i
ABSTRAK
Lembaga Pemasyarakatan merupakan institusi yang menempatkan mereka yang bersalah untuk ditalian dalam jangka waktu tertentu sebelum menjalani proses persidangan dan dijatuhkan vonis bersalah oleh hakim. Kehidupan seorang narapidana tentunya berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Ketika seseorang berada di lapas, hak – haknya dibatasi oleh peraturan dan norma yang berlaku di LAPAS tersebut. ini karena kebebasan yang dimilikinya hilang saat hakim sudah menjatuhkan vonis dan menghilangkan kemerdekaan orang tersebut dimana hal tersebut sesuai dengan DIRJEN Pemasyarakatan, Undang – Undang No. 12 Tabun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam konteks LAPAS, Sipir ( Petugas LAPAS ) merupakan orang yang memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan para narapidananya. Pemenuhan kebutuhan setiap para narapidana sudah diatur melalui aturan – aturan yang ketat. Pada dasarnya semua orang yang berstatus narapidana memiliki hak yang sang dikarenakan mereka adalah sama – sama yang didakwa atau dijadikan tersangka karena melakukan pelanggaran hukum.
Dengan kata lain, hukum pada dasarnya menjunjung tinggi asas berkeadilan serta tidak membeda – bedakan kedudukan atau kelas sosial seseorang, seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945 namun pada kenyataannya ketidakadilan maupun ketimpangan terjadi akibat dari seorang Narapidana yang patuh terhadap petugas LAPAS sebagai atasannya sehingga kepatuhannya membawakannya kepada status yang lebih tinggi sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan dan mampu mempengaruhi Petugas, LAPAS untuk memenuhi kelangsungan hidupnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui perbedaan perlakuan terhadap para Narapidana Wanita di LAPAS sehingga menimbulkan ketimpangan. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai faktor-faktor penyebab memicunya ketimpangan perlakuan Petugas LAPAS terhadap Narapidana Wanita.
Unit analisis penelitian meliputi informan kunci yang meliputi Para Narapidana Klas IIA Wanita Tanjung Gusta dan informan biasa adalah Para Petugas LAPAS Klas IIA Tanjung Gusta. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa LAPAS Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan terjadi keadaan yang overkapasitas dimana dalam hal ini, Kebanyakan merupakan Narapidana dengan kasus narkotika dan ditempatkan bersama Narapidana dengan kasus lain dalam beberapa blok yang hanya bisa menampung beberapa orang saja ditambah dengan jumlah Petugas LAPAS yang tidak sebanding dan tidak mampu memahami karakter dari Narapidana Wanita sehingga dalam pembinaan Hanya beberapa saja Narapidana yang bisa melakukan pembinaan. Selain itu untuk mendapatkan segala hal yang terbatas di LAPAS seperti blok yang nyaman, makanan yang enak dan bergizi dan bisa berkomunikasi melalui telepon genggam maka Narapidana Wanita biasa harus melakukan apa yang disuruh oleh Petugas LAPAS sehingga naik statusnya menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan yang berhasil melakukan pembinaan dengan baik sehingga mampu mendekatkan diri kepada Petugas LAPAS dan meminta apa yang mereka butuhkan untuk kelangsungan hidup mereka di LAPAS dan juga menyalahgunakan penghargaan yang diperoleh Narapidana Wanita dari Petugas LAPAS hanya untuk memenuhi keberlangsungan hidupnya sendiri akan tetapi dalam hal inilah terdapat ketimpangan dimana Narapidana yang memiliki keahlian khusus ketika pembinaan berlangsung sehingga Petugas LAPAS menganggap bahwa Narapidana Wanita tersebut mampu membantu Petugas LAPAS dalam kegiatannya sehari – hari.
Kata kunci : Narapidana Wanita, Lembaga Pemasyarakatan, Ketimpangan