• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wajah Pertanian Kontrak di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Wajah Pertanian Kontrak di Indonesia"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Wajah Pertanian Kontrak di Indonesia

oleh

Henky Widjaja

Pertanian kontrak bukanlah suatu hal yang baru di dalam sistem pertanian. Sistem ini telah ada sejak berabad-abad di berbagai peradaban di dunia. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa pertanian kontrak adalah awal dari modernisasi pertanian yang mensinergikan akses ke pendanaan, teknologi dan pasar, akan tetapi sejatinya sistem ini justru berkembang dan mengakar kuat di sistem pertanian tradisional atau subsistence farming terutama di wilayah-wilayah yang menganut hirarki feodal. Secara tradisional, pertanian kontrak diwujudkan dalam bentuk hubungan pemilik tanah-petani penggarap, pemilik ternak- penggaduh,punggawa-nelayan dan berbagai bentuk hirarkis lainnya (Lihat: Petani dalam Struktur Feodal).

Petani dalam Struktur Feodal

Pada sekitar pertengahan tahun 2002, penulis melakukan kunjungan lapangan ke sebuah desa yang terletak di wilayah perbatasan antara Kabupaten Bantaeng dan Bulumba di Sulawesi Selatan. Di wilayah yang sangat terkenal dengan karakter feodal ini, penulis melakukan wawancara dengan sejumlah keluarga petani sayuran yang

merupakan petani penggarap. Keluarga-keluarga tersebut sendiri merupakan penduduk asli di wilayah tersebut namun tidak memiliki lahan sendiri, termasuk tanah tempat rumah mereka didirikan. Rata-rata satu keluarga mengolah lahan seluas satu are yang dimiliki oleh seorang tuan tanah yang juga menjadi penyedia modal bagi kegiatan bertani mereka. Lama produksi tanaman sayuran mereka adalah sekitar 2-3 bulan, dan pada saat panen mereka hanya dibayar Rp. 100.000 untuk seluruh hasil panen yang dihasilkan. Setiap rumah tangga memiliki lebih dari satu mata pencaharian untuk mendukung kehidupan keluarga, dan umumnya merupakan buruh kasar atau tukang becak. Kegiatan pertanian sayuran ini dominan dilakukan oleh kaum perempuan yang ada di setiap rumah tangga. Ketika ditanya tentang kapan mereka akan memiliki lahan sendiri, termasuk kemungkinan membeli lahan yang diolah saat ini, mereka menjawab bahwa lahan tersebut tidak dijual dan telah dimiliki secara turun temurun oleh keluarga tuan tanah.

Wajah kemiskinan di ranah feodal bukanlah suatu hal yang baru, pengalaman yang sama juga penulis jumpai ketika bertugas di Sulawesi Tengah maupun ketika berkunjung ke wilayah NTT. Kantong-kantong kemiskinan di daerah ini umumnya berada di daerah yang memiliki kultur feodal, yang ditandai oleh kepemilikan lahan dalam jumlah masif oleh segelintir keluarga. Sejumlah lahan tersebut dibiarkan dalam keadaan terbengkalai, sementara lahan yang masuk kategori subur dipersewakan kepada petani penggarap secara turun temurun tanpa adanya aturan baku yang jelas – sistem yang berlaku bisa dikatakan sama sekali tidak tersentuh oleh peraturan hukum formal yang ada di Indonesia dan dianggap merupakan wilayah hukum adat.

(2)

hubungan yang bersifat hirarkis yang tentunya sangat berbeda dengan kenyataan praktik yang ada. Konsep kemitraan di dalam pengertian pertanian kontrak diaktualisasikan melalui ide untuk berbagi risiko di dalam hubungan kontraktual, yang menempatkan semua pihak yang terlibat pada posisi yang seimbang ketika menghadapi keuntungan maupun kerugian.

Pada konteks Indonesia, penerapan sistem pertanian kontrak secara formal untuk pertama kali adalah pada masa pelaksanaan sistem cultuur stelsel atau sistem tanam paksa pada abad ke-19, dimana pada masa itu para petani dipaksa untuk mengalokasikan sebagian lahannya untuk menanam tanaman komersial (cash crops) yang ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda, antara lain teh, kopi dan tebu, dan kemudian menjual hasil panen mereka kepada pihak pemerintah kolonial pada harga yang telah ditentukan. Selain lahan, petani juga diwajibkan untuk memberikan tenaganya, terutama bagi petani yang tidak memiliki lahan, untuk bekerja di lahan-lahan perkebunan yang dimiliki oleh pemerintah kolonial dengan kompensasi upah atau bagi hasil yang seringkali lebih merupakan bentuk kerja paksa atau rodi.

Gambar 1. Para petani dan pekerja paksa di era Cultuur Stelsel Sumber: http://www.schooltv.nl

Walaupun cultuur stelsel telah lama berakhir, akan tetapi praktik pertanian kontrak ala cultuur stelsel ini masih terus berlanjut melewati berbagai jaman hingga saat ini. Di jaman Indonesia yang merdeka, praktik pertanian kontrak modern sangat banyak terinspirasi oleh praktik yang berlaku pada masa cultuur stelsel. Kemerdekaan Indonesia yang dibarengi dengan nasionalisasi berbagai perusahaan perkebunan besar yang dimiliki oleh pengusaha-pengusaha asing – hal yang sama juga terjadi pasca 1965 – membuat negara memiliki lahan perkebunan berskala besar yang dikelola oleh PTPN. Momentum kemerdekaan oleh pemerintah tidak digunakan untuk memerdekakan para petani dan buruh tani yang secara turun temurun berada di bawah sistem pertanian kontrak yang tidak seimbang, melainkan memutuskan untuk melanjutkan sistem yang telah berlangsung sejak lama. Para petani masih tetap diikat dengan sistem dan praktik yang tidak berbeda walaupun di bawah manajemen yang baru. Perbedaan, kalaupun terjadi, hanyalah berupa perubahan status petani yang tidak lagi sebagai pekerja yang digaji tetapi petani yang diberikan lahan untuk diolah berdasarkan kontrak yang mengikat. Petani tebu, misalnya, tetap menjadi petani tebu di lahan yang dikuasai oleh negara dan tidak

(3)

Hal lain yang juga merupakan kelanjutan dari praktik cultuur stelsel di jaman kolonial adalah mobilisasi tenaga kerja ke wilayah-wilayah perkebunan melalui program transmigrasi. Harus diakui bahwa pada praktik pertanian kontrak modern di Indonesia, pelaksanaan program transmigrasi dan pertanian kontrak ibarat dua buah sisi koin yang saling berdampingan. Apabila di masa kolonial program

transmigrasi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah bagi perkebunan-perkebunan, maka hal yang sama masih terjadi pada saat ini, terutama di wilayah-wilayah yang baru dikembangkan. Pada rentan tahun 70-90 an, jutaan penduduk Indonesia dipindahkan dari wilayah-wilayah padat di Jawa dan Bali ke wilayah lainnya yang di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, dimana sebagian besar berlokasi di wilayah pengembangan perkebunan dan pertambakan. Di dalam desain program transmigrasi, para transmigran umumnya dipindahkan ke lokasi dimana terdapat rencana

pengembangan perkebunan dan pertambakan (atau jenis usaha lainnya) yang dikelola oleh pemerintah (PTPN) maupun swasta yang membutuhkan tenaga kerja atau pemasok. Sinergi antara pihak pengusaha / investor dengan para transmigran diharapkan dapat menjamin pengembangan dan keberlangsungan penghidupan para transmigran di wilayah baru tersebut.

Di dalam program transmigrasi, para transmigran mendapat alokasi lahan baru (1-2 ha per kepala keluarga) yang berupa lahan mentah (hutan belantara) yang masih harus dibersihkan dan diolah sebelum bisa digunakan untuk bercocok tanam. Seringkali, lokasi tersebut merupakan lokasi yang sama yang menjadi konsesi pihak investor (misalnya perkebunan kelapa sawit), sehingga secara otomatis petani ‘ditawarkan’ untuk masuk ke dalam program perkebunan milik investor. Keuntungan yang ditawarkan kepada petani antara lain adalah pemberian jaminan hidup dasar bulanan (pangan dan sandang serta pembayaran uang tunjangan), penyediaan saprodi – pembayaran diperhitungkan ketika tanaman mulai berproduksi, dan kontrak pembelian yang merupakan ‘jaminan pasar’ (ketiga hal ini secara sempit juga berlaku pada sistem pertanian kontrak tradisional). Tentunya, investor juga memperoleh keuntungan dari pengikatan petani ini, antara lain memperoleh lahan perkebunan tanpa perlu memiliki lahan, penghematan biaya buruh di awal kegiatan – terutama untuk pembersihan dan persiapan lahan, investor tidak terikat dalam kontrak kerja dengan para petani melainkan kontrak pembelian yang membebaskan investor dari kerumitan persoalan hubungan kerja, dan kebebasan untuk mengatur besar pasokan tanpa harus menanggung biaya persediaan. Bahkan pada sejumlah kasus ditemukan adanya peralihan penguasaan lahan dari petani ke investor melalui ketentuan yang mengharuskan petani menjaminkan lahannya kepada pihak investor jika ingin ikut di dalam sistem pertanian kontrak –banyak kasus pertanian kontrak gagal yang melibatkan penggelapan lahan milik petani oleh investor, antara lain dengan cara penggunaan sertifikat lahan petani sebagai agunan kredit bank yang kemudian macet atau pelaksanaan praktik pertanian kontrak yang tidak menguntungkan bagi petani sehingga petani terbelit dalam utang saprodi atau kredit produksi dan terpaksa kehilangan lahan yang dijaminkan.

Bagi para transmigran, keikutsertaan mereka di dalam sistem pertanian kontrak yang ditawarkan oleh investor seringkali akibat tidak adanya pilihan lain. Umumnya para transmigran hanya memperoleh jaminan hidup bulanan untuk periode waktu yang terbatas dari pemerintah, dan menghadapi

permasalahan ketiadaan prasarana pendukung dan akses yang sangat terbatas ke permodalan, sarana produksi, pasar, teknologi dan pelayanan-pelayanan dasar akibat lokasi transmigrasi yang terpencil, sehingga memaksa mereka untuk mengambil langkah strategis untuk keberlangsungan hidup mereka. Sistem pertanian kontrak menjanjikan banyak hal di tengah keterbatasan yang mereka alami, walaupun pada praktiknya hubungan antara petani dan investor cenderung tidak simetris atau seimbang.

(4)

satu-satunya pasar atau pembeli di lokasi tersebut, atau satu-satu-satunya penyedia/penyalur akses kepada petani yang memberi kuasa monopoli di dalam menentukan produktifitas maupun profitabilitas.

Gambar 2. Perkebunan kelapa sawit dan aksi penolakan terhadap perkebunan kelapa sawit. Sumber: http://walhikaltim.org

Secara anekdotal, berbagai program pertanian kontrak yang dikembangkan oleh pemerintah, antara lain Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang merupakan perwujudan dari model inti plasma lebih dipandang sebagai keberpihakan pemerintah kepada pemilik modal daripada kepada petani, dan bahkan dianggap sebagai penyesatan dari model kemitraan swasta dan petani yang selama ini selalu didengungkan oleh pemerintah. Tudingan tentang keberpihakan pemerintah kepada pemilik modal utamanya didasarkan pada lemahnya dukungan pemerintah kepada para petani – terutama untuk kasus transmigrasi – yang membuat petani terperangkap di dalam keterbatasan dan tidak memiliki posisi yang seimbang ketika memasuki kesepakatan kontrak dengan pihak pemilik modal. Belum lagi kecenderungan pemerintah yang lebih mendukung pemilik modal daripada petani baik dari segi kebijakan maupun tindakan (Lihat: Pertanian Kontrak di Era Otonomi).

Pertanian Kontrak di Era Otonomi

Pelaksanaan otonomi yang sangat identik dengan kemandirian membuat pemerintah daerah cenderung mendukung pihak swasta yang diyakini bisa mendorong proses kemandirian serta berpotensi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Terlebih, banyak pemerintah daerah yang ‘terjebak’ pada jargon pengembangan komoditas unggulan, pengwilayahan komoditas dan lain sebagainya, yang intinya mendorong pemerintah daerah untuk memprioritaskan spesialisasi produksi komoditas tertentu, dan dalam hal ini proses prioritisasi dan

mobilisasi sangatlah kuat. Akan tetapi seringkali praktik yang dilakukan oleh pemerintah menjadi kebablasan, salah satu contoh kasus adalah mobilisasi petani jambu mete di Tana Modu, Kabupaten Sumba Tengah, NTT (2005) untuk menanam jarak pagar sebagai bagian dari kerjasama pemerintah daerah dengan sebuah investor. Pemerintah daerah mewajibkan petani untuk membabat habis pohon jambu mete mereka untuk digantikan dengan tanaman jarak. Akan tetapi dua tahun kemudian, ketika tanaman jarak telah berproduksi ternyata harga pembelian dari investor maupun pasar sangat rendah dibandingkan dengan biaya produksi dan ópportunity cost yang telah dikorbankan oleh petani. Tidak ada pihak yang bertanggungjawab atas hal ini dan petani di daerah ini semakin terbelit oleh jeratan kemiskinan.

(5)

Hingga saat ini tidak banyak contoh berhasil dari pelaksanaan sistem pertanian kontrak di Indonesia. Umumnya perusahaan melihat perjanjian kontrak yang dilakukan tidak lebih dari sekedar kontrak pembelian atau kontrak kerja dimana perusahaan perkebunan yang memiliki hak konsesi cenderung melihat petani yang bekerja di wilayah konsesinya sebagai buruh, walaupun pada kenyataannya para petani tersebut merupakan pemilik dari lahan yang dikelola. Pemberian konsesi kepada pihak

perusahaan seringkali rancu diartikan sebagai pemberian hak penguasaan dan penggunaan lahan. UU agraria maupun UU transmigrasi yang memiliki persinggungan langsung dengan pelaksanaan pertanian kontrak masih belum memberikan pengaturan yang jelas tentang status para transmigran dan

kepemilikan lahan. Kondisi lahan yang mentah dan belum bersertifikat seringkali menjadi awal bagi transmigran untuk kehilangan lahan ketika berhadapan dengan status konsesi yang dimiliki oleh pihak investor.

Ketiadaan landasan hukum yang mengatur serta mengeliminir setiap celah peluang eksploitasi dan penyelewengan di dalam pelaksanaan sistem pertanian kontrak di Indonesia membuat banyak praktik pertanian kontrak berakhir menjadi praktik yang sangat merugikan bagi para petani. Secara spesifik belum ada perundangan khusus maupun perundangan terkait yang mengatur perihal pertanian kontrak dan implikasinya. Pengaturan oleh pemerintah tentang pelaksanaan pertanian kontrak lebih banyak didasarkan pada ‘pakem’ yang telah berlaku – yang kurang lebih didasarkan pada praktik cultuur stelsel dan praktik sewa tanah feodaldanbelum mengacu pada perkembangan sistem pertanian modern sehingga bentuk hubungan yang terdapat di dalam skema pertanian kontrak cenderung tidak bernuansa kemitraan tetapi lebih bersifat hirarkis dan tidak seimbang.

Gambar

Gambar 1. Para petani dan pekerja paksa di era Cultuur Stelsel Sumber: http://www.schooltv.nl
Gambar 2. Perkebunan kelapa sawit dan aksi penolakan terhadap perkebunan kelapa sawit

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi dengan judul “ Analisis Hubungan

Seiring dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, banyak sekali perusahaan- perusahaan yang memanfaatkan teknologi untuk memperbaiki sistem penjualan dan

Dengan pembagian tersebut, apabila kita merujuk pada konsep perpustakaan digital dari Safaddy, maka konsep perpustakaan hibrida dari Rolands dan Bawden cocok

Berdasarkan hasil analisis deskripsi frekuensi perolehan siswa terhadap daftar cek list mengenai angket lingkungan sosial, pada faktor lingkungan sosial ini terdiri

Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa kelas jalan merupakan salah satu faktor yang memperngaruhi aksesibilitas, dimana semakin tinggi kelas jalan, maka akan

• Proposal disusun sesuai panduan, namun ada beberapa hal yang perlu dilengkapi: Rencana Target Capaian artikel ilmiah dimuat di Jurnal Internasional Terindeks

Pemimpin pada saat ini memiliki kebijaksanaan untuk merespon pemain lain yang ingin memberikan contoh tambahan dalam hidup mereka ketika mereka merasa marah, atau

– Memberi penjelasan tentang distribusi chi kuadrat, tujuan dan penggunaan uji chi kuadrat pada kondisi atau kasus yang tepat Tujuan Instruksional KhususB. Mahasiswa