• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN POLA ASUH IBU D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN POLA ASUH IBU D"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN POLA ASUH IBU DENGAN KASUS GIZI BURUK PADA BALITA USIA 1-3 TAHUN

Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Rangkah Kota Surabaya Vidyana Andhika Rusjayanti*, Siti Rahayu Nadhiroh**

Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya 60115, Indonesia

E-mail : vidyana_smile@yahoo.co.id ABSTRACT

Child severe malnutrition is a complex problem. Severe malnutrition not only caused by lack of food intake directly, but also by level of nutrition knowledge and childcare indirectly. The result data of Health Center Rangkah Surabaya at 2006-2008 showed the high prevalence of severe malnutrition among children under five years old that the number of malnourished children has increased from 1,5 % in 2007 to 2,1% in 2008.

The objective of this research was to analyze the relation between mother’s knowledge, childcare and severe malnutrition in toddler.

This research was an analytical observational study using case control design. 25 severely malnourished children and 25 controls of well nourished children were enrolled in this study. Sample case and control was matched based on child’s age. Independent variables were toddler characteristic, family characteristic, mother’s knowledge , information access, practical of prelactal food or drink, colostrums, exclusive breastfeeding, feeding pattern, and medical health care. Dependent variable was severe malnutrition status. Chi Square test was used to examine the relation of dependent and independent variables and the risk factor. The result showed that the significant relation to severe malnutrition were nutrition knowledge of mother (p= 0,02, with OR 5, 091), the childcare of nutrition which had significant relation to severe malnutrition were practical of prelactal food or drink (p= 0,048, with OR 3,778), colostrums (p=0,043, with OR 4,030), and feeding patern (p=0,004, with OR 7,111).

The conclusion is relation between mother’s knowledge and nutritional childcare with severe malnutrition. Recommendation is necessary to provide information, education and communication to mother about nutrition for child growth and development. It is also necessary to give social support for well breastfeeding practice to the baby in the early time birth.

Key words : severe malnutrition, knowledge, childcare, toddler

* Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair Surabaya

(2)

Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Dewasa ini kita masih dihadapkan pada beberapa masalah gizi antara lain, kurang gizi, anemia gizi besi, KVA, dan GAKY khususnya pada kelompok bayi dan balita.1 Masa balita adalah masa yang penting, karena merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal.2 Tiga tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis karena pertumbuhan dapat mengalami growth failure.3 Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Kurang gizi menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecerdasan, serta berpotensi menjadi penyebab kemiskinan melalui rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya kreativitas dan produktivitas. Gizi buruk yang tidak ditangani dengan baik, pada fase akutnya akan mengancam jiwa dan pada jangka panjang akan menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi penerus bangsa.4

Di Jawa Timur berdasarkan hasil Survei PSG (2006), prevalensi balita KEP sebesar 17,5% yang terdiri dari 2,6% gizi buruk dan 14,96% gizi kurang. Keadaan ini tidak banyak mengalami perubahan karena berdasarkan hasil Riskesdas (2007) di Jawa Timur terdapat 17,4% balita KEP terdiri dari 4,8% gizi buruk dan 12,6% gizi kurang, bahkan terjadi peningkatan prevalensi gizi buruk pada tahun 2007. Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret-April 2009, berdasarkan data Puskesmas Rangkah pada tahun 2006-2008, menunjukkan peningkatan prevalensi balita gizi buruk yang cukup tinggi yaitu dari 1,5% (2007) menjadi 2,1% (2008). Dengan distribusi kelompok umur yang menderita gizi buruk tertinggi pada kelompok umur 12-36 bulan.

(3)

Penelitian ini dilakukan mengingat masih ada kecenderungan terus meningkatnya kasus gizi buruk dan gizi kurang di Kota Surabaya khususnya di wilayah kerja Puskesmas Rangkah. Di satu pihak program gizi telah dilakukan melalui penyuluhan, pemberian langsung makanan pada balita, PMT, kunjungan rumah, promosi kadarzi, dan pendampingan.Berbagai program yang dilaksanakan ternyata belum berdampak signifikan terhadap penurunan balita gizi buruk. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan pola asuh ibu yang merupakan penyebab tidak langsung dari gizi buruk sebagai upaya untuk merencanakan program intervensi gizi yang tepat untuk menanggulangi masalah gizi buruk.

Bahan dan Metode

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain kasus kontrol. Populasi kasus adalah seluruh balita usia 1-3 tahun yang tercatat di Puskesmas Rangkah sebagai anak dengan status gizi buruk (nilai Z-score < -3 SD dengan indeks BB/U) sampai pada bulan Mei 2009 dan tercatat terdapat 30 balita. Populasi kontrol adalah seluruh balita usia 1-3 tahun yang tercatat sebagai balita gizi baik (nilai Z-score -2 SD s/d +2 SD) sampai pada bulan Mei 2009. Sampel kasus dan kontrol dipilih dengan teknik matching pada usia. Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel didapatkan 25 sampel dengan perbandingan kasus dan kontrol 1:1, maka total sampel adalah 50 balita.

Sampel kasus diambil dengan cara simple random sampling. Sampel kontrol dipilih secara acak pada balita gizi baik usia 1-3 tahun dari posyandu yang sama dengan balita yang terpilih sebagai sampel gizi buruk. Pemilihan sampel kontrol menggunakan matching dengan frequency distribution matching pada kelompok umur 1-3 tahun. Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Juli 2009.

Variabel penelitian meliputi karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir dan urutan kelahiran), karakteristik keluarga (usia ibu, tingkat pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, pengeluaran konsumsi, jumlah anggota keluarga dan jumlah anak), tingkat pengetahuan gizi ibu dan akses informasi, pola asuh ibu meliputi pola asuh gizi meliputi riwayat ASI dan pemberian makan serta pola perawatan kesehatan.

(4)

1-3 tahun yang tercatat sebagai balita gizi buruk dan baik, diperoleh dari data gizi di Puskesmas Rangkah dan kader posyandu.

Untuk melihat hubungan dan besar risiko tingkat pengetahuan dan pola asuh ibu dengan kasus gizi buruk digunakan analisis statistik chi square.

Hasil Penelitian

I. Karakteristik Balita

Tabel 1 Distribusi karakteristik balita menurut Usia, Jenis Kelamin, Berat Badan Lahir dan urutan Kelahiran

Hasil

penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar (64%) balita gizi buruk berusia 25-36 bulan. Jenis kelamin balita gizi buruk sebagian besar adalah perempuan (60%). Sebagian besar (84%) balita gizi buruk memiliki berat badan lahir normal. Urutan kelahiran balita gizi buruk sebagian besar berada pada urutan pertama tunggal (32%) dan kedua ( 32%).

2. Karakteristik Keluarga

Berdasarkan hasil penelitian, ibu balita gizi buruk sebagian besar berusia 31-40 tahun (52%), sedangkan ibu balita gizi baik sebagian besar berusia 21-30 tahun (72%). Tingkat pendidikan sebagian besar (40%) ibu balita gizi buruk lulus SMP. Ibu balita gizi buruk 64% dan ibu balita gizi baik 60% tidak bekerja. Pendapatan keluarga balita gizi buruk sebagian besar < UMR (88%). Pengeluaran konsumsi pangan keluarga balita gizi buruk > Rp.500.000,00 sebesar 72%. Sebagian besar keluarga balita gizi buruk (52%) dan keluarga

Variabel Gizi buruk n=25 Gizi baik n=25

(5)

gizi baik (56%) mempunyai anggota keluarga ≤ 4 jiwa dengan kategori keluarga kecil. Sebagian besar jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga dengan balita gizi buruk adalah ≤ 3 orang dengan persentase 92%, sedangkan pada keluarga balita gizi baik seluruh keluarga (100%) memiliki jumlah anak ≤ 3 orang. Karakteristik keluarga balita disajikan pada tabel 2. Tabel 2 Distribusi karakteristik keluarga menurut Usia Ibu, Pendidikan Ibu, Pekerjaan

Ibu,Pendapatan Keluarga, Pengeluaran Konsumsi, Jumlah Anggota Keluarga dan Jumlah Anak

Variabel Gizi buruk n=25 Gizi baik n=25

(6)

Tabel 3 Distribusi responden menurut akses informasi pangan dan gizi Akses Informasi Pangan

dan Gizi

Gizi buruk n=25 Gizi baik n=25

n % n %

Total 25 100 25 100

Pada tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu balita gizi buruk pernah mendapat informasi tentang pangan dan gizi sebesar 68%, sedangkan ibu balita gizi baik pernah mendapat informasi tentang pangan dan gizi sebesar 76%.

Tabel 4 Distribusi responden menurut jumlah akses informasi pangan dan gizi Jumlah Akses Informasi Gizi buruk n=25 Gizi baik n=25

n % n %

Total 17 100,00 19 100,00

Pada tabel 4 tampak ibu dengan jumlah akses informasi tinggi pada balita gizi buruk sebesar 35,29% sedangkan akses informasi tinggi pada balita dengan gizi baik hanya sebesar 21,05%.

4. Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu

Tingkat pengetahuan didapatkan dari total nilai skoring 20 pertanyaan tentang pengetahuan gizi. Hasil wawancara diskoring dan diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu baik, jika skor ≥ 22-40 dan kurang jika skor < 22.

Tabel 5 Distribusi tingkat pengetahuan gizi responden Tingkat Pengetahuan

Total 25 100 25 100

(7)

5. Pola Asuh 5.1 Pola Asuh Gizi

Pola asuh balita yang dihubungkan dengan gizi buruk pada penelitian ini adalah pola asuh gizi dan pola asuh perawatan kesehatan. Variabel dalam pola asuh gizi yang diteliti adalah riwayat pemberian ASI meliputi pemberian makanan atau minuman prelaktal, pemberian kolostrum, ASI eksklusif dan pemberian makan. Pola pemberian makan diketahui melalui wawancara dan dilakukan skoring.

Tabel 6 Distribusi pola asuh gizi menurut Riwayat Pemberian ASI dan Pemberian Makan

Variabel Gizi buruk n=25 Gizi baik n=25

n % n %

Tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar balita gizi buruk mendapat makanan atau minuman prelaktal sebanyak 68%, sedangkan pada balita gizi baik hanya 36%. Balita gizi buruk yang mendapat kolostrum 44%, sedangkan pada balita gizi baik mencapai 76%. Balita gizi buruk dan gizi baik tidak mendapat ASI secara eksklusif dengan persentase yang sama, yaitu 88%. Hasil penelitian tentang pemberian makan menunjukkan bahwa 36% balita gizi buruk mempunyai tingkat pemberian makan baik, sedangkan pada balita gizi baik sebesar 80%.

5.2 Pola Perawatan Kesehatan

Tabel 6 Distribusi pola perawatan kesehatan balita

Kategori Perawatan Kesehatan

Gizi buruk Gizi baik

(8)

Kurang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (84%) balita gizi buruk memiliki perawatan kesehatan baik dan semua balita gizi baik perawatan kesehatannya masuk dalam kategori baik (100%).

Tabel 7 Rangkuman Hasil Uji Statistik Chi Square

No. Variabel OR 95%CI p *p<0,05 bermakna secara statistik

Dari hasil uji statistik pada tabel 7 dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu, riwayat pemberian ASI (pemberian makanan atau minuman prelaktal, pemberian kolostrum) dan pemberian makan berhubungan secara signifikan dengan kasus gizi buruk sedangkan ASI eksklusif dan perawatan kesehatan tidak berhubungan dengan kasus gizi buruk.

Pembahasan

I. Karakteristik Balita 1. Usia

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata usia balita gizi buruk berada pada rentang usia 25-36 bulan. Demikian halnya dengan balita gizi baik, sebagian besar berusia 25-36 bulan. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi, menunjukkan hasil yang sama, yaitu usia balita gizi buruk terbanyak pada usia 25- 36 bulan.8 Hal ini sesuai dengan hasil survei tentang situasi pangan dan gizi di wilayah Lembata Nusa Tenggara Timur oleh PLAN Indonesia pada tahun 2006 yang menemukan bahwa usia balita yang mengalami gizi buruk terbanyak pada usia 24- 36 bulan.9

(9)

memperburuk status gizi balita.8 Pada usia ini, pertumbuhan anak semakin memburuk, bahkan tidak jarang berat badan tetap atau menurun. Penyebabnya karena kurang asupan protein karbohidrat, selain itu pertumbuhan sudah jarang dipantau. Keadaan ini diperparah dengan seringnya menderita sakit infeksi seperti diare dan ISPA.10

2. Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada balita gizi buruk lebih didominasi perempuan daripada laki-laki. Kondisi tersebut sesuai dengan penelitian Sandjaja11 serta Wigati12 yang menunjukkan bahwa rata-rata jenis kelamin balita gizi buruk adalah perempuan. Prevalensi kejadian gizi buruk lebih banyak ditemukan pada balita perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan prevalensi perempuan : laki-laki adalah 4:1.13 Namun, hasil survei di wilayah Lembata NTT oleh PLAN Indonesia tahun 2006 menemukan prevalensi underweight pada anak perempuan 52,4% hampir sama dengan prevalensi pada anak laki-laki 52,1%.9 Selain itu, hasil analisis data Susenas 1986 menunjukkan bahwa status gizi anak perempuan secara umum lebih baik dari status gizi anak laki-laki.14 Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian gizi buruk, karena gizi buruk memiliki kecenderungan dapat dialami balita laki-laki dan perempuan. Sehingga kecenderungan memburuknya status gizi anak lebih dikarenakan buruknya kualitas dan kuantitas makanan serta kemungkinan eksposur terhadap lingkungan yang lebih tinggi intensitasnya yang memungkinkan anak mudah tertular penyakit infeksi, terlebih kondisi lingkungan yang buruk.9

3. Berat Badan Lahir Balita

Anak yang lahir dengan BBLR, pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat. Keadaan ini lebih buruk lagi jika BBLR kurang mendapat asupan energi dan zat gizi. BBLR mempunyai risiko 3,34 kali lebih besar untuk mengalami status gizi kurang dibandingkan dengan anak yang tidak BBLR. Meskipun riwayat BBLR terjadi pada balita gizi baik, namun dalam perkembangannya balita tidak mengalami gizi kurang atau gizi buruk. Hal ini dikarenakan pola asuh keluarga yang baik, karena pola asuh yang kurang baik dan sering menderita penyakit infeksi berakibat bayi BBLR cenderung mempunyai status gizi kurang dan buruk.15

(10)

mental serta akan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas karena rentan terhadap infeksi.13

4. Urutan Kelahiran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar balita gizi buruk merupakan anak pertama dan kedua. Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian Muljati dkk.6 yang menemukan bahwa balita gizi buruk di Bogor terbanyak adalah anak pertama. Urutan kelahiran balita gizi buruk pada beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berbeda, sepeti penelitian Morley (1968) sebagaimana yang dikutip oleh Kristijono13 yang menunjukkan bahwa anak-anak yang dilahirkan sebagai anak keempat dan berikutnya memperlihatkan tanda-tanda gizi buruk yang jelas.

Menurut Simbolon, urutan kelahiran berhubungan dengan jarak kelahiran yang dapat mempengaruhi kemampuan keluarga untuk merawat anak dengan baik. Keluarga dengan jumlah yang besar menyebabkan makanan yang dibagikan tidak cukup, terlebih anak dengan urutan kelahiran keempat atau lebih akan berisiko lebih tinggi untuk mengalami kurang gizi.16

Pada penelitian ini, sebagian besar balita gizi buruk merupakan anak pertama dan kedua, hal ini menunjukkan bahwa kejadian gizi buruk tidak hanya dipengaruhi oleh urutan kelahiran, melainkan terdapat faktor lain yang menyebabkan gizi buruk meskipun balita adalah anak pertama. Faktor tersebut antara lain tingkat pengetahuan gizi orangtua terutama ibu yang sangat berpengaruh terhadap praktik gizi di dalam rumah tangga.13

2. Karakteristik Keluarga 1. Usia Ibu

(11)

2. Pekerjaaan Ibu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita gizi buruk dan gizi baik sebagai ibu rumah tangga. Penelitian Wigati menyebutkan bahwa sebanyak 77,8% ibu dari kelompok balita gizi buruk berprofesi sebagai ibu rumah tangga.12

Pekerjaan akan menentukan jumlah waktu yang ibu luangkan untuk merawat anak balitanya seperti pemberian makan. Beberapa ibu tidak bekerja tapi tugas dirumah sebagai ibu rumah tangga sangat padat sehingga waktu untuk anaknya juga terbatas, jika ada waktu luang tidak digunakan untuk membuat makanan yang bergizi untuk anaknya tetapi untuk berbincang dengan tetangga. Hal itu karena meskipun pengetahuan tentang gizi sudah tinggi tapi tidak ada motivasi untuk meningkatkan gizi balitanya.

Seorang ibu yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan khawatir tentang masa depan serta tidak puas dengan keadaan yang dialaminya cenderung mempunyai anak dengan status gizi yang lebih buruk.14

3. Pendapatan Keluarga

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga balita gizi buruk mempunyai pendapatan yang tergolong rendah, kurang dari upah minimum regional, sedangkan pendapatan keluarga balita gizi baik sebagian besar sama atau lebih dari upah minimum regional daerah. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan berhubungan dengan gizi keluarga. Tingkat pendapatan ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli dengan adanya tambahan uang, semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk membeli berbagai jenis bahan pangan. Jadi pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makan dalam keluarga.8

(12)

4. Pengeluaran Untuk Konsumsi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga balita gizi buruk dengan pendapatan yang rendah mempunyai pengeluaran lebih dari Rp.500.000 per bulan. Sedangkan pengeluaran konsumsi keluarga balita gizi baik sebagian besar lebih dari Rp. 500.000 per bulan. Meskipun pengeluaran untuk konsumsi pangan lebih besar daripada total pengeluaran, namun peningkatan makanan hanya pada jumlah makanan, bukan pada mutu makanan. Variasi makanan tetap, sehingga konsumsi gizi yang dikonsumsi tidak berubah.19

Menurut Berg dalam Wulandari20, walaupun pengeluaran untuk makan bertambah tetapi tidak selalu membawa perbaikan pada susunan makanan. Orang lebih banyak membelanjakan uangnya untuk makanan mungkin akan lebih banyak, tetapi belum tentu makanannya lebih baik. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan dalam jumlah yang mencukupi amat dipengaruhi oleh harga bahan makanan. Bahan makanan yang harganya mahal biasanya jarang dibeli, bahkan tidak pernah dibeli. Hal ini menyebabkan berbagai jenis bahan makanan tidak pernah dihidangkan dalam susunan makan keluarga sehingga kecukupan gizi keluarga tidak terpenuhi.

5. Jumlah Anggota Keluarga dan Jumlah Anak

Keluarga balita gizi buruk sebagian besar adalah keluarga kecil dengan jumlah anak sebagian besar 1-2 anak, demikian halnya dengan balita gizi baik. Besar keluarga menentukan status gizi, tetapi status gizi juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti dukungan keluarga tersebut dalam pemberian makanan bergizi, dan pendapatan.8 Selain itu, keterbatasan pengetahuan seperti kemampuan untuk menerapkan informasi tentang gizi merupakan sebab-sebab penting terjadinya gangguan gizi dalam masyarakat terutama dalam keluarga.19

Penyakit gizi buruk yang dialami oleh anggota suatu masyarakat disebabkan karena masyarakat kurang mengetahui hubungan yang pasti antara makanan dan kesehatan. Susunan makanan yang cukup cenderung ditafsirkan dalam rangka kuantitas, bukan kualitas, mengenai makanan pokok yang cukup bukan pula dari keseimbangannyadalam hal berbagai makanan. Karena itu gizi buruk bisa terjadi di tempat-tempat yang sebenarnya sumber makanan cukup dan dalam keluarga dengan jumlah anggota besar maupun kecil.19

(13)

Tingkat pendidikan ibu balita gizi buruk sebagian besar masih rendah yaitu lulus SMP dan SD, sedangkan tingkat pendidikan ibu balita gizi baik sebagian besar cukup tinggi yaitu lulus SMA. Pendidikan orang tua merupakan faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan baik maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak, dan pengetahuan gizi. Rendahnya tingkat pendidikan ibu menyebabkan berbagai keterbatasan dalam menangani masalah gizi dan kesehatan keluarga serta anak balitanya.22

Faktor pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan orangtua terhadap masalah gizi. Secara teori, pendidikan yang rendah identik dengan pengetahuan gizi yang rendah. Rendahnya pendidikan juga berhubungan dengan tingkat ekonomi yang rendah karena terbatasnya kesempatan kerja. Dampak dari ekonomi yang rendah dan pengetahuan gizi yang kurang menyebabkan ibu tidak dapat memilih makanan yang dapat memenuhi kecukupan gizi balita.12

Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diperoleh. Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya.21

3. Akses Informasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 68% ibu balita gizi buruk pernah mendapat informasi tentang pangan dan gizi dan 35,29% diantaranya masuk dalam kategori akses informasi tinggi.

(14)

Akses informasi yang tinggi pada beberapa ibu balita gizi buruk sangat terkait dengan lingkungan yang mendukung seperti peran kader yang memberikan perhatian dan pemantauan melalui kunjungan rumah dan motivasi ibu untuk berupaya meningkatkan status gizi balitanya, sehingga akses terhadap informasi dilakukan secara aktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmojo23 yang menyatakan bahwa perubahan perilaku kesehatan dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam dan luar individu itu sendiri, seperti susunan syaraf pusat, emosi, proses belajar, lingkungan dan motivasi. Selain itu akses terhadap informasi yang aktif juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dari ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin terbuka dengan hal baru dan perubahan ke arah yang lebih baik.

4.Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu

Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan ibu balita gizi buruk sebagian besar kurang, sedangkan pada balita gizi baik tingkat pengetahuannya baik. Hasil uji statistik chi square menunjukkan hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi ibu dengan kasus gizi buruk dengan nilai p= 0,02 dan OR 5,091 artinya balita yang tingkat pengetahuan gizi ibunya kurang berisiko mengalami gizi buruk 5,091 kali lebih besar daripada balita yang tingkat pengetahuan gizi ibunya baik.

Tingkat pengetahuan gizi ibu balita gizi buruk masih rendah meskipun akses terhadap informasi pangan dan gizi pernah didapat oleh sebagian besar ibu balita gizi buruk. Hal ini terjadi karena tingkat pengetahuan tidak hanya dipengaruhi oleh akses informasi, tetapi faktor tingkat pendidikan juga berperan dalam menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang diperoleh. Menurut Kardjati dalam Andarwati 24, ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki

keterbukaan untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan anak dan perbaikan gizi keluarga.

5. Pola Asuh 5.1 PolaAsuh Gizi

5.1.1 Riwayat Pemberian ASI

(15)

Berdasarkan hasil penelitian pada sebagian besar balita gizi buruk diberikan makanan atau minuman prelaktal yaitu berupa susu formula yang diberikan pertama kali pada saat ASI belum keluar. Pemberian makanan atau minuman prelaktal ini masih sering dilakukan terutama pada bayi yang lahir di rumah sakit atau bahkan di tempat praktik bidan swasta dengan alasan pemberian ini didorong oleh sulitnya atau sedikitnya ASI yang dihasilkan.

Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pemberian makanan atau minuman prelaktal dengan kasus gizi buruk pada balita dengan nilai p=0,048 dan OR 3,778 artinya balita yang mendapat makanan atau minuman prelaktal berisiko mengalami gizi buruk 3,778 kali lebih besar daripada balita yang tidak mendapat makanan atau minuman prelaktal. Penelitian yang dilakukan oleh Prahesty25 juga menunjukkan hasil yang sama bahwa pemberian makanan atau minuman prelaktal berhubungan dengan gangguan pertumbuhan dengan nilai p=0,01 dan OR 4,449. Hasil penelitian Suwiji26 juga menunjukkan hasil bahwa pemberian makanan atau minuman prelaktal berhubungan dengan status gizi balita, balita yang mendapat makanan atau minuman prelaktal mengalami gizi kurang.

Pemberian minuman prelaktal harus dihindari karena dapat membahayakan, antara lain menyebabkan bayi tidak mau mengisap ASI bila pemberian melalui botol. Hal ini dapat menghambat pemberian ASI eksklusif karena dengan pemberian makanan atau minuman prelaktal akan mengurangi frekuensi bayi menyusui sehingga mengakibatkan ASI keluar lebih lama, produksi ASI menurun dan zat gizi yang penting dalam ASI tidak dapat dikonsumsi bayi secara sempurna. Pemberian minuman prelaktal yang tidak higiene melalui botol dapat menyebabkan penyakit infeksi seperti diare yang menyebabkan berat badan bayi turun. Sering terjadi alergi dan tidak cocok pada susu formula yang diberikan.26

2. Pemberian Kolostrum

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar balita gizi buruk tidak mendapat kolostrum. Alasan para ibu tidak memberikan kolostrum karena kolostrum dianggap sebagai susu yang tidak sehat, kotor dan harus dibuang. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan manfaat kolostrum bagi bayinya.

(16)

balita yang tidak mendapat kolostrum berisiko mengalami gizi buruk 4,030 kali dibandingkan dengan balita yang tidak mendapat kolostrum.

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kolostrum mengandung komponen yang diperlukan oleh balita. Kandungan antibodi pada kolostrum lebih banyak dari pada susu matur dan dapat memberikan perlindungan pada bayi sampai 6 bulan. Kolostrum juga mengandung tripsin inhibitor yang menambah banyak kadar antibodi pada bayi.22 Balita yang tidak mendapatkan kolostrum berarti kehilangan antibodi yang penting untuk pertahanan tubuh. Dampaknya balita menjadi lebih mudah terkena infeksi sehingga rentan menjadi gizi buruk karena meningkatnya kebutuhan energi untuk pertumbuhan.12

3. Pemberian ASI eksklusif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar balita gizi buruk maupun gizi baik tidak mendapat ASI secara eksklusif. Bagi sebagian besar ibu, MP-ASI yang diberikan pada balita dilakukan lebih awal dengan tujuan agar bayi tidak mudah rewel atau menangis dan lebih mudah tidur dengan nyenyak karena dapat memberikan energi lebih daripada sekadar ASI. Namun, pemberian makanan tambahan pada anak umur kurang dari 6 bulan, akan memperbesar risiko terjadinya kontaminasi karena anak mendapat faktor pelindung dari ASI lebih sedikit dan makanan tambahan tidak sebersih ASI. Selain itu, terdapat bahaya kejadian invaginasi karena pencernaan balita yang belum mampu mencerna makanan dengan sempurna.

Faktor lain tidak dilakukannya praktik ASI eksklusif adalah persalinan di pelayanan kesehatan belum sepenuhnya mendukung program inisiasi menyusui dini sehingga ibu melakukan pemberian ASI secara parsial dimana ASI tetap diberikan dengan ditambah susu formula, hal ini terjadi pada balita gizi baik, sedangkan pada balita gizi buruk pemberian ASI tidak eksklusif, tidak didukung kualitas dan kuantitas makanan yang baik serta balita tidak mendapat pengganti ASI yang cukup, karena balita hanya diberi air tajin, air gula dan teh.

(17)

yang lebih lama terbukti berhubungan dengan penurunan prevalensi diare dan ISPA pada anak-anak di Vietnam, sehingga risiko kehilangan berat badan juga akan berkurang.22

5.1.2 Pemberian Makan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar balita gizi buruk mempunyai pemberian makan kategori kurang.

Variasi makanan pada balita sebagian besar hanya terdiri dari makanan pokok dengan lauk, serta makanan pokok, lauk dan sayur. Konsumsi sayur terkadang hanya berupa kuah. Sebagian besar balita tidak suka mengkonsumsi sayur, hal tersebut dikarenakan terutama keterampilan pengasuh dalam penyajian makanan pada awal pengenalan makanan pertama atau penyajian yang kurang menarik dan membosankan.

Makanan selingan diberikan sebagai pengganti makanan pokok, seharusnya makanan selingan diberikan 2 kali sehari diantara waktu makan, sehingga perhatian anak terhadap makanan, tidak beralih ke makanan yang tidak higienis. Pada balita gizi buruk, makanan selingan seringkali berupa makanan jajanan yang diragukan kandungan gizinya dengan frekuensi sesuai dengan permintaan anak. Ibu balita memberikan jajanan yang diminta anak karena anak sulit makan. Seharusnya makanan selingan berfungsi untuk memperkenalkan aneka jenis bahan makanan dan melengkapi zat-zat gizi yang mungkin kurang pada makanan pagi, siang, dan malam. Namun sebagian besar balita gizi buruk makan hanya dengan frekuensi dan porsi kecil serta selebihya adalah ”ngemil”.

Sebagian besar anak balita gizi buruk diberi makan sumber protein pada setiap kali makan meskipun dengan jumlah protein yang berbeda-beda sesuai kemampuan orang tua dan kemauan anak. Susu hanya sebagai makanan pelengkap, bukan makanan yang wajib dikonsumsi balita terutama pada balita gizi buruk.

Hasil uji statistik Chi Square diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pemberian makan dengan kasus gizi buruk (p<0,05 ; p= 0,004). Dan OR-nya sebesar 7,111 artinya balita yang memiliki tingkat pemberian makan kategori kurang berisiko mengalami gizi buruk 7,111 kali lebih besar daripada balita yang memiliki tingkat pemberian makan kategori baik.

(18)

pola makan. Selain itu sebagian besar balita gizi buruk diketahui berusia diantar 25-36 tahun. Pada usia tersebut biasanya mereka mulai di sapih, jika tidak mendapatkan perhatian yang serius maka kemungkinan balita akan menderita kekurangan energi protein.8

5.2 Pola Asuh Perawatan Kesehatan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel perawatan kesehatan mempunyai p=0,11 yang berarti tidak ada hubungan antara perawatan kesehatan dengan kasus gizi buruk. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Pratiwi8 diwilayah kerja Puskesmas Bungkal dan Setono di Kabupaten Ponorogo dimana pola asuh perawatan kesehatan pada balita gizi buruk sudah baik.

Pola asuh perawatan kesehatan menentukan status gizi balita22, namunsebagian besar balita gizi burukmendapat perawatan kesehatan yang baik, hal itu karena banyak faktor risiko lain yang menyebabkan kasus gizi buruk di luar perawatan kesehatan.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

1. Kejadian gizi buruk lebih rentan diderita oleh balita perempuan dengan rentang usia 25-36 bulan, meskipun berat badan lahir normal dan berada pada urutan kelahiran pertama atau kedua.

2. Kejadian gizi buruk dapat terjadi dalam keluarga dengan karakteristik ibu yang berusia produktif, sebagai ibu rumah tangga, pendidikan ibu rendah, memiliki pendapatan rendah, pengeluaran konsumsi pangan tinggi, serta termasuk keluarga kecil dengan jumlah anak antara 1 sampai 3 orang.

3. Akses informasi terhadap pangan dan gizi yang dilakukan oleh ibu tidak berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan gizi ibu.

4. Balita dengan riwayat ASI (mendapat makanan atau minuman prelaktal dan tidak mendapat kolostrum), serta tingkat pemberian makan kurang rentan menderita gizi buruk.

5. Balita dengan pengetahuan gizi ibu yang kurang, memiliki risiko mengalami gizi buruk daripada balita dengan pengetahuan gizi ibu yang baik.

(19)

1. Penyuluhan atau program KIE tentang gizi pertumbuhan dan perkembangan balita kepada ibu dan keluarga meliputi praktik pemberian ASI, praktik pemberian makan (MP-ASI dan makanan sapihan) yang baik dan beragam.

2. Perlu adanya program pendidikan gizi di tingkat pendidikan formal maupun informal sebagai upaya preventif terhadap kejadian malnutrisi di masyarakat.

3. Perlu adanya dukungan program penyusuan yang baik, terutama program inisiasi menyusui dini untuk menjamin pemberian kolostrum dan menghindari pemberian makanan atau minuman prelaktal pada bayi.

4. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor yang berhubungan dengan kasus gizi buruk terutama yang berkaitan dengan penyakit infeksi dan higiene sanitasi lingkungan.

Daftar Pustaka

1. Depkes RI, 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009. Diambil: 15 Mei 2009, dari http: www.depkes.go.id

2. Azwar, A., 2004. Kecenderungan Masalah Gizi Dan Tantangan Di Masa Datang dalam Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar Gizi. Prosiding Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar Gizi 27 September 2004, Hotel Sahid Jaya, Jakarta.

3. Indrawani, Y.M., 2007. Penyakit Kurang Gizi dalam Gizi Dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

4. Nency, Y. dan Muhammad Thohar Arifin, 2005. Gizi Buruk Ancaman Generasi Yang Hilang. Diambil: 15 Mei 2009, dari http: io.ppi-jepang.org/article.php id=113.

5. Amin, A.M., Toto Sudargo, & I Made Alit, 2004. Hubungan Pola Asuh dan Asupan Gizi terhadap Status Gizi Anak Umur 6-24 Bulan di Kelurahan Mengampang, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Jurnal Sains Kesehatan Vol. XVII No. 4, hal. 483-491.

6. Muljati, S., Sihadi, & Amelia, 2006. Pencapaian Pertumbuhan pada Balita Gizi Buruk Selama Mengikuti Pemulihan di Klinik Gizi Bogor, Penelitian Gizi dan Makanan. Vol. 29 No. 1, hal. 27-37.

7. Anonim, 2008. Kiat Dinkes Kota Atasi Gizi Buruk. Diambil: 12 Mei 2008, dari http: www.surabayaehealth.org/dkksurabaya.

8. Pratiwi, E.T., 2007. Hubungan Pola Asuh Dengan Kasus Gizi Buruk Pada Balita Usia 1-5 Tahun : Studi Di Wilayah Kerja Puskesmas Setono Dan Bungkal, Kabupaten Ponorogo, Skripsi, Universitas Airlangga.

9. PLAN Indonesia, 2006. Penilaian Situasi Pangan Dan Gizi Di Wilayah Kerja PLAN Indonesia Program Unit Lembata. Diambil: 30 Juni 2009, dari http: ntt-academia.org/Flores/Lembata_SituasiPangan_Report-FNS-Complete-draft.pdf

10. Adi, A.C., 2001. Makanan Penambah Berat Badan Anak, Jakarta : Puspa Swara.

(20)

12. Wigati. T.R., 2008. Risiko Pola Asuh Terhadap Kejadian Gizi Buruk Pada Anak Balita Di Kelurahan Sidotopo Kecamatan Semampir Kota Surabaya, Tesis, Universitas Airlangga.

13. Kristijono, A., 2002. Karakteristik Balita Kurang Energi Protein (KEP) yang Dirawat Inap di RSU Dr. Pirngadi Medan tahun 1999-2000. Cermin Dunia Kedokteran, No. 134, hal. 5-9.

14. Sihadi, 2006. Kurang Energi Protein pada Anak Balita. Jurnal Epidemiologi Indonesia. Vol. 8 Edisi 3.

15. Setijowati, N., Budi Santoso, Finariasih, 2006. Gambaran Pola Makan serta Tingkat Konsumsi Balita KEP dan Non KEP keluarga Miskin (GAKIN) di Kelurahan Mergosono Malang. Jurnal Epidemiologi Indonesia, Vol. 8 Edisi 3.

16. Simbolon, D., 2006. Kelangsungan Hidup Bayi di Perkotaan dan Pedesaan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 1 No. 1

17. Sulistiyani, 2006. Praktik Pola Asuh Gizi Oleh Keluarga Pada Anak Usia 6-24 Bulan Dengan Status Gizi Baik Pada Keluarga Miskin, Tesis. Universitas Airlangga.

18. Baliwati, Y.F., 2006. Pengantar Pangan dan Gizi, Jakarta : Penebar Swadaya.

19. Meiyenti, S., 2006. Gizi Dalam Perspektif Sosial Budaya, Padang : Andalas University Press.

20. Wulandari, D., 2003. Hubungan Pola Pengasuhan dengan Tumbuh Kembang Anak Balita Usia 1-5 Tahun dari Ibu yang Bekerja Sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri, Skripsi,Universitas Airlangga.

21. Suhardjo, 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi, Jakarta : Bumi Aksara.

22. Soetjiningsih, 1998. Tumbuh Kembang Anak, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 23. Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta : PT Rineka Cipta. 24. Andarwati, D., 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita pada

Keluarga Petani di Desa Purwojati Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.

25. Prahesti, A., 2001. Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Gangguan Pertumbuhan (Growth Faltering) pada Balita Anak 0-12 bulan (Studi di Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang), Skripsi, Universitas Negeri Semarang.

26. Suwiji, E., 2006. Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status Gizi Balita Usia 4-12 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blor, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.

Gambar

Tabel 1 Distribusi karakteristik balita menurut Usia, Jenis Kelamin, Berat Badan Lahir dan  urutanKelahiran
Tabel 2   Distribusi karakteristik  keluarga  menurut  Usia  Ibu,  Pendidikan  Ibu,  PekerjaanIbu,Pendapatan Keluarga, Pengeluaran Konsumsi, Jumlah Anggota Keluarga dan JumlahAnak
Tabel 3  Distribusi responden menurut akses informasi pangan dan gizi
Tabel 6   Distribusi pola asuh gizi menurut Riwayat Pemberian ASI dan Pemberian Makan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Strategi waktu tunggu yang menunjang strategi efisien rantai pasok adalah untuk kepastian permintaan yang rendah, perusahaan akan memberikan respon pengiriman atas pemesanan

Jika terdapat korelasi antar komponen error dalam masing-masing alternatif, maka dengan menggunakan maximum likelihood estimator akan menghasilkan estimator yang bias.. Semakin

Secara khusus penanaman karakter afektif vertikal dapat memunculkan ‘attitude’ yang baik melalui pembentukan etika lingkungan yang baik (Atfield, 1999) Merujuk kembali pada

Sehingga dari penelitian yang dilakukan oleh sambung et al (2012) yang menemukan bahwa kepribadian tidak berpengaruh terhadap OCB-I (perilaku menolong sesama individu)

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan oleh peneliti dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan persepsi siswa

Karenanya pesantren harus memberikan perhatian yang lebih intens kepada para santrinya tentang urgensi pengembangan ekonomi syariah yang memberi keadilan dalam

Buku Ilustrasi Edukasi Panduan Memelihara Kucing merupakan sebuah buku ilustrasi yang akan berfungsi sebagai media edukasi bagi anak untuk mengajak anak lebih bisa

LAMPIRAN MATERI PEMBELAJARAN