EVALUASI DAMPAK PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN
ASAM LEMAK JENUH DAN TAK JENUH SOSIS JAMUR TIRAM
SKRIPSI
Oleh :
Agustina Leonita Handaja T NPM. 0933010008
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
EVALUASI DAMPAK PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN
ASAM LEMAK JENUH DAN TAK JENUH SOSIS JAMUR TIRAM
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
dalam memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan
Oleh :
Agustina Leonita Handaja T
NPM. 0933010008
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya, skripsi berjudul Evaluasi Dampak Pengukusan Terhadap kandungan
Asam lemak jenuh dan Tak Jenuh Sosis Jamur Tiram ini dapat terselesaikan dengan
baik.
Skripsi ini disusun untuk memberikan manfaat bagi masyarakat terkait
pengolahan sosis jamur tiram terbaik sebagai makanan vegetarian yang baik bagi
kesehatan. Selain itu, penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu
persyaratan akademik kurikulum perguruan tinggi dalam menempuh program Strata
Satu (S1) dan sebagai mata kuliah wajib intrakurikuler yang ditempuh oleh setiap mahasiswa UPN “Veteran” Jawa Timur.
Setelah terselesaikannya penyusunan skripsi ini, penulis berterima kasih atas
bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ir, Sutiyono, MT, selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jawa
Timur.
2. Ir. Latifah, MS, selaku Ketua Program Studi Teknologi Pangan UPN “Veteran”
Jawa Timur serta Dosen Pembimbing II yang telah memberikan dukungan,
saran, dan pengarahan.
3. Drh. Ratna Yulistiani, MP, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
dukungan, saran, dan pengarahan.
4. Dr. Dedin F. Rosida, STP, MKes dan Ir. Rudi Nurismanto, MSi, selaku Dosen
Penguji yang telah memberikan arahan serta meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Papa, mama, Daniel, dan Ik Lok yang selalu mendukung dan membantu penulis
selama proses penyelesaian skripsi.
6. Seluruh staf laboratorium yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama melakukan analisa di laboratorium Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jawa Timur maupun di Unit Layanan Pengujian Fakultas Farmasi Universitas
vi
7. Teman-teman Teknologi Pangan angkatan 2009 : Fida, Yeye, Yanti, Dian, April,
Rosidah, Santi, Ima, Cicin, Tari, Angel, Vita, Ulfa, Fitri, Hudan, Adit, Demy,
Novan, Ipung, Ismail, dan Halim yang selalu memberikan semangat.
8. Nina, Dyah, GITA Family, Fr. Hartoyo, Fr. Bona, Ce Ijing, Ce Yenny, dan
teman-teman BIAK Santo Marinus Yohanes yang telah mendukung dan memberikan
semangat selama penyusunan skripsi.
9. Seluruh pihak terkait dan berkepentingan yang telah membantu penyusunan
skripsi ini.
Merupakan suatu kebanggaan bagi penulis telah menyelesaikan salah satu kewajiban sebagai mahasiswi UPN “Veteran” Jawa Timur, yakni menyelesaikan skripsi dengan sebaik-baiknya. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa skripsi
yang telah disusun ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran guna perbaikan di kesempatan berikutnya.
Semoga apa yang telah penulis berikan melalui skripsi ini akan memberikan
manfaat bagi civitas akademika UPN “Veteran” Jawa Timur maupun masyarakat
luas.
Surabaya, 22 Juli 2013
Hormat saya,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
KETERANGAN REVISI ...iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ...ix
DAFTAR GAMBAR... ... x
DAFTAR LAMPIRAN ...xi
ABSTRAK ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 3
C. Manfaat Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) ... 4
B. Sosis ... 5
C. Lemak dan Minyak ... 9
1. Asam Lemak Jenuh ... 11
2. Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal ... 12
3. Asam Lemak Tak Jenuh Majemuk ... 13
4. Minyak Goreng ... 15
5. Kerusakan Lemak dan Minyak ... 16
D. Pemasakan (Pemanasan) ... 18
E. Analisa Keputusan ... 19
F. Landasan Teori ... 19
G. Hipotesis ... 21
BAB III BAHAN DAN METODE A. Tempat Dan Waktu Penelitian ... 22
B. Bahan Penelitian ... 22
C. Alat Penelitian ... 22
viii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kandungan gizi Jamur Tiram per 100 g berat kering ... 5
Tabel 2 Jenis-jenis sosis ... 9
Tabel 3 Struktur kimia dan tata nama asam lemak jenuh ... 12
Tabel 4 Struktur kimia dan tata nama asam lemak tak jenuh ... 14
Tabel 5 Standar komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh pada beberapa minyak goreng ... 15
Tabel 6 Cara pencegahan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan oksidasi ... 16
Tabel 7 Kombinasi perlakuan antara A dan B ... 27
Tabel 8 Kekerasan sosis Jamur Tiram ... 31
Tabel 9 Nilai rata-rata kesukaan terhadap sosis Jamur Tiram ... 33
Tabel 10 Analisa keputusan penelitian tahap I ... 36
Tabel 11 Nilai rata-rata derajat ketidakjenuhan sosis Jamur Tiram dengan perlakuan jenis minyak nabati dan lama pengukusan ... 37
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambaran makroskopis Jamur Tiram ... 4
Gambar 2 Gambaran mikroskopis sistem emulsi ... 6
Gambar 3 Penyebab variasi antara berbagai asam lemak ... 11
Gambar 4 Asam lemak jenuh ... 11
Gambar 5 Asam lemak tak jenuh tunggal ... 13
Gambar 6 Asam lemak tak jenuh majemuk ... 13
Gambar 7 Reaksi pembentukan peroksida ... 17
Gambar 8 Stabilitas emulsi sosis jamur Tiram dengan berbagai tingkat jumlah penambahan minyak nabati ... 32
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Prosedur Analisa ... 45
Lampiran 2 Kuisioner Uji Organoleptik ... 50
Lampiran 3 Uji Kekerasan Metode Penetrometer ... 52
Lampiran 4 Uji Hedonik Terhadap Aroma Sosis Jamur Tiram ... 55
Lampiran 5 Uji Hedonik Terhadap Warna Sosis Jamur Tiram ... 58
Lampiran 6 Uji Hedonik Terhadap Kekerasan Sosis Jamur Tiram ... 61
Lampiran 7 Uji Hedonik Terhadap Rasa Sosis Jamur Tiram ... 64
Lampiran 8 Perhitungan Analisa Stabilitas Emulsi ... 67
Lampiran 9 Derajat Kejenuhan Asam lemak Sosis Jamur Tiram dengan Penambahan Minyak Goreng Curah ... 68
Lampiran 10 Derajat Kejenuhan Asam lemak Sosis Jamur Tiram dengan Penambahan Minyak Kelapa Sawit ... 72
Lampiran 11 Derajat Kejenuhan Asam lemak Sosis Jamur Tiram dengan Penambahan Minyak Kedelai ... 75
Lampiran 12 Derajat Kejenuhan Asam Lemak Sosis Jamur Tiram ... 79
xii
EVALUASI DAMPAK PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN ASAM LEMAK JENUH DAN TAK JENUH SOSIS JAMUR TIRAM
AGUSTINA LEONITA HANDAJA T dan pengemulsi harus seimbang agar terbentuk sistem emulsi yang stabil sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui jumlah penambahan minyak nabati terbaik secara fisik dan organoleptik.Minyak nabati yang ditambahkan dalam pembuatan sosis jamur tiram dan telah melewati proses pengukusan bisa mengalami perubahan kandungan asam lemak. Oleh karena itu, perlu diketahui derajat ketidakjenuhan asam lemaknya dan mempelajari komposisi asam lemak sosis jamur tiram dengan derajat kejenuhan tertinggi (bilangan iod terendah) sehingga dapat diketahui efeknya bagi kesehatan.
Penelitian ini terdiri dari 2 tahap penelitian. Penelitian tahap I untuk mengetahui jumlah penambahan minyak terbaik. Penelitian tahap II untuk mengetahui derajat kejenuhan asam lemak dan mengetahui komposisi asam lemak sosis jamur tiram yang mengandung asam lemak jenuh tertinggi. Metode penelitian yang digunakan dalam tahap II, yakni Rancangan Acak Lengkap pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor,yakni jenis minyak nabati (minyak goreng curah, minyak kelapa sawit, dan minyak kedelai) dan lama pengukusan(30 menit, 45 menit, dan 60 menit) dengan 3 kali ulangan.
Hasil penelitian tahap I menunjukkan bahwa sosis jamur tiram dengan penambahan jumlah minyak 44% (b/b) memiliki aroma (5,05/agak suka), warna (5,62/suka), dan rasa (5,57/suka) serta stabilitas emulsi terbaik (80%). Hasil penelitian tahap II menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan jenis minyak dan lama pengukusan memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat kejenuhan asam lemak sosis jamur tiram.Sosis jamur tiram dengan penambahan minyak goreng curah dan mengalami pengukusan selama 60 menitmerupakan sosis dengan bilangan iod terendah atau memiliki derajat ketidakjenuhan terendah. Kandungan asam lemak tak jenuh sosis tersebut sebesar 49,208%, sedangkan kandungan asam lemak jenuh sebesar 50,694% dan kandungan asam lemak trans sebesar 0,515%. Sosis jamur tiram dengan bilangan iod terendah ini masih memenuhi standar angka referensi diet (DRV) untuk asam lemak sehingga masih baik untuk dikonsumsi.
A. Latar Belakang
Makanan vegetarian mulai digemari oleh masyarakat terutama
mereka yang ingin menghentikan konsumsi produk pangan hewani. Pola
hidup sebagai vegetarian sangat baik untuk kesehatan tubuh, hal ini
disebabkan makanan vegetarian tidak mengandung kolesterol seperti yang
terkandung dalam produk pangan hewani. Sumber-sumber pangan nabati
juga dapat menggantikan sumber pangan hewani seperti daging sapi dan
daging ayam.
Jamur tiram merupakan sumber pangan nabati yang memiliki potensi
baik untuk kesehatan karena jamur tiram memiliki kandungan protein dan air
yang tinggi serta memiliki kandungan lemak yang rendah dan tidak
mengandung kolesterol. Menurut Sumarmi (2006), lemak yang terkandung
dalam jamur tersebut sebagian besar merupakan asam lemak tak jenuh.
Jamur tiram dibudidayakan dalam media tanam bahan organik tanpa
pestisida sehingga dapat dikategorikan sebagai bahan pangan yang baik.
Umumnya jamur tiram diolah dengan cara digoreng atau dimasak
bersama sayuran lain dalam sup. Jamur tiram yang mengandung protein
cukup tinggi dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan sosis. Jamur
tiram bisa menggantikan penggunaan daging sapi maupun daging ayam
dalam pembuatan sosis hingga 100% dengan penambahan putih telur.
Sosis merupakan produk pangan olahan yang digemari masyarakat.
Selain praktis, jenis makanan ini banyak dipilih masyarakat karena memiliki
kandungan protein yang tinggi. Winarno (1997) menyatakan bahwa sosis
merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water atau o/w). Dalam produk
emulsi, kandungan minyak, air, dan pengemulsi harus seimbang agar
terbentuk sistem emulsi yang stabil.
Jamur tiram memiliki kandungan lemak yang rendah, yakni sebesar
1,7 - 2,2% (Sumarmi, 2006). Penambahan minyak perlu dilakukan dalam
2
komponen minyak, protein, dan air. Jenis minyak yang digunakan adalah
minyak nabati sehingga konsumsi sosis jamur tiram tidak berpotensi
meningkatkan kandungan kolesterol di dalam darah, meskipun begitu sosis
jamur tiram masih berpotensi memiliki resiko buruk bagi kesehatan. Resiko
tersebut disebabkan oleh proses pemanasan dalam pembuatan sosis.
Pemanasan dapat menyebabkan penurunan jumlah asam lemak tak jenuh
dalam sosis jamur tiram.
Menurut Edwar et al (2011) pemanasan minyak goreng dengan suhu
tinggi dan waktu yang lama dapat menyebabkan pemutusan pada ikatan
rangkap yang terdapat pada asam lemak tak jenuh. Pemutusan tersebut
dapat menurunkan ketidakjenuhan asam lemak dan menghasilkan asam
lemak jenuh dan berbagai jenis gugus radikal bebas. Asam lemak tidak jenuh
majemuk akan lebih mudah mengalami oksidasi dibandingkan asam lemak
tidak jenuh tunggal.
Jenis minyak yang digunakan serta lama pemanasan sosis perlu
diperhatikan untuk menghasilkan sosis jamur tiram yang aman bagi
kesehatan. Berdasarkan alasan tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui jenis minyak dan lama pemanasan yang optimal terkait
kandungan asam lemak tak jenuh sosis jamur tiram.
Perlakuan penambahan minyak dalam pembuatan sosis jamur tiram
menggunakan minyak kelapa sawit, minyak goreng curah, dan minyak
kedelai yang memiliki perbedaan komposisi asam lemak jenuh dan asam
lemak tak jenuh serta tidak mengandung kolesterol.
Minyak goreng mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak
tidak jenuh pada rangkaian karbonnya. Pemanasan dengan suhu tinggi dan
lama dapat menyebabkan kerusakan asam lemak tidak jenuh sehingga
membentuk asam lemak jenuh dan berbagai jenis gugus radikal bebas
(Edwar et al, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hemanto et al
(2010), tingkat kerusakan minyak nabati terbesar akibat pemanasan pada
suhu 110oC selama 30 menit terjadi pada sampel minyak zaitun dengan
kandungan radikal bebas sebesar 30 µmol/L, sedangkan pada minyak
goreng curah sebesar 25 µmol/L dan minyak kelapa sawit sebesar 20
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahapan penelitian dengan tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui jumlah penambahan minyak nabati yang menghasilkan
sosis dengan sifat fisik dan organoleptik terbaik
2. Untuk mengetahui pengaruh jenis minyak nabati dan lama pengukusan
terhadap derajat kejenuhan asam lemak sosis jamur tiram
3. Untuk mengetahui komposisi asam lemak sosis jamur tiram dengan
derajat kejenuhan asam lemak terbesar serta pemenuhannya terhadap
kebutuhan gizi asam lemak per hari.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, yaitu:
1. Meningkatkan pemanfaatan jamur tiram, yaitu sebagai bahan baku untuk
pembuatan sosis
2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang metode pembuatan
sosis jamur tiram dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi
3. Memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan terkait pengaruh lama
pengukusan dan penggunaan jenis minyak nabati terhadap komposisi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus)
Produksi jamur budidaya di dunia diperkirakan mencapai 6.1 juta ton
pada tahun 1997 dan 12.2 juta ton pada tahun 2002, menunjukkan
peningkatan dua kali lipat dalam 5 tahun. Demikian juga produksi jamur
Pleurotus spp. dari 2.8% menjadi 14.2%. Jamur tiram (Pleorotus ostreatus)
mengandung protein sebesar 19.9-34.7% berat kering dan mengandung
lemak kurang dari 2% berat kering serta memiliki 85.2-94.7% air (Cheung,
2008). Gambaran makroskopis jamur tiram dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Gambaran makroskopis Jamur Tiram (Pleoratus ostreatus) (Cheung, 2008)
Menurut Cheung (2008), kandungan asam amino esensial jamur
(g/100 g berat kering) berkisar dari 34% sampai 47%. Kandungan asam
amino terbesar pada jamur tiram, yakni asam amino leusin sebesar 72.8
mg/g protein, sedangkan kandungan yang terkecil, yakni sistin sebesar 16.8
mg/g protein.
Jamur tiram mempunyai kandungan lemak kurang dari 2% berat
kering, meskipun begitu jamur merupakan sumber asam lemak tak jenuh
terutama asam oleat dan linoleat. Kadar asam lemak tak jenuh majemuk
yang paling banyak adalah asam palmitat (19.2%), asam oleat (8.3%), dan
asam linoleat (68.8-84.0%).
Kandungan karbohidrat jamur bervariasi tergantung spesies dan
berkisar antara 35% sampai 79% berat kering. Jamur tiram memiliki
kandungan karbohidrat sebesar 61.1% berat kering. Kandungan kalori jamur
secara umum rendah sehingga baik untuk diet. Jamur tiram mengandung
4.16-4.23 Kkal/g berat kering.
Kadar abu jamur berkisar antara 6 hingga 10.9%. Jamur budidaya
juga merupakan sumber beberapa vitamin yang bagus, yakni riboflavin
(vitamin B2), niasin, dan folat dengan konsentrasi yang bervariasi sekitar
1.8-5.1 mg/100 g berat kering, 31-65 mg/100 g berat kering, dan 0.30-0.64
mg/100 g berat kering. Jamur juga mengandung serat pangan. Dalam 100 g
jamur menyediakan 10% hingga 40.0% asupan serat pangan yang
disarankan. Kandungan gizi jamur tiram secara keseluruhan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi Jamur Tiram per 100 g berat kering
Zat Gizi Kandungan
rempah-rempah kemudian dimasukkan dan dibentuk dalam pembungkus
atau casing (Anonima, 2010). Proses pembuatan sosis saat ini tidak lagi
sebatas memberikan garam dan melakukan pengeringan pada daging,
namun sekarang ini sosis dibuat dari daging yang digiling dan diberikan
6
Sosis merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water atau o/w).
Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi cairan dalam cairan lain yang
molekul-molekul kedua cairan itu tidak berbaur tetapi saling antagonistik
(Winarno, 1997).
Di bidang teknologi pangan, emulsi umumnya merupakan campuran
air dan minyak. Emulsi dibedakan menjadi tipe emulsi o/w (oil in water) dan
tipe w/o (water in oil). Paling tidak ada dua cairan yang tidak saling
melarutkan terlibat pada pembentukan emulsi. Salah satu cairan merupakan
fase internal atau fase terdispersi atau fase diskontinyu, sedangkan cairan
yang lain merupakan fase eksternal atau fase pendispersi atau fase kontinyu.
Gambaran mikroskopis emulsi dapat dilihat pada Gambar 2.
Minyak dalam Air (o/w) Air dalam Minyak (w/o)
Minyak Air
Gambar 2. Gambaran mikroskopis sistem emulsi (Hadiwiyoto, 2011)
Menurut Hadiwiyoto (2011), satu hal yang sangat penting untuk
emulsi adalah kestabilannya yang dapat dijelaskan secara termodinamika
dengan hukum Gibbs-Helmholtz. Jika dua cairan dicampur tidak membentuk
interface di antara keduanya, maka keduanya akan saling melarutkan satu
sama lain. Dalam hal ini energi bebas pencampuran adalah negatif.
Sebaliknya jika kedua larutan tersebut membentuk interface yang stabil pada
pencampuran, maka energi bebas pada pembentukan interface tersebut
positif. Oleh karena itu, pada pembentukan emulsi yang stabil diperlukan
energi untuk mendispersikan suatu cairan ke dalam cairan yang lain.
Komponen-komponennya mudah terpisah satu dengan yang lain hanya
dalam hitungan menit atau jam.
Emulsi dikatakan stabil jika dalam waktu paling sedikit 5 hari pada
suhu 15oC tidak terjadi pemisahan komponen-komponennya atau paling
tidak 50% dari fase internalnya yang berupa bola-bola kecil (droplets atau
globula) tetap dalam kedudukannya.
Friberg (1997) menyatakan bahwa bola-bola kecil (droplets atau
globula) yang merupakan fase terdispersi bergerak terus-menerus dalam
emulsi dan sering bertabrakan satu sama lain. Setelah tabrakan, bola-bola
kecil tersebut dapat memisah lagi, mungkin menempel satu sama lain
dengan lapisan tipis di antara bola-bola kecil tersebut (flokulasi atau
flocculation) atau mungkin bersatu menjadi bola-bola kecil yang lebih besar
(peleburan atau coalescence).
Menurut Winarno (1997), emulsi yang mantap (permanent emulsion)
memerlukan bahan ketiga yang mampu membentuk sebuah selaput (film) di
sekeliling butiran yang terdispersi sehingga mencegah bersatunya kembali
butir-butir tersebut. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk bahan ketiga
diantaranya adalah emulsifier, stabilizer atau emulsifying agent. Beberapa
bahan yang dapat berfungsi sebagai emulsifier adalah kuning telur, telur
utuh, gelatin, pasta kanji, kasein, albumin, atau beberapa tepung yang
sangat halus seperti tepung paprika atau mustard.
Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya
yang dapat terikat baik pada minyak maupun air. Bila emulsifier tersebut
lebih terikat pada air atau lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih
membantu terjadinya dispersi minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi
minyak dalam air (o/w). Sebagai contoh adalah susu. Sebaliknya bila
emulsifier lebih larut dalam minyak (nonpolar) terjadilah emulsi air dalam
minyak (w/o). Contohnya mentega dan margarin.
Hadiwiyoto (2011) menyatakan bahwa emulsifier akan terabsorpsi
pada interface di antara dua cairan dan menempel pada permukaan fase
internal. Tegangan interfasial akan menurun dan dinding pemisah antara
fase internal dan fase eksternal akan terbentuk sehingga menurunkan total
8
berada pada tempatnya dalam jangka waktu lama atau dikatakan
membentuk emulsi yang stabil.
Emulsifier tidak mempengaruhi proses terjadinya destabilisasi emulsi,
tetapi emulsifier dapat memperlambat peristiwa tersebut atau dengan kata
lain dapat memperpanjang masa stabilitas emulsi. Fungsi emulsifier adalah
untuk menstabilkan fase internal dan eksternal tetap dalam kedudukannya.
Jenis-jenis emulsifier dapat berupa surfaktan, protein, polimer amphifilik, atau
kombinasi surfaktan dan polimer.
Menurut Price dan Schweigert (1987), berdasarkan metode
pembuatannya, sosis dikelompokkan ke dalam enam kelas, yaitu sosis
segar, sosis kering dan semi kering, sosis masak, sosis masak dan diasap,
sosis tidak dimasak tetapi diasap, dan bola daging (Tabel 2).
Berdasarkan kehalusan emulsi daging, sosis dibedakan menjadi
sosis kasar dan sosis emulsi. Pada pembuatan sosis kasar tahapan
pengolahannya lebih sederhana, yaitu menggiling daging sampai halus
kemudian mencampurkannya dengan lemak sampai merata. Sedangkan
pada pembuatan sosis emulsi, tahapan pencampurannya terdiri dari
pencampuran, pencacahan, dan pengemulsian (Anonima, 2010).
Secara lengkap tahapan pengolahan kedua jenis sosis tersebut
sebagai berikut:
1. Pemilihan bahan-bahan yang akan digunakan
2. Penggilingan
3. Pencampuran (termasuk tahapan pencacahan dan pengemulsian)
4. Pemasukan ke dalam casing
5. Pengikatan
6. Penggantungan
7. Pemasakan (perebusan, pengukusan atau pengasapan)
8. Pendinginan (penyemprotan dengan air dingin atau penyimpanan dingin
9. Pengupasan
Tabel 2. Jenis-jenis sosis
No. Jenis Sosis Karakteristik Contoh
1. Sosis Segar Daging segar, tidak dikuring, digiling,
3. Sosis masak Dikuring atau tidak, digiling, berbumbu,
Sumber: Price dan Schweigert, 1987
C. Lemak dan Minyak
Lemak dan minyak adalah senyawa lipida yang paling banyak di
alam. Lemak adalah salah satu komponen makanan multifungsi yang sangat
penting untuk kehidupan. Fungsi lemak dalam tubuh antara lain sebagai
sumber energi, bagian dari membran sel, mediator aktivitas biologis antar
sel, isolator dalam menjaga keseimbangan suhu tubuh, pelindung
organ-organ tubuh serta pelarut vitamin A, D, E, dan K. Penambahan lemak dalam
10
serta gurih. Di dalam tubuh, lemak menghasilkan energi dua kali lebih
banyak dibandingkan dengan protein dan karbohidrat, yaitu 9 Kkal/gram
lemak yang dikonsumsi (Sartika, 2008).
Lemak dan minyak terdiri dari trigliserida campuran yang merupakan
ester dari gliserol dan asam lemak atau asam karboksilat. Minyak nabati
terdapat dalam buah-buahan, kacang-kacangan, biji-bijian, akar tanaman,
dan sayur-sayuran. Dalam jaringan hewan, lemak terdapat di seluruh badan,
tetapi jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan adipose dan tulang sumsum
(Ketaren, 2008).
Berdasarkan strukturnya lemak mempunyai wujud cair dan padat.
Wujud padat dan cairnya lemak dipengaruhi oleh tingkat kejenuhan asam
lemak yang terdapat di dalamnya. Lemak yang kandungan asam lemaknya
terutama asam lemak tak jenuh akan bersifat cair pada suhu kamar dan
biasanya disebut sebagai minyak, sedangkan yang kandungan asam
lemaknya terutama asam lemak jenuh akan berbentuk padat (Edwar et al.
2011).
Jenis lemak yang paling utama dalam nutrisi, yakni:
a. Triasilgliserol (TAG, juga dikenal sebagai trigliserida): mengandung tiga
asam lemak yang terikat pada satu molekul gliserol; mencakup 95% dari
lipid dalam diet.
b. Fosfolipid: mengandung kerangka gliserol berserta dua asam lemak
(nonpolar) dan satu gugus kepala polar dengan residu asam fosfat dan
gula atau asam amino. Contoh yang paling umum adalah fosfatidilkolin
(lesitin).
c. Sterol: mengandung karbon, hidrogen, dan oksigen yang terangkai dalam
bentuk cincin dengan rantai samping. Kolesterol merupakan sterol utama
dalam jaringan hewan, sering dikaitkan dengan asam lemak, membentuk
ester kolesteril. Tumbuhan mengandung fitosterol.
Asam lemak adalah komponen utama lemak dalam diet. Struktur
umumnya terdiri atas satu kerangka karbon dengan gugus karboksil
(COOH) di ujung yang satu dan gugus metil (CH3) pada ujung yang lain.
Asam-asam lemak berbeda satu sama lain dalam berbagai hal (Gambar 3).
lemak yang terbentuk yang berpengaruh pada fungsi metabolik dan
dampaknya bagi kesehatan (Barasi, 2009).
Gambar 3. Penyebab variasi antara berbagai asam lemak (Barasi, 2009)
1. Asam Lemak Jenuh
Asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA) adalah asam
lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap pada atom karbon. Ini berarti
asam lemak jenuh tidak peka terhadap oksidasi dan pembentukan
radikal bebas seperti halnya asam lemak tak jenuh. Struktur rantai asam
lemak jenuh dapat dilihat pada Gambar 4 (Sartika, 2008).
12
Asam lemak jenuh selain banyak ditemukan pada lemak hewani
juga terdapat pada minyak kelapa, kelapa sawit serta minyak lainnya
yang sudah pernah dipakai untuk menggoreng (jelantah), meskipun pada
mulanya adalah asam lemak tak jenuh (Sartika, 2008). Struktur kimia
dan tata nama asam lemak jenuh dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Struktur kimia dan tata nama asam lemak jenuh
Nama Umum Karbon Nama
2. Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal
Asam lemak tak jenuh tunggal (Mono Unsaturated Fatty
Acid/MUFA) merupakan jenis asam lemak yang mempunyai 1 (satu)
ikatan rangkap pada rantai atom karbon. Asam lemak ini tergolong dalam
asam lemak rantai panjang (LCFA) yang kebanyakan ditemukan dalam
minyak zaitun, minyak kedelai, minyak kacang tanah, minyak biji kapas,
dan kanola. Struktur rantai asam lemak tak jenuh tunggal dapat dilihat
pada Gambar 5. Salah satu jenis MUFA adalah Omega-9 (Oleat),
memiliki sifat lebih stabil dan lebih baik perannya dibandingkan asam
lemak tak jenuh majemuk (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) (Sartika,
Gambar 5. Asam lemak tak jenuh tunggal (Sartika, 2008)
3. Asam Lemak Tak Jenuh Majemuk
Asam lemak tak jenuh majemuk (Poly Unsaturated Fatty
Acid/PUFA) adalah asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan
rangkap, bersifat cair pada suhu kamar bahkan tetap cair pada suhu
dingin karena titik lelehnya lebih rendah dibandingkan dengan MUFA dan
SFA. Struktur rantai asam lemak tak jenuh tunggal dapat dilihat pada
Gambar 6 (Sartika, 2008).
Gambar 6. Asam lemak tak jenuh majemuk (Sartika, 2008)
Asam lemak ini banyak ditemukan pada minyak ikan dan nabati
seperti safflower, jagung, dan biji matahari. Sumber alami PUFA yang
penting bagi kesehatan. Contoh PUFA adalah asam linoleat (Omega-6)
dan linolenat (Omega-3), tergolong dalam asam lemak rantai panjang
(LCFA) yang banyak ditemukan pada minyak nabati dan minyak ikan
(Sartika, 2008). Struktur kimia dan tata nama asam lemak jenuh dapat
14
Tabel 4. Struktur kimia dan tata nama asam lemak tak jenuh
Nama Umum Nama Sistematik
Karbon
Ikatan
Ganda Rumus
- cis-dec-9-enoat 10 1 CH2=CH.(CH2)7COOH
- cis-dodec-9-enoat 12 1 CH3CH2CH=CH(CH2)7COOH
Miristoleat (myristoleic) cis-tetradec-9-enoat 14 1 CH3(CH2)3CH=CH(CH2)7COOH
Palmitoleat (palmitoleic) cis-9-heksadekaenoat 16 1 CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7COOH
Oleat (oleic) cis-oktadekanoat 18 1, cis CH3(CH2)7.CH=CH(CH2)7COOH
Elaidat (elaidic) trans-9-oktadekanoat 18 1, trans CH3(CH2)7.CH=CH(CH2)7COOH
Linoleat (linoleic) cis, cis-9, 12-oktadecadie-noat 18 2 CH3(CH2)4(CH=CHCH2)2.(CH2)6COOH
Linolenat (linolenic) cis, cis, cis-9, 12, 15-oktadeka-trienoat
18 3 CH3CH2(CH=CHCH2)3.(CH2)6COOH
Arakidonat (arachidonic) cis, cis, cis, cis- 5, 8, 11, 14-eiko-satetraenoat
20 4 CH3(CH2)4(CH=CHCH2)4(CH2)2COOH
EPA cis, cis, cis, cis, cis-5, 8, 11, 14, 17-eikosapentaenoat
20 5 CH3CH2(CH=CHCH2)5(CH2)2COOH
DHA cis, cis, cis, cis, cis, cis-4, 7, 10, 14, 16, 19-dokosaheksaenoat
22 6 CH3CH2(CH=CHCH2)6CH2COOH
Selakoleat (Selacholeic) Cis-15, tetrakosenoat 24 1 CH3(CH2)7CH=CH(CH2)13COOH
4. Minyak Goreng
Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan
atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar,
biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dari
tumbuhan biasanya dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, biji-bijian,
kacang-kacangan, jagung, kedelai, dan kanola. Minyak goreng diperoleh
dari hasil tahap akhir proses pemurnian minyak dan terdiri atas beragam
jenis senyawa trigliserida. Minyak goreng tersusun oleh berbagai jenis
asam lemak jenuh/tak jenuh.
Lipid sederhana dalam bahan pangan mengandung jenis molekul
trigliserida yang beragam yang disebabkan oleh perbedaan asam lemak
yang terikat pada stuktur gliserol. Minyak kedelai, minyak zaitun, minyak
jagung, dan minyak kacang tanah banyak mengandung asam lemak tak
jenuh (85-90%), sedangkan minyak kelapa banyak mengandung asam
lemak jenuh (91%). Komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh pada
beberapa minyak goreng dapat dilihat pada Tabel 5 (Kusnandar, 2010).
16
5. Kerusakan Lemak Dan Minyak
Bentuk kerusakan terutama ketengikan yang paling penting
disebabkan oleh aksi oksigen udara terhadap lemak. Kecepatan proses
oksidasinya tergantung dari tipe lemak dan kondisi penyimpanan. Dalam
bahan pangan berlemak, konstituen yang mudah mengalami oksidasi
spontan adalah asam lemak tak jenuh.
Faktor-faktor yang mempercepat oksidasi (akselerator) dapat
dibagi menjadi 4 kelas, yaitu a) radiasi, misalnya oleh panas dan
cahaya, b) bahan pengoksidasi (oxidizing agent) misalnya peroksida,
perasid, ozone, asam nitrat serta beberapa senyawa organik nitro, dan
aldehida aromatik, c) katalis metal khususnya garam dari beberapa
macam logam berat dan d) sistem oksidasi, misalnya adanya katalis
organik yang labil terhadap panas. Cara pencegahan faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan oksidasi dapat dilihat pada Tabel 6 (Ketaren.
2008).
Tabel 6. Cara pencegahan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan oksidasi
Akselerator Dihambat/Dicegah Dengan
1. Suhu tinggi Suhu rendah (refrigerasi)
2. Sinar (UV dan biru) dan ionisasi
radiasi (α, β, α dan x) Wadah berwarna atau opak, bahan pembungkus
3. Peroksida (termasuk lemak yang dioksidasi)
Menghindarkan oksigen
4. Enzim lipoksidase Merebus (blanching)
5. Katalis Fe-organik (misalnya hemoglobin)
Anti-oksidan Metal deactivator
6. Katalis logam (Cu, Fe) Metal deactivator EOTA,
as-sitrat Sumber: Ketaren, 2008
Sifat fisik lemak dan minyak serta kemudahannya untuk
teroksidasi akan ditentukan oleh jenis asam lemak penyusunnya. Apabila
semakin banyak kandungan lemak tak jenuhnya, maka kerusakan lemak
akibat reaksi oksidasi akan semakin mudah terjadi (Kusnandar, 2010).
Asam lemak pada umumnya bersifat semakin reaktif terhadap
molekul. Sebagai contoh, asam linoleat akan teroksidasi lebih mudah
daripada asam oleat pada kondisi yang sama. Proses oksidasi tidak
ditentukan oleh besar kecilnya jumlah lemak dalam bahan sehingga
bahan yang mengandung lemak dalam jumlah kecil pun mudah
mengalami proses oksidasi.
Oksidasi spontan lemak tidak jenuh didasarkan pada serangan
oksigen pada ikatan rangkap (ikatan tidak jenuh) sehingga membentuk
hidroperoksida tidak jenuh. Asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam
molekul trigliserida terdiri dari asam oleat, asam linoleat, dan asam
linolenat. Asam-asam tidak jenuh ini jika dioksidasi, masing-masing akan
membentuk oleat hidroperoksida, linoleat hidroperoksida, dan linolenat
hidroperoksida yang bersifat reaktif.
Peroksida yang dihasilkan bersifat tidak stabil dan akan mudah
mengalami dekomposisi oleh proses isomerisasi atau polimerisasi dan
akhirnya menghasilkan persenyawaan dengan berat molekul lebih
rendah (Ketaren, 2008). Secara umum reaksi pembentukan peroksida
dapat dilihat pada Gambar 7.
RCH=CHR’ + O=O RCH CHR’ RCHCHR’
O O O Peroksida
O Moloksida
RCH + CHR’
O O
Gambar 7. Reaksi pembentukan peroksida (Ketaren, 2008)
Senyawa peroksida mampu mengoksidasi molekul asam lemak yang
masih utuh dengan cara melepaskan 2 atom hidrogen sehingga membentuk
ikatan rangkap baru dan selanjutnya direduksi sampai membentuk oksida.
Terbentuknya peroksida, disusul dengan terbentuknya ikatan rangkap baru
18
berat molekul lebih rendah (terutama dengan jumlah atom C1-C9) misalnya
senyawa epihirin aldehida (Ketaren, 2008).
D. Pemasakan (Pemanasan)
Tahap pemasakan (pemanasan) sosis dapat dilakukan dengan
berbagai cara, yakni pengasapan, perebusan, dan pengukusan. Pengasapan
merupakan suatu cara pengolahan atau pengawetan yang memanfaatkan
kombinasi perlakuan pengeringan dan pemakaian senyawa kimia alami dari
hasil pembakaran bahan bakar alami (kayu) yang akan membentuk
senyawa-senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta
dihasilkan panas (Wibowo, 1996).
Merebus adalah teknik memasak dengan air panas, makanan
terendam dalam air. kontak langsung dengan air mendidih. Sebaiknya
makanan dimasukkan setelah air mendidih, dan api agak dikecilkan agar
kandungan zat gizi tidak banyak yang rusak terutama untuk sayur atau setup
buah (compote). Proses perebusan dengan suhu tinggi dan waktu yang
lama, akan merusak kandungan zat gizi, cita rasa menurun, merusak tekstur
dan warna makanan.
Teknik memasak dengan menggunakan uap air (mengukus) bisa
diharapkan sebagai alternatif cara memasak yang sehat. Dengan proses
memasak dalam waktu tertentu tidak akan mengubah warna bahan pangan
serta kandungan zat gizinya. Terlebih jika dilakukan dengan baik dan benar,
yaitu menggunakan pengukus yang tertutup rapat, sehingga uap dapat
memasak dengan efektif. Kelebihan lain mengukus, yaitu dapat menahan
vitamin dan mineral pada bahan pangan agar tidak banyak mengalami
kerusakan (Anonimc, 2012).
Pengukusan dengan uap panas menghasilkan retensi zat gizi larut air
yang lebih besar dibandingkan dengan pengukusan menggunakan air karena
adanya pemanasan yang hampir sama diseluruh bagian bahan (Harris dan
E. Analisa Keputusan
Analisa keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk
memilih tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Tujuan dari
analisa keputusan adalah untuk menentukan keputusan secepat-cepatnya.
Ketepatan keputusan tergantung dari informasi yang dapat dikumpulkan dan
diolah dalam analisa. Mengambil keputusan berarti menjatuhkan pilihan pada
satu alternatif yang paling baik sehingga harus mempunyai kriteria dan
ukuran tertentu (Atmosudirjo, 1987).
Proses pengambilan keputusan didahului dengan adanya
permasalahan alternatif-alternatif yang ada serta kriteria untuk mengukur
atau membandingkan setiap alternatf yang memberikan hasil atau
keuntungan yang paling besar dengan resiko yang paling kecil. Jadi masalah
yang mempersulit suatu keputusan adalah adanya alternatif yang harus
dipilih sebagai landasan untuk tindakan yang harus dilaksanakan (Assauri,
1990).
F. Landasan Teori
Sosis merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water atau o/w).
Oleh karena itu, di dalam sosis yang baik harus mengandung komponen
minyak dan air yang berasal dari bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan sosis.
Jamur tiram memiliki kandungan protein dan air yang tinggi sehingga
berpotensi untuk diolah menjadi sosis, tetapi kandungan lemak dalam jamur
tiram kurang dari 2%. Rendahnya kandungan lemak dalam jamur tiram
memerlukan penambahan minyak dalam pembuatan sosis jamur tiram
sehingga dapat terbentuk sistem emulsi yang stabil. Tejopranoto (1988),
menyatakan bahwa lemak yang mengandung asam lemak jenuh lebih sukar
diemulsikan daripada lemak yang mengandung asam lemak dengan satu
atau dua ikatan rangkap dengan jumlah atom karbon yang sama. Oleh
karena itu, minyak yang digunakan dalam pembuatan sosis jamur tiram,
20
memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi dibandingkan lemak
hewani.
Minyak nabati yang digunakan dalam pembuatan sosis jamur adalah
minyak yang banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pengolahan
pangan. Penggunaan minyak nabati ini dimaksudkan untuk menghasilkan
sosis jamur yang rendah kolesterol.
Jumlah minyak nabati yang ditambahkan dalam pembuatan sosis
jamur tiram dapat mempengaruhi kekerasan sosis. Semakin banyak jumlah
minyak yang ditambahkan, kekerasan sosis jamur tiram akan meningkat,
namun menurut Rahardjo (2008), jumlah penambahan minyak yang
digunakan dalam pembuatan sosis jamur tiram sebesar 50% dari berat
jamur. Meningkatnya kekerasan sosis menunjukkan bahwa stabilitas emulsi
semakin meningkat.
Sosis jamur tiram dimasak dengan cara pengukusan. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko et al (2012), kualitas organoleptik
sosis ikan lele dumbo terbaik dan memenuhi SNI dimiliki oleh sosis yang
diolah dengan pengukusan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hermanto et al (2010),
pemanasan minyak pada suhu 110oC selama 30 menit telah menghasilkan
radikal bebas sebesar 30 µmol/L pada minyak zaitun, 25 µmol/L pada
minyak goreng curah, dan 20 µmol/L pada minyak kelapa sawit.
Ketaren (2008) menyatakan bahwa oksidasi spontan asam lemak tak
jenuh didasarkan pada serangan oksigen terhadap ikatan rangkap (ikatan tak
jenuh) sehingga membentuk hidroperoksida tak jenuh. Peroksida yang
dihasilkan bersifat tidak stabil dan mudah mengalami dekomposisi oleh
proses isomerisasi atau polimerisasi dan akhirnya menghasilkan
persenyawaan dengan berat molekul lebih rendah.
Senyawa peroksida mampu mengoksidasi molekul asam lemak yang
masih utuh dengan cara melepaskan 2 atom hidrogen sehingga membentuk
ikatan rangkap baru dan selanjutnya direduksi sampai membentuk oksida.
Terbentuknya peroksida dan berlanjut dengan terbentuknya ikatan rangkap
baru akan menghasilkan deretan persenyawaan aldehida dan asam jenuh
dengan berat molekul lebih rendah (terutama dengan jumlah atom C1-C9)
Hasil penelitian Edwar et al (2011) menunjukkan bahwa pemanasan
terhadap minyak goreng sawit dan minyak goreng jagung selama 60 menit
pada suhu 200oC dengan pengukuran yang dilakukan setiap 10 menit
ditemukan bahwa semakin lama waktu pemanasan menyebabkan semakin
banyak penurunan jumlah titrasi larutan Huble pada kedua jenis minyak
goreng tersebut. Penurunan jumlah titrasi larutan Huble menunjukkan
penurunan jumlah asam lemak tak jenuh.
G. Hipotesis
Semakin besar kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak
nabati dan semakin lama pengukusan berpengaruh nyata terhadap
BAB III
BAHAN DAN METODE
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan,
Laboratorium Analisa Pangan, dan Laboratorium Uji Inderawi Program Studi
Teknologi Pangan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
serta di Unit Layanan Pengujian Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Penelitian dilakukan pada bulan April-Juli 2013.
B. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis jamur adalah jamur
tiram putih (Pleurotus ostreatus) jenis Oystern yang diperoleh dari petani
jamur di Sidoarjo, minyak goreng curah yang dibeli di pasar di Surabaya
serta minyak kelapa sawit merek Filma dan minyak kedelai merek Happy
yang dibeli di supermarket di Surabaya serta tepung tapioka, putih telur, air
es, bumbu, plastik Polyethylene, dan benang bol.
Bahan yang digunakan dalam melakukan analisa kimia sosis jamur
adalah BF3 methanol kompleks (14% b/v), Heksan, gas N2, I2, Br2, asam
asetat glasial, larutan Na2S2O3 0,1 N standar, KIO3, KI, larutan pati 1%,
H2SO4 pekat, Natrium Karbonat, Kloroform, K2Cr2O7 murni, dan aquades.
C. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam pembuatan sosis jamur adalah food
processor, autoklaf, pisau, telenan, baskom, sendok, timbangan, plastik PE
ukuran 4x15 cm, plastik HDPE, dan serbet.
Alat yang digunakan dalam melakukan analisa sosis jamur adalah
Agilent 6980N Network GC System dengan autosampler dan kolom J&W
Scientific (HP-5 5% fenilmetilsiloksan 30 m, 0.32 mm, 0.25 µm), library Wiley
oven, lemari es, desikator, centiruge 2500 rpm, kertas saring Whatman No.
41, benang bol, labu Erlenmeyer, gelas arloji, neraca analitik, botol vial,
aluminium foil, wadah plastik dan spon untuk sampel analisa kromatografi
gas, pipet tetes, mikropipet, pipet volumetri 10 mL, hotplate, penangas air,
tabung reaksi bertutup, vortex, dan beaker glass.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahapan penelitian, yaitu:
1. Penelitian Tahap I
Penelitian tahap I dilakukan untuk mengetahui jumlah penambahan
minyak nabati yang menghasilkan sosis dengan sifat fisik dan
organoleptik terbaik.
a. Perlakuan yang diteliti
Jumlah penambahan minyak nabati, yaitu:
A1: 40% (b/b)
A2: 42% (b/b)
A3: 44% (b/b)
A4: 46% (b/b)
A5: 48% (b/b)
A6: 50% (b/b)
b. Peubah Tetap
- Jenis jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) jenis Oystern
- Suhu pemanasan sebesar 110oC
- Lama pencampuran dengan food processor selama 10 menit
- Minyak nabati yang digunakan adalah minyak kelapa sawit merek
Filma
- Berat putih telur 262.5 gram
- Berat tepung tapioka 52.5 gram
24
c. Parameter
Parameter yang diamati pada penelitian ini, yakni:
- Sifat fisik sosis jamur tiram meliputi kekerasan (metode
penetrometer) dan stabilitas emulsi (AOAC, 1995)
- Sifat organoleptik sosis jamur tiram meliputi warna, aroma, rasa,
dan kekenyalan (uji Hedonik)
d. Prosedur Penelitian Tahap I
1. Pencucian jamur tiram putih menggunakan serbet basah
2. Penimbangan jamur tiram putih sebanyak 500 gram
3. Pemotongan jamur tiram putih dengan pisau
4. Homogenisasi dan penggilingan jamur tiram putih dengan 262.5
gram putih telur, 40 mL air es, 52.5 gram tepung tapioka dan
bumbu serta minyak kelapa sawit sebanyak 40%. 42%, 44%,
46%, 48%, dan 50% (b/b) menggunakan food processor selama
10 menit
5. Pembungkusan adonan ke dalam plastik polyethylen sepanjang
10 cm
6. Pemasakan sosis jamur tiram dengan cara pengukusan selama
30 menit
7. Pendinginan sosis jamur tiram hingga mencapai suhu kamar
8. Analisa sifat fisik (kekerasan dan stabilitas emulsi) dan
Jamur tiram putih
Penambahan Tepung tapioka,
Minyak nabati putih telur, air es,
40%, 42%, 44%, dan bumbu
46%, 48%, 50%
Sosis jamur tiram Analisa: - Sifat Fisik (kekerasan, stabilitas emulsi) - Uji organoleptik
(warna, aroma, rasa, dan kekenyalan)
Gambar 8. Diagram alir prosedur penelitian tahap I Penimbangan 500 gram
Pemotongan
Homogenisasi dan penggilingan selama 10 menit
Pembungkusan dalam casing
Pengukusan selama 30 menit pada suhu 110oC
26
2. Penelitian Tahap II
Penelitian tahap II dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis
minyak nabati dan lama pengukusan terhadap komposisi asam lemak
dan rasio asam lemak tak jenuh/asam lemak jenuh pada sosis jamur
tiram. Metode penelitian yang digunakan dalam tahap II penelitian ini
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2
faktor masing-masing terdiri dari 3 level dengan 3 kali ulangan.
a. Peubah berubah
Faktor I: Jenis minyak nabati, yaitu:
A1: Minyak kelapa sawit
A2: Minyak goreng curah
A3: Minyak kedelai
Faktor II: Lama pengukusan, yaitu:
B1: 30 menit
B2: 45 menit
B3: 60 menit
b. Peubah Tetap
- Jenis jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) jenis Oystern
- Suhu pemanasan sebesar 110oC
- Lama pencampuran dengan food processor selama 10 menit
- Berat putih telur 262.5 gram
- Berat tepung tapioka 52.5 gram
- Volume air es 40 mL
Sehingga diperoleh 9 kombinasi perlakuan antara jenis minyak
Tabel 7. Kombinasi perlakuan antara A dan B
Jenis Minyak Nabati
Lama Pengukusan
B1 B2 B3
A1 A1B1 A1B2 A1B3
A2 A1B2 A2B2 A2B3
A3 A3B1 A2B2 A3B3
Keterangan:
A1B1: Jenis minyak: minyak kelapa sawit; lama pemanasan 30 menit
A1B2: Jenis minyak: minyak kelapa sawit; lama pemanasan 45 menit
A1B3: Jenis minyak: minyak kelapa sawit; lama pemanasan 60 menit
A2B1: Jenis minyak: minyak goreng curah; lama pemanasan 30 menit
A2B2: Jenis minyak: minyak goreng curah; lama pemanasan 45 menit
A2B3: Jenis minyak: minyak goreng curah; lama pemanasan 60 menit
A3B1: Jenis minyak: minyak kedelai; lama pemanasan 30 menit
A3B2: Jenis minyak: minyak kedelai; lama pemanasan 45 menit
A3B3: Jenis minyak: minyak kedelai; lama pemanasan 60 menit
Menurut Gazpers (1994), model matematika untuk perlakuan
yang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) adalah sebagai
berikut:
i = 1, … , a
j = 1, … , b k = 1, … , c
Keterangan:
Yijk : Nilai pengamatan dari suatu percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B)
µ : Nilai tengah umum (rata-rata sesungguhnya) αi : Pengaruh perlakuan ke-i dari A
28
(αβ)ij : Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B
εijk : Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k memperoleh perlakuan kombinasi ke-ij
c. Parameter
Parameter yang diamati pada penelitian ini, yakni:
- Perubahan derajat ketidakjenuhan asam lemak dalam sosis jamur
tiram (analisa bilangan iod metode Hanus, AOAC)
- Komposisi asam lemak dalam sosis jamur tiram dengan bilangan
iod terendah (kromatografi gas; AOAC)
d. Prosedur Penelitian Tahap II
1. Pencucian jamur tiram putih menggunakan serbet basah
2. Penimbangan jamur tiram putih sebanyak 500 gram
3. Pemotongan jamur tiram putih dengan pisau
4. Homogenisasi dan penggilingan jamur tiram putih dengan 262.5
gram putih telur, 40 mL air es, 52.5 gram tepung tapioka dan
bumbu serta minyak kelapa sawit/ minyak goreng curah/ minyak
kedelai menggunakan food processor selama 10 menit
5. Pembungkusan adonan ke dalam plastik PE sepanjang 10 cm
6. Pemasakan sosis jamur tiram dengan cara pengukusan selama
30 menit/ 45 menit/ 60 menit pada suhu 110oC
7. Pendinginan sosis jamur tiram hingga mencapai suhu kamar
8. Analisa perubahan derajat ketidakjenuhan asam lemak dan
Jamur tiram putih
Jenis minyak nabati: Tepung tapioka,
- Minyak kelapa putih telur, air es,
Sawit dan bumbu
- Minyak goreng curah - Minyak kedelai
Lama Pengukusan - - 30 menit - 45 menit
- 60 menit
Sosis jamur tiram Analisa:
- Perubahan derajat ketidakjenuhan
asam lemak
(analisa bilangan iod) - Komposisi asam lemak (analisa kromatografi gas)
Gambar 9. Diagram alir prosedur penelitian tahap II Penimbangan 500 gram
Pemotongan
Homogenisasi dan penggilingan selama 10 menit
Pembungkusan dalam casing
Pengukusan pada suhu 110oC
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sosis merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water atau o/w). Oleh
karena itu, di dalam sosis yang baik harus mengandung komponen minyak dan
air yang berasal dari bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis.
Dalam pembuatan sosis jamur tiram, perlu dilakukan penambahan
minyak nabati. Minyak merupakan salah satu komponen dalam sistem emulsi
sosis, tetapi bahan baku sosis jamur tiram memiliki kandungan lemak yang
rendah sehingga syarat terbentuknya sistem emulsi yang stabil harus dipenuhi
dari luar, yakni dengan menambahkan minyak nabati. Jumlah minyak nabati
yang proporsional perlu diperhatikan agar dapat menghasilkan sosis jamur tiram
dengan stabilitas emulsi yang baik dan disukai masyarakat. Oleh karena itu,
penelitian tahap I ini bertujuan untuk mengetahui jumlah penambahan minyak
nabati terbaik dalam pembuatan sosis jamur tiram.
A. Penelitian Tahap I
Penambahan minyak nabati dapat mempengaruhi sifat fisik dan sifat
organoleptik sosis jamur tiram terutama tingkat kekerasannya. Hal ini
dikarenakan sistem emulsi sosis berpengaruh terhadap tingkat
kekerasannya. Jamur tiram yang mengandung lemak dalam jumlah rendah
memerlukan penambahan minyak dari luar agar dapat terbentuk sistem
emulsi yang baik.
Berdasarkan pengamatan secara fisik yang dilakukan terhadap sosis
jamur tiram, diketahui beberapa sifat fisik sosis jamur tiram, diantaranya
kekerasan dan stabilitas emulsi. Dalam tahap penelitian ini juga dilakukan
pengujian secara organoleptik. Sifat-sifat tersebut dapat menentukan jumlah
penambahan minyak terbaik yang dapat menghasilkan sosis yang disukai
1. Kekerasan Sosis Jamur Tiram
Jumlah penambahan minyak nabati memberikan hasil
pengukuran kekerasan dengan penetrometer yang berbeda. Hasil
pengukuran tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kekerasan sosis Jamur Tiram
Sifat Fisik Jumlah Penambahan Minyak Nabati
40% 42% 44% 46% 48% 50% Kekerasan
(mm/g.detik) 0,110 0,116 0,134 0,159 0,165 0,173
Kekerasan sosis jamur tiram meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah penambahan minyak nabati. Sosis jamur dengan
jumlah penambahan minyak nabati 40% memiliki tingkat kekerasan
sebesar 0,110 mm/gr.detik, sedangkan sosis jamur dengan jumlah
penambahan minyak nabati 50% memiliki tingkat kekerasan sebesar
0,173 mm/gr.detik. Semakin besar hasil pengukuran penetrometer, maka
sosis jamur tiram semakin keras.
Minyak kelapa sawit yang digunakan dalam pembuatan sosis
jamur tiram untuk pengujian sifat fisik ini mengandung lebih banyak asam
lemak tak jenuh dibandingkan lemak hewani sehingga penambahan
jumlah minyak kelapa sawit dapat meningkatkan kekerasan sosis jamur
tiram. Tejopranoto (1988), menyatakan bahwa lemak yang mengandung
asam lemak jenuh lebih sukar diemulsikan daripada lemak yang
mengandung asam lemak dengan satu atau dua ikatan rangkap dengan
jumlah atom karbon yang sama.
2. Stabilitas Emulsi Sosis Jamur Tiram
Penambahan minyak nabati dalam pembuatan sosis jamur tiram
juga mempengaruhi tingkat stabilitas emulsinya. Hal ini dikarenakan
rendahnya kandungan lemak jamur tiram. Oleh karena itu, jumlah
penambahan minyak nabati dapat mempengaruhi stabilitas emulsi sosis.
Setelah dilakukan tahap-tahap pengujian stabilitas emulsi terhadap sosis
32
emulsi sosis jamur tiram dengan 6 jenis perlakuan penambahan jumlah
minyak nabati (Gambar 8).
Gambar 8. Stabilitas emulsi sosis Jamur Tiram dengan berbagai tingkat jumlah penambahan minyak nabati
Berdasarkan uji stabilitas emulsi sosis jamur tiram (Gambar 8),
diketahui bahwa sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak
nabati sebanyak 46% memiliki kestabilan emulsi yang paling rendah
(76%). Sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati
sebanyak 40% dan 42% memiliki tingkat kestabilan emulsi sebesar 78%.
Sosis jamur tiram dengan jumlah penambahan minyak nabati sebanyak
44%, 48%, dan 50% memiliki tingkat kestabilan emulsi yang paling tinggi
(80%).
Tingkat stabilitas emulsi sosis jamur tiram mengalami kenaikan
pada perlakuan penambahan minyak nabati 44%, tetapi menurun pada
perlakuan penambahan minyak nabati 46% dan meningkat kembali pada
perlakuan penambahan minyak nabati 48%. Sosis jamur tiram dengan
perlakuan penambahan minyak 44%, 48%, dan 50% memiliki tingkat
stabilitas emulsi yang sama, yaitu sebesar 80%.
Hasil uji stabilitas emulsi sosis ikan kurisi dengan perlakuan
penambahan isolat protein dan karaginan (Widodo, 2008), sosis ikan
nurisi memiliki titik optimal di mana stabilitas emulsi mencapai tingkat
tertinggi dan menurun ketika penambahan isolat protein maupun
karaginan ditingkatkan. Sosis memiliki titik optimal di mana komposisi
sistem emulsi berada pada jumlah terbaik sehingga membentuk sistem
tiram, sosis jamur tiram belum menunjukkan titik optimal karena sosis
jamur tiram dengan perlakuan penambahan minyak 44%, 48%, dan 50%
memiliki tingkat stabilitas emulsi yang sama, yaitu sebesar 80%.
Tejopranoto (1988) menyatakan bahwa makin banyak jumlah
minyak yang ditambahkan, emulsi cenderung makin tidak stabil. Hal ini
terjadi karena penambahan minyak yang terlalu banyak akan
menyebabkan jumlah minyak yang tidak seimbang dengan jumlah
protein dan air sehingga ada sebagian minyak yang terselubungi dan
terlepas dari sistem emulsi.
Stabilitas emulsi sosis jamur tiram dengan perlakuan
penambahan minyak 46% yang lebih rendah dibandingkan sosis jamur
tiram dengan perlakuan penambahan minyak 44%, 48%, dan 50% bisa
disebabkan oleh banyak faktor seperti proses pencampuran yang kurang
sempurna atau adanya faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas
emulsi selama masa penyimpanan seperti suhu penyimpanan. Menurut
Suryani et al (2000), beberapa faktor-faktor yang menyebabkan
ketidakstabilan emulsi, yaitu kecepatan dan waktu pencampuran yang
tidak tepat, tidak sesuainya rasio antara fase terdispersi dan fase
pendispersi, dan guncangan mekanik atau getaran.
3. Sifat Organoleptik Sosis Jamur Tiram
Penambahan minyak nabati dapat mempengaruhi sifat fisik sosis
jamur tiram sehingga perlu diketahui tingkat kesukaannya. Hasilpenilaian
panelis terhadap sosis jamur tiram dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai rata-rata kesukaan terhadap sosis Jamur Tiram
Jumlah Penambahan
Minyak
Aroma Warna Kekenyalan Rasa
40% 5,00 4,43 4,52 5,33
34
a. Aroma
Berdasarkan hasil penilaian kesukaan terhadap aroma sosis
jamur tiram (Lampiran 4) diketahui bahwa sosis jamur tiram dengan
jumlah penambahan minyak nabati 44% memiliki rata-rata tertinggi,
yakni sebesar 5,05 atau agak disukai. Sosis jamur tiram dengan
jumlah penambahan minyak nabati 46% memiliki rata-rata aroma
terendah, yakni sebesar 4,62 atau agak disukai. Berdasarkan uji
Kruskal Wallis terhadap aroma sosis jamur tiram tidak terdapat
perbedaan yang nyata (p0,05) di antara keenam sosis jamur tiram
yang diujikan.
Aroma sosis jamur tiram, yakni langu khas jamur tiram.
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh Rahardjo (2003),
kesukaan panelis terhadap aroma sosis jamur tiram hanya
dipengaruhi oleh cara penyajian sehingga perbedaan aroma dapat
diperoleh jika cara penyajian sosis jamur tiram berbeda. Cara
penyajian yang disukai, yakni dengan digoreng.
b. Warna
Berdasarkan hasil penilaian kesukaan terhadap warna sosis
jamur tiram (Lampiran 5) diketahui bahwa sosis jamur tiram dengan
jumlah penambahan minyak nabati 44% memiliki rata-rata tertinggi,
yakni sebesar 5,62 atau disukai. Sosis jamur tiram dengan jumlah
penambahan minyak nabati 42% memiliki rata-rata warna terendah,
yakni sebesar 4,19 atau netral. Berdasarkan uji Kruskal Wallis
terhadap warna sosis jamur tiram terdapat perbedaan yang nyata
(p0,05) di antara keenam sosis jamur tiram yang diujikan.
Warna sosis jamur tiram, yakni putih tulang untuk sosis
dengan jumlah penambahan minyak 40%. Semakin meningkat
jumlah penambahan minyak, warna putih semakin gelap
(kecoklatan). Pengukusan sosis jamur tiram dapat menyebabkan
terjadinya reaksi pencoklatan sehingga semakin meningkat jumlah
penambahan minyak nabati menyebabkan warna sosis semakin
gelap. Apriyantono (2001), menyatakan bahwa reaksi pencoklatan
dapat berasal dari gula pereduksi atau hasil oksidasi asam askorbat,
hidrolisis pati, dan oksidasi lipid.
c. Kekenyalan
Berdasarkan hasil penilaian kesukaan terhadap kekenyalan
sosis jamur tiram (Lampiran 6) diketahui bahwa sosis jamur tiram
dengan jumlah penambahan minyak nabati 48% memiliki rata-rata
tertinggi, yakni sebesar 5,33 atau agak disukai. Sosis jamur tiram
dengan jumlah penambahan minyak nabati 46% memiliki rata-rata
kekenyalan terendah, yakni sebesar 3,95 atau netral. Berdasarkan
uji Kruskal Wallis terhadap kekenyalan sosis jamur tiram terdapat
perbedaan yang nyata (p0,05) di antara keenam sosis jamur tiram
yang diujikan.
Berdasarkan hasil uji kesukaan terhadap kekenyalan sosis
tempe yang dilakukan oleh Tejopranoto (1988), penambahan minyak
yang terlalu banyak atau terlalu sedikit kurang disukai. Hal ini sesuai
dengan hasil uji kesukaan terhadap kekenyalan sosis jamur tiram.
Jumlah penambahan minyak yang lebih disukai, yakni 48%.
d. Rasa
Berdasarkan hasil penilaian kesukaan terhadap rasa sosis
jamur tiram (Lampiran 7) diketahui bahwa sosis jamur tiram dengan
jumlah penambahan minyak nabati 44% memiliki rata-rata tertinggi,
yakni sebesar 5,57 atau disukai. Sosis jamur tiram dengan jumlah
penambahan minyak nabati 50% memiliki rata-rata rasa terendah,
yakni sebesar 5,14 atau agak disukai. Berdasarkan uji Kruskal Wallis
terhadap rasa sosis jamur tiram tidak terdapat perbedaan yang nyata
(p0,05) di antara keenam sosis jamur tiram yang diujikan.
Rasa dari sosis jamur tiram, yakni khas jamur tiram. Rasa
sosis jamur tiram tidak dipengaruhi oleh penambahan jumlah minyak
nabati karena rasa sosis jamur tiram didominasi oleh rasa khas
jamur tiram. Hasil pengujian ini sesuai dengan hasil pengujian yang
dilakukan oleh Rahardjo (2003) terhadap sosis jamur tiram, yakni
36
4. Analisa Keputusan
Keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk
memilih tindakan terbaik dari sejum;ah alternatif yang ada. Pengambilan
keputusan adalah proses yang mencakup semua pemikiran dan kegiatan
yang diperlukan guna membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik
tersebut (Siagian, 1990).
Berdasarkan hasil analisa sifat fisik dan analisa organoleptik
diperoleh jumlah penambahan minyak nabati terbaik, yaitu sebesar 44%
(b/b) dilihat dari segi warna, rasa, dan aroma serta memiliki tingkat
stabilitas emulsi yang paling baik (Tabel 10).
Tabel 10. Analisa Keputusan Penelitian Tahap I
Penambahan
Aroma Warna Kekenyalan Rasa
40% 0,110 78 5,00 4,43 4,52 5,33
Untuk penelitian tahap II, jumlah penambahan minyak yang
digunakan, yakni sebesar 44%. Menurut Tejopranoto (1988),
penambahan minyak nabati yang terlalu banyak atau terlalu sedikit
kurang disukai.
B. Penelitian Tahap II
1. Derajat Ketidakjenuhan Asam Lemak Sosis Jamur Tiram
Penelitian tahap II memberikan hasil analisis terkait pengaruh
jenis minyak nabati dan lama pengukusan terhadap kandungan asam
lemak sosis jamur tiram melalui analisa bilangan iod lemak sosis jamur
tiram.
Hasil analisis ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa terdapat
lama pengukusan terhadap derajat ketidakjenuhan asam lemak
(bilangan iod) sosis jamur tiram. Demikian juga pada masing-masing
faktor berpengaruh nyata (p0,05) terhadap jumlah bilangan iod sosis
tersebut. Rata-rata derajat ketidakjenuhan asam lemak (bilangan iod)
dengan perlakuan jenis minyak nabati dan lama pengukusan dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Nilai rata-rata derajat ketidakjenuhan sosis Jamur Tiram dengan perlakuan jenis minyak nabati dan lama pengukusan
Perlakuan Bilangan
Berdasarkan hasil analisis derajat ketidakjenuhan asam lemak
sosis jamur tiram (Gambar 9) diketahui bahwa sosis dengan
penambahan minyak goreng curah, minyak kelapa sawit, dan minyak
kedelai mengalami penurunan bilangan iod setelah mengalami
pengukusan selama 30 menit, 45 menit, dan 60 menit. Penurunan
bilangan iod ini menunjukkan bahwa kandungan asam lemak tak jenuh
pada sosis jamur tiram mengalami penurunan.
Dari hasil analisis derajat ketidakjenuhan asam lemak sosis
jamur tiram (Gambar 9), sosis jamur tiram dengan lama pengukusan 30
menit mengalami penurunan bilangan iod terbesar pada sosis jamur
tiram dengan penambahan minyak kedelai, yakni 25,98%, namun
bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai
masih lebih tinggi dari bilangan iod sosis dengan penambahan minyak
38
Gambar 9. Derajat ketidakjenuhan asam lemak sosis Jamur Tiram
Sosis jamur tiram dengan lama pengukusan 45 menit mengalami
penurunan bilangan iod terbesar pada sosis jamur tiram dengan
penambahan minyak kedelai, yakni 29,14%, namun bilangan iod sosis
jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai lebih rendah dari
bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kelapa sawit
dan lebih tinggi dari bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan
minyak goreng curah.
Sosis jamur tiram dengan lama pengukusan 60 menit mengalami
penurunan bilangan iod terbesar pada sosis jamur tiram dengan
penambahan minyak kedelai, yakni 30,95%, namun bilangan iod sosis
jamur tiram dengan penambahan minyak kedelai lebih rendah dari
bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan minyak kelapa sawit
dan lebih tinggi dari bilangan iod sosis jamur tiram dengan penambahan
minyak goreng curah.
Penurunan bilangan iod lemak sosis jamur tiram disebabkan oleh