• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Protokol Diskusi Refleksi Kasus (DRK) di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Protokol Diskusi Refleksi Kasus (DRK) di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

10 Tinjauan pustaka ditelaah untuk mendukung dan merancangsuatu pengembangan Protokol Diskusi Refleksi Kasus (DRK). Adapun pokok bahasan dalam tinjauan pustaka ini meliputi: KonsepContinous Professional Development (CPD),Konsepmetode pembelajaran,Konsep Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK), Diskusi Refleksi Kasus (DRK),teori keperawatan Jean Watson,Action Research (AR), Penelitian tentang penerapan Diskusi Refleksi Kasus dan Kerangka teori.

2.1. KonsepContinousProfessional Development (CPD)

Pengembangan staf berkelanjutan atau disebutContinous Professional Development (CPD) adalah salah satu perencanaan dari manajemen keperawatan. CPD merupakan dasar yang fundamental untuk mengembangkan semua praktisi kesehatan dan keperawatan sosial dan juga suatu mekanisme dimana mutu pasien yang tinggi dan asuhan pasien diidentifikasi, diseimbangkan dan dikembangkan (Joint Position Statement, 2007).

(2)

dan keahlian(Alsop, 2013). Megginson dan Whitaker (2007 dalam Alsop 2013) lebih lanjut menjelaskan bahwa CPD merupakan proses individu mengambil kontrol dan pengembangan belajar mereka sendiri dengan terlibat dalam proses yang sedang berjalan (refleksi atau tindakan).

Quinn(1998) menjelaskan bahwa profesionalisme perawat harus dapat mengembangkan praktek dengan aman dan efektif dengan cara mengembangkan pengetahuan yang terbaru yang menjadi dasar untuk mendukung praktek, memfasilitasi monitoring dan evaluasi yang dilakukan terus-menerus dari asuhan keperawatan yang dilakukan, sehingga perawat dan tenaga kesehatan lainnya perlu melakukan kegiatanCPD.

Tujuan dari CPD adalah untuk memastikan pengetahuan dan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan dasar dan lanjutan yang terjadi saat ini dan informasi yang baru diperoleh dan diterjemahkan kedalam praktek. Hal ini merupakan tanggung jawab profesi untuk semua perawat praktisi untuk menyeimbangkan kompetensi mereka terhadap klinis. Tujuan dari CPD adalah untuk meningkatkan kualitas asuhan pasien yang diperoleh dari praktisi asuhan keperawatan (Joint Position Statement, 2007).

(3)

perubahan telah dipercepat meninggalkan beberapa karyawan di bawahancaman kehilangan pekerjaan mereka dan bahwa tidak ada lagi puas sekitar pekerjaan dan prospek karir. Sehingga suatu organisasi menawarkan layanan mendasar dalam kesehatandan kepedulian sosial dan mempekerjakan praktisi yang berkualitas untuk memenuhi terus meningkatkebutuhan pengguna jasa, masih ada ketidakpastian untuk jangka panjang. Teknologi baru, kebijakan pemerintah dan kendala keuangan semua dapat membawa perubahan yang mencakupancaman serta peluang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa setiap individu membutuhkan strategi untuk pengembangan CPD sehinggauntuk dapat mempertahankan pilihan karir dan gaya hidup. Pendekatan terstruktur untukCPD dianjurkan untuk memperluas keterampilan dan peningkatan berlatih dalam upaya tidak hanya untuk mempromosikan pengembangan karir, tetapi juga untuk mendukungbeberapa bentuk keamanan dan kepuasan kerja.

Kunci utama proses CPD adalah dengan menjadikan CPD sebagai suatu proses dokumentasi; mengarahkan staf dalam melakukan praktek; fokus dalam pembelajaran dari pengalaman, refleksi pembelajaran dan review; membantu manajemen mengatur tujuan utama dan tujuan khusus dari pengembangan staf; meliputi pelatihan/pembelajaran formal dan informal (Joint Position Statement, 2007).

(4)

keahlian manajerial. Ketiga, CPD harus menjadi arah hidup yang besar, refleksi kegiatan dalam praktik dan menjadi kesesuaian terhadap praktik profesi keperawatan(Joint Position Statement, 2007).

Menurut Health Professional Council di Inggris (2011) kegiatan CPD dapat dilakukan dengan pembelajaran berbasis kerja (work based learning), aktifitas professional, pendidikan formal, belajar mandiri (self-directed learning), dan kegiatan-kegiatan bermanfaat lainnya.

Work based learning merupakan kegiatan yang dapat dilakukan dengan cara belajar dengan melakukan (learning by doing), studi kasus, kegiatan reflektif, audit klinik, bimbingan dari orang lain, diskusi dengan teman sejawat, peer review, keterlibatan dalam pekerjaan secara mendalam (contohnya menjadi

perwakilan komite), magang, rotasi kerja, ikut dalam klub jurnal, in service training, mengunjungi departemen lain dan melaporkan kembali hasil kunjungan

tersebut, mengikuti suatu proyek kerja, memperluas peran diri, menganalisis suatu peristiwa penting, bukti dari aktifitas pembelajaran menjadi suatu bagian dari pengembangan kerangka pengetahuan dan ketrampilan (Health Professional Council, 2011).

(5)

Pendidikan formal yang dapat dilakukan sebagai bagian dari CPD meliputi mengikuti kursus, penelitian, pendidikan lanjutan, pembelajaran jarak jauh, mengikuti seminar, mengikuti program akreditasi dari lembaga profesional dan perencanaan untuk menjalankan kursus (Health Professional Council, 2011).

Pembelajaran mandiri yang dapat dilakukan misalnya membaca jurnal/artikel, review buku/artikel dan meng-update pengetahuan lewat internet/TV. Kegiatan lainnya seperti menjadi tenaga sukarela dan menjadi public service(Health Professional Council, 2011).

2.1.1 Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Perawat Indonesia

Pendidikan keperawatan berkelanjutan (PKB) Perawat Indonesia adalah proses keprofesian yang meliputi berbagai kegiatan yang dilakukan seseorang dalam kapasitasnya sebagai perawat praktisi, guna mempertahankan dan meningkatkan profesionalismenya sebagai seorang perawat sesuai standar kompetensi yang ditetapkan. Kegiatan dapat berupa pengalaman memberikan asuhan keperawatan, mengikuti pendidikan/ pelatihan, menulis artikel, melakukan penelitian, publikasi karya ilmiah dan pengabdian masyarakat. Pendidikan Keperawatan Berkelanjutan Perawat Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, dimana perawat berkewajiban mengembangkan Praktik Profesinya melalui dengan meningkatkan dan mempertahankan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki (PPNI, 2016).

(6)

memperhatikan kebutuhan masyarakat, sehingga mutu pelayanan keperawatan dapat ditingkatkan. Tujuan khusus pendidikan berkelanjutan bagi perawat adalah: 1) memelihara dan meningkatkan kemampuan profesional perawat sesuai standar kompetensi nasional dan global, 2) terjaminnya mutu pelayanan keperawatan melalui upaya pengembangan kompetensi profesional secara terus menerus (PPNI, 2016).

(7)

tahun, dan bekerja di Daerah Terpencil Perbatasan Kepulauan/DTPK (PPNI, 2016).

Pengembangan profesional berkelanjutan bagi perawat dilaksanakan dalamrangka mempertahankan dan meningkatkan kompetensi perawat agar tetapdapat melaksanakan tugas berorientasi pada proses dan keselamatan pasien. Terdapat 2 alasan CPD dalam rangka implementasi jenjang karir perawat. Sehingga untuk mencapai karirnya setiap perawat harus mengikuti program CPD (Kemenkes, 2013). Karir adalah suatu jenjang yang dipilih oleh individu untuk dapat memenuhi kepuasan kerja perawat, sehingga pada akhirnya akan memberikan kontribusi terhadap bidang profesi yang dipilihnya. Pengembangan karir perawat merupakan suatu perencanaan dan penerapan rencana karir yang dapat digunakan untuk penempatan perawat pada jenjang yang sesuai dengan keahliannya, serta menyediakan kesempatan yang lebih baik sesuai dengan kemampuan dan potensi perawat (Marquis & Huston, 2010).

Terdapat 2 CPD yaitu: 1) Gap kompetensi karena terjadi perkembanganIPTEK sehingga perlu penyesuaian atau kompetensi yang belum dikuasai, 2) dalam rangka kenaikan jenjang karir (challenge). Setelah mengikuti CPD perawatmemperoleh kompetensi baru, dan terhadap kompetensi baru ini perlu dilakukankredensial ulang untuk mendapatkan penugasan klinik (Kemenkes RI, 2013).

(8)

profesional,4) keselamatan pasien, dan5)emergency nursing dasar. Untuk PK II, programCPD yang dilakukan yaitu:1) kepemimpinan dalam keperawatan,2) manajemen asuhan pasien,3) manajemen unit ruang rawat,4) paket kompetensi klinik dasar sesuai bidang keahlian keperawatan, misalnya terapi bermain untuk bidang keperawatan anak, manajemen nyeri dan manajemen luka. Untuk PK III, program CPD yang dilakukan yaitu: 1) manajemen pelayanan keperawatan pada organisasi terbatas, 2)Evidence Based Nursing Practice (EBNP), 3) metode penelitian, 4) paket kompetensi klinik lanjut sesuai bidang keahlian keperawatan, misalnya :Advanced wound management : ostomy care, topical negative pressure,palliative care, hemodialisa, 5) supervisi klinik, preceptorship, mentorship, 6) kerja tim dan 7) manajemen konflik. Untuk PK IV program CPD yang dilakukan yaitu: 1) manajemen pelayanan keperawatan pada organisasi luas, 2)Evidence Based Nursing Practice (EBNP)lanjut, 3)laporan hasil penelitian dan menulis jurnal, 4) paket kompetensi klinik spesialis sesuai bidang keahlian keperawatan. Untuk PK V program CPD yang dilakukan yaitu:1) metode konsultasi, 2) penelitian keperawatan terpadu dan 3) paket kompetensi klinik spesialis dan subspesialis sesuaibidang keahlian keperawatan (Kemenkes RI, 2013).

(9)

Perawat antara lain RS Persahabatan Jakarta, RS Fatmawati Jakarta, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Soetomo Surabaya, RS Petrokimia Gresik, RS Adam Malik Medan, RS Universitas Sumatera Utara Medan, RS Wahidin Sudirohusodo Makassar, dan RS Universitas Hasanudin (Kemenkes, 2013).

Ada beberapa kendala atau hambatan dalam pengembangan karir perawat ini, antara lain belum optimalnya dukungan pimpinan dimana belum adanya kebijakan dan ketentuan jenjang karir perawat, bervariasinya penerapan jenjang karir perawat, dan perawat belum memahami sistem jenjang karir dengan baik. Selain itu berbagai kebijakan dan perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi jenjang karir antara lain terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), rumusan kompetensi perawat oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan perubahan kebijakan tentang jabatan fungsional perawat serta ditetapkannya sistem akreditasi rumah sakit berstandar internasional yang mempersyaratkan perawat memiliki kewenangan dan penugasan klinis yang jelas sesuai area praktinya (Kemenkes RI, 2013).

2.2 Konsep Metode Pembelajaran

(10)

pemecahan masalah (problem solving method), 12) project method, 13) teileren method, dan 14) metode global (Ganze method).

Metode ceramah (preaching method) adalah sebuah metode pengajaran dengan menyampaikan infomasi dan pengetahuan secara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Metode ceramah dapat dikatakan sebagai satu-satunya metode yang paling ekonomis untuk menyampaikan informasi, dan paling efektif dalam mengatasi kelangkaan literatur atau rujukan yang sesuai dengan jangkauan daya beli serta daya paham peserta didik. Beberapa kelemahan metode ceramah yaitu: 1) membuat peserta didik pasif, 2) mengandung unsur paksaan kepada peserta didik, 3) mengandung sedikit daya kritis peserta didik, 4) bagi peserta didik dengan tipe belajar visual akan lebih sulit menerima pelajaran dibandingkan dengan peserta didik yang memiliki tipe belajar audio, 5) sukar mengendalikan sejauh mana pemahaman belajar peserta didik, 6) kegiatan pengajaran menjadi verbalisme, 7) jika terlalu lama dapat membuat jenuh (Simamora, 2009).

(11)

Kelebihan metode diskusi adalah: 1) menyadarkan peserta didik bahwa masalah dapat dipecahkan dengan berbagai jalan, 2) menyadarkan peserta didik bahwa dengan berdiskusi mereka saling mengemukakan pendapat secara konstruktif sehingga dapat diperoleh keputusan yang lebih baik, 3) membiasakan peserta didik untuk mendengarkan pendapat orang lain sekalipun berbeda dengan pendapatnya dan membiasakan peserta didik bersikap toleransi (Djamarah, 2000). Kelemahan metode diskusi adalah: 1) tidak dapat digunakan dalam kelompok besar, 2) peserta diskusi mendapat informasi yang terbatas, 3) cenderung dikuasai oleh orang-orang yang suka berbicara, 4) biasanya seseorang menghendaki pendekatan yang lebih formal (Djamarah, 2000).

Metode demonstrasi adalah metode pengajaran dengan cara memperagakan benda, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang disajikan (Syah M, 2000). Metode demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk memperlihatkan sesuatu proses atau cara kerja suatu benda yang berkenaan dengan bahan ajar (Djamarah, 2000).

(12)

pengamatan dan contoh konkret, dengan menghadirkan objek sebenarnya. Kelemahan metode demonstrasi adalah: 1)peserta didik kadang kala sukar melihat dengan jelas benda yang akan diperagakan, 2) tidak semua benda dapat didemonstrasikan, 3)sukar dimengerti jika didemonstrasikan oleh pengajar yang kurang menguasai apa yang didemonstrasikan (Djamarah, 2000).

Metode ceramah plus adalah metode pengajaran yang menggunakan lebih dari satu metode, yakni metode ceramah yang dikombinasikan dengan metode lainnya. Terdapat 3 macam metode ceramah yaitu: 1) metode ceramah plus tanya jawab dan tugas adalah metode pengajaran yang menggabungkan antara ceramah dan tanya jawab serta pemberian tugas, 2) metode pengajaran plus diskusi dan tugas yang dilakukan dengan urutan pendidik menguraikan materi, mengadakan diskusi dan akhirnya member tugas, 3) metode ceramah plus demostrasi dan latihan (CPDL) yang merupakan kombinasi antara kegiatan menguraikan dan memperagakan materi serta latihan keterampilan(Simamora, 2009).

(13)

lain tanpa pengawasan, 3) sukar memberikan tugas yang memenuhi perbedaan individual (Simamora, 2009).

Metode eksperimental atau percobaan adalah metode pemberian kesempatan kepada peserta didik perorangan atau kelompok untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan (Djamarah, 2000). Metode eksperimental merupakan suatu metode mengajar yang menggunakan alat tertentu dan dilakukan lebih dari satu kali , misalnya percobaan kimia di laboratorium. Kelebihan metode eksperimental adalah: 1) membuat peserta didik percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri daripada hanya menerima kata pengajar atau buku, 2) peserta didik dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksplorasi tentang ilmu dan teknologi, 3) diharapkan terbina peserta didik yang akan menciptakan terobosan atau penemuan baru yang dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia (Simamora, 2009).

Kelemahan metode eksperimental adalah: 1) tidak cukupnya ketersediaan alat menyebabkan tidak setiap peserta didik berkesempatan mengadakan eksperimen, 2) jika eksperimen memerlukan jangka waktu yang lama, peserta didik harus menunggu untuk melanjutkan pelajaran, 3) metode ini lebih sesuai untuk menyajikan bidang-bidang ilmu dan teknologi (Simamora, 2009).

(14)

memanfaatkan lingkungan nyata dalam belajar, 2) membuat materi yang dipelajari di sekolah menjadi lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang ada di masyarakat, 3) pengajaran dapat lebih merangsang kreativitas. Kelemahan metode study tour adalah: 1) memerlukan persiapan yang melibatkan banyak pihak, 2) memerlukan perencanaan dengan persiapan yang matang, 3) unsur rekreasi sering menjadi prioritas daripada tujuan utama, sehingga unsur studi terabaikan, 4) memerlukan pengawasan lebih ketat terhadap gerak-gerik peserta didik di lapangan, 5) biaya cukup mahal, dan 6) memerlukan tanggung jawab pengajar/pendidik dan sekolah atas kelancaran metode untuk keselamatan peserta didik terutama untukstudy tourjangka panjang dan jauh (Simamora, 2009).

(15)

yang dilaksanakan secara berulang-ulang merupakan hal yang monoton dan menjenuhkan, 4) dapat menimbulkan verbalisme (Simamora, 2009).

Metode pengajaran beregu (team teaching method) adalah suatu metode mengajar dengan jumlah pendidik lebih dari satu orang, yang masing-masing mempunyai tugas, biasanya salah seorang pendidik ditunjuk sebagai koordinator. Cara pengujiannya, masing-masing pendidik membuat soal, kemudian digabungkan, jika ujian lisan, peserta didik yang diuji harus langsung berhadapan dengan tim pendidik tersebut (Simamora, 2009).

Metode pengajaran denga teman sejawat (peer teaching method) adalah suatu metode mengajar yang dibantu temannya sendiri. Metode pemecahan masalah (problem solving method) adalah suatu metode mengajar dengan memberikan soal latihan kepada peserta didik kemudian peserta didik diminta memberikan pemecahannya (Simamora, 2009).

(16)

ini sukar dan memerlukan keahlian khusus dari peserta didik, 3) harus dapat memilih topik unit yang tepat sesuai kebutuhan peserta didik, cukup fasilitas, dan memiliki sumber-sumber belajar yang diperlukan, 4) materi pelajaran sering menjadi luas sehingga dapat mengaburkan pokok unit yang dibahas (Simamora, 2009).

Metode bagian (teileren method) adalah suatu metode mengajar dengan memberikan materi secara bertahap/sebagian-sebagian, misalnya paragraf per paragraf kemudian dilanjutkan lagi dengan paragraf lain yang tentunya berkaitan dengan masalahnya (Simamora, 2009).

Metode global (ganze method) adalah suatu metode mengajar dengan meminta peserta didik membaca keseluruhan materi kemudian membuat resume atau kesimpulan dari apa yang mereka baca (Simamora, 2009).

2.2.1 Konsep pembelajaran refleksi

Quinn (1998) menjelaskan tentang reflect (merefleksikan) dan reflection(refleksi). Reflect berasal dari kata latin “reflectere” merupakan sebuah

(17)

menemukan hubungan yang baru atau menggambarkan suatu kesimpulan untuk panduan kegiatan dimasa depan.

Refleksi merupakan proses yang bertujuan untuk berfikir kembali atau mengingat kembali sebuah situasi untuk menemukan tujuan dan arti (Potter & Perry, 2005). Boud et al (1985 dalam Andrews 1996) menjelaskan bahwa refleksi merupakan kegiatan mengingat kembali pengalaman, memikirkan dan mengevaluasinya. Mengingat pengalaman tertentu berhubungan dengan respons manusia dengan suatu kegiatan sehari-hari dan sering dilakukan tanpa maksud atau tujuan spesifik. Refleksi sebagai kegiatan belajar dijelaskan sebagai kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan mengubah tingkah laku. Refleksi merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan dan menekankan pada hasil dari proses yang disebut modifikasi konseptual. Refleksi akan membimbing seseorang belajar dari praktek yang dilakukan (Andrews, 1998).

(18)

meningkatkan kemampuan memberikan solusi yang cepat dan membiasakan budaya berfikir.

Schon (1978 dalam Bulman 2013) menjelaskan bahwa kegiatan reflection-on-action (refleksi dalam tindakan)adalah kegiatan berpikir kembali tentang apa yang telah dilakukan berfokus pada pemikiran kritis dan retrospektif, untuk membangun dan merekonstruksikan peristiwa yang terjadi agar praktisi dapat mengembangkan diri. Secara signifikan, Schon menjelaskan bahwa kegiatan refleksi melibatkan lebih dari sekedar kemampuan berfikir secara intelektual namun juga melibatkan perasaan dan pengakuan yang berhubungan dengan tindakan. Schon menekankan pernyataannya bahwa pikiran kita membentuk apa yang kita lakukan.

Jasper (2003) menjelaskan bahwa praktek refleksi adalah kegiatan menggunakan pengalaman sebagai titik awal pembelajaran. Hasil dari Praktek refleksi ini adalah tindakan yang dilakukan sehingga kegiatan ini menjadi jembatan penghubung antara teori murni dan praktek yang diarahkan untuk membantu pemahaman dan pembelajaran.

(19)

secara internal dan mengembangkan sesuatu yang sedang menjadi isu, didasari oleh pengalaman yang menciptakan dan menjelaskan makna dalam diri seseorang dan menghasilkan perubahan dalam perspektif konseptual.

Refleksi dalam konteks pembelajaran adalah istilah umum untuk menjelaskan kegiatan intelektual dan afektif dimana individu terlibat untukmengeksplorasi pengalaman mereka dalam rangka untuk menyebabkan pemahaman barudan apresiasi (Boud et al. 1985 dalam Bulman 2013). Kegiatan pembelajaran refleksi bagi perawat berpotensi untuk meningkatkan tanggung jawab dan kemampuan melakukan suatu tindakan yang sulit dilakukan (Bulman dan Schutz 2007 dalam Bulman 2013).

Bulman (2013) lebih lanjut menjelaskan bahwa yang menjadi poin penting tentang konsep pembelajaran refleksi bagi perawat adalah kegiatan ini berpotensi untuk membantu perawat untuk belajar dari pengalaman. Refleksi dalam praktek keperawatan berhubungan dengan motivasi para profesional untuk berubah dalam melakukan kegiatan asuhan keperawatan yang lebih baik lagi dimana dengan menumbuhkan niat belajar dari pengalaman yang dialami.

Konsep penting dalam pemahaman tentang refleksi yang dijelaskan Bulman (2013) yaitu tentang praxis (tindakan), critical being dan knowing more than we tell.

(20)

perawat untuk melakukan hal yang terbaik bagi pasien dan keluarga serta semua orang yang membutuhkan perawatan. Ini menekankan pada pentingnya kegiatan pembelajaran refleksi yang berfokus pada peningkatan asuhan keperawatan.

Critical beingyang merangkum tidak hanya pengembangan berfikir kritis, namun juga pengembangan diri dan komitmen dalam mengambil tindakan. Kegiatan refleksi melibatkan berbagai elemen secara proposional meliputi pengetahuan, perasaan, kesadaran diri, dan komitmen untuk bertindak. Kegiatan refleksi melibatkan kognitif, afektif dan aktif. Proses pembelajaran reflektif menjadi teknik yang sederhana yang dapat diajarkan.

Knowing more than we can tell mengacu pada pengetahuan yang didapatkan. Polanyi (1967 dalam Bulman 2013) menjelaskan bahwa kemampuan dalam berkomunikasi adalah aspek penting dalam pembelajaran reflektif. Perawat mengembangkan apa yang diketahui menjadi sebuah pengetahuan. Tidak selamanya pengetahuan dapat diartikulasikan dalam kata-kata, butuh mencari cara untuk membantu seseorang berkomunikasi dan mengekspresikan diri sebaik mungkin, dan salah satu caranya adalah dengan melakukan kegiatan pembelajaran refleksi.

(21)

perawat bertanya dan mengkomunikasikan pengetahuan keperawatan yang dimiliki.

2.2.2 Refleksi dalam pelayanan keperawatan dan pendidikan keperawatan Pendidikan adalah upaya sadar untuk menumbuhkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan pengajaran. Terdapat 2 konsep pendidikan yang saling berkaitan yaitu belajar (learning) dan pembelajaran (instruction). Konsep belajar berakar dari peserta didik dan konsep pengajaran berakar dari pendidik. Pada proses belajar mengajar (PBM) terjadi interaksi antara peserta didik dan pendidik. Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen yaitu peserta didik, pendidik/pengajar, materi pembelajaran, metode mengajar, media dan evaluasi (Simamora, 2009).

Bulman (2013) menjelaskan kegiatan pembelajaran secara reflektif bermanfaat untuk efektifitas pelayanan dan peningkatan praktek profesional. Peningkatan pembiayaan di pelayanan kesehatan berdampak pada pendidikan keperawatan dan pelayanan klinis mempengaruhi waktu, energi dimana perawat harus mempertimbangkan kegiatan pembelajaran dari praktek keperawatan yang dilakukan. Semua ini berdampak pada kesempatan belajar, kegiatan supervisiklinis untuk perawat, kesempatan berbagi pengalaman dengan teman sejawat, pengembangan praktek reflektif untuk keputusan klinis dan pelaksanaan praktik berdasarkan penelitian yang disebut dengan evidence- based practice (EBP).

(22)

Bulman 2013) mendefinisikanEBPsebagai suatu penggunaan praktek kedokteran berbasis bukti yang mengintegrasikan keahlian individu dengan bukti klinis terbaik yanga ada sebagai bukti penelitian yang sistematik.

Keahlian yang dimiliki perawat dipengaruhi oleh pengalaman belajar untuk pemberian keputusan klinis yang berhubungan dengan pengetahuan yang dimilikisebelumnya.Kegiatan pembelajaran refleksi memiliki kapasitas untuk menjadi bagian dari prosesEBP. Ketika sangat sedikit tentang bukti empiris maka penting untuk belajar dari pengalaman dan menginformasikannya kepada orang lain (Bulman, 2013).

2.3 Konsep Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK)

Permenkes Nomor 836/2005 menjelaskan bahwa Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) adalah suatuupaya peningkatan kemampuan manajerial dan kinerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan di sarana/institusi pelayanan kesehatan untuk mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu. PMK memfasilitasi terciptanya budaya kerja perawat yangmengarah kepada upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan yang didasarkan pada profesionalisme, IPTEK, aspek legal,berlandaskan etika untuk mendukung sistem pelayanan kesehatan secarakomprehensif.

(23)

melakukanpelayanan keperawatan, 3) meningkatnya kemampuan manajerial pelayanan keperawatan, 4) meningkatnya pelaksanaan monitoring kinerja perawat berdasarkan indikator kinerja yang disepakati, 5) meningkatnya kegiatan diskusi refleksi kasus (DRK) keperawatan, 6) meningkatnya mutu asuhan keperawatan, dan 7) meningkatnya kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan.

Sasaran kegiatan PMK adalah: 1) perawat serta manajer lini pertama (first linemanager) yaitu: kepala ruangan, wakil kepala ruangan di RS, perawatdan

sebagai penanggung jawab program di Puskesmas, sertapimpinan keperawatan di sarana pelayanan kesehatanlainnya, 2) pimpinan sarana kesehatan, Direktur, Kepala Bidang/Kepala Seksi,Kepala Instalasi dan supervisor (rumah sakit), Kepala Puskesmas, danKepala sarana pelayanan kesehatan lainnya (Permenkes, 2005).

Komponen PMK ada 5 yaitu: 1) standar, 2) uraian tugas, 3) indikator kinerja, 4) sistem monitoring , dan 5) diskusi refleksi kasus.

(24)

bermutu.Pada implementasi PMK, perawat dibimbing secara khususuntuk menyusun dan mengembangkan SOP yang nantinya akan digunakansebagai acuan di sarana pelayanan kesehatan setempat (Permenkes, 2005).

(25)

Indikator kinerja perawat adalah variabel untuk mengukur prestasi suatu pelaksanaan kegiatan dalam waktu tertentu. Indikator yangberfokus pada hasil asuhan keperawatan kepada pasiendan proses pelayanannya disebut indikator klinis. Indikator klinis adalahukuran kuantitas sebagai pedoman untuk mengukur dan mengevaluasikualitas asuhan pasien yang berdampak terhadap pelayanan.Indikator klinis PMK ini diidentifikasi, dirumuskan, disepakati, danditetapkan bersama diantara kelompok perawat serta manajerlini pertama keperawatan (first line manajer), untuk mengukurhasil kinerja klinis perawat dan bidan terhadap tindakan yang telahdilakukan, sehingga variabel yang akan dimonitor dan dievaluasi menjadilebih jelas bagi kedua belah pihak (Permenkes, 2005).

(26)

berupakegiatan penyusunan SOP-SOP baru sesuai dengan masalah yang ditemukan (Permenkes, 2005).

Kegiatan monitoring meliputi pengumpulan data dan analisis terhadapindikator kinerja yang telah disepakati yang dilaksanakan secara periodik untuk memperoleh informasi sejauhmana kegiatan yang dilaksanakansesuai dengan rencana. Monitoring bermanfaat untuk mengidentifikasiadanya penyimpangan dan mempercepat pencapaian target.Monitoring perlu direncanakan dan disepakati antara pimpinan, supervisorterpilih dan pelaksana. Monitoring dilakukan terhapap indikator yang telahditetapkan guna mengetahui penyimpangan kinerja atau prestasi yangdicapai, dengan demikian setiap perawat akan dapat menilai tingkatprestasinya sendiri. Hasil monitoring yang dilaksanakan oleh supervisordiinformasikan kepada staf. Bila terjadi penyimpangan, supervisor bersamapelaksana mendiskusikan masalah tersebut dan hasilnya dilaporkankepada pimpinan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan tindak lanjut (Permenkes, 2005).

(27)

tentang PMK Perawat sehingga dicapai suatu pemahaman dan kesepakatan pada stakeholder.Setelah memperoleh komitmen, keterlibatan stakeholder diharapkandapat memberikan dukungan yang nyata baik moril maupun materil untuk keberhasilan penerapan PMK (Permenkes, 2005).

Pengelolaan SDM, sumber dana, dan fasilitas dapat ditingkatkan untukmengoptimalkan keberhasilan PMK.Pengelolaan PMK perlu dilaksanakan secara profesional didasarkan padaevidence dan perencanaan yang matang serta diimplementasikan secarasungguh-sungguh berdasar pada pedoman pelaksanaan PMK, standarprofesi, SOP keperawatan, serta pedoman pelayanankesehatan lainnya. Desentralisasidimaksudkan bahwadalam rangka otonomi daerah, PMK dapat dikembangkan sesuai dengankondisi daerah namun tetap berpedoman pada pedoman yang ditetapkandalam keputusan ini (Permenkes, 2005).

2.4Diskusi Refleksi Kasus

Diskusi adalah salah satu strategi belajar mengajar yang dilakukan seseorang dimana adanya interaksi antara dua atau lebih individu, saling tukar menukar pengalaman, informasi, dan memecahkan masalah (Isjoni, 2007).Diskusi Refleksi Kasus (DRK) adalah suatu metode dalam merefleksikan pengalaman klinis perawat yang mengacu pada pemahaman terhadap standar (Hennesy, 2001 dalam Depkes 2005). Hennesy D, Hicks, Hilan & Kawonal (2006) menjelaskan DRK merupakan salah satu bagian dari pengembangan staf berkelanjutan yang dikenal dengan istilahContinous Professional Development (CPD).

(28)

kelompok diskusi baik di rumah sakit maupun puskesmas untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman klinik yang didasarkan atas standar yang telah ditetapkan. Pelaksanaan DRK akan membahas masalah–masalah keperawatanyang aktual, menarik baik yang lalu maupun yang sedang berlangsung, selain itu juga dibahas tentang pengalaman keberhasilan dalam melaksanakan tugas pelayanan dengan pemanfaatan sumber-sumber yang tersedia.

Depkes (2005) menjelaskan Diskusi Refleksi Kasus (DRK) mempunyai tujuan untuk mengembangkan profesionalisme perawat, meningkatkan aktualisasi diri, membangkitkan motivasi belajar, sebagai wahana untuk menyelesaikan masalah dengan mengacu pada standar keperawatan yang telah ditetapkan, serta belajar untuk menghargai kolega untuk lebih sabar, lebih banyak mendengarkan, tidak menyalahkan, tidak memojokkan dan meningkatkan kerja sama.

(29)

keberhasilan pelayanankesehatan, 4) pembelajaranberkelanjutan yang memungkinkan setiap individu untuk meningkatkanpengetahuan dan keterampilannya agar dapat mengikuti perkembangan IPTEK, 5) kegiatan ini mendorong untuk dapat bekerja secaraefektif dan efisien.

Kepmenkes RI No. 836/MENKES/SK/VI/2005 lebih lanjut menjelaskan bahwa Diskusi Refleksi Kasus (DRK) merupakan media strategis untuk mengidentifikasi masalah dan menetapkan alternatif mengatasinya. Penjaminan mutu atau Quality Assurance (QA) dilaksanakan dengan peningkatan kinerja perawat dan sejauh mana masalah pelayanan yang ditemukan dapat diatasi secara holistik dan komprehensif dengan menggunakan alternatif pemecahan masalah.

Ada 10 indikator mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit, yaitu: 1) angka infeksi nosokomial, 2) angka kejadian pasien jatuh/kecelakaan, 3) tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan, 4) tingkat kepuasan pasien terhadap pengelolaan nyeri dan kenyamanan, 5) tingkat kepuasan pasien terhadap informasi/pendidikan kesehatan, 6) tingkat kepuasan pasien terhadap asuhan keperawatan, 7) upaya mempertahankan integritas kulit, 8) tingkat kepuasan perawat, 8) kombinasi kerja antara perawat profesional dan non profesional, dan total jam asuhan keperawatan per klien per hari (Marquis & Huston, 1998).

(30)

pembayaran, dll). Proses merupakan aktifitas yang dilakukan seperti diagnosa, pengobatan, rehabilitasi, tindakan preventif, pendidikan pasien, biasanya melibatkan tenaga profesional dan kontribusi tenaga kesehatan lain terutama pasien dan keluarga. Outcome untuk menilai perubahan pada individua atau populasi yang terlibat dalam pelayanan kesehatan, Outcome meliputi status kesehatan, perubahan pengetahuan dan perilaku pasien dan keluarga yang mempengaruhi perawatannya dimasa depan, serta kepuasan pasien dan keluarga terhadap pelayanan kesehatan yang didapatkan.

Storesund dan McMurray (2009) menjelaskan bahwa pengalaman perawat merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas asuhan keperawatan. Selain itu pengetahuan perawat terhadap tindakan keperawatan yang dilakukan merupakan dasar untuk memberi perawatan yang baik.

2.4.1 Langkah-langkah kegiatan DRK

Menurut Depkes (2005) langkah-langkah kegiatan DRK adalah: 1) memilih/menetapkan kasus yang akan didiskusikan, 2) menyusun jadwal kegiatan, 3) waktu pelaksanaan, 4) peran masing-masing personal dalam DRK, 5) penulisan laporan.

2.4.1.1 Memilih/menetapkan kasus yang akan didiskusikan

(31)

mutu pelayanan.Lebih lanjut Depkes (2005) menjelaskan proses diskusi ini akan memberikan ruang dan waktu bagi setiap peserta untuk merefleksikan pengalaman, pengetahuan serta kemampuannya, dan mengarahkan peningkatkan pemahaman perawat terhadap standar yang akan memacu mereka untuk melakukan kinerja yang bermutu tinggi.

2.4.1.2 Menyusun jadwal kegiatan

Jadwal kegiatan DRK adalah daftar kegiatan yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu yang telah ditetapkan dan disepakati. Kegiatan DRK disepakati dalam kelompok kerja, di puskesmas maupun di rumah sakit (tiap ruangan). Kegiatan DRK dilakukan minimal satu kali dalam satu bulan dan sebaiknya jadwal disusun untuk kegiatan satu tahun, para peserta yang telah ditetapkan akan mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkannya(Depkes, 2005).

Setiap bulan ditetapkan dua orang yang bertugas sebagai penyaji dan fasilitator/moderator selebihnya sebagai peserta demikian seterusnya, sehingga seluruh anggota kelompok akan mempunyai kesempatan yang samaberperan sebagai penyaji, fasilitator/moderator maupun sebagai peserta. Peserta dalam satu kelompok diupayakan antara 5–8 orang (Depkes , 2005).

2.4.1.3 Waktu pelaksanaan

(32)

2.4.1.4 Peran masing-masing personal dalam DRK

Diskusi Refleksi Kasus (DRK) ditetapkan suatu aturan main yang harus dipatuhi oleh semua peserta agar diskusi tersebut dapat terlaksana dengan tertib. Menurut Depkes (2005) ada 3 peran yang telah disepakati dan dipahami dalam pelaksanaan DRK yaitu peran penyaji, peran peserta dan peran fasilitator.

Peran penyaji dalam DRK adalah yang pertama,menyiapkan kasus klinis keperawatan yang pernah dialami atau pernah terlibat didalamnya yang merupakan kasus menarik baik kasus yang lalu maupun kasus-kasus saat ini, selain kasus klinis dapat pula dipilih kasus manajemen dan pengalaman keberhasilan dalam pelayanan, yang kedua, menjelaskan kasus yang sudah disiapkan dengan alokasi waktu 10–20 menit, yang ketiga, menyimak pertanyaan yang disampaikan peserta, yang keempat memberikan jawaban sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman nyata yang telah dilakukan dan merujuk pada standar yang relevan atau SOP yang berlaku dan yang kelimamencatat hal-hal penting selama proses DRK (Depkes, 2005).

(33)

mendominasi pertanyaan dan pertanyaaan berupa klarifikasi dan tidak bersifat menggurui (Depkes, 2005).

(34)

2.4.1.5 Penulisan laporan

Setelah melakukan kegiatan, langkah berikutnya adalah menyusun laporan DRK. Agar kegiatan DRK dapat diketahui dan dibaca oleh pimpinan, anggota kelompok maupun teman sejawat lainnya maka kegiatan tersebut harus dicatat/didokumentasikan sebagai laporan. Bentuk laporan dikemas dengan menggunakan suatu format yang antara lain berisikan nama peserta yang hadir, tanggal, tempat dan waktu pelaksanaan, isu-isu atau masalah yang muncul selama diskusi, rencana tindak lanjut berdasarkan masalah dan ampiran laporan menyertakan daftar hadir yang ditandatangani oleh semua peserta.

2.5 Teori Keperawatan Jean Watson

(35)

meningkatkan kesehatan dan untuk membantu pasien yang sakit, dimana caring melengkapicuring. Ketujuh,caringmerupakan inti dari keperawatan.

Watson (1985, dalam Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010) menjelaskan tentang praktikcaringsebagai pusat keperawatan, menggambarkancaringsebagai dasar dalam sebuah kesatuan nilai-nilai kemanusiaan yang universal (kebaikan, kepedulian, dan cinta terhadap diri sendiri dan orang lain). Caring digambarkan sebagai moral ideal keperawatan. Hal tersebut meliputi keinginan untuk merawat, kesungguhan untuk merawat, dan tindakan untuk merawat (caring). Tindakan caring meliputi komunikasi, tanggapan yang positif, dukungan dan intervensi fisik oleh perawat.

Watson (1979 dalam Watson 2008) menyebutkan tiga komponen utama landasan filosoficaringyaituCarative factor, Transpersonal Caring Relationship danCaring Moments.Carative factorssebagai suatu kerangka untuk memberikan suatu bentuk dan fokus terhadap fenomena keperawatan. Carative factormenurut Watson adalah mencoba menghargai dimensi manusia dalam perawatan dan pengalaman-pengalaman subjektif dari orang yang kita rawat.

(36)

process), 7) Pembelajaran secara transpersonal (interpersonal teaching learning),

8) dukungan, perlindungan, perbaikan fisik, mental, sosial, dan spiritual, 9) bantuan kepada kebutuhan manusia (human needs assistance), dan 10) eksistensi fenomena kekuatan spiritual.

2.5.1 Interpersonal teaching learning(Carative 7)

Watson (2008) menjelaskan tentang proses pembelajaran secara transpersonal dimana perawat memahami dengan jelas perannya dalam mengajar, meskipun hal tersebut sering tidak diperhatikan atau tidak ditindaklanjutisecara sistematis. Secara subjektif, aspek hubungan dari proses ini sering tidak dijelaskan secara eksplisit. Contohnya, meskipun mengajar dan memberikan informasi kesehatan, dengan pendekatan diri secaracaring, dan menggunakan hal-hal utama, dalam percakapan, perlu untuk tetap memperhatikan aspek transpersonal dalam proses belajar mengajar dan pentingnya hubungan secara caring sebagai konteks yang sering diabaikan.

(37)

pengalamanmempengaruhi kedua belah pihak dalam pembelajaran tersebut.Selanjutnya, hubungan yangterjadi diluar konteks pengajaran, akan menginformasikan perilaku dan tindakan yang mengalir dari pengalaman tersebut (Watson, 2008).

Model Caritasdari belajar-mengajar tidak berlaku pada konsep "kepatuhan,"dalam model hubungan otentik proses ini tidak berlaku dan bukan sesuatu yang bisa digunakan oleh para profesional untuk mendapatkanposisi yang lebih baikdengan pendekatan otoriteryang terkontrol dan kekuasaan atas yang lain, dengan informasi yang diberikan dan harapan untuk mematuhi informasi tersebut.Akan tetapi,Proses Caritas belajar mengajar lebih relasional, adanya rasa saling percaya,eksplorasi, keterlibatan, dan akhirnya memberi kebebasan bagi pasien dan orang lain.Hal ini melibatkan kekuatan dan kontrol namun hanya pada proses belajar mengajar. Proses belajar mengajardalam praktekCaritas menghasilkan pengetahuan diri, perawatan diri,kontrol diri, dan bahkan kemungkinan penyembuhan diri. Hal tersebut adalah sebuah mutualitas dimana Perawat Caritas membantu yang lain untuk menemukan suatu pemecahan masalah, keputusan, solusi yang konstruktif, dan tindakan terbaik yang diberikan perawat (Watson, 2008).

(38)

terhadap perasaan, pengetahuan, informasi dan tingkat pemahaman intelektual, serta keterbukaan dankesiapan untuk belajar (Watson, 2008).

Salah satu keterampilan inti dalam proses belajar-mengajar secara transpersonal adalah mampu mengakses dengan benar,mendalam, dan bekerja berdasarkan kerangka acuan orang lain bukan dari titik acuan sendiri. Proses belajar mengajar yang demikian membutuhkan hubungan yang bermakna serta waktu dan kepekaan saat mengajar.Hal ini merupakan hal yang kreatif dan sesuai dengan tujuannya, melibatkan kesadaran untuk perencanaan dan kemampuan untuk mendapat pengetahuan serta menginformasikan tindakan yang dilakukan (Watson, 2008).

Proses pendidikan dan pengajaran dalam keperawatan tradisional adalah salah satunya dengan menyampaikan informasi, ini biasanya dilakukan dengan cara-cara konvensionaldan sekitar isu-isu konvensional seperti pendidikan diabetes, tentang melahirkan, pemberian obat, dan sebagainya. Proses pengajaran dalam Caritas transpersonallebih personal, relasional, dan bermakna,konsisten dengan kondisi spesifik individu, kebutuhan, kesiapan,dan lain-lain.Namun, pendekatan yang lebih luas yang mewakili perubahan dalam proses belajar-mengajar, masih melibatkan kedalaman hubungan denganCaritasKeperawatan, artinyapergeseran kearah sehat-sejahtera-bimbinganuntuk penyembuhan (health-wellness-healing coaching) yang mencakup transpersonal dan kesatuanpandangan

(39)

Pokok bahasan teori ARini akan menjelaskan : (1) DefinisiAR, (2) Siklus ARdan (3) ProsesAR

2.6.1 DefinisiAction Research

Penelitian action research merupakan penelitian yang bersifat partisipatory melibatkan peneliti dan partisipan untuk berkolaborasi. Peneliti dan partisipan berkolaborasi menentukan masalah, menetapkan metode penelitian, analisa data, dan bagaimana menggunakan data yang ditemukan. Tujuan dari Participatory Action Research (PAR) tidak hanya untuk menghasilkan pengetahuan, tetapi juga tindakan dan menumbuhkan kesadaran. Peneliti mencari orang-orang yeng berpengaruh lewat proses dan menggunakan pengetahuan. Penelitian ini awalnya didasari dari ketidakmampuan dari kelompok yang akan diteliti. Sehingga, tujuan kunci adalah untuk menghasilkan sebuah dorongan yang dapat digunakan langsung untuk member peningkatan lewat pendidikan dan tindakan sosiopolitik(Polit dan Beck, 2012).

(40)

Kemmis, Mc Taggart & Nixon (2014) menjelaskan bahwa kegiatan Participatory Action Research (PAR) mengambil pandangan tertentu yang dipahami oleh partisipan, fokus tidak hanya pada partisipasi masyarakat dalam praktek tapi juga dipengaruhi oleh kolektif yang membuka ruang komunikasi untuk tindakan komunikasi, adanya kesepakatan bersama-sama untuk berusaha mencapai kesepakatan intersubjektif tentang ide-ide yang digunakan dan adanya rasa saling pengertian.

Pada action research, peneliti dapat mengembangkan teori untuk membahasnya dalam praktek sehingga bersama-sama partisipan dapat memahami bagaimana pelaksanaan praktek tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan dalam suatu diskusi yang melibatkan peneliti dan partisipan menghasilkan suatu kegiatan yang akan dilakukan untuk pengembangan suatu praktek untuk transformasi yang signifikan dalam perilaku dan konsekuensi dari praktek (Kemmis, Mc Taggart & Nixon, 2014).

Kemmis dan McTaggart (1988 dalam Denzin &Lincoln, 2009) menjelaskan bahwa action research sebagai bagian dari Participatory Action Research (PAR)memiliki 7 ciri utama yaitu: (1)PARadalah sebuah proses sosial, (2) PAR berciri parsipatoris, (3) PAR berciri praktis dan kolaboratif, (4) PAR berciri emansipatoris, (5) PAR berciri kritis, (6) PAR berciri recursif (refleksi, dialektis).

Parcipatory Action Research (PAR)adalah sebuah proses sosial. PAR

(41)

settingpendidikan dan pembangunan masyarakat, ketika manusia, secara individu

dan kolektif berusaha memahami bagaimana diri mereka dibentukdan dibentuk ulang sebagai individu-individu dan dalam hubungannya dengan satu sama lain di berbagai jenis setting, misalnya ketika kalangan guru bekerja sama bahu-membahu atau dengan para muridnya untuk meningkatkan proses belajar mengajar di kelas.

Parcipatory Action Research (PAR) berciri partisipatori. PAR mengajak manusia untuk mengkaji ilmu pengetahuan (pemahaman, kecakapan dan nilai-nilai) dan kategori-kategori interpretasi mereka (cara mereka menafsirkan diri sendiri dan tindakan dalam dunia sosial dan material). PAR merupakan proses yang menjadi sarana bagi masing-masing individu dalam sebuah kelompok berupaya untuk menangani cara-cara ilmu pengetahuannya membentuk kepekaannya akan rasa identitas dan keberfungsian diri serta merefleksikan secara kritis bagaimana ilmu pengetahuan saat ini membingkai dan membatasi tindakannya. PAR juga berciri partisipatori dalam pengertian bahwa manusia hanya dapat melakukan penelitian tindakan “terhadap” dirinya sendiri secara individual ataupun kolektif. PAR bukanlah penelitian yang dilakukan terhadap orang-orang lain.

(42)

untuk bereksplorasi cara untuk meningkatkan interaksi-interaksi mereka dengan merubah tindakan–tindakan yang membentuk interaksi tersebut yaitu mengurangi aspek-aspek interaksi yang dialami oleh para partisipan sebagai yang irasional, tidak produktif (tidak efisien), tidak adil, dan tidak memuaskan (menimbulkan alienasi). Para peneliti PAR berupaya untuk menjalin kerjasama dalam merekontruksi interaksi-interaksi sosial mereka dengan merekontruksi tindakan-tindakan yang membentuk interaksi tersebut.

Parcipatory Action Research (PAR) berciri emansipatori. PAR bertujuan untuk membantu manusia agar pulih dan melepaskan diri mereka dari tekanan-tekanan struktur sosial yang irasional, tidak produktif, tidak adil, dan tidak memuaskan yang membatasi perkembangan diri dan kemandirian diri. PAR merupakan sebuah proses yang menjadi sarana bagi manusia untuk mengeksplorasi cara-cara praktik mereka dibentuk dan ditentukan oleh struktur-struktur sosial (kultural, ekonomi dan politik)yang lebih luas dan mengkaji apakah diri mereka dapat ikut campur tangan untuk dapat melepaskan diri dari hambatan-hambatan tersebut, artinya jikalau mereka tidak dapat, maka apakah cara terbaik untuk ikut terlibat didalamnya dalam upaya meminimalkan tingkat hambatan-hambatan tersebut dalam menyumbang munculnya irasionalitas, kurang produktivitas (ketidakefisienan), ketidakadilan dan ketidakpuasan (alienasi) dikalangan manusia yang kerja dan kehidupannya ikut membentuk kehidupan sosial bersama.

(43)

hambatan-hambatan yang lekat dengan media sosial yang menjadi wahana interaksi mereka: bahasa (wacana) mereka, pola kerja mereka, dan relasi sosial kekuasaan(yang menjadi sarana bagi mereka untuk afilasi dan perbedaan, inklusi dan ekslusif-yaitu hubungan-hubungan yang berbicara secara gramatis, menjadi sarana bagi mereka untuk beriteraksi dengan orang-orang lain dalam pola orang ketiga, kedua dan pertama). PAR merupakan sebuah proses ketika manusia secara sadar berketetapan hati untuk memperjuangkan dan membentuk ulang cara-cara irasional, tidak produkti (tidak efisien), tidak adil, tidak memuaskan dalam menafsirkan dan mendeskripsikan dunia (bahasa/wacana)mereka, cara-cara kerja (pekerjaan), dan cara-cara menghubungkan diri dengan orang-orang lain (kekuasaan).

(44)
(45)

Gambar 2.1 SiklusAction Research

2.6.3 ProsesAction Research

Kemmis, Mc Taggart & Nixon (2014) menjelaskan dalam melaksanakan action research memerlukan beberapa langkah tindakan yang recoinnassance,planning, acting dan observing, reflecting.

Langkah pertama: Reconnasisancedilakukan untuk mencari permasalahan yang ada. Kegiatan yang dilakukan adalah dengan menggali pengalaman orang-orang/kelompok dengan orang-orang yang berbeda yang terlibat praktek.

Langkah kedua:Planning merupakan langkah awal yang perlu dilakukan untuk merencanakan suatu tindakan yang akan dilakukan dan mempertimbangkan konsekuensi yang akan diterima dari perubahan yang akan dilakukan, merencanakan, mendokumentasikan, mengumpulkan bukti tentang kegiatan yang akan dilakukan atau yang akan dilakukan perubahan.

Langkah ketiga: Actingdan observing adalah kegiatan dengan melakukan rencana aksi dan mengamati perilaku dan konsekuensi dari perubahan yang dilakukan setelah beberapa lama tergantung dari kegiatan atau perubahan yang dilakukan.

(46)

menginterpretasikan hasil dokumentasi sebagai bukti yang berhasil dikumpulkan. Atas dasar kegiatan refleksi ini, peneliti mulai berusaha mendapatkan kekurangan-kekurangan dari kegiatan yang berjalan dan melakukan perencanaan ulang tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya.

2.7Penelitian tentang Penerapan Diskusi Refleksi Kasus

Berdasarkan penelusuran artikel melaluidatabaseelektronik ditemukan 12 artikel terkait dengan penelitian-penelitian tentang diskusi refleksi kasus, istilah-istilah yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran ini adalahReflective Practice Education (RPE), Reflective Practice Intervention (RPI) yang mengacu pada proses pembelajaran reflektif. Lokasi penelitian pada artikel tersebut ditemukan di Iran, Pakistan,Jepang, Australia, Norwegia, Inggris, Kanada dan Amerika Serikat. Tahun publikasi artikel antara lain tahun 2005 (2 artikel), tahun 2007 (1 artikel), tahun 2011 (2 artikel), tahun 2012 (1 artikel), tahun 2013 ( 4 artikel) dan tahun 2015 (1 artikel).

(47)

panduan wawancara (indept interview, dan FGD), lembar observasi dan kuesioner.

Beberapa kuesioner yang digunakan untuk mengukur kemampuan refleksi perawat dan wawasannya terhadap praktek yang dilakukan yaitu seperti Self-Reflection and Insight Scale (SRIS) yang dikembangkan oleh Grant, Franklin dan Langford (2002). SRIS ini terdiri dari 2 domain yaitu Self Reflection (SR) dan Insight (IN) dengan rentang nilai crobach alphaSRIS-SR = 0.91 dan SRIS-IN= 0.87, untuk tes reliability lebih dari 7 minggu didapatkanSRIS-SR0.77 dan SRIS-IN 0.78. Questionnaire of Reflective Thinking (QRT) yang dikembangkan oleh Kember et al. (2000) untuk merefleksikan reaksi personal dalam 4 hal yaitu tindakan kebiasaan (habitual action), pemahaman (understanding), refleksi (reflection), dan refleksi kritis (Critical reflection), dengan nilai crobach alpha Habitual Action (HA),Understanding (U), Reflection (R) dan Critical Reflection

(CR) adalah 0.62 (HA), 0.75 (U), 0.63 (R) 0.67 (CR). Kuesioner Reflektive Practice (RPQ) yang dikembangkan oleh Dube & Duchrarme (2014) untuk menilai sikap dan pengetahuan perawat.

(48)

2.8 Kerangka teori

(49)

Keterangan :

P : Planning

A & O : Acting & Observing R : Reflection

Gambar 2.2 Kerangka teori dan Metodologi PengembanganProtokol Diskusi Refleksi Kasus (DRK) di Ruang Rawat InapRumah Sakit

Universitas Sumatera Utara

Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara

Pengembangan Protokol Diskusi Refleksi Kasus (DRK)

Protokol Diskusi Refleksi Kasus (DRK) di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit

Universitas Sumatera Utara R

P

A& O Interpersonal Teaching

Gambar

Gambar 2.2 Kerangka teori dan Metodologi PengembanganProtokol Diskusi RefleksiKasus (DRK) di Ruang Rawat InapRumah Sakit

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data dan pengukuran pencahayaan pada kondisi eksisting serta melakukan simulasi penyebaran cahaya dalam

manfaat alat peraga sebagai media pembelajaran dalam proses belajar peserta. didik, antara lain: pengajaran akan lebih menarik perhatian peserta

Penetapan standar kerja, penilaian pekerjaan, mengoreksi pekerjaan yang merupakan indikator dari pengawasan yang dilakukan kepada perawat harus lebih diperhatikan

Data temuan di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau juga menunjukkan masalah dalam pemberian latihan aktifitas fisik terhadap pasien congestive heart failure (CHF),

Setiap pekerja yang telah terdaftar pada BPJS kesehatan berhak mendapatkan identitas peserta dan manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan

Hasil dari pengembangan sistem registrasi pasien rawat inap ini adalah sebuah aplikasi yang terdiri dari tiga sub sistem, yaitu sub sistem input (data identitas

Hasil dari pengembangan sistem registrasi pasien rawat inap ini adalah sebuah aplikasi yang terdiri dari tiga sub sistem, yaitu sub sistem input (data identitas

Pengembangan sistem informasi manajemen Rumah Sakit dapat dilakukan. dengan menggunakan bantuan beberapa program komputer, seperti Visual