10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1Kajian Teori
2.1.1 Hakikat IPA di SD
Standar isi IPA di SD yang terdapat dalam Badan Standar Nasional pendidikan (BNSP) mengatakan bahwa” Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk menjadi diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara alamiah.
Trianto (2010:153) menyatakan bahwa hakikat IPA meliputi empat unsur yaitu: 1) Sikap : rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar: IPA bersifat open ended. 2) Proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah, meliputi penyusunan hipotesis, perencanaan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan. 3) Produk: berupa fakta, prinsip, teori dan hukum. 4) Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari. Keempat unsur itu merupakan ciri IPA yang utuh yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2010:2). Belajar tidak hanya dilakukan di lingkungan formal saja, tetapi dapat juga dilakukan di lingkungan non formal seperti keluarga, masyarakat, bahkan juga dari setiap peristiwa yang dialami.
Pembelajaran merupakan kata jamak dari kata belajar, yang menurut Purwadarminta (dalam Mahfud, 2012:211) sama artinya dengan instruction atau pengajaran yaitu cara (pembuatan) mengajar atau mengajarkan. Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2000 pasal 1 tentang pendidikan nasional menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sedangkan menurut Oemar Hamalik (dalam Mawardi dan Puspasari, 2011:198) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitator, perlengkapan dan proses yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala-gejala alam dengan menggunakan metode ilmiah yang digunakan untuk memecahkan masalah ilmiah. 2.1.2. Pengertian Pendekatan Saintifik
Pembelajaran dengan pendekatan saintifik menurut Kurniaasih (2013:29) adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar siswa secara aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang “ditemukan”.
Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan, dan menyimpulkan. Dalam melaksanakan proses-proses tersebut, bantuan guru diperlukan. Akan tetapi bantuan guru tersebut harus semakin berkurang dengan semakin bertambah dewasanya siswa atau semakin tingginya kelas siswa .
Karakteristik dengan pendekatan saintifik menurut Daryanto (2014: 53) adalah sebagai berikut: 1) Berpusat pada siswa . 2) Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep, hukum dan prinsip. 3) Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan berpikir tingkat siswa . 4) Dapat mengembangkan karakter siswa .
2.1.3. Langkah-langkah Pendekatan Saintifik 1. Mengamati
Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, siswa senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu siswa. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi siswa menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru. 2. Menanya
Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri kalimat yang efektif? Bentuk pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimat efektif!
3. Mengumpulkan data / informasi
Istilah menalar dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan siswa merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi siswa harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penalaran non ilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan waktu.
Aplikasi pengembangan aktivitas pembelajaran untuk meningkatkan daya menalar siswa:
2. Guru tidak banyak menerapkan metode ceramah atau metode kuliah. 3. Bahan pembelajaran disusun secara berjenjang atau hierarkis.
4. Kegiatan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat)diukur dan diamati.
5. Setiap kesalahan harus segera dikoreksi atau diperbaiki.
6. Perlu dilakukan pengulangan dan latihan agar perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan atau pelaziman.
7. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang nyata atau otentik. 8. Guru mencatat semua kemajuan siswa untuk kemungkinan memberikan
tindakan pembelajaran perbaikan. 4. Mengasosiasi
Hasil belajar yang nyata atau otentik, dapat diperoleh melalui peran serta siswa dalam melakukan percobaan atau menunjukan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA misalnya, siswa harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Siswa harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar apabila: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yang akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan tempat dan waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid (5) Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan dijadikan eksperimen (6) Membagi kertas kerja kepada murid (7) Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara klasikal.
5. Mengkomunikasikan
yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Pada tahapan ini siswa mempresentasikan kemampuan mereka mengenai apa yang telah dipelajari sementara siswa lain menanggapi. Tanggapan siswa lain bisa berupa pertanyaan, sanggahan atau dukungan tentang materi presentasi. Guru berfungsi sebgai fasilitator tentang kegiatan ini.
Dalam kegiatan ini semua siswa secara proporsional akan mendapatkan kewajiban dan hak yang sama. Siswa akan terlatih untuk menjadi narasumber, menjadi orang yang akan mempertahankan gagasannya secara ilmiah dan orang yang bisa mandiri serta menjadi orang yang bisa dipercaya. Para siswa melakukan kegiatan networking ini harus dengan perasaan riang dan gembira tanpa ada rasa takut dan tekanan dari siapapun. Guru akan melakukan penilaian otentik dalam proses pembelajaran ini dan penilaian hasil Pembelajaran. Siswa yang aktif dan berani mengemukakan gagasan/pendapatnya secara ilmiah tentu akan mendapatkan nilai yang lebih baik. Siswa yang masih mempunyai rasa takut dan kurang percaya diri akan terlatih sehingga menjadi pribadi yang mandiri., dan pribadi yang bisa dipercaya. Semua kegiatan pembelajan akan kembali kepada pencapaian ranah pembelajaran yaitu ranah sikap, ranah kognitif dan ranah ketrampilan.
2.1.4. Model Discovery Learning
2.1.4.1. Pengertian Model Discovery Learning
Bruner (dalam Mulyatiningsih, 2013:236) menyarankan agar siswa belajar melalui keterlibatannya secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip yang dapat menambah pengalaman dan mengarah pada kegiatan eksperimen.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa model Discovery Learning adalah proses pembelajaran yang terjadi apabila materi pembelajaran tidak disajikan dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa mengorganisasi sendiri. Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inquiri dan Problem Solving.
2.1.4.2. Langkah-Langkah Operasioanal Model Discovery Learning
Langkah-langkah dalam metode Discovery Learning menurut Kurniasih (2014: 68) adalah sebagai berikut: a) Langkah persiapan strategi Discovery Learning learning 1) Menentukan tujuan pembelajaran. 2) Melakukan identifikasi karakteristik siswa. 3) Memilih materi pelajaran. 4) Menentukan topik-topik yang harus diipelajari siswa secara induktif. 5) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa. 6) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkrit ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik. 7) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
Prosedur aplikasi strategi Discovery Learning menurut kurniasih (2014: 68) Ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar yaitu:
1) Stimulation (stimulasi/ pemberian rangsangan) Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.
atas pertanyaan masalah). Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisa permasalahann yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
3) Data collection (pengumpulan data) Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4) Data processing (pengolahan data) Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dari informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan, dan semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan pada tingkat kepercayaan tertentu. Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategori yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
5) Verification (pembuktian) Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing.
sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan prosesmatas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
2.1.4.3. Keuntungan Model Discovery Learning
Keuntungan model Discovery Learning menurut Kurniasih (2014:66) adalah sebagai berikut:
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa senang pada siswa , karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
d. Model ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melinatkan akalnya dan motivasi sendiri.
f. Model ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan.
h. Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah pada kebenaran yang final dan tentu atau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j. Membantu dan mengembangkan ingatan dan teransfer kepada situasi proses belajar yang baru.
k. Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
n. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.
o. Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa .
p. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
q. Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu. 2.1.4.4. Kelemahan Metode Pembelajaran Discovery Learning
Kelemahan model Discovery Learning menurut Kurniasih (2014:67) adalah sebagai berikut:
a) Model ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
b) Model ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
c) Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
d) Pengajaran Discovery Learning lebih cocok untuk mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
e) Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa .
2.1.4.5. Komponen Model Discovery Learning
Joyce Dan Weil dalam Winataputra (2001:8) berpendapat bahwa model Discovery Learning seperti halnya model-model pembelajaran yang lain memiliki lima komponen yang terdiri atas sintagmatik, prinsip reaksi, sistem sosial, daya dukung, dampak instruksional dan pengiring. Kelima komponen tersebut akan dijelaskan pada uraian berikut:
1. Sintagmatik
Menurut Winataputra (2001:8), sintagmatik adalah tahap-tahap kegiatan dari sebuah model. Tabel 2
Sintaks Model Discovery Learning dalam Pembelajaran IPA Materi Energi Sintaks
Discovery Learning
Langkah- langkah dalam Pembelajaran
Mengamati Menanya Mengumpulkan data/ informasi Mengasosiasi Mengkomunikasikan
Stimulus
Guru menampil kan gambar-gambar sumber energi
Siswa bertanya tentang gambar yang
ditampilkan guru
Identifikasi masalah
Siswa
mendiskusikan tentang pengaruh energi terhadap suatu benda Mengum
informasi dari kegiatan diskusi melaku
kan percobaan
Mengolah data
Berdasarkan dari percobaan yang dilakukan siswa dapat menyebutkan sifat-sifat energi
Menguji hasil
Guru menampilkan video tentang percobaan yang sebenarnya
Menyimpulkan
Tabel 3.
Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran IPA Materi Energi Dengan Model Discovery Learning
Kegiatan Guru Pelaksanaan Tahap Kegiatan Siswa
1. Guru menampilkan gambar-gambar sumber
energy Stimulus -- Siswa mengamati gambar yang ditampilkan guru Siswa bertanya tentang apa yang diamati 2. Guru membagi siswa kedalam beberapa
kelompok Identifikasi masalah - Dalam kelompok siswa melakukan percobaan tentang pengaruh energi pada suatu benda 3. Guru membagikan alat peraga Mengumpulkan
data - Melalui percobaan siswa dapat mengidentifikasi sifat-sifat energi 4. Guru memantau kegiatan belajaran pada saat
siswa mengisi lembar kerja.
5. Guru mendampingi para siswa dan menjadi tempat bertanya apabila siswa menemui kesulitan.
6. Guru mengarahkan dan membimbing siswa pada saat siswa mengidentifikasi sifat-sifat energi.
Mengolah data
- Dari hasil percobaan yang dilakukan siswa diminta untuk menyebutkan sifat-sifat energi
- Dari hasil percobaan yang dilakukan siswa diminta untuk menyebutkan bentuk-bentuk enrgi
- Dari hasil percobaan siswa diminta untuk menyebutkan contoh energi listrik, energi panas, energi kimia.
7. Guru menampilkan video tentang pengaruh energi
pada suatu benda Menguji hasil - Siswa melakukan pembuktian hasil percobaan perpindahan energi 8. Guru memberikan arahan dan bimbingan pada
saat siswa mempersentasikan hasil diskusinya tentang energy
9. Guru memberikan komentar dan saran bagi para siswa yang membutuhkan
10.Guru bersama siswa menyamakan jawaban dari semua hasil diskusi siswa
Menyimpulkan
- Secara bergantian siswa mempersentasikan hasil diskusi kelompoknya
- Siswa yang lain memperhatikan dan menanggapi hasil diskusi yang disampaikan oleh kelompok persentasi - Siswa dapat menerapakan hemat energi dalam
2. Prinsip Reaksi
Winataputra (2001:8-9) berpendapat bahwa sistem reaksi adalah pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan siswa , termasuk bagaimana seharusnya guru memberikan respon terhadap para siswa . Sunaryo (2011) mengemukakan bahwa dalam model kreatif guru berperan sebagai pembimbing, pendamping, fasilitator, serta pengaruh pada saat siswa sedang menjalankan setiap langkah dalam tahap model pembelajaran.
3. Sistem sosial
Winatapura (2001:8), sistem sosial adalah situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam model tersebut. Sunaryo (2011) mengemukakan bahwa suasana kelas pada saat pembelajaran dilaksanakan adalah suasana yang demokratis, dialogis, kooperatif, dan penuh tanggung jawab.
4. Daya dukung
Winatapura (2001:9), mengemukakan bahwa sistem pendukung adalah segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model tersebut. Sarana yang digunakan dalam model ini adalah materi dan media yang relevan dengan tujuan pembelajaran serta model yang akan dilaksanakan.Dalam materi energi sarana yang digunakan adalah LCD, dan alat peraga.
5. Dampak instruksional dan dampak pengiring
Dampak instruksional adalah dampak atau hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan. Dampak instruksional secara umum dalam model ini adalah:
a) Pemahaman terhadap suatu nilai, konsep, atau masalah tertentu. Dalam model Discovery Learning. Masalah yang diberikan kepada siswa adalah mengapa saat kita berada dibawah sinar matahari akan terasa panas.
memberikan contoh-contoh kegunaan energi, 5) menerapkan cara menghemat energi dirumah dan sekolah.
c) Kemampuan mengkreasikan sesuatu berdasarkan pemahaman tersebut. Dampak penggiring adalah hasil belajar lainnya yangdihasilkan oleh suatu proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para siswa tanpa pengaruh langsung dari pengajar. Dari dampak segi pengiring (nurturant effects), melalui model Discovery Learning learning diharapkan dapat dibentuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif, produktif, bertanggung jawab, serta bekerja sama, yang semuanya merupakan tujuan pembelajaran jangka panjang.
Dampak instruksional dan pengiring yang sudah diuraikan diatas dapat digambarkan dalam bagan berikut ini
2.1.4.6. Pendekatan Saintifik melalui Model Discovery Learning Dibawah Ini Tabel 4
Uraian Tentang Pendekatan Saintifik Melalui Model Discovery Learning
Saintintifik Mengamati Mena nya
Mengum
Learning Stimulation Identifikasi
masalah semua komponennya berhubungan dengan pendekatan Saintifik. Langkah awal pemberian rangsangan merupakan tahapan pada mengamati, identifikasi masalah termasuk kedalam tahapan mengamati dan menanya, pengumpulkan data masuk pada tahap mengumpukan data, mengolah data dan menguji hasil masuk pada tahapan mengasosiasi, dan yang terakhir menarik kesimpulan pada tahapan mengkomunikasikan.
2.1.5. Model pembelajaran Problem Solving 2.1.5.1. Pengertian model Problem Solving
menggunakan meodel lain yang dimulai dari mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.
Menurut Nasution (2008: 170) memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu yang digunakannya untuk memecahkan masalah yang baru. Lebih lanjut Nasution (2008: 170) menyatakan bahwa memecahkan masalah tidak sekedar menerapkan aturan-aturan yang diketahui, akan tetapi juga menghasilkan pelajaran baru. Dalam memecahkan masalah pelajar harus berpikir, mencobakan hipotesis dan bila memecahkan masalah itu ia dapat mempelajari sesuatu yang baru.
Arends (2008 : 45) pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Solving) merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri. Menurut Made Wena (2009; 22) mengemukakan bahwa pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi baru, jadi dengan menerapkan pembelajaran Problem Solving atau pemecahan masalah siswa diharapkan setelah mengetahui teori teori yang dipelajari dapat digunakan untuk memecahkan masalah, dengan memecahkan masalah siswa akan lebih diasah kemampuannya untuk menerapkan teori teori yang dipelajari dalam pelajaran.
Pada pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk melakukan pemecahan masalah-masalah yang disajikan dengan cara menggali informasi sebanyak-banyaknya, kemudian dianalisis dan dicari solusi dari permasalahan yang ada. Solusi dari permasalahan tersebut tidak mutlak mempunyai satu jawaban yang benar artinya siswa dituntut pula untuk belajar secara kritis. Siswa diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat hubungan pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada di lingkungannya.
tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran ini siswa di haruskan melakukan penyelidikan otentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang diberikan. Mereka menganalisis dan mengidentifikasikan masalah, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi dan membuat kesimpulan.
Joyce dan Weil (dalam Winataputra 2001:8), menyebutkan bahwa setiap model pembelajaran memiliki 5 unsur yang terdiri atas sintagmatis, sistem sosial, prinsip reaksi, daya dukung, dampak instruksional dan pengiring. Komponen-komponen tersebut akan dijelaskan pada uraian sebagai berikut:
1) Sintakmatik
Menurut Winataputra (2001:8) sintagmatik adalah tahapan-tahapan kegiatan dari sebuah model. Sintak pembelajaran model Problem Solving adalah: a)Identifikasi masalah, b) mengorganisasi siswa dalam pemecahan masalah, c) Membimbing penyelidikan baik individu maupun kelompok, d) mengembangkan dan mempersentasikan hasil karya, e) Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
2) Sistem Sosial
Menurut Winaputra (2001: 8) sistem sosial adalah situasi atau suasana, dan norma yang berlaku dalam model tersebut. Dalam pembelajaran menggunakan model Problem Solving sistem sosial menekankan konstruksi pengetahuan yang dilakukan setiap individu peserta didik secara aktif atas tanggungjawabnya sendiri, namun konstruksi individu tersebut akan semakin kuat jika dilakukan secara berkolaboratif dalam kelompok kooperatif yang mutual yaitu kelompok kooperatif yang menekankan pada upaya terjadinya diskusi yang dilandasi rasa keterbukaan, sehingga timbul rasa nyaman dan rasa persahabatan dalam kelompok peserta didik dalam berkolaborasi untuk memecahkan masalah IPA yang dihadapi.
3) Prinsip Pengelolaan/ Reaksi
para pelajar, termasuk bagaimana seharusnya pengajar memberikan respon terhadap mereka. Prinsip ini memberi petunjuk bagaimana seharusnya para pengajar menggunakan aturan permainan yang berlaku pada setiap model. Respon terhadap proses dan kinerja peserta didik dalam memecahkan masalah didasarkan atas prinsip “Guru sebagai fasilitator” daalm proses pembelajaran. Artinya sebagai fasilitator dalam membantu siswa dalam proses pemecahan masalah.
4) Sistem Pendukung
Menurut Winaputra (2001:9) sistem pendukung ialah segala sarana, bahan dan alat yang diperlakukan untuk melaksanakan model tersebut. Untuk menunjukan kelancaran dalam pelaksanaan model pembelajaran Problem Solving yang dikembangkan ini diperlukan perangkat pendukung terdiri dari: a) Kumpulan masalah IPA; b) Rencan pembelajaran yang disusun atas prinsip Problem Solving dikombinasikan dengan pendekatan kooperatif; c) Lembar kerja siswa (LKS) yang memuat masalah-masalah IPA dan; d) Asesmen pembelajaran yang lengkap dengan pedoman pensekoran masalah IPA.
5) Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring
Menurut Winaputra (2001: 9) dampak instruksional ialah hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan. Sedangkan dampak pengiring ialah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para siswa tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Model Problem Solving ini memiliki dampak pembelajaran bagi siswa. Hal ini merupakan kompetensi yang ingin di capai melalui model pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah yang meliputi kompetensi peserta didik dalam:
a) Mengerti konsep, prinsip dan ide-ide dalam pembelajaran IPA dalam kehidupan sehari-hari,
c) Menjelaskan dan mengkomunikasikan mengapa strategi itu berfungsi dan,
d) Mengidentifikasikan dan melihat kembali alasan-alasan mengapa solusi dan prosedur menuju solusi itu adalah benar.
Keempat kompetensi ini akan dijadikan kriteria dasar pengukuran mengenai efektifitas model pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini. Dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para siswa tanpa pengarahan langsung dari pengajar. Dari segi dampak pengiring melalui model Problem Solving diharapkan dapat dibentuk kemampuan jujur, bertanggung jawab, bergaya hidup sehat, disiplin, bekerja keras, percaya diri, berwira usaha, berpikir kreatif, mandiri ingin tau serta cinta ilmu.
Dampak yang akan diperoleh siswa dalam pembelajaran IPA materi “Energi ” dengan menggunakan model Problem Solving adalah bersahabat, bertanggung jawab, menghargai prestasi, mandiri, bekerja keras, toleransi, berpikir kreatif, demokratis.
Dampak instruksional dan pengiring yang sudah diuraikan diatas dapat digambarkan dalam bagan berikut ini
2.1.5.2. Langkah langkah Pembelajaran Problem Solving
Langkah-langkah model Problem Solving menurut Djamarah dan Zain (2006: 92) adalah sebagai berikut:
a) Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan. Siswa akan dihadapkan dengan sebuah masalah. Masalah ini muncul dari siswa disesuaikan dengan taraf kemampuannya.
b) Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untukmemecahkan masalah misalnya dengan membaca buku, menelitiberdiskusi, dll.
c) Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaanjawaban ini didasarkan kepada data yang telah diperoleh pada tahap pengumpulan dan pencarian data.
d) Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betulyakin bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok. Apakah sesuaidengan jawaban sementara atau tidak.
e) Menarik kesimpulan. Dalam tahap ini siswa harus sampai kepadakesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.
Dewey (dalam Nasution, 2008: 170) mengemukakan langkah-langkah model pembelajaran Problem Solving adalah sebagai berikut:
a. Pelajar dihadapkan dengan masalah b. Pelajar merumuskan masalah itu c. Ia merumuskan hipotesis
d. Ia menguji hipotesis itu
2.1.5.3. Kelebihan dan Kelemahan Problem Solving
Kelebihan pembelajaran Problem Solving adalah sebagai berikut: 1) Mendidik siswa untuk berpikir sistematis
2) Mampu mencari jalan keluar terhadap situasi yang dihadapi
3) Belajar menganalisis suatu masalah dari berbagai aspek 4) Mendidik siswa percaya diri sendiri
5) Berpikir dan bertindak kreaktif
6) Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis 7) Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan
kehidupan, khususnya dunia kerja
8) Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan
9) masalah yang dihadapi dengan tepat. Kelemahan pembelajaran Problem Solving
1) Memerlukan waktu yang cukup banyak
2) Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah berbeda beda ada yang sempurna dalam memecahkan masalah tetapi ada juga yang kurang dalam memecahkan masalah. 2.2. Hasil Belajar
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 58, Evaluasi hasil belajar siswa dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar siswa secara berkesinambungan.
1. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis.
2. Ketrampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Ketrampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analitis fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampilan intelekatual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas.
3. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurk dan mengarahkan aktifitas kognitif sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
4. Keteranpilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku. Menurut Bloom dalam Agus suprijono (2011 : 5) menyebutkan bahwa hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Domain kognitif adalah knolegde (pengetahuan, pengalaman), comprehension
2.3. Kajian Penelitian yang Relevan
Muntiana (2012) dalam penelitian yang berjudul Perbedaan Pengaruh Pendekatan Inquiri dengan Menggunakan Metode Discovery Learning dan Metode Eksperimen Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SD Gugus Muhammad Syafi’i Kecamatan Randublatung Kab Blora Tahun Pelajaran 2011/2012. Menyimpulkan bahwa: (1) terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara model penggunaan model Discovery Learning dan metode eksperimen terhadap hasil belajar IPA siswa kelas IV SD N Sambongwangan 01 dan SDN Plosorejo 02 Kecamatan Randublatung kecamatan Blora Tahun pelajaran 2011/2012. (2) Hasil uji t-tes menunjukkan nilai t adalah 3.731 dengan probabilitas signifikan 0,001<0,05 artinya mean nilai setelah menggunakan metode Discovery Learning berbeda dengan mean nilai setelah menggunakan metode eksperimen. (3) pembelajaran menggunakan model Discovery Learning dan metode eksperimen memperoleh skor rata-rata kelompok eksperimen adalah 70,50 dan skor rata-rata kelompok kontrol 61,47 dengan selisih skor 9,029. (4) Model Discovery Learning lebih berpengaruh positif terhadap hasil belajar IPA siswa kelas IV SD N Sambongwangan 01 dibandingkan hasil belajar SD N Plosorejo 02 yang menggunakan metode eksperimen.
Menurut Lisa Saputri (2011) Dalam Penelitian Yang Berjudul Pengaruh Penggunaan Metode Discovery Learning pada Pelajaran IPA pokok bahasan Bunyi Terhadap Hasil Belajar Siswa kelas IV SD Kristen Satya Wacana Salatiga semester II Tahun ajaran 2011/2012 menyimpulkan bahwa: penggunaan metode Discovery Learning pada pelajaran IPA pokok bahasan bunyi berpengaruh terhadap hasil belajar siswa kelas IV SD Kristen Satya Wacana Salatiga Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012.
dengan probabilitas signifikasi ranah kognitif 0,001<0,05, serta rata-rata skor angket untuk kelas eksperimen sebesar 20,67 dan rata-rata kelas kontrol sebesar 15,92 dengan probabilitas signifikasi ranah afektif 0,00>0,05, maka terdapat perbedaan yang signifikan untuk pembelajaran dengan menggunakan metode discovery dengan metode konvensional. Serta hasil deskriptif data ranah psikomotor diperoleh hasil penilaian unjuk kerja lebih besar dari 34 dengan skor rata-rata sebesar 48. Sehingga da\pat disimpulkan bahwa penggunaan metode discovery efektif terhadap hasil belajar kognitif, afektif, dan psikomotor siswa pada pelajaran IPA kelas 5.
Menurut penelitian dari Erni arinawati, St. Y. Slamet, Chumdari (Universitas Sebelas Maret Surakarta) yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Discovery Learning terhadap hasil belajar Matematika Ditinjau Dari Motivasi Belajar” menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh model pembelajaran Discovery Learning terhadap hasil belajar matematika, terdapat perbedaan pengaruh motivasi belajar tinggi dan rendah terhadap hasil belajar matematika, tidak terdapat interaksi model pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar matematika.
kelompok siswa yang memiliki minat rendah, tidak terdapat perbedaan hasil belajar IPA yang signifikan antara kelompok.
2.4.Kerangka Pikir
Pembelajaran IPA menggunakan model Discovery Learning membuat siswa aktif secara langsung dalam Proses Belajar Mengajar (PBM). Sehingga siswa lebih tertarik dengan mata pelajaran IPA. Selain itu dengan model Discovery Learning , siswa dimungkinkan untuk menemukan sendiri keterkaitan-keterkaitan baru dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan melalui kegiatan mandiri.
Bagan Kerangka Pikir
kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam
mengeksplorasi bahan pelajaran.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan yang
mereka hadapi
Siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang
dihadapi