• Tidak ada hasil yang ditemukan

A0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000. Latar Belakang - Hukum Jaminan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "A0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000. Latar Belakang - Hukum Jaminan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

DISUSUN OLEH :

ANTONIUS KETUT D

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari melakukan pinjaman dana untuk

memenuhi kebutuhan tertentu sudah merupakan suatu hal yang

wajar. Lembaga keuangan yang memberikan pinjaman dana juga

telah sangat banyak, mulai dari bank (pemerintah dan swasta),

lembaga pegadaian dan lembaga keuangan bukan bank lainnya.

Bahkan dalam praktek, transaksi pinjam meminjam dana dalam

jumlah besar sering juga terjadi antar individu, misalnya sesama rekan

bisnis. Agar transaksi pinjam meminjam ini dapat berlangsung dengan

baik, maka dalam praktek dikenal adanya ‘’jaminan/agunan” dari pihak

yang berhutang kepada pihak yang berpiutang. Hal ini dilakukan untuk

menjamin agar hutang tersebut akan dibayar sesuai dengan perjanjian

dan jika yang berhutang ingkar janji (wanprestasi), maka benda yang

dijadikan jaminan dapat dijual oleh pihak yang berpiutang untuk

menggantikan hutang yang tidak dibayar tersebut.1

1 Yuli Prasetyo Adhi, Penerapan Eksekusi Jaminan Fidusia, Jurnal Masalah-Masalah

Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegroro, Semarang, September 2008, Jilid 37 Nomor 3, hlm. 194.

(2)

Pasal 8 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun

1992 Tentang Perbankan, menyebutkan bahwa : “Dalam memberikan

kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan

kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang

diperjanjikan”. Dan disebutkan dalam Pasal 8 penjelasan Undang

Undang tersebut diatas, bahwa : “Kredit yang diberikan oleh bank

mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus

memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi

risiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya

sesuai dengan yang diperjanjiakn merupakan factor penting yang

harus diperhatikan bank.”

Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan

kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap

watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari debitor.

Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan

pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah

dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitor mengembalikan

hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak

tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.

Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu

tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain

(3)

meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung

dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan “agunan

tambahan”. 2

Kegiatan pinjam meminjam uang yang dikaitkan dengan

persyaratan penyerahan jaminan utang banyak dilakukan oleh

perorangan dan berbagai badan usaha. Badan usaha umumnya

secara tegas mensyaratkan kepada pihak peminjam untuk

menyerahkan suatu barang (benda) sebagai objek jaminan utang

pihak peminjam. Jaminan utang yang ditawarkan (diajukan) oleh

pihak peminjam umumnya akan dinilai oleh badan usaha tersebut

sebelum diterima sebagai objek jaminan atas pinjaman yang

diberikannya. Penilaian yang seharusnya dilakukan sebagaimana

yang biasa terjadi dibidang perbankan meliputi penilaian dari segi

hukum dan dari segi ekonomi. Berdasarkan penilaian dari kedua segi

tersebut diharapkan akan dapat disimpulkan kelayakannya sebagai

jaminan utang yang baik dan berharga.3 Pada prakteknya, hal yang

berkaitan dengan pemberian jaminan/agunan tersebut telah

dilembagakan dan diatur secara lengkap, dan lembaga jaminan yang

obyek jaminannya berupa tanah dan benda-benda yang berkaitan

dengan tanah adalah Hak Tanggungan.

2 Penjelasan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. 3 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT.

(4)

Pada dasarnya pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan

sendiri oleh pemberi hak tanggungan, hanya apabila benar-benar

diperlukan, yaitu dalam hal pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diperlukan

penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

Sejalan dengan itu, surat kuasa tersebut harus diberikan langsung

oleh pemberi hak tanggungan dan harus memenuhi persyaratan

mengenai muatannya sebagaimana ditetapkan. Tidak dipenuhinya

syarat tersebut mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal

demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak

dapat dipergunakan untuk sebagai dasar pembuatan APHT. 4

Pada kondisi tertentu pembebanan Hak Tanggungan Atas

Tanah perlu dibuat Surat Kuasa Untuk Membebankan Hak

Tanggungan (SKMHT) dari pihak pemberi hak tanggungan kepada

pihak penerima (pemegang) hak tanggungan. Ada beberapa alasan

dibuatnya Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)

diantaranya adalah :

1. Obyek Hak Tanggungan (tanahnya) berada diluar daerah

kerja Notaris yang merangkap sebagai PPAT.

2. Obyek Hak Tanggungan (tanahnya) belum bersertipikat.

3. Obyek Hak Tanggungan (tanahnya) belum dibalik nama

keatas nama pemberi hak tanggungan.

4 Purwahid Patrik & Kashadi, Hukum Jaminan, Fakultas Hukum Universitas

(5)

Jangka waktu berlakunya SKMHT terbatas sesuai dengan

kondisi obyek hak tanggungan (tanahnya) sesuai peraturan yang

ditentukan dalam Undang Undang Hak Tanggungan dan Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4

Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan

Kredit-Kredit Tertentu, sehingga kemungkinan dapat terjadi pemberi

kuasa meninggal dunia sebelum dilaksanakannya pembebanan hak

tanggungan. Apa akibat hukumnya dan bagaimana kelanjutannya

apabila SKMHT atas tanah yang dibuat oleh pemberi kuasa yang

kemudian meninggal dunia perlu dikaji dan diteliti lebih lanjut, karena

SKMHT merupakan perjanjian pemberian kuasa akan dilakukannya

pembebanan hak tanggungan atas tanah.

Ketentuan mengenai batas waktu berlakunya SKMHT

dimaksudkan untuk mencegah berlarut-larutnya waktu pelaksanaan

kuasa itu. Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan dibuatnya

SKMHT baru. 5

Bangsa Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang mengatur

tentang hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah yaitu

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah, yang diundangkan pada tanggal 9 April 1996 sering

(6)

disebut Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) mengatur tentang

Hak Tanggungan di Indonesia secara menyeluruh. Sebelum

Undang-Undang ini berlaku sebelumnya dikenal Undang-Undang-Undang-Undang Hipotek yaitu

dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Bab 21 Pasal 1162 sampai Pasal 1232.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996,

maka terpenuhilah apa yang diperintahkan dalam Pasal 51 UUPA,

sehingga tidak diperlukan lagi penggunaan ketentuan-ketentuan

hypotheek dan credietverband seperti disebutkan Pasal 57 UUPA.

Oleh karena itu ditegaskan dalam Pasal 29 UUHT, bahwa dengan

berlakunya undang-undang ini, ketentuan mengenai credietverband

sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 sebagai yang telah

diubah dengan Staatsblad 1937-190 dan ketentuan mengenai

hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan

hak tanggungn pada hak atas tanah beserta benda-benda yang

berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. 6

Perbedaan ketentuan hipotek dengan ketentuan dalam Undang

Undang Hak Tanggungan (UUHT) terletak dalam beberapa hal

seperti :

1. UUHT memberi banyak aturan administratif tentang

pelaksanaan dan cara memasang hak tanggungan.

(7)

2. Hak Pakai telah ditingkatkan (di-upgrade), sehingga hak

pakai atas tanah dapat didaftarkan dan dibebankan dengan

hak tanggungan. Kemungkinan terakhir ini memberi peluang

bagi golongan ekonomi lemah untuk menggunakannya

sebagai alat meminjam uang dan dengan demikian

memperbaiki kehidupan mereka dengan membeli rumah atau

barang lain yang harganya belum terjangkau oleh mereka.

3. Dalam UUHT dimasukkan peraturan mengenai eksekusi

serta pelaksanaannya, khususnya mengenai hak tanggungan

atas tanah, aturan eksekusi barang lain selain tanah termuat

dalam Hukum Acara Perdata.

4. UUHT berisi ketentuan tentang hukuman adminstratif

terhadap pejabat agraria yang menyeleweng atau membuat

kesalahan.

5. UUHT memberi instruksi kepada PPAT tentang cara

mengisi beberapa formulir. Maklum, jabatan PPAT juga

diberikan kepada pejabat pemerintah yang bekerja sehari-hari

bukan sebagai pembuat akta.7

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda

Yang Berkaitan Dengan Tanah menegaskan bahwa SKMHT wajib

dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT, kemudian bentuk SKMHT

7 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van

(8)

ditentukan dalam huruf h (lampiran 23) Pasal 96 ayat (1) Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Dengan demikian

kewenangan untuk membuat SKMHT ada pada Notaris dan PPAT.

Notaris dan Pejabat Pembuat akta Tanah (PPAT) sangat

berperan dalam persentuhan antara perundang-undangan dan dunia

hukum, sosial dan ekonomi praktikal. 8

Penulis akan menguraikan permasalahan yang menitik beratkan

khusus pada surat kuasa yang dibuat untuk membebankan hak atas

tanah yang belum bersertipikat atau surat kuasa membebankan hak

tanggungan (SKMHT) jika pemberi kuasa meninggal dunia.

B. Perumusan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk membatasi

masalah dengan mengidentifikasinya sebagai berikut :

Bagaimanakah kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan (SKMHT) apabila pemberi kuasa meninggal dunia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

8 Herlien Boediono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum

(9)

Untuk mengetahui, memahami dan meneliti kedudukan surat

kuasa Membebankan Tanggungan (SKMHT) apabila pemberi kuasa

meninggal dunia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan dan

manfaat sebagai berikut :

1. Secara Teoritis :

Memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha

mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan hukum

perjanjian serta perikatan yang berkaitan dengan perjanjian

pemberian kuasa membebankan hak tanggungan atas tanah

pada khususnya.

2. Secara Praktis :

a. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat

bagaiamana cara memberikan kuasa untuk memebankan

hak tangungan atas tanah dalam rangka meningkatkan

produktifitas usahanya dengan cara memasang hak

tanggungan kepada pihak pemberi kredit (kreditor) dan

bagaimana menyelesaikannya bila pemberi kuasa

meninggal dunia.

b. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat yang

melaksanakan perjanjian pemberian kuasa, khususnya

(10)

hukumnya terhadap surat kuasa yang diberikannya serta

apa sebabnya dibuat akta tersebut.

E. Kerangka Pemikiran/Kerangka Teoritik

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)

merupakan salah satu bentuk perjanjian secara tertulis dari pihak

pemberi hak tanggungan kepada penerima hak tanggungan untuk

membebankan hak tanggungan.

SKMHT adalah kuasa yang diberikan oleh pemberi Hak

Tanggungan sebagai pemberi kuasa kepada penerima kuasa

khusus untuk membebankan suatu benda dengan hak Hak

Tanggungan. 9

Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau

badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang

bersangkutan. Sedang pemegang hak tanggungan adalah orang

perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai

pihak yang berpiutang . 10

Jenis utang yang dapat dijamin dengan hak tanggungan

adalah :

1. Utang yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu.

9 Mariam Darus Badrulzaman, Serial Hukum Perdata, Buku II Kompilasi Hukum

Jaminan, CV. Mandar Maju, 2004, Bandung, hlm.76.

10 Komariah, Hukum Perdata, Edisi Revisi, Universitas Muhammadiyah Malang,

(11)

2. Utang yang jumlahnya dapat ditentukan pada saat

eksekusi berdasarkan perjanjian utang piutang atau

perjanjian lain yang menimbulkan utang.

Hak tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang

berasal dari satu hubungan hukum atau satu utang atau lebih yang

berasal dari beberapa hubungan hukum. 11

Menurut Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, Pemberian Kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana

seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang

menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu

urusan.

Mengenai istilah perjanjian dalam hukum perdata Indonesia

yang berasal dari istilah Belanda sebagai sumber aslinya sampai

saat ini belum ada kesamaan dan kesatuan dalam menyalin ke

dalam bahasa Indonesia, dengan kata lain belum ada kesatuan

terjemahan untuk satu istilah asing ke dalam istilah teknis yuridis

dari istilah Belanda ke dalam istilah Indonesia. Para ahli hukum

Perdata

Indonesia menerjemahkan atau menyalin istilah perjanjian

yang berasal dari istilah Belanda didasarkan pada pandangan dan

tinjauan masing-masing.12

11 ibid

12 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, CV. Alfabeta, 2005,

(12)

Dalam hukum perdata Nederland dalam hubungannya

dengan istilah perjanjian dikenal dua istilah yaitu VERBINTENIS

dan OVEREENKOMST, dari dua istilah tersebut para ahli hukum

perdata Indonesia berbeda-beda dalam menafsirkan ke dalam

istilah hukum Indonesia.

Prof. Utrecht, SH. menerjemahkan verbintenis dengan

perutangan dan overeenkomst dengan istilah perjanjian. Achmat

Ichsan, SH. Menggunakan istilah perjanjian untuk verbintenis dan

persetujuan untuk overenkomst. Drs. Kansil, SH. Verbintenis

diterjemahkan perikatan dan perjanjian untuk menerjemahkan

overenkomst. KUHPerdata terjemahan Prof. R. Subekti, SH dan

Tjitro Sudibio menggunakan istilah perikatan untuk Verbintenis dan

istilah persetujuan untuk overeenkomst.

R. Subekti, mengemukakan perkataan perikatan sudah

tepat sekali untuk meluluskan suatu pengertian yang sama dengan

apa yang dalam bahasa Belanda dimaksudkan “Verbintenis” yaitu

hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak dan

kewajiban yaitu hak untuk menuntut sesuatu dan disebelah lain

untuk memenuhi kewajiban, sedangkan Koesumadi

menerjemahkan Verbintenis dengan perutangan dengan alasan

(13)

perdata hanyalah perikatan yang terletak dalam lapangan harta

kekayaan saja, bukan perikatan pada umumnya.13

Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum perikatan,

diatur dalam buku III KUHPerdata. Dikatakan salah satu sumber

hukum perikatan karena sumber hukum perikatan bukan hanya

perjanjian, tetapi masih ada sumber hukum lainnya yaitu

Undang-undang, yurisprudensi, hukum tertulis dan tidak tertulis dan ilmu

pengetahuan hukum. Undang-undang yang juga sebagai sumber

hukum perikatan masih dibagi lagi menjadi dua, yaitu

undang-undang saja dan undang-undang-undang-undang karena perbuatan manusia yang

halal dan melawan hukum.

Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap

perikatan dilahirkan karena persetujuan atau karena

undang-undang”. Dari bunyi Pasal tersebut secara jelas bahwa sumber

hukum perikatan adalah :

1. Perjanjian atau persetujuan adalah sumber penting yang

melahirkan perikatan, karena perjanjian ini yang paling

banyak dilakukan di dalam kehidupan masyarakat. Misalnya

jual beli, sewa menyewa adalah perjanjian yang menerbitkan

perikatan.

2. Undang-undang sebagai sebagai sumber perikatan dibagi

dua, berdasarkan Pasal 1352 KUHPerdata yaitu :

(14)

a. Bersumber pada undang-undang saja, misalnya orang tua

yang berkewajiban untuk memberikan nafkah adalah

perikatan yang lahir dari undang-undang saja.

b. Bersumber pada undang-undang karena perbuatan

manusia, dibedakan menjadi dua, yaitu :

1). Perbuatan manusia menurut hukum, misalnya mewakili

urusan orang lain, sesuai Pasal 1354 KUHPerdata

atau disebut zaakwaarneming.

2

). Pebuatan manusia karena perbuatan melawan hukum,

sesuai Pasal 1365 KUHPerdata.

Salah satu agenda dari Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional adalah menciptakan Indonesia yang adil dan

demokrasi, dengan pembenahan sistem hukum dan politik hukum.

Pasal 1 ayat (3) Bab 1, amandemen ketiga Undang-undang Dasar

1945 menegaskan kembali bahwa “negara Indonesia adalah negara

hukum”. Artinya bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah

negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan

atas kekuasaan (machstaat), dengan pemerintahan yang berdasarkan

sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang

tidak terbatas). Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3)

amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945, 3 (tiga) prinsip dasar

(15)

kesetaraan didepan hukum dan penegakan hukum dengan cara-cara

yang tidak bertentangan dengan hukum.14

Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil

dan makmur, secara materil dan spiritual, serta merupakan upaya

yang berkesinambungan. Sejalan dengan hal tersebut, Mochtar

Kusumaatmadja berpendapat bahwa hukum merupakan sarana

pembaharuan masyarakat, yang didasarkan atas anggapan bahwa

adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau

pembaharuan merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan

dipandang (mutlak) perlu.15

Hukum Tanah Nasional yang berlaku di seluruh wilayah

Indonesia dan untuk seluruh Warga Negara Indonesia adalah

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA), dan mengenai hak tanggungan telah

diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah, dengan diberlakukanya Undang-undang tersebut,

maka sejak itulah setiap jenis hak tanggungan atas tanah harus

didasarkan pada Undang-undang tersebut serta peraturan

pelaksanaannya dan semua peraturan yang mengatur tentang hak

14 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional,Bab IX.

15Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,

(16)

tanggungan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan

tidak berlaku lagi.

Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan yang mengatur dan

berhubungan dengan hak tanggungan adalah :

1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Pasal 25, 33,

39 dan 51 mengenai Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha

(HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) sebagai obyek

Hak Tanggungan.

2. Undang Undang Hak Tanggungan tersebut diatas.

3. PP Nomor 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.

4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor

3/1997 tentang ketentuan pelaksanaan PP Nomor

24/1997 Tentang pendaftaran tanah.

5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor

4/1996 tentang penetapan batas waktu penggunaan

SKMHT untuk menjamin pelunasan kredit-kredit

tertentu.16

Pengertian hak tanggungan menurut Pasal 1 UUHT

sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria adalah hak jaminan

yang dibebankan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut

benda-benda yang merupkan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk

16 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang

(17)

pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. 17

Syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan akta surat kuasa

membebankan hak tanggungan (SKMHT) menurut Undang-undang

hak tanggungan terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) yaitu :

Ayat (1) : Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat

dengan akta Notaris atau PPAT dan memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum

lain daripada membebankan Hak Tanggungan.

b. tidak memuat kuasa substitusi.

c. Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan,

jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama

dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak

Tanggungan.

Ayat (2) : Kuasa Untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat

ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun

juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau

karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) dan (4).

Ayat (3) : Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai

hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan

(18)

pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan

selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.

Ayat (4) : Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai

hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan

pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan

selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.

Ayat (5) : Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat

(4) tidak berlaku dalam Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Ayat (6) : Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak

diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3)

dan ayat (4) atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan

sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi

hukum.

Obyek HakTanggungan menurut Pasal 4

ayat 1 dan 2 dan pasal 27 UUHT adalah :

1. Hak Milik.

2. Hak Guna Usaha.

(19)

4. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang

berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah

tangankan.

5. Rumah Susun yang berdiri diatas tanah Hak Pakai yang

diberikan oleh Negara.

6. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri

diatas tanah Hak Pakai yang diberikan oleh negara.

Menurut R. Subekti apabila si berutang (debitur) tidak

melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan

“wanprestasi”. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji. Atau juga ia

melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang

tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa

Belanda, yang berarti prestasi buruk.

Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seseorang dapat berupa

empat macam, yaitu :

a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan

dilakukannya.

b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, akan tetapi

tidak sebagaimana dijanjikan.

c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat,

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak

boleh dilakukannya. 18

(20)

Daftar Pustaka

A. Buku :

Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Djoko Walijatun, 1996, Undang-Undang Hak Tanggungan, Peraturan Pelaksaaan Dan Peraturan Yang Terkait, Yayasan Bhumi Bhakti Adhiguna, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.

Herlien Boediono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Komariah, 2005, Hukum Perdata, Edisi Revisi, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.

(21)

Mochtar Kusumaatmadja, 2000, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung.

Mariam Darus Badrulzaman, 2004, Serial Hukum Perdata, buku II Kompilasi Hukum Jaminan, CV. Maju Mandar, Bandung.

R. Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

R. Subekti & R. Tjitrosoedibio, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta.

Sutarno, 2005, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, CV. Alfabeta, Bandung.

Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4/1996, Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan Penjelasan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Undang Undang Nomor 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Undang Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(22)

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan Dan Sertipikat Hak Tanggungan.

Referensi

Dokumen terkait

Apakah motivasi dan prestasi kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Nganjuk.. KAJIAN PUSTAKA

(3) Formula yang diturunkan berdasarkan komposisi campuran bahan pembuat beton, tanpa Formula yang diturunkan berdasarkan komposisi campuran bahan pembuat beton,

Dalam penulisan rumus struktur , untuk mempelajari kimia organik maka dapat. dilakukan dengan beberapa cara misalnya untuk rumus molekul C 5 H 12

PENGARUH STRES KERJA, KELELAHAN, STRES FISIOLOGIS TERHADAP KINERJA MANAJER PROYEK, Natalia Puteri Rembulan Mayang Betari, NPM 09.02.13401, tahun 2014, Bidang Keahlian

Pengertian surat paksa yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang berbunyi bahwa surat paksa merupakan

Tedapat hubungan antara merek dengan keputusan pembelian dalam menggunakan kartu prabayar produk indoosat IM3 di Dukuh Ledok Gejikan RT 03 Desa Candi Kecamatan

Made Prama Astika, 2011, Analisis Hukum Penanganan Imigran Ilegal sebagai Pencari Suaka dan Pengungsi Di Indonesia berdasarkan perpektif Hukum Internasional, Fakultas Hukum

Sinar matahari yang masuk ke dalam rumah sangat penting bagi kesehatan penghuni rumah karena sinar matahari karena mengandung ultraviolet sehingga dapat berfungsi