BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Sosial
Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak
individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok
lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun
bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama
dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat
resiprosikal (Damsar, 2002:157).
Dalam melihat aktivitas sekelompok individu itu menjadi suatu aksi sosial
maka disitulah teori jaringan sosial berperan dalam sistem sosial. Hampir seluruh
masalah sosiologi adalah masalah agregasi, yaitu bagaimana aktivitas sekelompok
individu dapat menimbulkan efek sosial yang dapat diamati. Hal inilah yang
membuat ilmu sosiologi sangat sulit untuk memahami dan mengerti suatu
fenomena secara mendalam. Teori jaringan sosial berangkat dari pengkajian atas
variasi bagaimana perilaku individu berkumpul (aggregate) menjadi perilaku
kolektif.
Dalam hal ini analisis jaringan sosial lebih ingin mempelajari keteraturan
individu atau kelompok berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang
bagaimana mereka seharusnya berperilaku (Wafa, 2006:162). Analisis jaringan
sosial memulai dengan gagasan sederhana namun sangat kuat, bahwa usaha utama
dalam kajian sosiologis adalah mempelajari struktur sosial dalam menganalisis
pola ikatan yang menghubungkan anggota-anggota kelompoknya. Granovetter
hubungan pribadi konkrit dan dalam struktur (jaringan sosial) terhadap hubungan
itu. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau
kolektivitas) mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang bernilai
seperti kekayaan, kekuasaan, dan informasi. Menurut Wellman dalam teori
jaringan sosial terdapat sekumpulan prinsip-prinsip yang berkaitan logis, yaitu
sebagai berikut:
1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun
intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan
mereka berbuat demikian dengan intensitas yang semakin besar atau
semakin kecil.
2. Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan
lebih luas.
3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan
non-acak. Disatu pihak, jaringan adalah transitif: bila ada ikatan antara A
dan B dan C, ada kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A dan
C. Akibatnya adalah bahwa lebih besar kemungkinan adanya jaringan
yang meliputi A, B, dan C.
4. Adanya kelompok jaringan yang menyebabkan terciptanya hubungan
silang antara kelompok jaringan maupun antara individu.
5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem
jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan
6. Dengan adanya distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas
menimbulkan baik itu kerja sama maupun kompitisi. Beberapa
kelompok akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang
terbatas itu dengan kerja sama, sedangkan kelompok lain bersaing dan
memperebutkannya.
Jaringan yang terbangun adalah modal terpenting dalam mempertahankan
kelangsungan usaha dagang ke pekan, dengan kondisi yang serba terbatas baik
fasilitas dan permodalan pedagang akan berusaha untuk membangun jaringan
yang kuat baik antara sesama pedagang, pedagang dengan pedagang grosiran
maupun antara pedagang dengan pelanggan di pekan. Jaringan yang terbangun
antara sesama pedagang akan memudahkan mereka dalam hal permodalan dan
tempat berjualan di pekan, pedagang pekan membangun jaringan berdasarkan
kedekatan emosional serta kenyataan bahwa pedagang tersebut berasal dari satu
kampung dan masih berhubungan keluarga. Jika jaringan antara pedagang telah
terbentuk, akan terjadi sistem pinjam-meminjam uang yang digunakan untuk
tambahan modal untuk berbelanja barang dan pinjam-meminjam uang ini
berlangsung bergantian. Selain itu akan mempermudah memperoleh barang jualan
karena akan mendapat informasi dari pedagang lainnya. Jaringan antara pedagang
dengan pelanggan juga akan mempermudah pedagang untuk memprediksi barang
dagangan yang diinginkan pembeli karena dari jaringan dengan pelanggan para
pedagang akan memperoleh informasi tersebut. Selain itu jaringan juga berfungsi
untuk memberikan kepastian terhadap pedagang untuk mengukur penghasilan
Jaringan antara pedagang pekan dan pedagang pelanggan juga
berpengaruh besar terhadap kelangsungan usaha dagang pekan ini karena pasokan
barang akan mudah didapat jika telah terjalin komunikasi dan saling mengenal
antara pedagang pekan dan pedagang grosiran. Jaringan yang terbangun juga
berfungsi untuk mempermudah pasokan barang serta untuk mendapatkan harga
yang lebih murah dari pedagang gosiran tersebut bahkan jika jaringan telah
mencapai tahap kepercayaan, pedagang grosiran akan memberikan kemudahan
dengan mempersilahkan pedagang pekan untuk membawa barang terlebih dahulu
dengan pembayaran yang menyusul kemudian ketika pedagang pekan kembali
turun berbelanja.
2.2 Trust (Kepercayaan)
Kepercayaan adalah unsur penting dalam modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan dalam kelompok masyarakat. Dengan
menjaga suatu kepercayaan, orang-orang bisa bekerja sama secara efektif. Social Capital adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah
masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Social Capital bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar. Demikian juga
kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, Negara, dan dalam seluruh
kelompok-kelompok lain yang ada diantaranya (Fukuyama, 2002:37).
Kepercayaan memiliki dampak positif terhadap efisiensi biaya-biaya
transaksi, artinya antara pedagang dan pelanggan telah memiliki kepercayaan
(saling mempercayai) satu sama lain. Adanya rasa kepercayaan akan membuat
dalam transaksi ekonomi tersebut. Qianhong Fu, (Hasbullah, 2006:12 dikutip dari
skripsi: modal sosial pada pasar tradisional oleh Dedy Kurnia Putra) membagi tiga tingkatan trust yaitu pada tingkatan individual, relasi sosial dan pada
tingkatan personal dan sekaligus sebagai karakteristik individu. Pada tingkatan
hubungan sosial, trust merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan
kelompok. Sedangkan pada tingkatan sistem sosial trust merupakan nilai yang
berkembang menurut sistem sosial yang ada. Trust juga dipandang sebagai komponen ekonomi yang relevan pada kultur yang ada pada masyarakat dan
membentuk kekayaan modal sosial.
Kepercayaan akan menimbulkan kewajiban sosial dengan mempercayai
seseorang akan menimbulkan kepercayaan kembali dari orang tersebut
(resiprositas). Dalam kaitannya dengan resiprositas dan pertukaran, Pretty dan
Ward, dalam (Badaruddin, 2005:32) mengemukakan bahwa adanya
hubungan-hubungan yang dilandasi oleh prinsip resiprositas dan pertukaran akan
menumbuhkan kepercayaan karena setiap pertukaran akan dibayar kembali
(repaid and balanced). Hal ini merupakan pelicin dari suatu hubungan kerjasama
yang telah dibangun agar tetap konsisten dan berkesinambungan.
Banyak peneliti merujuk bahwa trust bersumber dari jaringan itu sendiri,
jaringan merupakan sumber penting tumbuh dan hilangnya trust dimaksud
(Hasbullah, 2006:12). Seperti hubungan yang terjalin antara seorang pedagang di
Tanah Abang, Jakarta Pusat yang memberi cicilan jual beli barang kepada
pedagang lain yang merupakan pelanggannya yang berasal dari Ujung Pandang
(Damsar, 2002:33). Cicilan dibayar setiap kali pedagang yang berutang tersebut
melekat konsep kepercayaan (trust). Pendekatan aktor teratominasi melihat bahwa
kepercayaan merupakan institusi sosial yang berakar dari hasil evolusi
kekuatan-kekuatan politik, sosial, sejarah dan hukum dipandang sebagai solusi yang efisien
terhadap fenomena ekonomi tertentu. Sebaliknya pendekatan aktor yang lebih
tersosialisasi memandang bahwa kepercayaan merupakan moralitas umum dalam
perilaku ekonomi. Sedangkan pendekatan keterlekatan mengajukan pandangan
yang lebih dinamis yaitu bahwa kepercayaan tidak muncul dengan seketika tetapi
terbit dari proses hubungan antar pribadi dari aktor-aktor yang sudah lama terlibat
dalam perilaku ekonomi secara bersama. Kepercayaan bukanlah merupakan
barang baku (tidak berubah) tetapi sebaliknya, kepercayaan terus menerus
ditafsirkan dan dinilai oleh para aktor yang terlibat dalam hubungan perilaku
ekonomi.
Kepercayaan sosial hanya efektif dikembangkan melalui jalinan pola
hubungan sosial resiprosikal atau timbal balik antar pihak yang terlibat dan
berkelanjutan. Adanya trust menyebabkan mudah dibinanya kerjasama yang saling menguntungkan (mutual benefit), sehingga mendorong timbulnya
hubungan resiprosikal. Hubungan resiprosikal menyebabkan social capital dapat melekat kuat dan bertahan lama. Karena diantara orang-orang yang melakukan
hubungan tersebut mendapat keuntungan timbal balik dan tidak ada salah satu
pihak yang dirugikan. Disini hubungan telah memenuhi unsur keadilan (fairness) diantara sesama individu (Wafa, 2006:46).
Coleman, dalam (Wafa, 2006:60) menegaskan bahwa kelangsungan setiap
individu maupun kelompok baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi
hanya mungkin terjadi apabila ada kelanjutan trust atau rasa saling percaya dari pihak-pihak yang melakukan interaksi. Individu-individu yang memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi memungkinkan terciptanya organisasi-organisasi bisnis
yang fleksibel yang mampu bersaing dalam ekonomi global.
2.3 Kelompok atau Group
Kelompok sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam
kehidupan manusia karena sebagain besar kegiatan manusia berlangsung di
dalamnya. Kelompok didefinisikan sebagai dua individu atau lebih yang
berinteraksi dan saling bergantung, yang saling bergabung untuk mencapai
sasaran-sasaran tertentu. Kelompok dapat bersifat formal dan informal di dalam
sistem sosial, kelompok formal adalah kelompok yang didefinisikan sebagai
struktur organisasi dengan pembagian kerja yang jelas. Sedangkan kelompok
informal adalah kelompok yang didefinisikan sebagai aliansi yang tidak
terstruktur secara formal atau tidak ditetapkan secara organisasi. Kelompok
informal ini terbentuk secara alamiah dalam suasana kerja yang muncul sebagai
tanggapan terhadap kebutuhan akan kontak sosial.
Robert Biersted mengklasifikasikan jenis-jenis kelompok dengan menggunakan indikator atau kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu
sebagai berikut (Kamanto, 2004:126) :
1. Organisasi
Berdasarkan ketiga kriteria atau indikator tersebut Biersted kemudian
membedakan ada empat jenis-jenis kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Kelompok statistik (statistical group)
2. Kelompok kemasyarakatan (societal group)
3. Kelompok sosial (social group)
4. Kelompok asosiasi (associational group)
Soekanto (2002:115) mengemukakan beberapa persyaratan sebuah
kelompok sosial adalah sebagai berikut:
1. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagaian dari
kelompok yang bersangkutan.
2. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang
lainnya.
3. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antara mereka
bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, ideologi
politik yang sama dan lain-lain. Tentunya faktor mempunyai musuh
bersama misalnya dan dapat pula menjadi faktor pengikat atau pemersatu
diantara mereka.
4. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola prilaku.
5. Bersistem dan berproses.
Menurut Sumner masyarakat manusia terdiri dari in-groups dan out-groups
luar atau kelompok mereka (Kamanto, 2004:130). Seseorang itu termasuk
kedalam beberapa kelompok yang baginya adalah kelompok dalam dan
selebihnya baginya adalah kelompok luar. Dalam in-group terdapat perasaan
persaudaraan sedangkan dalam out-group terdapat perasaan yang lebih dingin.
Anggota-anggota dalam in-group menunjukkan adanya kerja sama, hubungan
yang baik (good will), saling membantu, dan saling menghormati. Mereka
mempunyai perasaan solidaritas, kesetiaan terhadap kelompoknya dan kesediaan
berkorban demi kelompoknya. Tetapi sikap mereka terhadap orang lain atau luar
kelompoknya selalu menunjukkan kebencian, perasaan menghina, dan
permusuhan.
2.4 Aspek Moral Ekonomi Pedagang
H.D. Evers dalam Damsar (2000: 90-92) mengemukakan bahwa moral
ekonomi pedagang timbul ketika mereka menghadapi permasalahan dalam
aktivitas jual beli. Para pedagang seringkali mengalami dilema. Moral ekonomi
pedagang, menurut H.D. Evers timbul karena adanya pertentangan dalam diri
pedagang sendiri. Apabila yang menjual dengan harga yang tinggi, maka
dagangannya tidak akan laku atau laris. Apabila pedagang menjual dagangannya
dengan harga murah, sedangkan modal sangat mahal, maka kerugian yang akan
dialami.
Dalam keadaan seperti itu, menurut H. D. Evers dalam Damsar (2000: 92)
pedagang berusaha mencari jalan keluar sendiri. Di antaranya adalah dengan
memilih jalan untuk merantau atau membuka usaha di negeri orang. Sehingga
adalah manusia yang kreatif dan dinamis. Hal didasarkan kepada para pedagang
tidak tertumpu pada norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Mereka bisa
menyelesaikan permasalahan pribadi tanpa melanggar norma-norma yang ada.
Menurut Damsar (2000), pada dasarnya setiap manusia yang terlibat dalam
aktivitas perekonomian akan mengalami hal sama. Baik masyarakat nelayan
maupun masyarakat metropolis. Apabila mereka menghadapi masalah yang
disebut dengan masalah subsistensi (keselamatan pribadi) atau resiprositas maka
mereka akan mencoba untuk melakukan tindakan-tindakan yang baru, seperti
menjual, menggadai, meminjam uang (berhutang) dan lain sebagainya atau
bahkan mencuri sekalipun. Tujuan dari itu semua adalah untuk mengamankan
posisi mereka dalam aktivitas perekonomian guna menghadapi persaingan yang
ada.
Melihat dilema yang dialami oleh pedagang tersebut, Hans Dieter Evers
dalam Damsar (2000) menemukan lima solusi atau jalan keluar yang berbeda
dengan apa yang dilakukan pedagang dalam menghadapi dilema tersebut, yaitu:
1. Imigrasi Penduduk Minoritas
Kelompok minoritas baru dapat diciptakan melalui imigrasi atau dengan
etnogenesis yaitu munculnya identitas baru. Cara diferensiasi etnis dan budaya
tersebut secara efektif dapat mengurangi dilema pedagang. Untuk menghindari
dilema tersebut maka lebih baik merantau (migrasi) ke daerah lain dan
melakukan aktivitas perdagangan di sana.
Muncul dua komunitas moral yang menekankan pentingnya kerjasama tetapi
tidak keluar dari batas-batas moral. Seperti pedagang kredit yang ada di
Sumatera Barat, mereka dibutuhkan oleh masyarakat Sumatera Barat sebagai
pemasok kebutuhan sandang baru sedangkan pedagang sendiri memperoleh
untung yang relatif besar karena harga ditetapkan relatif lebih tinggi dari harga
pasaran. Ini berarti terdapat hubungan kerja sama yang saling menguntungkan
antara masyarakat pedesaan Sumatera Barat dan pedagang kredit yang
masing-masing memiliki komunitas moral sendiri yaitu agama Islam dan
agama Kristen.
3. Akumulasi Status Kehormatan (Budaya)
Melalui akumulasi modal budaya berarti adanya peningkatan derajat
kepercayaan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya. Sesuai dengan studi
Geertz tentang peranan santri pada sektor perdagangan orang Jawa bahwa
kedermawanan, keterlibatan dalam urusan masyarakat, berziarah, menunaikan
ibadah haji yang dilakukan kaum santri memberi dampak kepada akumulasi
modal budaya yang dimiliki. Hal ini menghindari dari cemoohan masyarakat
sebagai orang kikir dan tamak tetapi sebaliknya dianggap orang yang berbudi
baik dan bermurah hati.
4. Munculnya Pedagang Kecil yang bercirikan “Ada Uang Ada Barang”
Dengan mengambil fenomena pedagang bakul di Jawa, Evers melihat bahwa
para pedagang bakul kurang ditundukkan oleh tekanan solidaritas jika
dibandingkan dengan pedagang yang lebih besar. Pedagang bakul akan
permintaan kredit maka akan dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dan
sangat dibatasi sehingga tidak muncul resiko perkreditan. Dengan ciri-ciri
yang dimiliki oleh pedagang kecil tersebut, memungkinkan pedagang untuk
menghindari dilema yang biasanya dialaminya.
5. Depersonalisasi (ketidakterlekatan) Hubungan-Hubungan Ekonomi
Jika ekonomi pasar berkembang dan relatif tidak terlekat atau terdiferensiasi
maka dilema pedagang ditransformasikan ke dalam dilema sosial pasar
ekonomi kapitalis. Evers melihat bahwa suatu ekonomi modern memerlukan
rasionalisasi hubungan-hubungan ekonomi dan keunggulan produktivitas di
satu sisi dan di sisi yang lain keadilan sosial dan redistribusi dibutuhkan untuk
mempertahankan legitimasi penguasa serta tatanan sosial dan politiknya.
Aspek moral yang muncul dari sikap para pedagang tidak lepas dari
munculnya keterlekatan baik antar sesama pedagang maupun dengan para
pembeli. Menurut Granovetter dalam Damsar (2002:146) keterlekatan adalah
tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor. Ini tidak
hanya terbatas pada tindakan aktor individual sendiri tetapi juga mencakup
perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti penetapan harga dan institusi-institusi
ekonomi yang semuanya terpendam dalam suatu jaringan hubungan sosial. Aspek
moralitas pedagang juga muncul akibat adanya jaringan sosial, jaringan sosial
memberikan berbagai kemudahan untuk mengakses berbagai macam barang dan
sumber daya langka seperti informasi, barang, jasa kekuasaan dan sebagainya.
Ketika seorang pembeli dan penjual pada suatu pasar tradisional berinteraksi
menjadi simpul bagi terbentuknya ikatan pelanggan antara mereka berdua.
Adapun keuntungan yang mungkin akan diperoleh pembeli antara lain kepastian
dan ketepatan informasi harga suatu barang, diskon, kredit (hutang) dan lainnya.
Sedangkan keuntungan dipihak pedagang adalah kepastian pembeli. Jika ada
kepastian pembeli dimasa akan datang, maka kepastian akan memperoleh laba
merupakan konsekuensi logis dari keadaan sebelumnya.
Ikatan pelanggan yang terajut antara keduanya dapat memudahkan
pembentukan hubungan baru dengan pihak lain, ikatan pelanggan antara kedua
belah pihak dimungkinkan diperluas dengan mengikutkan beberapa orang lain
yang memiliki hubungan dengan pihak pembeli misalnya dengan anggota
keluarga luas dari pembeli seperti; kakak, adik, orang tua, paman, tante, dan
lainnya. Ikatan pelanggan menuntun para individu baik pembeli maupun penjual
untuk berpikir, berperilaku, dan bertindak seperti harapan peran yang seharusnya
dimainkan oleh masing pihak sesuai dengan posisi dan status
masing-masing. Dalam ikatan pelanggan, antara pembeli dan penjual memiliki suatu
derajat kepercayaan dan tingkat keuntungan bersama antara kedua belah pihak.
Melalui derajat kepercayaan dan tingkat keuntungan yang diperoleh
mereka terikat satu sama lain, berbagai kemudahan yang diperoleh para anggota
kelompok untuk mengakses bermacam barang atau jasa dan sumber langka
lainnya seperti informasi, barang, jasa, kekuasaan dan sebagainya. Misalnya
ketika seorang pengunjung yang berasal dari Sumatera Barat pergi ke pasar induk
Tanah Abang Jakarta untuk membeli busana baik untuk keperluan konsumsi
pribadi maupun untuk kepentingan bisnis untuk di perdagangkan kembal, akan
kelompok etnik yaitu sebagai seorang suku Minangkabau. Ketika dia mengetahui
bahwa sipenjual dari barang diperlukannya adalah orang Minangkabau pula maka
dia akan mencoba menjalin ikatan kelompok suku Minangkabau. Melalui ikatan
kelompok suku Minangkabau, aktor pembeli merajut simpul jaringan melalui
komunikasi yang dilakukan melalui bahasa daerah Minangkabau dan menelusuri
jejak keminangkabauan melalui percakapan yang dilakukan. Dalam kenyataannya,
cara seperti itu akan melicinkan para aktor untuk mendapat harga yang lebih
miring dibanding dengan pembeli yang berasal dari etnik lain.
2.5 Orientasi Subyektif dalam Hubungan Sosial : Variabel-variabel Berpola
Teori Parsons yang umum sifatnya (general theory) mengenai tindakan
sosial menekankan orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan
individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai
dan standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang
ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan
itu. Juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang mendasar ada pengaturan
normatifnya.
Bagi Parsons, dalam Doyle Paul Jhonson (1990: 113) orientasi orang yang
bertindak terdiri dari dua elemen dasar yaitu orientasi motivasional dan orientasi
nilai. Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu
untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan, sedangkan orientasi
nilai menunjukkan pada standar-standar normatif yang mengendalikan
pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya
variable-variabel berpola di atas memperlihatkan lima pilihan dikotomi yang harus diambil
seseorang secara eksplisit atau implisit dalam menghadapi orang lain dalam
situasi sosial apa saja, yaitu :
1. Afektivitas versus netralitas afektif.
2. Orientasi diri versus orientasi kolektivitas.
3. Universalisme versus partikularisme.
4. Askripsi versus prestasi (achievement). 5. Spesifitas versus kekaburan (diffuseness).
Dalam penelitian ini, konsep Parsons mengenai dikotomi orientasi diri
versus orientasi kolektif digunakan untuk melihat tindakan sosial para pedagang
pekanan yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau komunal dalam
aktivitas perdagangannya. Dikotomi ini menunjukkan dilema yang berhubungan
dengan kepentingan yang harus diutamakan, orientasi diri berarti bahwa
kepentingan pribadi orang itu sendirilah yang mendapat prioritas sedangkan
orientasi kolektif berarti bahwa kepentingan orang lain atau kolektif secara
keseluruhan yang diprioritaskan atau dalam artian dimensi moral kolektiflah yang