• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Politik - Relasi Politik Dalam Pandangan Elite (Studi Deskriptif Persepi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional Dan Partai Damai Sejahtera Dalam Bingkai Komunikasi Politik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Politik - Relasi Politik Dalam Pandangan Elite (Studi Deskriptif Persepi Elite Muhammadiyah Sumatera Utara terhadap Fenomena Relasi Partai Amanat Nasional Dan Partai Damai Sejahtera Dalam Bingkai Komunikasi Politik)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1Komunikasi Politik

Kajian komunikasi politik pada awalnya berakar pada ilmu politik, meskipun

penamaan lebih banyak dikenal dengan istilah propaganda. Ini dimulai pada tahun 1922

dengan penelitian dari Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann yang menliti tentang opini

publik pada masyarakat, kemudian dilanjutkan oleh Bagehot, Maine, Byrce, dan Graha

Wallas di Inggris yang menelaah peranan pers dan pembentukan opini publik. Bahkan ketika

Harold D. Lasswell menulis disertasi doctor tentang Propaganda Technique in the World

War.

Komunikasi Politik menurut Dahlan(dalam Cangara, 2009:32-35) ialah satu bidang

atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik

mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Maka jika bertolak

dari konsep komunikasi dan konsep politik, pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan

sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang

berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain, dengan tujuan

untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku

khalayak yang menjadi target politik.

Faktor paling penting dalam komunikasi politik terletak pada isi pesan yang

bermuatan politik. Dan hal ini juga yang membedakannya dengan disiplin komunikasi

lainnya dalam studi ilmu komunikasi. Sebab politik, seperti halnya komunikasi, adalah

proses. Dan komunikasi politik melibatkan pembicaraan. Pembicaraan yang dimaksud disini

bukanlah dalam arti sempit seperti kata yang diucapkan, melainkan pembicaraan dalam arti

yang lebih inklusif, yang berarti segala cara orang bertukar simbol, seperti kata-kata yang

dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai, dan pakaian. Ilmuwan

politik Mark Roelofs (dalam Nimmo, 2005:8) mengatakan dengan cara sederhana, “politik

adalah pembicaraan, atau lebih tepat, kegiatan politik adalah berbicara.” Ia menekankan

bahwa politik tidak hanya pembicaraan, juga tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan

tetapi, “hakikat pengalaman politik, dan bukan hanya kondisi dasarnya, ialah bahwa ia adalah

kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.”

Isi pesan yang sarat dengan muatan nilai-nilai politik ini kemudian juga turut memberi

(2)

dari sekadar penyampaian informasi politik, pembentukan citra politik, pembentukan opini

publik, dan bisa pula untuk mengendalikan pendapat atau tuduhan lawan politik. Dan senada

dengan tujuan itu, sekaligus sebagai tahap pendukung dalam proses pencapaiannya , terdapat

beberapa fungsi yang terkait dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah yang

tak lain merupakan fungsi komunikasi politik itu sendiri, yang antara lain :

1. Fungsi Artikulasi Kepentingan

Proses mengolah aspirasi masyarakat yang bercorak ragam untuk disaring dan

dirumuskan dalam bentuk rumusan yang teratur.

2. Fungsi Agregasi Kepentingan

Penggabungan berbagai kepentingan yang sama atau hampir sama untuk disatukan

dalam rumusan kebijakan lebih lanjut.

3. Fungsi Pembuat Kebijakan

Dijalankan oleh lembaga legislatif melalui berbagai hak yang dimiliki lembaga ini

(inisiatif, angket, budget, interplasi, dan amandemen) lewat kerjasama dengan

lembaga eksekutif.

4. Fungsi Penerapan Kebijakan

Dijalankan lembaga eksekutif beserta jajaran birokrasinya, yang tidak hanya sekedar

pembuatan rincian dan pedoman pelaksanaan peraturan, tapi juga perlu membeberkan

penafsiran atas aturan tersebut agar mudah dipahami dan dilaksanakan warga negara.

5. Fungsi Penghakiman Kebijakan

Membuat keputusan dan menetapkan solusi terhadap pertikaian atau persengketaan

yang menyangkut persoalan peraturan, pelanggaran peraturan, dan penegasan

fakta-fakta yang perlu mendapatkan keadilan (Ardial, 2009:40-44).

Terkait dengan kajian dan penelitian komunikasi politik, ilmuwan politik Harold

Lasswell(dalam Nimmo, 2005:13). melahirkan model penelitian yang menunjukkan pada

model analisis, yakni “siapa, berkata apa, kepada siapa, melalui saluran apa, dan bagaimana

efeknya.” Dengan rumusan itu, Dan Nimmo melakukan analisis tentang komunikasi politik

yang menjadi ruang lingkup dalam rangka paradigma atau perspektif mekanistis. Ruang

lingkup analisis tersebut mencakup :

 Analisis sumber / komunikator politik (siapa)  Analisis isi/pesan (berkata apa)

(3)

 Khalayak politik (kepada siapa)  Dan efek politik (bagaimana efeknya)

Namun sesuai dengan fokus permasalahan yang ingin diteliti, maka dalam hal ini

hanya dua lingkup poin komunikasi politik yang akan dibahas lebih lanjut, sebagai dasar teori

dari penelitian ini, yakni komunikator politik sebagai sumber dan pembicaraan politik sebagai

pesan.

2.1.1 Komunikator Politik

Dalam setting politik, siapa pun dapat menjadi komunikator politik. Proses

opini-komunikasi begitu serba mencakup sehingga setiap orang di antara kita sekurang-kurangnya

berpotensi untuk menjadi komunikator politik. Namun, fokus kita pada pembahasan teori ini

tidak begitu luas. Sebab kenyataannya relatif sedikit orang yang melakukan komunikasi

politik secara tetap berkesinambungan. Mereka yang sedikit ini tidak hanya bertukar pesan

politik, mereka adalah pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini,

dibandingkan dengan warga Negara pada umumnya, ditanggapi dengan lebih

bersungguh-sungguh bila mereka berbicara dan berbuat. Komunikator politik ini memainkan peran sosial

yang utama, terutama dalam proses opini publik.

Untuk memahami sifat dan karakter komunikator politik ini, kita dapat melakukannya

sesuai anjuran Leonard W. Doob (dalam Nimmo, 2005:30)., bahwa “jelas komunikator atau

para komunikator harus diidentifikasi dan kedudukan mereka dalam masyarakat harus

ditetapkan.” Berdasarkan hal itu, kita dapat mengidentifikasinya dengan tiga kategori, yakni

politikus yang bertindak sebagai komunikator politik, komunikator professional dalam

politik, dan aktivis atau komunikator paruh waktu (part-time).

a. Politikus Sebagai Komunikator Politik

Orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah harus dan

memang berkomunikasi tentang politik. kita menamakan calon atau pemegang jabatan ini

politikus. Aspek utama pekerjaan mereka adalah melayani beragam tujuan dengan

berkomunikasi. Meskipun begitu, menurut Daniel Katz pemimpin politik mengerahkan

pengaruhnya ke dua arah, yakni mempengaruhi alokasi ganjaran dan mengubah struktur

sosial yang ada atau mencegah perubahan demikian. Dalam kewenangannya yang pertama

politikus itu berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok atau langganan. Pesan-pesan

politikus itu mengajukan dan atau melindungi tujuan kepentingan kelompok. Artinya,

(4)

Sebaliknya, politikus yang bertindak sebagai ideolog tidak begitu terpusat

perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan seorang langganan. Ia lebih menyibukkan dirinya

untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahakan reformasi, dan bahkan

mendukung perubahan revolusioner. Ideolog itu terutama berkomunikasi untuk

membelokkan mereka kepada suatu tujuan, bukan mewakili kepentingan mereka dalam

gelanggang tawar-menawar dan mencari kompromi.

Katz membedakan wakil partisan dan ideolog, tetapi bila dipandang sebagai

komunikator politik, perbedaan itu hanya dalam derajatnya, bukan dalam jenisnya. Kedua

tipe politikus itu mempengaruhi orang lain, yakni mereka bertindak dengan tujuan

mempengaruhi opini orang lain. Wakil partisan itu mengejar perubahan atau mencegah

perubahan opini dengan tawar-menawar agar keadaannya menguntungkan bagi semua pihak.

Ideolog mempengaruhi bukan dengan mengendalikan situasi agar menguntungkan semua

kepentingan, melainkan dengan menetapkan kepentingan yang bertentangan dan atau netral

dan dengan meyakinkan orang kepada satu cara berpikir. Wakil adalah makelar yang

membujuk orang lain agar “ikut dan setuju”, sedangkan ideolog adalah pesilat lidah yang

menawarkan “gagasan yang lebih baik”.

b. Profesional Sebagai Komunikator Politik

Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil

sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama. Yakni

munculnya media massa yang melintasi batas-batas rasial, etnis, pekerjaan, wilayah, dan

kelas untuk meningkatkan kesadaran identitas nasional. Dan juga perkembangan serta-merta

media khusus (seperti majalah untuk khalayak khusus, radio komunitas, dll) yang

menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Baik media massa

maupun media khusus mengandalkan pembentukan dan pengelolaan lambang-lambang dan

khalayak khusus. Di sini masuklah komunikator profesional, yang mengendalikan

keterampilan yang khas dalam mengolah symbol-simbol dan yang memanfaatkan

keterampilan ini untuk menempa mata rantai yang menghubungkan orang-orang yang jelas

perbedaannya atau kelompok-kelompok yang diibedakan. Menurut James Carey, seorang

komunikator profesional adalah seorang makelar simbol, orang yang menterjemahkan sikap,

pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa

yang lain yang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Komunikator profesional

menghubungkan golongan elit dalam organisasi atau komunitas mana pun dengan khalayak

umum, secara horizontal ia menghubungkan dua komunitas bahasa yang dibedakan pada

(5)

Maka komunikator profesional adalah manipulator dan makelar simbol yang

menghubungkan para pemimpin satu sama lain dan dengan para pengikut. Akan tetapi

menurut Carey, yang sangat membedakan karakteristik komunikator professional adalah

bahwa pesan yang dihasilkannya tidak memiliki hubungan yang pasti dengan pikiran dan

tanggapannya sendiri. Komunikator profesional di bawah desakan atau tuntutan yang

dibebankan oleh khalayak lain dan sumber asal. Seperti dalam politikus yang terbagi atas

wakil partisan dan ideolog, komunikator profesional juga dibagi berdasarkan tekanan, yang

mencakup jurnalis dan promotor.

Kita mengenal jurnalis sebagai orang yang berkaitan dengan media berita dalam hal

pengumpulan, persiapan, penyajian, dan penyebaran laporan mengenai peristiwa-peristiwa.

Yang diantaranya meliputi, reporter, redaktur, koordinator berita, pengarah berita. Hingga

pemimpin redaksi yang bekerja pada koran, radio, televisi, dll.

Sebagai komunikator profesional, jurnalis secara khas adalah karyawan organisasi

berita yang menghubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para

pemimpin pemerintah untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan para pemimpin

dengan publik umum, menghubungkan publik umum dengan para pemimpin, dan membantu

menempatkan masalah dan peristiwa pada agenda diskusi publik.

Promotor adalah orang yang dibayar untuk mengajukan kepentingan langganan

tertentu. Yang termasuk ke dalam promoter adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang

penting, personel hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau pemerintah, pejabat

informasi publik pada jawatan pemerintah, sekretaris pers kepresidenan, personel periklanan

perusahaan, manajer kampanye, dan pengarah publisitas kandidat politik, yang bekerja untuk

kepentingan kandidat politik dan tokoh masyarakat lainnya, asisten administratif anggota

legislatif, dan semua jenis makelar simbol lainnya.

Jurnalis dan promoter berbeda satu sama lain dalam tingkat hal-hal tertentu. Sejauh

mana masing-masing mempunyai kewajiban utama untuk mendukung kepentingan sumber

berita ketimbang menyingkap informasi yang dibutuhkan publik. Dan sejauh mana jurnalis

atau promotor lebih bergantung pada sumber atau khalayak bagi kehidupan profesional.

c. Aktivis Sebagai Komunikator Politik

Tipe komunikator yang ketiga menurut Leonard W. Doob adalah aktivis. Apa yang

disebut aktivis adalah mereka yang terlibat baik dalam politik maupun komunikasi dan

memiliki keahlian tentang itu, tetapi mereka tidak menggantungkan nafkahnya pada kedua

bidang itu. Para aktivis ini tidak jarang justru sangat berpengaruh terhadap pandangan politik

(6)

menemukan bahwa para pemuka pendapat mempunyai peran yang sangat penting dalam

perubahan sikap. Mereka ini terbagi atas juru bicara kelompok kepentingan dan pemuka

pendapat (opinion leader).

Pertama, juru bicara bagi kelompok kepentingan atau organisasi. Pada umumnya,

orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan jabatan pada pemerintah, dalam hal ini

komunikator tersebut tidak seperti politikus yang membuat politik menjadi lapangan

kerjanya. Juru bicara ini biasanya juga bukan professional dalam komunikasi. Namun, ia

cukup terlibat baik dalam politik maupun dalam komunikasi sehingga dapat disebut aktivis

politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Ia berbicara untuk kepentingan yang

terorganisasi merupakan peran yang serupa dengan peran politikus yang menjadi wakil

partisan, yang mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi dan tawar-menawar untuk

pemeriksaan yang menguntungkan. Dalam hal lain juru bicara ini sama dengan jurnalis, yaitu

melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi.

Kedua, jaringan interpersonal mencakup komunikator politik utama, yakni pemuka

pendapat. Banyak warga negara yang dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat

politis (seperti memilih calon), meminta petunjuk dari orang-orang yang dihormati mereka,

apakah untuk mengetahui apa yang harus dilakukannya atau untuk memperkuat putusan yang

telah dibuatnya. Orang yang dimintai petunjuk dan informasinya itu adalah pemuka pendapat.

Mereka sangat mempengaruhi keputusan orang lain, seperti politikus ideologis dan promotor

professional, mereka meyakinkan orang lain kepada cara berpikir mereka. Selain memberikan

petunjuk, pemuka pendapat meneruskan informasi politik dari media berita kepada

masyarakat umum. Dalam arus komunikasi dua tahap ini, gagasan sering mengalir dari media

massa kepada pemuka pendapat, lalu menuju kepada bagian penduduk yang kurang aktif.

Banyak studi yang membenarkan pentingnya kepemimpinan pendapat melalui komunikasi

interpersonal sebagai alat untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang penting (Nimmo,

2005:30-38).

2.1.2 Pesan Dalam Komunikasi Politik

Pesan dalam kegiatan komunikasi membawa informasi yang disampaikan oleh

komunikator. Pesan selain membawa informasi juga memberikan makna kepada siapa saja

yang menginterpretasikannya. Pesan merupakan konten atau isi dari kegiatan komunikasi

secara umum, termasuk komunikasi politik.

Pesan dalam komunikasi politik digunakan dalam praktik sejarahnya sebagai “peluru”

(7)

dalam kegiatan komunikasi politik. komunikasi persuasi bahkan tidak hanya tergantung pada

kekuatan komunikator yang menyampaikan, tetapi pada kedahsyatan isi atau konten pesan

disampaikan untuk mempengaruhi khalayaknya.

Aristoteles (dalam Subiakto & Ida, 2012:40), yang melahirkan teori tentang retorika

politik, menjelaskan ada tiga elemen dasar dalam komunikasi sebenarnya. Pertama, yang

disebut dengan communication ideology atau penyampaian nilai-nilai atau ideologi yang

disampaikan oleh komunikator. Kedua, disebut dengan emotional quality atau perasaan

emosional yang dimiliki oleh khalayak pada saat komunikasi terjadi. Ketiga, yang membawa

pesan komunikasi bermakna adalah core argument atau argumentasi intinya. Maka, jelas dari

yang dijelaskan oleh Aristoteles di atas bahwa pesan komunikasi mempunyai power atau

kekuatan untuk menyampaikan keinginan, nilai, ideologi, pemikiran, opini, dan sebagainya

dari para peserta komunikasi, terutama dalam komunikasi persuasi untuk membujuk atau

mempengaruhi orang lain untuk berperilaku sesuai dengan keinginan komunikator.

Pesan merupakan inti dari komunikasi politik. Pesan bisa negatif atau positif

tergantung dari persepsi dan pemaknaan yang muncul dari khalayak yang menerima dan

memaknai pesan komunikasi yang disampaikan.

a. Pembicaraan Sebagai Pesan Politik

Dalam politik terdapat begitu banyak pembicaraan, sehingga seolah-olah pembicaraan

itu adalah politik. Perhatikan saja betapa pentingnya pembicaraan dalam kehidupan

sehari-hari para politikus, baik pejabat maupun calon pejabat. Kebanyakan di antara kita mengenal

presiden atau pejabat lainnya lewat pembicaraannya (dalam konferensi pers, pidato,

pernyataan tertulis, dsb) atau karena orang lain membicarakan tentang dia. Para jurnalis

menelaah setiap katanya untuk mencari nuansa, sindiran, atau petunjuk tentang apa yang akan

terjadi.

Melimpahnya wacana politik bukanlah satu-satunya penyebab politik dikira sama

dengan pembicaraan. Pembicaraan mencakup jauh lebih banyak daripada kegiatan verbal

lisan atau tertulis. Orang berbicara satu sama lain bahkan jika tak sepatah kata pun yang

diucapkan. Dalam pembicaraan politik tersebut, poin intinya terletak pada proses negosiasi

politik.

Negosiasi politik ini bertujuan mencapai pengertian bersama di antara pihak-pihak

tentang apa makna syarat-syarat persetujuan yang diterima. Mereka berharap menciptakan

pengharapan bersama mengenai bagaimana pihak-pihak akan bertindak terhadap satu sama

lain di masa mendatang. Negosiasi melibatkan orang-orang yang saling mempengaruhi

(8)

tiga jenis pembicaraan yang mempunyai kepentingan politik yang pasti dan jelas sekali

politis.

Pertama, pembicaraan kekuasaan yang mempengaruhi orang lain dengan ancaman

atau janji. Bentuknya yang khas adalah, “jika anda melakukan X, saya akan

melakukan Y.” di sini “X” adalah sikap orang lain yang diinginkan oleh pembicara,

“Y” adalah maksud yang dinyatakan untuk memberikan lebih banyak (janji) atau

lebih sedikit (ancaman) kenikmatan atas sesuatu bila sikap itu dilakukan. Kunci

pembicaraan kekuasaan ialah bahwa “saya” mempunyai cukup kemampuan untuk

mendukung janji maupun ancaman, dan bahwa yang lain mengira bahwa pemilik

kekuasaan itu akan melakukannya.

Kedua, pembicaraan pengaruh terjadi tanpa saksi-saksi seperti itu, “jika anda

melakukan X. anda akan melakukan (merasa, mengalami, dsb) Y.” Janji, ancaman,

penyuapan, dan pemerasan adalah alat tukar pada komunikasi kekuatan. Sedangkan

pada komunikasi pengaruh alat-alat itu diganti dengan nasihat, dorongan, permintaan,

dan peringatan. Seperti ditunjukkan oleh Bell, hubungan kekuasaan berdasar pada

kemampuan memanipulasi sanksi positif atau negatif, namun pada pemberi pengaruh

(karena prestise dan reputasinya) dengan berhasil memanipulasikan persepsi atau

pengaharapan orang lain terhadap kemungkinan mendapat untung atau rugi.

Ketiga, pembicaraan autoritas yakni pemberian perintah. Syarat-syarat tidak ada, dan

pernyataan autoritas adalah, “lakukan X” atau “dilarang melakukan X.” Yang

dianggap sebagai penguasa sah adalah suara autoritas dan memiliki hak untuk

dipatuhi. Sumber-sumber pengesahan itu, dengan demikian sumber-sumber autoritas

sangat berbeda-beda. Misalnya seperti keyakinan religius atas sifat-sifat penguasa,

penguasa adat, kedudukan resmi, dll. Apa pun sumbernya, pembicaraan autoritas

lebih merupakan bentuk perintah daripada bentuk bersyarat (contingent) yang

merupakan ciri khas kekuasaan dan pengaruh.

Jadi, pembicaraan itu penting bagi politik, dan jika dipandang secara luas, politik

adalah pembicaraan. Yakni pembicaraan yang berkembang tentang kekuasaan, pengaruh, dan

autoritas. Pembicaraan dengan perbendaharaan kata yang terus-menerus berkembang dan

yang kita ingin menelaahnya secara lebih rinci.

b. Simbol dan Bahasa Dalam Pembicaraan Politik

Pembicaraan politik adalah kegiatan simbolik. Hal ini berarti pembicaraan politik

adalah kegiatan simbolik berarti mengatakan bahwa kata-kata atau lambang dalam wacana

(9)

menggunakannya. Bahwa berbagai komunikator politik turut berdiskusi dengan

menggunakan kata-kata yang sama untuk menunjukkan hal-hal yang sama merupakan

masalah. Agar hal itu terjadi, pembicaraan politik harus menjadi pertukaran apa yang oleh

George Herbert Mead disebut lambang-lambang berarti (signifikan).

Bagi Mead (Nimmo, 2005:80), berpikir selalu melibatkan lambang. Lambang mana

pun adalah lambang signifikan jika ia mengakibatkan tanggapan yang sama pada orang lain

yang dikumpulkannya di dalam diri pemikir. Maka lambang signifikan adalah lambang

dengan makna atau pengertian bersama bagi semua pihak dalam percakapan. Makna

bersama, seperti telah kita katakan, tidak ditentukan. Sebab makna dan tanggapan terhadap

suatu lambang tidak sama bagi setiap orang. Lambang signifikan tidak ada sebelum

percakapan, tetapi muncul melalui pengambilan peran bersama, suatu proses interaksi sosial.

Jadi, lambang signifikan yang menghasilkan perbendaharaan kata politik bersama tumbuh

dari negosiasi dan renegosiasi para komunikator politik yang berkesinambungan. Melalui

penyusunan sosial lambang-lambang signifikan, pembicaraan politik menyajikan seluruh

bidang diskusi bersama yang memelihara dan memperbesar peluang bagi orang-orang untuk

melakukan pembicaraan di massa depan yang ditujukan untuk menyesuaikan kepentingan

mereka yang berbeda-beda.

Gambar 1

Hubungan antara lambang, interpretasi, dan makna

Interpretasi

Melambangkan Mengacu Kepada

(hubungan langsung) (hubungan langsung yang lain)

Lambang Rujukan

Mewakili

(hubungan tak langsung yang dipertalikan)

(10)

Dengan demikian maka kegiatan simbolik terdiri atas orang-orang yang menyusun

makna dan tanggapan bersama terhadap perwujudan lambang-lambang referensial dan

kondensasi dalam bentuk kata-kata, gambar, dan perilaku. Dengan mengatakan bahwa makna

dan tanggapan itu berasal dari pengambilan peran bersama, kita meminta perhatian kepada

suatu fungsi lambang yang penting, yaitu bahwa lambang merangsang orang untuk

memainkan peran dalam proses komunikasi politik.

Sementara di sisi lain, jika lambang adalah kata-kata dari pembicaraan politik, maka

bahasa adalah permainan kata dari wacana itu. Meski para sarjana memilik pendapat yang

berbeda dalam hal definisi, tetapi ada konsensus bahwa bahasa adalah suatu sistem

komunikasi yang :

 Tersusun dari kombinasi lambang-lambang signifikan (tanda dengan makna dan

tanggapan bersama bagi orang-orang) di dalamnya,

 Signifikansi lambang-lambang itu lebih penting daripada situasi langsung tempat

bahasa itu digunakan, dan

 Lambang-lambang itu digabungkan menurut peraturan tertentu.

Bahasa sebagai lambang menjadi katalisator dunia subjektif yang di dalamnya

ketidakpastian diterangkan dan penyebab tindakan yang tepat menjadi jelas karena setiap

lambang memadatkan dan mengatur ulang perasaan, ingatan, persepsi, dan emosi, suatu

penstrukturan yang berbeda-beda menurut situasi sosial orang. Kata-kata dan permainan kata

tidak hanya memberi nama kepada objek, kata juga menempatkan objek tertentu ke dalam

kelas objek, dengan demikian memberikan bimbingan untuk memandang, membandingkan,

mempertimbangkan, dan menilai.

Terdapat dua jenis bahasa, yakni bahasa verbal dan nonverbal. Apa yang telah kita

bicarakan terkait bahasa verbal berlaku juga bagi bahasa nonverbal. Bahasa verbal adalah

diskursif, yaitu lambing-lambang yang menyusunnya (kata, frasa, notasi matematis, sandi,

titik-titik pada peta, dan hal-hal serupa) yang membantu kita berpikir cermat, membuat

pernyataan harfiah, dan merekam informasi. Ada sifat kognitif yang kuat tentang

bahasa-bahasa diskursif (verbal) tersebut. bahasa-bahasa nonverbal adalah nondiskursif, ia membantu

mengungkapkan hal-hal yang sukar dipikirkan secara cermat (fantasi, kasih sayang, emosi,

nuansa halus, misteri, perasaan) yang sukar dinyatakan dengan cara yang lugas.

Dalam memikirkan bahasa verbal dan nonverbal ada dua hal yang harus diingat.

Pertama, komunikasi baik verbal maupun nonverbal adalah kegiatan, apakah itu kata yang

diucapkan, jeda, anggukan kepala, atau ekspresi lain. Dia adalah tindakan yang apabila terjadi

(11)

modus wacana nonverbal, bahwa kedudukan, ekspresi, atau gerakan tidak pernah

membawakan makna dengan sendirinya atau tentang dirinya sendiri. Tetapi, sebagai kegiatan

simbolik masing-masing memperoleh makna dari konteks tempat ia terjadi dan tanggapan

orang terhadapnya, tepat seperti pesan-pesan yang disampaikan secara verbal, baik lisan

maupun tulisan (Nimmo, 2005:82-84).

2.2Persepsi

Persepsi menurut Desiderato adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan

persepsi dengan stimuli sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu,

menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi,

ekspektasi dan memori (Dalam Rakhmat, 2005:51). Sedangkan menurut Dedy Mulyana,

Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan

menafsirkan rangsangan dari lingkungan, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku

(Mulyana, 2005:167).

Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi ialah perhatian. Menurut Kenneth E.

Andersen perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi

menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian terjadi bila kita

mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indera kita, dan mengesampingkan

masukan-masukan melalui alat indera yang lain.

Selain perhatian, persepsi juga ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional.

David Krech dan Richard S. Crutchfield menyebut kedua faktor tersebut faktor fungsional

dan faktor struktural.

2.2.1 Faktor Fungsional yang Menentukan Persepsi

Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal-hal lain

yang termasuk apa yang kita sebut sebagi faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi

bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik pihak yang memberikan respons pada

stimuli itu. Faktor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi lazim disebut sebagi

kerangka rujukan (frame of reference). Para psikolog sosial menerapkan konsep ini untuk

(12)

bahwa penilaian terhadap objek dalam hal beratnya bergantung pada rangakaian objek yang

dinilainya.

Dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan mempengaruhi bagaimana orang

memberi makna pada pesan yang diterimanya. Menurut McDavid dan Harari, para psikolog

menganggap konsep rujukan ini amat berguna untuk menganalisa interpretasi perceptual dari

peristiwa yang dialami (Rakhmat, 2005:55-58).

2.2.2 Faktor Struktural yang Menentukan Persepsi

Faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf

yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Para psikolog Gestalt, seperti Kohler,

Wartheimer, dan Koffka, merumuskan prinsip-prinsip persepsi yang bersifat struktural.

Prinsip-prinsip ini kemudian terkenal dengan teori Gestalt. Menurut teori Gestalt, bila kita

mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat

bagian-bagiannya lalu menghimpunnya. Dengan kata lain, bagian-bagian medan yang

terpisah (dari medan persepsi) berada dalam interdependensi yang dinamis (yakni dalam

interaksi), dan itu karena dinamika khusus dalam interaksi ini menentukan distribusi fakta

dan kualitas lokalnya. Maksudnya, jika kita ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat

meneliti fakta-fakta yang terpisah, kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan.

Karena manusia selalu memandang stimuli dalam konteksnya, dalam strukturnya,

maka ia pun mencoba mencari struktur pada rangkaian stimuli. Struktur ini diperoleh dengan

jalan mengelompokkan berdasarkan kedekatan atau persamaan. Prinsip kedekatan

menyatakan bahwa stimuli yang berdekatan satu sama lain akan dianggap satu kelompok.

Jadi, kedekatan dalam ruang dan waktu menyebabkan stimuli ditanggapi sebagai bagian dari

struktur yang sama (Rakhmat, 2005:58-62).

2.2.3 Dalil-Dalil Persepsi

Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang

termasuk dalam faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli,

tetapi karakter orang yang memberikan respons pada stimuli tersebut. Terhadap satu

informasi yang sama, beberapa orang dapat menarik kesimpulan yang berbeda, dikarenakan

perbedaan kondisi yang masuk dalam faktor personal individu yang memberikan persepsi.

Krech dan Crutchfield merumuskan beberapa dalil persepsi yang dapat menjelaskan

(13)

Pertama, persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa

objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek-objek-objek yang memenuhi

tujuan individu yang melakukan persepi. Mereka memberikan contoh pengaruh kebutuhan,

kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya terhadap persepsi.

Kedua, medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita

mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang kita terima

itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian

stimuli yang kita persepsi.

Ketiga, sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya

oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai

anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan

dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras.

Keempat, objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau

menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama.

Pada persepsi sosial, pengelompokan tidak murni struktural, sebab apa yang dianggap sama

atau berdekatan oleh seorang individu, tidaklah dianggap sama atau berdekatan oleh individu

yang lain (Rakhmat, 2005:56-61).

2.3Fenomenologi

Filsafat fenomenologi merupakan suatu pemikiran filosofis yang dipakai terutama

berhubungan dengan usaha mencari penyelesaian hubungan lahiriah, alamiah dengan ciptaan

alam di dalam dunia kehidupan. Fenomenologi dimaksudkan untuk menjadi suatu ilmu

deskriptif dan secara sistematika yang ketat (rigorous) dapat menjelaskan mengenai

fenomena yang dikenal oleh kesadaran secara langsung. Fenomenologi bergerak di bidang

yang pasti.

Fenomenologi berasal dari kata fenomenon, suatu padanan dari bahasa Inggris

phenomenon yang berasal dari kata Yunani phainein yang berarti memperlihatkan dengan

bentuk pasifnya terlihat, atau yang tampil terlihat jelas di hadapan kita. Kata itu juga

memiliki akar yang sama dengan kata fancy dan fantacy yang berarti imajinasi. Jadi

fenomenon dapat saja tampil di dalam pikiran kita sejauh dia itu jelas. Fenomenologi adalah

teori tentang fenomenon (Praja, 2003:179).

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang

(14)

Sehingga dalam berbagai hal kita dapat mempelajari atau memahami sesuatu dari gejala atau

penampakan. Yakni hal-hal yang menyangkut kenyataan sebagaimana tampaknya.

Fenomenologi, dikemukakan oleh Edmund Husserl (1895-1938) sebagai tokoh terpentingnya.

Husserl(L. Siregar, 2005 : 7-8) mengatakan :

“This phenomenology, like the more inclusive pure phenomenology of experiences in general, has, as its exclusive concern, experiences intuively seizable and analyzable in the pure generality of their essence, not experiences empirically perceived and treated as real facts, as experiences of human or animal experients in the phenomenal world that we posit as an empirical fact. This phenomenology must bring to pure expression, must describe in terms of their essential concepts and their governing formulae of essence, the essence which directly make themselves known in intuition, and the connections which have their roots purely in such essences. Each such statement of essence is an apriori statement in the highest sense of the world.”

Fenomenologi ini sebagaimana halnya fenomenologi murni yang lebih inklusif tentang pengalaman secara umum kepedulian khusus, pengalaman yang dapat dideskripsikan dan dianalisis secara intuitif dalam hal umum yang murni, mengenai esensi bukan pengalaman yang diterima dan diperlakukan secara empiris sebagai fakta riil, seperti halnya pengalaman manusia atau hewan dalam dunia fenomenal yang kita asumsikan sebagai suatu fakta empiris. Fenomenologi ini harus dibawa kepada ekspresi murni, harus dapat menggambarkan arti konsep esensinya dan formula yang mengatur esensinya, esensi yang secara langsung membuat hal itu dapat dikenal dalam intuisi dan hubungan dengan di mana mereka berakar secara murni. Setiap pernyataan esensi merupakan pernyataan apriori dalam arti yang paling tinggi.

2.3.1 Filsafat Fenomenologi

Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan

menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang

sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”.

Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif dan instropeksi

mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung :

religious, moral, estetis, konseptual, dan indrawi. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan

pada penyelidikan tentang lebenswelt (dunia kehidupan) atau erlebnisse (kehidupan subjektif

dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan

tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris (Maksum,

(15)

Sebagai filsafat, fenomenologi memberi pengetahuan yang perlu dan esensial

mengenai apa yang ada. Dalam tahap-tahap penelitiannya, ia menemukan objek-objek yang

membentuk dunia yang kita alami. Dengan demikian, fenomenologi dapat dijelaskan sebagai

metode kembali kepada benda itu sendiri, dan ini disebabkan benda itu sendiri merupakan

objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.

2.3.2 Metode Fenomenologi

Menurut Husserl (dalam Maksum, 2011:191), fenomenologi merupakan metode dan

filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil

sehingga sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan

cirri-ciri instrinsik fenomena sebagaimana fenomena itu sendiri menampakkan diri kepada

kesadaran. Kita harus berangkat dari subjek manusia serta kesadarannya dan berupaya untuk

kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai kesadaran murni, kita harus

membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Kalau ini dapat

dilakukan maka akan tersisa gambaran-gambaran yang hakiki dan intuisi esensi.

Untuk memahami filsafat Husserl, ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui :

 Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena

(sesuatu yang berada di balik fenomena)

 Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau ruhani

 Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka dan terarah pada subjek)

 Substansi adalah konkret yang menggambarkan isi dan struktur kenyataan dan

sekaligus bisa terjangkau.

Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan oleh Husserl (dalam Praja, 2003:181),

usaha untuk mencapai hakikat realitas segalafenomena itu melalui reduksi atau penyaringan

yang terdiri dari :

1. Reduks i Fenomenologi

Fenomena seperti disebut di atas adalah menampakkan diri. Dalam praktik hidup

sehari-hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan

sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat adalah riil atau nyata. Kita telah

meyakini sebagai realitas di luar kita. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi

adalah realitas dalam arti yang ada di luar dirinya dan ini hanya dapat dicapai dengan

“mengalami” secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan

(16)

disingkirkan. Termasuk di dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan

pandangan-pandangan yang telah membentuk pikiran kita memandang sesuatu (fenomena) sehingga

yang timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini

disebut fenomenologis. Reduksi ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektivitas

yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu. Jika hal ini berhasil, kita akan

sampai pada fenomena yang sebenarnya.

2. Reduksi Eidetis

Eiditis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi eiditis ialah penyaringan atau

penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas fenomena.

Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan realitas. Dengan reduksi eiditis, semua segi, aspek,

dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil

tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung

aspek dan profil yang tiada terhingga.

Hakikat (realitas) yang dicari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meliputi isi

fundemental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah

hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan

contoh-contoh tertentu yang representatif melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau

ditambah salah satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau

menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.

Reduksi eiditis ini menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohersi berlaku.

Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan dalam

suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan

yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.

3. Reduksi Transendental

Di dalam reduksi ini yang ditempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan

segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar

dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri. Reduksi ini

dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek, atau fenomena yang bukan mengenai hal-hal

yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan

mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian, yang tinggal

sebagai hasil reduksi ini adalah aktus kesadaran sendiri. kesadaran di sini bukan pula

kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan

(17)

atau transendental, yaitu yang ada bagi diriku dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat

disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental.

Dalam hal ini “aku” transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi,

dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek-objek pada umumnya

tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya, sejarah dan budaya mempunyai saham

dalam memahami objek-objek. Kursi misalnya, tidak jelas maknanya bagi seseorang yang

tetap hidup di hutan. Objek yang disadari (noema) baru menjadi realitas bagi satu subjek,

sedangkan subjek lebih dari satu. Untuk menghindari ini, Husserl membuat reduksi

lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia manusia umum). Dengan reduksi ini, apa yang

disadari adalah realitas absolut dari fenomena, meliputi seluruh perspektifnya. Dan “aku”

transendental dari subjek berubah menjadi “aku” transcendental antar subjek. Ini yang

ditempuh Husserl untuk menghindari solipisme fenomenologis.

Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi

sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini

memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum.

2.4Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme simbolik merupakan pendekatan sosiologi komunikasi yang

mengkhususkan pengamatannya berdasarkan makna di balik simbol-simbol interaksi yang

nampak di permukaan. Pendekatan ini berawal dari pemikiran George Herbert Mead (1972),

yang mengamati interaksi sosial dari penggunaan simbol-simbol dalam interaksi sosial.

Menurut Leslie White (dalam Iskandar, 2010: 8), simbol adalah “a thing the value or

meaning of which is bestowed upon by those who use it”. Jadi simbol adalah sesuatu yang

nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut

White, makna atau nilai tersebut tidak berasal dari atau yang ditentukan oleh sifat-sifat yang

secara intrinsik terdapat di dalam bentuk fisiknya. Makna suatu simbol, menurut White,

hanya dapat ditangkap melalui cara non-sensoris, yakni melalui cara simbolisme.

Akar pemikiran interaksionisme simbolik mengasumsikan realitas sosial sebagai

proses dan bukan sebagai sesuatu yang statis-dogmatis. Artinya, masyarakat dilihat sebagai

sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Teori

interaksionisme simbolik membahas konsep mengenai diri yang tumbuh berdasarkan

(18)

Dengan demikian, interaksionisme simbolik dapat didefinisikan sebagai “cara kita

menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita

berinteraksi dengan orang lain. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui

simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran.

Perspektif interaksionisme simbolik mendasarkan pandangannya pada asumsi bahwa

manusia mengembangkan satu set simbol yang kompleks untuk memberi makna terhadap

dunia. Karenanya makna muncul melalui interaksi manusia dengan lingkungannya.

Teori interaksi simbolik menggunakan paradigma individu sebagai subjek utama

dalam percaturan sosial, meletakkan individu sebagai pelaku aktif dan proaktif. Pada

dasarnya teori interaksi simbolik mengetengahkan soal diri sendiri (the self) dengan segala

atribut dunia luarnya. Cooley (dalam Mulyana, 2007 :35)menyebunya sebagai looking glass

self. Artinya seiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol, baik dalam

kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri.

Dalam hal ini diri yang dimaksud adalah definisi yang diciptakan orang (melalui

interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada. Dalam mengkonstruk atau

mendefinisikan aku, manusia mencoba melihat dirinya sebagai orang lain, melihatnya dengan

jalan menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dan dengan jalan

menempatkan dirinya dalam peranan orang lain (Moleong, 2001 : 13).

Teori interaksionisme simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School

dengan tokoh-tokohnya George Herbert Mead dan George Herbert Blumer. Demi mengenal

lebih dalam konsep teori interaksionisme simbolik, penting untuk mengetahui konsep

pemikiran kedua tokoh tersebut seraya membandingkannya secara komprehensif, yang akan

dipaparkan berikut ini.

2.4.1 Interaksionisme Simbolik Menurut George Herbert Mead

George Herbert Mead lahir di Massacusettes, Amerika Serikat, pada tahun 1863,

yakni pada era perang sipil. Ayahnya merupakan seorang menteri, namun kakeknya

merupakan seorang petani miskin. Mead dianggap sebagai bapak interaksionisme simbolik,

karena pemikirannya yang luar biasa. Pemikiran Mead terangkum dalam konsep pokok

mengenai “mind”, “self” dan “society” sebagaimana dijelaskan berikut ini (Mufid,

2009:160).

Dia mengatakan bahwa pikiran manusia mengartikan dan menafsirkan benda-benda

(19)

manusia menerobos dunia luar, seolah-olah mengenalnya dari balik penampilannya. Ia juga

menerobos dirinya sendiri dan membuat hidupnya sendiri menjadi objek pengenalannya yang

disebut self yang dapat kita terjemahkan menjadi aku atau diri. Self dikatakan Mead memiliki

ciri-ciri dan status tertentu. Manusia yang ditanya siapa dia, akan menjawab namanya, status

sosialnya, dan lain sebagainya.

Cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan

masyarakatnya. Mead (dalam Mufid, 2009:161-165) melihat pikiran dan diri menjadi bagian

dari perilaku manusia, yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Interaksi itu membuat dia

mengenal dunia dan dia sendiri. Mead mengatakan bahwa, pikiran (mind) dan diri (self)

berasal dari masyarakat (society) atau aksi sosial (social act).

a. Konsep Mead tentang “Mind”

Mead mendefinisikan “mind” (pikiran) sebagai fenomena sosial yang tumbuh dan

berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi. Mind dalam hal ini mirip dengan

simbol, yakni sebagai hasil dari interaksi sosial. Hanya, mind terbentuk setelah terjadinya

percakapan diri (self-conversation), yakni ketika seseorang melakukan percakapan diri yang

juga disebut sebagai berpikir. Karenanya bagi Mead, berpikir tidak mungkin terjadi jika tidak

menggunakan bahasa.

Konsepsi “mind”lebih merupakan proses daripada sebuah produk. Hal ini berarti

bahwa kesadaran bukanlah hasil tangkapan dari luar, melainkan secara aktif selalu berubah

dan berkembang. Mead mengatakan bahwa, “consciousness (mind) is not given, it is

emergent”. Kesadaran (mind) tidak diberi, tapi dicari.

b. Konsep Mead tentang “Self”

Self, menurut Mead adalah proses yang tumbuh dalam keseharian sosial yang

membentuk identitas diri. Perkembangan self tergantung pada bagaimana seseorang

melakukan role taking (pengambilan peran) dari orang lain. Dalam role taking kita

mengimajinasikan tingkah laku kita dari sudut pandang orang lain.

Esensi self bagi Meadadalah reflexivity. Yakni bagaimana kita merenung ulang relasi

dengan orang lain untuk kemudian memunculkan adopsi nilai dari orang lain.

c. Konsep Mead tentang “Society”

“Society” menurut Mead adalah kumpulan self yang melakukan interaksi dalam

(20)

Institusi society karenanya terdiri dari respon yang sama. “Society” dipelihara oleh

kemampuan individu untuk melakukan role taking dan generalized others.

2.4.2 Interaksionisme Simbolik Menurut George Herbert Blumer

George Herbert Blumer (1967), merupakan professor di Universitas California.

Pemikiran Blumer tentang interaksionisme simbolik lebih banyak merupakan penuangan ide

Mead. Sebagai seorang penganut pemikiran Mead, ia berusaha menjabarkan pemikiran

idolanya Mead mengenai konsep interaksionisme simbolik. Menurut Blumer (dalam Sunarto,

2004 : 38) bahwa pokok-pokok pikiran interaksionisme simbolik terdiri dari tiga asumsi,

yakni : pertama, bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) itu atas dasar makna

(meaning) yang dimiliki sesuatu tersebut baginya. Kedua, makna yang memiliki sesuatu

tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Ketiga,

bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui proses penafsiran (interpretative) yang

digunakan orang dalam menjumpai sesuatu yang unik.

a. Konsep Diri

Manusia bukan semata-mata organisme yang bergegas di bawah pengaruh

perangsang-perangsang, baik dari dalam maupun dari luar, melainkan organism yang sadar

akan dirinya (an organism having a self).

Oleh karena ia seorang diri, maka ia mampu memandang dirinya sebagai objek

pikirannya sendiri dan berinteraksi dengan drinya sendiri. Ia mengarahkan dirinya kepada

berbagai objek, termasuk dirinya sendiri, berunding dan berwawancara dengan dirinya

sendiri. ia mempermasalahkan, mempertimbangkan, menguraikan, dan menilai hal-hal

tertentu yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, dan akhirnya ia merencanakan

dan mengorganisasikan perilakunya. Antara perangsang dengan perilakunya tersisiplah

proses interaksi dengan diri sendiri tadi. Inilah kekhasan manusia.

b. Konsep Kegaiatan

Oleh karena perilaku manusia dibentuk dengan proses interaksi dengan diri sendiri,

maka kegiatannya itu berlainan sama sekali dengan kegiatan makhluk-makhluk lain. Manusia

menghadapkan dirinya dengan berbagai hal, seperti tujuan, perasaan, kebutuhan, perbuatan,

dan harapan serta bantuan orang lain, citra dirinya, cita-citanya, dan lain sebagainya. Maka, ia

(21)

kebutuhannya, norma kelompoknya, atau situasinya, melainkan merupakan konstruksinya.

Adalah manusia sendiri yang menjadi konstruktor perilakunya.

c. Konsep Objek

Manusia hidup di tengah-tengah objek. Objek meliputi segala sesuatu yang menjadi

sasaran perhatian manusia. Objek bisa bersifat konkrit seperti kursi, meja, dan seterusnya,

dan dapat pula bersifat abstrak seperti kebebasan. Bisa juga pasti seperti golongan darah atau

agak kabur seperti filsafat.

Inti hakikat objek tadi tidak ditentukan oleh ciri-cirinya, melainkan oleh minat

seseorang dan makna yang dikenakan kepada objek tersebut. jadi, menurut Blumer, tidak

hanya kegiatan atau perbuatan yang harus dilihat sebagai konstruksi, tapi juga objek.

d. Konsep Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah suatu proses hubungan timbale balik yang dilakukan oleh

individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan

individu, antara kelompok dengan kelompok dalam kehidupan sosial.

Dalam interaksi terjadi proses pemindahan diri pelaku yang terlibat secara mental ke

dalam posisi orang lain. Dengan demikian, mereka mencoba mencari makna yang oleh orang

lain diberikan kepada aksinya memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi.

Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik saja,

melainkan lambang-lambang yang maknanya perlu dipahami. Dalam interaksi simbolis

seseorang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerik orang lain dan bertindak dengan makna

yang dikandungnya.

Blumer mengatakan, bahwa orang-orang menimba perbuatan masing-masing secara

timbal balik, dalam arti tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan

perbuatan orang yang lainnya, melainkan seolah-olah menganyam perbuatan-perbuatan

mereka menjadi apa yang disebut sebagai transaksi, dalam arti kata perbuatan-perbuatan yang

berasal dari masing-masing pihak itu diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama

yang menjembatani mereka.

e. Konsep Aksi Bersama

Istilah aksi bersama sebagai terjemahan dari “joint action”, jadi berarti kegiatan

(22)

Blumer memberikan contoh, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara pernikahan,

diskusi, sidang pengadilan, peperangan, dan sebagainya (Mufid, 2009:165-170).

Analisis aksi bersama ini menunjukkan bahwa hakikat masyarakat, kelompok atau

organisasi tidak harus dicari dalam struktur relasi-relasi yang tetap, melainkan dalam proses

aksi yang sedang berlangsung. Tanpa aksi setiap struktur relasional tidak dapat dipahami

secara atomistis, melainkan sebagai aksi bersama, dimana unsur-unsur individual dicocokkan

satu sama lain dan melebur.

2.5 Elite

Istilah elite berasal dari bahasa latin yaitu “eligere” atau dalam bahasa inggrisnya

“elite”, yang berarti memilih. Dalam pemakaian biasa, kata tersebut berarti “bagian yang

menjadi pilihan” suatu bangsa, budaya, kelompok usia, dan orang-orang yang menduduki

posisi sosial yang lebih tinggi. Dengan kata lain, yang disebut elite adalah sekelompok kecil

orang dalam masyarakat yang memegang posisi dan peranan penting (Keller, 1995 : 3).

Secara sederhana, elite dapat diartikan sebagai anggota masyarakat yang paling

berbakat, misalnya elite pendidikan, elite agama, dan elite organisasi, dan elite politik.

Menurut Harold Lasswell, elite adalah segolongan kecil yang memperoleh sebagian besar

dari nilai apa saja, elite itu menunjuk pada mereka yang berpengaruh. Sementara menurut

Mills, elite merupakan mereka yang menduduki posisi atas dalam organisasi ekonomi,

militer, dan politik, yang membentuk kurang lebih elite kekuasaan yang terintegrasi dan

terpadu yang keputusan-keputusan pentingnya menetukan struktur dasar dan arah masyarakat

(Syarifuddin, 2004 : 19-21).

Robert Michels yang sering juga menyebut elite sebagai pemimpin, menjelaskan

bahwa terdapat kecenderungan kuat pemimpin (elite) memiliki banyak sumber daya yang

sangat bermanfaat sehingga sulit tertandingi oleh anggota yang berusaha ikut ambil bagian

mengambil kebijaksanaan. Di antara sumber daya mereka adalah :

 Pengetahuan yang lebih unggul. Antara lain mereka dapat mengetahui lebih banyak

informasi yang berguna untuk menjamin disetujuinya program mereka

 Pengendalian terhadap sarana komunikasi formal dengan para anggota, antara lain

mereka menguasai pers organisasi

 Sebagai pejabat yang bekerja penuh mereka dapat berpergian dari satu tempat ke

(23)

 Posisi yang memungkinkan mereka memerintah anggot a

 Kecakapan dalam seni politik. Mereka jauh lebih mahir dibanding dengan orang yang

tidak professional dalam berpidato, menulis artikel, dan mengorganisasikan kegiatan

kelompok (Michels, 1984 : 29).

Menurut David Jarry dan Julia Jarry (1991), asumsi teori elite yang membagi kaum

elite dan rakyat jelata merupakan ciri yang tidak terelakkan dalam masyarakat modern yang

kompleks dimana pun juga (Jarry & Jarry, 1991:188). Dalam setiap kelompok kehadiran

elite (pemimpin) merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak kelompoknya karena setiap

warga masyarakat membutuhkan pemimpin yang menjadi panutan bagi mereka dalam proses

penciptaan keteraturan dan pola interaksi dalam kelompoknya.

2.5.1 Konsep Elite Politik Dalam Masyarakat

Elite politik dalam masyarakat modern merupakan hal yang kompleks. Respons

masyarakat terhadap kegagalan relatif dari berbagai gerakan demokrasi dalam masyarakat

modern hanya dinilai dari tujuan-tujuan yang tertinggi, sehingga Jarry dan Jarry mengatakan

bahwa munculnya demokrasi dalam masyarakat modern bukannya memberi kekuasaan pada

rakyat, melainkan meletakkan dasar baru bagi keanggotaan kelompok elite. Namun demikian,

di antara kaum elite yang sementara berkuasa terdapat suatu sikap dan perilaku yang arif

dalam merespons berbagai persoalan , sebagaimana dikatakan oleh Hungtington dan Nelson

(dalam Syarifuddin, 2004:22) bahwa ada sikap “elitisme” yang bijak di kalangan kelompok

yang berkuasa. Sikap elite politik tehadap partisipasi politik mungkin merupakan faktor

tunggal yang paling efektif dalam mempengaruhi sifat partisipasi politik di masyarakat.

Berkaitan dengan konsep elite, muncul anggapan yang mengatakan bahwa kelas

menengah merupakan bagian dari komunitas elite karena memiliki akses pada

sumber-sumber ekonomi dan politik dalam masyarakat. Namun Mills (dalam Syarifuddin, 2004:22)

melihat bahwa elite kekuasaan (power elite) adalah mereka yang berbeda jauh dengan kelas

menengah yang berada dalam posisi yang sangat penting untuk mengambil keputusan.

Bahkan, varian elite yang ada dalam masyarakat modern dianggapnya sebagai sebuah

komponen sosial yang memiliki asal usul yang sama sehingga sulit untuk disamakan dengan

kelas menengah yang secara umum muncul dari berbagai kelompok sosial politik yang

beragam dalam masyarakat.

Di kalangan elite yang memerintah dituntut adanya kearifan dalam bersikap, yang

(24)

adanya perhatian elite terhadap nasib dan permasalahan yang dihadapi oleh massa rakyat.

Huntington dan Nelson mengatakan bahwa suatu elite berprivilese mendistribusikan

manfaat-manfaat yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai melalui persekutuan. Sebab,

setiap persekutuan di kalangan elite tidak hanya dapat dirasakan oleh para elite saja, tetapi

juga dapat dirasakan manfaatnya oleh anggota dan masyarakatnya.

Lebih lanjut Vilfredo Pareto (dalam Syarifuddin, 2004:23) merinci kalsifikasi elite

yang kemudian dibaginya menjadi dua : pertama, elite yang memerintah, yakni elite yang

terlibat langsung atau tidak langsung dalam kekuasaaan. Kedua, elite yang tidak memerintah,

yakni merupakan sisa yang besar dari seluruh elite. Kendati demikian dalam berbagai

tulisannya Pareto menyadari adanya berbagai macam bentuk elite, setidaknya ada dua macam

dalam kelompok besarnya, tetapi fokus perhatiannya hanya pada elite politik atau elite yang

memerintah saja.

Keller juga mengemukakan konsep mengenai elite. Pertama-tama elite menunjuk

kepada suatu minoritas pribadi-pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas

dengan cara yang bernilai sosial. Kaum elite adalah minoritas yang efektif dan bertanggung

jawab efektif melihat pelaksanaan kepentingan dengan perhatian kepada orang lain, tempat

golongan elite itu memberikan tanggapannya. Elite merupakan posisi di dalam masyarakat

yang berada di puncak kekuasaan, untuk mempengaruhi proses politik dan memformulasikan

kepentingannya.

2.5.2 Aspek Perilaku Politik Elite

Studi tentang perilaku politik bisa terfokus pada individu-individu sebagai actor yang

berperan. Bisa juga dilakukan terhadap kelompok atau lembaga atau organisasi. Kendati

terfokus pada individu, studi ini akan tetap terkait dengan lembaga. Perilaku politiknya pun

tidak hanya diarahkan lewat atura-aturan resmi dan prosedur-prosedur yang ada dalam

organisasi atau lembaga secara formal, tetapi bisa juga perilaku actual dan orientasi diri pada

individu yang berpengaruh atau menjadi tulang punggung organisasi tersebut.

Dalam hal politik, dengan mengacu pada pendapat David Easton (dalam Syarifuddin,

2004:28), politik dipahami sebagai “bagaimana mengalokasikan sejumlah nilai secara

otoritatif bagi sebuah masayarakat” (authoritative allocation of values for a society).

Sejumlah nilai yang dimaksud dapat berupa pencerahan, kebebasan, kedamaian, dan keadilan

yang berimplikasi pada proses pendewasaan kehidupan politik kebangsaan.

Dapat dikatakan bahwa perilaku politik diartikan sebagai tindakan untuk

(25)

ataupun masyarakat. Tindakan tersebut bermakna usaha untuk membangun kesadaran

kolektif. Perilaku atau tindakan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya semacam

norma dan nilai yang kemudian mempengaruhi motivasi untuk membentuk sikap dan

Gambar

Gambar 1

Referensi

Dokumen terkait

Guna keperluan pembuktian kualifikasi, diharapkan Saudara membawa semua Dokumen Penawaran yang di Upload ke LPSE, data dan informasi yang sah dan asli, termasuk

Daerah utama penghasil karet di Indonesia adalah pesisir timur Sumatera mulai dari Aceh sampai dengan Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Barat,. KalimantanTimur,

1. Perilaku kenakalan remaja di Dusun Mejing, peneliti menemukan berbagai jawaban yang didapatkan dari pengamatan, perbincangan dan wawacara yaitu berbicara kotor,

Hasil analisis sensitivitas ini selaras dengan Ariningsih (2012) yang menyatakan bahwa usahatani salak pondoh di Desa Sukodono Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang,

Menurut pasal 1 Angka 25 UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan

Pengujian hipotesis untuk membuktikan bahwa persepsi tentang penyakit berpengaruh tidak langsung terhadap perilaku pencegahan kanker serviks melalui motivasi sehat dengan

Selain menggunakan sistem yang digunakan diatas , phak perbankan syari’ah berpedoman pada undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang no 7 tahun 1992

[r]