AL-WAHHA<B AL-SHA’RA<NI< DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN
AKHLAK
SKRIPSI
OLEH
ISMA’IL MARZUQI
NIM: 210314261
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
ABSTRAK
Marzuqi, Isma’il. 2018. Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Kitab Al-Minah Al-Sani<yah
Karya ‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’ra<ni< Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Akhlak. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN Ponorogo.Pembimbing (1) Dr. Sutoyo, M. Ag.
Kata Kunci: Nilai-nilai Tasawuf, Kitab Al-Minah Al-Sani<yah Karya ‘Abd Al -Wahha<b Al-Sha’ra<ni< dan Pendidikan Akhlak.
Era globalisasi sekarang ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, meskipun demikian, nilai-nilai moral spiritual semakin menipis. Sehingga diperlukan usaha-usaha penyucian diri melalui penanaman nilai-nilai tasawuf. Kitab Al-Minah Al-Sani<yah merupakan kitab yang menjelaskan tentang pendidikan akhlak. Kitab ini dikarang oleh ‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’ra<ni<, terdapat nilai-nilai tasawuf yang berupa maqamat-maqamat.
Berpijak dari latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana nilai-nilai Tasawuf dalam kitab Al-Minah Al-Sani<yah karya
‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’rani<? (2) Bagaimana relevansi nilai-nilai tasawuf dalam
kitab Al-Minah Al-Sani<yah karya ‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’rani> dengan Pendidikan Akhlak?
Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka (library research) yakni dilakukan dengan cara membaca menelaah atau memeriksa bahan-bahan kepustakaan (kitab Al-Minah Al-Sani<yah karya ‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’rani>. Tehnik pengumpulan pengumpulan data menggunakan tehnik dokumentasi, sementara untuk tehnik analisis data menggunakan analisys content.
Hasil kajian pustaka dalam kitab Al-Minah Al-Sani<yah karya‘Abd Al-Wahha<b
Al-Sha’rani> dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat relevansi antara nilai-nilai
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi sekarang ini dapat dipahami sebagai suatu keadaan
yang ditandai oleh adanya penyatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan, teknologi informasi, dan lain sebagainya yang terjadi antara
satu negara dengan negara lainnya, tanpa menghilangkan identitas
masing-masing. Penyatuan ini terjadi akibat kemajuan teknologi informasi (TI) yang
dapat menghubungkan atau mengomunikasikan setiap isu yang ada pada suatu
negara dengan negara lain.1
Dalam era millenial ini, nilai-nilai moral tengah dihadapkan pada
permasalahan yang kompleks. Arus Informasi dan komunikasi semakin
mengalami kemajuan yang signifikan terutama pada perkembangan IPTEK.
Sehingga menuntut pendidikan anak-anak didik untuk meningkatkan dan
menumbuhkan kreativitas, keterampilan, dan kepribadian anak didik, terutama
menyangkut tiga komponen dasar dalam proses pendidikan di lembaga
pendidikan. Ketiga komponen tersebut saling terintegrasi satu kesatuan dalam
membentuk kecakapan diri, kemampuan profesional, dan nilai-nilai moral
(moral value) sebagai way of life, agar anak didik mampu mengembangkan
tugas dan tanggung jawabnya merealisasikan pendidikan berkualitas.2
1
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Depok : PT Raja Grafindo Persada, 2016), 10.
2
Dalam aspek spiritual, masyarakat modern senantiasa terbuai dalam
situasi keglamoran, mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menjadikan mereka meninggalkan pemahaman agama, hidup dalam sikap
sekuler yang menghapus visi keilahian. Hilangnya visi keilahian tersebut
mengakibatkan kehampaan spiritual dan menjadikan manusia jauh dengan
Sang Pencipta, akibatnya dalam masyarakat modern sering dijumpai banyak
orang yang gelisah, tidak percaya diri, stres tidak memiliki pegangan hidup.3
Taslimah dalam Ahmad Bangun Nasution dan Rayani mengatakan,
“Dalam masyarakat modern, banyak ditemukan penderitaan batin yang
memuncak, padahal kemajuan teknologi diiringi dengan kemajuan dalam
perawatan jiwa. Akal manusia memang mengalami perkembangan pesat,
namun hati manusia tetap dalam keadaan lemah.Untuk itu manusia
membutuhkan penopang kekuatan jiwa”.4
Manusia sebagaimana yang disebut Ibnu Khaldun memiliki panca
indra (anggota tubuh), akal pikiran dan hati sanubari, ketiganya harus bersih,
optimal dan sehat sehingga dapat berfungsi secara harmonis, maka untuk
mengoptimalkan ketiganya tersebut dibutuhkan beberapa ilmu yang sesuai
dengan fungsinya masing-masing.
Untuk mengoptimalkan dan membersihkan panca indera ilmu fikihlah
yang sangat berperan dengan Thaharah (bersuci) karena ilmu fikih banyak
berurusan dengan dimensi lahiriah. Untuk mengoptimalkan fungsi akal pikiran
3
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 355.
4
diperlukan ilmu filsafat. Filsafat lebih banyak menggerakkan, meluruskan dan
menyehatkan akal pikiran dengan cara berfikir kritis, karena filsafat lebih
banyak berurusan dengan metafisika. Ketiga untuk membersihkan dan
mengoptimalkan hati sanubari maka tasawuflah yang lebih banyak berurusan
dengan dimensi kebatinan manusia.5Ulama yang begitu bersungguh-sungguh
memperjuangkan akhlak tasawuf untuk mengatasi masalah tersebut adalah
Husse<in Nashr, menurutnya paham sufisme ini mulai mendapat tempat di
kalangan masyarakat, karena mereka mulai merasakan kekeringan batin.6
Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha-usaha membersihkan
diri, berjuang memerangi hawa nafsu, menjalin jalan kesucian dengan
ma’rif<at menuju keabadian, saling mengingatkan antar manusia, serta
berpegang teguh kepada pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasululah
dalam mendekatkan diri dan mencapai keridhaan-Nya.7
Kebersihan jiwa akan membawa pada kondisi batiniah yang bebas dari
nilai-nilai negatif tersebut dicernakan melalui setiap perbuatan yang disukai
dan dicintai oleh masyarakat sekeliling serta diridhai Allah SWT.8
Dalam proses penyucian jiwa tersebut memerlukan langkah-langkah
sebagai berikut, Al-Ghaza<li< yang dikutip dalam Robert Frager memberikan
hierarki langkah-langkah itu sebagai berikut: pertama, dengan melakukan
takha<lli< yaitu pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela. Kedua, taha<lli<
5Ali Syari’at dan Fatimah,
Karakteristik Wanita Muslimah (Yogyakarta: Salahhudin Press, 1990), 32.
6
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2013), 253.
7
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), 16.
8A. Bachrun Rif’i dan Hasan Mud’is,
yaitu mengisi jiwa yang kosong dengan akhlak terpuji. Ketiga, taja<lli< yaitu
tersingkapnya atau hasil yang tampak berupa karunia atau karomah yang
diperoleh setelah mengosongkan jiwa terpuji.9
Tasawuf cukup relevan untuk masa sekarang ini. Sebab, tasawuf
adalah jalan mistik yang canggih, yang di dalam praktiknya melibatkan
pekerjaan, keluarga dan pengalaman kehidupan sehari-hari lainnya. Walaupun
sebagian sufi mendapatkan penghasilan kehidupannya dari pemberian, akan
tetapi sebagian besar lainnya melakukan pekerjaan yang umum. Karena ajaran
tasawuf mengajarkan kita untuk menggunakan tugas dan pengalaman kita
sebagai bagian dari perjalanan spiritual kita, bukannya menjadikan pekerjaan
duniawi sebagai penghalang bagi kegiatan spiritual kita.10
Pendidikan merupakan persoalan penting bagi semua umat. Pendidikan
selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan
masyarakat. Pendidikan merupakan alat untuk memajukan peradaban,
mengembangkan masyarakat dan membuat generasi muda mampu berbuat
bagi kepentingan mereka dan masyarakat.11
Sedangkan akhlak yang dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia
dalam Heri Gunawan diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Sedangkan
menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Hamzah Ya’kub dalam
bukunya Heri Gunawan, “Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi “
mengatakan bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan
9
Robert Frager, Psikologi Sufi. Terj. Hasmiyah Rauf (Jakarta: Zaman, 2014), 46-47
10 Ibid.
11
buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus
diperbuat.12
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia. Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah Islamiyah, yakni
menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak
kader-kader ulama atau da'i. Pesantren sendiri menurut pengertiannya adalah
"tempat belajar para santri", sedangkan pondok berarti rumah atau tempat
tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu, kata "pondok"
juga berasal dari bahasa Arab "fundu<q" yang berarti hotel atau asrama. Ciri
khas pesantren dan sekaligus menunjukkan unsur-unsur pokoknya, yang
membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu pondok, masjid,
santri, kiai, dan kitab-kitab klasik.13
Kitab Al-Minah Al-Sani<yah karya ‘Abd Al-Wahh<ab Al-Sha'ra<ni<
merupakan salah satu kitab yang di ajarkan di pesantren salaf. Dalam kitab
ini menerangkan wasiat-wasiat kepada sa<lik untuk membersihkan jiwanya,
dengan jalan pendidikan akhlak,
Berangkat dari permasalahan dan dasar pertimbangan di atas, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Nilai-Nilai
Tasawuf Dalam Kitab Al-Minah Al-Sani<yah Karya ‘Abd Al-Wahha<b
Al-Sha’ra<ni< Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Akhlak
12
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2017), 4-5.
13
Enung K Rukiati dan Fenti Hikmawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana nilai-nilai tasawuf dalam kitab Al-Minah Al-Sani<yah karya
‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’rani<<<?
2. Bagaimana relevansi nilai-nilai tasawuf dalam kitab Minah
Al-Sani<yah karya ‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’ran<i dengan Pendidikan
Akhlak?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan, maka dapat
ditentukan tujuan penelitian ini, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui nilai-nilai Tasawuf dalam kitab Minah
Al-Sani<yah karya‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’ra<ni<.
2. Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai tasawuf dalam kitab Al-Minah
Al-Sani<yah karya ‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’ra<ni< dengan
Pendidikan Akhlak.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoretis
Untuk mengetahui nilai-nilai tasawuf dalam kitab Al-Minah Al-Sani<yah
karya‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’ra<ni<
2. Secara Praktis
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk membina akhlak santri
di lingkungan sekolah.
b. Guru
Dengan hasil penelitian ini diharapkan guru bisa menanamkan
nilai-nilai tasawuf kepada siswa dalam upaya pendidikan akhlak.
c. Siswa
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan siswa untuk selalu menjaga
akhlak ketika mencari ilmu.
d. Peneliti
Hasil dari penelitian ini diharapkan menambah wawasan pengetahuan
peneliti terkait dengan nilai-nilai tasawuf yang terdapat dalam kitab
Al-Minah Al-Sani<yah karya ‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’ra<ni< dan
relevansinya dengan pendidikan akhlak.
E. Telaah Hasil Penelitian Terdahulu Dan Kajian Teori
1. Telaah Hasil Penelitian Terdahulu
Di samping memanfaatkan berbagai teori yang relevan dengan
bahasan ini, peneliti juga melakukan telaah hasil penelitian terdahulu yang
jenis penelitiannya relevansi dengan penelitian ini.
1. Skripsi Kurnia Desi, 2016. Kontribusi Kitab Al-Minah Al-Sani<yah
karya ‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’ra<ni<Terhadap Pengembangan
Materi Akidah Akhlak Kelas X Madrasah Aliyah Negeri.
1) Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung
dalam Kitab Al-Minah Al-Sani<yah karya ‘Abd Al-Wahha<b
Al-Sha’ra<ni</?
2) Apa kontribusi Kitab Al-Minah Al-Sani<yah karya ‘Abd Al
-Wahha<b Al-Sha’ra<ni<?
b. Metodologi Penelitian
Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang
bersifat deskriptif.Jenis penelitiannya adalah kajian pustaka.Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengumpulan data
penggalian bahan-bahan pustaka yang relevan dengan objek
penelitian.Sedangkan teknikanalisis datanya menggunakan analisis
isi.
c. Perbedaan Penelitian
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kitab Al-Minah
Al-Sani<yah memberi kontribusi terhadap materi akidah akhlak
kelas X Madrasah Aliyah Negeri.14
Perbedaan dengan penelitian terdahulu adalah penelitian tersebut
fokus pada kontribusi kitab Al-Minah Al-Sani<yah terhadap materi
Akidah Akhlak kelas X. Sedangkan penelitian ini berfokus pada
nilai-nilai tasawuf dalam Al-Minah Al-Sani<yah dan relevansinya
dengan pendidikan akhlak.
14
2. Skripsi Hanifatul Masruruoh, 2012. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam kitab Al-Minah Al-Sani<yah karya ‘Abd Al
-Wahha<b Al-Sha’ra<ni<dan Urgensinya di Era Pendidikan Global.
a. Rumusan Masalah
1) Bagaimana kondisi pendidikan akhlak pada zaman sekarang?
2) Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Al-Minah
Al-Sani<yah karya ‘AbdAlWahhab Al-Sha’rani?
b. Metodologi Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan
mataetika, yakni mempelajari logika (pesan-pesan khusus) dari
ungkapan-ungkapan etis. Sedangkan jenis penelitian yang
digunakan adalah kajian pustaka. Sumber data yang diperoleh
berasal dari buku-buku kepustakaan.Teknik pengumpulan data
menggunakan teknikmengumpulkan data literer yakni penggalian
bahan-bahan pustaka yang relevan.Sedangkan analisis datanya
menggunakan metode content analysis.
c. Perbedaan Penelitian
Adapun perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian
sekarang adalah penelitian ini menganalisis nilai-nilai pendidikan
akhlak dalam kitab Al-Minah Al-Sani<yah karya ‘Abd Al
-Wahha<b Al-Sha<’rani< dan kondisi pendidikan Akhlak pada
tentang nilai-nilai tasawuf yang terkandung dalam kitab dan
relevansinya dengan pendidikan akhlak di zaman sekarang.15
3. Skripsi Ulyana Indah, STAIN Ponorogo, 2012. Nilai-nilai akhlak
dalam kitab Bida<yat Al-Hida<yah karya Al-Ghaza<li dan
relevansinya dengan pendidikan karakter.
a. Rumusan Masaiah
1) Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Bida<yat
Al-Hida<yat?
2) Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab
Bida<yat Al-Hida<yahdengan pendidikan karakter?
b. Metodologi Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
bersifat deskriptif.Sedangkan jenis penelitian yang digunakan
adalah kajian pustaka (library research).Sumber data diperoleh
dari bahan-bahan kepustakaan.Teknik pengumpulan data melalui
kajian pustaka dengan mengumpulkan buku-buku.Sedangkan
teknikanalisis datanya dengan menggunakan metode content
analysis.
c. Perbedaan Penelitian
Adapun hasil dari penelitian ini adalah dalam kitab ini
terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak antara lain niat baik mencari
ilmu, mengingat Allah, menggunakan waktu dengan baik,
15
menjauhi larangan-larangan Allah, etika seorang pendidik, akhlak
peserta didik, menjaga kesopanan terhadap pendidik, menjaga etika
terhadap orang tua, menjaga hubungan baik dengan orang awam,
teman dekat/sahabat dan orang yang baru dikenal. Kesemuanya ini
berorientasi pada pembinaan akhlak yang holistik yaitu akhlak
kepada Allah SWT, diri sendiri dan orang lain.
Nilai akhlak dalam kitab ini juga mempunyai relevansi
terhadap pendidikan karakter, sebab di dalamnya mengandung
nilai-nilai karakter religius, disiplin, tanggung jawab, bersahabat,
komunikatif, cinta damai, toleransi, jujur, demokratis, menghargai
prestasi dan peduli sosial.16
Perbedaan dengan penelitian tersebut adalah, penelitian ini
(sekarang) menganalisis nilai-nilai tasawuf, sedangkan penelitian
terdahulu menganalisis nilai-nilai pendidikan akhlak.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif, kajian
ini bersifat deskriptif yakni, untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang
tampak atau sebagaimana adanya,17
16
Ulyana Indah, Skripsi: Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Bida<yat Al-Hida<yah Al-Ghaza<li dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2012),
17
Adapun jenis penelitian ini adalah kajian kepustakaan library
research yang berarti telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu
masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelaahan kritis dan
mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan.18
2. Data Dan Sumber Data
a. Data Penelitian
Data merupakan fakta atau informasi atau keterangan yang
dijadikan sebagai sumber atau bahan menemukan kesimpulan dan
membuat keputusan.19
Dalam penelitian ini data bersifat deskriptif bukan angka,
hitungan, atau kuantitas. Data berupa kata-kata, pendapat para tokoh
yang dikutip dari sumber data.
b. Sumber Data
1) Sumber Data Primer
Sumber primer adalah sumber-sumber yang memberikan
data secara langsung dan tangan pertama atau merupakan sumber
asli.Sumber primer yaitu hasil-hasil penelitian atau tulisan-tulisan
karya peneliti atau teoritisi yang orisinil.20 Sumber primer dalam
penelitian ini adalah kitab Al-Minah Al-Sani<yah karya ‘Abd Al
-Wahha<b Al-Sha’ra<ni<.
2) Sumber sekunder
18
Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian dan Tehnik Penyusunan Skripsi (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 95-96.
19
Mahmud, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), 146.
20
Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan
Sumber sekunder adalah sumber yang diambil dari sumber
lain yang tidak diperoleh dari sumber primer. Sumber sekunder
adalah bahan pustaka yang ditulis dan dipublikasikan oleh seorang
penulis yang secara tidak langsung melakukan pengamatan atau
berpartisipasi langsung dalam kenyataan yang dideskripsikan.21
Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
a) ‘Abd Al-Wahhab< Al-Sha’ra<ni<, Terjemah Minah
Al-Sani<yah Catatan Sorang Sufi, terj. M. Adib Bisri, Jakarta,
1995.
b) Abu< Qa<sim Abdul Kariz<m Hawa<zin Al-Qusyaairi<
An-Naisaburi<, Risala<h Qusyairiya<h Sumber Kajian Ilmu
Tasawuf, terj. Umar Faruq
c) H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf. Bandung.
d) Nasrul HS, Akhlak Tasawuf, Yogyakarta.
e) Enung K Rukiati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Bandung.
f) Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran
Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta.
g) Abdul Qo>dir I<sa, Hakekat Tasawuf, terj. Khoiru Amru
Harahap dan Afrizal Lubis, Jakarta.
21
h) Muhammad Sayyi<d Ahmad dan Abdul Fatta<h, Tasawuf
antara Al-Ghaza>li< dan Ibnu Taimiya<h, terj. Muhammad
Muchson Anasy, Jakarta.
i) M. Solihin dan Rohison Anwar, Akhlak Tasawuf.Bandung.
j) Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf. Bandung
k) Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada penelitian pustaka, karenanya teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah dokumentasi.Teknik ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan data literer yang bersesuaian dengan objek pembahasan
yang dimaksud, baik dari buku maupun sumber dokumen lainnya.22
Dalam penelitian ini menggali data dari sumber primer dan
sekunder yang kemudian dikumpulkan data-datanya yang sesuai dengan
nilai-nilai tasawuf dalam kitab Al-Minah Al-Saniya<h karya Abd
Al-Wahha<b Al-Sha’ra<ni dan relevansiya dengan pendidikan akhlak.
Data-data kepustakaan yang diperoleh, dikumpulkan atau diolah
dengan cara sebagai berikut:
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua yang terkumpul
terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kejelasan makna,
keselarasan makna antara satu dengan yang lain.
b. Organizing
22
Yaitu menyatakan data-data yang diperoleh dengan kerangka yang
sudah ada.
c. Penemuan hasil data
Yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data
yang menggunakan kaidah-kaidah, teori dan metode yang telah
ditentukan, sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan
hasil jawaban dari rumusan masalah.23
4. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kajian pustaka (Library Research)
adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh
dari pustaka, baik sumber primer maupun sekunder, sehingga dapat mudah
dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.24
Tehnik analisis data digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
isi (content analysis). Analisis isi dalam penelitian dilakukan untuk
mengungkapkan isi sebuah buku yang menggambarkan situasi penulis dan
masyarakat dan masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis. Di samping
itu dengan cara ini dapat dibandingkan antara satu buku dengan buku yang
laindalam bidang yang sama, baik berdasarkan perbedaan waktu
penulisannya maupun mengenai kemampuan buku-buku tersebut dalam
23
Hadari Nawawi, Metodologi Bidang Sosial (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2007), 101.
24
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Edisi Revisi
mencapai sasarannya sebagai bahan yang disajikan kepada masyarakat
atau sekelompok masyarakat tertentu.25
5. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penulisan hasil penelitian dan agar dapat
dicerna secara runtut, diperlukan sebuah sistematika pembahasan. Dalam
laporan penelitian ini, akan dibagi menjadi tiga bab yang masing-masing
bab terdiri dari sub-sub bab yang saling berkaitan satu sama lain.
sistematika selengkapnya adalah sebagai berikut:
BAB I, merupakan pendahuluan berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah penelitian
terdahulu, metode penelitian (pendekatan penelitian, data dan sumber data
meliputi data penelitian, dan sumber data, serta teknik pengumpulan data,
dan teknik analisis data), dan sistematika pembahasan.
BAB II, Merupakan kajian teori: pengertian nilai, pengertian
tasawuf, tujuan tasawuf, sumber dan sejarah tasawuf, serta pendidikan
Akhlak. `
BAB III, merupakan hasil temuan data yang berupa biografi Syaikh
‘Abd Al-Wahha<b Al-Sha’rani serta nilai-nilai tasawuf dalam kitab
Al-Minah Al-Sani<yah.
BAB IV, analisis data
25
BAB V, adalah bab penutup yang berisi tentang kesimpulan yang
merupakan hasil akhir penelitian, kemudian saran-saran yang diberikan
17 BAB II
NILAI-NILAI TASAWUF DAN PENDIDIKAN AKHLAK
A. Nilai –nilai Tasawuf
1. Pengertian Nilai
Nilai berasal dari bahasa Latin valere yang artinya berguna,
mampu, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang
dipandang baik, bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan
seseorang atau kelompok orang.1
Menurut Steeman dalam bukunya Sjarkawi “nilai adalah yang
memberi makna pada hidup, yang memberi pada hidup ini titik tolak, isi,
dan tujuan. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang mewarnai dan
menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekadar keyakinan, nilai
selalu menyangkut tindakan.2
Menurut Noor Syam dalam bukunya Abdul Aziz, nilai adalah suatu
penetapan atau suatu kualitas objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi
atau minat. Sehingga nilai merupakan suatu otoritas ukuran dari subyek
yang menilai, dalam artian dalam koridor keumuman dan kelaziman dalam
batas-batas tertentu yang pantas bagi pandangan individu dan
sekelilingnya.3
1
Sutarjo Adi Susilo, Pembelajaran Nilai-Karakter; Kontruksivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), 56.
2
Sjarkawi, Pembentuk Kepribadian Anak:Peran Moral, intelektual, emosional, dan sosial sebagai wujud integritasmembangun jati diri (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 29.
3
Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam
Secara global, nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
besar: pertama, nilai yang berkenaan dengan kebenaran dengan kebenaran
atau yang terkait dengan nilai benar-salah yang dibahas oleh logika.
Kedua, nilai yang berkenaan dengan kebaikan atau yang terkait dengan
nilai baik-buruk yang dibahas oleh etika atau filsafat moral. Ketiga, nilai
yang berkaitan dengan keindahan atau berkenaan dengan nilai indah-tidak
indah yang dibahas oleh estetika.4
2. Pengertian Tasawuf
Secara etimologi pengertian tasawuf terdiri atas beberapa macam
pengertian.
Pertama, tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan
ahlu suffah yang berarti sekelompok orang pada masa Rasululah yang
hidupnya diisi dengan banyak berdiam di serambi-serambi masjid, dan
mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.
Kedua, ada yang mengatakan tasawuf berasal dari kata “shafa”
yang berarti nama bagi orang-orang yang bersih/suci. Maksudnya ialah
orang-orang yang menyucikan dirinya di hadapan Tuhan-nya.
Ketiga, ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari
kata ”shaf”, kata shaf ini dinisbatkan kepada orang yang ketika shalat
selalu berada di saf paling depan.5
4
Abd. Haris, Etika Hamka Kontruksi Etik Berbasis Rasional Religius (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2010), 31.
5
Keempat, berasal dari kata shaufanah yakni sebangsa buah-buahan
kecil berbulu yang banyak tumbuh di padang pasir tanah Arab. Atau dari
kata shuf yang berarti bulu domba atau kain yang terbuat dari bulu yaitu
wol. Namun kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol kasar dan bukan
wol halus seperti sekarang. Memakai wol kasar pada waktu itu adalah
simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya adalah memakai sutra,
oleh orang-orang yang mewah hidupnya di kalangan pemerintahan. Kaum
sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin,
tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutra dan sebagai
gantinya memakai wol kasar.6
Kalimat tasawuf masuk pada bab “Tafa<ul” dengan wazan
tasawwu<fa, yatasawwu<fu, tasawwu<fan (Tasawwu<f al-Raju<lu)
yakni seorang laki-laki telah halnya dari kehidupan biasa menuju
kehidupan Sufi7
Secara terminologi Zakaria<, Al-Ansha<ri< dalam Abdul Qo<dir
I<>sa berkata, "tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui tentang
pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan
batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.8
Menurut Ahmad Za<ruq dalam bukunya Abdul Qodi<r Isa
“Hakekat Tasawuf” mengatakan, "Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan
untuk memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah
6
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik (Jakarta: PT. Raja Graafindo Persada, 2017), 3.
7
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), 45.
8
semata. Imam Junai<d berkata, "Tasawuf adalah berakhlak luhur dan
meninggalkan semua akhlak tercela”.9
Menurut Al-Junaid Al-Baghda<di< dalam K. Permadi berkata
“Tasawuf adalah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang
dan melepaskan akhlak yang fitri, menekankan sifat basya<riyah
(kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, membersihkan tempat bagi
sifat-sifat kerohania, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu
yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasehat kepada umat,
benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syari’at
Rasulullah.10
Abu Qa<sim Abdul Ka<rim al-Qusairi< dalam K. Permadi berkata,
“Tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah,
berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah,
mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan
ibdah.11
Sedangkan menurut Ibnu Khaldu<n dalam Moh. Thoriqudin
mengatakan, “Tasawuf adalah semacam ilmu syari’at yang timbul
kemudian di dalam agama. Asalnya adalah bertekun ibadah dan
memutuskan hubungan dengan segala sesuatu selain Allah, hanya
menghadap Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci
9
Ibid.
10
K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 28-29.
11
perkara-perkara yang menipu orang banyak, kelezatan harta, kemegahan
dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”.12
3. Sumber-Sumber Tasawuf
a. Al-Qur’an
Abdul Wahha<b Khalla<f mendefinisikan al-Qur’an sebagai berikut:
“Kalam Allah yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada
Rasulullah dengan lafadz menggunakan bahasa Arab dan makna hakiki
untuk menjadi hujjah bagi Rasulullah atas kerasulannya dan menjadi
pedoman bagi manusia dengan petunjuknya serta beribadah
membacanya”.13
Al-Qur’an merupakan motivasi manusia untuk bersikap zuhud
di dunia dan berpaling darinya.Al-Qur’an dalam ayat-ayatnya
menjelaskan kita hakikat dunia, bahwa dunia adalah permainan,
sedangkan akhirat adalah alam yang kekal, kehidupan akhiratlah yang
hakiki. Allah Ta’ala berfirman,
Artinya:“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau
dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang
sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” QS. Al -An-kabut ayat:64)14
12
Moh. Thoriquddin, Sekularitas Tasawuf Membumikan Tasawuf Dalam Dunia Modern
(Malang : UIN Malang Press, 2008), 16.
13
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), 122.
14
Dalam Al-Qur’an surat Al-Jumu’ah ayat 2 Allah berfirman
bahwa salah satu tugas Rasul-Nya adalah menyucikan jiwa manusia,
Artinya: “Dialah satu-satunya yang telah membangkitkan di tengah
masyarakat Makkah, seorang Rasul dari antara mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan menyucikan jiwa mereka, serta mengajari mereka Alkitab dan Hikmah meskipun mereka sebelumnya benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.”15
b. Sunah (Hadits Qudsi dan Hadits Nabi)
Sunah Nabi merupakan penerapan dalam hidup manusia
mengenai ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang diwahyukan dalam
Al-Qur’an, dan penerapan itu telah dilaksanakan oleh makhluk Allah
yang paling sempurna dan manusia yang paling mampu memahami
perintah-perintah Allah serta mengamalkan dalam situasi konkret.
Meniru sunah berarti hidup secara Islami dan sesuai dengan kehendak
Allah.16
Meskipun sunah mencakup berbagai aspek kehidupan, dalam
hal ini yang menjadi sumber tasawuf antara lain adalah hadis Nabi.
Hadits Qudsi
Abu Hurairah R.A berkata,“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda,
15
M. Quraish Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya (Tangerang: Lentera Hati, 2010), 595.
16
ه يبَِأ ْنَعَو
َةَرْ يَر
–
ْنَع للها َييضَر
:
يللها َلْو سَر َّنَأ
َص
َمَّلَسَو يهْيَلَع للها ىَّل
َلاَق ،
(( :
َلاَعَ ت للها لْو قَ ي
:
ْنيإَف ، ينَِرَكَذ اَذيإ هَعَم اَنَأَو ، يبِ ييدْبَع ِّنَظ َدْنيع اَنَأ
ٍْيَْخ ٍلََم يفِ ه تْرَكَذ ٍَلََم يفِ ينِرَكَذ ْنيإَو ، ييسْفَ ن يفِ ه تْرَكَذ ، يهيسْفَ ن يفِ ينَِرَكَذ
ْم هْ نيم
))
يهْيَلَع ٌقَفَّ ت م
Artinya: ”Allah Azza wa Jalla berfirman,” Aku tergantung pada
prasangka hamba-Ku dan dan Aku selalu bersamanya tatkala ia mengingat-Ku, jika hamba-Ku mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Dan jika ia menyebut-Ku di hadapan orang banyak, maka Aku akan menyebut-Nya di hadapan orang banyak yang lebih dari mereka. Jika dia mendekat pada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat padanya”.
Hadis Nabi
َكْوُّ بي يُ يساَّنلا ْييدْيَا ْيفِ اَمْييف ْدَهْزاَو للها َكُّبي يُ اَيْ نُّدلا ْيفِ ْدَهْزيا
(
هجام نبا هاور
)
Artinya: “Bersikap zuhudlah di dunia, niscaya Allah akan
mencintaimu! Bersikap zuhudlah dari segala apa yang
dimiliki manusia, niscaya manusia akan
mencintaimu!”(HR. Al-Bukhari)17
c. Kehidupan Nabi SAW
Nabi SAW hidup dalam keadaan zuhud dan menjauhi
kemewahan duniawi, baik sebelum dan sesudah pengangkatan beliau
sebagai Nabi. Sebelum diangkat sebagai nabi, beliau hidup dalam
keadaan bersih, zuhud, penuh ibadah, dan memfokuskan diri untuk
beribadah kepada Allah SWT. Beliau beribadah di gua Hira, jauh dari
kemewahan dunia, mengasingkan diri dari alam dan keluarganya,
17
merenungkan segala ciptaan Allah, sembari melemparkan pandangan
pada padang pasir dan gunung-gunung yang kokoh dan ciptaan Allah
yang ajaib di antara padang pasir dan gunung itu. Semua itu beliau
lakukan sampai merasa yakin kekuasaan Allah.18
d. Kehidupan Sahabat
Para sufi mendapati dalam diri sahabat teladan yang paling baik
.dalam hal hidup mereka zuhud dan meninggalkan dunia, serta
mengkhusyukan diri hanya beribadah kepada Allah. Para sahabat
melakukan semua itu karena meneladani kehidupan Rasulullah SAW, .
Dalam riwayat para sahabat Nabi, kita mengetahui bahwa
perilaku kehidupan zuhud sangat kental dengan diri mereka.
Kehidupan para sahabat yang menjadi sufi tauladan umat manusia
setelah kepergian beliau Nabi SAW banyak diwarnai dengan berbagai
cobaan. Namun, cobaan ini mereka hadapi dengan penuh ketabahan.19
4. Faktor Munculnya Tasawuf
a. Faktor Politik
Konflik–konflik sosial politik yang bermula dari masa
Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa-masa sesudahnya.
Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap
kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok-kelompok Bani
Umayyah, Syiah, Khawarij, dan Murjiah.
18
Ibid., 26-18.
19
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik
berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki,
khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat kezaliman-kezaliman,
terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan
politiknya yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman
mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali
bin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata
mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika
itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti-hentinya itu
membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena
mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan
kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut
kelompoknya itu dengan Tawwa<bun. Untuk membersihkan diri
dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan
sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawa<bin itu
dipimpin oleh Mukhta<r bin Ubai<d as-Saqa<fi< yang terbunuh di
Kufah pada tahun 68 H.20
b. Formalitas Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunah
Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk bersikap zuhud dalam
melihat dunia, membekali diri dengan takwa, ibadah, shalat malam
dan wara’. Sedangkan hadits yang memotivasi manusia untuk
20
zuhud, Rasulullah menjadikan diri beliau sebaggai teladan nyata
bagi praktek hidup zuhud dan menjauhi gemerlapnya dunia.21
5. Sejarah Perkembangan Tasawuf
Menurut Ahmad Alwasy dalam bukunya Abdul Qo<dir I>sa
mengatakan, “Banyak kalangan bertanya-tanya mengapa dakwah kepada
tasawuf tidak berkembang di awal era Islam, dan baru muncul setelah era
sahabat dan tabi’in. Jawabannya, pada awal Islam dakwah kepada tasawuf
belum diperlukan, sebab pada era itu semua orang adalah ahli takwa, ahli
wara’ dan ahli ibadah, berdasarkan panggilan fitrah mereka dan kedekatan
mereka dengan Rasulullah SAW.Mereka semua berlomba untuk mengikuti
dan meneladani Rasul dalam setiap aspek.22
Meskipun para sahabat dan tabi’in tidak menggunakan kata
tasawuf, akan tetapi secara praktis mereka adalah para sufi yang
sesungguhnya. Dimaksud dengan tasawuf tidak lain adalah bahwa
seseorang hidup hanya untuk Tuhannya, bukan untuk dirinya. Mereka
menghiasi dirinya dengan zuhud, tekun melaksanakan ibadah,
berkomunikasi dengan Allah dengan roh dan jiwanya di setiap waktu dan
berusaha mencapai berbagai kesempurnaan, sebagaimana telah dicapai
oleh para sahabat dan tabi’in yang telah sampai ke tingkat spiritualitas
yang paling tinggi. Para sahabat tidak sekadar mengikrarkan iman dan
menjalankan kewajiban-kewajiban. Akan tetapi, mereka menyertai iman
21
Abdul Fatta<h Sayyi<d Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah...., 37.
22
tersebut dengan perasaan, menambah kewajiban-kewajiban dengan
amal-amal sunah dan menghindari yang makruh di samping yang haram,
sehingga mata hati mereka bersinar, butiran-butiran hikmah terpancar dari
nurani-nurani mereka dan rahasia ketuhanan melimpah dalam jiwa
mereka.Begitu pula, kondisi para tabi’in dan pengikut tabi’in, ketiga masa
tersebut adalah masa keemasan dan sebaik-baik masa dalam
Islam.23Berikut ini sejarah perkembangan tasawuf:
a. Tasawuf Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah
Pada abad ini disebut juga dengan fase zuhud, karena pada masa
ini kecenderungan berperilaku zuhud menguasai dunia Islam. Ketika
itu zuhud masih bernafaskan Islam murni, jauh dari ajaran di luar
Islam.24
1) Perkembangan Tasawuf Pada Masa Sahabat
Para sahabat juga mencontoh kehidupan Rasulullah yang serba
sederhana, di mana hidupnya hanya semata-mata diabdikan kepada
Tuhan-Nya.
Beberapa sahabat yang tergolong Sufi di abad pertama, dan
berfungsi sebagai Mahaguru bagi pendatang dari luar kota
Madinah, yang tertarik kepada kehidupan sufi.
Sahabat-sahabat yang dimaksudkan: antara lain:
a)Abu Bakar Al-Shiddi<q: wafat tahun 13 H.
23
Abdul Qo<dir I<sa, Hakekat Tasawuf terj. Khairul Amru Harahap (Jakarta: Qisthi Pres, 2011), 8-9.
24
Abu bakar pada mulanya adalah seorang saudagar Quraisy<
yang kaya. Setelah masuk Islam, ia menjadi seorang yang
sangat sederhana. Abu bakar memberikan seluruh harta
kekayaannya untuk jalan Allah. Diceritakan pula bahwa Abu
Bakar hanya memiliki sehelai pakaian, oleh karena itu, Abu
Bakar Memilih takwa sebagai pakaian, ia menghiasi dirinya
dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu
mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah dan, dzikir.25
b)Umar bin Khatta<b; wafat tahun 23 H.
Umar bin Khatta<b adalah sahabat Nabi terdekat dan khalifah
kedua Al-Khula<fa<’u Ar-Ra<syidin. Ketika menjadi khalifah
ia selalu melihat langsung keadaan rakyatnya. Umar juga
sangat takut mengambil harta kaum muslimin tanpa alasan
yang kuat, prinsip hidup sederhana juga Ia terapkan di
lingkungan keluarganya.26
c)Utsman bin Affa<n; wafat tahun 35 H.
Utsman merupakan khalifah ketiga dan sahabat yang sangat
berjasa pada periode awal pengembangan Islam, baik pada saat
Islam dikembangkan secara sembunyi-sembunyi maupun
secara terbuka.
Sebelum masuk Islam, Utsman bin Affa<n dikenal sebagai
pedagang besar dan terpandang. Kekayaannya berlimpah ruah,
25
Nasrul HS, Akhlak Tasawuf...., 114.
setelah masuk Islam dengan penuh kerelaannya, ia
menyerahkan sebagian besar harta kekayaannya untuk
perjuangan Islam dan membela orang-orang miskin dan
teraniaya. Adapun dalam kesehariannya ia selalu sederhana.27
d) Ali bin Abi Tha<lib; wafat tahun 40 H.
Ali merupakan khalifah keempat dari Al-Khulafa<’ Ar
-Ra<syidun, ia merupakan orang pertama masuk Islam dari
kalangan anak-anak, ia merupakan sepupu Nabi Muhammad
SAW yang kemudian menjadi menantunya.
Ali dikenal sangat sederhana dan za<hid dalam kehidupan
sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan
rumah tangganya antara sebelum dan setelah diangkat
sebagai khalifah.28
e) Salman Al-Fa<risi<
Sejak Salman masih beragama Masehi, ia sudah dikenal
sebagai orang yang sangat arif dan mengetahui secara
mendalam ilmu-ilmu ghaib. Ia pernah meramalkan akan
datangnya seorang Rasul yang terakhir (yaitu Muhammad)
ia pun tergolong ahli zuhud.
Ketika bertemu dengan Raulullah, ia langsung mempercayai
ajarannya, karena telah melihat tanda-tanda kenabian pada
bahu sebelah kanan beliau, yang persis sama dengan
27
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf...167.
28
tanda yang pernah diberitahukan sebelumnya. Ketika ia
memeluk Islam ia tegolong “Ahlu al-Suffa<h” yang selalu
mengamalkan ajaran zuhud yang pada akhirnya berkembang
di kota Bashrah di akhir abad ke dua Hijriyah.29
f) Abu Dza<r Al-Ghifari<
Ia adalah seorang sufi yang selalu mengamalkan ajaran
zuhud yang telah dirintis oleh Abu Bakar dan Umar. Ia lebih
senang memilih cara hidup yang miskin, dan tidak merasa
menderita bila ditimpa musibah/cobaan. 30
2) Ulama-ulama sufi dari kalangan tabi’in
Ulama sufi dari kalangan tabi’in adalah murid dari ulama Sufi
dari kalangan sahabat. Mereka hidup pada abad ke dua. Adapun
tokoh-tokoh Ulama sufi tabi’in, antara lain:
a) Hasan Al-Bashri< (22 H-110 H)
b) Rabi’ah Al-Ada<wiyah
c) Sufyan bin Said Ats-Tsauri< (97-161)
d) Da<ud Ath- Tha<iy wafat tahun 165 H
e) Syaqiq Al-Balkhi< wafat 194 H31
b. Perkembangan Tasawuf Pada Abad Ketiga Hijriyah
Pada abad ini terlihat perkembangan tasawuf yang pesat,
ditandai dengan adanya golongan ahli tasawuf yang mencoba
29
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf (Jakarta : Kalam Mulia, 2011), 84.
30
Ibid., 85.
31
menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang masa itu,
sehingga mereka membaginya menjadi tiga macam; yaitu:
1) Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa,
Yaitu tasawuf yang berisi cara pengobatan jiwa,
pengonsentrasian jiwa manusia kepada Tuhan sehingga
ketegangan-ketegangan kejiwaan dapat terobati;
2) Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak,
Yaitu tasawuf yang berisi teori-teori akhlak, tentang cara
berakhlak mulia dan menghindari akhlak buruk.
3) Tasawuf yang berintikan Metafisika
Yaitu tasawuf yang berisi teori-teori kemutlakan Tuhan. Pada
periode ini telah lahir teori-teori tentang kemungkinan
“bersatunya” manusia dengan Tuhan.32
Sedangkan tokoh-tokoh sufi yang terkenal abad ini; antara
lain:
1) Abu Sulaiman Ad-Da<rani<: wafat tahun 215 H
2) Ahmad bin Al-Hawari< Al-Damasqi<; wafat tahun 230 H.
3) Abu al-Faid Dzu al-Nun bin Ibra<him Al-Misri<; wafat tahun
245 H
4) Abu Ya<zid Al-Busta<mi<; wafat tahun 261 H/874 M
5) Junaid Al-Baghda<di<; wafat tahun 298 H.
6) Al-Halla<j; lahir tahun 244 H/858 M.33
32Bachrun Rif’i dan Hasan Mud’is,
c. Perkembangan Tasawuf Pada Abad Keempat Hijriyah
Abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih
pesat dibandingkan dengan kemajuannya pada abad ketiga, karena
usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran
tasawufnya masing-masing.34
Sedangkan tokoh-tokoh sufi yang terkenal abad ini; antara
lain:
1) Mu<sa Al-Ansho<ri<; wafat tahun 320 H.
2) Abu Ha<mid bin Muhammad Ar-Rubazi<; wafat tahun 322 H
3) Abu Za<id Al-Ada<mi<; wafat tahun 341 H
4) Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahha<b Al-Saqa<fi<; wafat
tahun 328 H35
d. Perkembangan Tasawuf pada Abad Kelima Hijriah
Pengembalin tasawuf ke pangkalannya (pemurnian tasawuf)
oleh Al-Gha<zali< dengan tasawuf sunninya. Peristiwa ini terjdi
pada abad kelima Hijriah. Al-Gha<zali< memproglaamerkan ke
dunia Islam bahwa tasawuf mesti didasarkan kepada Al-Qur’an dan
Sunnah.36
33
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf...., 178-181.
34
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf...., 181.
35
Ibid., 182.
36
Oleh karena itu, tasawuf pada abad kelima cenderung
mengadakan pembaharuan, yaitu dengan mengembalikan pada
landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
e. Perkembangan Tasawuf Pada Abad Keenam Hijriah
Sejak abad keenam Hijriyah, sebagai akibat pengaruh
kepribadian Al-Gha<zali< yang begitu besar, pengaruh tasawuf
Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam.37
Beberapa ulama tasawuf yang sangat brpengaruh dalam
perkembangan tasawuf abad ini, antara lain sebagai berikut.
1) As-Suhra<ward<i Al-Maqtu<l (w. 587 H/1191 M)
2) Al-Gha<znawi< (w. 545 H/1151 M)38
f. Perkembangan Tasawuf Pada Abad Ketujuh Hijriyah
Pada periode ini muncul kembali tokoh-tokoh sufi yang
memadukan tasawuf dengan filsafat, atau yang dikenal dengan
tasawuf falsafi.39
Ada beberapa ulama tasawuf yang berpengaruh pada abad
ini, antara lain sebagai berikut.
1) Ibnu Fa<ridh (576 H/1181 M-632 H/1233 M)
2) Ibnu Sabi’in (613 H-667 H)
3) Jala<luddin Ar-Ru<my (6044 H/1217 M-672 H/1273 M)40
g. Perkembangan Tasawuf pada Abad Kedelapan Hijriyah
37
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf...., 67.
38
Rohison Anwar, Akhlak Tasawuf...., 187.
39Bachrun Rif’i dan Hasan Mud’is,
Filsafat Tasawuf...., 78.
40
Dengan terlewatinya abad ke tujuh Hijriyah hingga
memasuki abad ke delapan, tidak terdengar lagi perkembangan dan
pemikiran baru dalam tasawuf. Meskipun banyak pengarang kaum
sufi yang mengemukakan pemikirannya tentang ilmu tasawuf,
mereka kurang mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari
umat Islam, sehingga bisa dikatakan bahwa nasib ajaran tasawuf
ketika itu, hampir sama nasibnya pada abad sebelumnya.
h. Perkembangan Tasawuf pada Abad Kesembilan dan Kesepuluh
Hijriyah
Dalam beberapa abad ini, betul-betul ajaran tasawuf sangat
sunyi di dunia Islam. Banyak di antara peneliti muslim yang
menarik kesimpulan, bahwa dua faktor yang sangat menonjol yang
menyebabkan runtuhnya pengaruh ajaran tasawuf di dunia Islam,
yaitu: Ahli tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan
masyarakat Islam. Karena ketika itu, penjajah eropa yang beragama
Nasrani sudah menguasai seluruh negeri Islam.41
i. Perkembangan Tasawuf Abad Modern
Tasawuf abad modern diperkenalkan oleh Hamka. Nama
lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, ia lahir di
Minangkabau, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908. Ia
mengembangkan tasawuf modern melalui karya-karyanya. Hamka
berpandangan, perlunya unsur-unsur duniawi dalam upaya
41
mencapai kebajikan. Unsur-unsur duniawi seperti harta benda,
keluarga, kehormatan, perlu diterapkan dalam kehidupan sufi.42
6. Maqamat-maqamat Dalam Tasawuf
Ma<qam adalah hasil kesungguhan dan perjuangan terus menerus,
dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik.43
Sedangkan Al-Maqa<mat adalah bentuk jama<’ mu’anna<ts dari
kata al-ma<qam. Dalam bahasa Indonesia berarti kedudukan, derajat atau
pangkat. Sedangkan dalam terminologi ilmu tasawuf maqa<mat adalah
kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang didapatinya melalui
ibadah dan mujahadat serta latihan spiritual lainnya.44
Menurut Al-Imam Al-Qusyairi< dalam Abdul Halim Mahmud
mendefinisikan maqa<mat yaitu adab yang dijalani, ditekuni serta dicapai
dengan semacam tindakan dan pemaksaan diri. Dengan demikian
kedudukan setiap manusia adalah kedudukannya ketika melaksanakan hal
itu dengan cara latihan. Adapun syaratnya adalah ia tidak naik dari satu
kedudukan ke kedudukan lainnya, sebelum menyempurnakan
kedudukan.45
Menurut Abu Ha<mid al-Gha<zali< dalam karangan
monumentalnya “Ihya<’ Ulum Al-Din” dikutip dalam bukunya Alfatih
Suryadilaga “Miftahus Sufi” memberikan susunan yaitu: Taubat,
42
Ibid., 43
M. Amin Syakur, Tasawuf Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 6. .
44
Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus Sufi (Yogyakarta: Teras, 2008), 94.
45
Shabr, al-Faqr, al-Zuhd, al-Tawakka<l, al-Mahabb<at, al-Ma’rifa<t, dan
ridha<.46
a. Taubat
At-taubah berasal dari bahasa Arab: taba, yatubu, taubatan,
yang artinya kembali. sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi
adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan
penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak
mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan
kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.47
Para ulama’ salaf mendahulukan amalan mereka dengan
bertaubat, karena taubat merupakan suatu usaha membersihkan diri
manusia dari kesalahan dan maksiyat dengan ikrar bahwa mereka
meninggalkan maksiyat, menyesali perbuatan jahat pada masa lalu,
dan bertekad tidak akan mengulangi kekeliruan tersebut.48
Imam Al-Gha<zali< berkata, “Taubat dari dosa dengan
kembali pada tirai yang bisa menutup dosa dan kembali kepada dzat
yang mengetahui alam ghaib adalah prinsip pertama jalan seorang
salik.49
Dalam hal ini Dzu Al-Nun al-Mishri< mengatakan:
ةبوت
لا نم ماعلا
ذن
بو
ةلفغلا نم صالخا ةبوتو
“
46
Al-Fatih Suryadilaga, Miftahus Sufi ..., 97.
47
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf...., 244.
48Bachrun Rif’i dan Hasan Mud’i,
Filsafat Tasawuf (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010), 205.
49
“Taubatnya orang awam dari perbuatan dosa, dan taubatnya orang khawas dari kelalaian mengingat Allah”.
Karena taubat orang kha<was termasuk sufi dari kelalaian
mengingat Allah, maka kesempurnaan taubat dalam ajaran Tasawuf
adalah apabila seseorang petaubat sudah mencapai maqa<m:
al-Taubatu< min Taubatih, yakni mentaubati terhadap kesadaran keadaan
dirinya dan kesadaran akan taubatnya itu sendiri.50
Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar senantiasa
bertaubat, membersihkan diri, dan memohon ampunan kepada-Nya.
Sehingga memperoleh cahaya dari-Nya. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Q.S. At-Tahrim ayat 8 yaitu:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami
50
dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.".51
b. Sabar
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Di kalangan para sufi
sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah,
dalam menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala
percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita.
Menurut Khawajah Anshari dalam bukunya Zaprulkhan
berkata, sabar adalah menahan diri dari keluhan-keluhan yang disertai
kecemasan dalam batin.52
Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan
sabar adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang
sangat mulia dan sangat tinggi. Sabar ialah menahan diri dalam
memikul suatu penderitaan, baik dalam sesuatu perkara yang tidak
diinginkan maupun kehilangan sesuatu yang disenangi.53
Al-Gha<zali< membedakan sabar kepada tiga tingkatan, yaitu:
1) Sabar untuk senantiasa teguh (istiqo<mah) dalam melaksanakan
perintah Allah.
2) Sabar dalam menghindarkan dan menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah.
3) Sabar dalam menghadapi atau menanggung cobaan-Nya.54
51
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah (Semarang: Karya Toha, 1999), 940.
52
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf...., 50.
53
Ibid., 50-51.
54
Menurut Ibnu A’jiba<h dalam bukunya Abdul Mustaqim
berkata, sabar jika diklasifikasikan berdasarkan tingkatannya dapat
dibagi menjadi tiga:
1) Sabar tingkatan orang awam.
Seseorang dalam posisi ini akan selalu tabah atas
kesulitan-kesulitan dalam menjalankan ketaatan dan melawan segala bentuk
pelanggaran.
2) Sabar tingkatan orang khusus (khawash)
Seseorang yang masuk dalam tingkatan ini akan bisa
menahan hati (tabah) ketika menjalankan riyadlah dan mujahadah
(perjuangan spiritual) dengan selalu melakukan muraqabah,
sehingga dalam hatinya selalu hadir nama Allah.
3) Sabar tingkatan khawashu<l khawas.
Seseorang bisa dikatakan masuk dalam maqam ini bila ia
bisa menahan ruh dan sir agar dapat menyaksikan Allah SWT
(musya<hada<h) dengan mata hatinya.55
Allah berfirman dalam Qs. Al-Baqarah ayat 55.
Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
55
buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.56
c. Faqr
Secara harfiah faqr biasanya diartikan sebagai orang yang
berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi
faqr adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.
Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajiban.Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri
kita, kalau diberi diterima.Tidak meminta tetapi tidak menolak.57
Faqr dapat berarti sebagai kekurangan harta yang diperlukan
seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr menjadi
penting dimiliki oleh orang yang sedang berjalan menuju Allah SWT.
Hal ini karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan
manusia dekat dengan kejahatan, dan sekurang-kurangnya membuat
jiwa menjadi tertambat pada selain Allah SWT.58
d. Al-Zuhud
Secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang
bersifat keduniaan sedangkan menurut Harun Nasution dalam Nasrul
zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.59
Secara terminologi, zuhd adalah mengarahkan keinginan
kepada Allah SWT, menyatukan kemauan kepada-Nya, dan sibuk
dengan-Nya dibanding kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah
56
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah (Semarang: Karya Toha, 1999), 34.
57
Nasrul, Akhlak Tasawuf...., 191.
58
M. Solihin, Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf (Bandung: CV. Pustaka Setia,2003), 19.
59
membimbing dan memberikan petunjuk seorang Zahid.60 Ciri-ciri
zuhud:
1) Tidak merasa bangga terhadap sesuatu yang ada padanya dan tidak
pula merasa sedih di kala kehilangan nikmat tersebut dari
tangannya.
2) Tidak merasa gembira dan bangga mendengar pujian orang dan
tidaak pula merasa sedih atau marah jika mendengar celaan orang.
3) Selalu mengutamakan cintanya kepada Allah dan mengurangi
cintanya kepada dunia.61
Tingkatan Zuhud
1. Seseorang melakukan zuhud terhadap dunia tetapi sebenarnya ia
menginginkannya. Hatinya condong kepadanya, jiwanya berpaling
kepadanya namun, ia berusaha mujahadah untuk mencegahnya.
2. Seseorang meninggalkan dunia dalam rangka taat kepada Allah
SWT karena ia melihatnya sebagai sesuatu yang hina dina, jika
dibandingkan dengan apa yang hendak digapainya. Orang ini sadar
betul bahwa ia melakukan zuhud, tetapi ia pun masih
memperhitungkannya. Keadaannya seperti orang yang
meninggalkan sekeping dirham untuk mendapatkan dua keping.
3. Seseorang zuhud terhadap dunia dalam rangka taat kepada Allah
dan dia zuhud dalam kezuhudannya. Artinya ia melihat dirinya
60Bachrun Rifa’i dan Hasan Mud’is,
Filsafat Tasawuf...., 207.
61
tidak meninggalkan sesuatu apapun. Keadaannya se