ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN SENSITIFITAS
SISTEM AKUAKULTUR
(Studi Kasus
Penaeus monodon & Cromoleptis altivellis
)
Oleh :
Bruri Melky Laimeheriwa
Program Doktor (S3)
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
KATA PENGANTAR
Dalam kegiatan berproduksi, tujuan pembudidaya ikan kerapu bebek
adalah memaksimumkan keuntungan usaha. Perolehan keuntungan
maksimum berkaitan erat dengan efisiensi dalam berproduksi. Proses
produksi tidak efisien dapat disebabkan dua hal berikut. Pertama, karena
secara teknis tidak efisien. Ini terjadi karena ketidak berhasilan mewujudkan
produktifitas maksimal; artinya per unit paket masukan (
input bundle
) tidak
dapat menghasilkan produksi maksimal. Kedua, secara alokatif tidak efisien
karena pada tingkat harga-harga pemasukan (
input)
dan pengeluaran
(
output
) tertentu, proporsi penggunaan masukan tidak optimum ini terjadi
karena produk penerimaan marginal tidak sama dengan biaya marginal
masukan yang digunakan. Efisiensi ekonomi mencakup efisiensi teknis
maupun efisiensi alokatif sekaligus.
Makalah dengan judul “ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN SENSITIFITAS SISTEM AKUAKULTUR (Studi Kasus Pada Penaeus monodon Cromoleptis altivellis), disusun sebagai tugas kelompok dalam mata kuliah Monitoring dan evaluasi lingkungan budidaya.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. M. Latuihamallo,
M.Sc, sebagai dosen pengasuh mata kuliah Monitoring dan Evaluasi Lingkungan
Budidaya yang telah memberikan pengetahuan tentang mata kuliah ini. Akhirnya
saya sebagai penulis ingin membuat semaksimal mungkin yang tersirat dalam
mengimplementasikan isi mata kuliah yang dimaksud. Semoga tulisan ini
mempunyai manfaat bagi yang membutuhkan.
Ambon, 14 Februari 2015
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...
i
KATA PENGANTAR ...
ii
DAFTAR ISI ...
iii
1. Pendahuluan ...
1
2. Kerangka teoritis ...
4
3. Metode pendekatan ...
9
4. Hasil dan diskusi ... 11
5. Kesimpulan ... 35
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Peranan budidaya pantai dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan
besarnya potensi pengembangannya baik sumberdaya lahan maupun jenis
komoditas. Kegiatan perikanan yang memanfaatkan kawasan pantai telah
memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan nasional, tidak saja dalam
pemenuhan kebutuhan protein hewani tetapi juga sebagai sektor penghasil devisa
dan mampu menciptakan lapangan kerja baru di wilayah desa pantai. Pertambahan
jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
makanan sehat asal laut mengakibatkan jumlah permintaan jenis-jenis ikan laut
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Potensi perairan laut yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha
budidaya ikan-ikan bersirip diperkirakan 3 juta Ha (Sunaryanto, et al, 2001). Upaya
budidaya selain bertujuan meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi ikan per kapita, juga untuk memenuhi permintaan pasar dunia serta
memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia dengan cara-cara yang
ramah lingkungan dalam upaya pelestariannya di alam baik terhadap ruaya
hidupnya maupun terhadap kelestarian jenis-jenisnya.
Kerapu adalah ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan telah
menjadi komoditas ekspor penting terutama ke Hong Kong, Jepang, Singapura dan
Cina. Total perdagangan ikan karang di Asia Tenggara adalah sekitar 30.000
ton/tahun dengan 15.000-20.000 ton diperkirakan di ekspor ke Hong Kong
(Sadovy et al., 2003). Produksi kerapu dari usaha budidaya hanya 8,6% dari
52.000 ton total tangkapan kerapu di Asia dengan nilai 238 juta dollar. Produksi
kerapu budidaya meningkat 1,5% setiap tahun dan berkontribusi terhadap total
produksi makanan ikan laut (FAO, 2003).
Dalam kegiatan berproduksi, tujuan pembudidaya ikan kerapu bebek adalah
memaksimumkan keuntungan usaha. Perolehan keuntungan maksimum berkaitan
disebabkan dua hal berikut. Pertama, karena secara teknis tidak efisien. Ini terjadi
karena ketidak berhasilan mewujudkan produktifitas maksimal; artinya per unit
paket masukan (input bundle) tidak dapat menghasilkan produksi maksimal.
Kedua, secara alokatif tidak efisien karena pada tingkat harga-harga pemasukan
(input) dan pengeluaran (output) tertentu, proporsi penggunaan masukan tidak
optimum ini terjadi karena produk penerimaan marginal tidak sama dengan biaya
marginal masukan yang digunakan. Efisiensi ekonomi mencakup efisiensi teknis
maupun efisiensi alokatif sekaligus.
Secara empiris hampir semua pembudidaya ikan adalah sebagai penerima
harga dalam pasar input maupun output karena jarang dijumpai sekumpulan
pembudidaya ikan mampu mengorganisasi kelompoknya sehingga mempunyai
posisi tawar yang kuat di pasar. Dengan latar belakang seperti itu, dalam praktek
sehari-hari orientasi para pembudidaya ikan dalam suatu komunitas dan ekosistem
yang relative homogen cenderung mengejar efisiensi teknis yang dalam keidupan
sehari-hari diterjemahkan sebagai upaya memaksimalkan produktivitas (Tajerin
dan Muhamad Noor, 2005).
Biaya produksi adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi
profitabilitas pada budidaya kerapu. Biaya benih, pakan dan tenaga kerja adalah
pengeluaran signifikan pada budidaya kerapu. Pomeroy et al. (2006) melaporkan
bahwa benih, pakan dan tenaga kerja mencapai 61-74% dari total biaya produksi
usaha budidaya kerapu bebek. Harga beli benih bebek berkisar Rp.1000-1200/cm.
Biaya benih adalah biaya terbesar mencapai 36,72% dari total biaya produksi
untuk budidaya kerapu bebek secara berurutan (DKP, 2001). Pakan merupakan
biaya terbesar kedua dan menyumbang 25% dari total biaya produksi (Pomeroy et
al., 2006) dan ikan rucah sebagai sumber asupan nutrisi. Tacon et al. (1991)
melaporkan bahwa ikan rucah yang umum digunakan di Indonesia adalah sarden
(Sarden lemuru), kuwe (Caranx sp.) pepetek (Leiognathus sp.), layang
(Decapterus) teri (Engraulis sp.). Biaya tenaga kerja adalah biaya terbesar ketiga
dan mencapai 12,3% dari total biaya produksi (Manadiyanto et al., 2002).
Pomeroy et al. (2006) memperkirakan bahwa input tenaga kerja menyumbang 7%
- 18% dari total biaya produksi budidaya kerapu bebek. Budidaya kerapu bebek
penggolongan (grading) mingguan dan perendaman ikan di air tawar untuk
mencegah penyakit. Oleh karena itu, manajemen biaya produksi yang efisien akan
meningkatkan profitabilitas usaha.
1.2. Tujuan dan manfaat
Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk menganalisis penggunaan
faktor-faktor produksi budidaya kerapu bebek serta Menganalisis tingkat efisiensi
pemakaian input pada budidaya ikan kerapu. Diharapkan bahwa hasil analisis ini
akan memberikan teknik kuantitatif untuk membantu produsen memahami dan
menafsirkan proses-proses yang saling terkait dalam budidaya serta kendala
II. KERANGKA TEORITIS
Produksi diartikan sebagai penggunaan atau pemanfaatan sumber daya yang
mengubah suatu komoditi menjadi komoditi lainnya yang sama sekali berbeda, baik
dalam pengertian apa, dan dimana atau kapan komoditi-komoditi tersebut
dialokasikan, maupun dalam pengertian apa yang dikerjakan oleh konsumen
terhadap komoditi itu (Miller dan Mainers, 2000). Dengan demikian produksi itu
tidak terbatas pada pembuatannya saja tetapi juga penyimpanannya, distribusi,
pengangkutan, pengeceran, pemasaran kembali, upaya-upaya mensiasati lembaga
regulator atau mencari celah hukum demi memperoleh keringanan pajak atau
lainnya.
Iswardono, (2004) menuliskan bahwa teori produksi sebagai mana teori
perilaku konsumen merupakan teori pemilihan atas berbagai alternatif yang
tersedia. Dalam hal ini adalah keputusan yang diambil seorang produsen dalam
menentukan pilihan atas alternatif tersebut. Produsen mencoba memaksimalkan
produksi yang bisa dicapai dengan suatu kendala ongkos tertentu agar bisa
dihasilkan keuntungan yang maksimum.
Pengertian fungsi produksi adalah suatu hubungan diantara faktor produksi
dan tingkat produksi yang diciptakannya. Faktor-faktor produksi ini terdiri dari
tenaga kerja, tanah, modal, dan keahlian keusahaan. Dalam teori ekonomi untuk
menganalisis mengenai produksi, selalu dimasalahkan bahwa tiga faktor produksi
(tanah, modal, dan keahlian keusahaan) adalah tetap jumlahnya. Hanya tenaga
kerja yang dipandang seabagai faktor produksi yang berubah-ubah jumlahnya.
Penjelasan ini diilustrasikan dalam gambar 1. Faktor produksi merupakan semua
korbanan yang diberikan pada budidaya ikan agar ikan lele tersebut mampu
tumbuh dan mengahsilkan dengan dengan baik (Soekartawi,1997).
Sesuai gambar 1, dapat membagi fungsi produksi menjadi tiga daerah atau
tiga tahap. Tahap I, terjadi pada saat kurva MPP diatas kurva APP yang meningkat.
MPP yang meningkat menunjukkan MC yang menurun sehingga input terus
ditambah, MPP akan menghasilkan MC atau tambahan ongkos per unit yang
ini berakhir pada titik di mana MPP memotong kurva APP di titik maksimum. Tahap
II, terjadi pada saat kurva MPP menurun dan berada di bawah kurva APP, tapi
masih lebih besar dari nol . Pada awal tahap ini, efisiensi input variabel mencapai
titik puncak, sedangkan pada akhir tahap ini, efisiensi input tetap mencapai
puncaknya, yaitu pada saat kurva TPP mencapai titik maksimum. Tahap III, terjadi
pada saat kurva MPP negatif. Hal ini di karenakan rasio input vari abel terhadap
input terlalu besar sehingga TPP menurun.
Fungsi produksi linier merupakan suatu fungsi yang menunj ukkan hubungan
antara input-input yang digunakan dengan output yang di hasil kan dal am bentuk
fungsi linier. Secara matematis fungsi produksi linier dapat ditulis sebagai berikut:
Y = f (X1,X2,X3,…, Xn ) atau Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 +…+ bn Xn. Di
mana, Y= variabel yang dependent/variabel yang dijelaskan; a= konstanta; X=
variabel independent/variabel yang menjelaskan; dan b= koefisiensi regresi
Fungsi Produksi Cobb-Douglas (CD) merupakan suatu fungsi atau persamaan
yang melibatkan dua atau lebih variabel . Di mana vari abel yang satu disebut vari
abel di penden (Y) yang lain variabel independen (X). Sehingga kaidah-kaidah pada
garis regresi juga berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb Douglas: Y = f (X1, X2,
X3,…,Xn atau dapat dituliskan fungsi Cobb Douglas sebagai berikut: Y =
aX1b1X2b2X3b3…Xn.
Pendugaan fungsi-fungsi tersebut diubah menjadi bentuk linier berganda
dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut menjadi sebagai Ln Y = ln a + b1
ln X1 + b2 ln X2 + b3 ln X3 +e. Di mana, Y = variabel dependen (output); X =
variabel indipenden (input); B1, b2 ,.... , bn = nilai parameter yang diduga; e =
bilangan natural (2,718) dan u = disturbance term.
Efisiensi merupakan rasio antara output dan input, dan perbandingan
antara masukkan dan keluaran. Apa saja yang dimaksudkan dengan masukan
serta bagaimana angka perbandingan tersebut diperoleh, akan tergantung dari
tujuan penggunaan tolak ukur tersebut. Secara sederhana menurut Nopirin
(1997), efisiensi dapat berarti tidak adanya pemborosan.
Efisiensi merupakan banyaknya hasil produksi fisik yang dapat diperoleh
dari kesatuan faktor produksi atau input. Situasi seperti ini akan terjadi apabila
suatu input atau masukan sama dengan harga input (P) atau dapat dituliskan
mencapai atau menjadi efisien maka input harus dikurangi.
Penggunaan sumber daya produksi dikatakan belum efisien apabila
sumber daya tersebut masih mungkin digunakan untuk memperbaiki
setidak-tidaknya keadaan kegiatan yang satu tanpa menyebabkan kegi atan yang lain
menj adi lebih buruk. Sumber daya dikatakan efisien pengunaannya jika sumber
daya tersebut tidak mungkin lagi di gunakan untuk memperbaiki keadaan
kegiatan yang satu tanpa menyebabkan kegiatan yang lain menjadi lebih buruk
(Lipsey, 1992). Menurut Mubyarto (1986), Efisiensi adalah suatu keadaan di
mana sumberdaya telah dimanfaatkan secara optimal. Untuk memperoleh
sejumlah produk diperlukan bantuan atau kerjasama antara beberapa faktor
produksi .
RTS (Return To Scale) atau keadaan skala usaha perlu diketahui untuk
mengetahui kombinasi pengguanaan faktor produksi. Terdapat 3 kemungkinan
return to scale, yaitu Decreasing Return To Scale (DRS), Constant Return To
Scale (CRS) dan Incrosing Return To scale (IRS) (Soekartawi,1990). Decreasing
Return To Scale (DRS), bila (b1+b2+...+bn) 1, dapat diartikan bahwa proporsi
penambahan faktor produksi akan menghasi l kan proporsi penambah produksi
yang lebih kecil. Constant Return To Scale (CRS), bila (b1+b2+...+bn) = 1,
dapat diartikan bahwa proporsi penambah faktor produksi akan proporsional
dengan produksi yang di peroleh. Incrosing Return To scale (IRS), bila (b
1+b2+...+bn) 1, dapat diartikan bahwa proporsi penambah factor produksi
akan mengahasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar.
Faktor produksi adalah semua biaya yang diberikan pada ikan kerapu agar
ikan lele tersebut mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Faktor
produksi dikenal dengan istilah input, production factor dan biaya produksi.
modal, untuk membeli bibit, pupuk, pakan, tenaga kerja dan aspek manajemen
adal ah faktor produksi yang terpenti ng di antara faktor produksi yang lain
(Soekartawi, 2003).
Proses produksi budidaya ikan kerapu didasarkan pada pemberian
input-input produksi untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan. Langkahlangkah
sistematis dalam manajemen budidaya perikanan, antara lain: pemilihan lokasi
dan mempersiapkan lahan usaha untuk usaha budidaya, pemilihan benih ikan
yang baik, penebaran benih ikan, monitoing kualitas air, penentuan jumlah
pemberian pakan ikan yang dibutuhkan, pencegah hama dan penyakit, serta
III. METODOLOGI PENDEKATAN
Parameter yang analisa meliputi: parameter produksi dan parameter
lingkungan. Parameter produksi, meliputi bobot ikan yang digunakan untuk
mendapatkan bobot rata-rata ikan kerapu, jumlah ikan untuk mendapatkan derajat
kelangsungan hidup ikan, serta jumlah pakan yang diberikan selama pemeliharaan
untuk mendapatkan rasio konversi pakan. Sedangkan parameter lingkungan:
oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO), pH, alkalinitas total, nitrit (NO2-), amoniak
(NH3), fosfat (PO43-), serta hidrogen sulfida (H2S).
Data yang dikumpulkan kemudian diolah melalui rumusan yang sesuai untuk
masing-masing parameter, yaitu jumlah ikan yang hidup, bobot rata-rata ikan,
derajat kelangsungan hidup, rasio konversi pakan dan produksi total.
Jumlah ikan yang hidup dalam satu petak KJA diduga dengan rumus : Nu =
nu x (Lt/Lj) x k. Di mana, N = jumlah ikan dalam satu petak karamba (ekor); n =
jumlah rata-rata ikan yang tertangkap dalam jala pada tiap pengambilan contoh
(ekor); Lt = luas karamba (m2); Lj = luas bukaan jala efektif (m2); dan k = nilai
koreksi.
Bobot rata-rata ikan dihitung berdasarkan rumus: Wr = w/n. Di mana, Wr =
bobot rata-rata ikan (gram/ekor); w = bobot total ikan yang tertangkap dalam jala
pada tiap pengambilan contoh (gram); dan n = jumlah total ikan yang tertangkap
dalam jala pada tiap pengambilan contoh (ekor).
Derajat kelangsungan hidup (SR) merupakan perbandingan jumlah ikan
pada waktu tertentu (Nt, ekor) terhadap jumlah ikan pada saat tebar (No, ekor)
dengan rumus : SR = (Nt/No) x 100%. Sedangkan nilai Nt akhir merupakan bobot
ikan pada saat panen (Wt, gram) dibagi bobot rata-rata ikan (Wr, gram/ekor)
dengan rumusan : Nt = Wt/Wr.
Rasio konversi pakan (food conversion ratio, FCR) merupakan perbandingan
antara jumlah pakan yang diberikan terhadap produksi ikan dengan rumusan dari
National Research Council (1977) : FCR = Ft/{(Wt + Wm) - Wo} atau FCR = Ft/Wt
(jika Wo dianggap terlalu kecil dan Wm tidak terdeteksi). Di mana, Ft = jumlah
Wm = bobot ikan yang mati selama pemeliharaan (kg); dan Wo = bobot ikan pada
saat tebar benih (kg).
Produksi total adalah bobot (biomassa) ikan saat panen (Wt). Parameter ini
digunakan sebagai kalibrasi bagi jumlah (Nt) dan derajat kelangsungan hidup (SR)
ikan pada akhir penelitian.
Pustaka yang relevan dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan kajian
sesuai dengan tujuan pembuatan makalah. Pustaka bersumber dari buku teks,
jurnal maupun sumber-sumber dari internetnya.
Data dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif untuk mendapatkan
gambaran tentang produksi pada budidaya intensif, serta keterkaitannya dengan
pengelolaan pakan yang dilakukan selama pemeliharaan.
Dalam dalam analisa ini diperoleh dari data data sekunder dari berbagai
literatur yang dipublikasikan. Data sekunder dalam analisis ini dikumpulkan dari
daerah sumber kerapu di Indonesia. Untuk menilai dan membandingkan dampak dari
skala produksi pada profitabilitas, usaha budidaya dikategorikan berdasarkan tiga
level biaya produksi: di bawah 100 juta, antara 100 dan 200 juta dan lebih dari 200
juta. Tingkat biaya produksi ini dikategorikan masingmasing skala kecil, menengah
dan besar.
Data sekunder yang ada digunakan untuk mengumpulkan informasi dari
produsen kerapu dari tiga skala produksi yang berbeda. Data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik selanjutnya dianalisis secara kualitatif
maupun kuantitatif.
Teknik analisis yang digunakan dalam analisis ini adalah dengan Fungsi
Produksi Frontier dan fungsi Cobb-Douglass untuk menentukan faktor-faktor
IV. HASIL DAN DISKUSI
4.1. Identifikasi Tujuan dan Komponen Sistem Budidaya
Pengembangan sistem budidaya ikan kerapu bebek memerlukan tujuan dan
komponen serta tahapan akuakultur yang jelas. Komponen-kompenen utama
dalam pengembangan sistem akuakultur mecakup identifikasi tujuan, lingkungan
media, sarana produksi, manajemen input serta monitoring dan evaluasi sistem
akuakultur.
Tujuan utama budidaya ikan kerapu bebek adalah untuk mmenghasilkan
biomass atau produksi yang maksimal dan intsif dengan input yang intensif pula.
Sasaran produksi meliputi gelondongan, Juwana, konsumsi maupun induk. Tujuan
lainnya adalah untuk menghasilkan benih dari biota tertentu, mulai dari
perkembangan gonad sampai dengan penetasan dan pemeliharaan larva yang
dikelola secara terkontrol penuh. Lingkungan media adalah air laut. Komponen
lingkungan akuakultur yang perlu diidentifikasi adalah sumber, jumlah dan kualitas
air (fisik, kimia dan biologi) utamanya kandumhan DO, produk metabolisme,
H2S,NH3 dan CH4), sumber-sumber pencemaran dan keamanan habitat akuakultur.
Identifikasi sarana dan prasarana produksi mencakup pupuk, kapur.
makanan alami (algae, Artemia sp, Daphnia, Tubelex dll), pakan buatan, saran
transportasi dan listrik. Identifikasi komponen berikutnya adalah proses produksi
biologi di mulai dari anabolisme, katabolisme, dan mineralisasi yang diharapkan
terjadi selama masa akuakultur. Manajemen input yang perlu diidentifikasi antara
lain biota (ikan), pakan dan air yang digunakan. Komponen dan tahapan terakhir
adalah sistem monitoring dan evaluasi akuakultur secara teratur dan tepat dengan
demikian tujuan dapat tercapai sesuai dengan harapan.
Laju pertumbuhan yang tinggi akan menghasilkan bobot ikan rata-rata yang
besar dan derajat kelangsungan hidup yang tinggi akan menghasilkan jumlah
individu yang banyak. Secara bersama-sama laju pertumbuhan dan derajat
bobot rata-rata dengan jumlah ikan. Diagram alir pemikiran selengkapnya tertera
pada gambar 2.
Produksi ikan merupakan perwujudan dari biomassa ikan yang dihasilkan
pada waktu tertentu yang ditentukan oleh pertumbuhan dan kelangsungan hidup
ikan. Pertumbuhan memerlukan materi, yang dalam hal ini dipasok dari pakan.
Pengetahuan tentang efisiensi pakan sangat terkait dengan proses pengambilan
pakan sampai dengan proses pembentukan jaringan yang melibatkan pengetahuan
tentang bioenergetika.
4.2. Lintasan Pakan, Nutrisi dan Bioenergetika
Rangkaian lintasan pakan dimulai dari proses pemasukan pakan oleh ikan
melalui mulut (ingestion), kemudian mengalami proses pencernaan (digestion) dan
dilanjutkan dengan penyerapan (absorption). Hasil proses penyerapan akan
memasuki proses metabolisme. Penyederhanaan keseluruhan proses tersebut
tertera pada gambar 3.
Menurut Mayes (1995), lintasan metabolisme dibagi menjadi tiga kelompok
proses atau lintasan, yaitu: katabolik, anabolik dan ambolik. Lintasan katabolik,
yaitu berbagai proses oksidasi yang melepaskan energi dan umumnya berbentuk
senyawa fosfat berenergi tinggi atau ekuivalen pereduksi. Lintasan anabolik, yaitu
lintasan yang terlibat dalam sintesis senyawa pembentuk struktur dan organ
tubuh. Sedangkan, lintasan amfibolik, yaitu lintasan yang memiliki lebih dari satu
fungsi dan terdapat pada persimpangan metabolisme yang bekerja sebagai
penghubung lintasan katabolik dan lintasan anabolik.
Nutrisi merupakan bahan baku yang dibutuhkan oleh suatu biota untuk
menyelenggarakan kehidupannya. Nutrien merupakan zat kimia yang diserap oleh
saluran dan kelenjar pencernaan serta dinding tubuh untuk digunakan sel-sel tubuh
bagi pembentukan jaringan tubuh (anabolisme) dan pemenuhan energi dalam
metabolisme (katabolisme). Secara umum, keperluan nutrisi bagi ikan meliputi
kelompok berenergi (karbohidrat, protein, dan lemak) serta kelompok tidak
berenergi (vitamin dan mineral).
Karbohidrat merupakan sumber energi termurah dibanding protein dan
Gambar 2. Diagram sistem akuskultur intensif
Keterangan :
EF = efisiensi; DO = oksigen terlarut; GR = laju pertumbuhan; SR = derajat kelangsungan hidup; NSR = Net Survival Rate;
dan lemak. Protein berfungsi sebagai pembentuk energi dan jaringan baru. Nilai
pembakaran protein relatif kecil sehingga sedapat mungkin protein tidak dijadikan
sumber energi. Lemak merupakan sumber energi cadangan jika energi dari
karbohidrat tidak mencukupi. Energi diperoleh ikan dari pakan yang dimakan.
Pertumbuhan terjadi jika terdapat kelebihan energi pakan setelah dikurangi dengan
energi metabolisme dan energi yang dikeluarkan.
4.3. Fungsi Produksi Dan Komponennya
Pertumbuhan dapat terjadi karena adanya perkembangan jaringan baru dari
proses anabolisme, setelah terpenuhinya semua kebutuhan energi lepas yang
diperoleh dari proses katabolisme. Pencapaian produksi (Y) pada sistem budidaya
ikan didasarkan pada fungsi produksi Y = f (udang/ikan, lingkungan, pakan, tenaga
kerja, keahlian)
Pengelolaan pakan pada budidaya udang/ikan diharapkan dapat
menghasilkan efisiensi pakan yang tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
faktor biota dan pakan harus dikondisikan sehingga dalam batas toleransi yang
mendukung bagi pengelolaan pakan. Dengan demikian, fungsi di atas dapat
dituliskan sebagai Yudang/ikan = f (pakan)/(udang/ikan, lingkungan, tenaga dan
keahlian)
Benih udang
Pertumbuhan ikan pada tahap larva dan postlarva dapat dijadikan indikator
bagi pertumbuhan ikan setelah dipelihara di karamba. Jika pada tahap awal ikan
dapat menunjukkan respons positif terhadap pakan, maka diharapkan
perkembangan ikan/udang akan mengikuti respons tersebut. Perkembangan larva
yang lambat akan menghasilkan laju pertumbuhan yang rendah selama
pemeliharaan. Aklimatisasi, terutama terhadap suhu dan salinitas air, dilakukan
agar benur/benih dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang baru, yaitu
lingkungan. Dengan proses ini diharapkan dapat meningkat-kan kenyamanan hidup
ikan/udang yang selanjutnya meningkatkan nafsu makan, serta secara langsung
Lingkungan
Respons positif udang/ikan yang maksimal terhadap pakan yang ditunjukkan
oleh pertumbuhan terjadi pada waktu lingkungan dalam kondisi yang optimal,
terutama kecocokan suhu, salinitas, oksigen, serta pH dan alkalinitas. Untuk itu,
beberapa pengelolaan dilakukan agar kondisi lingkungan sesuai dengan kebutuhan
untuk pertumbuhan udang.
Suhu
Peranan : Mempengaruhi laju metabolisme yang selanjutnya akan
menentukan laju pertumbuhan.
Proses : Penyediaan kenyamanan hidup, enzim-enzim pencernaan
dapat bekerja baik, reaksi-reaksi biokimia berlangsung
lancar, energi yang dipakai untuk regulasi menjadi kecil.
Kisaran : 20-30 0C (Liao dan Murai, 1986)
Pengelolaan : - Kedalaman air dapat mereduksi panas sehingga
diperlu-kan kedalaman efektif karamba 1-1,5 m.
- arus air laut di sekitar karamba memungkinkan
pergantian air baru secara cepat dan sesuai dengan
jumlah kebutuhan air.
Salinitas
Peranan : Mempengaruhi laju metabolisme yang selanjutnya akan
menentukan laju pertumbuhan
Proses : Penyediaan kenyamanan hidup, mengurangi energi
osmoregulasi
Kisaran : 29-33 ppt (Boyd, 1991)
Pengelolaan : - Kedalaman dapat mereduksi penguapan air per satuan
volume sehingga perlu dibuat kedalaman 1-1,5 m.
- penempatan KJA pada lokasi yang sesuai
Peranan : Mempengaruhi laju metabolisme yang selanjutnya akan
menentukan laju pertumbuhan.
Proses : Penyediaan kenyamanan hidup dan DO bagi respirasi
Kisaran : > 8 mg/l (Lioa dan Huang, 1975 dalam Chien, 1992)
Pengelolaan : - Kedalaman menentukan penyimpanan cadangan DO
per satuan volume air karamba sehingga perlu dibuat
kedalaman efektif karamba 1-1,5 m.
pH dan Alkalinitas
Peranan : Meningkatkan laju metabolisme yang selanjutnya dapat
memacu pertumbuhan
Proses : Penyediaan kenyamanan hidup dan CO2 bagi fotosintesis,
enzim pencernaan bekerja baik, reaksi biokimia
(terutama kalsifikasi saat molting) berlangsung lancar.
Kisaran : pH 7,5-8,5 (Law, 1988 dan Chien, 1992)
Alkalinitas 20-200 mg/l ekv. CaCO3 (Liu, 1989)
Pengelolaan : Pengapuran (kalsit atau dolomit) meningkatkan bufer
perairan dan mencegah fluktuasi pH (menahan pH
rendah pada malam/dini hari dan pH tinggi pada siang
hari.
Hama dan Penyakit
Peranan : Menurunkan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup
Proses : Penurunan kenyamanan hidup, merusak organ dan
parasitik, energi regulasi menjadi besar
Komponen : Virus, bakteri, jamur, parasit
Pengelolaan : - Penyehatan ikan dengan pemberian
vaksin/imunostimu-lan, pakan yang tepat dan lingkungan yang sehat, serta
pengapuran untuk mengurangi bakteri dan jamur.
Respons positif pakan yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang maksimal
terjadi pada waktu ikan mendapatkan pakan yang sesuai, yaitu tepat jumlah,
ukuran, waktu dan tepat komposisi nutrisinya.
Nutrisi
Peranan : Meningkatkan pertumbuhan
Proses : Meningkatkan efisiensi pakan dan penyediaan energi
Komponen : Karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral
Pengelolaan : - Karbohidrat sederhana cepat dikatabolisme untuk
meng-hasilkan energi dan jumlahnya sesuai dengan
kebutuhan energi metabolisme agar tidak mengambil
energi protein.
- Protein diberikan dalam persentase yang tinggi
(35-40%) pada pakan komersial dan semakin berkurang
dengan bertambahkan umur/ukuran ikan.
- Lemak diberikan terutama berupa asam lemak esensial
dengan jumlah maksimal umumnya 3%. Asam lemak
penting bagi integritas struktur membran sel pada
eritrosit. Fosfolipid merupakan bagian membran sel
dan berfungsi dalam transpor lemak. Fosfolipid
diberikan karena ikan kurang mampu mensintesis
fosfolipid.
- Vitamin diperlukan pada deferensiasi jaringan (vitamin
A, C, D, E) serta kofaktor enzim (vitamin B, K). Vitamin
C berkaitan dengan pembentukan kolagen dan
diperlukan untuk peningkatan daya tahan ikan terhadap
gangguan luar, terutama dari penyakit.
- Mineral diperlukan dalam konsentrasi yang kecil namun
sangat penting bagi pertumbuhan. Kalsium (Ca) yang
diperlukan untuk kalsifikasi selama postmolt. Selain
pakan.
Pengelolaan Pakan
Peranan : Meningkatkan pertumbuhan, menurunkan rasio konversi
pakan (FCR, feed convertion ratio), serta memperbaiki
lingkungan
Proses : Meningkatkan peluang pakan untuk dimakan oleh ikan
Komponen : Stabilitas; palatabilitas; bentuk, ukuran, dan jumlah
pakan; serta frekuensi, waktu dan cara pemberian
pakan.
Pengelolaan : - Karena ikan makannya cepat, maka stabilitas pakan
harus tinggi dan frekuensi pemberian ditingkatkan
untuk memberi kesempatan pakan dimakan oleh ikan.
- Palatabilitas menyangkut masalah sifat 'enak' dari
pakan sehingga perlu ditambahkan atraktan dalam
pakan.
- Bentuk dan ukuran pakan disesuaikan dengan umur
ikan karena selain memotong pakannya, ikan juga
menelannya secara langsung
- Jumlah pakan disesuaikan dengan biomassa ikan.
Kekurangan pakan akan mengurangi laju pertumbuhan
dan memunculkan kanibalisme, sedangkan kelebihan
pakan akan mencemari perairan.
- Ikan bersifat nocturnal sehingga proporsi pemberian
pakan banyak dilakukan pada malam hari.
- Ikan menjadikan seluruh dasar karamba sebagai 'meja
makan'-nya, terutama di daerah pinggir karamba
sehingga cara pemberian pakan dilakukan dengan
menyebar rata dengan proporsi terbanyak di daerah
4.4. Contoh Kasus : Analisis Fungsi Produksi Budidaya Udang Windu
Produksi udang pada akhir pemeliharaan ditentukan oleh bobot rata-rata
udang dan banyaknya udang yang dapat dipanen. Berikut ini akan dibahas tentang
beberapa parameter yang berhubungan dengan produksi, yang meliputi bobot
rata-rata, derajat kelangsungan hidup, serta rasio konversi pakan.
Bobot Rata-rata
Bobot rata-rata udang yang terus bertambah dari waktu ke waktu selama
pemeliharaan merupakan perwujudan dari pertumbuhan udang. Dalam akuakultur,
pertumbuhan merupakan salah satu komponen utama untuk menyatakan
produktivitas. Pertumbuhan merupakan ekspresi dari pertambahan volume,
panjang, serta bobot basah atau bobot kering terhadap satu-satuan waktu tertentu
(Effendie, 1979 dan Hartnoll, 1982).
Pada organisme tanpa eksoskeleton, perubahan panjang tubuh merupakan
fungsi yang kontinyu terhadap waktu. Sebaliknya, pada organisme yang
mempunyai eksoskeleton, seperti pada udang (krustase), pertumbuhan menjadi
masalah yang rumit karena merupakan proses yang diskontinyu. Hal ini disebabkan
adanya proses molting yang memungkinkan terjadinya laju pertumbuhan yang
tinggi pada suatu selang waktu yang kemudian diikuti oleh laju pertumbuhan yang
rendah pada waktu yang lain.
Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran yang terjadi antara satu
instar sampai instar berikutnya. Pertambahan ukuran yang besar terjadi setelah
molting karena adanya pengembangan bagian integumen yang tidak mengeras,
serta pertambahan yang kecil pada waktu intermolt akibat proses pengencangan
membran arthrodial. Dalam beberapa keperluan praktis, pertumbuhan intermolt
dapat diabaudang (Hartnoll, 1982).
Bobot rata-rata udang pada akhir pemeliharaan mencapai 30,931,52 gram
dengan kisaran 29,26-33,01 gram (Tabel 1). Dari tabel tersebut juga terlihat
adanya peningkatan pertumbuhan pada setiap pengamatan. Pertumbuhan mutlak
mulai nyata pada periode pemeliharaan hari ke 60-120. Penurunan pertumbuhan
Tabel 1. Bobot rata-rata udang selama pemeliharaan
No. Jumlah Bobot udang pada hari ke- (gram)
Petak Benur 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
1 104040 2,01 3,64 6,40 8,60 11,70 14,50 18,50 21,70 25,20 29,80 29,26
2 106868 2,01 3,37 6,31 8,46 11,80 15,00 19,00 23,00 26,50 31,10 33,01
3 104926 2,11 3,99 6,15 8,39 11,50 14,50 18,40 21,40 24,90 28,90 30,68
4 104926 2,13 3,22 6,29 8,60 11,60 14,60 18,60 22,20 25,70 30,00 31,86
5 104040 1,97 3,78 7,39 9,30 12,36 16,80 19,30 23,40 26,00 31,30 29,86
Rataan 104960 2,05 3,60 6,51 8,67 11,79 15,08 18,76 22,34 25,66 30,22 30,93
SD 1155 0,07 0,31 0,50 0,36 0,34 0,98 0,38 0,85 0,63 0,99 1,52
dukung lingkungan karamba. Pertumbuhan setelah periode tersebut tidak akan
memberudang penambahan bobot yang berarti.
Derajat Kelangsungan Hidup
Selain mempertimbangkan faktor penurunan laju pertumbuhan di atas,
panen dilakukan karena mempertimbangkan juga faktor kematian udang. Pada
Tabel 2 terlihat adanya derajat kelangsungan hidup (SR) udang yang semakin
menurun. Pada akhir pemeliharaan, SR mencapai rata-rata 77,075,82% dengan
kisaran 67,36-81,70%.
Kematian udang selama pemeliharaan dapat disebabkan oleh ketidak-
sesuaian lingkungan atau adanya penyakit. Namun demikian, karena gradiensi
mortalitas pada pemeliharaan udang tersebut kecil, maka faktor kematian ini
dimasukkan dalam kategori kematian alami. Pada umumnya, ketidaksesuaian
lingkungan, misalnya terjadinya deplisit oksigen dan tingginya gas toksik (NH3,
H2S) yang jauh melampaui konsentrasi yang dapat ditoleransi oleh udang, akan
menyebabkan mortalitas udang yang tinggi pada selang waktu yang pendek
(serentak). Pada kematian udang yang disebabkan oleh serangan penyakit,
mortalitas udang yang tinggi terjadi pada selang waktu yang relatif panjang
(perlahan-lahan).
Rasio Konversi Pakan
Efisiensi pakan dalam aplikasi produksi udang secara massal mengacu pada
nilai yang berbanding terbalik terhadap rasio konversi pakan (FCR). Nilai FCR yang
tinggi mencerminkan ketidakefisienan dalam pengelolaan pakan. Nilai FCR pada
budidaya udang umumnya berkisar pada 1-2. Pada beberapa kasus, FCR dapat
bernilai 1 yang mencerminkan adanya sediaan pakan alami yang baik dalam
lingkungan karamba. FCR yang bernilai 2 atau lebih menyatakan, bahwa pakan
banyak terbuang atau tidak dimanfaatkan oleh udang dengan baik.
Pada Tabel 3 terlihat, bahwa nilai FCR berkisar antara 1,64-1,71 dengan
rata-rata 1,670,03. Nilai FCR semakin meningkat dengan mening-katnya masa
pemeliharaan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari semakin meningkatnya
Tabel 2. Derajat kelangsungan hidup udang selama pemeliharaan
No. Jumlah Derajat kelangsungan hidup pada hari ke-
Petak Benur 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
1 104040 - - 90,26 80,51 83,31 86,47 88,36 88,36 86,47 83,94 81,70
2 106868 - - 87,87 82,95 86,02 82,95 86,02 82,95 80,77 77,42 77,28
3 104926 - - 89,49 89,49 85,11 83,24 85,74 87,62 85,24 83,24 81,52
4 104926 - - 89,49 84,49 87,62 81,28 83,86 86,36 84,25 85,74 77,43
5 104040 - - 73,22 61,54 63,75 64,38 72,58 73,85 77,63 72,58 67,36
Rataan 104960 - - 86,07 79,80 81,16 79,66 83,31 83,83 82,87 80,58 77,06
SD 1155 - - 7,23 10,72 9,86 8,75 6,21 5,95 3,62 5,45 5,82
Sumber: data sekunder (Budiarto, 2001)
Tabel 3. Rasio konversi pakan udang selama pemeliharaan
No Jumlah Rasio konversi pakan pada hari ke-
Petak Benur 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
1 104040 - - 0,93 1,14 1,11 1,17 1,20 1,29 1,40 1,43 1,64
2 106868 - - 0,92 1,11 1,11 1,22 1,19 1,30 1,42 1,50 1,64
3 104926 - - 0,95 1,06 1,17 1,29 1,26 1,35 1,44 1,51 1,71
4 104926 - - 0,92 1,10 1,13 1,31 1,27 1,32 1,42 1,41 1,70
5 104040 - - 0,95 1,28 1,25 1,20 1,20 1,21 1,27 1,32 1,65
Rataan 104960 - - 0,93 1,14 1,15 1,24 1,22 1,29 1,39 1,43 1,67
SD 1155 - - 0,01 0,08 0,06 0,06 0,04 0,05 0,07 0,08 0,03
Sumber: data sekunder (Budiarto, 2001).
pada udang ditentukan dari biomassa udang, maka bias pemberian pakan juga
semakin besar dengan semakin meningkatnya biomassa udang.
Namun demikian, secara keseluruhan nilai FCR pada kasus ini masih relatif
rendah. Hal ini akan lebih nyata jika dilihat dari nilai penyimpangan akibat
pendugaan biomassa udang pada tiap pengambilan contoh. Nilai deviasi
menunjukkan bahwa penyimpangan antara jumlah pakan aktual yang diberudang
dengan jumlah pakan yang seharusnya diberudang (teori) sangat kecil. Dengan
demikian, nilai pendugaan biomassa yang menentukan jumlah pakan yang harus
diberudang sudah cukup akurat. Nilai dugaan tersebut akan mereduksi peluang
pakan untuk tidak termakan oleh udang yang selanjutnya akan mereduksi
tambahan beban bahan organik di lingkungan karamba.
Nilai FCR kecil mengindikasudang adanya pemanfaatan pakan oleh udang
dengan baik yang selanjutnya akan berimplikasi pada dua hal. Pertama, sisa pakan
menjadi sedikit sehingga memperkecil beban limbah internal, yang dalam hal ini
adalah bahan organik. Dengan rendahnya bahan organik di lingkungan perairan,
maka oksigen terlarut yang dikonsumsi untuk dekomposisi bahan organik oleh
bakteri menjadi kecil. Hal ini akan menambah sediaan oksigen terlarut bagi
respirasi udang yang selanjutnya memacu proses metabolisme bagi pertumbuhan
udang. Kedua, efisiensi pakan yang tinggi akan meningkatkan keuntungan
ekonomis dari penghematan pakan.
Kualitas air
Kualitas air yang diukur meliputi sifat fisik (suhu, salinitas) serta sifat kimia,
yaitu oksigen terlarut (DO), pH, alkalinitas total, nitrit (NO2-), amoniak (NH3), fosfat
(PO43-), serta hidrogen sulfida (H2S) seperti tertera pada Tabel 4. Dari tabel
tersebut terlihat, bahwa kondisi kualitas air sangat mendukung bagi kehidupan dan
pertumbuhan udang di karamba. Hal ini dinyatakan dari kisaran dan fluktuasi
kualitas air masih dalam toleransi udang, baik untuk melangsungkan kehidupan
maupun untuk pertumbuhannya.
Pada umumnya, konsentrasi H2S yang melampaui toleransi udang terjadi
pada periode pemeliharaan hari ke 70-80, yaitu mencapai konsentrasi 0,0400 mg/l.
Tabel 4 . Kualitas air karamba selama pemeliharaan
Nomor Rincian Suhu Sal DO pH T-Alk NO2
-NH3 PO4
3-H2S
Petak (OC) (ppt) (mg/l) (unit) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l)
1 Minimal 26 21 3.70 7.95 105 0.0010 0.0000 0.1550 0.0010
Maksimal 30 24 7.47 8.70 155 0.0770 0.1180 0.5770 0.0400
Rataan 28 22 4.86 8.18 123 0.0056 0.0395 0.3608 0.0053
2 Minimal 26 21 3.50 7.60 90 0.0010 0.0010 0.2240 0.0010
Maksimal 30 24 7.08 9.04 165 0.0760 0.0870 0.5510 0.0200
Rataan 28 22 4.68 8.22 117 0.0043 0.0321 0.3959 0.0034
3 Minimal 26 21 3.70 8.06 78 0.0010 0.0010 0.2060 0.0010
Maksimal 30 24 7.47 8.88 170 0.4660 0.0770 0.8220 0.0400
Rataan 28 22 4.76 8.20 121 0.0668 0.0339 0.4094 0.0083
4 Minimal 26 21 3.70 7.60 90 0.0010 0.0010 0.2430 0.0010
Maksimal 30 24 7.50 8.90 165 0.1030 0.0970 0.6830 0.0200
Rataan 28 22 4.66 8.18 119 0.0143 0.0305 0.4111 0.0034
5 Minimal 26 21 3.60 8.00 65 0.0010 0.0010 0.2310 0.0010
Maksimal 30 24 7.65 9.10 185 0.0650 0.0800 0.6520 0.0400
Rataan 28 22 4.79 8.26 124 0.0044 0.0296 0.4184 0.0083
yang baik, misalnya dengan mengurangi jumlah pakan sehingga pakan tidak terlalu
banyak tersisa. Pada kondisi tersebut, pengelolaan kualitas air juga penting untuk
dilakukan, misalnya dengan meningkatkan aerasi, penambahan atau pergantian air,
penggelontoran (flushing), serta penyifonan.
4.6. Contoh kasus: Analisis Fungsi Produksi dan Sensitifitas Budidaya Kerapu Bebek
Variabel produksi budidaya ikan kerapu bebek dengan skala produksi
berbeda (kecil, sedang dan besar) disajikan dalam tabel 5. Pada tabel 5
menjelaskan pada budidaya kerapu bebek kepadatan tebar untuk skala kecil (8
ekor/m3) skala menengah (9,5 ekor/m3) dan skala besar (10 ekor/m3). Tingkat kelangsungan hidup adalah antara 52,50% sampai 62% dan ukuran tebar berkisar
10,27-11,00 cm. Konversi pakan pada skala kecil, menengah dan besar adalah
5,44, 6,02 dan 13,52. Bobot panen di atas 400 gram dan periode budidaya berkisar
antara 15,54-16,75 bulan.
Dalam budidaya kerapu bebek, biaya tetap berkisar antara 10% sampai
13%. Biaya benih adalah pengeluaran terbesar diikuti oleh biaya pakan kecuali
pada skala kecil di mana biaya tenaga kerja adalah biaya kedua terbesar (Tabel 6).
Analisis indikator keuangan budidaya dan bebek pada skala produksi
berbeda dirangkum dalam tabel 7. Analisis keuangan budidaya kerapu bebek
menunjukkan bahwa semua skala produksi dianggap layak dengan proyeksi arus
kas kumulatif selama 5 tahun untuk skala kecil (Rp. 133.344.826) menengah (Rp.
446.749.192) dan besar (Rp. 1.692.212.500). Penerapan discount rate 15%
menghasilkan NPV untuk skala kecil (Rp. 85.009.002) menengah (Rp.
286.822.375) dan skala besar (Rp. 1.088.181.355) selama periode 5 tahun.
Analisis keuangan lebih lanjut menunjukkan rasio manfaat-biaya (B/C) lebih dari 2,
IRR lebih besar dari 300% untuk semua skala produksi dan jangka waktu
pengembalian modal kurang dari satu tahun.
Hasil analisa sensitivitas beberapa variabel utama yang mempengaruhi
profitabilitas budidaya kerapu bebek dirangkum dalam tabel 8. Hasil analisa
Tabel 5. Variabel produksi budidaya kerapu bebek di KJA
No. Variabel Satuan Skala produksi
Kecil Sedang Besar
Tabel 6. Variabel pengeluaran budidaya kerapu bebek di KJA
No. Variabel
Skala Produksi
Kecil Sedang Besar
1 Biaya modal
Keramba 14,100,000.00 39,200,000.00 131,500,000.00
Peralatan 2,000,000.00 7,000,000.00 15,000,000.00
Perahu 1,000,000.00 2,500,000.00 5,000,000.00
Total modal 17,100,000.00 48,700,000.00 151,500,000.00
BBM
Harga (kg) 266,818.00 300,000.00 318,500.00
Total keuntungan 111,215,078.00 344,067,000.00 1,357,606,250.00
Tabel 7. Indikator Keuangan Budidaya kerapu bebek di KJA
NPV positif pada semua skala produksi. Peningkatan produksi dan harga terbukti
memiliki pengaruh terbesar terhadap profitabilitas pada semua skala produksi.
Sintasan kehidupan kerapu bebek pada skala 65%. Ikan kerapu adalah ikan
kanibalisme dan hampir dari kematian terjadi pada bulan pertama penebaran ke
dalam keramba jaring apung (KJA). Sadovy & Lau (2002) melaporkan bahwa
tingkat mortalitas ikan kerapu antara 60-80% selama siklus pemeliharaan. Ukuran
benih yang lebih disukai untuk tebar di KJA di atas 7 cm mengingat benih kerapu
bersifat kanibalisme (Marte, 2003). Yashiro (1999) melaporkan bahwa ukuran
minimum benih untuk budidaya dalam KJA berkisar 7-10 cm. Angka kematian
selama pemelihaan adalah 60% atau lebih untuk benih ikan kurang dari 5 cm
(Sadovy, 2000). Ukuran penebaran 7 sampai 10 cm memiliki tingkat kelangsungan
hidup 30 sampai 70% selama dua bulan pertama pemeliharaan (Leong, 1997).
Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan ukuran benih seperti pada skala
besar tidak meningkatan sintasan kehidupan ikan. Sementara itu, kepadatan tebar
yang lebih rendah seperti pada skala kecil tidak memberikan kontribusi positif pada
sintasan kehidupan. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas benih dan mengurangi
kanibalisme dengan cara pemilahan dapat meningkatkan tingkat sintasan
kehidupan yang selanjutnya dapat meningkatkan volume produksi.
Rasio konversi pakan (FCR) pada budidaya kerapu bebek sangat tinggi pada
skala produksi yang berbeda. Ikan rucah adalah sumber makanan yang umum
digunakan dalam budidaya kerapu karena lebih murah daripada pakan buatan
pabrik (pellet). Ikan rucah dipotong-potong sesuai dengan bukaan mulut ikan dan
diberikan ke ikan sampai kenyang. Sekitar 30-50% dari ikan rucah diberikan pada
ikan terbuang selama proses pemberian pakan. Pakan yang terbuang 2 sampai 4
kali lebih banyak dibandingkan dengan pemberian pellet (Sih et al., 2005). Wu et
al., (1994) melaporkan bahwa pemberian makan dengan ikan rucah menghasilkan
rasio konversi pakan yang buruk. Dalam sebuah studi pemberian makan dengan
ikan rucah, Chou & Wong (1985) memperoleh FCR sebesar 7,5, sementara Tacon
et al., (1991) melaporkan FCR sebesar 3,5. Sih (2006) mengungkapkan bahwa
biaya produksi satu kilogram ikan kerapu dengan menggunakan ikan rucah sebagai
sumber makanan ikan berkorelasi langsung dengan FCR. Peningkatan FCR secara
Tabel 8. Analisa sensitifitas usaha budidaya kerapu bebek di KJA
Uraian
NPV B/C IRR (%) Payback period
kecil sedang besar kecil sedang besar kecil sedang besar kecil sedang besar
SR
80% 136,178,120 446,171,022 2,119,419,152 3.17 3.62 3.96 580 668 1028 0.15 0.13 0.09
Biaya benih
+20% 80,899,181 274,648,622 1,041,157,983 2.21 2.51 2.37 343 409 499 0.24 0.20 0.17
-20% 89,083,257 298,519,515 1,143,464,973 2.52 2.89 2.73 378 445 549 0.22 0.19 0.59
Biaya pakan
+20% 83,484,770 281,511,175 1,053,685,109 2.30 2.60 2.42 354 419 507 0.23 0.20 0.17
-20% 86,497,669 291,895,268 1,126,807,722 2.41 2.77 2.67 367 435 541 0.22 0.19 0.16
Biaya Tenaga kerja
+20% 82,705,013 281,600,394 1,075,089,912 2.27 2.61 2.48 351 420 516 0.23 0.20 0.17
-20% 87,277,425 291,567,742 1,109,523,044 2.45 2.76 2.60 370 434 532 0.22 0.19 0.16
Biaya produksi
+20% 112,239,289 732,970,826 1,435,615,828 2.73 3.13 2.97 477 557 692 0.18 0.16 0.13
-20% 57,743,149 200,197,310 749,007,129 1.96 2.21 2.08 246 299 359 0.31 0.27 0.23
Harga
Rp. 350.000 131,046,379 362,726,095 1,270,593,525 3.09 3.13 2.79 557 542 611 0.16 0.16 0.14
menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi akan meningkatkan FCR. FCR
pada budidaya kerapu bebek dalam skala besar meningkat 2,34 dibandingkan
dengan skala kecil. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa meningkatnya
skala operasi menyebabkan penggunaan rucah yang tidak efisien, yang berarti
bahwa produsen skala besar membuang pakan lebih banyak dari produsen skala
kecil. Panjang periode budidaya dan skala operasi membuat produsen skala besar
kurang mengontrol manajemen pemberian pakan. Manajemen pemberian pakan
pada budidaya kerapu harus di tingkatkan untuk meningkatkan effesiensi
pemberian ikan rucah.
Analisis menunjukkan bahwa persentase biaya tetap menurun dengan
meningkatnya skala produksi. Hasil ini sama dengan pendapat Shang (1990) yang
menyatakan bahwa input biaya tetap menurun dengan meningkatnya skala
produksi. Biaya variabel utama dalam budidaya dan bebek adalah benih, pakan
dan tenaga kerja menyumbang lebih dari 65% dari total biaya produksi.
Persentase biaya variabel meningkat dengan meningkatnya skala produksi kecuali
untuk biaya tenaga kerja. Studi ini menunjukkan bahwa budidaya kedua kerapu
dalam skala besar menghasilkan biaya tenaga kerja menjadi rendah. Budidaya
kerapu memerlukan tenaga kerja intensif minimal 3 tenaga kerja untuk pemberian
makan dan pemilahan ikan. Peningkatan unit pembesaran pada skala besar
membuat tenaga kerja mampu menangani lebih banyak keramba dan memberikan
kontribusi pada rendahnya input tenaga kerja. Oleh karena itu, peningkatan skala
produksi akan meningkatkan biaya variabel kecuali biaya tetap dan tenaga kerja.
Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan
budidaya kerapu bebek. Penelitian sebelumnya tentang budidaya kerapu dalam
skala kecil oleh Sheriff (2004) menjelaskan bahwa usaha skala kecil menghasilkan
keuntungan yang memadai dan investasi cukup menguntungkan. Penelitian
tersebut diproyeksikan bahwa skala kecil menghasilkan Rp. 27.390.000, B/C 2,64
dan IRR sebesar 125% berdasarkan asumsi bobot panen 1,2 kg dan penjualan
harga Rp. 77.000. Model analisis ekonomi yang dikembangkan oleh Pomeroy et al.
(2004) memproyeksikan hasil sebesar Rp. 78.884.850. Mereka berasumsi bahwa
tingkat kelangsungan hidup adalah 80%, panen ukuran 600 gram dan harga jual
mungkin dapat meningkatkan profitabilitas pada usaha skala kecil. Sedangkan
analisis keuangan budidaya kerapu bebek skala kecil menunjukkan arus kas
kumulatif positif, NPV positif serta IRR yang lebih tinggi. Hasil ini setuju dengan
Pomeroy et al., (2006) bahwa budidaya kerapu bebek skala kecil memperoleh arus
kas positif untuk proyeksi 5 tahun.
Skala ekonomi jelas terlihat sebagai akibat dari meningkatnya skala
produksi kerapu bebek. Berbeda dengan budidaya skala kecil, skala menengah
menghasilkan aliran kas positif sebesar Rp. 198.320.673 dan NPV positif sebesar
Rp. 105.578.440. Selain itu, usaha kerapu bebek skala menengah menghasilkan
arus kas dan NPV, B/C serta IRR yang lebih tinggi. Estimasi ini menyoroti
pentingnya skala ekonomi dan potensi kelayakan ekonomi pada tingkat output
yang lebih tinggi.
Hasil analisis pada skala besar lebih menekankan skala ekonomi yang
penting bagi kelangsungan hidup ekonomi dan potensi keberhasilan pada skala
besar. Selain itu, IRR yang lebih tinggi menunjukkan potensi yang besar pada
skala besar dibandingkan kecil dan menengah. Proyeksi usaha kerapu bebek skala
besar juga menunjukkan arus kas kumulatif dan NPV tertinggi serta IRR lebih dari
300%. Dibandingkan dengan kinerja keuangan budidaya udang windu yang di
estimasi oleh Dwijanti (2004) memperoleh kas bersih sebesar Rp.
107.992.997/ha/tahun; B/C 1,23; IRR 24%. DKP (2007) dalam studi budidaya dan
analisa ekonomi budidaya udang melaporkan aliran kas bersih sebesar Rp.
226.960.000/ha/ tahun, B/C 1,87 dan periode pengembalian modal 1,2 tahun.
Perbedaan besar profitabilitas antara usaha kerapu dan udang menunjukkan
kinerja keuangan yang lebih kuat pada budidaya kerapu. Budidaya kerapu
menawarkan pendapatan tinggi dan skala besar adalah skala produksi yang paling
menguntungkan.
Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa tingkat sintasan kehidupan,
harga jual, peningkatan produksi dan pengurangan biaya produksi adalah variabel
utama yang berpengaruh pada profitabilitas budidaya kerapu bebek. Peningkatan
sintasan kehidupan sampai 80% memberikan kontribusi positif pada NPV dengan
skala produksi yang berbeda. Peningkatan sintasan kehidupan sampai 80%
sama dengan analisis ekonomi oleh Pomeroy et al., (2006) bahwa tingkat sintasan
kehidupan 80% membuat usaha menjadi layak dan arus kas selama 5 tahun
menjadi positif untuk setiap tahun produksi. Penurunan biaya benih dan pakan
menghasilkan peningkatan NPV dan IRR yang signifikan dalam usaha skala
menengah dan besar. Selain itu, penurunan produksi sebesar 20% menyebabkan
penurunan NPV dan IRR yang signifikan pada skala produksi yang berbeda.
Analisis juga menggarisbawahi bahwa kenaikan harga menjadi Rp. 70.000
mengakibatkan peningkatan NPV yang signifikan pada skala menengah dan besar
tetapi gagal untuk meningkatkan NPV pada skala kecil. Analisis sensitivitas pada
usaha kerapu bebek menunjukkan bahwa peningkatan dan penurunan biaya
variabel menghasilkan NPV positif pada skala produksi yang berbeda. Selain itu,
penurunan produksi dan harga bahkan tidak menghasilkan NPV negatif untuk
VI. KESIMPULAN
Pengelolaan pakan dapat menstabilkan kualitas air selama pemeliharaan
sehingga masih dalam toleransi yang layak bagi kehidupan dan pertumbuhan
udang serta secara nyata dapat menghasilkan produksi udang yang tinggi.
Pertumbuhan biomassa udang dibatasi oleh daya dukung lingkungan karamba yang
ditunjukkan oleh penurunan pertumbuhan pada periode pemeliharaan.
Dalam hal kegiatan budidaya ikan kerapu bebek, kualitas benih perlu
mendapat perhatian karena tingkat sintasan kehidupan masih rendah selama
periode pemeliharaan. Produsen perlu memilih benih berkualitas tinggi untuk
memastikan tingkat sintasan kehidupan lebih tinggi. Rasio konversi pakan yang
lebih besar pada berbagai skala produksi terutama dalam skala besar sehingga
manajemen pakan yang lebih baik harus diterapkan untuk mengurangi limbah
pakan selama siklus pemeliharaan.
Peningkatkan sintasan kehidupan, benih yang unggul serta manajemen
pakan yang effisien akan menjanjikan keuntungan ekonomi yang besar bagi
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali, 2009, Boyolali Dalam Angka 2009. BPS Kabupaten Boyolali.
Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah, 2009, Jawa Tengah Dalam Angka 2009.BPS PropinsiJawa Tengah.
Boediono. 1989, Ekonomi Mikro Edisi 2. Yogyakarta: BPFE.
Chou, R., F.J. Wong. 1985. Preliminary observation on the growth and dietary performance of grouper, Epinephelus tauvina (Forskal) in floating net cages and fed dry pelleted diet from autofeeds. Singapore J. Primary Ind., 13: 84-91.
Coelli. T. J, Centre for efficiency and productivity analysis (CEPA) working papers,
the university of new England.
DKP. 2001. Pembesaran (Epinephelus fuscogutattus) kerapu tikus (Cromileptes altivelis) di karamba jaring apung. Balai Budidaya Laut Lampung, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta. DKP. 2006. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2005. Direktorat Jenderal Purworejo. Institut Pertanian Bogor, Indonesia.
Dwi Arie Putranto, 2007, Analisis Efisiensi Produksi Kasus Pada Budidaya Kepiting Bakau di Kabupaten Pemalang, Megister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Undip, Tesis (tidak dipublikasikan).
Eko Pranggolaksito, 2008, Analisis Efisiensi Usaha Budidaya Ikan Lele Dumbo di Kabupaten Demak. Tesis Tidak di Publikasikan. Megiste Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Universitas Diponegoro, Semarang.
FAO. 2003. FISHSTAT Plus 2.3. www. Fao.org/fi/statis/fispft/fishplus.asp/. Cited January 2009.
Gujarati, Damodar. 2003, Basic Econometrics. New York: Mc Graw Hill.
Herlambang dkk, 2001, Ekonom iMakro :Teori Analisis dan Kebijakan , Jakarta, Gramedia. Iswardono SP, MA. 2004, Ekonomika Mikro UPP AMP YKPN: Yogyakarta .
Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Interensif). Jakarta: Bumi Aksara. Lipsey, Richard B dkk, 1992, Pengantar Mikro ekonomi Intermediate. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Leong, T. S. 1997. Management of marine finfish disease in Malaysia. Paper presented at a Seminar on Sustainable Development of Mariculture Industry in Malaysia, 30-31 July, 1997, Kuala Lumpur, Malaysia.
Manadiyanto, N. Zahri, A.H. Purnomo, S.A. Pranowo, Azizi, A. Tajerin. 2002. Pengembangan model budidaya kerapu di Batam Riau. Pusat Riset Sosial Ekonomi dan Produk Olahan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Marte, C.L. 2003. Larviculture of marine species in Southeast Asia: current research and industry prospect. Aquaculture, 227: 293-304.
Miller, Roger Le Roy dan Roger E. Meiners, 1997, Teori Ekonomi Mikro Intermediate, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Moh Nasir, 1988, Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mudrajad Kuncoro, 2003, Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Nicholson, Walter, 1995, Teori Mikro Ekonomi, Prinsip Dasar dan Perluasan Edisi Kelima, Terjemahan : Daniel Wirajya, Jakarta : BinarupaAngkasa.
Nopirin, 1997, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro dan Mikro. Yogyakarta: BPFE.
Novenny Affiati Wahyudi, 1988, Penggaruh Efisiensi Penggunaan Pakan Alami Dephinn sp. Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Lele Dumbo (clariasgoriepinus), Bulletin Perikanan Darat, Volume 7 Nomor 1, 1998.
Pindyck, Robers, Daniell Rubinfeld, 2001, Mikro Ekonomi Edisi Kelima Diterjemahkan oleh Tanty Tarigan, Penerbit Indeks, Jakarta.
Pomeroy, R.S., J.E. Parks, C.M. Balboa. 2006. Farming the reef: is aquaculture a solution for reducing fishing pressure on coral reef? Marine Policy, 30: 111-130.
Pomeroy, R.S., R. Agbayani, M. Duray, J. Toledo, G. Quinitio. 2004. The financial feasibility of small scale grouper aquaculture in the Philippines. Aquaculture Economics and Management, 8: 61-83.
Prima Saraswati, 2009, Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usaha Tani Jagung di Kabupaten Magelang. Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Undip, 2009, Skripsi (tidak dipublikasikan).
Sadono Sukirno, 1994, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, Jakarta: PT Grafindo Persada. Salvatore, Dominick, 1994, Mikro ekonomi, Jakarta: Erlangga.
Sadovy, Y. 2000. Regional survey for fry/fingerling supply and current practices for grouper mariculture: evaluating current status and long-term prospects for grouper mariculture in South East Asia. Final report to the Collaboration APEC grouper research and development network (FWG 01/99). December, 2000.
Sadovy, Y.J., T.J. Donaldson, T.R Graham, F. McGilvray, G.J. Muldoon, M.J. Phillipps, M.A. Rimmer, A. Smith, B. Yeeting. 2003. While stock last: the live reed food fish trade. ADB Pacific Studies Series. Asian Development Bank. Manila.
Shang, Y.C. 1990. Aquaculture economic analysis: An introduction. World Aquaculture Society, Baton Rouge, LA.
Sheriff, N. 2004. Fisher livelihoods in southern Thailand: sustainability and the role of grouper culture. Stirling University, UK.
Soekartawi., 1990, Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb- Douglas, Jakarta: CV Rajawali.
Soekartawi., 1997, Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb- Douglas, Jakarta: CV Rajawali
Sugama, K. 2003. Indonesia focuses on groupers. Asia Aquaculture Magazine September-October 2003.
Sukirno,S, 1999, Ekonomi Mikro, Jakarta : Raja Grapindo Perseda.
Suryawati, 2002, Teori Ekonomi Mikro, Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Susantun, I. 2000, Fungsi Keuntungan Cobb-Douglas Dalam Pandangan Efisiensi Ekonomi Relative, Jurnal Ekonomi Pembangunan, volume no 2, 2000.
Tacon, A.G.J., N. Rausin, , M. Kadari, P. Cornelis. 1991 The food and feeding of tropical marine fishes in floating net cages: Asian seabasss, Lates calcarifer
(Bloch), and brown-spotted grouper, Epinephelis tauvina (Forskal). Aquaculture and Fisheries Management, 22: 165-182.
Wu, R.S.S., K.S. Lam, C.W. Mackay, T.S. Lau, V. Yam. 1994 Impact of marine fish farming on water quality and bottom sediment: a case study in the sub tropical environment. Marine Environmental Research, 38: 115-145.
Yashiro, R., V. Vatanakul, P. Panichsuke. 1999. Status of grouper culture in Thailand. pp. 27-35. In: Report of the APEC/NACA Cooperative Grouper Aquaculture Workshop Hat Yai, Thaiand, 7-9 April 1999. Collaborative APEC Grouper Research and Development Network (FWG 01/99). Network of Aquaculture Centres in Asia Pacific, Bangkok, Thailand.