• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Akne Vulgaris secara Umum 2.1.1.Definisi Akne Vulgaris - Faktor Risiko Akne Vulgaris di Kalangan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2009, 2010, dan 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Akne Vulgaris secara Umum 2.1.1.Definisi Akne Vulgaris - Faktor Risiko Akne Vulgaris di Kalangan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2009, 2010, dan 2011"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Akne Vulgaris secara Umum

2.1.1.Definisi Akne Vulgaris

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea

yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri

(Wasitaatmadja, 2008). Walaupun akne bisa sembuh sendiri, sekuelnya bisa

berlangsung seumur hidup, dengan pembentukan parut yang berlubang atau

hipertropi (Zaenglein, 2008).

Hampir semua orang pernah menderita penyakit ini (Wasitaatmadja,

2008). Umumnya insidens terjadi pada sekitar umur 14–17 tahun pada perempuan

dan 16-19 tahun pada laki-laki (Wasitaatmadja, 2001). Akne derajat ringan

terkadang tampak pada kelahiran, mungkin hasil dari stimulasi androgen, dan

dapat berlanjut pada periode neonatal (Zaenglein, 2008). Penyakit ini sering

menjadi manifestasi awal pada spekrum pubertas, dan setahun sebelum menarke

pada usia dewasa muda (Soter, 1984).

Setelah masa remaja kelainan ini berangsung berkurang (Wasitaatmadja,

2008). Namun, pada wanita akne dapat menetap sampai dekade 30 atau bahkan

lebih (Soter, 1984). Meskipun pada pria umumnya akne vulgaris lebih cepat

berkurang, justru gejala yang berat biasanya terjadi pada pria (Wasitaatmadja,

2008).

Diketahui pula bahwa ras Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih jarang

menderita akne vulgaris dibandingkan dengan ras Kaukasia (Eropa, Amerika), dan

lebih sering terjadi nodulo-kistik pada kulit putih daripada negro (Wasitaatmadja,

2008). Pada penelitian, ditemukan bahwa akne lebih berat pada pasien bergenotip

XYY (Zaenglein, 2008).

2.1.2. Etiologi dan Patogenesis

Penyebab akne tidak diketahui, namun ada informasi yang berkaitan

(2)

mengenai berbagai faktor yang termasuk dalam penyakit ini penting karena

penatalaksanaan mungkin ditujukan pada satu atau lebih faktor penyebab ini

(Soter, 1984). Diyakini bahwa penyebab akne adalah sekresi berlebihan dari

kelenjar sebaseus dengan penyumbatan duktus pilosebaseus dan infeksi bakteri

(Pasricha, 2002).

Kelenjar sebasea terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali di

telapak tangan dan kaki. Kelenjar ini disebut juga kelenjar holokrin karena tidak

berlumen dan sekret kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar.

Kelenjar ini biasanya terdapat di samping akar rambut dan muaranya terdapat

pada lumen akar rambut. Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas,

skualen, wax ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon androgen,

pada anak-anak jumlah kelenjar ini sedikit, pada pubertas menjadi lebih besar dan

banyak serta mulai berfungsi secara aktif (Wasitaatmadja, 2008).

Ada empat faktor patogenesis yang diajukan, yaitu perubahan pola

keratinisasi dalam folikel, peningkatan produksi sebum yang menyebabkan

peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik, terbentuknya fraksi asam

lemak bebas penyebab terjadinya inflamasi dan kekentalan sebum, dan

peningkatan jumlah flora folikel yang berperan dalam kemotaksis inflamasi

(Wasitaatmadja, 2001).

Akne berkembang dalam folikel sebaseus. Folikel-folikel ini terbuka ke

permukaan dengan lubang folikular berdilatasi besar yang dinamakan pori-pori

kulit wajah. Kanal folikular mengandung bahan keratin dan dinding kanal, sebum

dari kelenjar sebaseus, dan bermacam flora mikroba. Semua ini berperan dalam

patogenesis penyakit (Soter, 1984).

Perubahan awal yang terjadi adalah deskuamasi korneum pada folikel

sebaseus yang menyebabkan pembentukan plak (Fleischer, 2000). Terjadi

perubahan pola keratinisasi di infrainfundibulum (Soter, 1984). Tidak diketahui

penyebab hiperproliferasi keratinosit. Namun, ada beberapa faktor yang memicu

hiperproliferasi keratinosit, antara lain: stimulasi androgen, penurunan asam

linoleat, dan peningkatan aktivitas interleukin-1α. Hormon androgen mungkin

(3)

Proliferasi keratinosit folikular juga mungkin diatur oleh asam linoleat. Diketahui

bahwa terjadi penurunan asam linoleat pada penderita akne. IL-1 juga berperan

dalam hiperproliferasi keratinosit. Keratinosit folikular manusia menunjukkan

hiperproliferasi dan pambentukan mikrokomedo saat IL-1 ditambahkan,

sedangkan reseptor antagonis IL-1 menghambat pembentukan mikrokomedo

(Zaenglein, 2008).

Hiperproliferasi epidermal folikular menghasilkan pembentukan lesi

primer, yaitu mikrokomedo (Zaenglein, 2008). Normalnya, keratinous squamae di

kanal folikular tersusun jarang. Pada lesi awal yang berupa mikrokomedo, bahan

keratin menjadi lebih padat. Sel mikrokomedo lebih koheren dan mengandung

bahan amorfik, yang mungkin terbentuk dari lipid selama proses keratinisasi

(Soter, 1984). Sel ini berlebihan dan melekat sehingga menghasilkan plak di

lubang folikular. Plak ini kemudian menyebabkan konsentrasi keratin, sebum, dan

bakteri terkumpul di dalam folikel. Konsentrasi yang terbungkus ini menyebabkan

dilatasi folikel rambut atas (Zaenglein, 2008). Jika muncul dalam waktu yang

lama, plak dapat menjadi komedo (Fleischer, 2000). Komedo adalah massa

abnormal keratin dan sebum di dalam lubang folikular yang membesar. Komedo

membesar sampai titik dimana paksaan mekanik sederhana mampu

menghancurkan dinding epidermal folikular, membiarkan keratin dan sebum

masuk ke korium sebagai benda asing. Ini menghasilkan folikulitis dalam

keparahan yang beragam, mulai dari area eritem sampai lesi papulopustular

purulen. (Pillsburry, 1960).

Hal kedua yang berperan dalam patogenesis akne adalah produksi sebum

yang berlebihan pada kelenjar sebaseus (Zaenglein, 2008). Pasien akne biasanya

memiliki kelenjar sebaseus yang lebih besar dan memproduksi lebih banyak

sebum daripada orang tanpa akne. Namun, pasien dengan kulit yang sangat kering

juga mungkin bisa memiliki akne (Fleischer, 2000). Pada suatu kelompok,

didapati pula bahwa pasien dengan akne memproduksi lebih banyak sebum

daripada orang normal, dan pasien dengan akne berat memproduksi lebih banyak

sebum daripada yang memiliki akne sedang. Namun, ada perbedaan produksi

(4)

penyakit ini tidak hanya berkaitan dengan aktivitas kelenjar sebaseus (Soter,

1984).

Trigliserida, yang merupakan komponen pembentuk sebum, berperan

dalam patogenesis akne. Trigliserida diuraikan menjadi asam lemak bebas oleh P.

acnes, flora normal yang terdapat di unit pilosebaseus. Asam lemak bebas ini

mengawali kolonisasi P. acnes, menyebabkan inflamasi, dan bisa menjadi

komedogenik. Hormon androgen juga berpengaruh dalam produksi sebum. Sama

seperti aksinya di keratinosit infundibular folikular, hormon androgen berikatan

dan mempengaruhi aktivitas sebosit. Pasien akne memiliki tingkat androgen yang

lebih tinggi daripada yang tidak menderita akne. 5α-reductase, enzim yang

bertanggung jawab mengubah testosteron menjadi DHT yang poten, memiliki

aktivitas paling besar di area yang rentan terjadi akne, seperti wajah, leher, dan

punggung (Zaenglein, 2008).

Ada banyak fakta yang menunjukkan bahwa sebum berperan dalam

patogenesis penyakit ini, antara lain: sebum itu komedogenik, sebum

menyebabkan inflamasi ketika disuntikkan ke dalam kulit, akne muncul pada

masa neonatal ketika kelenjar sebaseus berkembang dengan baik, akne muncul

sebagai bagian dari spektrum pubertal pada saat perkembangan kelenjar sebaseus

muncul, dan akne bisa dikontrol dengan estrogen dan x-ray, yang dapat

menghambat kelenjar sebaseus (Soter, 1984).

Beberapa penelitian menunjukkan sebum dari pasien akne berbeda dari

individu normal. Umumnya, tidak ada pola perubahan tetap yang telah diteliti.

Namun, ditunjukkan bahwa ada penurunan yang signifikan pada level asam

linoleat dalam sebum. Normalnya, terdapat kurang dari 1 persen asam linoleat di

lipid permukaan kulit. Penurunan jumlah asam lemak esensial ini mungkin terlibat

dalam penyakit ini (Soter, 1984). Jumlah asam linoleat dapat menjadi normal

setelah penatalaksanaan dengan isotretinoin. Level subnormal asam linoleat dapat

menginduksi hiperproliferasi keratinosit folikular dan menyebabkan sitokin

pro-inflamatorik. Diperkirakan juga bahwa jumlah asam linoleat yang dihasilkan pada

penderita akne sebenarnya dalam kadar yang normal, tetapi terlarut oleh produksi

(5)

Selanjutnya, yang berperan dalam patogenesis akne adalah proses

inflamasi. Pada saat pertumbuhan bakteri sekunder muncul di komedo, folikular

yang ruptur dapat membiarkan bakteri masuk ke lapisan dermis, menyebabkan

perubahan inflamatorik yang lebih parah (Pillsbury, 1960). Tipe sel predominan

dalam 24 jam dari rupturnya komedo adalah limfosit. CD4+ limfosit ditemukan di

sekitar unit pilosebaseus dimana sel CD8+ ditemukan di perivaskular. Satu atau

dua hari setelah ruptur komedo, neutrofil menjadi tipe sel predominan yang

mengelilingi mikrokomedo yang pecah (Zaenglein, 2008).

Awalnya diperkirakan bahwa inflamasi mengikuti pembentukan komedo,

tetapi ada bukti baru bahwa mungkin inflamasi dermal yang sebenarnya

mengawali pembentukan komedo. Biopsi yang diambil dari kulit bebas komedo

dan rentan akne, menunjukkan peningkatan inflamasi dibandingkan kulit normal.

Biopsi dari komedo yang baru terbentuk menunjukkan inflamasi yang bahkan

lebih besar. Dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut mengenai kejadian ini

(Zaenglein, 2008).

Elemen terakhir dalam patogenesis akne adalah Propriobacterium acnes,

yang juga berperan dalam proses inflamasi (Zaenglein, 2008). Organisme

predominan pada flora folikular adalah Propriobacterium acnes. Pada usia 11

sampai 15 tahun, tidak ditemukan P. acnes pada pasien tanpa akne, sedangkan

pada pasien akne ditemukan 114.800 P. acnes per cm2. Perbedaan yang serupa

ditemukan pada grup usia 16 sampai 20 tahun, tetapi pada individu yang lebih tua

jumlah organisme sama pada pasien dengan atau tanpa akne (Soter, 1984). Pasien

dengan akne berat memiliki titer antibodi yang paling tinggi. Antibodi

antipropionibacterium memperparah respon inflamasi dengan cara mengaktifkan

komplemen, yang kemudian mengawali kejadian pro-inflamatorik (Zaenglein,

2008).

P. acnes juga menyebabkan inflamasi dengan merangsang respon

hipersensitifitas tipe lambat dan dengan produksi enzim lipase, protease,

hialuronidase, dan faktor kemotaktik. Selain itu, P. acnes diketahui merangsang

upregulation dari sitokin dengan berikatan pada Toll-like receptor 2 pada monosit

(6)

dengan Toll-like receptor 2, sitokin pro-inflamatorik seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan

faktor nekrosis tumor-α dilepaskan (Zaenglein, 2008). Walaupun stafilokokus,

mikrokokus, dan jamur juga ditemukan di folikel, tidak ada bukti bahwa mereka

berperan dalam proses terjadinya akne (Soter, 1984).

Keempat elemen dari patogenesis akne tersebut merupakan langkah yang

terjalin dalam pembentukan akne. Bermacam penatalaksanaan akne tertuju pada

elemen yang berbeda dalam patogenesis akne. Dengan mengerti mekanisme aksi

pilihan penatalaksanaan dalam merawat akne akan membantu meyakinkan hasil

terapeutik yang lebih baik (Zaenglein, 2008).

2.1.3. Manifestasi Klinis

Tempat awal predileksi akne adalah wajah, leher, lalu ke punggung, dada,

dan bahu. Di tubuh, lesi lebih banyak di dekat garis tengah. Akne merupakan

penyakit yang muncul dengan lesi noninflamatorik dan inflamatorik. (Soter,

1984). Lesi berupa komedo terbuka, komedo tertutup, pustul, papul eritematosus,

dan nodul yang lebih dalam (Fleischer, 2000). Pada pasien dengan satu tipe lesi

yang lebih banyak, pengamatan yang lebih dekat biasanya menunjukkan beberapa

tipe lesi (Soter, 1984).

Perubahan patologi dasar pada akne adalah penutupan lubang folikular

oleh campuran keratin intrafolikular dan sebum. Ini dengan jelas tampak sebagai

komedo (Pillsbury, 1960). Komedo merupakan lesi yang inflamatorik. Komedo

tertutup atau whiteheads mungkin sulit untuk dilihat karena muncul sebagai papul

yang pucat, naik sedikit, dan kecil, serta biasanya tidak memiliki lubang yang

terlihat secara klinis. Melebarkan kulit adalah cara untuk dapat melihat lesi ini.

Karena komedo tertutup adalah prekursor untuk lesi inflamatorik yang besar, ini

penting untuk dipertimbangkan secara klinis (Soter, 1984).

Komedo terbuka atau blackheads berkembang dari komedo tertutup yang

lubangnya membesar. Komedo terbuka tampak datar atau sedikit naik oleh

tekanan folikular tengah (Soter, 1984). Warna hitam di atas komedo adalah akibat

dari perubahan kimia pada debris keratin dan bukan kotoran yang melekat

(7)

tidak khas untuk penyakit ini sebab mereka mungkin bisa tampak pada kondisi

lainnya, seperti komedo senil yang sering tampak pada area periorbital pada orang

tua (Soter, 1984).

Lesi inflamatorik pada akne bervariasi mulai dari papul dengan areola

inflamatorik pustul, hingga nodul yang besar, sakit, dan bernanah. Semua lesi ini

menunjukkan inflitrat inflamatorik di dermis, dan memiliki patogenesis umum;

penampilannya tergantung pada ukuran dan lokasi infiltrat (Soter, 1984).

Gradasi yang menunjukkan berat ringannya penyakit diperlukan bagi

pilihan penatalaksanaan. Ada berbagai pola pembagian gradasi penyakit akne

vulgaris yang dikemukakan (Wasitaatmadja, 2001).

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia (FKUI)/ RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) membaginya

menjadi tiga tingkat, yaitu ringan, sedang, dan berat (Wasitaatmadja, 2001).

Terdapat 4 gradasi jerawat menurut Pillsbury (1963), yaitu :

1. Komedo di muka

2. Komedo, papul, pustul, dan peradangan lebih dalam di muka

3. Komedo, papul, pustul, dan peradangan lebih dalam di muka, dada, dan

punggung.

4. Akne konglobata.

Frank (1970):

1. Akne komedonal non-inflamatoar

2. Akne komedonal inflamatoar

3. Akne papular

4. Akne papulo pustular

5. Akne agak berat

6. Akne berat

7. Akne nodulo kistik/ konglobata

Burke dan Cunliffe (1984):

1. Akne minor yang terdiri atas gradasi ¼, ½, ¾.

(8)

Plewig dan Kligman (1975):

1. Komedonal yang terdiri atas gradasi:

a. bila ada kurang dari 10 komedo dari satu sisi muka

b. bila ada 10 samapi 24 komedo

c. bila ada 25 sampai 50 komedo

d. bila ada lebih dari 50 komedo

2. Papulopustul, yang terdiri atas 4 gradasi:

a. bila ada kurang dari 10 lesi papulopustul dari satu sisi muka

b. bila ada 10 sampai 20 lesi papulopustul

c. bila ada 21 sampai 30 lesi papulopustul

d. bila ada lebih dari 30 lesi papulopustul

3. Konglobata

2.1.4. Faktor Risiko

Ada banyak faktor yang memicu terjadinya akne (Wasitaatmadja, 2001).

Faktor yang penting peranannya dalam pembentukan akne adalah keturunan,

keseimbangan hormon, makanan, dan kebersihan. (Sauer, 1985). Penggunaan

kosmetik yang salah juga merupakan faktor yang memicu terjadinya akne

(Wasitaatmadja, 2001). Faktor keturunan dan keseimbangan hormon merupakan

faktor tak terkontrol, sedangkan faktor makanan, kebersihan, dan penggunaan

kosmetik merupakan faktor terkontrol.

Faktor genetik merupakan penyebab akne yang paling penting. Satu atau

kedua orangtua biasanya terkena akne. Faktor ini muncul sebagai pemicu kelenjar

pilosebaseus untuk bereaksi dalam cara yang selektif pada perangsangan hormon

(Wilkinson, 1969).

Perubahan hormon testosteron dan progesteron pada usia dewasa dapat

mempengaruhi ukuran dan aktivitas kelenjar sebaseus (Wilkinson, 1969).

Stimulasi androgenik penting baik pada pria maupun wanita karena berhubungan

dengan sekresi kelenjar sebaseus. Pengaruh hormonal lainnya mungkin

memainkan peran; wanita sering memiliki eksaserbasi aktivitas akne pada masa

(9)

folikular untuk merangsang hiperproliferasi. Dihydrotestosterone (DHT)

merupakan androgen poten yang berperan dalam mekanisme akne. Enzim yang

bertanggung jawab dalam pengubahan dehydroepiandrosterone sulfate menjadi

DHT adalah 17β-hydroxysteroi ddehydrogenase dan 5α-reductase. DHT bisa

menstimulasi proliferasi keratinosit (Zaenglein, 2008). Selain itu, kelenjar adrenal

juga berperan dalam produksi akne; mekanismenya tidak jelas, tetapi akne muncul

pada orang yang dipicu dengan kortikosteroid dosis tinggi. Kecemasan, stres,

tekanan emosi, dan kelemahan memiliki efek pasti pada penyebab akne

(Wilkinson, 1969). Dalam kondisi stres, terjadi pengeluaran hormon adrenalin

dalam tubuh yang merangsang keluarnya zat-zat lain yang pada akhirnya

mempengaruhi aliran darah sehingga muncul gejala-gejala fisik seperti akne

vulgaris (Perumal, 2011). Emosi berperan pada akne akut, tetapi tidak pada akne

kronik (Fleischer, 2000).

Peran estrogen pada produksi sebum tidak ditentukan dengan baik. Dosis

estrogen yang dibutuhkan untuk menurunkan produksi sebum lebih besar daripada

yang dibutuhkan untuk menghambat ovulasi. Mekanisme yang memungkinkan

peranan estrogen, antara lain: (1) secara langsung melawan efek androgen dalam

folikel sebaseus; (2) menghambat produksi androgen dari jaringan gonad melalui

feedback negatif pada pelepasan gonadotropin hipofisis; (3) mengatur gen yang

menekan pertumbuhan kelenjar sebaseus dan produksi lipid (Zaenglein, 2008).

Makanan umumnya tidak mempengaruhi akne, dengan pengecualian pada

coklat dan lemak (Wilkinson, 1969). Makanan yang diduga sebagai faktor pemicu

terjadinya akne adalah makanan dengan kadar lemak tinggi, karbohidrat, dan

jumlah kalori tinggi. Pengguaan obat tertentu dan minuman keras juga diduga

berperan (Wasitaatmadja, 2001). Obat seperti bromida dan ionida memproduksi

erupsi akne tanpa blackheads. Isonicotinic acid hydrazide juga memicu erupsi

akne (Wilkinson, 1969).

Kebersihan sangat penting dalam penatalaksanaan akne (Zaenglein, 2008).

Membersihkan wajah dua kali sehari dengan air dan sabun yang lembut dapat

mengurangi minyak yang berlebihan dan mengangkat sel kulit mati. Banyak orang

(10)

hanya membersihkan saja tidak akan mengatasinya. Di lain pihak, membersihkan

wajah secara berlebihan dengan produk-produk seperti alkohol-based cleanser

dan scrub dapat mengiritasi kulit lebih jauh dan memperparah akne vulgaris.

Berdasarkan data hasil penelitian, didapatkan responden yang menderita akne

vulgaris dengan frekuensi membersihkan wajah berhubungan linier dimana makin

sering wajah dibersihkan makin rendah angka kejadian akne vulgaris, yang

membersihkan wajah lebih dari 3 kali perhari angka kejadian akne hanya 2%

(Tjekyan, 2008).

Bahan-bahan kimia yang ada dalam kosmetik dapat langsung

menyebabkan akne vulgaris. Biasanya kosmetik ini menyebabkan akne dalam

bentuk ringan terutama komedo tertutup dengan beberapa lesi papulopustul di

daerah pipi dan dagu. Dari penelitian yang sudah ada, didapati angka kejadian

akne vulgaris pada kelompok yang menggunakan kosmetika mencapai sepuluh

kali lipat lebih banyak daripada responden yang tidak menggunakan kosmetik

(Tjekyan, 2009).

2.1.5. Penatalaksanaan

Pemahaman mengenai keempat elemen patogenesis akne penting dalam

prinsip terapeutik. Mekanisme aksi penatalaksanaan akne yang paling sering bisa

dikelompokkan dalam kategori berikut ini: (1) perbaiki pola keratinisasi folikular

yang berubah; (2) turunkan aktivitas kelenjar sebaseus; (3) turunkan populasi

bakteri folikular, P. acnes; dan (4) menggunakan efek anti-inflamatorik.

Penatalaksanaan pasien akne dengan pengetahuan mengenai patogenesis akne dan

mekanisme aksi penatalaksanaan akne yang ada, meyakinkan respon terapeutik

yang maksimal. Sering kali, penatalaksanaan multipel digunakan dalam

kombinasi yang melawan banyak faktor dalam patogenesis akne (Zaenglein,

2008).

Penatalaksanaan akne vulgaris mencakup tindakan medis dan non medis

(Julianto, 2005). Pemilihan penatalaksanaan dapat dilakukan berdasarkan derajat

penyakit. Pada tingkat penyakit ringan, penatalaksanaan cukup dilakukan dengan

(11)

topikal dan sistemik. Pada tingkat penyakit berat, harus diberikan penatalaksanaan

topikal dan sistemik (Wasitaatmadja, 2001).

Kombinasi dari beberapa cara pengobatan sangat diperlukan, dengan

tujuan menemukan sekresi kelenjar sebasea (sebosupresi), keratolisis pada intra

infundibulum, mengurangi jumlah jasad renik dengan antibiotika, dan mencegah

timbulnya jaringan parut (Julianto, 2005).

Penatalaksanaan topikal berupa bahan-bahan yang dapat mengadakan

pengelupasan kulit seperti benzoyl peroxide, asam retinoat, dan asam azaleat.

Selain itu, ada pula bahan topikal antibiotika, seperti klindamisin, eritromisin,

kloramphenikol, neomisin, dan tetrasiklin. Kadang-kadang, bahan topikal steroid

yang ringan seperti hidrokortison 1% diperlukan untuk mengurangi efek iritasi

yang ditimbulkan oleh tretinoin, juga untuk menekan lesi yang bersifat nodulo

kistik dan granulasi. Hanya saja, sebaiknya tidak digunakan lebih dari seminggu,

oleh karena efek komedogenik dari kortikosteroid (Julianto, 2005).

Antioksidan juga penting dalam pengobatan penyakit kulit. Selain

memiliki efek anti inflamasi, antioksidan dapat mencegah oksidasi sebum yang

terbukti komedogenik pada pasien akne. Sodium L- ascorbyl-2-phospate (APS)

merupakan turunan vitamin C stabil dan merupakan antioksidan efektif tinggi.

Dari penelitian didapati bahwa Sodium L- ascorbyl-2-phospate 5% efektif sebagai

terapi tunggal dalam pengobatan akne (Woolery-lioyd, 2010).

Penatalaksanaan sistemik berupa oral antibiotika, seperti tetrasiklin,

doksisiklin, minoksiklin, eritromisin, empisilin, linkomisin, dan klindamisin. Ada

pula terapi hormon dengan menggunakan kortikosteroid, cyproterone acetate,

estrogen dan pil kontraseptik. Terapi oral lainnya berupa vitamin A dan tretinoin

(Julianto, 2005).

Tindakan khusus yang dapat dilakukan adalah ekstraksi komedo, insisi

dan drainase, eksisi, krioterapi, peeling, dan laser. Pengobatan acne scar berupa

bowl-shaped atropic scars, dermabrasi pada keloid, injeksi triam cilicone pada

hipertropi, dan sinar laser pada sikatrik (Julianto, 2005).

Ada pula terapi sinar biru yang telah diteliti keamanan dan efikasinya.

(12)

nm dalam medium daya dalam area yang disinai dari jarak 40-40 mW/cm2.

Panjang sinar ini efisien untuk fotostimulasi dari porfirin, yang disediakan oleh

penelitian in vitro dan in vivo. Penetrasi dari sinar ini kira-kira 1 mm ke dalam

kulit, dan ia mencapai P.acne yang di permukaan dalam di dalam salurannya.

Pasien menerima proteksi dengan kacamata renang lensa gelap Speedo selama

sesi. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa pengobatan sinar biru seefektif

benzoil peroksida untuk mengurangi jumlah akne derajat II dan III dan memiliki

efek samping yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan benzoil peroksida

dalam isolasi. Fakta ini mengkonfirmasi bahwa sinar biru merupakan pilihan

pengobatan, khususnya untuk pasien dengan kontraindikasi terhadap metode

pengobatan (Arruda, 2009).

Biaya pengobatan yang agak besar harus dipertimbangkan pada

penatalaksanaan akne pada remaja yang belum mampu membiayai sendiri

pengobatannya. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memulai dengan pengobatan

konservatif, baik topikal maupun sistemik. Pengobatan topikal dengan sulfur,

resorsin, atau asam salisilat pada akne remaja harus dilakukan dengan penjelasan

yang cukup agar tidak membuat mereka menolak pengobatan akibat efek

sampingnya. Pengobatan sistemik dengan menggunakan drug of choice tetrasiklin

akan cukup bermanfaat (Wasitaatmadja, 2001).

Terapi untuk akne memerlukan waktu yang agak lama, yaitu antara 12

sampai 14 minggu. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan akne diperlukan usaha

pencegahan berupa informasi menyeluruh mengenai penyebab, proses

pengobatan, lamanya pengobatan, serta prognosis yang jelas agar pasien, apalagi

yang remaja, tidak over estimate terhadap upaya pengobatan yang akan

berlangsung (Wasitaatmadja, 2001).

Selain itu, kebersihan juga sangat penting dalam penatalaksanaan akne.

Terlalu sering membersihkan atau penggunaan sabun alkalin keras dapat

meningkatkan pH kulit dan merusak lapisan lemak kutaneus. Penggunaan

pembersih sintetik dapat membersihkan kulit tanpa mengubah pH kulit normal.

Beberapa sabun antibiotik untuk akne yang mengandung agen seperti triclosan

(13)

positif tetapi dapat meningkatkan batang gram negatif, dengan efek akne menjadi

berkurang. Sabun kesehatan yang mengandung benzoyl peroxide atau salicylic

acid menawarkan kemudahan penggunaannya dalam bentuk busa dan bagus untuk

area yang sulit dicapai seperti punggung. Pendekatan yang bijaksana untuk

pembersihan seharusnya diutamakan. Pembersihan dua kali sehari dengan

pembersih yang lembut dan diikuti dengan aplikasi penatalaksanaan akne dapat

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU SEKSUAL DINI DAN MEROKOK TERHADAP KEJADIAN KANKER SEVIKS DI RSUD PROF.Dr.

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) agar proses pembelajaran berjalan dengan baik dan sistematis

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jantung pisang batu terhadap peningkatan produksi ASI pada Ibu Menyusui di Wilayah Puskesmas Srikuncoro

Muhammad Zein Painan akan melaksanakan Pelelangan Sederhana pascakualifikasi secara non elektronik untuk paket pekerjaan pengadaan Jasa Lainnya sebagai berikut:..

Aplikasi Sistem Periodik, Stoikiometri dan Struktur Atom diharapkan dapat menjadi pilihan alternatif bagi siswa tingkat SMU dalam mempelajari

Figure 11 shows the generated return pulses by delaying the pulse model, which is resized in order that the integral of pulse is the received energy of sub-beam

Dalam pemberian imunisasi pada bayi dan anak dapat dilakukan dengan.. beberapa imunisasi yang

Beberapa dari variabel yang memiliki bobot tertinggi pada aspeknya antara lain faktor produk, kualitas desain, segmen ekonomi, kekuatan pemasok, sumber daya manusia, kegiatan