• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT IDEOLO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT IDEOLO"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

Pendahuluan

Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila

memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi

segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam

memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam kehidupan berbangsa,

serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari. Pancasila

lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi

dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah; Satu,

Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan

Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Lima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah,

Mr. Mohammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa

Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu

pertama karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang

menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.

Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh

warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-apa

yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang telah

berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda maupun tua

tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa adanya keraguan guna

(2)

2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Benarkah Pancasila adalah suatu sistem filsafat? Berikut akan diuraikan

secara singkat aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis Pancasila (Pancasila

Sebagai Dasar Negara dan Sebagai Sistem Filsafat, 2011)1

a. Aspek Ontologis.

Ontologi ialah penyelidikan hakikat ada (esensi) dan keberadaan (eksistensi)

segala sesuatu: alam semesta, fisik, psikis, spiritual, metafisik, termasuk

kehidupan sesudah mati, dan Tuhan. Ontologi Pancasila mengandung azas dan

nilai antara lain:

Tuhan yang mahaesa adalah sumber eksistensi kesemestaan. Ontologi

ketuhanan bersifat religius, supranatural, transendental dan suprarasional;

Ada – kesemestaan, alam semesta (makrokosmos) sebagai ada tak terbatas,

dengan wujud dan hukum alam, sumber daya alam yang merupakan prwahana dan

sumber kehidupan semua makhluk: bumi, matahari, zat asam, air, tanah subur,

pertambangan, dan sebagainya;

Eksistensi subyek/ pribadi manusia: individual, suku, nasional, umat manusia

(universal). Manusia adalah subyek unik dan mandiri baik personal maupun

nasional, merdeka dan berdaulat. Subyek pribadi mengemban identitas unik:

menghayati hak dan kewajiban dalam kebersamaan dan kesemestaan

(sosial-horisontal dengan alam dan sesama manusia), sekaligus secara sosial-vertikal

universal dengan Tuhan. Pribadi manusia bersifat utuh dan unik dengan potensi

jasmani-rohani, karya dan kebajikan sebagai pengemban amanat keagamaan;

Eksistensi tata budaya, sebagai perwujudan martabat dan kepribadian manusia

yang unggul. Baik kebudayaan nasional maupun universal adalah perwujudan

martabat dan kepribadian manusia: sistem nilai, sistem kelembagaan hidup seperti

keluarga, masyarakat, organisasi, negara. Eksistensi kultural dan peradaban

perwujudan teleologis manusia: hidup dengan motivasi dan cita-cita sehingga

kreatif, produktif, etis, berkebajikan;

Eksistensi bangsa-negara yang berwujud sistem nasional, sistem kenegaraan

yang merdeka dan berdaulat, yang menampilkan martabat, kepribadian dan

kewibawaan nasional. Sistem kenegaraan yang merdeka dan berdaulat merupakan

puncak prestasi perjuangan bangsa, pusat kesetiaan, dan kebanggaan nasional.

1

disariolahulang dari Pancasila sebagai Sistem Filsafat oleh M. Noor Syam dala Dialog Ma usia, Falsafah,

(3)

3 b. Aspek Epstomologis.

Epistemologi menyelidiki sumber, proses, syarat-syarat batas, validitas dan

hakikat ilmu. Epistemologi Pancasila secara mendasar meliputi nilai-nilai dan

azas-azas:

Mahasumber ialah Tuhan, yang menciptakan kepribadian manusia dengan

martabat dan potensi unik yang tinggi, menghayati kesemestaan, nilai agama dan

ketuhanan. Kepribadian manusia sebagai subyek diberkati dengan martabat luhur:

pancaindra, akal, rasa, karsa, cipta, karya dan budi nurani. Kemampuan martabat

manusia sesungguhnya adalah anugerah dan amanat ketuhanan/ keagamaan.

Pengetahuan manusia relatif mencakup keempat wujud tingkatan itu. Ilmu

adalah perbendaharaan dan prestasi individual maupun sebagai karya dan warisan

budaya umat manusia merupakan kualitas martabat kepribadian manusia.

Perwujudannya adalah pemanfaatan ilmu guna kesejahteraan manusia, martabat

luhur dan kebajikan para cendekiawan (kreatif, sabar, tekun, rendah hati,

bijaksana). Ilmu membentuk kepribadian mandiri dan matang serta meningkatkan

harkat martabat pribadi secara lahiriah, sosial (sikap dalam pergaulan), psikis

(sabar, rendah hati, bijaksana). Ilmu menjadi kualitas kepribadian, termasuk

kegairahan, keuletan untuk berkreasi dan berkarya.

c. Aspek Aksiologis

Aksiologi menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai

secara kesemestaan. Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan ontologi

dan epistemologinya. Pokok-pokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:

Tuhan yang maha esa sebagai mahasumber nilai, pencipta alam semesta dan

segala isi beserta antarhubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum

moral mengikat manusia secara psikologis-spiritual: akal dan budi nurani,

obyektif mutlak menurut ruang dan waktu secara universal. Hukum alam dan

hukum moral merupakan pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin

multieksistensi demi keharmonisan dan kelestarian hidup.

Subyek manusia dapat membedakan hakikat mahasumber dan sumber nilai

dalam perwujudan Tuhan yang mahaesa, pencipta alam semesta, asal dan tujuan

hidup manusia (sangkan paraning dumadi, secara individual maupun sosial).

Nilai-nilai dalam kesadaran manusia dan dalam realitas alam semesta yang

meliputi: Tuhan yang mahaesa dengan perwujudan nilai agama yang

diwahyukan-Nya, alam semesta dengan berbagai unsur yang menjamin kehidupan setiap

makhluk dalam antarhubungan yang harmonis, subyek manusia yang bernilai bagi

dirinya sendiri (kesehatan, kebahagiaan, etc.) beserta aneka kewajibannya. Cinta

kepada keluarga dan sesama adalah kebahagiaan sosial dan psikologis yang tak

(4)

4

yang membentuk sistem nilai dalam peradaban manusia menurut tempat dan

zamannya.

Manusia dengan potensi martabatnya menduduki fungsi ganda dalam

hubungan dengan berbagai nilai: manusia sebagai pengamal nilai atau konsumen

nilai yang bertanggung jawab atas norma-norma penggunaannya dalam kehidupan

bersama sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai dengan karya dan prestasi

individual maupun sosial (ia adalah subyek budaya). “Man created everything

from something to be something else, God created everything from nothing to be

everything.” Dalam keterbatasannya, manusia adalah prokreator bersama Allah. Martabat kepribadian manusia secara potensial-integritas bertumbuhkembang

dari hakikat manusia sebagai makhluk individu-sosial-moral: berhikmat

kebijaksanaan, tulus dan rendah hati, cinta keadilan dan kebenaran, karya dan

darma bakti, amal kebajikan bagi sesama.

Manusia sebagai subyek nilai memikul kewajiban dan tanggung jawab

terhadap pendayagunaan nilai, mewariskan dan melestarikan nilai dalam

kehidupan. Hakikat kebenaran ialah cinta kasih, dan hakikat ketidakbenaran

adalah kebencian (dalam aneka wujudnya: dendam, permusuhan, perang, etc.).

Eksistensi fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran

berwujud dalam dunia, ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai

ideologis) maupun nilai-nilai supranatural.

Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar,

nilai instrumental, dan nilai praktis.2

1. Nilai dasar adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat

mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi.

Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan,

nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

2. Nilai instrumental adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma

hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan

mekanisme lembaga-lembaga negara.

3. Nilai praktis adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam

kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai

instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.

Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan

nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua

aktivitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2

Dikutip dari artikel bertajuk Pancasila Sebagai Ideologi Negara, file pdf diunduh melalui

(5)

5

Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai

Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang

berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.

Pengakuan, penerimaan dan penghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak

dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga

mencermin-kan sifat khas sebagai Manusia Indonesia.

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat adalah

berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sedangkan Pancasila sebagai

sistem filsafat adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan,

saling bekerjasama antara sila yang satu dengan sila yang lain untuk tujuan

tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh yang

mempunyai beberapa inti sila, nilai dan landasan yang mendasar.

2.2 Pancasila Sebagai Ideologi Nasional

Sebelum melihat Pancasila sebagai ideologi nasional, apakah ideologi itu?

Singkatnya, secara etimologi, istilah ideologi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari

kata ―eidos‖ dan ―logos‖. Eidos berarti idea, gagasan, cita-cita ataupun konsep.

Sedangkan logos berarti ilmu, ajaran, atau paham. Jadi, ideologi adalah ilmu atau

ajaran tentang idea-idea, gagasan-gagasan, atau cita-cita tertentu. Selanjutnya ideologi

menurut makna yang dikandungnya berarti suatu ilmu atau ajaran yang mengandung

ide atau cita-cita yang bersifat tetap dan sekaligus merupakan dasar, pandangan

ataupun paham.

Lalu bagaimana dengan peranan ideologi dalam kehidupan bermsyarakat,

berbangsa, dan bernegara? Sebagaimana diuraikan di muka, ideologi mengandung

nilai-nilai dasar, norma-norma dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh masyarakat

penganutnya. Karena itu, ideologi memiliki peranan sebagai dasar, arah, dan tujuan

yang ingin dicapai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

a. Sebagai Dasar

Artinya merupakan pangkal tolak, asas atau fundasi di atas mana semua

kegiatan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara dibangun. dan dasar tersebut

umumnya berasal dari nilai-nilai yang berkembang dan hidup dalam masyarakat

itu sendiri (dimensi realitas). Pancasila sejak awal pembahasannya (sidang

BPUPKI tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 dan sidang gabungan tanggal

22 Juni 1945) memang direncanakan untuk dijadikan Dasar Negara. Tanggal 18

Agustus 1945 sidang PPKI menetapkan secara resmi Pancasila sebagai dasar

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(6)

6

Artinya sebagai pengatur dan pengendali kehidupan masyarakat, bangsa dan

Negara berupa norma-norma atau aturan-aturan yang harus dipatuhi agar arah

untuk mencapai cita-cita atau tujuan tidak menyimpang (dimensi normalitas).

Disini Pancasila menjelmakan diri sebagai pengarah, pengendali di dalam setiap

gerak tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran sebagai pengarah

ditunjukkannya pada kedudukan Pancasila sebagai ―sumber dari segala sumber

hukum‖ segala peraturan hukum dan perundang-undangan yang ada di Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

c. Sebagai Tujuan

Artinya semua aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara pada akhirnya mengarah pada suatu tujuan atau cita-cita yang

terkandung dalam ideologi yang dipakai. Pancasila sebagai ideologi nasional akan

memberikan motivasi dan semangat untuk melaksanakan pembangunan bangsa

secara adil dan seimbang untuk mencapai tujuan yang tercantum dalam

Pembukaan UUD 1945 (dimensi idealitas).

Ideologi Pancasila memandang manusia sebagai makhluk individu dan

makhluk sosial. Monodualisme ini adalah kodrati, maka manusia tidak dapat hidup

sendirian, ia selalu membutuhkan yang lain. Menurut konsep Pancasila, yakni

manusia dalam hidup saling tergantung antar manusia, saling menerina dan memberi

antar manusia dalam memasyarakat dan menegara. Saling tergantung dan saling

memberi merupakan pasangan pokok dan ciri khas persatuan serta menjadi inti isi dari

nilai kekeluargaan. Ideologi Pancasila, baik setiap silanya maupun paduan dari kelima

sila-silanya, mengajarkan dan menerapkan sekaligus mengehendaki persatuan.

Pancasila merupakan tatanan nilai yang digali atau dikristalisasikan dari nilai-nilai

dasar budaya bangsa Indonesia yang sudah sejak ratusan tahun lalu tumbuh dan

berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia (Bung Karno, 1 Juni 1945).

Kelima sila dalam Pancasila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh,

sehingga pemahaman dan pengamalannya harus mencakup semua nilai yang

terkandung di dalamnya. Sila Ketuhanan Yang Ma ha Esa, mengandung nilai spiritual,

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua pemeluk agama dan

penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk berkembang di

Indonesia. Nilai ini berfungsi sebagai kekuatan mental, spiritual, dan landasan etik

dalam Ketahanan Nasional, maka atheisme tidak berhak hidup di bumi Indonesia

dalam kerukunan dan kedamaian hidup beragama. Sila Kemanusioann Yang Adil dan

Beradab, tersimpul nilai satu derajat, sama kewajiban dan hak, saling mencintai,

hormat menghormati, keberanian membela kebenaran dan keadilan, toleransi dan nilai

gotong royong. Sila Persatuan Indonesia. mengandung nilai-nilai kebangsaan, cinta

(7)

7

Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusya waratan / Perwakilan,

mengandung nilai kedaulatan berada di tangan rakyat (demokrasi) yang dijelmakan

oleh persatuan nasional yang riil dan wajar. Nilai ini mengutamakan kepentingan

Negara / bangsa dengan tetap menghargai kepentingan pribadi dan golongan,

musyawarah untuk mufakat dan menjunjung tinggi harkat dan martabat serta nilai

kebenaran dan keadilan. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,

mengandung nilai sikap adil, menghormati hak orang dan sikap gotong royong, yang

menjamin kemakmnuran masyarakat secara menyeluruh dan adil.

Selanjutnya dengan melihat Pancasila sebagai suatu ideologi terbuka, suatu

ideologi disebut terbuka bila ideologi tersebut dapat menerima dan bahkan

mengembangkan pemikiran-pemikiran baru sejauh tidak bertentangan dengan

nilai-nilai dasarnya. Ideologi yang dapat menerima pemikiran-pemikiran baru tentang nilai-nilai

dasar yang terkandung pada dirinya, tanpa harus khawatir kehilangan jati dirinya.

Ideologi seperti ini disebut ideologi yang demokratis, yang berlawanan dengan

ideologi tertutup atau tidak demokratis (otoriter/totaliter). Pancasila sebagai ideologi

jelas mempunyai nilai demokratis. Hal ini telah ditunjukkan oleh asas sila keempat

yaitu : ―Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusya waratan/perwakilan‖. Suatu ideologi yang demokratis adalah ideologi

terbuka, yaitu mampu menerima pemikiran-pemikiran baru dalam rangka

pengembangan atau penyempurnaan perwujudan nilai-nilai dasar yang terkandung di

dalamnya. Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak sekedar dapat menerima, bahkan

mendorong untuk dapat menciptakan pemikiran-pemikiran baru tersebut dalam

rangka lebih menyegarkan dan memperkuat relevansinya dengan perkembangan spirit

zaman. Suaitu ideologi yang dalam kenyataannya tidak mampu lagi menerima

pemikiran-pemikiran baru atau metode baru yang berbeda, yang demikian disebut

ideologi tertutup atau ideologi otoriter/totaliter, walaupun dapat saja penganutnya

menyatakan ideologinya demokratis.

Pancasila sebagai ideologi terbuka, mengandung arti bahwa nilai dasar yang

terkandung dalam Pancasila bersifat tetap atau abadi, namun dalam penjabarannya

dapat dikembangkan secara kreatif dan dinamis sesuai dengan kebutuhan dinamika

perkembangan masyarakat Indonesia sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan nilai

instrumental yang dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan spirit zaman.

Sebagai ideologi terbuka, dalam batas-batas tertentu Pancasila dapat menerima dan

menampung pengaruh-pengaruh dari nilai-nilai yang berasal dari luar sepanjang tidak

bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang ada. Lebih dari itu justru memperkaya

bentuk perwujudan yang beraneka ragam dalam tata kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara, dengan tidak harus mengorbankan nilai-nilai dasarnya yang

(8)

8

adalah dalam tata kehidupan Negara kita yang dinyatakan, bahwa Negara kita

berdasar atas hukum, bukan atas kekuasaan belaka.

Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diklasifikasikan melalui:3

1. Dilihat dari kandungan muatan suatu ideologi, setiap ideologi mengandung

di dalamnya sistem nilai yang diyakini sebagai sesuatu yang baik dan

benar. Nilai-nilai itu akan merupakan cita-cita yang memberi arah terhadap

perjuangan bangsa dan negara.

2. Sistem nilai kepercayaan itu tumbuh dan dibentuk oleh interaksinya

dengan berbagai pandangan dan aliran yang berlingkup mondial dan

menjadi kesepakatan bersama dari suatu bangsa.

3. Sistem nilai itu teruji melalui perkembangan sejarah secara terus-menerus

dan menumbuhkan konsensus dasar yang tercermin dalam kesepakatan

para pendiri negara (the fouding father).

4. Sistem nilai itu memiliki elemen psikologis yang tumbuh dan dibentuk

melalui pengalaman bersama dalam suatu perjalanan sejarah bersama,

sehingga memberi kekuatan motivasional untuk tunduk pada cita-cita

bersama.

5. Sistem nilai itu telah memperoleh kekuatan konstitusional sebagai dasar

negara dan sekaligus menjadi cita-cita luhur bangsa dan negara.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dapat

mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Sisi futuristik yang

melekat pada Pancasila sebagai ideologi ini di satu pihak, dapat membawa orang pada

harapan yang kurang realistik. Oleh karena itu, perlu selalu berdialog dengan

kenyataan yang ada. Dalam hal ini ilmu pengetahuan dapat berperan. Di pihak lain,

sifat futuristik ideologi mengimplikasikan bahwa kenyataan yang ada (sistem

ekonomi, politik, budaya) tidak dapat dipandang sebagai perwujudan yang telah

tuntas dari sudut sebagai ideologi—dalam hal ini ideologi Pancasila. Maka ideologi

harus mampu berfungsi menyoroti kenyataan yang ada dan berfungsi kritis terhadap

perwujudannya yang selalu belum sempurna. Dengan kata lain, ideologi Pancasila

dapat menjadi titik referensi bagi kritik sosial (Sstrapratedja, 1993). Sehingga dapat

disimpulkan bahwa pancasila ideologi nasional dipahami dalam perspektif

kebudayaan bangsa dan bukan dalam perpektif kekuasaan, sehingga bukan sebagai

alat kekuasaan.

Pancasila perlu disosialisasikan agar dipahami oleh dunia sebagai landasan

filosofis bangsa Indonesia dalam mempertahankan eksistensi dan mengembangkan

dirinya menjadi bangsa yang sejahtera dan modern. Sebagai ideologi nasional, ia

harus diperjuangkan untuk diterima kebenarannya melewati batas-batas Negara

3

(9)

9

bangsa kita sendiri. Tentu bentuk perjuangan ideologi pada waktu ini berbeda dengan

zaman berbenturannya nasionalisme dengan imperialisme, sosialisme dengan

kapitalisme, dan antara demokrasi dengan totaliterianisme. Keberhasilan Pancasila

sebagai suatu ideologi akan diukur dari terwujudnya kemajuan yang pesat,

kesejahteraan yang tinggi, dan persatuan yang mantap dari seluruh rakyat Indonesia.

Hanya dengan mencapai kondisi bangsa yang maju, sejahtera, dan bersatu sajalah

Indonesia dapat menjadi salah satu rujukan dunia. Saat itulah Pancasila berpotensi

untuk diterima oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Saya berpendapat, kondisi itu adalah

hal yang mungkin terjadi yang perlu diwujudkan; menjadi mission sacre kita sebagai

suatu bangsa. Konsepsi dan praktik kehidupan yang Pancasilais terutama harus

diwujudkan dalam keseharian kaum elite, para pemimpin, para penguasa, para

pengusaha, dan kaum terpelajar Indonesia untuk menjadi pelajaran masyarakat luas.

2.3 Identitas Nasional

Identitas nasional pada hakikatnya merupakan ―manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa (nation) dengan

ciriciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa

lain dalam hidup dan kehidupannya‖. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris

Identity yang memiliki pengertian harafiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang

melekat pada seseorang atau suatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam

term antropologi identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan

kesadaran diri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara

sendiri. Mengacu pada pengertian ini identitas tidak terbatas pada individu semata

tetapi berlaku pula pada suatu kelompok. Sedangkan kata nasional merupakan

identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang kebih besar yang diikat oleh

kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, dan bahasa maupun non fisik

seperti keinginan, cita-cita dan tujuan. Himpunan kelompok-kelompok inilah yang

kemudian disebut dengan istilah identitasbangsa atau identitas nasional yang pada

akhirnya melahirkan tindakan kelompok (collective action) yang diwujudkan dalam

bentuk organisasi atau pergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional.

Kata nasional sendiri tidak bisa dipisahkan dari kemunculan konsep nasionalisme.

(Siswomihardjo, 2005)

Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk.

Kemajemukan itu merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentukan identitas yaitu

suku bangsa, agama, kebudayaan dan bahasa (Rosyada, 2003);

1) Suku bangsa, adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada

(10)

10

Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak

kurang tiga ratus dialek bahasa.

2) Agama, bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat agamis. Agama-agama

yang tumbuh dan berkembang di nusantara adalah agama Islam, Kristen,

Katholik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde

Baru tidak diakui sebagai agam resmi negara namun sejak pemerintahan Presiden

Abdurahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.

3) Kebudayaan, adalah pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang isinya

adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif

digunaan oleh pendukungpendukung untuk menafsirkan dan memahami

lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk

bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan

lingkungan yang dihadapi.

4) Bahasa, merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa

dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbiter dibentuk atas

unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan yang digunakan sebagai sarana berinteraksi antar

manusia

Adapun faktor-faktor pembentuk identitas nasional (Surbakti, 1999);

a. Primordialisme

Ikatan kekerabatan (darah dan keluarga) dan kesamaan suku

bangsa, daerah, bahasa dan adat istiadat merupakan faktor-faktor

primordial yang dapat membentuk bangsa-bangsa. Primordialisme tidak

hanya menimbulkan pola perilaku yang sama, tetapi juga melahirkan

persepsi yang sama tentang masyarakat negara yang dicita-citakan.

Walaupun ikatan kekerabatan dan kesamaan budaya itu tidak menjamin

terbentuknya suatu bangsa, karena mungkin ada factor yang lain yang

lebih menonjol, namun kemajemukan secara budaya mempersukar

pembentukan suatu nasionalisme baru (bangsabangsa) karena perbedaan

ini akan melahirkan konflik nilai.

b. Keagamaan (Sakralitas Agama)

Kesamaan agama yang dipeluk oleh suatu masyarakat, atau ikatan

ideologi doktriner yang kuat dalam suatu masyarakat merupakan faktor

sakral yang dapat membentuk bangsa-negara. Ajaran-ajaran agama dan

ideologi doktriner tidak menggambarkan semata-mata bagaimana

seharusnya hidup (dalam hal ini cara hidup yang suci, agama menjanjikan

surga, ideologi doktriner menjanjikan masyarakat tanpa kelas), karena

menggambarkan cara hidup yang seharusnya dan tujuan suci. Walaupun

(11)

11

bangsa-negara, namun faktor ini ikut menyumbangkan bagi terbentuknya

satunasionalitas.

c. Pemimpin Bangsa

Kepemimpinan dari seorang tokoh yang disegani dan dihormati

secara luas oleh masyarakat dapat pula menjadi faktor yang menyatukan

suatu bangsa-negara. Pemimpin ini menjadi panutan sebab warga

masyarakat mengidentifikasikan diri kepada sang pemimpin, dan ia

dianggap sebagai "penyambung lidah" masyarakat.

d. Sejarah Bangsa

Persepsi yang sama tentang asal-usul (nenek moyang) dan/atau

persepsi yang sama tentang pengalaman masa lalu seperti penderitaan

yang sama yang disebabkan dengan penjajahan tidak hanya melahirkan

solidaritas (sependeritaan dan sepenanggungan), tetapi juga tekad dan

tujuan yang sama antar kelompok masyarakat. Solidaritas, tekad, dan

tujuan yang sama itu dapat menjadi identitas yang menyatukan mereka

sebagai bangsa sebab hal-hal ini akan membentuk konsep ke-kita-an dalam

masyarakat. Sejarah tentang asal-usul dan pengalaman masa lalu ini

biasanya dirumuskan (cenderung didramatisasikan), dan disosialisasikan

kepada seluruh anggota masyarakat melalui media massa (film

dokumenter, film cerita, dan drama melalui televisi dan radio). Khusus

bagi generasi baru, konsep sejarah ini disampaikan melalui pendidikan

formal di sekolah-sekolah dalam mata ajaran Sejarah Perjuangan Bangsa

(Sejarah Nasional).

e. Perkembangan Ekonomi

Perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan melahirkan

spesialisasi pekerjaan yang beraneka sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Semakin tinggi mutu dan semakin bervariasi kebutuhan masyarakat,

semakin tinggi pula tingkat saling bergantung di antara berbagai jenis

pekerjaan. Setiap orang bergantung pada pihak lain dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya. Semakin kuat suasana saling bergantung

antaranggota masyarakat karena perkembangan ekonomi maka semakin

besar pula solidaritas dan persatuan dalam masyarakat. Solidaritas yang

ditimbulkan dengan perkembangan ekonomi itu disebutkan oleh pula

sebagai solidaritas organis.

Setelah melihat kemajemukan, unsur-unsur, dan faktor-faktor pembentuk

identitas nasinal, lalu bagaimana dengan parameter identitas nasional? Parameter

identitas nasional adalah suatu ukuran atau patokan yarg dapat digunakan untuk

(12)

12

adalah unsur suatu identitas scperti kebudayaari yang menyangkut norma, bahasa,

adat istiadat dan teknologi, sesuatu yang alami atau ciri yang sudah terbentuk seperti

geografis. Sesuatu yang terjadi dalam suatu masyarakat dan mencari ciri atau identitas

nasional biasanya mempunyai indikator sebagai berikut (Siswomihardjo, 2005) :

1. Identitas nasional menggambarkan pola perilaku yang teruwujud mealui aktivitas

masyarakat sehari-harinya. Identitas ini menyangkut adati stiadat, tata kelakuan,

dan kebiasaan. Ramah tamah, hormat kepada orang tua, dan gotong royong

merupakan salah satu identitas nasional yang bersumber dari adat-istiadat dan

tata kelakuan.

2. Lambang-lambang yang merupakan ciri dari bangsa dan sccara simbolis

menggambarkan tujuan dan fungsi bangsa. Lambang-lambang ncgara ini

biasanya dinyatakan dalam undang-undang seperti Garuda Pancasila, bendera,

bahasa, dan lagu kebangsaan.

3. Alat-alat pelengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan seperti

bangunan, teknologi, dan peralatan manusia. Identitas yang berasal dari alat

perlengkapan ini seperti bangunan yang merupakan tempat ibadah (borobudur,

prambanan, masjid dan gereja), peralatan manusia (pakaian adat, teknologi

bercocok tanam), dan teknologi (pesawat terbang, kapal laut, dan lain-lain).

4. Tujuan yang ingin dicapai suatu bangsa. Identitas yang bersumber dari tujuan ini

bersifat dinamis dan tidak tetap seperti budaya unggul, prestasi dalam bidang

tertentu, seperti di Indonesia dikenal dengan bulu tangkis.

Bagi bangsa Indonesia, pengertian parameter identitas nasional tidak merujuk

hanya pada individu (adat istiadat dan tata laku), tetapi berlaku pula pada suatu

kelompok Indonesia sebagai suatu bangsa yang majemuk, maka kemajemukkan itu

merupakan unsur-unsur atau parameter pembentuk identitas yang melekat dan diikat

oleh kesamaan-kesamaan yang terdapat pada segenap warganya, seperti yang

dijelaskan sebelumnya. Maka dapat disimpulkan identitas nasional merupakan

manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek

kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas tertentu yang membuat bangsa

bersangkutan berbeda dengan bangsa lain. Identitas nasional Indonesia adalah

Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan

(13)

13

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat adalah berpikir

secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sedangkan Pancasila sebagai sistem filsafat adalah

suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama antara sila yang

satu dengan sila yang lain untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu

kesatuan yang utuh yang mempunyai beberapa inti sila, nilai dan landasan yang mendasar.

Pancasila sebagai ideologi nasional menggambarkan identitas bangsa Indonesia. Pancasila

merupakan dasar negara Republik Indonesia yang dijadikan sebagai pedoman bagi bangsa

Indonesia untuk bertindak sekaligus menggambarkan jati diri bangsa Indonesia. Pancasila

sebagai identitas nasional hendaknya mampu membuat bangsa indonesia disegani di dunia

internasional. Identitas adalah ungkapan nilai-nilai budaya suatu bangsa yang bersifat khas

danmembedakannya dengan bangsa lain. Kekhasan yang melekat pada sebuah bangsa banyak

dikaitkan dengan sebutan ―identitas nasional‖. Namun demikian, proses pembentukan

identitas nasional bukan sesuatu yang sudah selesai, tetapi sesuatu yang terus berkembangdan

(14)

14

REFERENSI

Pancasila Sebagai Ideologi Negara, file pdf diunduh melalui

http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/389/jbptunikompp-gdl-dewitriwah-19403-3-(pertemu-l.pdf (diakses 15 Februari 2015. 20:00)

Rosyada, D. (2003). Pendidikan Kewarganega raa n (Civil Education) Hak Asasi Manusia

Masyarakat Madani. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: Tim ICCE UIN Jakarta,

Fajar Interpratama Offset.

Siswomihardjo, K. W. (2005). Pancasila sebagai Dasar Etika Kehidupan Bermasyarakat,

Berbangsa, dan Bernegara. Makalah. SUSCADOS PKn Dirjen Dikti

Depdiknas. Jakarta. 13-23 Desember 2005.

Sstrapratedja. (1993). "Pendidikan Nilai" dalam Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: PT. Grasindo.

Referensi

Dokumen terkait

METODOLOGI.

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Departemen Pendidikan Luar Sekolah.. Oleh:

— Not considered part of Handshake Protocol — Sent using Change Cipher Spec Protocol. • Client sends finished message under new algorithms, keys,

Oleh karena itu diperlukan suatu kajian atau penelitan untuk mengetahui pendapatan dan kelayakan usahatani kelapa dalam di Desa Kasoloang, maka akan dilakukan

RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR Jln. Tembus Terminal KM.12 No. 02, Kelurahan Alang-Alang Lebar  Jln. Tembus Terminal KM.12 No. 02, Kelurahan Alang-Alang

Di dalam penelitian ini diuraikan mengenai transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan dari segi perpajakan masih belum berjalan secara efektif, hal ini dikarenakan tidak

al, paradigm pendidikan Islam upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.75-80.. Pembelajaran merupakan suatu kombinasi

Based on the results and discussion that has been obtained, it can be concluded that: The process of application of learning models of children learning in