BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1Komunikasi Politik
Kajian komunikasi politik pada awalnya berakar pada ilmu politik, meskipun
penamaan lebih banyak dikenal dengan istilah propaganda. Ini dimulai pada tahun 1922
dengan penelitian dari Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann yang menliti tentang opini
publik pada masyarakat, kemudian dilanjutkan oleh Bagehot, Maine, Byrce, dan Graha
Wallas di Inggris yang menelaah peranan pers dan pembentukan opini publik. Bahkan ketika
Harold D. Lasswell menulis disertasi doctor tentang Propaganda Technique in the World
War.
Komunikasi Politik menurut Dahlan(dalam Cangara, 2009:32-35) ialah satu bidang
atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik
mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Maka jika bertolak
dari konsep komunikasi dan konsep politik, pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan
sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang
berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain, dengan tujuan
untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku
khalayak yang menjadi target politik.
Faktor paling penting dalam komunikasi politik terletak pada isi pesan yang
bermuatan politik. Dan hal ini juga yang membedakannya dengan disiplin komunikasi
lainnya dalam studi ilmu komunikasi. Sebab politik, seperti halnya komunikasi, adalah
proses. Dan komunikasi politik melibatkan pembicaraan. Pembicaraan yang dimaksud disini
bukanlah dalam arti sempit seperti kata yang diucapkan, melainkan pembicaraan dalam arti
yang lebih inklusif, yang berarti segala cara orang bertukar simbol, seperti kata-kata yang
dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai, dan pakaian. Ilmuwan
politik Mark Roelofs (dalam Nimmo, 2005:8) mengatakan dengan cara sederhana, “politik
adalah pembicaraan, atau lebih tepat, kegiatan politik adalah berbicara.” Ia menekankan
bahwa politik tidak hanya pembicaraan, juga tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan
tetapi, “hakikat pengalaman politik, dan bukan hanya kondisi dasarnya, ialah bahwa ia adalah
kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.”
Isi pesan yang sarat dengan muatan nilai-nilai politik ini kemudian juga turut memberi
dari sekadar penyampaian informasi politik, pembentukan citra politik, pembentukan opini
publik, dan bisa pula untuk mengendalikan pendapat atau tuduhan lawan politik. Dan senada
dengan tujuan itu, sekaligus sebagai tahap pendukung dalam proses pencapaiannya , terdapat
beberapa fungsi yang terkait dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah yang
tak lain merupakan fungsi komunikasi politik itu sendiri, yang antara lain :
1. Fungsi Artikulasi Kepentingan
Proses mengolah aspirasi masyarakat yang bercorak ragam untuk disaring dan
dirumuskan dalam bentuk rumusan yang teratur.
2. Fungsi Agregasi Kepentingan
Penggabungan berbagai kepentingan yang sama atau hampir sama untuk disatukan
dalam rumusan kebijakan lebih lanjut.
3. Fungsi Pembuat Kebijakan
Dijalankan oleh lembaga legislatif melalui berbagai hak yang dimiliki lembaga ini
(inisiatif, angket, budget, interplasi, dan amandemen) lewat kerjasama dengan
lembaga eksekutif.
4. Fungsi Penerapan Kebijakan
Dijalankan lembaga eksekutif beserta jajaran birokrasinya, yang tidak hanya sekedar
pembuatan rincian dan pedoman pelaksanaan peraturan, tapi juga perlu membeberkan
penafsiran atas aturan tersebut agar mudah dipahami dan dilaksanakan warga negara.
5. Fungsi Penghakiman Kebijakan
Membuat keputusan dan menetapkan solusi terhadap pertikaian atau persengketaan
yang menyangkut persoalan peraturan, pelanggaran peraturan, dan penegasan
fakta-fakta yang perlu mendapatkan keadilan (Ardial, 2009:40-44).
Terkait dengan kajian dan penelitian komunikasi politik, ilmuwan politik Harold
Lasswell(dalam Nimmo, 2005:13). melahirkan model penelitian yang menunjukkan pada
model analisis, yakni “siapa, berkata apa, kepada siapa, melalui saluran apa, dan bagaimana
efeknya.” Dengan rumusan itu, Dan Nimmo melakukan analisis tentang komunikasi politik
yang menjadi ruang lingkup dalam rangka paradigma atau perspektif mekanistis. Ruang
lingkup analisis tersebut mencakup :
Analisis sumber / komunikator politik (siapa) Analisis isi/pesan (berkata apa)
Khalayak politik (kepada siapa) Dan efek politik (bagaimana efeknya)
Namun sesuai dengan fokus permasalahan yang ingin diteliti, maka dalam hal ini
hanya dua lingkup poin komunikasi politik yang akan dibahas lebih lanjut, sebagai dasar teori
dari penelitian ini, yakni komunikator politik sebagai sumber dan pembicaraan politik sebagai
pesan.
2.1.1 Komunikator Politik
Dalam setting politik, siapa pun dapat menjadi komunikator politik. Proses
opini-komunikasi begitu serba mencakup sehingga setiap orang di antara kita sekurang-kurangnya
berpotensi untuk menjadi komunikator politik. Namun, fokus kita pada pembahasan teori ini
tidak begitu luas. Sebab kenyataannya relatif sedikit orang yang melakukan komunikasi
politik secara tetap berkesinambungan. Mereka yang sedikit ini tidak hanya bertukar pesan
politik, mereka adalah pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini,
dibandingkan dengan warga Negara pada umumnya, ditanggapi dengan lebih
bersungguh-sungguh bila mereka berbicara dan berbuat. Komunikator politik ini memainkan peran sosial
yang utama, terutama dalam proses opini publik.
Untuk memahami sifat dan karakter komunikator politik ini, kita dapat melakukannya
sesuai anjuran Leonard W. Doob (dalam Nimmo, 2005:30)., bahwa “jelas komunikator atau
para komunikator harus diidentifikasi dan kedudukan mereka dalam masyarakat harus
ditetapkan.” Berdasarkan hal itu, kita dapat mengidentifikasinya dengan tiga kategori, yakni
politikus yang bertindak sebagai komunikator politik, komunikator professional dalam
politik, dan aktivis atau komunikator paruh waktu (part-time).
a. Politikus Sebagai Komunikator Politik
Orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah harus dan
memang berkomunikasi tentang politik. kita menamakan calon atau pemegang jabatan ini
politikus. Aspek utama pekerjaan mereka adalah melayani beragam tujuan dengan
berkomunikasi. Meskipun begitu, menurut Daniel Katz pemimpin politik mengerahkan
pengaruhnya ke dua arah, yakni mempengaruhi alokasi ganjaran dan mengubah struktur
sosial yang ada atau mencegah perubahan demikian. Dalam kewenangannya yang pertama
politikus itu berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok atau langganan. Pesan-pesan
politikus itu mengajukan dan atau melindungi tujuan kepentingan kelompok. Artinya,
Sebaliknya, politikus yang bertindak sebagai ideolog tidak begitu terpusat
perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan seorang langganan. Ia lebih menyibukkan dirinya
untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahakan reformasi, dan bahkan
mendukung perubahan revolusioner. Ideolog itu terutama berkomunikasi untuk
membelokkan mereka kepada suatu tujuan, bukan mewakili kepentingan mereka dalam
gelanggang tawar-menawar dan mencari kompromi.
Katz membedakan wakil partisan dan ideolog, tetapi bila dipandang sebagai
komunikator politik, perbedaan itu hanya dalam derajatnya, bukan dalam jenisnya. Kedua
tipe politikus itu mempengaruhi orang lain, yakni mereka bertindak dengan tujuan
mempengaruhi opini orang lain. Wakil partisan itu mengejar perubahan atau mencegah
perubahan opini dengan tawar-menawar agar keadaannya menguntungkan bagi semua pihak.
Ideolog mempengaruhi bukan dengan mengendalikan situasi agar menguntungkan semua
kepentingan, melainkan dengan menetapkan kepentingan yang bertentangan dan atau netral
dan dengan meyakinkan orang kepada satu cara berpikir. Wakil adalah makelar yang
membujuk orang lain agar “ikut dan setuju”, sedangkan ideolog adalah pesilat lidah yang
menawarkan “gagasan yang lebih baik”.
b. Profesional Sebagai Komunikator Politik
Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil
sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama. Yakni
munculnya media massa yang melintasi batas-batas rasial, etnis, pekerjaan, wilayah, dan
kelas untuk meningkatkan kesadaran identitas nasional. Dan juga perkembangan serta-merta
media khusus (seperti majalah untuk khalayak khusus, radio komunitas, dll) yang
menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Baik media massa
maupun media khusus mengandalkan pembentukan dan pengelolaan lambang-lambang dan
khalayak khusus. Di sini masuklah komunikator profesional, yang mengendalikan
keterampilan yang khas dalam mengolah symbol-simbol dan yang memanfaatkan
keterampilan ini untuk menempa mata rantai yang menghubungkan orang-orang yang jelas
perbedaannya atau kelompok-kelompok yang diibedakan. Menurut James Carey, seorang
komunikator profesional adalah seorang makelar simbol, orang yang menterjemahkan sikap,
pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa
yang lain yang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Komunikator profesional
menghubungkan golongan elit dalam organisasi atau komunitas mana pun dengan khalayak
umum, secara horizontal ia menghubungkan dua komunitas bahasa yang dibedakan pada
Maka komunikator profesional adalah manipulator dan makelar simbol yang
menghubungkan para pemimpin satu sama lain dan dengan para pengikut. Akan tetapi
menurut Carey, yang sangat membedakan karakteristik komunikator professional adalah
bahwa pesan yang dihasilkannya tidak memiliki hubungan yang pasti dengan pikiran dan
tanggapannya sendiri. Komunikator profesional di bawah desakan atau tuntutan yang
dibebankan oleh khalayak lain dan sumber asal. Seperti dalam politikus yang terbagi atas
wakil partisan dan ideolog, komunikator profesional juga dibagi berdasarkan tekanan, yang
mencakup jurnalis dan promotor.
Kita mengenal jurnalis sebagai orang yang berkaitan dengan media berita dalam hal
pengumpulan, persiapan, penyajian, dan penyebaran laporan mengenai peristiwa-peristiwa.
Yang diantaranya meliputi, reporter, redaktur, koordinator berita, pengarah berita. Hingga
pemimpin redaksi yang bekerja pada koran, radio, televisi, dll.
Sebagai komunikator profesional, jurnalis secara khas adalah karyawan organisasi
berita yang menghubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para
pemimpin pemerintah untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan para pemimpin
dengan publik umum, menghubungkan publik umum dengan para pemimpin, dan membantu
menempatkan masalah dan peristiwa pada agenda diskusi publik.
Promotor adalah orang yang dibayar untuk mengajukan kepentingan langganan
tertentu. Yang termasuk ke dalam promoter adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang
penting, personel hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau pemerintah, pejabat
informasi publik pada jawatan pemerintah, sekretaris pers kepresidenan, personel periklanan
perusahaan, manajer kampanye, dan pengarah publisitas kandidat politik, yang bekerja untuk
kepentingan kandidat politik dan tokoh masyarakat lainnya, asisten administratif anggota
legislatif, dan semua jenis makelar simbol lainnya.
Jurnalis dan promoter berbeda satu sama lain dalam tingkat hal-hal tertentu. Sejauh
mana masing-masing mempunyai kewajiban utama untuk mendukung kepentingan sumber
berita ketimbang menyingkap informasi yang dibutuhkan publik. Dan sejauh mana jurnalis
atau promotor lebih bergantung pada sumber atau khalayak bagi kehidupan profesional.
c. Aktivis Sebagai Komunikator Politik
Tipe komunikator yang ketiga menurut Leonard W. Doob adalah aktivis. Apa yang
disebut aktivis adalah mereka yang terlibat baik dalam politik maupun komunikasi dan
memiliki keahlian tentang itu, tetapi mereka tidak menggantungkan nafkahnya pada kedua
bidang itu. Para aktivis ini tidak jarang justru sangat berpengaruh terhadap pandangan politik
menemukan bahwa para pemuka pendapat mempunyai peran yang sangat penting dalam
perubahan sikap. Mereka ini terbagi atas juru bicara kelompok kepentingan dan pemuka
pendapat (opinion leader).
Pertama, juru bicara bagi kelompok kepentingan atau organisasi. Pada umumnya,
orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan jabatan pada pemerintah, dalam hal ini
komunikator tersebut tidak seperti politikus yang membuat politik menjadi lapangan
kerjanya. Juru bicara ini biasanya juga bukan professional dalam komunikasi. Namun, ia
cukup terlibat baik dalam politik maupun dalam komunikasi sehingga dapat disebut aktivis
politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Ia berbicara untuk kepentingan yang
terorganisasi merupakan peran yang serupa dengan peran politikus yang menjadi wakil
partisan, yang mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi dan tawar-menawar untuk
pemeriksaan yang menguntungkan. Dalam hal lain juru bicara ini sama dengan jurnalis, yaitu
melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi.
Kedua, jaringan interpersonal mencakup komunikator politik utama, yakni pemuka
pendapat. Banyak warga negara yang dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat
politis (seperti memilih calon), meminta petunjuk dari orang-orang yang dihormati mereka,
apakah untuk mengetahui apa yang harus dilakukannya atau untuk memperkuat putusan yang
telah dibuatnya. Orang yang dimintai petunjuk dan informasinya itu adalah pemuka pendapat.
Mereka sangat mempengaruhi keputusan orang lain, seperti politikus ideologis dan promotor
professional, mereka meyakinkan orang lain kepada cara berpikir mereka. Selain memberikan
petunjuk, pemuka pendapat meneruskan informasi politik dari media berita kepada
masyarakat umum. Dalam arus komunikasi dua tahap ini, gagasan sering mengalir dari media
massa kepada pemuka pendapat, lalu menuju kepada bagian penduduk yang kurang aktif.
Banyak studi yang membenarkan pentingnya kepemimpinan pendapat melalui komunikasi
interpersonal sebagai alat untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang penting (Nimmo,
2005:30-38).
2.1.2 Pesan Dalam Komunikasi Politik
Pesan dalam kegiatan komunikasi membawa informasi yang disampaikan oleh
komunikator. Pesan selain membawa informasi juga memberikan makna kepada siapa saja
yang menginterpretasikannya. Pesan merupakan konten atau isi dari kegiatan komunikasi
secara umum, termasuk komunikasi politik.
Pesan dalam komunikasi politik digunakan dalam praktik sejarahnya sebagai “peluru”
dalam kegiatan komunikasi politik. komunikasi persuasi bahkan tidak hanya tergantung pada
kekuatan komunikator yang menyampaikan, tetapi pada kedahsyatan isi atau konten pesan
disampaikan untuk mempengaruhi khalayaknya.
Aristoteles (dalam Subiakto & Ida, 2012:40), yang melahirkan teori tentang retorika
politik, menjelaskan ada tiga elemen dasar dalam komunikasi sebenarnya. Pertama, yang
disebut dengan communication ideology atau penyampaian nilai-nilai atau ideologi yang
disampaikan oleh komunikator. Kedua, disebut dengan emotional quality atau perasaan
emosional yang dimiliki oleh khalayak pada saat komunikasi terjadi. Ketiga, yang membawa
pesan komunikasi bermakna adalah core argument atau argumentasi intinya. Maka, jelas dari
yang dijelaskan oleh Aristoteles di atas bahwa pesan komunikasi mempunyai power atau
kekuatan untuk menyampaikan keinginan, nilai, ideologi, pemikiran, opini, dan sebagainya
dari para peserta komunikasi, terutama dalam komunikasi persuasi untuk membujuk atau
mempengaruhi orang lain untuk berperilaku sesuai dengan keinginan komunikator.
Pesan merupakan inti dari komunikasi politik. Pesan bisa negatif atau positif
tergantung dari persepsi dan pemaknaan yang muncul dari khalayak yang menerima dan
memaknai pesan komunikasi yang disampaikan.
a. Pembicaraan Sebagai Pesan Politik
Dalam politik terdapat begitu banyak pembicaraan, sehingga seolah-olah pembicaraan
itu adalah politik. Perhatikan saja betapa pentingnya pembicaraan dalam kehidupan
sehari-hari para politikus, baik pejabat maupun calon pejabat. Kebanyakan di antara kita mengenal
presiden atau pejabat lainnya lewat pembicaraannya (dalam konferensi pers, pidato,
pernyataan tertulis, dsb) atau karena orang lain membicarakan tentang dia. Para jurnalis
menelaah setiap katanya untuk mencari nuansa, sindiran, atau petunjuk tentang apa yang akan
terjadi.
Melimpahnya wacana politik bukanlah satu-satunya penyebab politik dikira sama
dengan pembicaraan. Pembicaraan mencakup jauh lebih banyak daripada kegiatan verbal
lisan atau tertulis. Orang berbicara satu sama lain bahkan jika tak sepatah kata pun yang
diucapkan. Dalam pembicaraan politik tersebut, poin intinya terletak pada proses negosiasi
politik.
Negosiasi politik ini bertujuan mencapai pengertian bersama di antara pihak-pihak
tentang apa makna syarat-syarat persetujuan yang diterima. Mereka berharap menciptakan
pengharapan bersama mengenai bagaimana pihak-pihak akan bertindak terhadap satu sama
lain di masa mendatang. Negosiasi melibatkan orang-orang yang saling mempengaruhi
tiga jenis pembicaraan yang mempunyai kepentingan politik yang pasti dan jelas sekali
politis.
Pertama, pembicaraan kekuasaan yang mempengaruhi orang lain dengan ancaman
atau janji. Bentuknya yang khas adalah, “jika anda melakukan X, saya akan
melakukan Y.” di sini “X” adalah sikap orang lain yang diinginkan oleh pembicara,
“Y” adalah maksud yang dinyatakan untuk memberikan lebih banyak (janji) atau
lebih sedikit (ancaman) kenikmatan atas sesuatu bila sikap itu dilakukan. Kunci
pembicaraan kekuasaan ialah bahwa “saya” mempunyai cukup kemampuan untuk
mendukung janji maupun ancaman, dan bahwa yang lain mengira bahwa pemilik
kekuasaan itu akan melakukannya.
Kedua, pembicaraan pengaruh terjadi tanpa saksi-saksi seperti itu, “jika anda
melakukan X. anda akan melakukan (merasa, mengalami, dsb) Y.” Janji, ancaman,
penyuapan, dan pemerasan adalah alat tukar pada komunikasi kekuatan. Sedangkan
pada komunikasi pengaruh alat-alat itu diganti dengan nasihat, dorongan, permintaan,
dan peringatan. Seperti ditunjukkan oleh Bell, hubungan kekuasaan berdasar pada
kemampuan memanipulasi sanksi positif atau negatif, namun pada pemberi pengaruh
(karena prestise dan reputasinya) dengan berhasil memanipulasikan persepsi atau
pengaharapan orang lain terhadap kemungkinan mendapat untung atau rugi.
Ketiga, pembicaraan autoritas yakni pemberian perintah. Syarat-syarat tidak ada, dan
pernyataan autoritas adalah, “lakukan X” atau “dilarang melakukan X.” Yang
dianggap sebagai penguasa sah adalah suara autoritas dan memiliki hak untuk
dipatuhi. Sumber-sumber pengesahan itu, dengan demikian sumber-sumber autoritas
sangat berbeda-beda. Misalnya seperti keyakinan religius atas sifat-sifat penguasa,
penguasa adat, kedudukan resmi, dll. Apa pun sumbernya, pembicaraan autoritas
lebih merupakan bentuk perintah daripada bentuk bersyarat (contingent) yang
merupakan ciri khas kekuasaan dan pengaruh.
Jadi, pembicaraan itu penting bagi politik, dan jika dipandang secara luas, politik
adalah pembicaraan. Yakni pembicaraan yang berkembang tentang kekuasaan, pengaruh, dan
autoritas. Pembicaraan dengan perbendaharaan kata yang terus-menerus berkembang dan
yang kita ingin menelaahnya secara lebih rinci.
b. Simbol dan Bahasa Dalam Pembicaraan Politik
Pembicaraan politik adalah kegiatan simbolik. Hal ini berarti pembicaraan politik
adalah kegiatan simbolik berarti mengatakan bahwa kata-kata atau lambang dalam wacana
menggunakannya. Bahwa berbagai komunikator politik turut berdiskusi dengan
menggunakan kata-kata yang sama untuk menunjukkan hal-hal yang sama merupakan
masalah. Agar hal itu terjadi, pembicaraan politik harus menjadi pertukaran apa yang oleh
George Herbert Mead disebut lambang-lambang berarti (signifikan).
Bagi Mead (Nimmo, 2005:80), berpikir selalu melibatkan lambang. Lambang mana
pun adalah lambang signifikan jika ia mengakibatkan tanggapan yang sama pada orang lain
yang dikumpulkannya di dalam diri pemikir. Maka lambang signifikan adalah lambang
dengan makna atau pengertian bersama bagi semua pihak dalam percakapan. Makna
bersama, seperti telah kita katakan, tidak ditentukan. Sebab makna dan tanggapan terhadap
suatu lambang tidak sama bagi setiap orang. Lambang signifikan tidak ada sebelum
percakapan, tetapi muncul melalui pengambilan peran bersama, suatu proses interaksi sosial.
Jadi, lambang signifikan yang menghasilkan perbendaharaan kata politik bersama tumbuh
dari negosiasi dan renegosiasi para komunikator politik yang berkesinambungan. Melalui
penyusunan sosial lambang-lambang signifikan, pembicaraan politik menyajikan seluruh
bidang diskusi bersama yang memelihara dan memperbesar peluang bagi orang-orang untuk
melakukan pembicaraan di massa depan yang ditujukan untuk menyesuaikan kepentingan
mereka yang berbeda-beda.
Gambar 1
Hubungan antara lambang, interpretasi, dan makna
Interpretasi
Melambangkan Mengacu Kepada
(hubungan langsung) (hubungan langsung yang lain)
Lambang Rujukan
Mewakili
(hubungan tak langsung yang dipertalikan)
Dengan demikian maka kegiatan simbolik terdiri atas orang-orang yang menyusun
makna dan tanggapan bersama terhadap perwujudan lambang-lambang referensial dan
kondensasi dalam bentuk kata-kata, gambar, dan perilaku. Dengan mengatakan bahwa makna
dan tanggapan itu berasal dari pengambilan peran bersama, kita meminta perhatian kepada
suatu fungsi lambang yang penting, yaitu bahwa lambang merangsang orang untuk
memainkan peran dalam proses komunikasi politik.
Sementara di sisi lain, jika lambang adalah kata-kata dari pembicaraan politik, maka
bahasa adalah permainan kata dari wacana itu. Meski para sarjana memilik pendapat yang
berbeda dalam hal definisi, tetapi ada konsensus bahwa bahasa adalah suatu sistem
komunikasi yang :
Tersusun dari kombinasi lambang-lambang signifikan (tanda dengan makna dan
tanggapan bersama bagi orang-orang) di dalamnya,
Signifikansi lambang-lambang itu lebih penting daripada situasi langsung tempat
bahasa itu digunakan, dan
Lambang-lambang itu digabungkan menurut peraturan tertentu.
Bahasa sebagai lambang menjadi katalisator dunia subjektif yang di dalamnya
ketidakpastian diterangkan dan penyebab tindakan yang tepat menjadi jelas karena setiap
lambang memadatkan dan mengatur ulang perasaan, ingatan, persepsi, dan emosi, suatu
penstrukturan yang berbeda-beda menurut situasi sosial orang. Kata-kata dan permainan kata
tidak hanya memberi nama kepada objek, kata juga menempatkan objek tertentu ke dalam
kelas objek, dengan demikian memberikan bimbingan untuk memandang, membandingkan,
mempertimbangkan, dan menilai.
Terdapat dua jenis bahasa, yakni bahasa verbal dan nonverbal. Apa yang telah kita
bicarakan terkait bahasa verbal berlaku juga bagi bahasa nonverbal. Bahasa verbal adalah
diskursif, yaitu lambing-lambang yang menyusunnya (kata, frasa, notasi matematis, sandi,
titik-titik pada peta, dan hal-hal serupa) yang membantu kita berpikir cermat, membuat
pernyataan harfiah, dan merekam informasi. Ada sifat kognitif yang kuat tentang
bahasa-bahasa diskursif (verbal) tersebut. bahasa-bahasa nonverbal adalah nondiskursif, ia membantu
mengungkapkan hal-hal yang sukar dipikirkan secara cermat (fantasi, kasih sayang, emosi,
nuansa halus, misteri, perasaan) yang sukar dinyatakan dengan cara yang lugas.
Dalam memikirkan bahasa verbal dan nonverbal ada dua hal yang harus diingat.
Pertama, komunikasi baik verbal maupun nonverbal adalah kegiatan, apakah itu kata yang
diucapkan, jeda, anggukan kepala, atau ekspresi lain. Dia adalah tindakan yang apabila terjadi
modus wacana nonverbal, bahwa kedudukan, ekspresi, atau gerakan tidak pernah
membawakan makna dengan sendirinya atau tentang dirinya sendiri. Tetapi, sebagai kegiatan
simbolik masing-masing memperoleh makna dari konteks tempat ia terjadi dan tanggapan
orang terhadapnya, tepat seperti pesan-pesan yang disampaikan secara verbal, baik lisan
maupun tulisan (Nimmo, 2005:82-84).
2.2Persepsi
Persepsi menurut Desiderato adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan
persepsi dengan stimuli sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu,
menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi,
ekspektasi dan memori (Dalam Rakhmat, 2005:51). Sedangkan menurut Dedy Mulyana,
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan
menafsirkan rangsangan dari lingkungan, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku
(Mulyana, 2005:167).
Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi ialah perhatian. Menurut Kenneth E.
Andersen perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi
menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian terjadi bila kita
mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indera kita, dan mengesampingkan
masukan-masukan melalui alat indera yang lain.
Selain perhatian, persepsi juga ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional.
David Krech dan Richard S. Crutchfield menyebut kedua faktor tersebut faktor fungsional
dan faktor struktural.
2.2.1 Faktor Fungsional yang Menentukan Persepsi
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal-hal lain
yang termasuk apa yang kita sebut sebagi faktor-faktor personal. Yang menentukan persepsi
bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik pihak yang memberikan respons pada
stimuli itu. Faktor-faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi lazim disebut sebagi
kerangka rujukan (frame of reference). Para psikolog sosial menerapkan konsep ini untuk
bahwa penilaian terhadap objek dalam hal beratnya bergantung pada rangakaian objek yang
dinilainya.
Dalam kegiatan komunikasi, kerangka rujukan mempengaruhi bagaimana orang
memberi makna pada pesan yang diterimanya. Menurut McDavid dan Harari, para psikolog
menganggap konsep rujukan ini amat berguna untuk menganalisa interpretasi perceptual dari
peristiwa yang dialami (Rakhmat, 2005:55-58).
2.2.2 Faktor Struktural yang Menentukan Persepsi
Faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf
yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Para psikolog Gestalt, seperti Kohler,
Wartheimer, dan Koffka, merumuskan prinsip-prinsip persepsi yang bersifat struktural.
Prinsip-prinsip ini kemudian terkenal dengan teori Gestalt. Menurut teori Gestalt, bila kita
mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat
bagian-bagiannya lalu menghimpunnya. Dengan kata lain, bagian-bagian medan yang
terpisah (dari medan persepsi) berada dalam interdependensi yang dinamis (yakni dalam
interaksi), dan itu karena dinamika khusus dalam interaksi ini menentukan distribusi fakta
dan kualitas lokalnya. Maksudnya, jika kita ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat
meneliti fakta-fakta yang terpisah, kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan.
Karena manusia selalu memandang stimuli dalam konteksnya, dalam strukturnya,
maka ia pun mencoba mencari struktur pada rangkaian stimuli. Struktur ini diperoleh dengan
jalan mengelompokkan berdasarkan kedekatan atau persamaan. Prinsip kedekatan
menyatakan bahwa stimuli yang berdekatan satu sama lain akan dianggap satu kelompok.
Jadi, kedekatan dalam ruang dan waktu menyebabkan stimuli ditanggapi sebagai bagian dari
struktur yang sama (Rakhmat, 2005:58-62).
2.2.3 Dalil-Dalil Persepsi
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang
termasuk dalam faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli,
tetapi karakter orang yang memberikan respons pada stimuli tersebut. Terhadap satu
informasi yang sama, beberapa orang dapat menarik kesimpulan yang berbeda, dikarenakan
perbedaan kondisi yang masuk dalam faktor personal individu yang memberikan persepsi.
Krech dan Crutchfield merumuskan beberapa dalil persepsi yang dapat menjelaskan
Pertama, persepsi bersifat selektif secara fungsional. Dalil ini berarti bahwa
objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek-objek-objek-objek yang memenuhi
tujuan individu yang melakukan persepi. Mereka memberikan contoh pengaruh kebutuhan,
kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya terhadap persepsi.
Kedua, medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita
mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang kita terima
itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian
stimuli yang kita persepsi.
Ketiga, sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya
oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai
anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan
dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras.
Keempat, objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau
menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama.
Pada persepsi sosial, pengelompokan tidak murni struktural, sebab apa yang dianggap sama
atau berdekatan oleh seorang individu, tidaklah dianggap sama atau berdekatan oleh individu
yang lain (Rakhmat, 2005:56-61).
2.3Fenomenologi
Filsafat fenomenologi merupakan suatu pemikiran filosofis yang dipakai terutama
berhubungan dengan usaha mencari penyelesaian hubungan lahiriah, alamiah dengan ciptaan
alam di dalam dunia kehidupan. Fenomenologi dimaksudkan untuk menjadi suatu ilmu
deskriptif dan secara sistematika yang ketat (rigorous) dapat menjelaskan mengenai
fenomena yang dikenal oleh kesadaran secara langsung. Fenomenologi bergerak di bidang
yang pasti.
Fenomenologi berasal dari kata fenomenon, suatu padanan dari bahasa Inggris
phenomenon yang berasal dari kata Yunani phainein yang berarti memperlihatkan dengan
bentuk pasifnya terlihat, atau yang tampil terlihat jelas di hadapan kita. Kata itu juga
memiliki akar yang sama dengan kata fancy dan fantacy yang berarti imajinasi. Jadi
fenomenon dapat saja tampil di dalam pikiran kita sejauh dia itu jelas. Fenomenologi adalah
teori tentang fenomenon (Praja, 2003:179).
Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang
Sehingga dalam berbagai hal kita dapat mempelajari atau memahami sesuatu dari gejala atau
penampakan. Yakni hal-hal yang menyangkut kenyataan sebagaimana tampaknya.
Fenomenologi, dikemukakan oleh Edmund Husserl (1895-1938) sebagai tokoh terpentingnya.
Husserl(L. Siregar, 2005 : 7-8) mengatakan :
“This phenomenology, like the more inclusive pure phenomenology of experiences in general, has, as its exclusive concern, experiences intuively seizable and analyzable in the pure generality of their essence, not experiences empirically perceived and treated as real facts, as experiences of human or animal experients in the phenomenal world that we posit as an empirical fact. This phenomenology must bring to pure expression, must describe in terms of their essential concepts and their governing formulae of essence, the essence which directly make themselves known in intuition, and the connections which have their roots purely in such essences. Each such statement of essence is an apriori statement in the highest sense of the world.”
Fenomenologi ini sebagaimana halnya fenomenologi murni yang lebih inklusif tentang pengalaman secara umum kepedulian khusus, pengalaman yang dapat dideskripsikan dan dianalisis secara intuitif dalam hal umum yang murni, mengenai esensi bukan pengalaman yang diterima dan diperlakukan secara empiris sebagai fakta riil, seperti halnya pengalaman manusia atau hewan dalam dunia fenomenal yang kita asumsikan sebagai suatu fakta empiris. Fenomenologi ini harus dibawa kepada ekspresi murni, harus dapat menggambarkan arti konsep esensinya dan formula yang mengatur esensinya, esensi yang secara langsung membuat hal itu dapat dikenal dalam intuisi dan hubungan dengan di mana mereka berakar secara murni. Setiap pernyataan esensi merupakan pernyataan apriori dalam arti yang paling tinggi.
2.3.1 Filsafat Fenomenologi
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan
menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang
sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”.
Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif dan instropeksi
mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung :
religious, moral, estetis, konseptual, dan indrawi. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan
pada penyelidikan tentang lebenswelt (dunia kehidupan) atau erlebnisse (kehidupan subjektif
dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan
tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris (Maksum,
Sebagai filsafat, fenomenologi memberi pengetahuan yang perlu dan esensial
mengenai apa yang ada. Dalam tahap-tahap penelitiannya, ia menemukan objek-objek yang
membentuk dunia yang kita alami. Dengan demikian, fenomenologi dapat dijelaskan sebagai
metode kembali kepada benda itu sendiri, dan ini disebabkan benda itu sendiri merupakan
objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
2.3.2 Metode Fenomenologi
Menurut Husserl (dalam Maksum, 2011:191), fenomenologi merupakan metode dan
filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil
sehingga sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan
cirri-ciri instrinsik fenomena sebagaimana fenomena itu sendiri menampakkan diri kepada
kesadaran. Kita harus berangkat dari subjek manusia serta kesadarannya dan berupaya untuk
kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai kesadaran murni, kita harus
membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Kalau ini dapat
dilakukan maka akan tersisa gambaran-gambaran yang hakiki dan intuisi esensi.
Untuk memahami filsafat Husserl, ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui :
Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena
(sesuatu yang berada di balik fenomena)
Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau ruhani
Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka dan terarah pada subjek)
Substansi adalah konkret yang menggambarkan isi dan struktur kenyataan dan
sekaligus bisa terjangkau.
Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan oleh Husserl (dalam Praja, 2003:181),
usaha untuk mencapai hakikat realitas segalafenomena itu melalui reduksi atau penyaringan
yang terdiri dari :
1. Reduks i Fenomenologi
Fenomena seperti disebut di atas adalah menampakkan diri. Dalam praktik hidup
sehari-hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan
sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat adalah riil atau nyata. Kita telah
meyakini sebagai realitas di luar kita. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi
adalah realitas dalam arti yang ada di luar dirinya dan ini hanya dapat dicapai dengan
“mengalami” secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan
disingkirkan. Termasuk di dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan
pandangan-pandangan yang telah membentuk pikiran kita memandang sesuatu (fenomena) sehingga
yang timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini
disebut fenomenologis. Reduksi ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektivitas
yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu. Jika hal ini berhasil, kita akan
sampai pada fenomena yang sebenarnya.
2. Reduksi Eidetis
Eiditis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi eiditis ialah penyaringan atau
penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas fenomena.
Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan realitas. Dengan reduksi eiditis, semua segi, aspek,
dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil
tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung
aspek dan profil yang tiada terhingga.
Hakikat (realitas) yang dicari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meliputi isi
fundemental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah
hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan
contoh-contoh tertentu yang representatif melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau
ditambah salah satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau
menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi eiditis ini menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohersi berlaku.
Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan dalam
suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan
yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.
3. Reduksi Transendental
Di dalam reduksi ini yang ditempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan
segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar
dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri. Reduksi ini
dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek, atau fenomena yang bukan mengenai hal-hal
yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan
mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian, yang tinggal
sebagai hasil reduksi ini adalah aktus kesadaran sendiri. kesadaran di sini bukan pula
kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan
atau transendental, yaitu yang ada bagi diriku dalam aktrus-aktrus. Dengan singkat dapat
disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental.
Dalam hal ini “aku” transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi,
dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek-objek pada umumnya
tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya, sejarah dan budaya mempunyai saham
dalam memahami objek-objek. Kursi misalnya, tidak jelas maknanya bagi seseorang yang
tetap hidup di hutan. Objek yang disadari (noema) baru menjadi realitas bagi satu subjek,
sedangkan subjek lebih dari satu. Untuk menghindari ini, Husserl membuat reduksi
lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia manusia umum). Dengan reduksi ini, apa yang
disadari adalah realitas absolut dari fenomena, meliputi seluruh perspektifnya. Dan “aku”
transendental dari subjek berubah menjadi “aku” transcendental antar subjek. Ini yang
ditempuh Husserl untuk menghindari solipisme fenomenologis.
Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi
sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini
memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum.
2.4Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik merupakan pendekatan sosiologi komunikasi yang
mengkhususkan pengamatannya berdasarkan makna di balik simbol-simbol interaksi yang
nampak di permukaan. Pendekatan ini berawal dari pemikiran George Herbert Mead (1972),
yang mengamati interaksi sosial dari penggunaan simbol-simbol dalam interaksi sosial.
Menurut Leslie White (dalam Iskandar, 2010: 8), simbol adalah “a thing the value or
meaning of which is bestowed upon by those who use it”. Jadi simbol adalah sesuatu yang
nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut
White, makna atau nilai tersebut tidak berasal dari atau yang ditentukan oleh sifat-sifat yang
secara intrinsik terdapat di dalam bentuk fisiknya. Makna suatu simbol, menurut White,
hanya dapat ditangkap melalui cara non-sensoris, yakni melalui cara simbolisme.
Akar pemikiran interaksionisme simbolik mengasumsikan realitas sosial sebagai
proses dan bukan sebagai sesuatu yang statis-dogmatis. Artinya, masyarakat dilihat sebagai
sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Teori
interaksionisme simbolik membahas konsep mengenai diri yang tumbuh berdasarkan
Dengan demikian, interaksionisme simbolik dapat didefinisikan sebagai “cara kita
menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan di sekitar kita melalui cara kita
berinteraksi dengan orang lain. Teori ini berfokus pada cara orang berinteraksi melalui
simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran.
Perspektif interaksionisme simbolik mendasarkan pandangannya pada asumsi bahwa
manusia mengembangkan satu set simbol yang kompleks untuk memberi makna terhadap
dunia. Karenanya makna muncul melalui interaksi manusia dengan lingkungannya.
Teori interaksi simbolik menggunakan paradigma individu sebagai subjek utama
dalam percaturan sosial, meletakkan individu sebagai pelaku aktif dan proaktif. Pada
dasarnya teori interaksi simbolik mengetengahkan soal diri sendiri (the self) dengan segala
atribut dunia luarnya. Cooley (dalam Mulyana, 2007 :35)menyebunya sebagai looking glass
self. Artinya seiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol, baik dalam
kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri.
Dalam hal ini diri yang dimaksud adalah definisi yang diciptakan orang (melalui
interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada. Dalam mengkonstruk atau
mendefinisikan aku, manusia mencoba melihat dirinya sebagai orang lain, melihatnya dengan
jalan menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dan dengan jalan
menempatkan dirinya dalam peranan orang lain (Moleong, 2001 : 13).
Teori interaksionisme simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School
dengan tokoh-tokohnya George Herbert Mead dan George Herbert Blumer. Demi mengenal
lebih dalam konsep teori interaksionisme simbolik, penting untuk mengetahui konsep
pemikiran kedua tokoh tersebut seraya membandingkannya secara komprehensif, yang akan
dipaparkan berikut ini.
2.4.1 Interaksionisme Simbolik Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead lahir di Massacusettes, Amerika Serikat, pada tahun 1863,
yakni pada era perang sipil. Ayahnya merupakan seorang menteri, namun kakeknya
merupakan seorang petani miskin. Mead dianggap sebagai bapak interaksionisme simbolik,
karena pemikirannya yang luar biasa. Pemikiran Mead terangkum dalam konsep pokok
mengenai “mind”, “self” dan “society” sebagaimana dijelaskan berikut ini (Mufid,
2009:160).
Dia mengatakan bahwa pikiran manusia mengartikan dan menafsirkan benda-benda
manusia menerobos dunia luar, seolah-olah mengenalnya dari balik penampilannya. Ia juga
menerobos dirinya sendiri dan membuat hidupnya sendiri menjadi objek pengenalannya yang
disebut self yang dapat kita terjemahkan menjadi aku atau diri. Self dikatakan Mead memiliki
ciri-ciri dan status tertentu. Manusia yang ditanya siapa dia, akan menjawab namanya, status
sosialnya, dan lain sebagainya.
Cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan
masyarakatnya. Mead (dalam Mufid, 2009:161-165) melihat pikiran dan diri menjadi bagian
dari perilaku manusia, yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Interaksi itu membuat dia
mengenal dunia dan dia sendiri. Mead mengatakan bahwa, pikiran (mind) dan diri (self)
berasal dari masyarakat (society) atau aksi sosial (social act).
a. Konsep Mead tentang “Mind”
Mead mendefinisikan “mind” (pikiran) sebagai fenomena sosial yang tumbuh dan
berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi. Mind dalam hal ini mirip dengan
simbol, yakni sebagai hasil dari interaksi sosial. Hanya, mind terbentuk setelah terjadinya
percakapan diri (self-conversation), yakni ketika seseorang melakukan percakapan diri yang
juga disebut sebagai berpikir. Karenanya bagi Mead, berpikir tidak mungkin terjadi jika tidak
menggunakan bahasa.
Konsepsi “mind”lebih merupakan proses daripada sebuah produk. Hal ini berarti
bahwa kesadaran bukanlah hasil tangkapan dari luar, melainkan secara aktif selalu berubah
dan berkembang. Mead mengatakan bahwa, “consciousness (mind) is not given, it is
emergent”. Kesadaran (mind) tidak diberi, tapi dicari.
b. Konsep Mead tentang “Self”
Self, menurut Mead adalah proses yang tumbuh dalam keseharian sosial yang
membentuk identitas diri. Perkembangan self tergantung pada bagaimana seseorang
melakukan role taking (pengambilan peran) dari orang lain. Dalam role taking kita
mengimajinasikan tingkah laku kita dari sudut pandang orang lain.
Esensi self bagi Meadadalah reflexivity. Yakni bagaimana kita merenung ulang relasi
dengan orang lain untuk kemudian memunculkan adopsi nilai dari orang lain.
c. Konsep Mead tentang “Society”
“Society” menurut Mead adalah kumpulan self yang melakukan interaksi dalam
Institusi society karenanya terdiri dari respon yang sama. “Society” dipelihara oleh
kemampuan individu untuk melakukan role taking dan generalized others.
2.4.2 Interaksionisme Simbolik Menurut George Herbert Blumer
George Herbert Blumer (1967), merupakan professor di Universitas California.
Pemikiran Blumer tentang interaksionisme simbolik lebih banyak merupakan penuangan ide
Mead. Sebagai seorang penganut pemikiran Mead, ia berusaha menjabarkan pemikiran
idolanya Mead mengenai konsep interaksionisme simbolik. Menurut Blumer (dalam Sunarto,
2004 : 38) bahwa pokok-pokok pikiran interaksionisme simbolik terdiri dari tiga asumsi,
yakni : pertama, bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) itu atas dasar makna
(meaning) yang dimiliki sesuatu tersebut baginya. Kedua, makna yang memiliki sesuatu
tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Ketiga,
bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui proses penafsiran (interpretative) yang
digunakan orang dalam menjumpai sesuatu yang unik.
a. Konsep Diri
Manusia bukan semata-mata organisme yang bergegas di bawah pengaruh
perangsang-perangsang, baik dari dalam maupun dari luar, melainkan organism yang sadar
akan dirinya (an organism having a self).
Oleh karena ia seorang diri, maka ia mampu memandang dirinya sebagai objek
pikirannya sendiri dan berinteraksi dengan drinya sendiri. Ia mengarahkan dirinya kepada
berbagai objek, termasuk dirinya sendiri, berunding dan berwawancara dengan dirinya
sendiri. ia mempermasalahkan, mempertimbangkan, menguraikan, dan menilai hal-hal
tertentu yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, dan akhirnya ia merencanakan
dan mengorganisasikan perilakunya. Antara perangsang dengan perilakunya tersisiplah
proses interaksi dengan diri sendiri tadi. Inilah kekhasan manusia.
b. Konsep Kegaiatan
Oleh karena perilaku manusia dibentuk dengan proses interaksi dengan diri sendiri,
maka kegiatannya itu berlainan sama sekali dengan kegiatan makhluk-makhluk lain. Manusia
menghadapkan dirinya dengan berbagai hal, seperti tujuan, perasaan, kebutuhan, perbuatan,
dan harapan serta bantuan orang lain, citra dirinya, cita-citanya, dan lain sebagainya. Maka, ia
kebutuhannya, norma kelompoknya, atau situasinya, melainkan merupakan konstruksinya.
Adalah manusia sendiri yang menjadi konstruktor perilakunya.
c. Konsep Objek
Manusia hidup di tengah-tengah objek. Objek meliputi segala sesuatu yang menjadi
sasaran perhatian manusia. Objek bisa bersifat konkrit seperti kursi, meja, dan seterusnya,
dan dapat pula bersifat abstrak seperti kebebasan. Bisa juga pasti seperti golongan darah atau
agak kabur seperti filsafat.
Inti hakikat objek tadi tidak ditentukan oleh ciri-cirinya, melainkan oleh minat
seseorang dan makna yang dikenakan kepada objek tersebut. jadi, menurut Blumer, tidak
hanya kegiatan atau perbuatan yang harus dilihat sebagai konstruksi, tapi juga objek.
d. Konsep Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah suatu proses hubungan timbale balik yang dilakukan oleh
individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan
individu, antara kelompok dengan kelompok dalam kehidupan sosial.
Dalam interaksi terjadi proses pemindahan diri pelaku yang terlibat secara mental ke
dalam posisi orang lain. Dengan demikian, mereka mencoba mencari makna yang oleh orang
lain diberikan kepada aksinya memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi.
Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik saja,
melainkan lambang-lambang yang maknanya perlu dipahami. Dalam interaksi simbolis
seseorang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerik orang lain dan bertindak dengan makna
yang dikandungnya.
Blumer mengatakan, bahwa orang-orang menimba perbuatan masing-masing secara
timbal balik, dalam arti tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan
perbuatan orang yang lainnya, melainkan seolah-olah menganyam perbuatan-perbuatan
mereka menjadi apa yang disebut sebagai transaksi, dalam arti kata perbuatan-perbuatan yang
berasal dari masing-masing pihak itu diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama
yang menjembatani mereka.
e. Konsep Aksi Bersama
Istilah aksi bersama sebagai terjemahan dari “joint action”, jadi berarti kegiatan
Blumer memberikan contoh, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara pernikahan,
diskusi, sidang pengadilan, peperangan, dan sebagainya (Mufid, 2009:165-170).
Analisis aksi bersama ini menunjukkan bahwa hakikat masyarakat, kelompok atau
organisasi tidak harus dicari dalam struktur relasi-relasi yang tetap, melainkan dalam proses
aksi yang sedang berlangsung. Tanpa aksi setiap struktur relasional tidak dapat dipahami
secara atomistis, melainkan sebagai aksi bersama, dimana unsur-unsur individual dicocokkan
satu sama lain dan melebur.
2.5 Elite
Istilah elite berasal dari bahasa latin yaitu “eligere” atau dalam bahasa inggrisnya
“elite”, yang berarti memilih. Dalam pemakaian biasa, kata tersebut berarti “bagian yang
menjadi pilihan” suatu bangsa, budaya, kelompok usia, dan orang-orang yang menduduki
posisi sosial yang lebih tinggi. Dengan kata lain, yang disebut elite adalah sekelompok kecil
orang dalam masyarakat yang memegang posisi dan peranan penting (Keller, 1995 : 3).
Secara sederhana, elite dapat diartikan sebagai anggota masyarakat yang paling
berbakat, misalnya elite pendidikan, elite agama, dan elite organisasi, dan elite politik.
Menurut Harold Lasswell, elite adalah segolongan kecil yang memperoleh sebagian besar
dari nilai apa saja, elite itu menunjuk pada mereka yang berpengaruh. Sementara menurut
Mills, elite merupakan mereka yang menduduki posisi atas dalam organisasi ekonomi,
militer, dan politik, yang membentuk kurang lebih elite kekuasaan yang terintegrasi dan
terpadu yang keputusan-keputusan pentingnya menetukan struktur dasar dan arah masyarakat
(Syarifuddin, 2004 : 19-21).
Robert Michels yang sering juga menyebut elite sebagai pemimpin, menjelaskan
bahwa terdapat kecenderungan kuat pemimpin (elite) memiliki banyak sumber daya yang
sangat bermanfaat sehingga sulit tertandingi oleh anggota yang berusaha ikut ambil bagian
mengambil kebijaksanaan. Di antara sumber daya mereka adalah :
Pengetahuan yang lebih unggul. Antara lain mereka dapat mengetahui lebih banyak
informasi yang berguna untuk menjamin disetujuinya program mereka
Pengendalian terhadap sarana komunikasi formal dengan para anggota, antara lain
mereka menguasai pers organisasi
Sebagai pejabat yang bekerja penuh mereka dapat berpergian dari satu tempat ke
Posisi yang memungkinkan mereka memerintah anggot a
Kecakapan dalam seni politik. Mereka jauh lebih mahir dibanding dengan orang yang
tidak professional dalam berpidato, menulis artikel, dan mengorganisasikan kegiatan
kelompok (Michels, 1984 : 29).
Menurut David Jarry dan Julia Jarry (1991), asumsi teori elite yang membagi kaum
elite dan rakyat jelata merupakan ciri yang tidak terelakkan dalam masyarakat modern yang
kompleks dimana pun juga (Jarry & Jarry, 1991:188). Dalam setiap kelompok kehadiran
elite (pemimpin) merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak kelompoknya karena setiap
warga masyarakat membutuhkan pemimpin yang menjadi panutan bagi mereka dalam proses
penciptaan keteraturan dan pola interaksi dalam kelompoknya.
2.5.1 Konsep Elite Politik Dalam Masyarakat
Elite politik dalam masyarakat modern merupakan hal yang kompleks. Respons
masyarakat terhadap kegagalan relatif dari berbagai gerakan demokrasi dalam masyarakat
modern hanya dinilai dari tujuan-tujuan yang tertinggi, sehingga Jarry dan Jarry mengatakan
bahwa munculnya demokrasi dalam masyarakat modern bukannya memberi kekuasaan pada
rakyat, melainkan meletakkan dasar baru bagi keanggotaan kelompok elite. Namun demikian,
di antara kaum elite yang sementara berkuasa terdapat suatu sikap dan perilaku yang arif
dalam merespons berbagai persoalan , sebagaimana dikatakan oleh Hungtington dan Nelson
(dalam Syarifuddin, 2004:22) bahwa ada sikap “elitisme” yang bijak di kalangan kelompok
yang berkuasa. Sikap elite politik tehadap partisipasi politik mungkin merupakan faktor
tunggal yang paling efektif dalam mempengaruhi sifat partisipasi politik di masyarakat.
Berkaitan dengan konsep elite, muncul anggapan yang mengatakan bahwa kelas
menengah merupakan bagian dari komunitas elite karena memiliki akses pada
sumber-sumber ekonomi dan politik dalam masyarakat. Namun Mills (dalam Syarifuddin, 2004:22)
melihat bahwa elite kekuasaan (power elite) adalah mereka yang berbeda jauh dengan kelas
menengah yang berada dalam posisi yang sangat penting untuk mengambil keputusan.
Bahkan, varian elite yang ada dalam masyarakat modern dianggapnya sebagai sebuah
komponen sosial yang memiliki asal usul yang sama sehingga sulit untuk disamakan dengan
kelas menengah yang secara umum muncul dari berbagai kelompok sosial politik yang
beragam dalam masyarakat.
Di kalangan elite yang memerintah dituntut adanya kearifan dalam bersikap, yang
adanya perhatian elite terhadap nasib dan permasalahan yang dihadapi oleh massa rakyat.
Huntington dan Nelson mengatakan bahwa suatu elite berprivilese mendistribusikan
manfaat-manfaat yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai melalui persekutuan. Sebab,
setiap persekutuan di kalangan elite tidak hanya dapat dirasakan oleh para elite saja, tetapi
juga dapat dirasakan manfaatnya oleh anggota dan masyarakatnya.
Lebih lanjut Vilfredo Pareto (dalam Syarifuddin, 2004:23) merinci kalsifikasi elite
yang kemudian dibaginya menjadi dua : pertama, elite yang memerintah, yakni elite yang
terlibat langsung atau tidak langsung dalam kekuasaaan. Kedua, elite yang tidak memerintah,
yakni merupakan sisa yang besar dari seluruh elite. Kendati demikian dalam berbagai
tulisannya Pareto menyadari adanya berbagai macam bentuk elite, setidaknya ada dua macam
dalam kelompok besarnya, tetapi fokus perhatiannya hanya pada elite politik atau elite yang
memerintah saja.
Keller juga mengemukakan konsep mengenai elite. Pertama-tama elite menunjuk
kepada suatu minoritas pribadi-pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas
dengan cara yang bernilai sosial. Kaum elite adalah minoritas yang efektif dan bertanggung
jawab efektif melihat pelaksanaan kepentingan dengan perhatian kepada orang lain, tempat
golongan elite itu memberikan tanggapannya. Elite merupakan posisi di dalam masyarakat
yang berada di puncak kekuasaan, untuk mempengaruhi proses politik dan memformulasikan
kepentingannya.
2.5.2 Aspek Perilaku Politik Elite
Studi tentang perilaku politik bisa terfokus pada individu-individu sebagai actor yang
berperan. Bisa juga dilakukan terhadap kelompok atau lembaga atau organisasi. Kendati
terfokus pada individu, studi ini akan tetap terkait dengan lembaga. Perilaku politiknya pun
tidak hanya diarahkan lewat atura-aturan resmi dan prosedur-prosedur yang ada dalam
organisasi atau lembaga secara formal, tetapi bisa juga perilaku actual dan orientasi diri pada
individu yang berpengaruh atau menjadi tulang punggung organisasi tersebut.
Dalam hal politik, dengan mengacu pada pendapat David Easton (dalam Syarifuddin,
2004:28), politik dipahami sebagai “bagaimana mengalokasikan sejumlah nilai secara
otoritatif bagi sebuah masayarakat” (authoritative allocation of values for a society).
Sejumlah nilai yang dimaksud dapat berupa pencerahan, kebebasan, kedamaian, dan keadilan
yang berimplikasi pada proses pendewasaan kehidupan politik kebangsaan.
Dapat dikatakan bahwa perilaku politik diartikan sebagai tindakan untuk
ataupun masyarakat. Tindakan tersebut bermakna usaha untuk membangun kesadaran
kolektif. Perilaku atau tindakan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya semacam
norma dan nilai yang kemudian mempengaruhi motivasi untuk membentuk sikap dan