya sehingga makanan dapat memasuki mulutnya. Contohnya adalah Euglenid, Monadida, Choanoflagellida,

Heteromastigida, Polymastigida, Spirochetida, Trypanosomatida, Adinida dan Deniferida

Gambar. Bentuk Tubuh Flagellata

(31)

c. Ciliata atau Ciliophora

Ciliata atau Ciliophora adalah protozoa yang bergerak dengan menggunakan silia (rambut getar). Ciliata memiliki bentuk tubuh yang tetap karena memiliki pelikel. Pelikel merupakan selaput protein atau glikoprotein yang keras untuk menyokong membran sel. Bentuk tubuh Ciliata bervariasi, ada yang menyerupai sandal, lonceng, terompet, atau oval (Irnaningtyas, 2014, h.173). Ciliata melakukan ekskresi dan respirasi dengan permukaan tubuh. Pencernaah makanan secara internal pada vakuola makanan. Ciliata memiliki ciri yang unik, yaitu mempunyai dua jenis nukleus. Nukleus pada Ciliata terdiri atas satu inti berukuran besar yang disebut makronukleus dan beberapa jenis inti yang berukuran keci yang disebut mikronukleus. Makronukleus berfungsi untuk menyintesis RNA, mengatur aktivitas dan pertumbuhan sel, dan alat reproduksi aseksual (pembelahan biner), sementara itu mikronukleus berfungsi sebagai alat reproduksi seksual (konjugasi) (Irnaningtyas, 2014, h.174). Sebagian besar Ciliata hidup sebagai sel soliter di air tawar maupun air laut. Ciliata banyak ditemukan di air sawah, air sungai, air kolam, dan air selokan, terutama yang banyak mengandung sisa-sisa tumbuhan dan hewan, atau sampah organik. Ciliata yang hidup bebas dilingkungan berair, contohnya Paramecium caudatum, Vorticella, Stentor, Didinium, dan Stylonychia

(32)

Gambar. Bentuk Tubuh Paramecium

c. Sporozoa

Anggota filum Sporozoa memliki ciri tidak memiliki alat gerak untuk pergerakannya. Ciri lainnya adalah membentuk spora sehingga dinamakan sporozoa (Pujiyanto, 2008, h. 101).

Salah satu ujung selnya (apeks) memiliki organel- organel kompleks khusus yang berfungsi untuk menembus sel dan jaringan tubuh inang. Tubuh Sporozoa berbentuk bulat atau oval. Sporozoa tidak memiliki alat gerak, namun dapat berpindah dari suatu jaringan tubuh inang ke jaringan lainnya melalui aliran darah tubuh inang (Irnaningtyas, 2014, h.183).

Seluruh Sporozoa hidup sebagai parasit di tubuh manusia dan hewan. Sporozoa masuk ke dalam tubuh inang melalu hewan perantara. Contohnya Plasmodium sp. Penyebab penyakit malaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina, kemudian hidup di dalam jaringan darah dan hati manusia. Sporozoa bereproduksi secara aseksual maupun seksual. Reproduksi secara aseksual dilakukan dengan peleburan antara gamet jantan dan betina.

(33)

Reproduksi secara aseksual dan seksual terjadi secara bergilir dalam siklus hidup yang sangat rumit, dan terjadi beberapa kali perubahan bentuk.

Gambar. Bentuk Tubuk Plasmodium

C. Peranan Protozoa

Dalam suatu rantai makanan, protozoa memainkan peran yang penting sebagai produsen primer dan perombak (dekomposer). Protozoa juga berperan sebagai sumber makanan bagi banyak larva hewan avertebrata atau hewan renik yang lain. Keadaan ini secara tidak langsung protozoa juga dapat sebagai sumber makanan hewan vertebrata. Selain itu, protozoa juga dapat menimbulkan berbagai masalah, terutama yang berkaitan dengan penyakit. Beberapa penyakit, baik pada manusia, seperti malaria, penyakit tidur, disentri, dan beberapa penyakit ganas yang

(34)

menyerang ternak, sayuran serta sumber-sumber makanan manusia lainnya diketahui sebagai akibat protozoa parasit.

(35)

BAB IV

FILUM PORIFERA

A. Pendahuluan

Tubuh porifera masih diorganisasi pada tingkat seluler, artinya tersesun atas sel-sel yang cenderung bekerja secra mandiri. Porifera dikenal juga sebagai hewan berpori (spons).

Dibanding dengan protozoa maka susunan tubuh porifera lebih komplek. Tubuh porifera tidak lagi terdiri atas satu sel malainkan telah tersusun atas banyak sel. Berdasarkan sejarah embrionalnya dan ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh porifera beberapa ahli memasukan porifera ke dalam kelompok parazoa atau hewan sampingan. Sebagian besar porifera hidup di laut kecuali famili Spongillidae yang hidup di air tawar.

Secara umum porifera memiliki ciri-ciri khusus antara lain:

a. Tubuh memiliki banyak pori yang merupakan system saluran air yang menghubungkan bagian luar dan bagian dalam tubuh

b. Tidak memiliki alat gerak

c. Sistem pencernaan berlangsung secara intraselular

(36)

d. Tubuh disokong oleh mesenchim dan spikula-spikula atau bahan serabut yang tersusun dari bahan organic e. Struktur tubuh dibagi atas tiga tipe yaitu ascon, sycon dan

rhagon

f. Bersifat holozoik maupun saprozoik

g. Berkembang biak secara seksual dan aseksual

Spons adalah hewan yang menempel yang tampak sangat diam bagi mata manusia, sehingga orang Yunani kuno meyakini mereka sebagai tumbuhan. Spons tidak memiliki saraf atau otot, tetapi masing-masing sel dapat mengindera dan bereaksi terhadap perubahan lingkungan. Tinggi spons sekitar 1cm sampai 2cm. Dari kurang lebih 9000 spesies spons, hanya sekitar 100 yang hidup dalam air tawar, sisanya adalah organisasi laut. Hampir semua spons adalah pemakan suspensi (yang juga dikenal sebagai makan dengan cara memfilter), yaitu hewan yang mengumpulkan partikel makanan dari air yang lewat melalui beberapa jenis perkakas penjerat makanan Tubuh spons terdiri dari dua lapis sel dengan selapis bahan seperti jeli, mesoglea yang terdapat diantara kedua lapisan tersebut. Sel-sel dari lapisan dalam mempunyai flagela yang menyebabkan adanya arus air. Sel-sel ini memakan pila partikel-partikel makanan yang telah disaring. Bentuk spons dipertahankan oleh kerangka yang terdiri dari spikula yang dibentuk oleh sel-sel yang tersebar di dalam mesoglea yang tersusun dari silika atau zat kapur

(37)

Gambar. Bentuk tubuh Secara Umum Porifera

Pada dasarnya dinding tubuh Porifera terdiri atas tiga lapisan, yaitu: a) Pinacocyt, bagian sel pinacocyt dapat berkontraksi atau berkerut, sehingga seluruh tubuh hewan dapat sedikit membesar dan mengecil. b) Mesohyl atau mesoglea, terdiri dari zat semacam agar, mengandung bahan tulang dan sel amebocyte. c) Choanocyte, yang melapisi rongga atrium atau spongocoel. Bentuk agak lonjong, ujung yang satu melekat pada mesohyl dan ujung yang lain berada di spongocoel serta dilengkapi sebuah flagelum yang dikelilingi kelepak dari fibril. Berdasarkan sistem aliran air. Bentuk tubuh Porifera dibagi menjadi tiga tipe, yaitu : a) Asconoid Asconoid merupakan bentuk paling primitif, menyerupai vas bunga atau jambangan kecil. Pori-pori atau lubang air masuk merupakan saluran pada sel procyte yang berbentuk tabung, memanjang dari permukaan tubuh sampai spongocoel. Air masuk bersama oksigen dan makanan, dan keluar membuang sampah. b) Syconoid Spons

(38)

memperlihatkan lipatan-lipatan dinding tubuh dalam tahap pertama termasuk tipe syconoid. Lipatan sebelah dalam menghasilkan sejumlah besar kantung yang dilapisi choanocyte, disebut flagellated canal, sedang lipatan luar sebagai masuknya air. c) Leuconoid Tingkat pelipatan dinding spongocoel paling tinggi terdapat pada leuconoid. Dengan banyaknya lipatan berturut-turut menyebabkan spons menjadi tidak beraturan.

Hewan Porifera dapat berkembang biak secara seksual maupun aseksual. Perkembangbiakan secara aseksual dilakukan dengan membentuk kuncup (budding) atau benih (gemmulae). Kuncup itu setelah mengalami pertumbuhan ada yang masih meletak pada tubuh induk, sehingga membentuk koloni atau rumpun, tetapi ada yang memisahkan diri dengan tubuh induknya. Adapun perkembangbiakan secara seksual pada hewan Porifera belum di tunjang oleh alat reproduksi/kelamin khusus, baik ovum maupun spermatozoidnya berkembang dari amoebosit khusus yang disebut arkheosit. Setelah terjadi perkawinan, maka zigot akan mengadakan proses pembelahan berulang kali membentuk larva berambut getar yang disebut Amphiblastula atau Parenchymula.

B. Klasifikasi Porifera

Porifera tidak mudah diklasifikasi, tetapi biasanya dikelompokkan menjadi tiga kelas yakni :

a. Kelas Calcarea (Calcispongiae)

Anggota kelas Calcarea terdiri dari spesies dengan spikula kapur (CaCO3) karenanya kelas ini umumnya disebut sepon kalkareus karena berbentuk, seperti kapur. Bentuk

(39)

sistem kanal bertipe askon, sikon atau leukon, dengan koanosit besar. Spikula terbuat dari kalsit dengan percabangan yang menjari empat (tetrakson) dan berbentuk jarum (monakson).

Warna pucat, panjang kurang dari 4 cm. Semua anggota kelas Calcarea hidup di laut, di tempat dangkal. Kelas Calcarea terdiri dari 16 famili. Di sini dipaparkan hanya dua famili saja yang umum dikenal, yaitu Leucosoleniidae dan Grantiidae.

1) Famili Leucosoleniidae

Anggota famili Leucosoleniidae yang memiliki tipe kanal askon hanya satu genus. Kebanyakan hidup dan tersebar mulai dari wilayah intertidal sampai di kedalaman lebih dari 2400 m.

Contoh: Leucosolenia spp.

2) Famili Grantiidae Semua anggota spesies Grantiidae tersebar dari wilayah intertidal sampai pada kedalaman 2200 m. Contoh: Grantia spp. (Scypha spp.)

b. Kelas Demospongiae

Jumlah anggota kelas Demospongiae meliputi 90% lebih dari semua spesies anggota Porifera yang masih hidup saat ini (± 5000 sp.) dan terbagi ke dalam 65 famili. Termasuk didalamnya juga spesies yang hidup di perairan tawar (150 spesies). Semua anggota Demospongiae bertipe kanal leukon dengan koanosit kecil dan hanya berada di ruang flagelum saja.

Mempunyai spikula dari silikat dengan jumlah percabangan lebih dari enam dan selalu memiliki spongin. Kelas Demospongiae dapat ditemukan di kedalaman sampai dengan 9000m.

Empat famili yang umum dijumpai dipaparkan di sini, yaitu Clionidae, Spongiidae, Haliclonidae, dan Spongiliidae.

(40)

1) Famili Clionidae Anggota-anggota Clionidae yang semuanya berhabitat laut, hidup dengan cara membuat lubang pada substrat kapur, seperti cangkang moluska dan karang.

Spikula bersilika dengan tipe monakson. Distribusi anggota famili ini mulai dari perairan dangkal sampai di kedalaman 2100 m. Contohnya, Cliona sp.

2) Famili Spongiidae Terdiri dari 2 genera, berhabitat laut, tersebar mulai dari wilayah tropis sampai ke kutub.

Contohnya, Spongia sp., Hippospongia sp.

3) Famili Haliclonidae Anggota famili Haliclonidae umum ditemukan di perairan dangkal walaupun ada yang dapat hidup di kedalaman sampai 2500 m. Contoh: Haliclona sp.

4) Famili Spongiliidae Anggota famili Spongiliidae berjumlah sekitar 150 spesies, hampir semuanya hidup di perairan tawar.

Spikula bersilika dengan tipe monakson. Ada yang berukuran diameter 1 m. Beberapa spesies dijumpai di perairan payau.

Contohnya, Spongilla sp.

c. Kelas Sclerospongiae (Hyalospongiae) Kelas Sclerospongiae terbagi menjadi 5 famili. Anggota famili ini bertipe kanal leukon, berlapiskan kapur, spikula silika, dan serat-serat spongin. Contohnya, Stromatospongia sp.

d. Kelas Hexactinellida (Hyalospongiae)

Anggota kelas Hexactinellida biasa dikenal sebagai sepon gelas (glass sponge) karena spikulanya terbuat dari silika.

Spikula bercabang empat (tetrakson) atau enam (heksatin) dan melekat bersama pada rangka silindris dan konikal. Tinggi berkisar antara 10-30 cm. Anggota famili ini umumnya hidup di laut dalam, mulai dari kedalaman 200-300 m bahkan ada yang sampai 6000 m dan tidak pernah ditemukan pada perairan dangkal. Tubuh Hexactinellida

(41)

hampir-hampir tidak memiliki mesohyl dan pinakoderm, keduanya digantikan oleh syncytia (sel-sel yang menyatu).

Ruang berflage yang berbentuk oval juga dibatasi oleh syncytia sehingga kelas ini juga dimasukan ke dalam filum Simplasma.

Saluran kanal bertipe sycon dan leucon dengan koanosit berukuran kecil. Kelas ini terbagi dari 16 famili. Famili Euplectellidae adalah salah satu famili yang paling dikenal.

Contoh: Euplectella sp. (venus flower basket), Hyalonema.

C. Peranan Porifera

Porifera adalah salah satu komponen utama dari komunitas akuatik, terutama di perairan dangkal. Mereka hidup bersaing dengan Metazoa sesil dalam hal memperoleh makanan dan khususnya ruang hidup. Sepon ternyata juga dapat menjadi habitat bagi Cyanobacteria, sebaliknya Cyanobacteria akan mensuplai oksigen dan nutrien untuk sepon. Beberapa spesies hewan avertebrata, terutama yang berukuran kecil ada yang hidup dalam saluransaluran sepon.

Hewan-hewan tersebut akan terlindungi dan mendapat suplai oksigen yang cukup karena air terus mengalir. Selain itu sepon juga menjadi makanan dari beberapa hewan karang. Beberapa spesies ikan karang, kurakura dan moluska, terutama Nudibranchia merupakan pemakan sepon laut. Sepon mempunyai daya pertahanan yang baik terhadap bakteri.

Hewan ini terbebas dari infeksi bakteri dengan cara mengeluarkan semacam zat antibacterial secretion.

Sebetulnya masalah yang dihadapi oleh sepon bukan karena predasi atau infeksi, tetapi menemukan substrat yang cocok untuk perlekatan. Kompetitor utama dalam hal ini adalah karang. Beberapa sepon menghindari karang dengan cara

(42)

mengeluarkan zat yang dapat menghambat pertumbuhan karang.

(43)

BAB V

COELENTERATA

A. Pendahuluan

Nama Cnidaria diambil dari nama sel yaitu Cnidocytes yang mengandung sel-sel penyengat yaitu nematocyts. Adanya sel penyengat (nematocyts merupakan ciri khas dari phylum ini.

Coelenterata mempunyai rongga pencernaan dan mulut, tetapi tidak memiliki anus. Tubuh simetri radial, beberapa simetri biradial. struktur tubuh Coelenterata dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu polyp yang hidup menetap dan medusa yang hidup berenang bebas. bentuk polyp lebih kurang silindris dengan satu ujung yang disebut oral yang mengandung mulut dan tentakel dan ujung lainnya yang disebut aboral. Bentuk medusa seperti lonceng atau mangkuk. Dinding tubuh terdiri atas 3 lapisan, yaitu epidermis lapisan paling luar, gastrodermis merupakan lapisan paling dalam dan membatasi rongga pencernaan, serta mesoglea yang terletak diantara epidermis dan gastrodermis.

Terdiri atas sekitar 9000 spesies, Nama lain dari phylum

(44)

ini adalah Coelenterata, tetapi jarang digunakan. Cnidaria ditemukan kebanyakan di laut yang dangkal khususnya pada suhu hangat dan daerah tropis, tidak ditemukan di darat.

Koloni hidroid selalu ditemukan menempel pada cangkang molluska, batu-batuan dan hewan lain di daerah dangkal tetapi ada beberapa spesies yang dapat ditemukan di daerah yang dalam. Medusa yang berenang bebas dapat ditemukan di laut terbuka dan di danau. Cnidaria kadang-kadang hidup bersimbiose dengan hewan lain, biasanya hidup menempel pada permukaan tubuh hewan lain.

Kebanyakan Coelenterata bersifat karnivor, dan makanan utamanya adalah Crustacea dan ikan kecil. Makanan masuk ke mulut dengan bantuan tentakel. Kemudian makanan masuk ke rongga gastrovaskuler. Di dalam rongga tersebut sel kelenjar enzim menghasilkan enzim semacam tripsin untuk mencerna protein. Makanan hancur menjadi seperti bubur, dan dengan gerakan flagela diaduk merata. Sel-sel pencerna mempunyai pseudopodia untuk menangkap dan menelan partikel makanan, dan pencernaan dilanjutkan secara intraseluler.

Hasil pencernaan didistribusikan ke seluruh tubuh secara difusi. Alat pernapasan dan alat ekskresi khusus tidak ada.

Pertukaran gas terjadi secara difusi melalui seluruh permukaan tubuh. Sisa metabolisme biasanya dalam bentuk amonia juga dibuang secara difusi melalui seluruh permukaan tubuh.

Perkembang-biakan pada hewan Coelenterata dilakukan secara aseksual dengan pembentukan tunas dan pembelahan, adapun secara seksual dengan menghasilkan sel telur dan spermatozoa. perkembangbiakan aseksual khas terdapat pada kelompok Coelenterata tertentu dan jarang atau tidak terjadi pada kelompok lain. Coelenterata tersebar di perairan

(45)

dingin sampai perairan tropik. Hampir semua hidup di air laut (kecuali Hydra air tawar yang banyak dijumpai dan beberapa lagi tidak dikenal).

B. Klasifikasi Coelenterata 1. Kelas Hydrozoa

Hidrozoa berasal dari bahasa yunani hydra yang berarti ular air, dan zoa yang berarti hewan. Anggota kelas hidrozoa hidup di perairan laut ataupun di perairan air tawar yang agak dangkal, dengan cara hidup ada yang berkoloni (berkelompok) dan ada pula yang hidup secara soliter (terpisah). Anggota yang hidup soliter berbentuk polip, dan yang berkoloni berbentuk polip dan medusa. Pada bentuk medusa kelas hydrozoa umumnya berukuran kecil dengan diameter 0,5 – 6 cm. Pada Hydrozoa sebagian besar mengalami pergiliran keturunan (metagenesis) dimana mengalami bentuk polip dan medusa di siklus hidupnya. Contoh hewan yang termasuk kelas hydrozoa adalah hydra dan Obelia.

a) Hydra Hydra hidup di perairan air tawar, hewan ini hidup soliter dan berbentuk polip dan berukuran antara 10 mm sampai 30 mm dan berwarna agak keputihan. Hydra menempelkan pangkal tubuhnya yang berbentuk cakram pada substrat misalnya pada batu atau batang tanaman air. Pada ujung tunas hydra terdapat mulut yang dikelilingi oleh tentekel dan hipostom, tentekel berfungsi untuk menangkap mangsa yang berupa hewan kecil atau tumbuhan, mangsa selanjutnya dicerna dalam rongga gastrovaskular. Hydra berkembang biak secara aseksual dan seksual. Perkembangbiakan secara aseksual dengan cara membentuk

(46)

tunas, dimana tunas akan berkembang dan terbentuk epidermis, mesoglea, dan rongga gastrovaskular. Setelah tunas terus berkembang dan membesar maka akan melepaskan diri dan menjadi individu yang baru yang berbentuk polip. Selain itu pada hydra juga terjadi perkembangbiakan secara seksual melalui peleburan sel telur (ovarium) dengan sperma (testis).

Hasil peleburan akan membentuk zigot yang akan berkembang sampai stadium grastula. Pada perkembangan selanjutnya embrio akan berkembang membentuk kista yang dapat berenang bebas dan akan tempat yang sesuai untuk melekat.

Bila keadaan lingkungan membaik kista akan pecah dan embrio akan tumbuh menjadi hydra yang baru.

Gambar : Hydra b) Obelia

Pada siklus hidupnya obelia berbentuk polip dan medusa. Pada fase polip obelia hidup berkoloni dan melekat di suatu substrat seperti batu karang. Sebagian besar waktu hidup obelia berada pada fase polip yang juga merupakan fase vegetatif. Pada obelia terdapat dua jenis polip, yaitu polip hydrant yang bertugas mengambil dan mencerna makanan,

(47)

dan polip gonangium yaitu polip yang bertugas melakukan perkembangbiakan aseksual yang akan menghasilkan obelia dalam bentuk medusa. Obelia mengalami pergiiran keturunan (metagenesis) antara fase keturunan seksual dengan fase keturunan aseksual. Perkembangbiakan secara aseksual dilakukan pada fase polip gonangium, dimana polip gonangium akan membentuk tunas yang dapat memisahkan diri dan berkembang menjadi bentuk medusa muda yang dapat berenang bebas. Medusa muda kemudian berkembang menjadi medusa dewasa yang mempunyai dua alat kelamin (hermafrodit) yang akan menghasilkan sel telur dan sperma.

Gambar : Obelia

Pembuahan terjadi secara eksternal di luar tubuh dan membentuk zigot. Dalam perkembangannya zigot akan menjadi larva bersilia yang disebut planula. Planula kemudian akan melekatkan diri pada tempat yang sesuai dan akan berkembang menjadi bentuk polip muda yang kemudian tumbuh menjadi obelia baru. Proses metagenesis

(48)

Obelia Kelas Hydrozoa terdiri dari beberapa ordo antara lain:

a. Ordo Hydroida, contoh: Obelia, Hydroctinia, dan Hydra b. Ordo Milleporina, contoh: Millepora

c. Ordo Stylasterina, contoh: Stylaslantheca, Hydralimania d. Ordo Stranchylina, contoh: Craspedacusta sowerbii e. Ordo Siphonopora, contoh: Physalia pelagic

f. Ordo Chondrophora, contoh: Porpita dan Vellela g. Ordo Actinulida, contoh: Octohydra

2. Kelas Scyphozoa

Scyphozoa berasal dari bahasa yunani yaitu scypo yang berarti mangkuk dan zoa yang berarti hewan, nama ini sesuai dengan hewan-hewan yang tergolong pada kelas scyphozoa yang memiliki bentuk tubuh seperti mangkuk, transparan, dan melayang-layang di laut sehingga sering juga disebut sebagai ubur-ubur mangkuk. Bentuk medusa pada scyphozoa berukuran antara 2 – 40 cm dan disebut juga scyphomedusa.

pada scyphozoa tiap-tiap tentekelnya ditutupi dengan sel penyengat (knidosit) yang mampu membunuh hewan lain, selain itu ada beberapa jenis scyphozoa yang tidak memiliki tentekel. Scyphozoa memiliki lapisan mesoglea yang tebal yang merupakan sumber nutrisi. Pada sistem pencernaan terdapat rongga gastrovaskular. Pada bentuk medusa terdapat mulut, manubrium, perut pusat yang bercabang menjadi empat kantung perut dan masing-masing dibatasi sekat yang disebut septum. Pencernaan pada scyphozoa berlangsung secara ekstraseluler. Sebagian scyphozoa telah memiliki indera sederhana, misalnya tentekel sebagai alat keseimbangan, oselus yang dapat membedakan gelap dan terang, dan celah olfaktoris yang merupakan indera pembau, meski begitu scyphozoa belum memiliki alat respirasi dan

(49)

ekskresi yang khusus.

Contoh hewan yang tergolong pada kelas scyphozoa adalah aurelia aurita. Pada umumnya hewan-hewan yang tergolong pada kelas scyphozoa mengalami pergiliran keturunan (metagenesis) yaitu keturunan seksual dan aseksual. Pada jenis aurelia memiliki kelamin yang terpisah antara individu jantan dan betina. Pembuahan ovum oleh sperma terjadi secara internal di dalam tubuh betina. Hasil pembuahan berupa zigot yang akan berkembang menjadi larva bersilia yang disebut planula, planula kemudian akan berenang dan menempel pada tempat yang sesuai. Setelah menempel planula akan melepaskan silia dan tumbuh menjadi polip muda yang disebut skifistoma. Skifistoma kemudian akan membentuk tunas-tunas lateral dan pada aurelia tampak seperti tumpukan piring yang disebut strobila. Kuncup dewasa paling atas kemudian akan melepaskan diri dan menjadi bentuk medusa muda yang dinamakan efira. Efira akan berkembang menjadi bentuk medusa dewasa.

Daur hidup aurelia sp Kelas scyphozoa terdiri antara beberapa ordo antara lain :

a. Ordo Stauromedusa

b. Ordo Cubomedusa, contoh: Chyronex Fleckery.

c. Ordo Coronatae, contoh: Periphylla

d. Ordo Semaestomae, contoh: Chrysaora, Aurelia aurita, Cyanea.

e. Ordo Rhyzostomae, contoh: Cassiopeia dan Rhizost

(50)

3. Kelas Anthozoa

Antozoa berasal dari bahasa yunani yaitu anthos yang berarti bunga dan zoa yang berarti hewan. Hewan-hewan yang termasuk pada kelas anthozoa merupakan hewan laut yang indah, dan terdapat kurang lebih 6000 spesies. Anthozoa tidak memiliki bentuk medusa dan hidup di laut dangkal sebagai polip soliter ataupun berkoloni. Tubuh polip anthozoa berbentuk silinder pendek, dimana terdapat mulut, kerongkongan (stomodeum), pada sisi stomodeum terdapat siphonoglyph dan dibawah stomodeum terdapat rongga gastovaskular, rongga gastrovaskular dipisahkan menjadi beberapa kamar oleh sekat- sekat yang mengandung nematokis, sementara cakram basal merupakan tempat melekatkan diri pada substrat. Anthozoa memiliki tentekel yang memiliki nematokis dan berwarna-warni. Hewan dari Kelas Anthozoa Ukuran polip pada kelas anthozoa biasanya lebih besar dibandingkan ukuran polip dari jenis kelas lain pada filum coelenterata dan tubuhnya tersusun atas kalsium karbonat (CaCO3) sehingga bila hewan dari kelas anthozoa mati kerangka akan membentuk pulau kerang (reef).

Reproduksi pada anthozoa yaitu secara aseksual dengan tunas dan fragmentasi, serta reproduksi seksual dengan menghasilkan gamet. Pada anthozoa mangsa (makanan) terlebih dahulu dilumpuhkan dengan nematosit, lalu ditarik kedalam oleh tentekel menuju stomodeum sampai ke rongga gastrovaskular, dalam rongga gastrovaskular makanan dicerna oleh enzim sehingga menghasilkan sari-sari makanan yang akan diserap dinding gastrodermis. Makanan yang tidak dapat dicerna dimuntahkan kembali oleh mulut. Cakram basal merupakan tempat melekatkan diri pada substrat. Kelas anthozoa meliputi hewan-hewan yang sering disebut dengan koral (karang) dan anemon (mawar laut). Koral

(51)

(karang) Hewan-hewan yang tergolong pada koral cara hidupnya berkoloni dan membentuk massa yang kaku dan kuat, karena mempunyai kerangka yang terbuat dari kalsium karbonat (CaCO3). Koral hidup di laut dangkal dengan suhu rata-rata 20oC dan melakukan reproduksi seksual dengan tunas (kuncup).

Apabila koral mati maka rangka kapurnya akan menjadi batu karang (terumbu karang). Contoh hewan koral yaitu Astrangia denae, Tubiphora musica, Heliopora, Acropora.

Karang Great Barrier Anemon (mawar laut) Anemon atau mawar laut memiliki batang tubuh seperti tabung, biasanya menempel di dasar perairan dengan menggunakan bagian tubuh yang disebut cakram kaki. Pada permukaan atas agak melebar dan terdapat mulut yang dikeliling tentekel berukuran pendek yang tersusun seperti mahkota bunga.

Tentekel ini berfungsi untuk mencegah kotoran untuk melekat.

Mawar laut memiliki mesoglea yang tebal dan sistem saraf difus dan tidak memiliki sistem saraf pusat. Contoh anemon yaitu Metridium marginatum

Gambar : Koral

(52)

BAB VI

CTENOPHORA

Hewan merupakan sekelompok organisme yang digolongkan dalam Kingdom Animalia yang merupakan mahluk hidup di bumi ini. Hewan diklasifikasikan menjadi vertebrata dan avertebrata. Vertebrata merupakan jenis hewan yang bertulang belakang seperti ikan, burung, katak, buaya, lumba – lumba, dan lain sebagainya. Sedangkan avertebrata adalah kebalikan dari vertebrata, yaitu hewan yang tidak bertulang belakang seperti cacing, teripang, ubur – ubur, serangga, dan lain sebagainya. Selain itu, hewan – hewan yang tak bertulang belakang atau hewan avertebrata digolongkan dalam beberapa filum. Ctenophora merupakan hewan terbesar yang menggunakan silia untuk lokomosi. Suatu organ sensoris aboral (terletak berlawanan arah dari mulut) yang berfungsi dalam menentukan orientasi. Makanan ctenophora berupa plankton, cacing dan crustacea. Syaraf yang merambat dari organ sensoris sampai kesisir silia yang memiliki fungsi untuk mengkoordinasikan pergerakan. Semua spesies terdapat dilaut, dan hidup soliter. Semua hewan yang tergolong ctenophora hidup dilaut.

(53)

Hewan ini, memiliki ciri morfologi dan anatomi yang berbeda dengan filum lain dalam kelompok coelenterata.

Ctenophora berarti “mengandung sisir”. Dan dinamai menurut kedelapan baris lempengan yang mirip sisir, yang terdiri atas silia yang menyatu. Ctenophora merupakan hewan diploblastik yang tubuhnya memiliki simetri radial. Dinding tubuhnya dapat dibedakan menjadi mesoderma dan endoderma. Hewan ini tidak memiliki nematosista, akan tetapi tentakelnya dilengkapi oleh sel-sel yang menghasilkan zat perekat untuk menangkap mangsanya. Memiliki tentakel yang mengandung struktur lengket yang disebut dengan koloblas (colloblast) atau disebut juga dengan lasso. Berbagai manfaat dari hewan ini diantaranya, bagi manusia beberapa jenis karang dapat dimanfaatkan sebagai hiasan rumah dan merupakan bahan kapur. Selain itu batu karang memiliki fungsi untuk melindungi karang dari hantaman gelombang air laut serta dapat berperan sebagai komponen biotic di laut.

Terumbu karang dapat digunakan sebagai tempat perlindungan dan berkembang biak berbagai jenis ikan. Selain memberikan berbagai manfaat, hewan ctenophora juga dapat mengakibatkan kerugian bagi peternakan tiram karena hewan ini memakan larva-larva tiram (Campbell et al. 2003; Solomon et al 2005).

1 Pengertian Ctenophora

Ctenophora (Yunani, kteno, kteis = sisir dan phore = pembawa) dikenal sebagai ubur-ubur sisir (comb jelly) yang hidup di laut. Tubuh Ctenophora berbentuk simetri radial, berdiameter sekitar 1 – 10 cm, sebagian besar berbentuk bulat atau oval, namun ada yang berbentuk memanjang seperti pita hingga mencapai 1 m. Ctenophora memiliki

Referensi

Dokumen terkait

Dinding usus besar mempunyai tiga lapis yaitu lapisan mukosa (bagian dalam), yang berfungsi untuk mencernakan dan absorpsi makanan, lapisan muskularis

Dinding arteri yang bersifat elastis (kenyal) dan mampu berkontraksi ini terdiri atas tiga macam jaringan, yaitu jaringan ikat di lapisan paling luar, jaringan otot

Di dalam sel juga terdapat bagian-bagian yang tidak hidup (non-protoplasmik), yang berada di dalam plasma dan plastid terdiri atas bagian- bagian yang bersifat cair dan padat.

Rajah 1.3: (a) Dinding sel dan lamela tengah bagi tiga sel tumbuhan yang bersebelahan (b) Keratan rentas dinding sel melalui kawasan A-B menunjukkan pelbagai lapisan yang

Tubuh sponsa terdiri dari dua lapisan sel, diantara kedua lapisan tersebut terdapat bagian yang tersusun dari bahan yang lunak disebut mesoglea.. Sel-sel

Pada lapisan sel di atasnys terdiri atas sel-sel yang berbentuk polihedral sedang lapisan di atasnya terdiri atas sel-sel yang berbentuk sebagai buah labu atau bola ampu dengan

Mari kita perinci satu-persatu spesialisasi sel pada tumbuhan dan hewan Gambar 1.19 Bekerja sama, seperti yang terjadi pada sel- sel di tubuh organisme Ayo Kita Amati Organisme

c Dinding sel terdiri dari selulosa d Mengalami metagenesis e Merupakan peralihan antara Thallophyta dan Cormophyta f Permukaan luar tubuh dilapisi dengan lapisan berlilin yang