BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup sendiri. Setiap individu
secara alamiah selalu ingin hidup berpasangan yang diikat oleh sebuah
perkawinan. Melalui perkawinan, individu membentuk sebuah keluarga dengan
berpedoman kepada nilai dan norma yang berlaku dalam kebudayaan
masing-masing.
Peristiwa perkawinan pada adat Batak disebut haroan boru ‘kehadiran
seorang gadis’ di dalam keluarga seorang pemuda. Dalam hal ini ada beberapa
istilah yang terkait dengan cara atau proses kehadiran seorang gadis dalam
keluarga seorang pemuda, yaitu (1) boru na dipabuat, artinya pemberangkatan
seorang gadis ke rumah calon suaminya yang dilaksanakan secara adat dengan
melibatkan seluruh pelaku adat; (2) boru tangko binoto, artinya keberangkatan
seorang gadis ke rumah calon suaminya yang hanya diketahui oleh orang tuanya
dan keluarga terdekat; dan (3) boru na marlojong, artinya seorang gadis “kawin
lari” dengan pemuda pilihannya tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Upacara perkawinan di Tapanuli Selatan memiliki rangkaian acara yang
berbeda. Pertama-tama, dilakukan topot kahanggi ‘menemui paman’, yaitu utusan
dari calon pengantin laki-laki menjumpai keluarga dari ayah si gadis (calon
berhubungan dengan acara mangkobar boru ‘membicarakan calon pengantin
perempuan’. Kedua, dilakukan acara mangkobar boru yang khusus membicarakan
penyerahan perangkat adat perkawinan. Dalam acara ini terlibat dalihan na tolu
‘tungku yang tiga’ yang terdapat dalam sistem adat. Pihak yang termasuk dalam
dalihan na tolu memiliki ketetapan urutan untuk menyampaikan maksud mereka
dalam setiap rangkaian acara yang berlangsung saat itu. Tanpa kehadiran
pihak-pihak tersebut pelaksanaan upacara perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Ketiga,
dibuat acara pabuat boru ‘pemberangkatan gadis’ ke rumah calon suaminya. Pada
tahap ini juga diadakan mangupa ‘memberi petuah’ terhadap kedua mempelai
yang melibatkan seluruh pelaksana adat dan kerabat pengantin. Acara tersebut
berisi nasihat untuk kedua mempelai sebagai bekal dalam menjalankan kehidupan
rumah tangga ke depannya.
Fakta menunjukkan bahwa dalam tuturan upacara perkawinan di Tapanuli
Selatan modus imperatif dan modus deklaratif lebih sering digunakan daripada
modus interogatif. Bentuk tuturan modus imperatif, deklaratif, dan interogatif
tidak dapat dijawab secara langsung, tetapi harus melalui perantara orang kaya
‘pembawa acara’ yang bertindak sebagai pembawa acara dalam upacara tersebut.
Dalam upacara perkawinan, orang kaya ‘pembawa acara’ mengawali percakapan
lebih dahulu dengan bertanya kepada Raja Panusunan Bulung ‘raja adat’ tentang
acara berikutnya. Selanjutnya, pelaku adat dipersilakan menyampaikan maksud
dan tujuannya sesuai dengan kedudukan masing-masing, begitu seterusnya sampai
Penggunaan modus dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Tapanuli
Selatan dapat dilihat pada contoh berikut ini.
(1) On pe nada janggal be, atur ma orang kaya [....] DEM PART tidak terhalang lagi, atur PART orang kaya [....]
‘Sekarang tidak ada halangan lagi, aturlah pembawa acara.’
(2) Dibaenna mangkobar ma hita,parjolo-ma payakkon hamu
dikarenakan rapat PART 1.Jm, duluan-PART letakkan 2.Jm
tompas handang [....]
tembus kandang [....]
‘Karena kita akan mulai rapat, kalian letakkanlah lebih dulu uang adatnya.’
(3) Payakkon hamu ma ungkap ruji, dibaenna mangkobar ma hita. letakkan 2.Jm PART buka lidi enau, dikarenakan rapat PART 1.Jm.
‘Letakkan kalianlah uang syarat awal karena kita akan rapat.’
Tuturan (1) sampai (3) di atas merupakan jenis tuturan langsung dengan
menggunakan modus imperatif, yakni penutur meminta petutur untuk melakukan
sesuatu. Dari segi fungsinya, tuturan di atas termasuk ke dalam tindak tutur
direktif. Selain itu tuturan tersebut bermakna ilokusi, artinya penutur tidak hanya
mengutarakan maksudnya, tetapi juga melakukan sesuatu.
Sekarang, bandingkan dengan contoh berikut.
(4) Madung dehe martintin torus sanga pe ijuk, anso dapot sudah PART Akt-cincin lurus Konj PART ijuk, Konj dapat
parlugutan on umbulus [....]
perkumpulan DEM lancar [....]
‘Sudahkah selesai urusan mahar agar lancar pertemuan ini.’
Tuturan (4) merupakan jenis tuturan langsung yang menggunakan modus
Penggunaan modus dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Tapanuli
Selatan dapat dilihat pada contoh berikut ini.
(1) On pe nada janggal be, atur ma orang kaya [....] DEM PART tidak terhalang lagi, atur PART orang kaya [....]
‘Sekarang tidak ada halangan lagi, aturlah pembawa acara.’
(2) Dibaenna mangkobar ma hita,parjolo-ma payakkon hamu
dikarenakan rapat PART 1.Jm, duluan-PART letakkan 2.Jm
tompas handang [....]
tembus kandang [....]
‘Karena kita akan mulai rapat, kalian letakkanlah lebih dulu uang adatnya.’
(3) Payakkon hamu ma ungkap ruji, dibaenna mangkobar ma hita. letakkan 2.Jm PART buka lidi enau, dikarenakan rapat PART 1.Jm.
‘Letakkan kalianlah uang syarat awal karena kita akan rapat.’
Tuturan (1) sampai (3) di atas merupakan jenis tuturan langsung dengan
menggunakan modus imperatif, yakni penutur meminta petutur untuk melakukan
sesuatu. Dari segi fungsinya, tuturan di atas termasuk ke dalam tindak tutur
direktif. Selain itu tuturan tersebut bermakna ilokusi, artinya penutur tidak hanya
mengutarakan maksudnya, tetapi juga melakukan sesuatu.
Sekarang, bandingkan dengan contoh berikut.
(4) Madung dehe martintin torus sanga pe ijuk, anso dapot sudah PART Akt-cincin lurus Konj PART ijuk, Konj dapat
parlugutan on umbulus [....]
perkumpulan DEM lancar [....]
‘Sudahkah selesai urusan mahar agar lancar pertemuan ini.’
Tuturan (4) merupakan jenis tuturan langsung yang menggunakan modus
jenis tindak tutur nonliteral karena apa yang dimaksudkan oleh penutur tidak
sesuai dengan makna leksikalnya. Penutur menanyakan apakah sudah dipakai
“cincin ijuk”, yang bermakna bahwa penutur ingin mengetahui apakah mahar
gadis tersebut sudah diberikan.
Selanjutnya, pada contoh di bawah ini terdapat tuturan langsung dengan
menggunakan modus deklaratif.
(5) Omas sigumorsing 120 pitu noli manaek mijur [....] emas kuning 120 tujuh kali naik turun [....]
‘Emas kuning 120 tujuh kali lipat.’
Pada tuturan di atas, yang dibicarakan ialah emas. Tuturan ini tergolong
tindak tutur nonliteral sebab maksud penutur yang sebenarnya adalah jumlah
untuk mahar si gadis yang harus dipenuhi oleh pengantin pria.
Dari beberapa contoh yang dikemukakan di atas tampak bahwa tuturan
perkawinan pada masyarakat Tapanuli Selatan memiliki beragam modus dan
makna yang berbeda, yang disesuaikan dengan maksud penutur. Tentunya penting
untuk mengungkapkan beragam modus dan makna pada tuturan perkawinan itu
untuk mengetahui sistem budaya yang berlaku di Tapanuli Selatan.
Di samping itu, kekhasan dan keunikan tuturan upacara perkawinan di
Tapanuli Selatan terletak pada bentuk atau struktur lingualnya yang berbeda
dengan bentuk atau struktur lingual dalam percakapan sehari-hari. Elemen-elemen
leksikal yang khas dalam tuturan upacara perkawinan masyarakat Tapanuli
Selatan ini menunjukkan bagaimana pemilihan kata atas berbagai kemungkinan
Perlu diketahui bahwa penelitian sejenis ini sudah pernah dikerjakan,
misalnya Hutapea (2007) dalam skripsinya Tuturan pada Upacara Adat
Perkawinan Masyarakat Batak Toba, tetapi objek penelitiannya berbeda. Sejauh
yang diamati, belum ada penelitian tentang tuturan dalam upacara perkawinan
masyarakat Tapanuli Selataan dengan kajian pragmatik. Oleh karena itu,
penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan atau menjelaskan berbagai jenis
tuturan dalam upacara perkawinan di Tapanuli Selatan.
1.1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, yang menjadi masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Jenis-jenis tuturan apa sajakah yang terdapat pada upacara perkawinan
masyarakat Tapanuli Selatan?
2. Apa sajakah fungsi tuturan pada upacara perkawinan masyarakat
Tapanuli Selatan?
3. Apakah makna tuturan pada upacara perkawinan bagi masyarakat
Tapanuli Selatan.
1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah:
1. Mengungkapkan kekhasan tuturan upacara perkawinan di Tapanuli
jenis tindak tutur nonliteral karena apa yang dimaksudkan oleh penutur tidak
sesuai dengan makna leksikalnya. Penutur menanyakan apakah sudah dipakai
“cincin ijuk”, yang bermakna bahwa penutur ingin mengetahui apakah mahar
gadis tersebut sudah diberikan.
Selanjutnya, pada contoh di bawah ini terdapat tuturan langsung dengan
menggunakan modus deklaratif.
(5) Omas sigumorsing 120 pitu noli manaek mijur [....] emas kuning 120 tujuh kali naik turun [....]
‘Emas kuning 120 tujuh kali lipat.’
Pada tuturan di atas, yang dibicarakan ialah emas. Tuturan ini tergolong
tindak tutur nonliteral sebab maksud penutur yang sebenarnya adalah jumlah
untuk mahar si gadis yang harus dipenuhi oleh pengantin pria.
Dari beberapa contoh yang dikemukakan di atas tampak bahwa tuturan
perkawinan pada masyarakat Tapanuli Selatan memiliki beragam modus dan
makna yang berbeda, yang disesuaikan dengan maksud penutur. Tentunya penting
untuk mengungkapkan beragam modus dan makna pada tuturan perkawinan itu
untuk mengetahui sistem budaya yang berlaku di Tapanuli Selatan.
Di samping itu, kekhasan dan keunikan tuturan upacara perkawinan di
Tapanuli Selatan terletak pada bentuk atau struktur lingualnya yang berbeda
dengan bentuk atau struktur lingual dalam percakapan sehari-hari. Elemen-elemen
leksikal yang khas dalam tuturan upacara perkawinan masyarakat Tapanuli
Selatan ini menunjukkan bagaimana pemilihan kata atas berbagai kemungkinan
Perlu diketahui bahwa penelitian sejenis ini sudah pernah dikerjakan,
misalnya Hutapea (2007) dalam skripsinya Tuturan pada Upacara Adat
Perkawinan Masyarakat Batak Toba, tetapi objek penelitiannya berbeda. Sejauh
yang diamati, belum ada penelitian tentang tuturan dalam upacara perkawinan
masyarakat Tapanuli Selataan dengan kajian pragmatik. Oleh karena itu,
penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan atau menjelaskan berbagai jenis
tuturan dalam upacara perkawinan di Tapanuli Selatan.
1.1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, yang menjadi masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Jenis-jenis tuturan apa sajakah yang terdapat pada upacara perkawinan
masyarakat Tapanuli Selatan?
2. Apa sajakah fungsi tuturan pada upacara perkawinan masyarakat
Tapanuli Selatan?
3. Apakah makna tuturan pada upacara perkawinan bagi masyarakat
Tapanuli Selatan.
1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah:
1. Mengungkapkan kekhasan tuturan upacara perkawinan di Tapanuli
2. Menjelaskan tata cara perkawinan di Tapanuli Selatan.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan jenis-jenis tuturan pada upacara perkawinan di Tapanuli
Selatan.
2. Menjelaskan fungsi tuturan pada upacara perkawinan di Tapanuli
Selatan.
3. Mendeskripsikan makna tuturan pada upacara perkawinan di Tapanuli
Selatan.
1.3 Manfaat Penelitian
1.3.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dalam penelitian ini adalah:
1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang tuturan dalam upacara
perkawinan di Tapanuli Selatan.
2. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan
tuturan dalam upacara perkawinan di Tapanuli Selatan.
1.3.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah:
1. Sebagai usaha pelestarian budaya Tapanuli Selatan dari sisi kekayaan
bahasanya, yakni tuturan dalam upacara perkawinan.
2. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat Tapanuli Selatan atau