• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cutaneous Larva Migrans 2.1.1. Definisi - Karakteristik Penderita Cutaneous Larva Migrans di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cutaneous Larva Migrans 2.1.1. Definisi - Karakteristik Penderita Cutaneous Larva Migrans di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008-2012"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cutaneous Larva Migrans

2.1.1. Definisi

Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kelainan kulit yang

merupakan peradangan yang berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi cacing tambang yang berasal dari kucing dan anjing, yaitu Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum (Aisah, 2010). Selama beberapa dekade, istilah CLM dan creeping

eruption sering disamaartikan. Perbedaannya adalah, CLM menggambarkan sindrom, sedangkan creeping eruption menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginius, sedikit

menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola yang tidak teratur (Caumes, 2006).

Penyakit yang menimbulkan gejala berupa creeping eruption tapi tidak disebabkan oleh parasit non-larva tidak disebut sebagai CLM, misalnya seperti pada dracunculiasis, loiasis, skabies, schistosomiasis, ataupun onchocerciasis (Kourilova, 2004; Caumes, 2004 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008).

2.1.2. Epidemiologi

CLM terjadi di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia, terutama di daerah yang lembab dan terdapat pesisir pasir. Di Amerika Serikat, penyakit ini sebagian besar terjadi di negara bagian tenggara, terutama Florida, tetapi dapat juga ditemukan secara sporadik di negara bagian lain (Donaldson et al, 1950 dalam Gutiérrez, 2000). Kasus CLM telah dilaporkan di Jerman, Prancis, Inggris, Selandia Baru, dan Amerika Serikat (Feldmeier dan Schuster, 2011).

(2)

keseluruhan populasi dan 15% pada anak-anak menderita CLM (Feldmeier dan Schuster, 2011).

Di negara-negara berpenghasilan tinggi, CLM terjadi secara sporadis atau dalam bentuk epidemi yang kecil. Kasus sporadis biasanya berhubungan dengan kondisi iklim yang tidak umum seperti musim semi atau hujan yang memanjang. Penyakit ini sering muncul pada daerah dimana anjing dan kucing tidak diberikan antihelmintes secara teratur (Heukelbach et al, 2008).

Secara geografis, distribusi CLM mencerminkan distribusi geografi Ancylostoma braziliense. Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah wisatawan

yang sering berkunjung ke daerah pantai. Ancylostoma braziliense endemik pada anjing dan kucing, sering ditemukan di sepanjang Pantai Atlantik Amerika Utara bagian tenggara, Teluk Meksiko, Laut Karibia, Uruguay, Afrika (Afrika Selatan, Somalia, Republik Kongo, Sierra Leone), Australia, dan Asia. Penyakit ini tidak muncul setelah terpapar pantai yang tidak terdapat Ancylostoma braziliense, misalnya Pantai Pasifik Amerika Serikat dan Meksiko (Soo et al, 2003).

2.1.3. Faktor Risiko

1. Faktor perilaku

Adapun faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain : a) Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki

Adanya bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah yang terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat melakukan penetrasi ke kulit sehingga menyebabkan CLM (Abdulla dan Selim, 1998). b) Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing

Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing (Aisah, 2010). Perawatan rutin anjing dan kucing, termasuk de-worming secara teratur dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh telur dan larva cacing tambang (CDC, 2012).

c) Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai

(3)

Patel, 2003). Selain itu, kebiasaan wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan sandal dan berjemur di pasir tanpa menggunakan alas menyebabkan banyaknya laporan kejadian CLM dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai (Heukelbach dan Feldmeier, 2008). Sebuah penelitian pada wisatawan international yang baru meninggalkan Brazil bagian Timur Laut di bandara menunjukkan bahwa semua wisatawan yang menderita CLM telah mengunjungi pantai selama liburannya (Heukelbach et al, 2007).

2. Faktor lingkungan

Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain : a) Keberadaan anjing dan kucing

Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma

caninum. Tinja anjing dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung

telur cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma caninum. Telur tersebut dapat berkembang menjadi

stadium larva yang infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang terkontaminasi. Larva filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan kulit manusia, dapat menembus kulit dan menyebabkan CLM (Supali et al, 2009).

b) Cuaca atau iklim lingkungan

(4)

c) Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab

Telur Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing.

Pada keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas menjadi larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan menyebabkan CLM (CDC, 2012).

3. Faktor demografis

Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain : a) Usia

CLM paling sering terkena pada anak berusia ≤4 tahun. Hal ini disebabkan karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat keluar rumah. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa usia merupakan faktor demografis yang hubungannya paling signifikan dengan kejadian CLM (p<0,0001) (Heukelbach et al,2008). b) Pekerjaan

Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang lembab. Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut dapat meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki risiko teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya petani, nelayan, tukang kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak dengan tanah atau pasir (Aisah, 2010).

c) Tingkat pendidikan

(5)

2.1.4. Etiologi

Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing (Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum) dan Strongyloides. Penyebab lain yang juga memungkinkan yaitu larva dari serangga seperti Hypoderma dan Gasterophilus (Eckert, 2005). Di Asia Timur, CLM umumnya disebabkan oleh Gnasthostoma sp. pada babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Dermatobia maxiales, Lucilia caesar (Aisah, 2010).

Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan menyebabkan CLM selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di sisi lain, larva Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum dapat melakukan penetrasi yang lebih dalam dan menimbulkan gejala klinis yang lain seperti enteritis eosinofilik. (CDC, 2012)

2.1.5. Morfologi

Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi (Supali et al, 2009).

Panjang cacing jantan dewasa Ancylostoma caninum berukuran 11-13 mm dengan bursa kopulatriks dan cacing betina dewasa berukuran 14-21 mm. Cacing betina meletakkan rata-rata 16.000 telur setiap harinya (Palgunadi, 2010).

Morfologi Ancylostoma braziliense mirip dengan Ancylostoma caninum, tetapi kapsul bukalnya memanjang dan berisi dua pasang gigi sentral. Gigi sebelah lateral lebih besar, sedangkan gigi sebelah medial sangat kecil. Selain itu, pada Ancylostoma braziliense juga terdapat sepasang gigi segitiga di dasar bukal

kapsul. Cacing betina berukuran 6-9 mm dan cacing jantan berukuran 5-8 mm. Cacing betina dapat mengeluarkan telur 4.000 butir setiap hari (Palgunadi, 2010). Morfologi Ancylostoma ceylanicum juga hampir sama dengan A. braziliense dan A. caninum, hanya saja pada rongga mulut A. ceylanicum terdapat terdapat dua

(6)

Sumber : DPDx, 2010

Gambar 2.1. Bagian kepala Ancylostoma caninum

Sumber : DPDx, 2010

Gambar 2.2. Larva filariform ( larva stadium tiga) cacing tambang

2.1.6. Siklus Hidup

(7)

menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa larva ditemukan di jaringan dan menjadi sumber infeksi bagi anak anjing melalui transmammary atau transplasenta. Manusia juga dapat terinfeksi dengan cara

larva filariform menembus kulit. Pada sebagian besar spesies, larva tidak dapat berkembang lebih lanjut di tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di epidermis. Beberapa larva dapat bertahan pada jaringan yang lebih dalam setelah bermigrasi di kulit (CDC, 2012).

Sumber : CDC, 2012

Gambar 2.3. Siklus hidup cacing tambang

2.1.7. Patogenesis

(8)

Akhirnya, larva menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat bermigrasi di kulilt manusia (Heukelbach dan Feldmeier, 2008). Selanjutnya, larva bermigrasi melalui jaringan subkutan membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya (Shulmann et al, 1994 dalam Palgunadi, 2010).

Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis, sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya. Akibatnya, selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari cacing ini berakhir (Juzych, 2012; Palgunadi, 2010).

2.1.8. Gejala Klinis

Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di tempat larva melakukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama terasa pada malam hari, jika digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder (Natadisastra & Agoes, 2009). Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya, papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter (Aisah, 2010). Pada stadium yang lebih lanjut, lesi-lesi ini akan lebih sulit untuk diidentifikasi, hanya ditandai dengan rasa gatal dan nodul-nodul (Vega-Lopez dan Hay, 2004).

(9)

Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala mulai muncul beberapa menit setelah tusukan, diikuti dengan munculnya papul-papul setelah 10 menit. Beberapa jam kemudian, bercak awal mulai digantikan oleh papul kemerahan. Papul-papul kemudian bergabung membentuk erupsi eritematopapular, yang kemudian akan menjadi vesikel yang sangat gatal setelah 24 jam. Lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok mulai muncul 5 hari setelah infeksi (Africa, 1932 dalam Gutiérrez, 2000).

CLM biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah atau pasir (CDC, 2012). Tempat predileksi antara lain di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, dan paha (Aisah, 2010).

Pada kondisi sistemik, gejala yang muncul antara lain eosinofilia perifer (sindroma Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan peningkatan kadar imunoglobulin E, namun kondisi ini jarang ditemui (Vano-Galvan et al, 2009).

Sumber : Tolan Jr, 2013 Gambar 2.4. Gambaran klinis CLM

2.1.9. Diagnosis

Diagnosis CLM ditegakkan berdasarkan gejala klinisnya yang khas dan disertai dengan riwayat berjemur, berjalan tanpa alas kaki di pantai atau aktivitas lainnya di daerah tropis, biopsi tidak diperlukan (Vano-Galvan et al, 2009).

(10)

tempat dimana larva berada. Pada pemeriksaan lab, eosinofilia mungkin ditemukan, namun tidak spesifik. Dalam sebuah penelitian di Jerman pada wisatawan dengan CLM, hanya pada 8 (20%) dari 40 orang didapatkan eosinofilia. Namun, peningkatan kadar eosinofil dapat mengindikasikan perpindahan larva cacing ke visceral, tetapi ini termasuk komplikasi yang jarang terjadi (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).

CLM yang disebabkan oleh Ancylostoma caninum dapat dideteksi dengan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Sekarang ini, mikroskop epiluminesens telah digunakan untuk memvisualisasikan pergerakan larva, namun sensitivitas metode ini belum diketahui (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).

2.1.10. Diagnosis Banding

Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan skabies. Pada skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM. Namun, apabila dilihat dari bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering disalahartikan sebagai dermatofitosis. Pada stadium awal, lesi pada CLM berupa papul, karena itu sering diduga dengan insects bite. Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, lesi berupa papul-papul sering menyerupai herpes zoster stadium awal (Aisah, 2010).

Diagnosis banding yang lain antara lain dermatitis kontak alergi, dermatitis fotoalergi (Robson dan Othman, 2008), loiasis, myasis, schistosomiasis, tinea korporis (Heukelbach dan Feldmeier, 2008), dan ganglion kista serpiginius (Friedli et al, 2002). Kondisi lain yang bukan berasal dari parasit yang menyerupai CLM adalah tumbuhnya rambut secara horizontal di kulit (Sakai et.al, 2006).

2.1.11. Pengobatan

(11)

pengobatan, dosis kedua biasanya dapat memberikan kesembuhan. Ivermectin kontradiksi pada anak-anak dengan berat kurang dari 15 kg atau berumur kurang dari 5 tahun dan pada ibu hamil atau wanita menyusui. Namun, pengobatan off-label pada anak-anak dan ibu hamil sudah pernah dilakukan dengan tanpa adanya

laporan kejadian merugikan yang signifikan (Saez-de-Ocariz et al, 2002; Gyapong et al, 2004 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008).

Dosis tunggal ivermectin lebih efektif daripada dosis tunggal albendazol, tetapi pengobatan berulang dengan albendazol dapat dilakukan sebagai alternatif yang baik di negara-negara dimana ivermectin tidak tersedia. Oral albendazol (400 mg setiap hari) yang diberikan selama 5-7 hari menunjukkan tingkat kesembuhan yang sangat baik, dengan angka kesembuhan mencapai 92-100%. Karena dosis tunggal albendazol memiliki efikasi yang rendah, albendazol dengan regimen tiga hari biasanya lebih direkomendasikan. Jika diperlukan, dapat dilakukan pendekatan alternatif dengan dosis awal albendazol dan mengulangi pengobatan (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).

Tiabendazol (50 mg per kg berat badan selama 2-4 hari) telah digunakan secara luas sejak laporan mengenai efikasinya pada tahun 1963. Namun, tiabendazol yang diberikan secara oral memiliki toleransi yang buruk. Selain itu, penggunaan tiabendazol secara oral sering menimbul efek samping berupa pusing, mual muntah, dan keram usus. Karena penggunaan ivermectin dan albendazol secara oral menunjukkan hasil yang baik, penggunaan tiabendazol secara oral tidak direkomendasikan (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).

(12)

Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow

(dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturut-turut. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan menggunakan nitrogen liquid dan penyemprotan kloretil sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara tersebut sulit karena sulit untuk mengetahui secara pasti dimana larva berada. Di samping itu, cara ini dapat menimbulkan nyeri dan ulkus. Pengobatan dengan cara ini sudah lama ditinggalkan (Aisah, 2010).

2.1.12. Pencegahan

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian CLM antara lain: - Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir

yang terkontaminasi (Heukelbach dan Feldmeier, 2008)

- Saat menjemur pastikan handuk atau pakaian tidak menyentuh tanah (Heukelbach dan Feldmeier, 2008)

- Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan antihelmintik (Bava et al, 2011)

- Hewan dilarang untuk berada di wilayah pantai ataupun taman bermain (Bava et al, 2011)

- Menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang untuk defekasi di lubang tersebut (Tremblay et al, 2000 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008)

- Wisatawan disarankan untuk menggunakan alas kaki saat berjalan di pantai dan menggunakan kursi saat berjemur (Tremblay et al, 2000 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008)

(13)

2.1.13 Prognosis

Gambar

Gambar 2.1. Bagian kepala Ancylostoma caninum
Gambar 2.3. Siklus hidup cacing tambang
Gambar 2.4. Gambaran klinis CLM

Referensi

Dokumen terkait

Alasan lain mengapa dolar Amerika akan collapse adalah karena defisit anggaran raksasa di neraca perdagangan mereka. Defisit anggaran mereka terus naik dari tahun ke tahun. Sejak

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Setelah 4-5 jam dalam pelayarannya kapal mengalami cuaca buruk dan ombak besar, Saksi melaporkan kepada Tersangkut Nakhoda bahwa kapal bocor dan diperintahkan

Investor akan peduli pada imbal hasil riil atau kenaikan daya beli, maka ketika inflasi meningkat investor akan meminta tingkat bunga nominal yang lebih tinggi

Dari studi bahasa pada zaman Yunani ini kita mengenal nama beberapa kaum atau tokoh yang mempunyai peranan besar dalam studi bahasa ini, seperti

Merujuk pada studi Elmeskov, InterCAFE (International Center for Applied Finance and Economics) tahun 2008 melakukan studi tentang persistensi pengangguran yang terjadi di

Akan tetapi, semuannya adalah ujian atau cobaan untuk menjadi pelajaran dan peringatan, untuk menguji dan melatih, untuk dijadikan aturan sebelum di hukum dengan siksaan

sendiri; (c) Guru matematika yang bukan lulusan pendidikan matematika dapat menjadi faktor penyebab rendahnya penguasaan materi menentukan hasil operasi aljabar