• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Sosial - Jaringan Sosial Dan Moral Ekonomi Pedagang Pekanan (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang Yang Berjualan Di Perkebunan Wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Sosial - Jaringan Sosial Dan Moral Ekonomi Pedagang Pekanan (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang Yang Berjualan Di Perkebunan Wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Sosial

Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak

individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok

lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun

bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama

dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat

resiprosikal (Damsar, 2002:157).

Dalam melihat aktivitas sekelompok individu itu menjadi suatu aksi sosial

maka disitulah teori jaringan sosial berperan dalam sistem sosial. Hampir seluruh

masalah sosiologi adalah masalah agregasi, yaitu bagaimana aktivitas sekelompok

individu dapat menimbulkan efek sosial yang dapat diamati. Hal inilah yang

membuat ilmu sosiologi sangat sulit untuk memahami dan mengerti suatu

fenomena secara mendalam. Teori jaringan sosial berangkat dari pengkajian atas

variasi bagaimana perilaku individu berkumpul (aggregate) menjadi perilaku

kolektif.

Dalam hal ini analisis jaringan sosial lebih ingin mempelajari keteraturan

individu atau kelompok berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang

bagaimana mereka seharusnya berperilaku (Wafa, 2006:162). Analisis jaringan

sosial memulai dengan gagasan sederhana namun sangat kuat, bahwa usaha utama

dalam kajian sosiologis adalah mempelajari struktur sosial dalam menganalisis

pola ikatan yang menghubungkan anggota-anggota kelompoknya. Granovetter

(2)

hubungan pribadi konkrit dan dalam struktur (jaringan sosial) terhadap hubungan

itu. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau

kolektivitas) mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang bernilai

seperti kekayaan, kekuasaan, dan informasi. Menurut Wellman dalam teori

jaringan sosial terdapat sekumpulan prinsip-prinsip yang berkaitan logis, yaitu

sebagai berikut:

1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun

intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan

mereka berbuat demikian dengan intensitas yang semakin besar atau

semakin kecil.

2. Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan

lebih luas.

3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan

non-acak. Disatu pihak, jaringan adalah transitif: bila ada ikatan antara A

dan B dan C, ada kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A dan

C. Akibatnya adalah bahwa lebih besar kemungkinan adanya jaringan

yang meliputi A, B, dan C.

4. Adanya kelompok jaringan yang menyebabkan terciptanya hubungan

silang antara kelompok jaringan maupun antara individu.

5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem

jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan

(3)

6. Dengan adanya distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas

menimbulkan baik itu kerja sama maupun kompitisi. Beberapa

kelompok akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang

terbatas itu dengan kerja sama, sedangkan kelompok lain bersaing dan

memperebutkannya.

Jaringan yang terbangun adalah modal terpenting dalam mempertahankan

kelangsungan usaha dagang ke pekan, dengan kondisi yang serba terbatas baik

fasilitas dan permodalan pedagang akan berusaha untuk membangun jaringan

yang kuat baik antara sesama pedagang, pedagang dengan pedagang grosiran

maupun antara pedagang dengan pelanggan di pekan. Jaringan yang terbangun

antara sesama pedagang akan memudahkan mereka dalam hal permodalan dan

tempat berjualan di pekan, pedagang pekan membangun jaringan berdasarkan

kedekatan emosional serta kenyataan bahwa pedagang tersebut berasal dari satu

kampung dan masih berhubungan keluarga. Jika jaringan antara pedagang telah

terbentuk, akan terjadi sistem pinjam-meminjam uang yang digunakan untuk

tambahan modal untuk berbelanja barang dan pinjam-meminjam uang ini

berlangsung bergantian. Selain itu akan mempermudah memperoleh barang jualan

karena akan mendapat informasi dari pedagang lainnya. Jaringan antara pedagang

dengan pelanggan juga akan mempermudah pedagang untuk memprediksi barang

dagangan yang diinginkan pembeli karena dari jaringan dengan pelanggan para

pedagang akan memperoleh informasi tersebut. Selain itu jaringan juga berfungsi

untuk memberikan kepastian terhadap pedagang untuk mengukur penghasilan

(4)

Jaringan antara pedagang pekan dan pedagang pelanggan juga

berpengaruh besar terhadap kelangsungan usaha dagang pekan ini karena pasokan

barang akan mudah didapat jika telah terjalin komunikasi dan saling mengenal

antara pedagang pekan dan pedagang grosiran. Jaringan yang terbangun juga

berfungsi untuk mempermudah pasokan barang serta untuk mendapatkan harga

yang lebih murah dari pedagang gosiran tersebut bahkan jika jaringan telah

mencapai tahap kepercayaan, pedagang grosiran akan memberikan kemudahan

dengan mempersilahkan pedagang pekan untuk membawa barang terlebih dahulu

dengan pembayaran yang menyusul kemudian ketika pedagang pekan kembali

turun berbelanja.

2.2 Trust (Kepercayaan)

Kepercayaan adalah unsur penting dalam modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan dalam kelompok masyarakat. Dengan

menjaga suatu kepercayaan, orang-orang bisa bekerja sama secara efektif. Social Capital adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah

masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Social Capital bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar. Demikian juga

kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, Negara, dan dalam seluruh

kelompok-kelompok lain yang ada diantaranya (Fukuyama, 2002:37).

Kepercayaan memiliki dampak positif terhadap efisiensi biaya-biaya

transaksi, artinya antara pedagang dan pelanggan telah memiliki kepercayaan

(saling mempercayai) satu sama lain. Adanya rasa kepercayaan akan membuat

(5)

dalam transaksi ekonomi tersebut. Qianhong Fu, (Hasbullah, 2006:12 dikutip dari

skripsi: modal sosial pada pasar tradisional oleh Dedy Kurnia Putra) membagi tiga tingkatan trust yaitu pada tingkatan individual, relasi sosial dan pada

tingkatan personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu. Pada tingkatan

hubungan sosial, trust merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan

kelompok. Sedangkan pada tingkatan sistem sosial trust merupakan nilai yang

berkembang menurut sistem sosial yang ada. Trust juga dipandang sebagai komponen ekonomi yang relevan pada kultur yang ada pada masyarakat dan

membentuk kekayaan modal sosial.

Kepercayaan akan menimbulkan kewajiban sosial dengan mempercayai

seseorang akan menimbulkan kepercayaan kembali dari orang tersebut

(resiprositas). Dalam kaitannya dengan resiprositas dan pertukaran, Pretty dan

Ward, dalam (Badaruddin, 2005:32) mengemukakan bahwa adanya

hubungan-hubungan yang dilandasi oleh prinsip resiprositas dan pertukaran akan

menumbuhkan kepercayaan karena setiap pertukaran akan dibayar kembali

(repaid and balanced). Hal ini merupakan pelicin dari suatu hubungan kerjasama

yang telah dibangun agar tetap konsisten dan berkesinambungan.

Banyak peneliti merujuk bahwa trust bersumber dari jaringan itu sendiri,

jaringan merupakan sumber penting tumbuh dan hilangnya trust dimaksud

(Hasbullah, 2006:12). Seperti hubungan yang terjalin antara seorang pedagang di

Tanah Abang, Jakarta Pusat yang memberi cicilan jual beli barang kepada

pedagang lain yang merupakan pelanggannya yang berasal dari Ujung Pandang

(Damsar, 2002:33). Cicilan dibayar setiap kali pedagang yang berutang tersebut

(6)

melekat konsep kepercayaan (trust). Pendekatan aktor teratominasi melihat bahwa

kepercayaan merupakan institusi sosial yang berakar dari hasil evolusi

kekuatan-kekuatan politik, sosial, sejarah dan hukum dipandang sebagai solusi yang efisien

terhadap fenomena ekonomi tertentu. Sebaliknya pendekatan aktor yang lebih

tersosialisasi memandang bahwa kepercayaan merupakan moralitas umum dalam

perilaku ekonomi. Sedangkan pendekatan keterlekatan mengajukan pandangan

yang lebih dinamis yaitu bahwa kepercayaan tidak muncul dengan seketika tetapi

terbit dari proses hubungan antar pribadi dari aktor-aktor yang sudah lama terlibat

dalam perilaku ekonomi secara bersama. Kepercayaan bukanlah merupakan

barang baku (tidak berubah) tetapi sebaliknya, kepercayaan terus menerus

ditafsirkan dan dinilai oleh para aktor yang terlibat dalam hubungan perilaku

ekonomi.

Kepercayaan sosial hanya efektif dikembangkan melalui jalinan pola

hubungan sosial resiprosikal atau timbal balik antar pihak yang terlibat dan

berkelanjutan. Adanya trust menyebabkan mudah dibinanya kerjasama yang saling menguntungkan (mutual benefit), sehingga mendorong timbulnya

hubungan resiprosikal. Hubungan resiprosikal menyebabkan social capital dapat melekat kuat dan bertahan lama. Karena diantara orang-orang yang melakukan

hubungan tersebut mendapat keuntungan timbal balik dan tidak ada salah satu

pihak yang dirugikan. Disini hubungan telah memenuhi unsur keadilan (fairness) diantara sesama individu (Wafa, 2006:46).

Coleman, dalam (Wafa, 2006:60) menegaskan bahwa kelangsungan setiap

(7)

individu maupun kelompok baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi

hanya mungkin terjadi apabila ada kelanjutan trust atau rasa saling percaya dari pihak-pihak yang melakukan interaksi. Individu-individu yang memiliki tingkat

kepercayaan yang tinggi memungkinkan terciptanya organisasi-organisasi bisnis

yang fleksibel yang mampu bersaing dalam ekonomi global.

2.3 Kelompok atau Group

Kelompok sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam

kehidupan manusia karena sebagain besar kegiatan manusia berlangsung di

dalamnya. Kelompok didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang

berinteraksi dan saling bergantung, yang saling bergabung untuk mencapai

sasaran-sasaran tertentu. Kelompok dapat bersifat formal dan informal di dalam

sistem sosial, kelompok formal adalah kelompok yang didefinisikan sebagai

struktur organisasi dengan pembagian kerja yang jelas. Sedangkan kelompok

informal adalah kelompok yang didefinisikan sebagai aliansi yang tidak

terstruktur secara formal atau tidak ditetapkan secara organisasi. Kelompok

informal ini terbentuk secara alamiah dalam suasana kerja yang muncul sebagai

tanggapan terhadap kebutuhan akan kontak sosial.

Robert Biersted mengklasifikasikan jenis-jenis kelompok dengan menggunakan indikator atau kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu

sebagai berikut (Kamanto, 2004:126) :

1. Organisasi

(8)

Berdasarkan ketiga kriteria atau indikator tersebut Biersted kemudian

membedakan ada empat jenis-jenis kelompok, yaitu sebagai berikut:

1. Kelompok statistik (statistical group)

2. Kelompok kemasyarakatan (societal group)

3. Kelompok sosial (social group)

4. Kelompok asosiasi (associational group)

Soekanto (2002:115) mengemukakan beberapa persyaratan sebuah

kelompok sosial adalah sebagai berikut:

1. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagaian dari

kelompok yang bersangkutan.

2. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang

lainnya.

3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antara mereka

bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, ideologi

politik yang sama dan lain-lain. Tentunya faktor mempunyai musuh

bersama misalnya dan dapat pula menjadi faktor pengikat atau pemersatu

diantara mereka.

4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola prilaku.

5. Bersistem dan berproses.

Menurut Sumner masyarakat manusia terdiri dari in-groups dan out-groups

(9)

luar atau kelompok mereka (Kamanto, 2004:130). Seseorang itu termasuk

kedalam beberapa kelompok yang baginya adalah kelompok dalam dan

selebihnya baginya adalah kelompok luar. Dalam in-group terdapat perasaan

persaudaraan sedangkan dalam out-group terdapat perasaan yang lebih dingin.

Anggota-anggota dalam in-group menunjukkan adanya kerja sama, hubungan

yang baik (good will), saling membantu, dan saling menghormati. Mereka

mempunyai perasaan solidaritas, kesetiaan terhadap kelompoknya dan kesediaan

berkorban demi kelompoknya. Tetapi sikap mereka terhadap orang lain atau luar

kelompoknya selalu menunjukkan kebencian, perasaan menghina, dan

permusuhan.

2.4 Aspek Moral Ekonomi Pedagang

H.D. Evers dalam Damsar (2000: 90-92) mengemukakan bahwa moral

ekonomi pedagang timbul ketika mereka menghadapi permasalahan dalam

aktivitas jual beli. Para pedagang seringkali mengalami dilema. Moral ekonomi

pedagang, menurut H.D. Evers timbul karena adanya pertentangan dalam diri

pedagang sendiri. Apabila yang menjual dengan harga yang tinggi, maka

dagangannya tidak akan laku atau laris. Apabila pedagang menjual dagangannya

dengan harga murah, sedangkan modal sangat mahal, maka kerugian yang akan

dialami.

Dalam keadaan seperti itu, menurut H. D. Evers dalam Damsar (2000: 92)

pedagang berusaha mencari jalan keluar sendiri. Di antaranya adalah dengan

memilih jalan untuk merantau atau membuka usaha di negeri orang. Sehingga

(10)

adalah manusia yang kreatif dan dinamis. Hal didasarkan kepada para pedagang

tidak tertumpu pada norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Mereka bisa

menyelesaikan permasalahan pribadi tanpa melanggar norma-norma yang ada.

Menurut Damsar (2000), pada dasarnya setiap manusia yang terlibat dalam

aktivitas perekonomian akan mengalami hal sama. Baik masyarakat nelayan

maupun masyarakat metropolis. Apabila mereka menghadapi masalah yang

disebut dengan masalah subsistensi (keselamatan pribadi) atau resiprositas maka

mereka akan mencoba untuk melakukan tindakan-tindakan yang baru, seperti

menjual, menggadai, meminjam uang (berhutang) dan lain sebagainya atau

bahkan mencuri sekalipun. Tujuan dari itu semua adalah untuk mengamankan

posisi mereka dalam aktivitas perekonomian guna menghadapi persaingan yang

ada.

Melihat dilema yang dialami oleh pedagang tersebut, Hans Dieter Evers

dalam Damsar (2000) menemukan lima solusi atau jalan keluar yang berbeda

dengan apa yang dilakukan pedagang dalam menghadapi dilema tersebut, yaitu:

1. Imigrasi Penduduk Minoritas

Kelompok minoritas baru dapat diciptakan melalui imigrasi atau dengan

etnogenesis yaitu munculnya identitas baru. Cara diferensiasi etnis dan budaya

tersebut secara efektif dapat mengurangi dilema pedagang. Untuk menghindari

dilema tersebut maka lebih baik merantau (migrasi) ke daerah lain dan

melakukan aktivitas perdagangan di sana.

(11)

Muncul dua komunitas moral yang menekankan pentingnya kerjasama tetapi

tidak keluar dari batas-batas moral. Seperti pedagang kredit yang ada di

Sumatera Barat, mereka dibutuhkan oleh masyarakat Sumatera Barat sebagai

pemasok kebutuhan sandang baru sedangkan pedagang sendiri memperoleh

untung yang relatif besar karena harga ditetapkan relatif lebih tinggi dari harga

pasaran. Ini berarti terdapat hubungan kerja sama yang saling menguntungkan

antara masyarakat pedesaan Sumatera Barat dan pedagang kredit yang

masing-masing memiliki komunitas moral sendiri yaitu agama Islam dan

agama Kristen.

3. Akumulasi Status Kehormatan (Budaya)

Melalui akumulasi modal budaya berarti adanya peningkatan derajat

kepercayaan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya. Sesuai dengan studi

Geertz tentang peranan santri pada sektor perdagangan orang Jawa bahwa

kedermawanan, keterlibatan dalam urusan masyarakat, berziarah, menunaikan

ibadah haji yang dilakukan kaum santri memberi dampak kepada akumulasi

modal budaya yang dimiliki. Hal ini menghindari dari cemoohan masyarakat

sebagai orang kikir dan tamak tetapi sebaliknya dianggap orang yang berbudi

baik dan bermurah hati.

4. Munculnya Pedagang Kecil yang bercirikan “Ada Uang Ada Barang”

Dengan mengambil fenomena pedagang bakul di Jawa, Evers melihat bahwa

para pedagang bakul kurang ditundukkan oleh tekanan solidaritas jika

dibandingkan dengan pedagang yang lebih besar. Pedagang bakul akan

(12)

permintaan kredit maka akan dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dan

sangat dibatasi sehingga tidak muncul resiko perkreditan. Dengan ciri-ciri

yang dimiliki oleh pedagang kecil tersebut, memungkinkan pedagang untuk

menghindari dilema yang biasanya dialaminya.

5. Depersonalisasi (ketidakterlekatan) Hubungan-Hubungan Ekonomi

Jika ekonomi pasar berkembang dan relatif tidak terlekat atau terdiferensiasi

maka dilema pedagang ditransformasikan ke dalam dilema sosial pasar

ekonomi kapitalis. Evers melihat bahwa suatu ekonomi modern memerlukan

rasionalisasi hubungan-hubungan ekonomi dan keunggulan produktivitas di

satu sisi dan di sisi yang lain keadilan sosial dan redistribusi dibutuhkan untuk

mempertahankan legitimasi penguasa serta tatanan sosial dan politiknya.

Aspek moral yang muncul dari sikap para pedagang tidak lepas dari

munculnya keterlekatan baik antar sesama pedagang maupun dengan para

pembeli. Menurut Granovetter dalam Damsar (2002:146) keterlekatan adalah

tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor. Ini tidak

hanya terbatas pada tindakan aktor individual sendiri tetapi juga mencakup

perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti penetapan harga dan institusi-institusi

ekonomi yang semuanya terpendam dalam suatu jaringan hubungan sosial. Aspek

moralitas pedagang juga muncul akibat adanya jaringan sosial, jaringan sosial

memberikan berbagai kemudahan untuk mengakses berbagai macam barang dan

sumber daya langka seperti informasi, barang, jasa kekuasaan dan sebagainya.

Ketika seorang pembeli dan penjual pada suatu pasar tradisional berinteraksi

(13)

menjadi simpul bagi terbentuknya ikatan pelanggan antara mereka berdua.

Adapun keuntungan yang mungkin akan diperoleh pembeli antara lain kepastian

dan ketepatan informasi harga suatu barang, diskon, kredit (hutang) dan lainnya.

Sedangkan keuntungan dipihak pedagang adalah kepastian pembeli. Jika ada

kepastian pembeli dimasa akan datang, maka kepastian akan memperoleh laba

merupakan konsekuensi logis dari keadaan sebelumnya.

Ikatan pelanggan yang terajut antara keduanya dapat memudahkan

pembentukan hubungan baru dengan pihak lain, ikatan pelanggan antara kedua

belah pihak dimungkinkan diperluas dengan mengikutkan beberapa orang lain

yang memiliki hubungan dengan pihak pembeli misalnya dengan anggota

keluarga luas dari pembeli seperti; kakak, adik, orang tua, paman, tante, dan

lainnya. Ikatan pelanggan menuntun para individu baik pembeli maupun penjual

untuk berpikir, berperilaku, dan bertindak seperti harapan peran yang seharusnya

dimainkan oleh masing pihak sesuai dengan posisi dan status

masing-masing. Dalam ikatan pelanggan, antara pembeli dan penjual memiliki suatu

derajat kepercayaan dan tingkat keuntungan bersama antara kedua belah pihak.

Melalui derajat kepercayaan dan tingkat keuntungan yang diperoleh

mereka terikat satu sama lain, berbagai kemudahan yang diperoleh para anggota

kelompok untuk mengakses bermacam barang atau jasa dan sumber langka

lainnya seperti informasi, barang, jasa, kekuasaan dan sebagainya. Misalnya

ketika seorang pengunjung yang berasal dari Sumatera Barat pergi ke pasar induk

Tanah Abang Jakarta untuk membeli busana baik untuk keperluan konsumsi

pribadi maupun untuk kepentingan bisnis untuk di perdagangkan kembal, akan

(14)

kelompok etnik yaitu sebagai seorang suku Minangkabau. Ketika dia mengetahui

bahwa sipenjual dari barang diperlukannya adalah orang Minangkabau pula maka

dia akan mencoba menjalin ikatan kelompok suku Minangkabau. Melalui ikatan

kelompok suku Minangkabau, aktor pembeli merajut simpul jaringan melalui

komunikasi yang dilakukan melalui bahasa daerah Minangkabau dan menelusuri

jejak keminangkabauan melalui percakapan yang dilakukan. Dalam kenyataannya,

cara seperti itu akan melicinkan para aktor untuk mendapat harga yang lebih

miring dibanding dengan pembeli yang berasal dari etnik lain.

2.5 Orientasi Subyektif dalam Hubungan Sosial : Variabel-variabel Berpola

Teori Parsons yang umum sifatnya (general theory) mengenai tindakan

sosial menekankan orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan

individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai

dan standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang

ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan

itu. Juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang mendasar ada pengaturan

normatifnya.

Bagi Parsons, dalam Doyle Paul Jhonson (1990: 113) orientasi orang yang

bertindak terdiri dari dua elemen dasar yaitu orientasi motivasional dan orientasi

nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu

untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan, sedangkan orientasi

nilai menunjukkan pada standar-standar normatif yang mengendalikan

pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya

(15)

variable-variabel berpola di atas memperlihatkan lima pilihan dikotomi yang harus diambil

seseorang secara eksplisit atau implisit dalam menghadapi orang lain dalam

situasi sosial apa saja, yaitu :

1. Afektivitas versus netralitas afektif.

2. Orientasi diri versus orientasi kolektivitas.

3. Universalisme versus partikularisme.

4. Askripsi versus prestasi (achievement). 5. Spesifitas versus kekaburan (diffuseness).

Dalam penelitian ini, konsep Parsons mengenai dikotomi orientasi diri

versus orientasi kolektif digunakan untuk melihat tindakan sosial para pedagang

pekanan yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau komunal dalam

aktivitas perdagangannya. Dikotomi ini menunjukkan dilema yang berhubungan

dengan kepentingan yang harus diutamakan, orientasi diri berarti bahwa

kepentingan pribadi orang itu sendirilah yang mendapat prioritas sedangkan

orientasi kolektif berarti bahwa kepentingan orang lain atau kolektif secara

keseluruhan yang diprioritaskan atau dalam artian dimensi moral kolektiflah yang

Referensi

Dokumen terkait

Interaksi sosial merupakan modal dalam hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan-hubungan sosial tersebut menyangkut hubungan antar individu, individu dengan

Aspek kepercayaan atau trust merupakan unsur yang sangat esensial sekali di dalam membentuk modal sosial, oleh karena hal tersebut merupakan inti dari modal so sial

Kelompok sosial memiliki peran yang besar dalam membentuk modal sosial dalam masyarakat, dan salah satunya adalah kelompok arisan. Untuk membentuk itu, perlu upaya

Hubungan timbal balik yang terjadi pada masyarakat pemulung merupakan modal bagi mereka karena akan terjalin saling membutuhkan satu sama lain yang dalam

Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan, untuk

Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan, untuk

Perpaduan unsur-unsur modal sosial seperti nilai, norma, rasa percaya, partisipasi dan tindakan proaktif dalam suatu jaringan masyarakat yang dimiliki masyarakat serta

Utami, Vidya Yanti.2020."Dinamika Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat pada Desa Wisata Halal Setanggor: Kepercayaan, Jaringan Sosial dan Norma." Reformasi 10.1 :