• Tidak ada hasil yang ditemukan

Outsourcing dan UU Anti Monopoli (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Outsourcing dan UU Anti Monopoli (1)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

UNDANG-UNDANG RI NOMOR 5 TAHUN 1999

Pelaksanaan suatu strategi bisnis perlu dicermati agar tetap sesuai dengan peraturan yang ada dalam negara bersangkutan. Demikian pula pelaksanaan strategi outsourcing tidak terkecuali, termasuk pelaksanaannya di Indonesia. Strategi outsourcing itu sendiri, sebetulnya sejauh menyangkut pelaksanaan sebagai jenis kontrak jasa, tidaklah unik dan tidak memerlukan suatu

perhatian khusus, meskipun tentu saja t e t a p t u n d u k p a d a p e r u n d a n g -undangan yang berlaku, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun dalam hal disangkutkan dengan strategi kemitraan bisnis seperti disebutkan di atas, diperlukan suatu p e r h a t i a n k h u s u s a t a u d e n g a n perkataan lain suatu penyiasatan khusus, agar tidak melanggar undang-undang yang ada. Hal ini sehubungan dengan dikeluarkannya ketentuan baru, yaitu Undang-Undang RI Nomer 5 Tahun 1999 tanggal 5 Maret 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Strategi kemitraan bisnis yang menganut faham satu pemasok untuk satu jenis barang dengan hubungan bisnis jangka panjang, secara potensial dapat diartikan sebagai monopoli atau praktek persaingan tidak sehat. Meskipun dalam manajemen pembelian dapat dibedakan antara pemasok satu-satunya (sole supplier) dan pemasok yang hanya satu (single supplier), namun di mata hukum mungkin sulit untuk dibedakan. Seperti sudah dijelaskan, sole supplier ialah keadaan dimana memang sumber pembelian hanya ada satu-satunya di suatu kawasan atau bahkan di seluruh dunia, sedangkan single supplier ialah pemasok yang hanya satu, tetapi dipilih secara terencana dan sengaja dengan suatu cara dan sistem tertentu, diantara sekian banyak pemasok yang ada, untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan strategis. Dari segi manajemen pembelian, sole supplier memang hal yang harus dihindari sedapat mungkin, sedangkan single supplier, justru makin banyak dipraktekkan oleh perusahaan kelas dunia, dengan tujuan memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu. Undang-undang atau peraturan yang bernafaskan anti monopoli atau anti perdagangan tidak sehat tentunya juga dimiliki oleh negara-negara lain khususnya negara yang sudah berkembang, dan bersamaan dengan itu pula, praktek kemitraan bisnis juga berkembang pesat di negara-negara tersebut sehingga sesungguhnya, praktek kemitraan bisnis tidak bertentangan dengan semangat anti monopoli dan anti perdagangan tidak sehat. Di Amerika Serikat misalnya ada Sherman Act, Clayton Act, Robinson-Patman Act, dan Federal Trade Commision Act. Hanya saja karena peraturan perundangan tersebut di Indonesia masih baru dan praktek kemitraan bisnis di Indonesia juga secara relatif masih baru, sehingga seperti telah disebutkan di atas, mengandung potensi ‘pertentangan’ apabila salah mempraktekkan atau salah menginterpretasikan.

Outsourcing dan UU Anti Monopoli

oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - indrajit@post.harvard.edu

EKOJI

999

Nomor 410, 23 Oktober 2013

(2)

Secara umum, materi dari Undang-Undang tersebut mengandung 6 bagian pengaturan yang terdiri dari :

1. perjanjian yang dilarang; 2. kegiatan yang dilarang; 3. posisi dominan;

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha; 5. penegakan hukum;

6. ketentuan lain-lain.

Dalam Undang-undang tersebut, yang dianggap sebagai persaingan usaha tidak sehat disamping monopoli ialah oligopoli, monopsoni, oligopsoni, trust, pemboikotan, perjanjian tertutup, penguasaan pasar, persekongkolan, pemboikotan dan sebagainya, namun dengan persyaratan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat, seperti dirumuskan dalam pasal 1, ialah :

‘Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.’

PENGERTIAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Di atas telah disebutkan, apa-apa saja yang dimaksud dengan perdagangan tidaks ehat menururt Undang-Undang Nomer 5 tahun 1999 tersebut. Marilah kita tinjau satu persatu secara singkat. Monopoli

Mengenai monopoli, Pasal 17 dari Undang-Undang tersebut memberikan ketentuan sebagai berikut.

1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila :

a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya; b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau

c. satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (limapuluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Bandingkan dengan beberapa definisi lain sebagai berikut ini. Dalam Black’s Law Dictionery, monopoli diartikan sebagai :

‘a privilage or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity’

(3)

‘Monopoly as prohibited by Section 2 of the Sherman Antitrust Act, has two elements :

1. posession of monopoly power in relevant market, 2. willful acquisition of maintenance of that power.’

Dengan demikian ada perbedaan yang cukup menarik antara UU Nomor 5/1999 dan Sherman Act dimana monopoli dalam UU Nomor 5/1999 tersebut lebih dititik beratkan pada adanya monopoli sedangkan Sherman Act lebih menonjolkan terjadinya monopoli yaitu ada kehendak (willful). Artinya dalam Sherman Act dimungkinkan adanya monopoli yang terjadi bukan atas kehendak atau kesengajaan pelaku, tetapi karena tidak ada orang atau badan lain yang mau atau mampu menghasilkan barang atau jasa yang dimaksud. Dalam praktek jenis monopoli seperti ini cukup banyak terjadi, khususnya karena penguasaan teknologi khusus. Kalau dalam UU Nomer 5/1999, jenis monopoli seperti ini dilarang, lalu bagaimana jalan keluarnya ? Agaknya, menurut pendapat penulis, pengertian Sherman Act ini lebih masuk akal.

Mengenai ayat (2) yang mencantumkan batas 50% sebagai penguasaan produksi atau pemasaran agaknya bertentangan dengan definisi monopoli itu sendiri dan menimbulkan pertanyaan besar. Apakah kalau misalnya ada satu penjual yang menguasai pangsa pasar 51% dan ada ribuan penjual lain yang menguasai sisa 49% dianggap sebagai keadaan atau praktek monopoli ? Apakah Pertamina, PLN atau Perusahaan Gas Negara dianggap melanggar Undang-Undang Nomer 5/1999 tersebut di atas ? Sangat menarik bahwa di perundangan Amerika Serikat, dikenal dan dibedakan apa yang disebut legal monopoly dan natural monopoly.

Legal monopoly. Exclusive right granted by governmental unit to business to provide such services as electric and telephone service. The rates and services of such utilities are in turn regulated by the government.

Natural monopoly. A natural monopoly is one resulting where one firm of efficient size can produce all or more than market can take at remunerative price. For example a market for a particular product may be so limited that it is impossible to profitably produce such except by a single plant large enough to supply the whole demand.

Jelas bahwa monopoli yang termasuk jenis seperti di atas tidak dianggap melanggar undang-undang.

Oligopoli

Pasal 4 mencantumkan pengertian dan larangan mengenai oligopoli sebagai berikut ini. 1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain

untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama - sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa lain, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

(4)

‘Oligopoly is an economic condition where only a few companies sell substantially similar or standardized products’

Kalau kita perhatikan, yang dilarang sebetulnya bukan keadaan oligopoli itu sendiri, tetapi oligopoli yang membuat perjanjian sehingga mengarah menjadi monopoli, sehingga yang dilarang sebetulnya adalah monopolinya. Jadi dengan perkataan lain, yang dilarang ialah ‘kehendak’, bukan keadaan, sehingga berlainan dengan konsep monopoli seperti disebutkan di atas, dan lebih mirip dengan ketentuan monopoli di Sherman Act. Dengan demikian, pelaku oligopoli yang tidak melakukan kerja sama atau perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan suatu monopoli, tetapi persaingan oligopolistik, menurut Undang-Undang tersebut, seharusnya tetap boleh. Ketentuan mengenai oligopoli ini lebih masuk akal.

Monopsoni

Mengenai monopsoni, pasal 18 Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut.

1. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan yang tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (limapuluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Bandingkan pengertian monopsoni sebagaimana dicantumkan dalam Black’s Law Dictionery sebagai berikut ini.

‘Monopsony is a condition of the market in which there is but one buyer for a particular commodity’

Kalau kita perhatikan, yang diatur dalam Undang-Undang tersebut tidak jelas, yaitu ‘kehendak’ atau ‘keadaan’ pembeli yang demikian. Lagipula, seperti pada definisi monopoli, batas 50% bertentangan dengan definisi monopsoni itu sendiri dan menimbulkan pertanyaan besar ? Apakah misalnya ada satu pembeli A menguasai pembelian 51% dan ada ribuan pembeli lain yang mencakup sisanya yang 49% dapat disebut sebagai keadaan dan praktek monopsoni ?

Oligopsoni

Mengenai oligopsoni, Undang-Undang tersebut memuat ketentuan paada pasal 13 sebagai berikut ini.

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(5)

Disini secara jelas yang dilarang ialah ‘kehendak’ para pelaku oligopsoni yang mengakibatkan terjadinya monopoli, bukan keadaan oligopsoni itu sendiri. Dengan lain perkataan tentunya para pelaku oligopsoni yang tidak membuat perjanjian untuk mengarah pada keadaan monopoli, menurut Undang-Undang ini, tidak dilarang.

Trust

Pasal 12 Undang-Undang ini mengatur mengenai trust, yang berbunyi sebagai berikut ini. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain

untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

Dalam Black’s Law Dictionery, trust dirumuskan sebagai berikut ini :

‘Trust is an association or organization of persons or corporations having the intention and power, or the tendency, to create monopoly, control production, interfere with the free course of trade or transportation, or to fix and regulate the supply and the price of commodities.’

Kartel

Dalam pasal 11 Undang-Undang tersebut, kartel dicantumkan dan diatur sebagai berikut ini. ‘Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha

saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.’

Bandingkan definisi kartel dalam Black’s Law Dictionery yang dituliskan sebagai berikut ini.

‘Cartel is a combination of producers of any product joined together to control its production, sale and price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in any particular industry or commodity.’

Persekongkolan

Dalam pasal 22, 23 dan 24 Undang-Undang tersebut, diatur mengenai persengkongkolan sebagai berikut.

Pasal 22. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 23. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pasal 24. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain

(6)

dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

Pemboikotan

Mengenai hal ini, pasal 10 Undang-Undang tersebut mengatur dengan ketentuan sebagai berikut. 1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha

pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :

a. merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain; atau

b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.

Integrasi vertikal

Mengenai hal ini, pasal 14 Undang-Undang di atas mengatur dengan ketentuan sebagai berikut. ‘Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain

yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.’

Pembagian Wilayah

Pasal 9 Undang-Undang tersebut mengatur dan melarang pula pembagian wilayah pemasaran yang mengakibatkan suatu monopoli. Pasal 9 tersebut berbunyi sebagai berikut.

‘Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.’

Perjanjian Tertutup

Pasal 15 Undang-Undang tersebut mengatur secara agak panjang mengenai larangan terhadap perjanjian tertutup sebagai berikut.

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

(7)

3. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok :

a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau

b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Dengan ketetapan tersebut agaknya barter atau countertrade dilarang, baik dengan potongan harga maupun tidak.

Penetapan Harga

Mengenai penetapan harga, ada beberapa praktek yang dilarang oleh Undang-Undang tersebut di atas, seperti tertulis pada pasal 5, 6, 7, dan 8.

Pasal 5 1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi :

a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau

b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

Pasal 6 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.

Pasal 7 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah pasar ; yang pengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 8 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU adalah lembaga yang diberi tugas untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomer 5/1999 tersebut. Lembaga ini bersifat independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan baik Pemerintah maupun pihak lain. Komisi ini langsung bertanggung jawab kepada Presiden.

(8)

1. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, 2. melakukan penilaian terhadap tindakan usaha dan atau pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,

3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalah

gunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,

4. mengambil tindakan sesuai dengan kewenangan yang ada, 5. memberikan saran dan pertimbangan terhadap Komisi kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,

6. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang nomer 5/1999,

7. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

IMPLIKASI UU RI NO.5/1999 PADA OUTSOURCING

Kalau melihat seluruh aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomer 5/1999 tersebut, secara eksplisit tidak ada larangan mengenai outsourcing dengan kemitraan. Hanya perlu diwaspadai bahwa dalam pemilihan mitra, haruslah sedemikian rupa sehingga tetap terjadi persaingan yang sehat. Persaingan yang sehat yang dimaksud disini dalam memilih mitra usaha, yang biasanya berlangsung dalam waktu yang lama, misalnya dapat ditempuh dengan cara-cara sebagai berikut.

1. Melalui cara lelang dengan penjelasan lengkap seperti :

a. Jangka waktu panjang yang dimaksud, misalnya 3 atau 5 tahun. b. Maksud kemitraan.

c. Persyaratan yang diperlukan secara lengkap. d. Cara-cara penilaian tender.

e. Cara-cara perhitungan harga kontrak.

f. Cara pemantauan kinerja selama menjadi mitra. g. dan sebagainya.

dimana semua pemasok yang memenuhi syarat tertentu harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengikuti tender.

2. Melalui cara-cara pemilihan pemasok secara bertahap, misalnya : a. Pemasok baru diberi status ‘kandidat’

b. Setelah beberapa waktu lamanya, dengan suatu penilaian tertentu, dapat meningkat menjadi pemasok ‘mampu’

c. Setelah beberapa waktu menjadi pemasok ‘mampu’, dengan suatu penilaian tertentu, ditingkatkan menjadi pemasok ‘unggul’

d. Setelah beberapa waktu menjadi pemasok ‘unggul’, dengan suatu metode penilaian tertentu yang lebih ketat, dapat menjadi pemasok ‘mitra’

Setiap tahapan, pemasok dapat diberikan sertifikat yang sesuai. Pemasok kandidat misalnya sesudah waktu tertentu harus mencapai sekurang-

kurangnya pemasok ‘mampu’, dan jika tidak maka dapat dikeluarkan sebagai pemasok.

(9)

masih perlu dikaji apakah memang demikian karena seringkali, interpretasi mereka kadang-kadang lain dari yang diperkirakan orang sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Pernyataan tersebut sejalan dengan data yang didapatkan, dimana kemampuan reaching out para kepala keluarga yang menjadi banjir ini berada pada kategori dibawah

[r]

Unjuk kerja menuliskan pokok-pokok informasi yang berkaitan dengan pengaruh perubahan cuaca terhadap kegiatan manusia PPKn 1.4 2.4 3.4 4.4 Menjelaskan dan menuliskan Pentingnya

Berlainan dengan hubungan yang menyatakan hubungan perluasan pada kalimat majemuk setara yang memakai dan , hubungan perluasan memakai tetapi menyatakan bahwa

Lingkungan umum adalah suatu lingkungan dalam lingkungan eksternal organisasi yang menyusun faktor-faktor yang memiliki ruang lingkup luas dan faktor-faktor tersebut

Lewat pro- gram ini antar dosen bisa mengambil nilai-nilai dari dosen lain yang bisa ditiru, sebagai contoh yaitu dalam hal penguasaan materi, ketelatenan, kesabaran, dan

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PRIORITAS DAERAH Berdasarkan visi, misi, kebijakan dan sasaran sebagaimana tertuang dalam RPJP Kabupaten Mojokerto Tahun 2005-2025,