• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan kadar senyawa fenolik total dalam asap cair [Liquid smoke] dihitung sebagai fenol dengan metode bromatometri.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penetapan kadar senyawa fenolik total dalam asap cair [Liquid smoke] dihitung sebagai fenol dengan metode bromatometri."

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Salah satu pengawet makanan yang diusulkan sebagai pengganti formalin dan boraks adalah asap cair, yang merupakan hasil pirolisis lignin dan selulosa. Di dalam asap cair diduga ada kandungan senyawa fenolik sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan makanan. Padahal senyawa fenolik sangat toksik, bahkan dapat menimbulkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kadar senyawa fenolik pada kedua jenis asap cair yang mengalami cara pengolahan yang berbeda.

Penelitian ini termasuk penelitian non-eksperimental analitik dengan rancangan penelitian acak lengkap pola satu arah. Pada penelitian ini, kadar senyawa fenolik total dalam asap cair ditetapkan dengan metode bromatometri. Data yang diperoleh dianalisis dengan Paired Samples T-test dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar senyawa fenolik dalam asap cair dua kali distilasi disertai penyaringan (1,71 ± 0,04) % b/b dan asap cair satu kali destilasi (2,20 ± 0,04) % b/b. Dari analisis T-test didapatkan nilai signifikansi 0,00 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar senyawa fenolik total dalam asap cair dua kali distilasi disertai penyaringan dengan asap cair satu kali distilasi. Dalam hal ini, kadar senyawa fenolik total dalam asap cair dua kali distilasi disertai penyaringan lebih sedikit daripada asap cair satu kali distilasi.

Kata kunci : Senyawa Fenolik, Bromatometri, asap cair

(2)

ABSTRACT

Liquid smoke is one of preservatives that is claimed to substitute formalin and borax. It is gained throughout the busting of lignin and cellulose in plant. Therefore, it may contains phenol substances. In the other hand, phenol is very toxic as it can causes sudden death on human. This research is aimed to determine the phenol substances level in two different kinds of liquid smoke.

This research is one direction completed random analitic non-experimental design. In this research, phenol substances in liquid smoke is detemined throughout bromatometric method. The data then analyzed with Paired Samples T-test in confidence level 95%.

The result shows that average level of phenol substance in twice distilled and refined liquid smoke is (1.71 ± 0.04) % w/w while (2.20 ± 0.04) % w/w in once distilled liquid smoke. Based on the Paired T-test result, there is a significant difference of phenolic substances cointained in both liquid smoke. In this case, the level of phenolic substances in twice distilled and refined liquid smoke is smaller than in once distilled liquid smoke.

Keywords : Phenol substances, Bromatometric method, liquid smoke

(3)

PENETAPAN KADAR SENYAWA FENOLIK TOTAL DALAM ASAP CAIR (LIQUID SMOKE) DIHITUNG SEBAGAI FENOL

DENGAN METODE BROMATOMETRI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Hartono NIM : 038114054

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

Dipersembahkan kepada :

Orang tuaku The Song Khiang dan Tjan Sioe Moei

Adikku Lusiani

Almamaterku

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penetapan Kadar Senyawa Fenolik Total dalam Asap Cair (Liquid Smoke) Dihitung Sebagai Fenol dengan Metode Bromatometri”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mengalami berbagai kesulitan, yang dikarenakan oleh keterbatasan penulis. Namun sebagian besar kesulitan tersebut dapat diatasi berkat bantuan banyak pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dra. M.M. Yetty Tjandrawati, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan, dan diskusi.

3. Dr. Sabikis, Apt. selaku dosen penguji yang banyak memberikan masukan-masukan bagi penulis.

4. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. selaku dosen penguji yang banyak memberikan masukan-masukan bagi penulis.

5. Yunita Linawati, S.Si., Apt., yang selalu memberikan pencerahan, motivasi dan dukungan di saat penulis menghadapi keputusasaan.

(8)

6. Segenap staf pengajar, staf tata usaha, para laboran Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah membantu dan memberikan fasilitas selama penulis menempuh studi.

7. William Salim atas diskusi mekanisme reaksi dan dukungan motivasinya. 8. Winarto, Widyono, dan Lusiani yang selalu mengingatkanku untuk

menyelesaikan skripsi tepat waktu dan atas persahabatannya selama ini. 9. Erika Dwijayanti Buntoro atas semangat, doa, dukungan, dan diskusinya. 10.Teman-teman kelas B angkatan 2003 serta teman-teman Tasura 52 yang selalu

bersamaku sejak awal kuliah.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, penulis memohon kritik dan saran yang sifatnya membangun. Penulis memiliki harapan yang sangat besar, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 6 Juni 2007

Penulis

(9)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 6 Juni 2007 Penulis

Hartono

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. HALAMAN PENGESAHAN ……….. HALAMAN PERSEMBAHAN ………... KATA PENGANTAR ……….. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………... DAFTAR ISI ……… DAFTAR TABEL ……… DAFTAR LAMPIRAN ……… INTISARI ………. ABSTRACT ………...

BAB I PENGANTAR ..……….………... A. Latar Belakang Masalah…...………...

B. Perumusan Masalah ………

C. Keaslian Penelitian ………. D. Manfaat Penelitian ……….. 1. Manfaat teoritis ………

2. Manfaat praktis ………

3. Manfaat metodologis ………

E. Tujuan Penelitian ………

(11)

A. Asap Cair (Liquid Smoke)………... B. Fenol...……….. C. Farmakokinetika Fenol ... D. Bahan Tambahan Makanan ... E. Titrasi Redoks....……….

F. Hipotesis ……….

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………….………...… A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………. B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ………

C. Bahan Penelitian ……….

D. Alat Penelitian ………

E. Jalannya Penelitian …………..………... 1. Pembuatan Laruta Standar Kalium Bromat ...………….. 2. Pembuatan dan Pembakuan Larutan Standar Natrium Tiosulfat ...… 3. Pembuatan Larutan Pereaksi ...……... 4. Uji Validasi Metode Penetapan Kadar Senyawa Fenolik Total ... 5. Pengambilan dan Penyiapan Sampel ... 6. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Sampel ... 7. Penetapan Blanko ... 8. Penetapan Kadar Senyawa Fenolik Total dalam Asap Cair ...……...

F. Analisis Data ……….

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. A. Pembuatan dan Standarisasi Larutan Baku ……....………

(12)

B. Uji Validasi Metode dan Percobaan Pendahuluan …..………... C. Penetapan Kadar Senyawa Fenolik dalam Sampel .………... 1. Penyiapan Sampel Asap Cair ... 2. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Sampel ... 3. Penetapan Kadar Senyawa Fenolik Total Sampel Dihitung Sebagai

Fenol ... D. Hasil Penetapan Kadar Senyawa Fenolik dalam Sampel ...………. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...…..

A. Kesimpulan ……….

B. Saran ………...

DAFTAR PUSTAKA ……….. LAMPIRAN ………. BIOGRAFI PENULIS ………..

32 36 36 37

38 40 45 45 45 46 49 55

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Sifat Fisika Kimia Fenol ……….. Tabel II. Koefisien Fenol Beberapa Fenol Tersubstitusi dan Senyawa

Fenolik yang Memiliki Daya Bakterisid ... Tabel III. Syarat Penggunaan Pipet ... Tabel IV. Syarat Penggunaan Buret ... Tabel V. Hasil Standarisasi Larutan Na2S2O3 ... Tabel VI. Data perhitungan recovery dan kesalahan sistematik ... Tabel VII. Data perhitungan kesalahan acak ... Tabel VIII.Kadar Senyawa Fenolik Total dihitung sebagai fenol dalam

asap cair A tanpa penambahan fenol ... Tabel IX. Kadar Senyawa Fenolik Total dihitung sebagai fenol dalam

asap cair B tanpa penambahan fenol ... Tabel X. Kadar Senyawa Fenolik Total dihitung sebagai fenol dalam

asap cair A dengan penambahan fenol ... Tabel XI. Kadar Senyawa Fenolik Total dihitung sebagai fenol dalam

asap cair B dengan penambahan fenol ... Tabel XII. Hasil analisis Paired Samples T-test untuk asap cair A

dengan B tanpa adisi fenol ... Tabel XIII.Hasil analisis Paired Samples T-test untuk asap cair Adengan

B dengan penambahan fenol ... Tabel XIV.Hasil analisis Paired Samples T-test untuk asap cair B tanpa

(14)

Tabel XV. Hasil analisis Paired Samples T-test untuk asap cair A tanpa penambahan fenol dan penambahan fenol ... Tabel XVI.Data Penimbangan kalium bromat ...

43 49

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Normalitas Larutan Kalium Bromat 0,1 N ... Lampiran 2. Standarisasi Larutan Standar Natrium Tiosulfat ... Lampiran 3. Perhitungan Recovery dan Kesalahan Sistematik ... Lampiran 4. Perhitungan Kesalahan Acak ... Lampiran 5. Hasil Penetapan Kadar Senyawa Fenolik dalam Sampel Asap

Cair (Liquid Smoke) ... 48 49 50 52

53

(16)

INTISARI

Salah satu pengawet makanan yang diusulkan sebagai pengganti formalin dan boraks adalah asap cair, yang merupakan hasil pirolisis lignin dan selulosa. Di dalam asap cair diduga ada kandungan senyawa fenolik sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan makanan. Padahal senyawa fenolik sangat toksik, bahkan dapat menimbulkan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kadar senyawa fenolik pada kedua jenis asap cair yang mengalami cara pengolahan yang berbeda.

Penelitian ini termasuk penelitian non-eksperimental analitik dengan rancangan penelitian acak lengkap pola satu arah. Pada penelitian ini, kadar senyawa fenolik total dalam asap cair ditetapkan dengan metode bromatometri. Data yang diperoleh dianalisis dengan Paired Samples T-test dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar senyawa fenolik dalam asap cair dua kali distilasi disertai penyaringan (1,71 ± 0,04) % b/b dan asap cair satu kali destilasi (2,20 ± 0,04) % b/b. Dari analisis T-test didapatkan nilai signifikansi 0,00 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar senyawa fenolik total dalam asap cair dua kali distilasi disertai penyaringan dengan asap cair satu kali distilasi. Dalam hal ini, kadar senyawa fenolik total dalam asap cair dua kali distilasi disertai penyaringan lebih sedikit daripada asap cair satu kali distilasi.

Kata kunci : Senyawa Fenolik, Bromatometri, asap cair

(17)

ABSTRACT

Liquid smoke is one of preservatives that is claimed to substitute formalin and borax. It is gained throughout the busting of lignin and cellulose in plant. Therefore, it may contains phenol substances. In the other hand, phenol is very toxic as it can causes sudden death on human. This research is aimed to determine the phenol substances level in two different kinds of liquid smoke.

This research is one direction completed random analitic non-experimental design. In this research, phenol substances in liquid smoke is detemined throughout bromatometric method. The data then analyzed with Paired Samples T-test in confidence level 95%.

The result shows that average level of phenol substance in twice distilled and refined liquid smoke is (1.71 ± 0.04) % w/w while (2.20 ± 0.04) % w/w in once distilled liquid smoke. Based on the Paired T-test result, there is a significant difference of phenolic substances cointained in both liquid smoke. In this case, the level of phenolic substances in twice distilled and refined liquid smoke is smaller than in once distilled liquid smoke.

Keywords : Phenol substances, Bromatometric method, liquid smoke

(18)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya bahan makanan memerlukan pengawet untuk mencegah kerusakan bahan makanan tersebut selama proses distribusi sampai ke tangan konsumen. Bahan makanan yang diberi pengawet makanan adalah bahan makanan dalam kemasan yang memiliki kadaluarsa maupun bahan makanan segar.

Bahan pengawet makanan ditambahkan ke dalam makanan untuk mempertahankan kesegaran makanan yang diawetkan. Bahan makanan segar yang banyak diawetkan antara lain adalah daging, sayur-sayuran, ikan, tahu dan mie basah. Pengawet yang sering digunakan untuk mengawetkan bahan makanan segar adalah formalin dan boraks. Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM-RI) pada tanggal 9 Januari 2006 melaporkan bahwa 77,78 persen sampel tahu di Jakarta mengandung formalin. Di Yogyakarta, sebanyak 64 persen sampel produk mie basah mengandung formalin. Ini berarti bahwa Yogyakarta merupakan daerah yang cukup rawan dan potensial dari peredaran mie yang mengandung formalin.

Formalin merupakan salah satu dari lima puluh empat bahan berbahaya yang tercantum dalam lampiran 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 472/Men.Kes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya bagi Kesehatan. Formalin adalah larutan 37% gas formaldehida dalam

(19)

air yang merupakan salah satu dari zat yang dilarang oleh pemerintah untuk digunakan dalam makanan. Boraks (Na2BB4O7.10H2O), bentuk garam dari asam

borat seharusnya digunakan sebagai antiseptik untuk pemakaian luar badan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/Men.Kes/Per/X/1999, dicantumkan bahwa formalin (formaldehida) dan boraks termasuk salah satu dari 10 bahan pengawet yang dilarang penggunaannya dalam makanan (Anonim, 1999 b).

Keracunan formalin dapat terjadi akibat dari konsumsi formalin dengan kadar tinggi yang digunakan sebagai pengawet dalam makanan, contohnya mie basah. Jenis makanan ini merupakan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Ketidaktahuan masyarakat akan kemungkinan adanya formalin dalam makanan dapat menjadi sebab terjadinya keracunan formalin. Kalau terpapar formaldehida dalam jumlah banyak, misalnya terminum, bisa menyebabkan kematian. Dalam tubuh manusia, formaldehida dikonversi menjadi asam format yang meningkatkan keasaman darah, tarikan nafas menjadi pendek dan sering, hipotermia, juga koma, atau sampai kepada kematian (Anonim, 2006).

Keracunan boraks dapat terjadi jika boraks dengan kadar tinggi masuk ke dalam tubuh. Boraks mempunyai efek merugikan pada testis dan hypotalamic pituitary. Pada manusia dan hewan percobaan, zat kimia tersebut dapat

(20)

3

janin. Selain itu, penelitian pada sejumlah pekerja yang terpapar boraks, menunjukkan bahwa zat kimia tersebut terbukti dapat mengakibatkan eksema dan iritasi pada saluran pernapasan.

Bahan pengawet alternatif yang diduga cukup aman untuk digunakan adalah bahan pengawet makanan alami, misalnya asap cair (liquid smoke). Untuk pengawetan bahan makanan, asap cair tidak sedahsyat formalin atau boraks. Jika formalin bisa membuat makanan bertahan sangat lama dengan kondisi terlihat segar serta tidak berpengaruh pada cita rasa, asap cair tetap memiliki rasa dan bau seperti asap walau dari segi kesehatan lebih baik dibandingkan bahan kimia.

Menurut penemu asap cair, Dr. A. H. Bambang Setiaji, M.Sc. dalam Setiaji (2000), pembuatan asap cair (liquid smoke) sangat sederhana. Tempurung kelapa dipanaskan dalam tungku pirolisis berdiameter 1,5 m. Tungku bagian atas ditutup dan diberi pipa saluran untuk mengumpulkan asap ke dalam drum besar yang dilengkapi dengan alat pendingin dan kumparan yang menghasilkan embun. Dari kondensasi tersebut terbentuklah cairan asap cair (liquid smoke). Agar cairan tidak terlalu hitam, perlu didistilasi agar lebih jernih. Asap cair dapat digunakan sebagai bahan pengawet karena kemungkinan mengandung senyawa fenolik dan aldehida yang dapat membunuh bakteri pembusuk.

(21)

Senyawa fenolik termasuk fenol, merupakan substansi yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan tidak termasuk dalam bahan tambahan makanan (additive) pada Codex Alimentarius, maupun yang dikeluarkan oleh Depkes berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/MenKes/Per/IX/88. Apalagi, dengan paparan oral fenol sebesar 1 gram pada manusia dapat menimbulkan kematian. Dengan demikian, asap cair tidak cukup aman untuk digunakan sebagai bahan pengawet alternatif.

Metode-metode yang dapat digunakan untuk menetapkan kadar senyawa fenolik adalah bromatometri, Gas Chromatography (Tesatovai dan Pacaikovai, 1983), HPLC (Tesatovai dan Pacaikovai, 1983), dan spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi 4-amino-phenazon (Lacoste, Venable, dan Stone, 1959). Metode yang digunakan untuk menetapkan kadar senyawa fenolik dalam penelitian ini adalah bromatometri.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut muncul permasalahan sebagai berikut: a. Apakah ada kandungan senyawa fenolik dalam asap cair?

b. Berapakah kadar senyawa fenolik total di dalam asap cair?

(22)

5

C. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran pustaka yang telah dilakukan, penelitian tentang penetapan kadar senyawa fenolik total dalam asap cair dengan metode bromatometri belum pernah dilakukan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi tentang adanya kandungan senyawa fenolik dalam asap cair.

b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi tentang besarnya kadar senyawa fenolik total dalam asap cair.

c. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi tentang ada tidaknya perbedaan kadar senyawa fenolik total dalam dua macam asap cair yang berbeda pengolahannya.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan bahwa perbedaan cara pengolahan asap cair akan mengakibatkan perbedaan kadar senyawa fenolik total dalam asap cair (liquid smoke).

3. Manfaat metodologis

(23)

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk menetapkan kadar senyawa fenolik total di dalam asap cair (liquid smoke)

(24)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Asap Cair (Liquid Smoke)

Asap diartikan sebagai suatu suspensi partikel-partikel padat dan cair dalam medium gas (Buell dan Girard, 1992). Asap cair (liquid smoke) merupakan larutan dari dispersi asap kayu dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap hasil pirolisis kayu. Cara yang umum digunakan untuk menghasilkan asap pada pengasapan makanan adalah dengan membakar serbuk gergaji kayu keras dalam suatu tempat yang disebut alat pembangkit asap, kemudian asap tersebut dialirkan ke rumah asap dalam kondisi sirkulasi udara dan temperatur yang terkontrol (Setiaji, 2000).

Asap cair yang diperoleh dari hasil pembakaran batok kelapa berupa cairan berwarna coklat keruh, sehingga asap cair tersebut didistilasi terlebih dahulu untuk mengurangi kandungan benzo[a]pyrene dalam asap cair. Namun, asap cair yang telah didistilasi masih keruh sehingga distilat yang diperoleh kemudian didistilasi kembali kemudian disaring sehingga didapatkan asap cair yang lebih jernih dan berwarna coklat sangat muda (Setiaji, 2000).

Produksi asap cair merupakan hasil pembakaran tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi karena pengaruh panas, polimerisasi, dan kondensasi. Penggunaan berbagai jenis kayu sebagai bahan bakar pengasapan telah banyak dilaporkan. Pembuatan bandeng asap di daerah Sidoarjo, menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan bakar seperti kayu bakau, serbuk

(25)

gergaji kayu jati, ampas tebu, dan kayu bekas kotak kemasan. Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras akan berbeda komposisinya dengan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu lunak. Pada umumnya kayu keras akan menghasilkan aroma yang lebih unggul, lebih kaya kandungan aromatik dan lebih banyak mengandung senyawa asam dibandingkan kayu lunak (Buell dan Girard, 1992).

Asap cair memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolik, dan karbonil. Pirolisis tempurung kelapa menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa-senyawa sebagai berikut : asam asetat, asam formiat, maltol, metil siklopentenolon, etil siklopentenolon, dimetilsiklopentenolon, furfural, dan 5-hidroksimetilfurfural (dari hasil pirolisis selulosa), fenol, orto-, meta- dan para-kresol, guaiakol, metilguaiakol, 4-etilguaiakol, 4-propilguaiakol, pirokatekol, trimetilfenol, vanilin, (2-propio)-vanilon, (1-propio)-(2-propio)-vanilon, aseto(2-propio)-vanilon, 2,4,5-trimetilbenzaldehida, 4-hidroksiasetofenon, eugenol, cis- dan trans-isoeugenol, 2,6-dimetoksifenol (Syringol), 4-methylsyringol, 4-ethylsyringol, 4-propylsyringol, 4-acetosyringol, 4-(2-propio)-syringol, 4-(1-propio)-syringol, cis- dan trans-4-(1-propenyl)-syringol, 4-(2-propenyl)-trans-4-(1-propenyl)-syringol, dan syringaldehyde (dari hasil pirolisis lignin) (Anonim, 2001).

(26)

9

pengawetan daging, termasuk daging unggas, kudapan daging, ikan salmon dan kudapan lainnya. Asap cair juga digunakan untuk menambah citarasa pada saus, sup, sayuran dalam kaleng, bumbu, dan rempah-rempah (Setiaji, 2000).

Asap cair sudah umum digunakan untuk menggantikan pengasapan tradisional dan sudah diproduksi secara komersial. Komponen asap terutama berfungsi untuk memberi cita rasa dan warna yang diinginkan pada produk asapan, dan berperan dalam pengawetan dengan bertindak sebagai antibakteri dan antioksidan. Asap telah diketahui memiliki sifat antioksidan dan antimikroba disamping sifat-sifat lain misalnya merubah tekstur pada produk olahan (daging, ikan) dan merubah kualitas nutrisi pada produk olahan (Setiaji, 2000).

Aplikasi baru asap cair adalah untuk menambah cita rasa pada makanan rendah lemak. Pada aplikasi tersebut perlu diperhatikan warna produk yang dihasilkan, karena ada beberapa produk yang menghendaki warna coklat, sementara beberapa produk lainnya tidak menghendaki terbentuknya warna coklat. Selain memiliki segi-segi keuntungan, proses pengasapan dapat menyebabkan bahan pangan mengandung benzo[a]piren yang bersifat karsinogen yang tidak dikehendaki, dan telah banyak dilakukan usaha untuk mengeliminasi kandungan senyawa tersebut dalam produk pengasapan (Setiaji, 2000).

Asap cair memiliki banyak manfaat dan telah digunakan pada berbagai industri, antara lain :

1. Industri pangan

(27)

antioksidannya. Dengan tersedianya asap cair maka proses pengasapan tradisional dengan menggunakan asap secara langsung yang mengandung banyak kelemahan seperti pencemaran lingkungan, proses tidak dapat dikendalikan, kualitas yang tidak konsisten serta timbulnya bahaya kebakaran dapat dihindari. Juga digunakan untuk food processing seperti tahu, mie basah, dan bakso.

2. Industri perkebunan

Asap cair dapat digunakan sebagai koagulan lateks dengan sifat fungsional asap cair seperti antijamur, antibakteri dan antioksidan tersebut dapat memperbaiki kualitas produk karet yang dihasilkan.

3. Industri kayu

Kayu yang diolesi dengan asap cair mempunyai ketahanan terhadap serangan rayap daripada kayu yang tanpa diolesi asap cair (Setiaji, 2000).

B. Fenol

(28)

11

Tabel I. Sifat Fisika Kimia Fenol

Sinonim

Benzenol, hydroxybenzene, monophenol, oxybenzene, phenyl alcohol, phenyl hydrate, phenyl hydroxide

Nama dagang Carbolic acid, phenic acid, phenic alcohol Titik lebur (°C) 43

Titik didih (°C) 181,8 Tekanan uap (pada 25 °C) 0,3513

Kerapatan 1,0576

Flashpoint 85 °C

Kelarutan (g/L pada 25 °C) 87

Log Kow 1,46

Berat molekul 94,12 Rumus empiris C6H6O

Rumus struktur OH

(Lide, 1993) Fenol secara alami terdapat dalam feses hewan maupun manusia, sebagai hasil penguraian asam amino aromatik dalam sistem metabolisme tubuh manusia. Semua tumbuhan yang mengandung lignin dan selulosa juga bertindak sebagai sumber alami fenol di alam, sehingga fenol dalam skala besar biasanya didapatkan dengan mengisolasi kandungan fenol dalam batu bara (ATSDR, 1988).

(29)

Fenol bersifat toksik pada bakteri dan jamur, sehingga banyak digunakan sebagai disinfektan. Karena sifat anastetiknya, fenol pernah digunakan sebagai obat anti-infeksi. Aktivitas bakterisid senyawa fenolik dibandingkan dengan fenol USP, dinyatakan sebagai koefisien fenol, yang menunjukkan perbandingan pengenceran desinfektan terhadap pengenceran fenol yang diperlukan untuk membunuh galur mikroorganisme tertentu (Wilson dan Gisvold, 1982).

Tabel II memberikan koefisien fenol beberapa fenol tersubstitusi dan senyawa fenolik yang memiliki daya bakterisid (Auterhoff, 1978).

Tabel II. Koefisien fenol beberapa fenol tersubstitusi dan senyawa fenolik yang memiliki daya bakterisid.

Senyawa fenolik Koefisien fenol Fenol 1 m-Kresol 2,5

Timol 30 Xylenol 70 Klor-timol 75

(30)

13

C. Farmakokinetika Fenol

Hasil penelitian pada tikus maupun sukarelawan menunjukkan bahwa fenol sangat mudah memapari manusia melalui berbagai jalur absorbsi. Ditemukannya lebih dari 90% fenol dari dosis yang diberikan pada urin menunjukkan bahwa fenol dapat diabsorbsi sempurna oleh tubuh (Hughes dan Hall, 1995; Kenyon et al., 1995). Jumlah fenol yang dapat diabsorbsi tubuh akan dipengaruhi oleh jalur pemaparan fenol. Pemaparan melalui kulit memungkinkan fenol yang terabsorbsi menjadi lebih sedikit dibanding pemaparan jalur per oral dan per inhalasi (Tanaka et al., 1998). Akan tetapi, kecepatan absorbsi fenol melalui pemaparan jalur manapun adalah sama, yang ditunjukkan dengan waktu onset penampakan gejala keracunan fenol adalah 4,5 jam setelah pemaparan (Hotchkiss et al., 1992; Hughes dan Hall, 1995).

Fenol akan segera terdistribusi dengan cepat di dalam tubuh melalui jalur pemaparan manapun. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa organ-organ yang memiliki kemampuan perfusi tinggi, seperti hepar, ginjal, dan paru mengandung fenol dalam kadar yang lebih tinggi dibanding di dalam darah (Hughes dan Hall, 1995).

(31)

Hasil penelitian Capel et al. (1972) dengan memberikan senyawa fenol secara per oral dengan dosis 0,01 mg/kgBB pada tiga orang dewasa sehat, menunjukkan bahwa 85-95% dari dosis fenol yang diberikan akan diekskresikan keluar dari tubuh setelah 24 jam dengan 69-90% dieksresikan sebagai fenil sulfat, 4-23% dieksresikan sebagai fenil glukuronida, sementara sisanya dieksresikan sebagai hidrokuinon.

Namun pada pemberian dengan dosis lebih tinggi, jalur sulfasi dan glukuronidasi menjadi jenuh, sehingga fenol tidak dapat termetabolisme. Hal ini akan mengakibatkan naiknya kadar fenol secara mendadak di dalam darah yang berkorelasi dengan semakin meningkatnya toksisitas akut fenol (Sawahata dan Neal, 1983; Gilmour et al., 1986; Chapman et al., 1994; Kenyon et al., 1998).

Fenol dalam jumlah kecil akan sangat mudah diekskresikan dari tubuh tanpa mengalami akumulasi, dengan jalur utama ekskresi adalah melalui urin, dan sedikit sekali yang dikeluarkan melalui hepar (Ohtsuji dan Ikeda, 1972). Fenol juga memiliki klirens dalam darah yang sangat cepat karena waktu paruh fenol dalam darah diperkirakan hanya 13,86 jam (Bentur et al., 1998).

D. Bahan Tambahan Makanan 1. Pengertian bahan tambahan makanan

(32)

15

dalam produksi, pengolahan, pengemasan, pengangkutan, atau penyimpanan makanan (Anonim, 1999 a).

Bahan tambahan makanan dalam pengertian khusus adalah senyawa kimia yang sengaja dimasukkan ke dalam makanan untuk membantu proses pembuatan, bertindak sebagai pengganti atau memperbaiki kualitas makanan yang bertujuan untuk mengawetkan makanan atau untuk membuatnya lebih menarik (deMan, 1989).

Penggunaan bahan tambahan dalam makanan mempunyai fungsi yang beragam. Bahan tambahan dapat membantu kestabilan pada penyimpanan makanan seperti membuat awet, sehat, dan menarik dari tempat awal produksi sampai tempat pemasaran. Bahan pangan membutuhkan bahan tambahan karena bahan pangan dapat rusak akibat pengaruh faktor lingkungan, misalnya perubahan temperatur, oksidasi, dan pencemaran mikroorganisme (Buckle et al., 1987).

(33)

2. Bahan pengawet kimia

Bahan pengawet menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 722/Men.Kes/PER/X/1988 adalah bahan tambahan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Anonim, 1990).

Bahan-bahan pengawet kimia adalah salah satu kelompok dari sejumlah besar bahan-bahan kimia yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam bahan pangan atau ada di dalam bahan pangan sebagai akibat dari perlakuan pra-pengolahan atau penyimpanan. Untuk penyesuaian dengan penggunaannya dalam pengolahan secara baik, penggunaan bahan-bahan pengawet ini seharusnya tidak menimbulkan penipuan, menurunkan nilai gizi bahan pangan, dan tidak memungkinkan pertumbuhan organisme-organisme yang menimbulkan keracunan bahan pangan (Buckle et al., 1987).

National Health and Medical Research Council menyebutkan bahwa

bahan-bahan pengawet kimia yang digunakan dalam makanan antara lain: asam benzoat, sulfit, metabisulfit, nisin, asam askorbat dan propionat atau garam-garamnya dan senyawa peroksida (Buckle et al., 1987).

E. Titrasi Redoks

Analisis secara titrimetri berdasarkan reaksi kimia seperti :

aA + tT → hasil (1)

(34)

17

dengan konsentrasi yang diketahui. Titran merupakan larutan standar dan konsentrasinya ditetapkan oleh suatu proses standarisasi. Penambahan titran dilakukan hingga sejumlah titran yang secara kimia setara dengan analit yang telah ditambahkan maka dapat dikatakan bahwa titik ekivalen telah tercapai. Untuk mengetahui apakah penambahan titran sudah harus dihentikan, dapat digunakan suatu senyawa kimia yang disebut indikator, yang mempunyai tanggapan terhadap adanya titran berlebih yang biasanya ditunjukkan dengan perubahan warna (Underwood dan Ray, 1999).

Titik ekivalen tercapai bila grek analit tepat sama banyaknya dengan grek zat standar. Dalam titrimetri, titik ekivalen tersebut ditetapkan dengan memakai suatu indikator, yaitu zat yang akan mengalami perubahan saat titik ekivalen tercapai. Wujud perubahan indikator itu mungkin suatu perubahan warna atau pembentukan suatu presipitan. Pada umumnya perubahan indikator tersebut tidak terjadi tepat pada titik ekivalen tetapi beberapa saat setelah titik ekivalen itu tercapai. Saat suatu indikator mengalami perubahan disebut sebagai titik akhir titrasi. Pemilihan indikator harus setepat-tepatnya agar selisih antara titik ekivalen dan titik akhir titrasi menjadi sekecil-kecilnya sehingga mampu menekan resiko terjadinya kesalahan titrasi (Skoog dan West, 1994).

(35)

senyawa yang mengandung salah satu atom yang mengalami penurunan bilangan oksidasi. Sebaliknya pada reduktor atom yang terkandung mengalami kenaikan bilangan oksidasi. Oksidasi atau reduksi harus selalu berlangsung bersama dan saling mengkompensasi satu sama lain. Istilah oksidator reduktor mengacu kepada suatu senyawa tidak pada atomnya saja. Jika suatu zat berperan baik sebagai oksidator atau reduktor maka zat tersebut dikatakan mengalami auto oksidasi atau disproporsionasi (Khopkar, 1990).

Berbeda dengan reaksi netralisasi, pada reaksi redoks terjadi transfer elektron dari pasangan reduktor ke pasangan pengoksidasi. Kedua reaksi paro dari suatu reaksi reduksi-oksidasi umumnya ditulis sebagai berikut :

red oks + ne (2)

Red menunjukkan bentuk tereduksi dan oks menunjukkan bentuk teroksidasi, n adalah jumlah elektron yang ditransfer dan e adalah elektron. Tidak mungkin ada suatu reaksi paro redoks (reduksi-oksidasi), untuk itu diperlukan 2 reaksi paro, satu memberikan elektron dan yang lainnya mempergunakannya. Pada persamaan (2) terlihat bahwa oksidasi adalah proses hilangnya elektron pada suatu senyawa dan reduksi adalah proses suatu senyawa memperoleh elektron (Connors, 1982).

(36)

19

Tabel III. Syarat penggunaan pipet

Volume (ml) 1 2 3 10 25 50 100

Batas kesalahan (ml) 0,006 0,006 0,01 0,02 0,03 0,05 0,08 Batas kesalahan (%) 0,6 0,3 0,2 0,2 0,12 0,1 0,08

Tabel IV. Syarat penggunaan buret

Volume (ml) 10 25 50

Pembagian skala (ml) 0,02 0,1 0,1 Batas kesalahan (ml) 0,02 0,03 0,05

Tabel III dan IV dapat membantu penentuan pilihan terhadap penggunaan alat pipet maupun buret (Anonim, 1995).

F. Hipotesis

(37)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini tergolong dalam penelitian non-eksperimental analitik

dengan rancangan penelitian murni sederhana dengan analisis statistik

menggunakan uji T (Turkey).

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas.

Variabel bebas yaitu variabel yang direncanakan untuk diberi pengaruhnya

terhadap variabel tergantung. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

perlakuan pengolahan untuk mendapatkan asap cair yaitu distilasi dua kali

disertai penyaringan dan distilasi satu kali.

b. Variabel tergantung.

Variabel tergantung yaitu titik pusat permasalahan yang merupakan

kriteria penelitian ini. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah

kadar senyawa fenolik total dalam asap cair.

c. Variabel pengacau terkendali

Variabel pengacau terkendali yaitu variabel yang diketahui atau secara

teoritis mempuyai pengaruh terhadap variabel tergantung, tetapi dapat

dikendalikan. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah :

(38)

21

1) Jenis asap cair. Asap cair yang digunakan adalah asap cair yang

diambil dari satu toko.

2) Alat yang digunakan yaitu buret dan pipet dikendalikan dengan cara

mengukur validitas metode yang digunakan [persen perolehan kembali

(recovery), kesalahan sistematik, dan kesalahan acak].

2. Definisi Operasional

a. Liquid smoke adalah asap yang diperoleh dari hasil pirolisis tempurung

kelapa yang kemudian dikondensasi untuk selanjutnya digunakan sebagai

bahan pengawet makanan.

b. Bromatometri adalah titrasi yang melibatkan reaksi reduksi oksidasi tidak

langsung antara analit dengan brom bebas yang diperoleh dari reduksi

bromat.

c. Pengolahan asap cair yaitu distilasi satu kali dan distilasi dua kali disertai

penyaringan.

d. Kadar senyawa fenolik total dihitung sebagai fenol dalam asap cair dalam

satuan % b/b.

C. Bahan Penelitian

Kalium bromat, natrium tiosulfat pentahidrat, amilum soluble, fenol, dan

natrium hidroksida (p.a. E. Merck); Kalium bromida, kalium iodida (Sigma

Chem. Co.); Asam klorida pekat (Brataco Chemica); Aquadest (Fakultas Farmasi

USD Yogyakarta); Asap cair (liquid smoke) yang didistilasi satu kali (Asap cair

(39)

D. Alat Penelitian

Alat-alat gelas yang lazim digunakan dalam laboratorium analisis,

timbangan analitik dengan sensitivitas 100,0 mg (Shimadzu, type LM20), buret

dengan skala terkecil 0,05 ml.

E. Jalannya Penelitian 1. Pembuatan larutan Kalium bromat 0,1 N

Larutan kalium bromat 0,1 N dibuat dengan melarutkan 0,2784 g kalium

bromat P (KBrO3) dalam aquadest hingga 100,0 ml (Anonim, 1995).

2. Pembuatan dan pembakuan larutan standar Natrium tiosulfat 0,1 N

Pembuatan.

Lebih kurang 6,5 g natrium tiosulfat pentahidrat P dan 50 mg natrium

karbonat P dilarutkan dalam air bebas CO2 yang sebelumnya telah dididihkan

5 menit dan didinginkan, hingga 250,0 ml (Anonim, 1995).

Pembakuan.

Lebih kurang 40,0 ml larutan kalium bromat dipindahkan secara seksama ke

dalam labu Erlenmeyer bersumbat kaca, kemudian ditambahkan 3 g kalium

iodida P dan 3 ml asam klorida P. Iodium yang dibebaskan dititrasi dengan

natrium tiosulfat, dan 3 ml indikator kanji LP ditambahkan mendekati titik

(40)

23

Standarisasi larutan natrium tiosulfat dilakukan sebelum penetapan kadar

sampel dengan tiga kali replikasi. Setelah diketahui normalitas rata-ratanya,

dihitung standar error untuk setiap kali standarisasi.

3. Pembuatan larutan pereaksi

a. Larutan Brom 0,1 N

Tiap 1000 ml larutan mengandung 7990 g Br (Anonim, 1995). Satu koma

lima (1,5) g kalium bromat Pdan 7,5 g kalium bromida P dilarutkan dalam

aquadest hingga 500,0 ml (Anonim, 1995).

b. Larutan Kalium iodida LP

Enam belas koma lima (16,5) g kalium iodida P dilarutkan dalam aquadest

hingga 100 ml (Anonim, 1995).

c. Larutan Kanji LP

Lima ratus (500) mg kanji P digerus dengan 5 ml aquadest, lalu

ditambahkan ke dalam aquadest hingga 100 ml sambil diaduk, didihkan

hingga seluruh kanji larut, kemudian disaring (Anonim, 1995).

4. Uji validasi metode penetapan kadar senyawa fenolik total

a. Pembuatan larutan stock fenol 1,00% b/v

Satu (1) gram fenol baku ditimbang seksama, kemudian dilarutkan dalam

(41)

b. Penetapan blanko

Sepuluh mililiter (10,0 ml) aquadest dipipet ke dalam labu Erlenmeyer

bersumbat kaca, lalu ditambahkan 20,0 ml brom 0,1 N LV, kemudian

ditambahkan 5 ml asam klorida P, dan segera ditutup. Labu dikocok

berulang-ulang selama 30 menit, didiamkan selama 15 menit, dan 5 ml

larutan kalium iodida LP ditambahkan dengan cepat, kemudian ditutup.

Labu dikocok kuat-kuat, sumbat dibuka untuk dibilas dengan sedikit

aquadest ke dalam labu. Iodium bebas dititrasi dengan natrium tiosulfat

0,1 N LV, menggunakan indikator 3 ml kanji LP yang ditambahkan

sebelum titik akhir, titrasi dilanjutkan sampai warna biru tepat hilang.

c. Penentuan perolehan kembali (recovery)

Dari larutan stock fenol dibuat tiga peringkat larutan fenol dengan kadar

0,10, 0,20, dan 0,30% b/v dengan lima kali replikasi menggunakan pelarut

aquadest hingga volume 100,0 ml. Larutan fenol tersebut dipipet 10,0 ml

ke dalam labu Erlenmeyer bersumbat kaca, ditambah 20,0 ml brom 0,1 N

LV, kemudian ditambah 5 ml asam klorida P, segera tutup. Labu dikocok

berulang-ulang selama 30 menit, kemudian didiamkan selama 15 menit,

ditambah 5 ml larutan kalium iodida LP. Labu dikocok kuat-kuat, dibuka

sumbatnya, sumbat dan leher labu dibilas dengan sedikit aquadest ke

dalam labu. Iodium bebas yang dihasilkan dititrasi dengan natrium

tiosulfat, dengan indikator dalam kanji LP yang ditambahkan menjelang

titik akhir titrasi dilanjutkan sampai warna biru tepat hilang (Anonim,

(42)

25

Data yang diperoleh dihitung untuk mendapatkan kadar fenol dalam

larutan. Penemuan kembali diperoleh dengan mencari rasio antara kadar

terukur dengan kadar sebenarnya dikalikan 100%.

Rumus penentuan perolehan kembali, recovery (P):

P = x100%

sebenarnya Kadar

terukur Kadar

Syarat metode analisis yang valid yaitu jika metode tersebut memberikan

nilai perolehan kembali (recovery) yang tinggi (97 – 103% untuk kadar

analit pada matriks sampel antara 1-10%) (Harmita, 2004).

d. Kesalahan sistematik

Kesalahan sistematik = 100% - P

Keterangan : P adalah perolehan kembali, recovery (%)

Kesalahan sistematik yang baik yaitu kurang dari 3% untuk kadar analit

pada matriks sampel antara 1-10% (Harmita, 2004).

e. Kesalahan acak

Kesalahan acak dicerminkan oleh CV (coefficient of variation)

Kesalahan acak (CV) = X SD

x 100%

Keterangan : simpangan baku (SD) =

1

Nilai kesalahan acak yang baik yaitu kurang dari 2,5% untuk kadar analit

(43)

5. Pengambilan dan Penyiapan Sampel

Asap cair yang digunakan adalah asap cair yang diambil dari satu toko. Asap

cair ditimbang seksama 2 g, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur volume 100

ml, dilarutkan dengan 4 ml NaOH 10% b/v hingga pH = 10, kemudian

ditambah dengan aquadest hingga batas tanda (Helrich, 1990).

6. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Sampel

Sampel asap cair diuji kandungan senyawa fenoliknya dengan pereaksi FeCl3,

kemudian diamati warna yang terbentuk. Hasilnya kemudian ditambah etanol

untuk diamati perubahan intensitas warnanya.

7. Penetapan Blanko

Sepuluh mililiter (10,0 ml) aquadest dipipet ke dalam labu Erlenmeyer

bersumbat kaca, lalu ditambahkan 20,0 ml brom 0,1 N LV, kemudian

ditambahkan 5 ml asam klorida P, dan segera ditutup. Labu dikocok

berulang-ulang selama 30 menit, didiamkan selama 15 menit, dan 5 ml larutan kalium

iodida LP ditambahkan dengan cepat, kemudian ditutup. Labu dikocok

kuat-kuat, sumbat dibuka untuk dibilas dengan sedikit aquadest ke dalam labu.

Iodium bebas dititrasi dengan natrium tiosulfat, menggunakan indikator 3 ml

kanji LP yang ditambahkan sebelum titik akhir, titrasi dilanjutkan sampai

(44)

27

8. Penetapan kadar senyawa fenolik total dalam asap cair

Sepuluh (10,0) ml larutan sampel dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer

bersumbat kaca, lalu ditambahkan 20,0 ml brom 0,1 N LV, 5 ml asam klorida

P, dan segera ditutup. Labu dikocok berulang-ulang selama 30 menit, dan

didiamkan selama 15 menit, lalu ditambahkan dengan cepat 5 ml larutan

kalium iodida LP, dan segera ditutup. Setelah itu, labu dikocok kuat-kuat,

sumbatnya dibuka, dibilas dengan sedikit air ke dalam labu. Iodium bebas

yang dihasilkan dititrasi dengan natrium tiosulfat, dengan indikator kanji LP

yang ditambahkan sebelum titik akhir, titrasi dilanjutkan sampai warna biru

tepat hilang (Anonim, 1995).

F. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa volume titran (Natrium

tiosulfat) yang dibutuhkan untuk meniter iodium bebas yang dilepaskan oleh

tiap-tiap sampel. Dari data tersebut kemudian dihitung kadar senyawa fenolik total

dalam sampel dan dinyatakan dengan satuan persen berat (% b/b).

Data penetapan kadar senyawa fenolik total dalam sampel yang diperoleh

dari uji kuantitatif untuk masing-masing jenis sampel asap cair dianalisis dengan

uji Turkey untuk melihat perbedaan masing-masing perlakuan pengolahan

terhadap kadar senyawa fenolik total yang terkandung di dalamnya.

• Rumus perhitungan dengan uji T.

(45)

Daerah krisis tahap nyata α = 0,05 secara dua arah dengan n1 dan n2 adalah

(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pembuatan dan Standarisasi Larutan Standar

Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk menetapkan kadar

senyawa fenolik total dalam liquid smoke adalah bromatometri. Untuk

menetapkan kadar senyawa fenolik total dalam sampel pada metode ini,

diperlukan larutan standar yang sudah diketahui normalitasnya. Dengan

mengetahui normalitas larutan standar, maka kadar senyawa fenolik total dalam

sampel dapat diketahui. Larutan standar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

natrium tiosulfat.

Larutan natrium tiosulfat merupakan larutan standar sekunder. Hal ini

disebabkan karena natrium tiosulfat merupakan larutan yang tidak stabil dalam

penyimpanan karena akan terdekomposisi menjadi natrium hidrogen sulfit dan

endapan belerang menurut reaksi :

S2O32- (aq) + H+ → HSO3- (aq) + S (s)

Dekomposisi tersebut dapat dipengaruhi oleh pH larutan, adanya mikroorganisme,

konsentrasi larutan, keberadaan ion Cu2+, dan pengaruh cahaya. Dengan adanya

dekomposisi natrium tiosulfat tersebut, maka normalitas larutan natrium tiosulfat

tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga perlu distandarisasi dengan suatu

larutan standar primer.

Larutan natrium tiosulfat distandarisasi dengan larutan kalium bromat

yang telah diketahui normalitasnya. Karena normalitas larutan kalium bromat

(47)

telah diketahui, maka normalitas larutan natrium tiosulfat dapat ditentukan. Dalam

penelitian ini, normalitas larutan kalium bromat yang digunakan dapat dilihat pada

lampiran 1.

Menurut Skoog et al. (1994), larutan standar primer yang terbaik untuk

menstandarisasi larutan natrium tiosulfat adalah larutan kalium iodat dan larutan

kalium iodida dalam suasana asam, yang akan menghasilkan I2 bebas untuk

mengoksidasi ion tiosulfat menjadi ion tetrationat. Namun dalam Farmakope

Indonesia edisi IV, larutan standar primer yang digunakan untuk menstandarisasi

larutan natrium tiosulfat adalah larutan kalium bromat dan larutan kalium bromida

(air brom) dalam suasana asam. Bila kalium bromat dan kalium bromida

dicampurkan dalam aquadest kemudian diasamkan, maka akan segera terjadi

reaksi :

BrO3- + 5Br- + 6H+ → 3Br2 + 3H2O

Brom yang dibebaskan kemudian direaksikan dengan kalium iodida yang

berlangsung secara stoikiometri menurut reaksi :

Br2 + 2I- → 2Br- + I2

Iodin (I2) yang dibebaskan ini sangat larut dalam air (1,33x10-3 M pada suhu 20

ºC), namun kelarutannya akan bertambah bila iodin bebas tersebut membentuk

kompleks dengan iodida membentuk triiodida/iodin terlarut. Reaksi :

I2 + I- → I3-

Iodin terlarut yang dihasilkan ini yang akan mengoksidasi tiosulfat menjadi ion

tetrationat menurut reaksi :

(48)

31

Baik brom maupun iodin terlarut dapat sama-sama bertindak sebagai

oksidator untuk mengoksidasi tiosulfat menjadi tetrationat. Akan tetapi karena

daya oksidasi brom lebih kuat daripada iodin, maka tiosulfat yang sudah

teroksidasi oleh brom membentuk tetrationat akan teroksidasi lebih lanjut lagi

membentuk peroksidisulfat. Reaksinya adalah sebagai berikut :

Br2 + 2S2O32- → 2Br- + S4O6

2-S4O62- + 9Br2 + 10H2O → 18HBr + 2S2O82- + 2H+

Rentang buret yang digunakan berkisar 20-80% dari volume buret

tersebut. Hal ini untuk menjaga agar persentase kesalahan penggunaan buret tidak

semakin besar sehingga kesalahan sistematik yang mungkin terjadi juga dapat

dihindari.

Data hasil standarisasi larutan standar Na2S2O3 dapat dilihat di tabel V dan

contoh perhitungannya dapat dilihat pada lampiran 2.

Tabel V. Hasil Standarisasi Larutan standar Na2S2O3

Percobaan ke- Normalitas Na2S2O3

Dari tabel V di atas ditunjukkan bahwa nilai standar error yang terjadi

(49)

tidak mengalami penyimpangan yang berarti pada setiap replikasi dalam satu kali

standarisasi. Selanjutnya data ini digunakan untuk menganalisis penetapan kadar

senyawa fenolik dalam sampel.

B. Uji Validasi Metode dan Percobaan Pendahuluan

Uji validasi metode dilakukan dengan maksud untuk mengetahui apakah

metode penetapan kadar secara bromatometri untuk sampel yang telah dirancang

memenuhi kriteria penetapan kadar secara umum atau tidak.

Sebelum dilakukan uji validasi metode, juga dilakukan percobaan

pendahuluan untuk mencari batasan optimal untuk tiap-tiap langkah kerja dalam

penetapan kadar senyawa fenolik. Beberapa parameter yang dioptimasi antara lain

jumlah penambahan larutan brom, lamanya waktu penggojogan labu, dan lamanya

waktu pendiaman labu setelah digojog.

Berdasarkan hasil beberapa kali percobaan pendahuluan, didapatkan

bahwa jumlah penambahan larutan brom berbanding lurus dengan jumlah titran

Na2S2O3 yang dibutuhkan. Maka diputuskan untuk menambahkan larutan brom

sebanyak 20,0 ml dengan pertimbangan bahwa kadar senyawa fenolik total di

dalam sampel cukup kecil, sehingga penambahan dalam jumlah besar tidak

efisien. Hal ini disebabkan jumlah brom yang bereaksi dengan sampel sangat

sedikit sehingga akan tersisa brom dalam jumlah banyak, yang mengakibatkan

banyaknya jumlah titran yang dibutuhkan untuk menitrasi I2 yang dibebaskan dari

sisa brom.

(50)

33

kadar senyawa fenolik dengan metode bromatometri, asalkan labu digojog sampai

homogen. Waktu penggojogan labu yang dipakai selama penelitian adalah 30

menit karena cairan di dalam labu baru mulai terdispersi homogen setelah digojog

hampir 30 menit.

Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, bila labu didiamkan kurang

dari 15 menit, maka brom yang terbentuk belum bereaksi seluruhnya dengan

senyawa fenolik dalam sampel, yang ditunjukkan dengan timbulnya kembali

warna ungu setelah titik akhir titrasi tercapai dan analit dibiarkan selama lebih

dari 10 menit. Namun, setelah didiamkan lebih dari 10 menit, jumlah titran yang

dibutuhkan semakin lama semakin sedikit. Hal ini dimungkinkan karena brom

bebas yang terbentuk menguap, karena senyawa halogen termasuk senyawa yang

mudah menguap. Dengan demikian, didapatkan waktu pendiaman labu yang

optimal adalah 15 menit.

Prinsip dari metode bromatometri adalah reaksi substitusi nukleofilik pada

posisi orto dan para pada gugus –OH fenolik terhadap senyawa-senyawa fenol

oleh brom berlebih yang dihasilkan dari reaksi oksidasi reduksi antara kalium

bromat dengan kalium bromida dalam suasana asam. Brom sisa yang tidak

mensubstitusi senyawa fenol akan bereaksi dengan kalium iodida membentuk

iodin, yang akan dicari jumlahnya dengan menitrasi iodin yang dibebaskan

tersebut dengan natrium tiosulfat. Jumlah iodin yang didapatkan menunjukkan

jumlah brom sisa yang tidak bereaksi dengan senyawa fenol.

Tahapan reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

(51)

3Br2

Metode bromatometri ini merupakan metode titrasi tidak langsung karena

fenol tidak langsung bereaksi dengan larutan kalium bromat, melainkan bereaksi

dengan brom berlebih yang didapat dari reaksi oksidasi reduksi antara kalium

bromat dengan kalium bromida dalam suasana asam.

Range recovery yang digunakan dalam penelitian ini adalah 97-103%,

batas kesalahan sistematik adalah kurang dari 3%, dan batas kesalahan acak

adalah kurang dari 2%.

Tabel VI. Data perhitungan recovery dan kesalahan sistematik

Kadar

5 0,1174 100,1733

98,3893 1,6107 0,0005

1 0,3529 100,4020

2 0,3545 100,8594

3 0,3545 100,8594

4 0,3553 101,0881

0,3515

5 0,3521 100,1733

(52)

35

Dari tabel VI, data recovery yang diperoleh dari masing-masing variasi

konsentrasi sampel masuk dalam range recovery yang telah ditentukan sedangkan

data persentase kesalahan sistematik yang terjadi dalam penelitian ini juga cukup

kecil, yaitu kurang dari 10%. Hal ini membuktikan bahwa metode penetapan

kadar yang digunakan memiliki keakuratan yang tinggi. Contoh perhitungan

recovery dan kesalahan sistematik dapat dilihat pada lampiran 3.

Tabel VII. Data perhitungan kesalahan acak

Simpangan baku (SD)

Nilai purata (X) Kesalahan acak (%) (CV)

0,0012 0,1153 1,0408 0,0019 0,2293 0,8286 0,0013 0,3539 0,3673

Dari tabel VII, besarnya kesalahan acak yang terjadi pada masing-masing

variasi konsentrasi untuk uji validasi metode cukup kecil yaitu di bawah 2%. Hal

ini berarti bahwa metode bromatometri yang akan digunakan untuk menetapkan

kadar sampel selanjutnya juga dianggap cukup teliti. Contoh perhitungan

kesalahan acak dapat dilihat pada lampiran 4.

Untuk uji sensitivitas, metode ini mampu mendeteksi fenol pada

konsentrasi 0,3515%, 0,2343% hingga konsentrasi 0,1172% dari sampel yang

ditetapkan. Hal ini ditunjukkan oleh data persentase kadar yang diperoleh dari

masing-masing variasi konsentrasi sampel yang sesuai dengan syarat range

(53)

C. Penetapan Kadar Senyawa Fenolik Total dalam Sampel 1. Penyiapan sampel asap cair

Asap cair (liquid smoke) yang digunakan sebagai sampel berasal dari satu

toko, dan sebelum dianalisis harus dihomogenkan terlebih dahulu agar setiap

bagian asap cair mempunyai kesempatan untuk terambil sebagai sampel karena

syarat pengambilan sampel harus representatif, jika pengambilan sampel salah

(walaupun metode analisisnya tepat dan teliti) maka hasilnya akan keliru. Asap

cair setiap perlakuan disiapkan sebanyak lima jerigen dan masing-masing jerigen

berisi lima liter. Kelima jerigen tersebut dicampur menjadi satu dalam satu wadah

dan kemudian diambil sebagian untuk kemudian ditimbang sebanyak tiap-tiap 5

gram untuk dianalisis.

Sampel yang sudah ditimbang kemudian ditambah NaOH. Dengan

demikian, senyawa fenolik dalam sampel yang bersifat asam lemah akan berikatan

dengan NaOH membentuk ion fenolat, menurut reaksi :

OH

NaOH

ONa

H2O

Penambahan NaOH berguna untuk menciptakan suasana basa, karena

medium titrasi berupa medium basa. pH medium yang dibutuhkan adalah ± 10,

tidak terlalu basa. Apabila medium titrasi terlalu basa, maka brom bebas yang

dihasilkan dapat mengalami reaksi autoredoks membentuk bromida dan

hipobromida menurut reaksi :

Br2 + 2OH- Br- + BrO- + H2O

(54)

37

menguraikan indikator amilum menjadi sakarida yang lebih sederhana daripada

amilum. Selain itu dapat meningkatkan kekuatan beberapa reduktor, padahal

sampel juga mengandung senyawa yang bersifat reduktor.

Ion iodida (I-) yang terbentuk dari reaksi antara tiosulfat dan iodin juga

akan teroksidasi kembali membentuk iodin apabila medium titras berupa medium

basa. Dengan demikian, ekivalensi iodine dari titrasi menjadi tidak setara dengan

ekivalensi senyawa fenolik dalam sampel yang akan ditetapkan kadarnya. Reaksi

yang terjadi adalah sebagai berikut :

4I- + O2 + 4H+ 2I2 + 2H2O

2. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Sampel

Untuk memastikan apakah sampel asap cair mengandung senyawa fenolik,

maka dilakukan uji kualitatif kandungan senyawa fenolik dalam asap cair. Uji

kualitatif senyawa fenolik dilakukan dengan menambahkan ferri-klorida (FeCl3)

ke dalam sampel, yang akan memberikan warna ungu apabila sampel

mengandung senyawa fenolik. Hasil uji kualitatif menunjukkan bahwa sampel

asap cair mengandung senyawa fenolik karena memberikan warna ungu ketika

ditambahkan larutan FeCl3.

Reaksi antara senyawa fenolik dengan ion Fe3+ akan menghasilkan

senyawa kompleks yang berwarna ungu.

Selanjutnya untuk mengetahui apakah senyawa fenolik dalam asap cair

merupakan derivat senyawa salisilat atau bukan, maka ke dalam hasil reaksi

(55)

fenolik derivat salisilat mampu membentuk kompleks dengan Fe3+ dengan kuat

sehingga dengan penambahan etanol, warna ungu yang terbentuk tidak akan

memudar. Dari hasil penelitian, ternyata penambahan sejumlah etanol

menurunkan intensitas warna ungu yang terbentuk. Hasil ini menunjukkan

senyawa fenolik dalam asap cair bukan merupakan derivat salisilat.

3. Penetapan kadar senyawa fenolik total sampel dihitung sebagai fenol

Bromatometri merupakan metode titrasi tidak langsung sehingga

melibatkan titrasi blanko. Pada titrasi blanko, akan diperoleh data jumlah brom

total yang dihasilkan. Dengan mengurangkan jumlah brom sisa yang tidak

bereaksi dengan senyawa fenolik dari jumlah brom total, maka akan diketahui

jumlah brom yang bereaksi dengan senyawa fenolik, sehingga jumlah dan kadar

senyawa fenolik total dalam sampel yang dihitung sebagai fenol dapat diketahui.

Pada titrasi blanko, semua brom yang dihasilkan dari reaksi oksidasi

reduksi antara kalium bromat dengan kalium bromida dalam suasana asam akan

langsung bereaksi dengan kalium iodida yang ditambahkan. Dengan demikian,

jumlah iodin yang dihasilkan juga akan lebih banyak dibanding pada titrasi

sampel. Akhirnya, jumlah natrium tiosulfat yang dibutuhkan untuk meniter iodin

juga akan lebih banyak.

Tahapan reaksi pada titrasi blanko adalah sebagai berikut :

BrO3- + 5Br- + 6H+ → 3Br2 + 3H2O

Br2 + 2I- → 2Br- + I2

(56)

39

I3- + 2S2O32- → 3I- + S4O62-

Seperti pada saat pembakuan, untuk mendeteksi titik akhir titrasi

ditambahkan indikator kanji LP (larutan amilum) ke dalam larutan analit

menjelang titik akhir titrasi. Titik akhir titrasi terjadi bila warna biru yang

terbentuk dari kompleks iodin-amilum menjadi bening karena terurainya

kompleks iodin-amilum tersebut. Amilum merupakan indikator pilihan utama

dalam titrasi yang melibatkan iodin karena amilum sangat spesifik dan sensitif

terhadap keberadaan iodin . Amilum hanya dapat membentuk senyawa kompleks

berwarna biru tua dengan keberadaan iodin, meskipun dalam konsentrasi yang

sangat kecil, yaitu pada konsentrasi 10-5 M. Tanpa indikator amilum, iodin hanya

akan tampak memberikan warna kuning semburat pada larutan iodin pada

konsentrasi 10-2 M.

Indikator larutan amilum ditambahkan menjelang titik akhir titrasi karena

amilum merupakan senyawa yang sangat mudah terdegradasi. Salah satu produk

degradasinya, yaitu glukosa merupakan senyawa reduktor yang dapat mereduksi

iodin. Dengan demikian, jumlah iodin yang dapat dititrasi oleh natrium tiosulfat

berkurang, dan menyebabkan kesalahan titrasi.

Pengambilan sampel dilakukan dari hanya satu toko untuk mengurangi

kesalahan dalam penelitian yang diakibatkan oleh variabel pengacau tak

terkendali. Dengan mengambil sampel hanya dari satu toko, maka diharapkan

terdapat keseragaman dalam proses pembuatan, pengolahan, penyimpanan

maupun manajemen distribusi sampel asap cair tersebut.

(57)

tidak selektif. Brom yang dihasilkan dari reaksi oksidasi reduksi antara kalium

bromat dengan kalium bromida dalam suasana asam tidak hanya mensubstitusi

senyawa fenolik saja, melainkan juga dapat mengadisi senyawa-senyawa tidak

jenuh serta mengoksidasi senyawa-senyawa lainnya yang bersifat reduktor.

Senyawa-senyawa tidak jenuh yang terkadung dalam asap cair yang dapat

mengganggu penetapan kadar senyawa fenolik total dalam penelitian ini antara

lain eugenol. Sedangkan senyawa reduktor yang dapat bereaksi dengan brom

adalah formaldehide.

D. Hasil Penetapan Kadar Senyawa fenolik total dalam Sampel

Pada penelitian ini, kadar senyawa fenolik total dalam sampel ditetapkan

dengan dua perlakuan, di mana ke dalam sampel yang satu tanpa diberi tambahan

fenol, sedangkan sampel yang lainnya diberi tambahan fenol. Hal ini dilakukan

dengan pertimbangan bahwa metode titrasi lebih efektif bila digunakan untuk

analit yang memiliki kadar besar. Hasil percobaan awal/orientasi menunjukkan

kadar senyawa fenolik total dalam asap cair cukup kecil, yaitu hanya berkisar

antara 1,00-2,00 %. Meskipun hasil uji validasi metode menunjukkan bahwa

metode ini mampu menetapkan kadar fenol dengan akurasi dan presisi tinggi

bahkan pada konsentrasi sekecil 0,1172%, namun dikhawatirkan senyawa fenolik

tidak tertetapkan karena kadarnya yang cukup kecil dalam sampel.

Data yang diperoleh dari titrasi ini adalah volume titran natrium tiosulfat

0,1 N. Dari data tersebut, dapat dihitung grek iodin, di mana 1 grek iodin setara

(58)

41

yang bereaksi dengan kalium iodida, di mana 1 grek brom setara dengan 1 grek

iodin. Akhirnya kadar senyawa fenolik total dalam sampel dapat dicari di mana 1

grek fenol ekivalen dengan 1 grek brom.

Data hasil titrasi dan penetapan kadar senyawa fenolik total dalam sampel

dapat dilihat pada tabel VIII hingga tabel XI berikut ini, sedangkan contoh

perhitungannya dapat dilihat pada lampiran 5.

Tabel VIII. Kadar senyawa fenolik total dihitung sebagai fenol dalam asap cair A tanpa penambahan fenol

Vol. titran untuk blanko (ml) Replikasi

sampel Replikasi

blanko Purata

Vol. titran untuk sampel (ml)

Tabel IX. Kadar senyawa fenolik total dihitung sebagai fenol dalam asap cair B tanpa penambahan fenol

Vol. titran untuk blanko (ml) Replikasi

sampel Replikasi

blanko Purata

(59)

Tabel X. Kadar senyawa fenolik total dihitung sebagai fenol dalam asap cair A dengan penambahan fenol

Vol. titran untuk blanko (ml) Replikasi

sampel Replikasi

blanko Purata

Vol. titran

Tabel XI. Kadar senyawa fenolik total dihitung sebagai fenol dalam asap cair B dengan penambahan fenol

Vol. titran untuk blanko (ml) Replikasi

sampel Replikasi

blanko Purata

Vol. titran

Data yang diperoleh ini selanjutnya diolah secara statistik menggunakan

analisis Paired Sample T-test dengan taraf kepercayaan 95% tetapi, data

sebelumnya dianalisis dengan uji kesamaan variansi untuk menentukan rumus

statistik uji T yang sesuai.

Dari uji kesamaan variansi diperoleh hasil bahwa tidak terdapat

perbedaan variansi antara kedua macam sampel asap cair. Selanjutnya untuk

melihat apakah ada perbedaan bermakna antara purata kadar senyawa fenolik total

(60)

43

Apabila nilai signifikansi adalah kurang dari 0,05, maka menunjukkan adanya

perbedaan bermakna antara purata kadar senyawa fenolik dalam asap cair.

Tabel XI. Hasil analisis Paired Sample T-test untuk asap cair A dengan B tanpa penambahan fenol

Paired Samples Test

-.4866143 .0981531 .0370984 -.5773907 -.3958378 -13.117 6 .000

Data1 - Data2

t df Sig. (2-tailed)

Tabel XII. Hasil analisis Paired Sample T-test untuk asap cair A dengan B dengan penambahan fenol

Paired Samples Test

-.4822857 .0590607 .0223229 -.5369078 -.4276636 -21.605 6 .000

Data3 - Data4

t df Sig. (2-tailed)

Tabel XIII. Hasil analisis Paired Sample T-test untuk asap cair B tanpa penambahan fenol dan penambahan fenol

Paired Samples Test

.0007286 .0854154 .0322840 -.0782675 .0797246 .023 6 .983

Data1 - Data3

t df Sig. (2-tailed)

Tabel XIV. Hasil analisis Paired Sample T-test untuk asap cair A tanpa penambahan fenol dan penambahan fenol

Paired Samples Test

.0050571 .0813049 .0307304 -.0701374 .0802517 .165 6 .875

Data2 - Data4

(61)

Dari hasil analisis dengan Paired Sample T-test untuk asap cair B dengan

asap cair A baik tanpa penambahan fenol maupun dengan penambahan fenol

seperti yang tertera pada tabel XI dan tabel XII, diperoleh nilai signifikansi 0,000

< 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara

purata kadar senyawa fenolik total dalam kedua jenis asap cair tersebut.

Sementara hasil analisis dengan Paired Sample T-test untuk jenis asap cair

yang sama namun yang satu tanpa penambahan senyawa fenol sementara yang

lainnya ditambah fenol, seperti yang tertera pada tabel XIII dan tabel XIV,

diperoleh nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,5 yaitu 0,983 untuk asap cair B,

dan 0,875 untuk asap cair A. Maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat

perbedaan bermakna antara purata kadar senyawa fenolik total dalam asap cair

sejenis yang dibandingkan. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan bromatometri

hanya dapat menetapkan kadar senyawa fenolik total dalam asap cair, dan tidak

dapat digunakan hanya untuk menetapkan kadar fenol saja.

Sesuai dengan permasalahan penelitian, maka penelitian ini telah

membuktikan bahwa kadar senyawa fenolik total dalam asap cair B yang

didistilasi dua kali disertai penyaringan lebih sedikit daripada asap cair A yang

(62)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kadar senyawa fenolik total dalam asap cair B adalah 1,71 ± 0,04 % b/b sedangkan asap cair A mengandung senyawa fenolik total sebanyak 2,20 ± 0,04 % b/b.

B. Saran

1. Perlu dilakukan uji toksisitas terhadap penggunaan asap cair untuk mengawetkan makanan.

2. Perlu dilakukan penelitian untuk menetapkan kadar senyawa fenolik total dalam asap cair dengan metode lainnya, salah satunya dengan metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi 4-amino-phenazon.

(63)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1990, Permenkes Republik Indonesia No : 722/Menkes/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, 663,1133, 1166, 1167, 1215, 1217, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1999 a, Bahan Tambahan Makanan, Buletin Dirjen POM, vol. 21, Nomor 3, 18-23, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1999 b, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1168/MenKes/Per/X/1999 Tentang Bahan Tambahan Makanan, 118, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2001, Smoke Flavors, http://www.leffingwell.com/smoke.htm, diakses tanggal 7 Januari 2007.

Anonim, 2006, Phenol, http://www.lakes-environmental.com/toxic/phenol.html, diakses tanggal 3 Agustus 2006.

ATSDR, 1988, Toxicological Profile for Phenol, 2-3, Atlanta, USA.

Auterhoff, H., 1978, Lehrbuch der Pharmazeutischen Chemie, 286, Wissenschaftliche Verlagsgesellschaft MBH, Stuttgart.

Barron, M.A., 2002, Toxicological Review of Phenol, 12-13, U.S. Evironmental Protection Agent, Washington D.C.

Bentur, Y., Shoshani, O., Tabak, A., Bin-Nun, A., Ramon, Y., Ulman, Y., Berger, Y., Nachlieli, T., Peled Y.J., 1998, Prolonged Elimination Half-Life of Phenol after Dermal Exposure, Journal Toxicology Clinical Toxicology, 36, 7, 707-711.

Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., Wotton, M., 1987, Ilmu Pangan, 167-177, diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Buell, P. and Girard, J., 1992, Chemistry : an Environmental Perspective, 269, 408-410, Prentice-Hall, Inc., New Jersey, United States of America.

(64)

47

Capel, I.D., French, M.R., Millburn, P., 1972, Fate of C-14-phenol in Various Species, Xenobiotica, 2, 25-34.

Chapman, D.E., Namkung, M.J., Juchau, M.R., 1994, Benzene and Benzene Metabolites as Embryotoxic Agents: Effects on Cultured Rat Embryos, Toxicology Application and Pharmacology, 128, 1, 129-137.

Connors, K.A., 1982, A Textbook of Pharmaceutical Analysis, 3rd edition, New York.

deMan, M. John, 1989, Kimia Makanan, edisi II, 262-265, 520-530, Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Gilmour, S.K., Kalf, G.F., Snyder, R., 1986, Comparison of The Metabolism of Benzene and Its Metabolite Phenol in Rat Liver Microsomes, Adv Exp Med Biol, 197, 35, 223-235.

Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan, Validasi Metode, dan Cara Perhitungannya, 5-25, Departemen Farmasi Fakultas MIPA UI, Depok.

Helrich, K., 1990, Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist, 15th edition, chapter 8, p. 6, Association of Official Analytical Chemist Inc., USA.

Hotchkiss, S.A.M., Hewitt, P., Caldwell, J., 1992, Percutaneous Absorption of Nicotinic Acid, Phenol, Benzoic Acid and Triclopyr Butoxyethyl Ester Through Rat and Human Skin In Vitro: Further Validation of an In-Vitro Data, Food Chemicals Toxicology, 30, 891-899.

Hughes, M.F. and Hall, L.L., 1995, Disposition of Phenol in Rat After Oral, Dermal, Intravenous, and Intratracheal Administration, Xenobiotica, 25, 8, 873-883.

Kenyon, E.M., Seeley, M.E., Janszen, D. and Medinsky, M.A., 1995, Dose-, Route-, and Sex-Dependent Urinary Excretion of Phenol Metabolites in B6C3F1 Mice, Journal Toxicology Environmental Health, 44, 2, 219-233. Kenyon, E.M., Seaton, M.J., Himmelstein, M.W., Asgharian, B. and Medinsky,

M.A., 1998, Influence of Gender and Acetone Pretreatment on Benzene Metabolism in Mice Exposed by Nose-Only Inhalation, Journal Toxicology Environmental Health, 55, 6, 421-443.

Gambar

Tabel XVI. Data Penimbangan kalium bromat ...........................................
Tabel I.  Sifat Fisika Kimia Fenol
Tabel II memberikan koefisien fenol beberapa fenol tersubstitusi dan
Tabel IV. Syarat penggunaan buret
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan kasih setia- Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Optimasi Parafin

Hasil analisis GC-MS terhadap sampel asap cair cangkang sawit menunjukkan 3 golongan besar senyawa, yaitu kelompok asam organik, aldehida, dan fenolik (Tabel 1).. Luas

Analisa yang dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian asap cair food grade pada ikan nila yaitu analisia secara kimia (pH), mikrobiologi (kadar protein dan jumlah

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkat- Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Kadar Kolesterol Total pada

Analisa yang dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian asap cair food grade pada ikan nila yaitu analisia secara kimia (pH), mikrobiologi (kadar protein dan jumlah

untuk pengawetan menggunakan asap cair food grade dengan konsentrasi 10%, kondisi terbaik adalah penyimpanan ikan nila selama 3 jam dengan kadar protein 15,92% dan jumlah total

Konsentrasi asap cair kayu karet dan asap cair kayu gelam serta interaksi kayu gelam dan asap cair kayu karet memberikan pengaruh yang nyata terhadap ketebalan

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : • Bahan pengawet makanan telah berhasil diekstrak dari bahan alami dari 3 jenis asap cair yang