• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelahiran Institusi Pendidikan Tinggi Is

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kelahiran Institusi Pendidikan Tinggi Is"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Kelahiran Institusi Pendidikan Tinggi Islam (Hanif Nanda Z/16770012) Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

1. Pendahuluan

Secara sederhana, pendidikan adalah sebuah proses humanisasi, yang berarti memanusiakan manusia. Pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia lebih baik dalam menjalani kehidupan. Suparlan menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri.1 Sehingga kemudian dengan proses tersebut diharapkan mampu

menjalani tatanan kehidupan bermasyarakat dengan baik. Baik itu dalam tatanan kehidupan beragama, ekonomi, sosial, politik dan lainnya.

Banyak pihak tentu sepakat dan tak ada yang menolak akan urgensi serta vitalitas posisi pendidikan dan peranannya dalam memperbaiki kehidupan

manusia baik itu pendidikan formal maupun informal. Begitu juga halnya dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana telah diketahui bahwa sejak kemerdekaan Indonesia, para pejuang kemerdekaan menginginkan atau mencita-citakan agar kemerdekaan mampu “mencerdaskan” masyarakat bangsa ini agar menjadi bangsa yang besar dan terdidik.

Misalnya dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2

Dalam rekam sejarah, tercatat pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 1950 tentang pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), dan Peraturan Presiden nomor 11 tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 1960. Hal ini menandakan dukungan pemerintah terhadap pentingnya pendidikan tinggi Islam bagi masyarakat yang sudah lama mengidamkan hadirnya pendidikan tinggi Islam.

(2)

Kemunculan PTAIN atau IAIN sebagai pusat kajian dan pengembangan masyarakat, dalam perjalanannya perlu mendapat perhatian. Tanpa adanya perhatian, boleh jadi akan sangat mungkin jati diri IAIN sebgaai cagar agama, pencetak ulama dan cendekiawan agama akan semakin tidak kelihatan.3

Pemikiran pembaharuan atau perubahan pendidikan tinggi Islam di

Indonesia terus bergulir. Mulai dengan munculnya gagasan Sekolah Tinggi Islam (STI), Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan terakhir lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN). Imam Suprayogo melihat bahwa pendidikan tinggi Islam dimulai dari Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang memiliki misi sederhana yaitu menyiapkan tenaga adminsitrasi di lingkungan Departemen Agama sampai lembaga pendidikan tinggi ini kemudian berubah menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri), dan selanjutnya berubah lagi menjadi IAIN (Institut Agama Islam Negeri) terbukti berkembang pesat. Proyek perubahan yang dimulai dari IAIN Yogyakarta dan disusul oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini kemudian tumbuh dan berkembang hingga berjumlah 14 buah yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Semua PTAIN ini dalam kenyataannya 7 (tujuh) berada di Sumatera, 5 (lima) berada di Jawa, dan masing-masing satu di

Kalimantan dan Sulawesi. Perkembangan kuantitatif lembaga pendidikan tinggi Islam tidak berhenti sampai disitu. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya beberapa PTAIN di berbagai daerah tingkat kabupaten di tanah air dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang pada awalnya berjumlah 33 buah.4 Dengan demikian, makalah ini akan menyajikan sedikit sajian historis dari

perkembangan IAIN/STAIN/UIN di Indonesia.

2. Pembahasan

3 Amril Mansur, et al, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: UI Press, 2004), hlm. 3

(3)

A. Sejarah Pendirian PTAIN

Pemikiran pembaharuan atau perubahan pendidikan tinggi Islam di

Indonesia terus bergulir. Mulai dengan munculnya gagasan Sekolah Tinggi Islam (STI), Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan terakhir lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN). Imam Suprayogo melihat bahwa pendidikan tinggi Islam dimulai dari Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang memiliki misi sederhana yaitu menyiapkan tenaga adminsitrasi di lingkungan Departemen Agama sampai lembaga pendidikan tinggi ini kemudian berubah menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri), dan selanjutnya berubah lagi menjadi IAIN (Institut Agama Islam Negeri) terbukti berkembang pesat. Proyek perubahan yang dimulai dari IAIN Yogyakarta dan disusul oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini kemudian tumbuh dan berkembang hingga berjumlah 14 buah yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Semua PTAIN ini dalam kenyataannya 7 (tujuh) berada di Sumatera, 5 (lima) berada di Jawa, dan masing-masing satu di

Kalimantan dan Sulawesi. Perkembangan kuantitatif lembaga pendidikan tinggi Islam tidak berhenti sampai disitu. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya beberapa PTAIN di berbagai daerah tingkat kabupaten di tanah air dalam bentuk Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang pada awalnya berjumlah 33 buah.5

Dari sudut pandang historis, kehadiran institusi pendidikan Islam (IAIN, STAIN,UIN) terinspirasi oleh adanya lembaga pendidikan Islam di masa lalu. Dapat dilihat di belahan Timur ada Universitas al-Azhar di Mesir sedangkan di belahan Barat ada Universitas al-Zaitunah di Tunis, Universitas al-Qarawiyyin di Fez serta Universitas Cordova di Andalusia. Adanya sistem pendidikan yang khas pada tiap universitas tersebut, sedikit banyak mempengaruhi dnamika

perkembangan institusi pendidikan Islam (IAIN, STAIN,UIN). Dinamika tersebut bisa dalam berbagai hal, diantaranya dinamika perubahan status kelembagaan, paradigma keilmuan, manajemen kelembagaan, hingga pengembangan

kelembagaan.6

5 Imam Suprayogo, Rasmianto, Perubahan... hlm. 8

(4)

Disamping tujuan ideal untuk memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat perkembangan dan pendalaman ilmu pengetahuan tentang agama Islam,

dibentuknya PTAIN tidak lepas dari tujuan praktis yaitu untuk memenuhi dan mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam. Dapat

dimaklumi bahwa pada ketika itu telah banyak lulusan sekolah tingkat menengah atau madrasah yang belum tersalurkan minat studi mereka ke perguruan tinggi disebabkan belum berdirinya lembaga semacam PTAIN. Selain itu, sebelum berdirinya PTAIN, masyarakat Indonesia yang ingin memperdalam ilmu

pengetahuan keagamaan mesti berangkat ke luar negeri seperti Mesir atau Saudi Arabia. Selain itu berdirinya PTAIN membawa harapan untuk bisa menjadi pusat pengembangan ilmu-ilmu keislaman seperti halnya al-Azhar di Kairo Mesir.7

Sisi lain dari berdirinya lembaga keislaman ini bisa dilacak dari beberapa literatur, khususnya perihal faktor ‘lain’. Beberapa orang berpendapat bahwa IAIN (di Jakarta dan Yogyakarta) merupakan sebuah ‘hadiah’ kepada komunitas pesantren sebagai penyeimbang setelah adanya ‘hadiah’ Universitas Gajah Mada yang diberikan kepada kaum nasionalis (republikan). Namun hal ini masih menyisakan perdebatan.

“... some have argued that the IAIN (in Jakarta and Yogyakarta) were ‘gifts’ to the pesantren community to appease them after the ‘gift’ Universitas Gajah Mada (UGM) was given to the nasionalist. These so-called gifts were given so that Suharto could garner support for what would become a 32-year regime. This interpreation is subject to debate. First it is questionable that there is, or has ever been, unified communities to be happy about their respective gifts. Second, it is clear that the establishment of the PTAIN system served a number of Suharto’s political goals including the bureaucratization of islamic practices such as family law, marriage, and inheritance ...”8

M. Atho Mudzhar misalnya mengatakan bahwa berdirinya Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 1949 tanggal 16 Desember 1949 itu diberikan kepada golongan nasionalis. Ini bermula dengan pendirian Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada pada tanggal

7 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 123

(5)

17 Februari 1946 yang kegiatannya tertunda karena Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Setelah perjanjian Roem Royen di tanda tangani pada 7 Mei 1949 muncul keinginan untuk segera menyelenggarakan kembali pendidikan tinggi nasional. Awalnya keinginan itu berhimpitan dengan rencana peraikan perguruan tinggi federal sesuai dengan bentuk negara yang diusulkan Belanda ketika itu, tetapi kaum republian tetap menghendaki Republik Indonesia memiliki perguruan tinggi sendiri di Yogyakarta. Hal itu kemudian tertuang dalam PP nomor 23 tahun 1949 dan sejak 14 Desember 1949 Pemerintah RI secara resmi mulai menyelenggarakan Perguruan Tinggi Negeri yang dikenal dengan Universitas Gadjah Mada.9

Pendirian ini juga disebut oleh Marwan Saridjo bahwa penjelasan PP nomor 11 tahun 1960 tentang pembentukan IAIN, disebutkan bahwa sebagai

penghargaan dari pemerintah terhadap Yogyakarta dijadikan kota Universitas. Untuk golongan nasionalis diberikan Universitas Gadjah Mada yang kemudian statusnya beraih menjadi negeri berdasarkan PP nomor 37 tahun 1950. Untuk golongan umat Islam diberikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri sesuai PP nomor 34 tahun 1950. Sepuluh tahun kemudian, berdasarkan PP nomor 11 tahun 1960, PTAIN digabungkan dengan ADIA menjadi IAIN.

Bila menoleh ke belakang, pembenahan perguruan tinggi Islam sudah mulai dilakukan salah satunya oleh mantan Menteri Agama, Munawir Sjadzali.

Pembenahan tersebut melingkupi beberapa hal, diantaranya pembenahan landasan hukum, jumlah anggaran, kurikulum, hingga kualitas tenaga pengajar.

Hal ini dijelaskan oleh Munawir Sjadzali bahwa meski sudah berdiri puluhan tahun, nyatanya IAIN belum punya landasan hukum yang kuat, berikut pula anggaran belanja yang jauh dari perguruan-perguruan tinggi dibawah

naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Masalah ini diselesaikan oleh Munawir Sjadzali dengan melibatkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sehingga terbit Peraturan Pemerintah nomor 33 tahun 1985 yang memberikan status, perlakuan dan fasilitas kepada 14 IAIN sama dengan perguran tinggi negeri yang dikelola oleh

9 M. Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi”, Komaruddin Hidayat (ed.),

(6)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Pemerintah itu dijabarkan dengan Keputusan Presiden nomor 9 tahun 1987, dan merupakan bagian dari Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tenang Sistem Pendidikan Nasional.10

Pada masa Munawir Sjadzali juga dilakukan pengiriman dosen ke luar negeri. Meski sudah dimulai pada masa Mukti Ali saat beliau menjabat sebagai Menteri Agama, intensitas pengiriman dosen ke luar negeri ditingkatkan oleh Munawir Sjadzali dengan memanfaatkan beasiswa Fullbright dari Amerika Serikat, menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda dan Kanada sehingga dosen-dosen bisa belajar di Universitas Leiden, Belanda dan Universitas McGill, Kanada.11

Setelah PTAIN berdiri selama selama kurang lebih 9 tahun, maka lembaga pendidikan tinggi dimaksud telah mengalami perkembangan. Dengan

perkembangan tersebut dirasakan bahwa adanya ketidak mampuan menampung keluasan cakupan ilmu-ilmu keislaman kalau hanya berada dalam satuan payung fakultas saja. Berkenaan dengan hal itu timbul ide-ide, gagasan-gagasan yang dirasa perlu untuk mengembangkan cakupan PTAIN lebih luas lagi.

Setelah beberapa kali diadakan sidang, maka disepakati bahwa PTAIN yang berkedudukan di Yogyakarta dengan ADIA yang bertempat di Jakarta

digabungkan menjadi satu dengan nama Institut Agama Islam Negeri “al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyah”. Keputusan panitia tersebut disetujui oleh pemerintah dengan mengeluarkan PP nomor 11 tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri yang mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 1960 (Lembaran Negara no. 61 tahun 1960).12

Tidak cukup puas dengan dibentuknya IAIN, diiringi dengan beragamnya tantangan yang dihadapi, baik dalam lingkup internal maupun eksternal telah mendorong kalangan civitas akademika IAIN untuk melakukan reformulasi dan reorientasi terhadap sistem dan pola pendidikan IAIN. Salah satu bentuk dari langkah reformulasi dan reorientasi pendidikan itu adalah transformasi IAIN menjadi UIN.

10 Munawir Sjadzali. “Dari Lembah Kemiskinan”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.),

Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 82-83

(7)

B. Proses Tranformasi Menjadi UIN

Dikotomi pendidikan adalah terpisahnya sains agama dan sains umum baik itu secara kelembagaan, pendidikan formal maupun nonformal. Melirik dan membaca sejarah sejak awal pasca kemerdekaan, pemerintah sudah mencoba melakukan pengupayaan integrasi pendidikan agama dan pendidkan umum. Keinginan ini terlihat jelas dari upaya pemerintah untuk menghindari terjadinya dualisme dalam pengelolaan pendidikan.13

Meskipun pada akhirnya upaya itu mengalami penolakan kaum muslimin. Pemerintah terus berupaya untuk melakukan pembaharuan pendidikan dengan melakukan perubahan-perubahan kebijakan. Namun meskipun demikian tetap saja berimplikasi pada kontroversi dan penolakan dikalangan muslim. Sebagai contoh, keluarnya SKB Tiga menteri tahun 1975, yang menyatakan ijasah madrasah sederajat dengan ijasah sekolah umum dengan konsekwensi madrasah mengubah porsi mata pelajaran agama yang tadinya 100% menjadi 30% dan sisanya menjadi pelajaran umum.14

Bagaimanapun upaya pemerintah untuk melakukan integrasi tersebut, sebagian penelitian kontemporer seperti M. Amin Abdullah melihat bahwa dikotomi itu masih berlangsung, meskipun beliau mengakui dalam kurun waktu 1998-2005 ketegangan tersebut semakin berkurang. Seperti yang diketahui fenomena ketegangan atau tension yang terjadi antara ilmu pengetahuan dan agama sudah sejak lama terlihat. Dimana kedua disiplin tersebut ibarat dua jalan yang sudah dijustifikasi oleh masyarakat sebagai dua hal yang tak bisa

dipertemukan. Sehingga lahir frame konseptual agama dengan pemecahan kongsi dan fungsi serta peranan yang semakin menguatkan perbedaan tersebut. Seperti halnya, fiqh, hadist dan akidah. Lalu kemudian disiplin ilmu tersebut di anggap sudah cukup menjadi representasi sektor agama yang menyangkut pada ranah-ranah yang berkorelasi dengan wilayah ketuhanan. Sehingga apapun yang tereliminasi dari disiplin agama dianggap sebagai disiplin umum.15

13 Fuad Jabali, Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 70

14 Fuad Jabali, Jamhari, IAIN... hlm. 71-72

(8)

Menuju usianya yang hampir mencapai enam dekade, perjalanan IAIN telah banyak mengalami perkembangan. Kelembagaan itu tersebar hampir di seluruh Indonesia, alumni yang dihasilkan telah mencapai puluhan ribu, kiprahnya pun beragam mulai di bidang pemerintahan (pegawai negeri), didang kemasyarakatan hingga sektor informal lain. Penyebaran IAIN dewasa ini hampir telah menyentuh seluruh pelosok tanah air. Menurut data terakhir (2010), jumlah UIN ada 6 buah, IAIN sebanyak 14 buah dan STAIN berjumlah 32 buah (dua diantara STAIN itu berada di Jayapura, Papua dan Sorong, Papua Barat).

Kelahiran institusi pendidikan tinggi Islam dalam bentuk universitas, dalam sejarahnya tidak lepas dari helatan Konferensi Islam Internasional. Dauly, dalam Imam Suprayogo, menjelaskan bahwa setelah gelaran Konferensi Islam

Internasional pertama pada tahun 1970 lahirlah Islamic International University

Kuala Lumpur Malaysia. Kelahiran perguruan tinggi itu dipandang perlu karena disesuaikan dengan semangat hasil konferensi yang mengidamkan berdirinya perguruan tinggi yang mampu mengintegrasikan konsep ilmu dan Islam. Pembagian ilmu menurut pandangan Islam dibagi menjadi dua yaitu perennial knowledge dan acquired knowledge. Dalam konferensi diatas, dijelaskan pula bahwa untuk bisa mengaplikasikan keduanya, tidak boleh tidak harus melalui sarana universitas. Karena universitaslah yang pada prinsipnya mengembangkan seluruh objek ilmu pengetahuan baik yang tergolong perennial knowledge

maupun acquired knowledge. Dengan demikian, lahirlah universitas

internasioanal Islam pertama di Malaysia yang mengajarkan kedua golongan ilmu itu sekaligus.16

Azyumardi Azra memandang bahwa IAIN harusnya menjadi tidak hanya mengajarkan ilmu agama saja. Saat menjadi orang nomor satu di IAIN Jakarta, Azra membawa misi pengembangan IAIN menjadi perguruan tinggi yang tidak hanya mengajarkan dan menjadi pusat pengembangan ilmu agama. Akan tetapi juga ilmu humaniora, ilmu sosial, dan ilmu eksakta melalui konsep transformasi atau konversi IAIN ke UIN. Apabila IAIN menjadi Universitas Islam Negeri

(9)

(UIN) diharapkan ketiga bidang ilmu tersebut akan dikembangkan secara

seimbang atau bahkan integralistik antara ilmu profan dan ilmu agama tersebut.17

Perubahan IAIN menjadi UIN juga dilakukan oleh tokoh lain yaitu Imam Suprayogo. Sosok yang satu ini memandang bahwa niat mengubah IAIN menjadi UIN berangkat dari setidaknya empat persoalan yaitu perumusan konsep

Universitas Islam berikut kerangka ilmu yang dikembangkan, membangun konsolidasi internal, penyesuaian proses administrasi terutama terkait perizinan dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang diperlukan.18

C. Tantangan UIN di Masa Depan

Salah satu tantangan bagi UIN (dan juga perguruan tinggi keagamaan lain) adalah masyarakat menginginkan alumni IAIN, STAIN atau UIN tidak hanya memahami doktrin Islam. Lebih dari itu juga melaksanakan -bahkan mampu menjadi pemimpin- dalam ibadah mahdlah dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Dalam shalat berjamaah misalnya, mahasiswa atau alumni IAIN, STAIN atau UIN diharapkan mampu menjadi imam; dalam kegiatan sosial keagamaan, mahasiswa atau alumni IAIN, STAIN atau UIN diharapkan mampu membaca doa dan seterusnya. Masyarakat memandang bahwa bidang-bidang kegiatan tersebut merupakan otoritas IAIN, STAIN atau UIN.19

Harapan peran (role expectation) tersebut sudah melekat, bahkan seakan menjadi jati diri IAIN, STAIN atau UIN. Lebih jauh masyarakat membuat asumsi bahwa setiap mahasiswa atau alumni IAIN, STAIN atau UIN adalah pribadi-pribadi yang taat menjalankan ibadah dengan ‘baik dan teratur serta berakhlak mulia’. Mereka akan merasa aneh dan janggal bila menemukan mahasiswa atau alumni IAIN, STAIN atau UIN tidak mampu menjalankan peran yang mereka harapkan. Hal ini juga merupakan indikasi bahwa masyarakat tidak banyak mengetahui IAIN, STAIN atau UIN sebagai lembaga akademis dengan berbagai fakultas dan jurusan yang tidak selamanya mencetak ulama.

Harapan peran semacam ini tidak hanya datang dari masyarakat, tapi muncul pula di kalangan tokoh agama dan organisasi-organisasi keagamaan.

17 Ninik Masruroh, Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam ala Azyumardi Azra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 157

18 Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, (Malang: UIN Press, 2009), hlm. 43

(10)

Mereka berharap lulusan IAIN, STAIN atau UIN muncul menjadi kader-kader pemimpin umat ataupun ulama muda dan organisator. Mereka menginginkan agar mahasiswa atau alumni IAIN, STAIN atau UIN mempunyai kemampuan untuk menggerakkan berbagai lembaga dan organisasi Islam baik bidang dakwah, kemasyarakatan, ekonomi, maupun politik.

Selain itu, dari sisi kelembagaan, tantangan datang pula dari lingkungan sekitar, dalam lingkup yang lebih luas. Lingkungan sekitar dimaksud adalah persaingan dengan perguruan lain di sektor regional, nasional hingga lintas negara. Persaingan dari waktu ke waktu semakin terasa ketat, terbaru adalah terjalinnya kerjasama tingkat ASEAN atau dikenal dengan AUN-QA (ASEAN University Network-Quality Assurance), dengan Indonesia sebagai salah satu anggotanya.

Beberapa alasan mengikuti AUN-QA ini diantaranya: (1) AUN bukan akreditasi, tetapi sertifikasi berupa assesment process untuk mendapatkan umpan balik (feedback) posisi program studi (prodi) terhadap standar AUN, (2) AUN-QA disusun mengacu ke standar akreditasi internasional, (3) bertujuan untuk

meningkatkan atau menyamakan kualitas standar universitas di lingkungan ASEAN, (4) untuk kemudahan proses credit transfer diantara para mahasiswa anggota AUN yang prodinya telah di-asses oleh AUN-QA, (5) jembatan untuk menuju level internasional, dan (6) untuk meningkatkan kesadaran mutu.20

3. Penutup

20 Muh. Yunus, “Reorientasi Kampus menuju World Class University”, Zaenal Habib (ed.),

(11)

Hadirnya lembaga tinggi Islam semisal IAIN, STAIN, dan UIN merupakan kabar gembira bagi pendidikan Islam. Hadirnya lembaga tersebut mengemban amanah untuk memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat perkembangan dan pendalaman ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Disamping tujuan ideal untuk memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat perkembangan dan

pendalaman ilmu pengetahuan tentang agama Islam, dibentuknya PTAIN (IAIN, STAIN, dan UIN) tidak lepas dari tujuan praktis yaitu untuk memenuhi dan mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam. Dapat

dimaklumi bahwa pada ketika itu telah banyak lulusan sekolah tingkat menengah atau madrasah yang belum tersalurkan minat studi mereka ke perguruan tinggi disebabkan belum berdirinya lembaga semacam PTAIN. Selain itu, sebelum berdirinya PTAIN, masyarakat Indonesia yang ingin memperdalam ilmu

pengetahuan keagamaan mesti berangkat ke luar negeri seperti Mesir atau Saudi Arabia. Selain itu berdirinya PTAIN membawa harapan untuk bisa menjadi pusat pengembangan ilmu-ilmu keislaman

Dalam perjalanannya, senantiasa muncul harapan dan tantangan. Salah satu tantangan bagi UIN (dan juga perguruan tinggi keagamaan lain) adalah

masyarakat menginginkan alumni IAIN, STAIN atau UIN tidak hanya memahami doktrin Islam. Lebih dari itu juga melaksanakan -bahkan mampu menjadi

pemimpin- dalam ibadah mahdlah dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Harapan peran semacam ini tidak hanya datang dari masyarakat, tapi muncul pula di kalangan tokoh agama dan organisasi-organisasi keagamaan. Mereka berharap lulusan IAIN, STAIN atau UIN muncul menjadi kader-kader pemimpin umat ataupun ulama muda dan organisator.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)

Amril Mansur, et al, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: UI Press, 2004)

Fuad Jabali, Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2002)

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009)

Husni Rahim, “IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia”, Komaruddin Hidayat (ed.), Problem dan Prospek IAIN, (Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI, 2000)

Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, (Malang: UIN Press, 2009)

Imam Suprayogo, Rasmianto, Perubahan Pendidikan Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN, (Malang: UIN-Malang Press, 2008)

Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, (Bogor: al Manar Press, 2011)

M. Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi”, Komaruddin Hidayat (ed.), Problem dan Prospek IAIN, (Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI, 2000)

Muh. Yunus, “Reorientasi Kampus menuju World Class University”, Zaenal Habib (ed.), Reorientasi Tradisi Perguruan Tinggi Islam, (UIN Press, 2014)

Munawir Sjadzali. “Dari Lembah Kemiskinan”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.),

Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA

(Jakarta: Paramadina, 1995)

Ninik Masruroh, Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam ala Azyumardi Azra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)

Ronald A. Lukens-Bull, Islamic Higher Education in Indonesia, (New York: Palgrave McMillan, 2013)

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) di kelas V SDN 89 Pekanbaru kualitas pembelajarannya membaik dilihat dari aktivitas guru yang mengalami

Karena saat ini Saya tidak memegang kartu seperti apa yang guru Saya berikan pada Saya, maka Saya akan membimbing Anda dengan cara yang berbeda.. Silakan

- mencari ciri-ciri bapak/Ibu yang ber-SES rendah Jika hasil penelitian menunjukkan siswa yang orang- tuanya “ the have ” prestasinya lebih tinggi, apa saran yang akan diberikan?

Tujuan penelitian ini adalah membangun Sistem Informasi Billing Rumah Sakit Berbasis Web yang diharapkan dapat diterapkan pada proses pendaftaran, pemeriksaan dan

Investor yang menjadi pemegang saham lama memiliki hak istimewa untuk membeli saham baru pada harga yang telah ditetapkan dengan menukarkan right yang dimilikinya.. Hak

A 85.01-100 Merupakan perolehan mahasiswa superior, yaitu mereka yang mengikuti perkuliahan dengan sangat baik, memahami materi dengan sangat baik bahkan tertantang untuk

Dalam salah satu putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI Nomor 608K/AG/2003 menyebutkan dalam alasan hukumnya bahwa kewajiban seorang ayah untuk memberi

Penggunaan video pembelajaran IPA umumnya sangat diminati oleh semua siswa MIN Kroya, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan terhadap 27 responden yang