BAB I PENDAHULUAN
Hukum pidana materil yang berarti isi atau substansi hukum pidana. Hukum pidana formil adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu.
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa larangan-larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana.
3. Menentukan dengan cara bagaiman pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.
Menurut pendapat Enschede-Heijder hukum pidana dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Ilmu hukum pidana sistematik (hukum pidana – hukum pidana materiil, hukum acara pidana – hukum pidana formil)
2. Ilmu hukum pidana beradasarkan pengalaman (kriminologi, kriminalistik, psikiatris forensik dan psikologi forensik, sosiologi hukum pidana)
3. Filsafat hukum pidana
Hukum pidana dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus (hukum pidana ekonomi, hukum pidana fiskal dan hukum pidana militer.
BAB II
SEJARAH SINGKAT HUKUM PIDANA DI INDONESIA Sejarah hukum pidana di Indonesia dibagi menjadi 4:
1. Zaman VOC
2. Zaman Hindia Belanda
Pada masa ini hukum adat pidana berlaku selama tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui dan perintah-perintah dan undang-undang dari pemerintah. Kodifikasi hukum pidana terjadi dengan adanya Criminel Wetboek voor het Koninglijk Holland yang memuat ciri modern antara lain:
a. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemberiaan pidana
b. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja c. Penghapusan perampasan umum
3. Zaman pendudukan Jepang
Pada masa ini terjadi banyak perubahan pada hukum acra pidana kerena terjadi unifikasi acara dan susunan peradilan, meskipun WvSI tetap berlaku.
4. Zaman kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan pelaksana hukum masih menggunakan Wetboek van Shafrecht(KUHP) pada masa Belanda yang mengalami penambahan-penambahan.
BAB III
TEORI TEORI TENTANG HUKUM PIDANA
Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik. Dalam rancangan KUHP telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana yaitu:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat
2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna
BAB IV
RUANG LINGKUP KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA A. Asas Legalitas
Asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin: “nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang berarti “tidak ada delik, tidak ada pidana. Asas legalitas tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi “ Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Istilah feit dapat juga diartikan “peristiwa”, karena dengan istilah tersebut meliputi baik perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun mengabaikan sesuatu yang diharuskan. Moeljtno menulis bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang
2. Untuk menetukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
B. Penerapan Analogi
Menurut pendapat Hazewinkel-Suringa penerapan analogi itu relatif, karena ditolak penciptaan hukum pidana baru oleh hakim pidana dengan sarana analogi, tetapi tidak keberatan jika hakim menciptakan hukum baru in bonam partem. Bentuk analogi yang dilarang adalah analogi diciptakan delik-delik baru dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP. Penerapan analogi menurut Pompe jika ditemukan adanya kesenjangan di dalam undang-undang yang tidak dipikirkan (hal-hal yang dilupakan) atau tidak dapat dipikirkan
(hal-hal baru) oleh pembuat undang-undang dan karena itu undang-undang tidak merumuskan lebih luas sehingga meliputi hal-hal itu di dalam teksnya.
C. Hukum Peralihan
Asas dasar bahwa hukum pidana tidak berlaku surut sebagaimna tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dibatasi dengan pengecualian yang terdapat pada ayat 2 pasal itu. Hal itu bertujuan untuk melindungi kepentingan orang-orang dari perbuatan sewenang-wenang penguasa. Kemungkinan berlakunya undang-undang baru merupakan pengeculian juga dari asas yang berlaku umum bahwa undang-undang yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan yang diterapkan.
I. Asas Teritorialitas Atau Wilayah
Hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas wilayah ini menunjukan, bahwa siapa pun yang melakukan delik di wilayah negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Berlakunya hukum pidana berdasarkan wilayah dibatasi oleh hukum internasional. Imunitas artinya tidak berlakunya hukum pidana (Indonesia) bagi mereka yang sedang berada di Indonesia. Yang mendapat imunitas ini adalah kepala negara dan keluarganya, duta negara asing dan keluarganya, anak buah kapal perang asing dan pasukan negara sahabat.
II. Asas Nasionalitas Pasif atau Asas Perlindungan
Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu egara berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar di luar di luar wilayah kekuasaan negara itu.
III. Asas Personalitas
Asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Jadi hukum pidana Indonesia mengikuti warganegaranya kemanapun ia berada.
IV. Asas Universalitas
Asas ini melihat hukum pidana berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan ruang orang. Jenis kejahatan yang diancam pidna asas ini merupakan kejahatan yang perlu dicegah dan diberantas.
E. Hukum Pidana Supranasional
Hukum nasional supranasional pada dasarnya ditentukan dalam hukum bangsa-bangsa yang terdiri dari perjanjian-perjanjian tertutup antar negara dan juga tidak tertutup dari kebiasaan-kebiasaan dan asas-asas yang bersifat hukum bangsa-bangsa.
BAB V
INTERPRETASI UNDANG-UNDANG PIDANA
Pelaksanaan peradilan pidana memiliki beberapa faktor menurut Hermann Mannheim. Faktor-faktor itu, ialah pertama teknik legislatif yang digunakan untuk merancang suatu undang-undang pidana; yang kedua ialah metode interpretasi yang akan dipergunakan oleh mereka yang dipercayakan melaksanakan peradilan pidana; ketiga ialah sifat dan latihan pelaksanaan ini; keempat ialah sifat pemulihan hukum yang menentukan terjaminnya
Pasal 27 UU Pokok Kehakiman mengatakan, bahwa “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Hakim menggali hukum yang hidup di dalam masyarakat tidak dapat dipakai untuk menciptakan hukum melalui analogi, namun melalui interprestasi, hakim dapat menerapkan hukum pidana sesuai hukum yang hidup di masyarakat melalui yurisprudensi. Ada beberapa jenis interpretasi undang-undang pidana antara lain:
1. Interpretasi gramatika adalah penafsiran berdasarkan kata-kata undang-undang 2. Interpretasi sistematis adalah penafsiran berdasarkan kepada hubungan secara
umum suatu aturan pidana
3. Interpretasi historis adalah penafsiran berdasarkan pada maksud pembuat undang-undang ketika diciptakan
4. Interpretasi teologis adalah penafsiran mengenai tujuan undang-undang 5. Interpretasi ekstensif adalah penafsiran luas
BAB VI
PERBUATAN DAN RUMUSAN DELIK
Hukum pidana Indonesia mengikuti hukum pidana Belanda menggunakan istilah strafbaar feit yaitu perbuatan pidana. Tetapi A.Z Abidin mengusulkan istilah padanannya yaitu delik. Delik (strafbaar feit) adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Delik dapat dibedakan atas berbagai pembagian tertentu, sebagai berikut:
1. Delik kejahatan dan delik pelanggaran 2. Delik material dan delik formil
3. Delik komisi dan delik omisi
4. Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan 5. Delik selesai dan delik berlanjut
6. Delik tunggal dan delik berangkai 7. Delik bersahaja dan delik berkualifikasi 8. Delik sengaja dan delik kelalaian 9. Delik politik dan delik umum
10.Delik-delik juga dapat dibagi atas kepentingan hukum yang dilindungi, seperti delik terhadap keamanan negara, delik terhadap orang, delik kesusilaan, dan lain-lain 11.Untuk Indonesia, menurut KUHAP Pasal 284, dikenal pula delik umum dan delik
BAB VII
KESALAHAN DALAM ARTI LUAS DAN MELAWAN HUKUM
Kesalahan dalam arti luas meliputi sengaja, kelalaian dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketiganya merupakan unsur subyektif syarat pemidanaan.
A. Sengaja
Sengaja berarti kehendak yang disadari yang ditunjukan untuk melakukan kejahatan tertentu.
B. Kelalaian (culpa)
Van Hamel membagi culpa atas dua jenis yaitu kurang hati-hati dan kurang melihat ke depan yang perlu.
C. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana
Dalah pengertian hukum pidana dapat disebut ciri atau unsur kesalahan dalam arti yaitu:
1. Dapat dipertanggung jawabkan pembuat
2. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapat dipertanggungjawabkan suatu perbuatan kepada pembuat
3. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan yang adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit
D. Melawan Hukum
Melawan hukum formil diartikan bertentangan dengan undang-undang apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik.
E. Subsosialitas
Subsosialitas adalah tingkah laku yang penting dalam hukum pidana jika perbuatan
BAB VIII
DASAR PENIADAAN PIDANA
Dasar peniadaan pidana terjadi jika suatu perbuatan ternyata berdasarkan keadaan tertentu tidak dapat dipidana, tuntutan penuntut umum tetap dapat diterima. Van Hamel menunjukan tiga pengertian perbuatan (fiet):
1. Perbuatan terjadi kejahatan
2. Perbuatan-perbuatan yang didakwakan
3. Perbuatan-perbuatan materil
Dasar peniaaan pidana dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang tercantum di dalam undang-undang dan yang lain terdapat di luar undang-undang di perkenalkan oleh doktrin dan yurisprudensi.
BAB IX
TEORI-TEORI TENTANG SEBAB-AKIBAT
Terjadinya delik atau actus reus hanya ada pada delik yang mensyaratkan sebab-akibat yaitu delik materil (misalnya pembunuhan dan penipuan) dan delik culpa (misalnya karena kelalaiannya mengakibatkan kematian orang lain). Hubungan sebab-akibat akan selalu
ditemui dalam setiap kejadian atau peristiwa hidup.
Teori yang menggeneralisasi sebab-akibat dibagi menjadi tiga:
1. Teori adaequaat dari Von Kries
Von Kries berpendapat bahwa perbuatan harus sebanding dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapt diramalkan dengan pasti oleh pembuatnya.
2. Teori obyektif dari Rumeling
3. Teori adaequaat dari Traeger
Traeger berpendapat bahwa akibat delik pada umumnya dapat di sadari sebagai suatu yang mungkin dapat terjadi.
BAB X
DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN DAN PELAKSANAAN PIDANA
Apabila terdapat dasar peniadaan pidana penuntut umum melakukan penuntutan, maka putusannya mestinya lepas dari segala tuntutan hukum. Sebaliknya, jika ada dasar peniadaan penuntutan, penuntut umum tetap menuntut, maka putusannya ialah tuntutan jksa tidak dapat diterima. Dasar peniadaan penuntutan terdiri atas:
I.Tidak ada pengaduan pada delik aduan
II. Tidak dua kali penuntutan atas orang dan perbuatan yang sama III. Terdakwa meninggal dunia
IV. Lewat waktu (verjaring) V. Penyelesaian di luar pengadilan VI. Terdakwa berumur di bawah 18 tahun
Dasar peniadaan pelaksanaan pidana ada dua yaitu terpidana meninggal dunia dan lewat waktu (verjaring).
BAB XI
HUKUM PENETENSIER
Pidana dan tindakan (maatregel) termasuk sanksi dalam hukum pidana. Tindakan dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat dan memberbaiki pembuat, seperti pendidikan paksa, pengobatan paksa, memasukkan ke dalam rumah sakit jiwa dan mnyerahkannya pada orang tua. Disamping sanksi yang disebut dalam hukum pidana biasa, juga dikenal sanksi lain seperti ganti kerugian dan juga akubat perdata yang lain.
perampasan barang-barang tertentu; pengumuman keputusan hakim. Tindakan berbeda dengan pidana, tindakan bertujuan melindungi masyarakat sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi kepada pelaku suatu perbuatan.
Pidana bersyarat terikat pada Pasal 10 KUHP, hanya saja batas pidana itu tidak akan lebih satu tahun kurungan. Dalam pidana bersyarat dikenal syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum ialah terpidana bersyarat tidak akan melaksanakan delik apapun dalam waktu yang ditentukan, sedangkan syarat khusus ditentukan oleh hakim. Di samping pidana bersyarat dikenal juga pelepasan bersyarat. Perbedaannya ialah pada pidana bersyarat terpidana pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar syarat umum atau khusu yang ditentukan hakim, sedangkan pada pelepasan bersyarat, terpidana harus telah menjalani pidananya paling kurang 2/3nya. Keputusan untuk memberikan pelepasan bersyarat