• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PROTOKOL LATIHAN AKTIFITAS FISIK PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT TK II PUTRI HIJAU TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGEMBANGAN PROTOKOL LATIHAN AKTIFITAS FISIK PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT TK II PUTRI HIJAU TESIS."

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PROTOKOL LATIHAN AKTIFITAS FISIK PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI RUANG

RAWAT INAP RUMAH SAKIT TK II PUTRI HIJAU

TESIS

Oleh

DENI SUSYANTI

157046021/ KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

THE DEVELOPMENT OF PHYSICAL ACTIVITY PROTOCOL IN THE CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) PATIENTS IN THE INPATIENT

WARDS OF PUTRI HIJAU LEVEL II HOSPITAL

THESIS

Oleh

DENI SUSYANTI

157046021/ MEDICAL SURGICAL NURSING

MASTER OF NURSING SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF NURSING

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)

PENGEMBANGAN PROTOKOL LATIHAN AKTIFITAS FISIK PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI RUANG

RAWAT INAP RUMAH SAKIT TK II PUTRI HIJAU

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah Pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DENI SUSYANTI

157046021/ KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal 28 Januari 2018

KOMISI PENGUJI TESIS

Ketua : Dewi Elizadiani Suza, S.Kp.,MNS.,Ph.D Anggota : Yesi Ariani, S.Kep., Ns., M.Kep.

Dr.dr.Zulfikri Mukhtar,Sp.JP(K),FIHA,FAsCC Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep, Sp.KMB

(5)
(6)
(7)

Judul Tesis: Pengembangan Protokol Latihan Aktifitas Fisik Pada Pasien Congestive Heart Failure (CHF) Di Ruang Rawat Inap Rumkit Tk II Putri Hijau

Nama Mahasiswa : Deni Susyanti

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2018

PENGEMBANGAN PROTOKOL LATIHAN AKTIFITAS FISIK PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DI RUANG RAWAT INAP

RUMKIT TK II PUTRI HIJAU ABSTRAK

Penderita congestive heart failure (CHF) sangat memerlukan program rehabilitatif yang komprehensif untuk mengembalikan kemampuan fisik paska serangan serta mencegah terjadinya serangan ulang, sehingga perlu dikembangkan protokol latihan aktifitas fisik pada pasien congestive heart failure (CHF) di ruang rawat inap Rumkit Tk II Putri Hijau.

Desain penelitian menggunakan action research melalui tiga siklus yang terdiri dari tahapan reconnaissance, planning, action, observation, serta reflection. Metode pengumpulan data dilakukan melalui in-dept interview, focus group discussion (FGD), self report dan observasi dengan menggunakan panduan in-dept interview, focus group discussion (FGD), kuesioner pengetahuan perawat tentang latihan aktifitas fisik pada pasien congestive heart failure (CHF), kuesioner efikasi diri atau keyakinan diri pasien congestive heart failure (CHF) dalam pemberian latihan aktifitas fisik, dan lembar observasi. Partisipan terdiri dari 35 orang perawat ruang rawat inap di Rumkit Tk II Putri Hijau.

Analisa data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif dianalisa secara content analysis. Data kuantitatif dengan uji statistik deskriptif.

Output penelitian ini adalah tersusunnya protokol latihan aktifitas fisik pada pasien congestive heart failure (CHF), dan terciptanya alur penerapan protokol latihan aktifitas fisik pada pasien congestive heart failure (CHF). Hasil observasi menunjukkan adanya penurunan tekanan darah pasien congestive heart failure (CHF) rata-rata sebesar 3,12 mmHg sesudah perawat memberikan protokol latihan aktifitas fisik pada pasien congestive heart failure (CHF).

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka direkomendasikan kepada pihak manajemen rumah sakit untuk monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan protokol latihan aktifitas fisik pada pasien congestive heart failure (CHF) di setiap ruang rawat inap.

Kata kunci: protokol, latihan aktifitas fisik, congestive heart failure

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Pengembangan Protokol Latihan Aktifitas Fisik Pada Pasien Congestive Heart Failure (CHF) Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Tk II Putri Hijau”.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengembangkan ilmu khususnya bidang keperawatan di Universitas Sumatera Utara.

2. Setiawan, S.Kp., MNS, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan izin dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Dewi Elizadiani Suza, S.Kp., MNS, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan, Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memfasilitasi penulis selama proses perkuliahan.

4. Dewi Elizadiani Suza, S.Kp., MNS, Ph.D, selaku Dosen Pembiimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, meluangkan waktu dan tenaga demi kesempurnaan tesis ini.

5. Yesi Ariani, S. Kep., Ns, M.Kep, selaku Dosen Pembimbing II, yang juga telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama proses penyelesaian tesis ini.

(10)

6. Dr.dr.Zulfikri Mukhtar, Sp.JP(K), FIHA, FAsCC selaku Dosen Penguji I, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.

7. Rosina Tarigan, SKp., M.Kep, Sp.KMB, selaku Dosen Penguji II, yang juga telah banyak memberikan kritik dan saran dalam penyelesaian tesis ini.

8. Karumkit beserta staf Rumah Sakit Tk. II Putri Hijau yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Tk. II Putri Hijau.

9. Seluruh perawat ruangan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Tk. II Putri Hijau yang bersedia menjadi partisipan selama proses penelitian.

10. Seluruh staf administrasi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang memfasilitasi proses penyelesaian administrasi tesis ini.

11. Akper Kesdam I/BB Medan, yang telah memberikan dukungan moril dan finansial selama proses penyelesaian studi pada Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara.

12. Orangtua tercinta, suami, anak- anak, saudara/i dan seluruh rekan sejawat yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan keberkahan untuk kita semua. Amiin....

Medan, Januari 2018 Penulis,

Deni Susyanti

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN

SAMPUL DALAM ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iv

LEMBAR KOMISI PENGUJI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Permasalahan ... 7

Tujuan Penelitian ... 8

Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10

Konsep Umum Gagal Jantung Kongesti... 10

Definisi dan etiologi gagal jantung Kongesti ... 10

Patofisiologi gagal jantung Kongesti ... 15

Manifestasi klinis gagal jantung Kongesti ... 18

Komplikasi gagal jantung Kongesti... 22

Manajemen Keperaatan pada Klien dengan Gagal Jantung Kongesti ... 23

Terapi non pembedahan ... 23

Terapi pembedahan ... 27

Peran Perawat pada Pasien dengan Gagal Jantung Kongesti ... 28

Pengkajian keperawatan ... 28

Diagnosa keperawatan ... 28

Latihan Fisik pada Pasien Gagal Jantung Kongesti ... 28

Pengertian latihan fisik ... 29

Tujuan latihan fisik ... 30

Kontraindikasi latihan fisik ... 30

Adaptasi tubuh terhadap latihan fisik ... 31

Program latihan fisik... 33

Prinsip latihan fisik ... 35

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 36

Jenis Penelitian ... 36

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

Partisipan Penelitian ... 37

(12)

Alat pengumpulan data ... 41

Teknik pengumpulan data... 46

Tahapan penelitian action research ... 48

Variabel dan Defenisi Operasional ... 50

Metode Analisis Data ... 50

Analisis kualitatif ... 51

Analisis kuantitatif ... 51

Pertimbangan Etik ... 52

Tingkat Keabsahan Data (Trustworthiness of Data) ... 52

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 58

Deskripsi Lokasi Penelitian ... 59

Karakteristik Demografi Partisipan ... 59

Proses Pengembangan Protokol Latihan Aktifitas Fisik Pada Pasien CHF di ruang rawat inap Rumah Sakit Tk II Putri Hijau ... 60

BAB 5 PEMBAHASAN ... 87

Proses Pelaksanaan Action Research ... 87

Pengembangan protokol latihan aktifitas fisik pada pasien congestive heart failure (CHF) ... 93

Pelajaran yang didapat dari Penelitian Action Research (Lesson Learned) Keterbatasan Penelitian ... 94

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

Kesimpulan ... 96

Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98

LAMPIRAN

(13)

DAFTAR TABEL

HALAMAN Tabel 3.1 Proses Penelitian ... 55 Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Perawat... 60 Tabel 4.2 Pengetahuan Perawat Tentang Latihan Aktifitas Fisik Pada Pasien

Congestive Heart Failure di Rumah Sakit Tk II Putri Hijau ... 63 Tabel 4.3 Efikasi Diri Atau Keyakinan Diri Pasien Congestive Heart Failure

Terhadap Latihan Aktifitas Fisik di Rumah Sakit Tk II Putri Hijau .. 64 Tabel 4.4 Penerapan Protokol Latihan Aktifitas Fisik Pada Pasien Congestive

Heart Failure di Rumah Sakit Tk II Putri Hijau ... 74 Tabel 4.5 Distribusi Rata- Rata Tekanan Darah Sistole Sebelum dan Sesudah

Pemberian Latihan Aktifitas Fisik Pada Pasien Congestive Heart Failure ... 74 Tabel 4.6 Distribusi Rata- Rata Tekanan Darah Diastole Sebelum dan Sesudah

Pemberian Latihan Aktifitas Fisik Pada Pasien Congestive Heart Failure ... 76 Tabel 4.7 Efikasi Diri Atau Keyakinan Diri Pasien Congestive Heart Failure

Terhadap Latihan Aktifitas Fisik di Rumah Sakit Tk II Putri Hijau . 74 Tabel 4.8 Perbandingan Analisis Kuantitatif Pengetahuan Perawat Sebelum dan

Sesudah Penerapan Protokol Latihan Aktifitas Fisik Pada Pasien Congestive Heart Failure ... 83 Tabel 4.9 Perbandingan Analisis Kuantitatif Efikasi Diri Atau Keyakinan Diri

Pasien Congestive Heart Failure Sebelum dan Sesudah Penerapan Protokol Latihan Aktifitas Fisik Pada Pasien Congestive Heart Failure ... 83 Tabel 4.10 Matriks Tema ... 85

(14)

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN Gambar 5.1 Kegiatan Penelitian Pengembangan Protokol Latihan Aktifitas

Fisik Pada Pasien Congestive Heart Failure ... 86

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

HALAMAN

Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 106

Lampiran 2 Biodata Expert ... 118

Lampiran 3 Izin Penelitian ... 119

Lampiran 4 Dokumentasi Kegiatan Penelitian ... 126

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi.

Penyebabnya ini adalah kelainan otot jantung dan penyakit jantung lain yang mengakibatkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).

Manifestasi klinis gagal jantung yang dapat dijumpai rasa cepat lelah, sesak saat aktivitas, sesak saat malam hari (paroxysmal nocturnal dyspnea), ortopnu, takikardia, peningkatan tekanan vena juguralis, gallop S3, ronki basah halus tak nyaring, hepatomegali dan edema (Alwi, 2012). Kondisi ini menyebabkan ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari – hari, mengganggu atau membatasi pekerjaan atau aktivitas yang disukai.

Insiden gagal jantung mengalami peningkatan secara konsisten, walaupun terjadi kemajuan teknologi dalam diagnostik dan penatalaksanaan gagal jantung.

Di Amerika Serikat 5,7 juta orang menderita gagal jantung, 670.000 kasus baru diagnosa setiap tahun. American Heart Association memperkirakan biaya yang dibutuhkan untuk pasien jantung $33 juta setiap tahun (American Heart Association, 2010). Meskipun akhir- akhir ini banyak kemajuan dalam hal evaluasi dan penanganan gagal jantung, terjadinya gagal jantung simtomatis masih membawa prognosis yang buruk (Loscalzo, 2016).

(17)

Penyakit jantung saat ini menduduki urutan pertama penyebab kematian di Indonesia, sekitar 25 % dari seluruh kematian hampir disebabkan oleh gangguan kelainan jantung (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data Rekam Medis prevalensi pasien rawat inap di Rumkit Tk II Putri Hijau Tahun 2016 jumlah pasien gagal jantung adalah Triwulan III sebanyak 61 orang dan Triwulan IV sebanyak 31 orang.

Melihat prevalensi penyakit jantung diatas diketahui bahwa jumlah penyakit jantung semakin hari semakin bertambah begitu juga dengan kejadian dengan kejadian rawat inap ulang. Salah satu upaya yang diperlukan untuk menurunkan prevalensi dan menekan lajunya rehospitalisasi pada pasien congestive heart failure (CHF) tersebut adalah dengan cara mengoptimalkan status kesehatan, dengan merubah gaya hidup dan melakukan rehabilitasi jantung yakni mobilisasi (Arovah, 2010)

Ketidakpatuhan responen dalam terapi gagal jantung merupakan hal yang sering terjadi, diperkirakan 40-60 % tidak patuh terhadap pengobatan dan 43-93

% tidak patuh terhadap perubahan gaya hidup (Schub & Cabrera, 2010).

Rendahnya kepatuhan ini mengakibatkan tingginya angka dirawat ulang pada pasien gagal jantung.

Penderita congestive heart failure (CHF) sangat memerlukan program rehabilitatif yang komprehensif untuk mengembalikan kemampuan fisik paska serangan serta mencegah terjadinya serangan ulang. Latihan fisik pada penderita congestive heart failure (CHF) bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan pada pasien dan keluarga dalam mencegah

(18)

perburukan dan membantu pasien untuk kembali dapat beraktifitas fisik seperti sebelum mengalami congestive heart failure (CHF) (Arovah, 2010).

Penderita gangguan jantung perlu untuk diajarkan melakukan aktivitas secara bertahap dengan tujuan toleransi aktivitas dapat meningkat pula. Aktivitas dilakukan dengan melihat respon sepeti peningkatan nadi, sesak napas dan kelelahan. Aktivitas akan melatih kekuatan otot jantung sehingga gejala gagal jantung semakin berkurang. Aktivitas ini akan dapat dilakukan secara informal dan lebih efektif apabila dirancang dalam program latihan fisik rehabilitatif yang terstruktur (Arovah, 2010). Program latihan ini akan dibagi menjadi tiga fase utama yakni fase inpatient, outpatient dan pemeliharaan.

Latihan aktivitas yang disesuaikan dengan toleransi pasien gagal jantung menjadi salah satu intervensi yang dapat dilakukan. Latihan aktivitas yang disesuaikan dengan toleransi bertujuan untuk meminimalkan kebutuhan (demand) oksigen tubuh sehingga metabolisme anaerob dapat dikurangi. Selain itu,latihan aktivitas bermanfaat untuk melatih jantung beradaptasi dengan kapasitas maksimal dalam menjalankan fungsinya.

Penelitian Safdar (2011) yakni latihan fisik ternyata dapat merangsang biogenesis, mencegah deplesi dan mutasi mitokondria DNA, meningkatkan kapasitas oksidatif, mengembalikan morfologi mitokondria, dan menghambat apoptosis secara patologis pada jaringan termasuk jantung dengan nilai p value = 0,000.

Berdasarkan penelitian Suharsono (2013) tentang dampak home based exercise training terhadap kapasitas fungsional pasien gagal jantung di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi, bahwa latihan fisik yang dilakukan adalah aerobic berupa

(19)

jalan kaki, dengan durasi 30 menit selama 1 bulan, frekuensi 3 kali dalam 1 minggu.

Hasil review sistematis yang dilakukan oleh Pollentier, Irons, Marie, Diane, dan Newton (2010) tentang examination of the 6MWT to determine fungtional capacity in people with chronic heart failure menyatakan bahwa korelasi antara Six minute walk test (6MWT) dengan konsumsi oksigen maksimal (VO2 max) adalah sedang-kuat. Terdapat korelasi yang kuat jika pasien mempunyai hasil Six minute walk test (6MWT) < 300 meter atau konsumsi oksigen maksimal rendah (<10 mL/kg/min). Six minute walk test mempunyai nilai prediksi yang rendah terhadap VO2 max jika pasien mempunyai konsumsi oksigen maksimal tinggi. Six minute walk test sangat sesuai untuk alat ukur dalam pemantauan serial atau respon terhadap suatu intervensi.

Kapasitas fungsional dapat ditingkatkan, salah satunya dengan melakukan latihan fisik. Latihan aktivitas fisik yang benar, teratur dan terukur untuk mencapai kebugaran yang optimal (Muizzah, 2013). Latihan fisik yang berupa mobilisasi ringan sudah dapat dilakukan sejak 48 jam setelah gangguan jantung sepanjang tidak terdapat ada kontraindikasi. Latihan fisik yang dilakukan terbatas pada aktivitas sehari- hari misalnya gerakan tangan dan kaki dan pengubahan postur. Program latihan biasanya berupa terapi fisik ambulatory yang diawasi.

Dampak gagal jantung terhadap kualitas hidup berawal dari keterbatasan fisik, penurunan kapasitas untuk melakukan aktivitas sehari-hari, dan ketidakmampuan bekerja akibat dari gejala penyakit. Gagal jantung mempengaruhi kualitas hidup yang menyebabkan kualitas hidupnya buruk (Markku, 2015). Kondisi ini terjadi karena semakin memburuknya derajat gagal

(20)

jantung, yang berefek langsung terhadap kemampuan fungsional. Peningkatan kapasitas fungsional memberikan kemampuan pada pasien untuk melakukan aktivitas secara mandiri dan bermakna secara sosial.

European Society of Cardiology (ESC) Heart Failure (2016) menyatakan bahwa kondisi fisik dengan latihan dan olahraga dapat meningkatkan toleransi latihan, kualitas hidup, dan mungkin dapat juga memberikan efek yang memuaskan bagi kesembuhan pasien. Latihan fisik dapat menurunkan angka dirawat kembali, biaya perawatan, dan membantu meningkatkan kualitas hidup pasien secara keseluruhan.

Latihan fisik terstruktur aman dilakukan pada pasien gagal jantung. Hal ini didukung oleh beberapa bukti yang akurat, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Leslie (2010) terhadap 22 pasien gagal jantung yang melakukan uji latihan jantung dimana olahraga yang dilakukan tidak merugikan kesehatan dan kesejahteraan juga mempertinggi fungsi fisik pasien gagal jantung. Latihan fisik terbukti efektif dan aman dilakukan untuk pasien gagal jantung. Sadar akan pentingnya latihan fisik bagi pasien gagal jantung, Conraads (2015) merekomendasikan latihan fisik sebagai bagian dari standar penatalaksanaan gagal jantung. Latihan fisik yang dilakukan secara terprogram dan teratur akan memberikan hasil yang maksimal.

Penelitian Viral (2015) terhadap 33 pasien gagal jantung yang disertakan dengan 4740 partisipan yang didominasi dengan adanya penurunan ejeksi fraksi (<40%) dan kelas New York Heart Association II dan III. Dibandingkan dengan kontrol, sementara tidak ada perbedaan dari semua penyebab kematian pasien gagal jantung dengan latihan rehabilitasi jantung dengan tindak lanjut untuk 1

(21)

tahun, ada tren terhadap penurunan uji coba dengan tindak lanjut atas 1 tahun.

Latihan rehabilitasi jantung mengurangi risiko keseluruhan dan mengakibatkan perbaikan klinis dengan menggunakan heart failure kuesioner.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Downing dan Balady (2011);

Christine dan Schulze (2011) menyatakan bahwa latihan olahraga terbukti memperbaiki beberapa hal seperti adanya perubahan perbaikan terhadap pada otot rangka, pembuluh darah dan sistem ventilasi pasien CHF.

Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh Badriyah (2013), Yenni, Nurchayati, dan Sabrian (2014) menyatakan bahwa belum dilaksanakannya rehabilitasi jantung secara benar dan kontinu, ketidakpatuhan pasien gagal jantung untuk melakukan latihan rehabilitasi masih tinggi dimana 4 dai 5 pasien gagal jantung yang di survey mengatakan tidak mengetahui tentang latihan rehabilitasi jantung, pasien tersebut mengakui tidak pernah melakukan latihan rehabilitasi jantung selama di rumah karena tidak ada teman untuk melakukan kegiatan tersebut.

Di Indonesia latihan fisik dilakukan secara terpusat di rumah sakit. Data resmi tentang cakupan dan partisipasi program pada pasien gagal jantung di Indonesia belum didapatkan sampai saat ini belum didapatkan laporan adanya program latihan fisik dan pedoman latihan fisik yang terpusat di rumah sakit maupun home based exercise training (HBET) bagi pasien gagal jantung di rumah sakit. Perawat juga belum memberikan pendidikan kesehatan yang memadai karena tidak tersedianya protokol latihan fisik di rumah sakit tersebut berdasarkan penelitian (Suharsono, 2011).

(22)

Perawat sebagai tenaga kesehatan profesional yang diharapkan dapat membantu menfasilitasi perubahan gaya hidup dan latihan fisik pasien gagal jantung sampai saat ini belum berjalan efektif. Padahal perawat dapat menjadi edukator, supervisor dan konselor yang efektif bagi pasien gagal jantung untuk melakukan latihan fisik.

Kejadian tersebut menuntut perawat memberikan reaksi segera atas status kesehatan pasien seperti yang dikemukakan oleh Jean Watson tentang Caring bahwa upaya keperawatan dalam memenuhi kebutuhan individu dengan cara mengenal dan memenuhi kebutuhannya.

Survey awal yang dilakukan peneliti melalui observasi dan wawancara terhadap perawat pelaksana di Rumah Sakit Tk II Putri Hijau di dapatkan data, bahwa perawat tidak menjelaskan tentang latihan aktifitas fisik kepada pasien CHF, intervensi diberikan hanya bertujuan untuk mengurangi edema pada daerah ekstremitas bawah, serta pembatasan cairan. Hal ini dikarenakan protokol latihan aktifitas fisik pada pasien CHF belum ada.

Permasalahan

Masalah dalam penelitian merupakan kesenjangan antara pengetauan dengan praktek (Bruns & Grove, 2010). Penelitian Downing dan Balady (2011);

Christine dan Sculze (2011) menyatakan bahwa latihan olahraga terbukti memperbaiki beberapa hal seperti adanya perubahan perbaikan terhadap pada otot rangka, pembuluh darah dan sistem ventilasi pasien CHF. Dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh Badriyah (2013), Yenni, Nurchayati, dan Sabrian (2014) menyatakan bahwa belum dilaksanakannya rehabilitasi jantung secara benar dan

(23)

kontinu, ketidakpatuhan pasien gagal jantung untuk melakukan latihan rehabilitasi masih tinggi dimana 4 dari 5 pasien gagal jantung yang di survey mengatakan tidak mengetahui tentang latihan rehabilitasi jantung, pasien tersebut mengakui tidak pernah melakukan latihan rehabilitasi jantung selama di rumah karena tidak ada teman untuk melakukan kegiatan tersebut.

Data temuan di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau juga menunjukkan masalah dalam pemberian latihan aktifitas fisik terhadap pasien congestive heart failure (CHF), yaitu perawat tidak menjelaskan tentang latihan aktifitas fisik kepada pasien congestive heart failure (CHF), intervensi diberikan hanya bertujuan untuk mengurangi edema pada daerah ekstremitas bawah, serta pembatasan cairan. Masalah yang terjadi dikarenakan protokol latihan aktifitas fisik pada pasien congestive heart failure (CHF) belum ada. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan yaitu masalah di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau harus segera menyusun protokol latihan aktifitas fisik pada pasien congestive heart failure (CHF) di ruang rawat inap Rumah Sakit Tk II Putri Hijau.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan protokol latihan aktifitas fisik pada pasien CHF berupa pedoman di ruang rawat inap Rumah Sakit Tk II Putri Hijau.

(24)

Manfaat Penelitian Rumah sakit

Hasil penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu pedoman latihan aktifitas fisik yang efektif. Pedoman yang tercipta dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pelayanan dalam keperawatan khususnya pasien CHF.

Praktek keperawatan

Bagi perawat memberikan konstribusi untuk mengembangkan latihan aktifitas fisik dan dapat diaplikasikan di ruang rawat inap Rumah Sakit Tk II Putri Hijau. Panduan tentang latihan aktifitas fisik akan membantu perawat dalam memberikan pelayanan dalam keperawatan.

Pendidikan keperawatan

Dapat menjadi pedoman latihan aktifitas fisik di ruang rawat inap Rumah Sakit Tk II Putri Hijau sehingga peserta didik saat belajar tentang latihan aktiitas isik pada pasien CHF di akademik dan saat melaksanakan praktek di rumah sakit akan mendapatkan panduan yang sama dalam melakukannya.

Penelitian keperawatan

Bagi perkembangan riset keperawatan penelitian ini akan menjadi salah satu data riset keperawatan yang dapat dikembangkan sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya.

(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Umum Gagal Jantung Kongesti

Gagal jantung Kongesti merupaka salah satu diagnosis di rumah sakit yang utama pada usia lanjut dan dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Prevalensinya meningkat di banyak negara maju seiring dengan meningkatnya populasi usia lanjut dan perubahan pola hidup kurang sehat dari masyarakat. Penelitian pada populasi umum berdasarkan kriteria klinis menunjukkan prevalensinya berkisar antara 0.3-2%, meningkat lebih dari 10%

pada usia > 65 tahun. Mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sebanding dengan penyakit keganasan, dimana sekitar 60% pasien akan meninggal dalam 5 tahun sejak diagnosis ditetapkan. Pasien dengan kelas NYHA IV mempunyai tingkat mortalitas tahunan sekitar 50%. Pasien yang dirawat karena gagal jantung kronik mempunyai laju mortalitas 1-20% dalam 1 bulan setelah perawatan pertama, dan 30-45% dalam 1 tahun setelah perawatan pertama (Alwi, 2012).

Definisi dan etiologi gagal jantung Kongesti

Congestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu sindrom ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. Gagal jantung Kongesti paling sering digunakan apabila terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan (Kasron, 2016). Definisi lain menyebutkan bahwa gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan (Klabunde, 2012). Ciri-ciri yang penting dari

(26)

defenisi ini adalah pertama defenisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh, kedua penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium. Gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya.

Berdasarkan letak sisi jantung yang mengalami kerusakan, gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Sedangkan berdasarkan progresi penyakitnya, gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis (Black & Hawks, 2009). Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan NYHA. Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut yang dibuat berdasarkan gejala klinis dan penemuan foto rontgen toraks (Santoso, 2011), dengan pembagian: 1) derajat I tanpa gagal jantung, 2) derajat II Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis, 3) derajat III Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru, dan 4) derajat IV Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik- 90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).

Klasifikasi Forrester dibuat berdasarkan gejala klinis dan karakteristik hemodinamik seperti tanda-tanda kongesti dan kecukupan perfusi (Santoso,

(27)

2011). Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronkhi basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi menjadi empat kelas, yaitu: 1) kelas I (A) kering dan hangat (dry – warm), 2) kelas II (B) basah dan hangat (wet – warm), 3) kelas III (L) kering dan dingin (dry – cold), dan 4) kelas IV (C) basah dan dingin (wet – cold).

Sedangkan klasifikasi gagal jantung yang dikenal adalah klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA) dengan melihat pada tanda dan gejala sehari-hari yang dialami pasien dengan gagal jantung terutama keluhan sesak napas ketika beraktivitas dalam beberapa tingkatan (Mansjoer, 2001), yaitu: 1) NYHA kelas I, aktifitas fisik yang biasa dilakukan sehari- hari tidak menyebabkan kelelahan, sesak nafas, dan palpitasi, 2) NYHA kelas II, sedikit mengalami keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari- hari, terasa nyaman bila dibuat istirahat, misalnya menaiki tangga, mencuci pakaian menyebabkan pasien kelelahan, sesak nafas, dan palpitasi, 3) NYHA kelas III, mengalami keterbatasan bermakna dalam melakukan aktifitas sehari- hari, gejala akan hilang dengan istirahat. Aktifitas ringan seperti berjalan di permukaan datar menyebabkan sesak nafas, dan 4) NYHA kelas IV, gejala gagal jantung terjadi meskipun saat istirahat dan meningkat saat beraktifitas (Davis, 2004; Levine, 2010).

(28)

Pada tahun 2001 the American College of Cardiology/ American Heart Association (ACC/AHA) memperkenalkan sistem klasifikasi derajad gagal jantung. Sistem klasifikasi ini mempunyai okus yang berbeda dengan klasifikasi yang dilakukan NYHA sebelumnya. ACC/AHA lebih berfokus terhadap pencegahan dan perkembangan gejala gagal jantung. Klasifikasi ini dibagi menjadi 4 tahap, yaitu: 1) stage A : pasien yang mempunyai resiko mengalami gagal jantung tetapi tidak mengalami kelainan struktur jantung atau gagal jantung, misalnya: pasien hipertensi, penyakit jantung koroner, kegemukan, diabetes melitus, alkoholik, 2) stage B : pasien dengan kelainan struktur jantung tetapi tidak mengalami tanda dan gejala gagal jantung, misalnya: pasien infark miokard lama, pasien hipertrofi ventrikel kiri, kelainan katup jantung tanpa gejala, 3) stage C : pasien kelainan struktur jantung dengan gejala gagal jantung pada saat ini atau riwayat gagal jantung sebelumnya, dan 4) stage D : pasien gagal jantung berulang yang memerlukan intervensi khusus (Davis, 2004; Levine, 2010).

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal (multi faktor). Secara epidemiologi cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di Negara berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung.

Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita. Beberapa faktor yang diyakini menjadi penyebab terjadinya gagal jantung Kongesti antara lain adalah (Kasron, 2016):

(29)

Kelainan otot jantung

Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, sebagai akibatnya adalah terjadi penurunan kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi atrial, dan penyakit otot degenerative atau inflamasi.

Aterosklerosisi koroner

Aterosklerosisi koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.

Hipertensi sistemik atau pulmonal

Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload) meningkatkan beban kerja jantung yang manifestasi akhirnya dapat menyebabkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek serabut, (hipertrofi miokard) dapat di anggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Akan tetapi, pada kondisi tertentu hipertrofi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara nirmal, dan akhirnya memicu terjadinya gagal jantung.

Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif

Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, sehingga pengaruhnya menyebabkan kontraktilitas jantung menurun.

Penyakit jantung lain

Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme yang biasanya terlihat

(30)

mencakup gangguan aliran darah melalui jantung (misal: stenosis katup seminular), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (misal: temponade pericardium), perikarditis konstruktif, atau stenosis katup AV, atau dapat juga karena pengosongan jantung abnormal (misal: insufisiensi katup AV).

Peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya tekanan darah sistemik (hipertensi maligna) dapat menyebabkan gagal jantung meskipun tidak ada hipertrofi miokardial.

Faktor sistemik

Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: hipertermia, tirotoksikosis), hipoksia, dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia atau anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis (respiratorik atau metabolik) dan abnormalitas elektrolit juga dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Disritma jantung yang dapat terjadi dengan sendirinya atau secara sekunder akibat gagal jantung menurunkan efisiensi keseluruhan fungsi jantung.

Patofisiologi gagal jantung Kongesti

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal.

Frekuensi jantung adalah fungsi sistem saraf otonom. Apabila curah jantung berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Ketika mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup

(31)

jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.

Tetapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Insufisensi suplai jantung ditentukan oleh cardiac output. Faktor yang mempengaruhi atau membentuk cardiac output adalah heart rate dan stroke volueme. Stroke volume jantung dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu preload, contractility, dan afterload. Apabila ketiga variabel pembentuk stroke volume mengalami gangguan atau kerusakan maka akan berpengaruh terhadap cardiac output yang menyebabkan gagal jantung (Black & Hawks, 2009).

Suharsono (2011) dalam penelitiannya menjelaskan pengaruh ketiga variabel pembentuk stroke volume. Variabel pertama yaitu preload merupakan volume yang masuk menuju ventrikel kiri jantung, menggambarkan end diastolik pressure pada kondisi klinik sering diukur dengan right arterial pressure.

Preload selain dipengaruhi oleh volume dalam ventrikel juga dipengaruhi oleh hambatan pengisian ventrikel. Peningkatan tekanan positif intrapleural seperti pada kasus pasien dengan asma dan COPD dapat menurunkan pengisian ventrikel. Apabila volume meingkat maka jantung akan bekerja lebih keras untuk memompa darah dari kondisi fisiologis/ normal.

Fungsi diastolik jantung ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dan relaksasi miokardial. Relaksasi terjadi pada awal diastolik, pada ventrikel kiri yang merupakan tempat terjadiny pross aktif yang menyebabkan pengisian ventrikel kiri. Kehilangan elastisitas dan relaksasi pada ventrikel kiri akan

(32)

menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi dari jantung itu sendiri yang berpengaruh terhadap terganggunya pengisian jantung

Variabel kedua yang berpengaruh terhadap stroke volume adalah kontaktilitas otot jantung. Kontraktilitas menggambarkan kekuatan pompa otot jantung yang dapat diukur dengan menilai fraksi ejeksi (EF). Pada kondisi normal fungsi sistolik akan mempertahankan EF > 50-55%.

Variabel ketiga adalah afterload merupakan tahanan yang harus dilawan jantung ketika berkontraksi. Afterload dapat diukur dengan mean arterial pressure (MAP). Pada kondisi fisiologis, jantung mampu melawan tahanan afterload sampai 140 mmHg. Tekanan intratorak juga berpengaruh terhadap afterload.

Gagal jantung khususnya gagal fungsi ventrikel kiri biasanya diawali dengan penurunan cardiac output. Ketika jantung mulai mengalami kegagalan, aktivasi neuro-hormonal menghasilkan vasokontriksi sistemik, retensi cairan, dan natrium untuk meningkatkan cardiac output dan mempertahankan tekanan darah.

Mekanisme kompensasi tersebut akan berlangsung dalan jangka pendek, akan tetapi proses kerusakan otot jantung terus terjadi dan dapat semakin memburuk (Black & Hawks, 2009).

Tubuh secara fisiologis akan melakukan kompensasi terhadap respon yang tidak sesuai. Sebagai bentuk kompensasi, jantung terutama bagian ventrikel akan meningkatkan tekanan secara persisten yang dapat menyebabkan penebalan dan kekakuan dinding ventrikel. Proses tersebut disebut sebagai cardiac remodelling.

Hasil dari remodelling ini adalah pembesaran/ hipertrofi dan pompa jantung yang tidak efektif. Keadaan tersebut memicu aktivasi berlebihan sistem neuro- hormonal yang menyebabkan frekuensi nadi meningkat (tachicardi). Pengaruh

(33)

dari perubahan tersebut mnyebabkan penurunan perfusi kororner dan pningkatan konsumsi oksigen untuk organ jantung (Suharsono, 2011).

Kondisi patologi ini menghasilkan gejala seperti sesak nafas akibat kongesti pembuluh darah paru, intoleransi aktivitas akibat kerusakan aliran darah ke otot, dan edema akibat retensi cairan (Black & Hawks, 2009).

Manifestasi klinis gagal jantung Kongesti

Manifestasi klinis yang dominan atau sering muncul pada klien dengan penyakit gagal jantung Kongesti adalah meningkatnya volume intravaskuler.

Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat menurunnya curah jantung pada kegagalan jantung Kongesti. Peningkatan tekanan vena pulmonalis dapat menyebabkan cairan mengalir dari kapiler paru menuju alveoli, sebagai akibatnya dapat terjadi edema paru yang dimanifestasikan dengan batuk dan napas pendek. Meningkatnya tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan penambahan berat badan (Lascalzo, 2014).

Penurunan curah jantung pada penyakit gagal jantung Kongesti dimanifestasikan secara luas karena darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ (perfusi jaringan dan organ menurun/rendah) untuk menyampaikan oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme sel atau jaringan. Efek yang dapat terjadi sebagai akibat dari perfusi jaringan yang rendah adalah pusing, konfusi, kelelahan, tidak toleran terhadap latihan dan panas, ektrimitas dingin, dan haluaran urin berkurang (oliguri). Tekanan perfusi ginjal menurun, mengakibatkan pelepasan rennin dari ginjal yang pada gilirannya dapat

(34)

menyebabkan sekresi hormone aldosteron, retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume intravaskuler.

Manifestasi klinis gagal jantung Kongesti dapat diklasifikasikan lebih spesifik lagi pada sisi area jantung yang mengalami kelainan atau kerusakan, berikut adalah penjelasannya:

Gagal jantung kiri dan kanan

Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal ventrikel kiri paling sering mendahului gagal ventrikel kanan. Gagal ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru akut. Karena curah ventrikel berpasangan atau sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel dapat mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Tetapi manifestasi klinis Kongesti dapat berbeda-beda tergantung pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi.

Gagal jantung kiri

Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkanan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang dapat terjadi meliputi dipsnue, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardia) dengan bunyi denyut S1, kecemasan dan kegelisahan.

Dipsnea terjadi sebagai akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Dipsnea bahkan dapat terjadi ketika istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau sedang. Dapat terjadi ortopnu, kesulitan bernapas ketika berbaring. Beberapa pasien hanya mengalami ortopnu pada malam hari, suatu kondisi yang dinamakan proximal noktural dispnea (PND). Hal ini terjadi bagi pasien yang sebelumnya duduk lama dengan posisi

(35)

kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring ke tempat tidur. Setelah beberapa jam cairan yang tertimbun di ekstrimitas yang sebelumnya berada dibawah mulai di absorbsi, dan ventrikel kiri yang sudah terganggu tidak mampu mengosongkan peningkatan volume dengan adekuat. Akibatnya, tekanan dalam sirkulasi paru meningkat dan dampak lebih lanjut adalah cairan berpindah ke alveoli.

Batuk yang berhubungan dengan gagal ventrikel kiri bisa kering dan tidak produktif tetapi yang tersaring adalah batuk basah, yaitu batuk yang menghasilkan sputum berbusa dalam jumlah banyak yang kadang disertai darah.

Mudah Lelah terjadi akibat curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Kelelahan juga dapat terjadi sebagai akibat meningkatnya energy yang digunakan untuk bernapas dan insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk.

Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigen jaringan, stress akibat kesakitan bernapas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan bak. Seringkali ketika terjadi kecemasan, terjadi juga dipsnu yang pada gilirannya memperberat kecemasan.

Gagal jantung kanan

Apabila kerusakan atau kegagalan terjadi pada ventrikel kanan jantung maka manifestasi klinis yang menonjol adalah kongesti visera dijaringan perifer.

Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi atau memenuhi semua darah yang secara normal kembali ke sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ektrimitas bawah (edema dependen) yang biasanya

(36)

merupakan pitting edema, pertambahan BB, hepatomegali, distensi vena leher, asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneum), anoreksia dan mual, nokturia dan lemah.

Edema dimulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap bertambah ke atas tungkai dan pada, akhirnya dapat mencapai bagian genital eksterna dan tubuh bagian bawah. Edema sacral sering terjadi pada pasien dengan kondisi berbaring lama (bed-rest), karena daerah sacral menjadi daerah yang dependen. Pitting edema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan dengan ujung jari, akan terlihat jelas setelah terjadi retensi cairan paling tidak sebanyak 4,5 kg.

Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar. Apabila proses ini berkembang , maka tekanan dalam pembuluh portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen, suatu kondisi yang dinamakan asites. Pengumpulan cairan di rongga abdomen dapat menyebabkan tekanan pada diafragma dan distress pernapasan.

Anoreksia (hilangnya selera makan) dan mual akibat pembesaran vena dan statis vena di dalam rongga abdomen. Nokturia atau rasa ingin kencing pada malam hari terjadi karena perfusi renal di dukung oleh posisi klien pada saat berbaring. Diuresis terjadi paling sering pada malam hari karena curah jantung akan membaik dengan istirahat.

Lemah yang menyertai gagal jantung sisi kanan disebabkan karena menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan pembuangan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan.

(37)

Komplikasi gagal jantung kongesti

Menurut Kasron (2016) potensial komplikasi meliputi: 1) syok kardiogenik yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40 % atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vocal di seluruh ventrikel karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen miokardium, 2) episode tromboemboli, 3) edema paru terjadi dengan cara yang sama seperti edema dimana saja didalam tubuh. Faktor apapun yang menyebabkan cairan interstitial paru meningkat dari batas negatif menjadi batas positif. Penyebab kelainan paru yang paling umum adalah gagal jantung kiri dan kerusakan pada membran paru akibat infeksi. Gagal jantung sisi kiri (penyakit katup mitral) dengan akibat peningkatan tekanan kapiler paru dan membanjiri ruang interstitial dan alveoli.

Sedangkan, kerusakan pada membran kapiler paru yang disebabkan oleh infeksi seperti pneumonia atau terhirupnya bahan-bahan yang berbahaya seperti gas klorin atau gas sulfur dioksida. Masing-masing menyebabkan kebocoran protein plasma dan cairan secara cepat keluar dari kapiler, 4) efusi perikardium, dan 5) tamponade perikardium, serta komplikasi tambahan yang mungkin yaitu toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.

(38)

Manajemen Keperawatan pada Klien dengan Gagal Jantung Kongesti Terapi non-pembedahan

Mengurangi beban kerja miokardial

Diuretik merupakan terapi yang penting karena organ ginjal merupakan organ target utama dalam perubahan neurohormonal sebagai respon dari gagal jantung. Pilihan terapi pertama adalah loop diuretik, seperti furosemide yang menghambat reabsorpsi garam didalam lengkung henle ascending. Diuretik akan mengurangi sirkulasi volume darah, mengurangi preload, dan mengurangi kongesti sistemik maupun pulmonal. Loop diuretik dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dari ringan sampai berat. Hipokalemia merupakan efek samping dari loop diuretik yang dapat menyebabkan kelemahan pada miokardial dan kardiak distritmia. Hipokalemia juga berpotensi menyebabkan toksikasi digitalis.

Vasodilator dapat mengurangi preload dan afterload. Nitrogliserin mengurangi kebutuhan oksigen di miokardial dengan menurunkan preload dan afterload. Morphine IV digunakan pada pasien dengan gagal jantung pada fase akut. Morphine selain berguna sebagai anxiolytic dan analgesik, efek terpentingnya adalah dilatasi pembuluh darah vena yang akan menurunkan preload. Morphine juga akan mendilatasi pembuluh darah arteri yang akan mengurangi resistensi vaskular sistemik (SVR) dan meningkatkan cardiac output.

Netriside merupakan terapi terbaru yang dapat mendilatasi pembuluh darah vena dan arteri secara bersamaan.

Beta adrenergik antagonis (beta blokers) digunakan untuk menghambat efek dari sistem saraf simpatis dan mengurangi kebutuhan oksigen di miokardium.

(39)

Beta blockers akan memperbaiki aktivitas reseptor beta-1 atau menghambat aktivitas katekolamin, yang berguna untuk melindungi jantung dengan gangguan pada fungsi ventrikel kiri.

Elevasi kepala

Klien diberikan posisi fowler untuk mencegah terjadinya kongesti vena pada pulmonal dan mengurangi terjadinya dispnea. Apabila terjadi edema pada ekstremitas bawah, maka ekstremitas bawah dapat ditinggikan untuk mempercepat aliran balik vena.

Mengurangi retensi cairan

Mengontrol asupan natrium dan pembatasan cairan dapat meningkatkan kerja jantung. Pembatasan natrium digunakan dalam diit untuk mencegah, mengontrol, dan mengeliminasi edema. Restriksi natrium < 2 gram/hari membantu diuretik bekerja secara optimal. Pembatasan cairan 1000 – 1500 mL/hari direkomendasikan pada gagal jantung yang berat.

Meningkatkan kerja pompa jantung

Cara untuk meningkatkan pompa jantung adalah dengan menggunakan agonis adrenergik atau terapi inotropik. Agen inotropik utama adalah dobutamine, milrinone, dopexamine, dan digoxin. Pada klien hipotensi dengan gagal jantung maka dopamin dan dobutamin yang akan digunakan. Obat tersebut akan memfasilitasi kontraktilitas miokardium dan meningkatkan volume sekuncup.

Selain itu, obat ini juga dapat memicu terjadinya disritmia.

Dobutamin adalah terapi yang sering digunakan untuk mengatasi gagal jantung karena memproduksi stimulator beta didalam miokardium, yang akan meningkatkan denyut jantung, konduksi atrioventrikular, dan kontraktilitas

(40)

miokardium. Dobutamin berguna untuk meningkatkan cardiac output tanpa meningkatkan kebutuhan oksigen pada miokardium atau mengurangi aliran darah koroner.

Milrinone dapat mendilatasi pembuluh darah. Amrinone jarang digunakan untuk mengatasi gagal jantung karena dapat menyebabkan trombositopenia.

Digoxin lebih sedikit digunakan pada penanganan gagal jantung pada keadaan emergensi. Digoxin memberikan efek yang sedikit atau bahkan tidak ada efek untuk mendekompensasi gagal jantung.

Memberikan terapi oksigen

Pemberian konsentrasi oksigen yang tinggi dengan menggunakan masker atau nasal kanul dapat membantu menangani hipoksia dan dispnea, serta membantu mempercepat pertukaran O2 dan CO2. Jika hal ini tidak menaikkan

PaO2 sampai 60 mmHg, maka dapat dilakukan intubasi dan dilakukan pemasangan ventilator. Intubasi juga merupakan cara untuk menghilangkan sekret di bronki. Jika terjadi bronkospasme atau bronkokonstriksi yang berat, dapat diberikan obat bronkodilator. Irama jantung harus selalu dipantau selama pemberian bronkodilator karena dapat menyebabkan disritmia.

Mengontrol disritmia

Fibrilasi atrial yaitu disritmia sering terjadi pada klien dengan gagal jantung kronik sebagai respon cepat ventrikel. Fibrilasi atrial dapat menyebabkan stroke emboli sehingga klien akan diberikan antikoagulan. Irama jantung dikontrol dengan terapi obat, seperti amiodarone.

(41)

Mengurangi remodelling miokardial

Angiotensin converting enzim inhibitor merupakan pilihan terapi pertama untuk menangani gagal jantung kronik. ACE inhibitor akan menghambat remodelling pada miokardial jantung. Selain itu, juga akan mengurangi afterload dengan menghambat produksi angiotensin, yang merupakan vasokonstriktor. ACE inhibitor juga akan meningkatkan aliran darah ke ginjal dan menurunkan resistensi vaskular ginjal yang memperkuat kerja diuretik. Efek samping dapat menyebabkan hipotensi ortostatik, hacky cough, masalah ginjal, kemerahan pada kulit, gangguan pada pengecapan, dan hiperkalemia. Level potasium harus dimonitoring, terutama jika diuretik atau potasium suplemen digunakan.

Mengurangi stres dan risiko cedera

Untuk mengurangi kerja jantung dan mengurangi beban kerja miokardial, maka klien harus mengurangi stres fisik maupun emosional. Istirahat dapat meningkatkan diuresis, menurunkan denyut jantung, dan mengurangi dispnea.

Klien mungkin dapat diberikan mild sedatif atau dosis kecil barbiturat dan transquilizers untuk meningkatkan istirahat, dan menghindari masalah akibat kurang istirahat, insomnia, dan cemas.

Melakukan aktivitas sesuai toleransi

Pasien dengan gagal jantung memili manifestasi klinis salah satunya yaitu mudah merasa lelah ketika beraktivitas. Tingkat kelelahan dirasakan berbeda setiap individu sesuai dengan derajat dari gagal jantung yang dialami. Kelelahan terjadi karena pengaruh dari sirkulasi ke jaringan yang tidak adekuat sehingga konsumsi O2 ke jaringan juga mengalami penurunan. Tubuh merespon dengan melakukan metabolisme anaerob yang menghasilkan zat sisa berupa asam laktat.

(42)

Penumpukan asam laktat pada otot yang berlebih akan menyebabkan kelelahan sehingga muncul gelaja penurunan toleransi aktivitas pada sebagian besar pasien dengan gagal jantung (Black & Hawks, 2009). Oleh karena itu, pasien dengan gagal jantung lebih disarankan untuk mengurangi aktivitas yang berat. Pasien dengan gagal jantung masih dapat melakukan aktivitas namun disesuaikan dengan toleransi tubuh. Karena aktivitas diperlukan tubuh untuk melatih kapasitas fungsional jantung tetapi juga ditujukan supaya aktivitas tersebut tidak juga menjadi faktor pemberat terjadinya serangan jantung.

Terapi pembedahan Alat pompa jantung

Tujuan dari pemasangan alat ini adalah sebagai ventrikel hipokinetik, menurunkan kerja miokardial, menurunkan kebutuhan oksigen, dan mempertahankan perfusi yang adekuat.

Transplantasi jantung

Saat jantung mengalami kerusakan irreversibel dan fungsinya sudah tidak adekuat untuk menunjang kehidupan, transplantasi jantung dapat digunakan untuk membantu ataupun mengganti fungsi jantung.

Cardiomyoplasty

Pada klien yang kardiak outputnya rendah, yang tidak diindikasikan menjalani transplantasi jantung maka dapat dilakukan cardiomyoplasty. Prosedur ini akan membungkus otot latissimus dorsi disekeliling jantung dan di stimulasi secara elektrik untuk menselaraskan dengan irama sistol pada ventrikel.

(43)

Peran Perawat pada Pasien dengan Gagal Jantung Kongesti Pengkajian keperawatan

Pengkajian merupakan aspek awal dalam asuhan keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan data baik data objektif maupun data subjektif yang berkaitan baik dari sumber primer (pasien) maupun dari sumber sekunder (keluarga, data rekam medis sebelumnya, dan pemeriksaan penunjang) (Potter &

Perry, 2009). Pengkajian harus dilakukan secara holistik meliputi bio, psiko, sosial, dan spiritual. Pengkajian terkait pada pasien gagal jantung lebih spesifik terhadap masalah kardiovaskuler.

Diagnosa keperawatan

Penegakan diagnosa keperawatan dilakukan berdasarkan data pengkajian yang sudah terkumpul dan dikelompokkan sehingga mengarah kepada masalah keperawatan yang ada (Potter & Perry, 2009). Diagnosa pasien dengan gagal jantung berhubungan dengan sirkulasi dan pngaturan cairan dalam tubuh (NANDA, 2015).

Latihan Fisik Pada Pasien Gagal Jantung Kongesti

Pasien dengan gagal jantung umumnya memiliki keterbatasan dalam toleransi aktivitasya sehingga menyebabkan beberapa aktivitas harus dibatasi atau dikurangi termasuk dalam hal ini adalah melakukan latihan fisik latar belakang inilah yang menyebabkan tenaga kesehatan menyarankan sebagian besar pasien jantung untuk mengurangi aktivitasnya. Mereka berpikiran bahwa melakukan aktivitas termasuk latihan fisik akan menyebabkan pasien dengan gagal jantung sesak dan timbul kelelahan. Anjuran untuk istirahat lebih pada pasien dengan

(44)

gagal jantung bukan tanpa alasan karena istirahat akan membantu memperbaiki aliran balik vena dan mampu meningkatkan diuresis

Selama periode akut pasien dengan gagal jantung disarankan untuk bed rest yang bertujuan untuk memperbaiki status hemodinamik. Setelah fase akut terlewati, pasien berada pada fase rocovery. Pada fase ini, bed rest menjadi suatu saran yang kontroversial karena dapat memicu menurunnya level toleransi aktivitas dan memperberat gejala gagal jantung seperti sesak disertai batuk.

Semua otot perlu dilatih untuk mempertahankan kekuatannya termasuk dalam hal ini adalah otot jantung (Suharsono, 2011).

Pasien perlu untuk diajarkan melakukan aktivitas secara bertahap dengan tujuan toleransi aktivitas dapat meningkat pula. Aktivitas dilakukan dengan melihat respon sepeti peningkatan nadi, sesak napas dan kelelahan. Aktivitas akan melatih kekuatan otot jantung sehingga gejala gagal jantung semakin minimal.

Aktivitas ini akan dapat dilakukan secara informal dan lebih efektif apabila dirancang dalam program latihan fisik yang terstruktur (Loscalzo, 2014).

Pengertian latihan fisik

Latihan fisik merupakan aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur dengan tujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan kebugaran fisik.

Latihan ini melitupi tipe, intensitas, durasi dan frekuensi tertentu yang disesuaikan dengan kondisi pasien (Levine, 2010).

Home based exercise training merupakan salah satu alternatif latihan fisik yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan tleransi latihan pasien gagal jantung. HBET merupakan jawaban dari fenomena peningkatan jumlah pasien gagal jantung yang mengalami penurunan toleransi aktivitas, latihan fisik

(45)

terpusat di rumah sakit tidak memungkinkan untuk dilakukan. HBET terbukti dapat meningkatkan kapasitas latihan, meningkatkan self efficacy dan menurunkan angka dirawat ulang pada pasien gagal jantung (Hwang, Redfern, &

Aison, 2008).

Beberapa penelitian mengenai home based exercise training menunjukkan manfaat yan bermakna bagi pasien dengan gagal jantung. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Suharsono (2011) mengenai dampak HBET terhadap kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien gagal jantung di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi. Penelitian tersebut menggunakan teknik sampling quasi experiment, pre-post with control group yang melibatkan 23 responden terbagi menjadi 11 responden kelompok kontrol dan 12 responden kelompok intervensi.

Hasil penelitian diperoleh tidak terdapat perbedaan yang signifikan terkait kapasitas fungsional dan kualitas hidup setelah perlakukan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi, meskipun demikian kelompok intervensi mempuanyai mean kapasitas fungsional dan kualitas hidup yang lebih baik.

Tujuan latihan fisik

Latihan fisik pada pasien dengan gagal jantung bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan dan membantu pasien untuk dapat kembali beraktivitas fisik seperti sebelum mengalami gangguan jantung. Menurut Arovah (2010) menyebutkan bahwa latihan fisik dapat mengurangi efek samping fisiologis dan psikologis tirah baring di rumah sakit, dapat dimanfaatkan untuk memonitor kondisi fisiologis pasien, dan mempercepat proses pemulihan dan kemampuan untuk kembali pada level aktivitas sebelum serangan jantung.

(46)

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa dengan adanya latihan fisik diharapkan dengan dilakukannya latihan fisik yang terpogram, pasien dengan gagal jantug mampu meningkatkan toleransi aktivitas dan mampu kembali produktif.

Kontraindikasi latihan fisik

Latihan fisik selain memberi manfaat terhadap vital tubuh, aktivitas tersebut juga dapat menjadi pencetus serangan ulang. Untuk meminimalkan resiko tersebut, latihan fisik memiliki beberapa kontraindikasi untuk pasien gagal jantung dengan kriteria angina tidak stabil, TD sistolik istirahat > 200 mmHg atau distolik istirahat > 100 mmHg, hipotensi orthostatik sebesar > 20 mmHg, stenosis aorta sedang sampai berat, disritme ventrikel atau atrium tidak terkontrol, perubahan gelombang ST > 3mm, problem ortopedis yang mengganggu istirahat (Oldridge, 1988 dalam Arofah, 2010).

Adaptasi tubuh terhadap latihan fisik

Latihan fisik berhubungan lurus dengan aktivitas metabolik tubuh. Ketika melakukan latihan fisik, kebutuhan metabolik jaringan tubuh akan meningkat.

Pada saat yang sama kebutuhan oksigen dan nutrisi untuk jaringan juga mengalami peningkatan yang diperukan selama metabolisme dilaksanakan.

Sedangkan disisi yang lain produksi karbondioksida, toksin, dan produk lain sebagai hasil atau zat sisa metabolisme yang sudah tidak diperlukan akan dibuang.

Pada kondisi fisiologis atau keadaan normal, kondisi ini dikompensasi dengan peningkatan cardiac output, bisa sampai 6 kali lipat dari kondisi istirahat. Latihan fisik mencapai puncaknya pada kondisi maximal oxigen uptake, yang dikenal dengan VO2-max. Ketika 80-90% dari VO2-max dibentuk karbondioksida secara

(47)

berlebihan, metabolisme otot anaerob, dan produksi asam laktat yang menghasilkan kelelahan berlebih (Suharsono, 2011).

Pada pasien dengan gagal jantung, cardiac output ketika istirahat mungkin normal tetapi kemampuan untuk meningkatkannya terbatas. VO2-max akan lebih rendah dan respon fisiologis terhadap latihan fisik maksimal akan terjadi lebih cepat dari individu yang tidak mengalami gangguan jantung. Pasien gagal jantung stabil dapat mengikuti latihan fisik dengan baik apabila aliran darah ke oot adekuat. Pasien tersebut dapat melakukan aktivitas sehari-hari tetapi mengalami penurunan 30% dari kapasitas latihannya (Loscalzo, 2014).

Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan resiko timbulnya gejala klinis tercantum pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Gangguan Jantung Berdasarkan Tingkat Resiko

Jenis Karakteristik

Resiko Rendah Paska bedah by pass atau infark myocardial tanpa komplikasi

Kapasitas fungsional ≥ 8 METs pada exercise test selama 3 minggu

Tidak adanya gejala klinis selama exercise testing setara pada aktivitas vocational sehari-hari

Tidak adanya iskemia, disfungsi ventrikular kiri dan disaritmia kompleks

Resiko Sedang Kapasitas fungsional <8METs pada exercise test selama 3 minggu. Shock atau PJK selama infark myocardial (<6 bulan)

Ketidakmampuan untuk memonitor denyut jantung Ketidakmampuan untuk melaksanakan program latihan Terjadinya iskemia yang dipicu oleh latihan (ST<2mm) Resiko Tinggi Fungsi ventrikel kiri yang sangat rendah (fraksi ejeksi

<30%) Disritmia ventrikel pada saat istirahat Hipotensi pada saat latihan (≥15 mm Hg)

Infark myokardial baru (<6 bulan) dengan komplikasi disritmia ventrikel

Terjadinya iskemia yang dipicu oleh latihan (ST>2mm) Pernah mengalami serangan jantung.

(Williams, 2001:415)

(48)

Program latihan fisik

Program latihan fisik dapat dilakukan sejak 48 jam setelah gangguan jantung sepanjang tidak terdapat ada kontraindikasi. Latihan fisik yang dilakukan terbatas pada aktifitas sehari-hari misalnya gerakan tangan dan kaki dan pengubahan postur. Program latihan biasanya berupa terapi fisik ambulatory yang diawasi. Pasien dapat memulai latihan dari berbaring menuju ke duduk dan kemudian berdiri. Latihan ortostatik perlu dilakukan dalam program latihan.

Latihan ortostatik meliputi berdiri dengan gerakan otot selama1 sampai 2 menit dengan monitor denyut nadi dan tekanan darah. Respon terhadap latihan ini diperlukan untuk menilai respon tubuh terhadap berbagai jenis vasodilatator dan beta bloker. Pada fase initial ( 1 sampai 3 hari paska infark post myocardial atau prosedur bedah) pada pasien di rumah sakit yang menjalankan program latihan, aktifitas harus dibatasi dengan intensitas yang rendah (sekitar 2 sampai 3 METs).

Pada hari ke 3 sampai 5 paska infark post cardial atau gangguan kardiovaskular lain, mulai dapat dilakukan latihan dengan berjalan, treadmill, atau ergometri (Oldridge, 1988 dalam Arovah, 2010).

(49)

Kompensasi akut dan adaptasi sistem tubuh terhadap latihan fisik pada penderita gagal jantung terlihat pada tabel 2

Organ Mekanisme kompensasi pada gagal jantung

Respon akut terhadap exercise training

Adaptasi terhadap exercise training Jantung Dilatasi ventrikel

Cardiac remodelling Tujuan:

Mempertahankan cardiac output

Secara progresif terjadi penurunan cardiac output, strike volume, dan heart rate reserve sesuai dengan derajad gagal jantung

Peningkatan stroke volume dan heart rate reserve

Terdapat sedikit bukti peningkatan

kontraktilitas Pembuluh

darah

Kehilangan vascular reactivity

Kekuatan arteri Penurunan densitas kapiler

Insufisiensi vena Tujuan :

Mempertahankan arterial blood pressure adekuat

Penurunan kemampuan mendistribusikan nutrisi ke orot di perifer

Penurunan kemampuan membuang sisa metabolisme

Meningkatkan fungsi vaskuler (reavtivity and stiffness)

Meningkatan densitas pembuluh kapiler Meningkatkan venous return

Tulang dan otot

Penurunan konsentrasi dan aktvitas enzim mitpkondria

Penurunan volume dan densitas mitokondria tujuan:

Menurunkan kapasitas latihan pada fungsi jantung yang menurun

Penurunan kekuatan dan daya tahan Tanda awal asidosis otot untuk

mengurangi aktivitas

Meningkatkan fungsi dan masa otot

Meningkatkan fungsi dan densitas mitokondria

Sistem otonom

Kondisi

hyperandrenergic Perubahan respon kardiovaskuler Tujuan :

Mempertahankan atrial blood pressure yang adekuat

Men ingkatnya denyut jantung dibawah denyut maksimal

Mengurangi kondisi hyperadrenergic

Humoral Meningkatkan vasokontriksi dan regulasi cairan

Mengurangi vasodilator Tujuan:

Mempertahankan tekanan adekuat dengan

Menurunnya kemampuan mendistribusikan nutrisi ke otot perifer

Mengurangi

hiperaktivitas humoral

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari bimbingan karier melalui pelatihan perencanaan studi lanjut dengan efikasi diri dalam pengambilan

Setelah menyanyikan lagu ‘Kasih Ibu’, siswa dapat menuliskan ungkapan hormat kepada ibu dalam sebuah syair lagu yang diperdengarkan dengan tepat.. Melalui kegiatan bernyanyi,

Hal itu telah dilakukan guru pada pembelajaran ini(terlihat pada no. 7 – 17), guru tidak langsung menyalahkan siswa dan memberikan cara penyelesaiannya tetapi guru mencoba

Pada perulangan ini variabel jalur terpendek ( penampung hasil yang akan ditampilkan pada output ) akan di isi dengan isi dari variabel jalur terpendek hasil dari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah : (1) ada hubungan positif dan signifikan antara persepsi mahasiswa terhadap penggunaan media pembelajaran dengan motivasi

Operasi push pada stack yang menggunakan single linked list adalah sama dengan proses tambahawal pada operasi linked list1. Langkah-langkahnya

Dapatan kajian menunjukkan tahap kesediaan pelatih ILP dengan teori dan kemahiran sebelum menjalani latihan sambil kerja (OJT) selama 6 bulan di sesebuah organisasi

Kotiin annettujen palvelujen tukipalveluiden määrä on lisääntynyt tarkasteluajanjaksolla, joka alkaa vuodesta 2012, ja josta alkaen on ollut vähenemää tukipalveluissa,