• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI SAPARAN KI AGENG WONOLELO DI DESA WIDODOMARTANI KECAMATAN NGEMPLAK KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2015 SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI SAPARAN KI AGENG WONOLELO DI DESA WIDODOMARTANI KECAMATAN NGEMPLAK KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2015 SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM

TRADISI SAPARAN KI AGENG WONOLELO

DI DESA WIDODOMARTANI KECAMATAN NGEMPLAK

KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2015

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh :

ISNAINI ERNAWATI

NIM: 111-10-139

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang

pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya(Q.S Ali Imran:19)”

PERSEMBAHAN

Suami serta anak ku tersayang yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian penulisan skripsi dengan penuh kasih sayang dan kesabaranya.

Keluarga besarku dan mertua.

Bapak Mufiq, S. Ag,. M. Phil yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan serta bimbingan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

(6)

ABSTRAK

Ernawati, Isnaini. 2017. Nilai-nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo di Desa Widodomartani Kecamatan Ngemplak Kabupaten Sleman Tahun 2015. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen pembimbing Mufiq, S.Ag,.M.Phil

Kata kunci: Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Tradisi Saparan.

Setiap daerah mempunyai tradisi dan kebudayaan yang berbeda-beda sesuai dengan sejarah, asal-usul dusun. Tradisi saparan ini menarik untuk diteliti karena, ciri khas dari saparan Ki Ageng Wonolelo ini adalah gunungan Apem dan Kirap pusaka peninggalan Ki Ageng Wonolelo. Dalam saparan itu ada perebutan apem yang dipercayai apabila mendapat apem akan mendapat berkah,apem dipercayai warga dapat sebagai tolak bala berbagai macam tanaman dari hama tanaman, dan memberikan keselamatan bagi yang memakannya.

Upacara Adat Saparan Ki Ageng Wonolelo untuk menghormati arwah leluhur penyebar Agama Islam yaitu Ki Ageng Wonolelo sebagai cikal bakal adanya dusun Pondok Wonolelo. Adapun fokus masalah penelitian adalah : Bagaimana pemahaman masyarakat mengenai tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo?, Bagaimana pelaksanaan tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo?, Apakah nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo?.

Metodologi dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode deskriptif kualitatif berupa pengamatan (observasi), wawancara, dan dokumentasi. Peneliti dalam penelitian ini bertindak secara langsung ke lapangan sehingga mendapatkan data yang real di dalam tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo tersebut sehingga bisa mendapatkan data yang akurat.

(7)
(8)
(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGUJI ... iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Fokus Masalah ... 4

C.Tujuan Penelitian ... 5

D.Manfaat Penelitian ... 5

E. Definisi Operasional ... 6

F. Metode Penelitian ... 10

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 10

2. Kehadiran Peneliti ... 11

3. Lokasi Penelitian ... 11

(10)

5. Jenis dan Sumber Data ... 12

6. Tahap-tahap Penelitian ... 13

7. Instrument Penelitian ... 14

G.Teknik Pengumpulan Data ... 14

H.Teknik Analisis Data ... 15

I. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KAJIAN TEORITIK A.Tradisi Ki Ageng Wonolelo ... 19

1. Definisi Kebudayaan ... 19

2. Tradisi Saparan ... 21

B.Nilai-nilai Pendidikan Islam ... 22

BAB III PAPARAN DATA A.Paparan Data ... 32

1. Gambaran Umum Lokasi ... 32

a. Data Geografi Lokasi ... 32

b. Demografi Desa ... 33

B.Temuan Penelitian ... 37

(11)

BAB IV PEMBAHASAN

A. Analisis Hasil Temuan ... 50

1. Pemahaman masyarakat tentang tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo ... 50

2. Nilai pendidikan Islam dalam tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo ... 54

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 71

1. Pemahaman masyarakat tentang tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo ... 71

2. Pelaksanaan tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo ... 72

3. Nilai pendidikan Islam dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo ... 73

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama dan tradisi adalah dua hal yang sangat dekat di masyarakat, bahkan banyak yang salah mengartikan agama dan tradisi adalah satu kesatuan yang utuh. Dalam kaidah sebenarnya agama dan tradisi mempunyai kedudukan masing - masing dan tidak dapat disatukan karena agamalah yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada tradisi. Namun keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dalam kehidupan masyarakat.

Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan ( kepercayaan ) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia terhadap lingkungan. Kata “agama” berasal dari bahasa “Sanskerta”, agama berarti “tradisi” yang yang telah menjadi kebiasaan turun temurun dari leluhur.

(13)

Sejarah Islam di pulau Jawa cukup lama sebagai bukti adanya berbagai situs peninggalan seperti makam para wali. Situs ini sampai sekarang masih di jadikan tempat berziarah serta berbagai ritual dan tradisi budaya bercorak Islam di pulau Jawa.

Islam memberikan pengaruh besar terhadap tradisi dan budaya atau kepercayaan, begitu juga sebaliknya. Budaya juga memberikan pengaruh pada pelaksanaan dari ajaran-ajaran Islam. Kaum muslimin di Indonesia pada umumnya yakin bahwa tersebarnya agama Islam di tanah Jawa termasuk di dalamnya tradisi dan kebudayaan adalah berkat kegigihan, keuletan, dan kesabaran Walisongo (Soeleman dan Subhan, 2007: 160).

Perkembangan zaman semakin maju, permasalahan sosial semakin terlihat, berbagai metode di kembangkan para ahli semakin canggih. Tradisi ini merupakan bagian dari pengalaman perilaku setiap orang terhadap masyarakat yang dipengaruhi oleh unsur-unsur tradisi, yaitu kesadaran. Kesadaran mengantarkan pada nilai-nilai budaya yang direfleksikan melalui perilaku masayarakat dan interaksinya dengan kenyataan.

(14)

yang dijaga dan dikembangkan secara turun temurun sebagai sejarah, budaya dan tradisi.

Upacara Adat Saparan Ki Ageng Wonolelo sejatinya adalah rangkaian acara tradisi berupa kirab pusaka diiringi dengan bregodo (prajurit Jawa), ziarah dan acara bernuansa keagamaan berupa sedekah yang dikemas dalam wujud pembagian kue apem. Seluruh rangkaian, biasanya didahului dengan pengajian akbar sebagai upaya meneruskan perjuangan Ki Ageng Wonolelo sebagai ulama besar dan penyebar agama Islam. Hebatnya, kue apem yang dibagi-bagikan ini sangat banyak dengan berat total 1,5 ton. Sedangkan pusaka yang dikirap berupa kitab Suci Al Quran, Baju Onto Kusuma, Kopiah, Bongkahan Mustoko Masjid (cupu) dan tongkat (teken). Saat dikirab, pusaka dimasukkan ke dalam Joli (semacam rumah kecil) dan ditandu.

(15)

Demi terjaganya eksistensi dan kesucian nilai-nilai agama, penulis tertarik melakukan suatu penelitian guna mengetahui maksud dan tujuan tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo di Dusun Pondok Wonolelo Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, yang sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Islam dan menyakini bahwa tradisi yang mereka lakukan masih mengandung nilai-nilai pendidikan. Oleh sebab itu peneliti mengambil judul

“NILAI – NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM TRADISI SAPARAN KI

AGENG WONOLELO DI DESA WIDODOMARTANI KECAMATAN

NGEMPLAK KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2016”.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti kemukakan maka dapat dirumuskan masalah sebagi berikut:

1. Bagaimana pemahaman masyarakat mengenai tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo Desa Widodomartani, Kec. Ngemplak, Kab. Sleman Tahun 2016? 2. Bagaimana pelaksanaan tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo Desa

Widodomartani, Kec. Ngemplak, Kab. Sleman Tahun 2016?

(16)

C. Tujuan Penelitian

Setelah mengadakan kegiatan perlu adanya tujuan yang ingin dicapai, demikin juga dalam penelitian ilmiah yang dilaksanakan dalam rangka penulisan skripsi ini yaitu:

1. Untuk mengetahui pemahaman masyarakat tentang tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo Desa Widodomartani, Kec. Ngemplak, Kab. Sleman Tahun 2016. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo Desa

Widodomartani, Kec. Ngemplak, Kab. Sleman Tahun 2016.

3. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo Desa Widodomartani, Kec. Ngemplak, Kab. Sleman Tahun 2016.

D. Manfaat Penelitian

Setelah dikemukakan tujuan penelitian, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Secara praktis

(17)

2. Secara teoritis

Menambah khazanah keilmuan tentang budaya tradisi dan dapat dikembangkan lebih lanjut serta dapat mengetahui manfaat yang terkandung dalam saparan Ki Ageng Wonolelo secara sosial maupaun spiritual, sarana dakwah juga keimanan kita terhadap Allah SWT dan sarana untuk menyumbang silaturahmi. Serta dapat meningkatkan ibadah umat manusia kepada Sang Pencipta.

E. Definisi Operasional

Untuk mengetahui pemahaman serta untuk menentukan arah yang jelas dalam menyusun proposal ini, maka penulis memberikan definisi operasional sebagai berikut :

1. Nilai-nilai pendidikan Islam

Nilai-nilai pendidikan Islam menurut Rama Yulis (1994:7) yaitu Nilai Aqidah (keyakinan) berhubungan secara vertikal dengan Allah SWT (Hablun Min Allah). Nilai Syari‟ah (pengalaman) implementasi dari aqidah hubungan horizontal dengan manusia (Hablun Min an-Naas). Nilai Akhlaq (etika vertika horizontal) yang merupakan aplikasi dari aqidah dan muamalah. Menurut Zakiah Drajat dalam Haironi (2006), salah satu dari empat nilai pokok yang ingin disampaikan melalui proses pendidikan Islam yaitu nilai-nilai esensial.

(18)

cara-cara yang diajarkan agama yaitu lewat pemeliharaan hubungan yang baik dengan Allah dan sesama manusia.

Pendidikan Islam dalam bahasa Arab, ditemukan beberapa istilah yang berkaitan dengan konsep pendidikan. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Haitami Salim dan Erwin Mahrus (2009:4-9), bahwa kata ta‟lim berasal dari kata „allama yang diambil dari bahasa Arab, lebih sepadan diartikan sebagai pengajaran. Kata tarbiyah, diungkapkan oleh Al-Maududi, berasal dari kata al-rabb di dalam al-qur‟an bisa bermakna pendidikan, bantuan, peningkatan, menghimpun, memobilisir, mempersiapkan, tanggung jawab, perbaikan, pengasuhan, keagungan, kepemimpinan, wewenang pelaksanaan perintah.

Sedangkan pendidikan Islam adalah “Tarbiyah Islamiyah”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Alwi hasan, 1994:232) disebutkan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. 2. Tradisi Saparan

Tradisi saparan adalah sebuah ritual untuk menolak balak, suatu tradisi yang sudah menjadi kebiasaan rutin di masyarakat. Khususnya di masyarakat Jawa, suatu tradisi dianggap sangat penting karena menurut mereka itu warisan dari nenek moyang. Tradisi tersebut juga mengandung adanya pendidikan Islam. Tradisi ini dilakukan di bulan Sapar (bulan Jawa), yang menurut sejarah tradisi ini untuk mensyukuri desa supaya tetap makmur dan sejahtera serta untuk mengirim do‟a dan dzikir bersama masyarakat. Tradisi saparan ini hampir mirip

(19)

Dalam kebudayaan Jawa Yogyakarta, upacara adat yang telah menjadi tradisi amat luas cakupannya, di antaranya berkenaan dengan daur hidup manusia, peribadatan keagamaan, dan persahabatan manusia dengan alam. Upacara adat yang berkenaan dengan daur hidup manusia dimulai dari ketika manusia masih berbentuk janin berusia tujuh bulan (mitoni; tingkeban), lahir

(brokohan), putus tali pusarnya (pupak puser; puputan) pemberian nama “membersihkan” pengaruh buruk (sukerta) yang mungkin timbul pada diri seseorang.

Dimulai dengan datangnya bulan Sura (Muharram) sebagai bulan pertama di setiap awal tahun dalam penanggalan Jawa selalu dilakukan sejumlah ritual yang biasanya berupa laku prihatin sebagai usaha pencucian diri (suran),

termasuk pencucian benda-benda pusaka. Bulan Sapar (Shafar) juga diupacarai

(saparan), bulan Mulud (Rabiul Awwal) juga diupacarai (Muludan) untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, bahkan di keraton diadakan upacara besar yang disebut sekaten (garebeg mulud). Bulan Rejeb (Rajab)

(20)

(Ramadhan), biasanya hampir tidak ada kegiatan upacara kegembiraan seperti resepsi pernikahan atau khitanan. Namun upacara kenduri tetap diadakan pada malam-malam ganjil di atas tanggal 20 Ramadhan (maleman), untuk menyongsong turunnya lailatul qadar.

Memasuki bulan Sawal (Syawal), umat Islam Jawa melakukan kenduri sawal, bahkan keraton juga mengadakan upacara garebeg sawal. Pada bulan yang dianggap baik itu orang-orang saling kunjung-mengunjungi, saling bermaaf-maafan, menyambung dan memperkokoh tali persudaraan dan kasih sayang (silaturahim). Dalam hampir setiap unit komunitas, acara silaturahim itu kini bahkan dilakukan secara ekstensif dalam tradisi “syawalan”, yakni tradisi

(21)

F. Metode Penelitian

Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk suatu pendekatan dalam mengkaji topik penelitian hingga mencari jawabannya (Mulyana, 2004:145). Sedangkan penelitian merupakan seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis mengenai pencarian data berkenaan dengan masalah tertentu yang kemudian diolah, dianalisis dan diambil kesimpulan hingga dicari suatu pemecahan dari suatu masalah. Jadi metode penelitian adalah merupakan pisau bedah untuk mengetahui permasalahan yang diajukan dalam penelitian atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan. 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

a. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, karena dalam penelitian ini berusaha menelaah fenomena sosial di masyarakat yang berlangsung secara alamiah. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang datanya dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka (Lexy J Moleong, 2004 :5).

b. Jenis Penelitian

(22)

mendalam mengenai unit sosial tertentu tersebut yang meliputi semua aspek. (Danim, 2002 : 5) . Etnografi ini digunakan untuk meneliti perilaku manusia dalam lingkungan spesifik alamiah. (Leod, 2001:161-162)

2. Kehadiran Peneliti

Peneliti dalam penelitian ini bertindak secara langsung ke lapangan sehingga mendapatkan data yang riil di dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo tersebut sehingga bisa mendapatkan data yang akurat.

3. Lokasi penelitian

Tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo berlangsung di Pedukuhan Pondok Wonolelo Widodomartani Kalasan, 19 kilometer arah Timur Laut Jogjakarta. Acara berlangsung di dua lokasi, yakni di rumah kepala desa Widodomartani (yang kebetulan juga keturunan Ki Ageng Wonolelo) di Pondok Wonolelo (di rumah ini tersimpan salah satu pusaka Ki Ageng Wonolelo), dan di kompleks makam Ki Ageng Wonolelo.

4. Subjek Penelitian

(23)

5. Jenis dan Sumber Data a. Jenis Data

Penelitian ini adalah penelitian etnografi yang sifatnya menjelaskan terhadap suatu masalah penelitian. Maka jenis data yang digunakan adalah data yang bersifat non statistik dimana data yang diperoleh nantinya dalam bentuk kata-kata verbal, bukan data dalam bentuk angka. Jenis data pada penelitian ini ada dua yaitu data tak tertulis yang berupa kata-kata maupun tindakan dan data tertulis.

b. Sumber Data

Untuk mendapatkan keterangan sumber tertulis, peneliti mendapatkan dari sumber data atau informan. Sedang teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik seleksi informan yang mengetahui dan yang berpengaruh di masyarakat terhadap tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo dan bersedia diwawancarai. Adapun sumber data dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu :

1) Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan informasi yang dikumpulkan peneliti langsung dari sumbernya. Data primer yang digunakan yaitu buku-buku yang relevan dan hasil wawancara dari para ahli.

2) Sumber Data Sekunder

(24)

sumber data sekunder ini peneliti langsung mengadakan wawancara dan observasi pada orang yang terlibat dalam upacara tersebut yaitu panitia dan para pengunjung.

6. Tahap-tahap Penelitian

Dalam penelitian kualitatif teori sebenarnya berlandaskan pada pembuatan proposisi (teori, hipotesis) dengan kerangka acuan hasil pengkajian tentang hubungan antara sejumlah teori yang sudah ada dan relevan. Hasil kajian tersebut dikaitkan dengan fenomena yang terjadi. Hasil kajian dapat menemukan masalah dan teori yang perlu dikaji kebenarannya berdasarka atas fakta. Dengan demikian setiap kegiatan ilmiah sebenarnya sama dengan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menguji dan memantapakan kebenaran suatu teori atau teori yang ada untuk menguatkan bukti-bukti yang ditemukan di lapangan.

Jadi dalam penelitian kualitatif tidak ditentukan secara pasti seperti halnya dengan penelitian kuantitatif, karena penelitian kualitatif tidak mempunyai batasan-batasan secara tegas yang dikarenakan oleh desain dan fokus penelitiaannya dapat berubah-ubah. Walaupun demikian tahapan-tahapan penelitian kualitatif secara umum dapat dibagi diantaranya, Orientasi melalui bacaan-bacaan, wawancara dan observasi ke lapangan. Eksplorasi yaitu mengumpulkan data berdasarkan fokus penelitian yang sudah jelas. Dalam tahap ini langkah-langkah yang akan peneliti lakukan adalah menyusun rancangan penelitian memilih lapangan penelitian, mengurus perijinan, memilih dan memanfaatkan informan dan menyiapkan perlengkapan penelitian.

(25)

Pada penelitian ini, instrumen adalah orang yang melakukan penelitian. Persoalan reliabilitas dan validitas lebih dimaksudkan pada kelayakan dan kredibilitas data yang ada.

G.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data peneliti menggunakan beberapa teknik, diantaranya: 1. Observasi, merupakan pengamatan dan pencatatan dengan sistematis terhadap

fenomena-fenomena yang diteliti. Peneliti perlu melibatkan diri dalam perayaan upacara tersebut sebagai subjek dari pelaksanaan prosesi tradisi saparan. Peneliti berusaha menangkap proses intepretatif dari apa yang diamati yaitu tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo. Observasi terbentang mulai dari kegiatan pengumpulan data yang formal hingga data yang tidak formal. Observasi dapat menambah konteks maupun fenomena yang akan diteliti (Dewi Rohmani, 2011: 50)

2. Wawancara, merupakan bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari sorang lainya dengan mengajukan pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana, 2004: 180).

(26)

H. Teknik Analisis Data

Analisi data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikan dalam suatu pola dan ukuran tertentu untuk dijadikan suatu kesimpulan. Jadi, analisi berdasarkan pada data yang telah diperoleh dari penelitian yang sifatnya terbuka. Menurut Patton, analisis data merupakan proses pengurutan data, mengorganisasikan ke dalam pola, kategori dan urutan dasar (Moleong, 2004: 103). Teknik analisis data dalam suatu penelitian dilakukan menggunakan analisis data deskriptif kualitatif, sehingga peneliti menggambarkan keadaan atau fenomena yang diperoleh kemudian menganalisisnya dengan bentuk kata-kata untuk memperoleh kesimpulan. Aktivitas dalam analisis data yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.

1. Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi yang kemudian dituliskan dalam catatan lapangan yang berisi tentang apa yang dilihat, didengar, disaksikan, dialami, dan juga temuan tentang apa yang dijumpai selama penelitian dan merupakan bahan rencana pengumpulan data untuk tahap berikutnya.

2. Reduksi Data

(27)

meringkas, menelusur tema dan menulis catatan kecil. Selain itu, peneliti harus jelas menajamkan, menggolongkan, memisahkan, dan memilah mana yang perlu dan mana yang tidak perlu untuk dimasukkan dalam laporan penelitian. Dengan adanya reduksi ini dapat ditarik kesimpulan akhir secara tepat sesuai permasalahan fokus utamanya.

3. Penyajian Data

Penyajian data yaitu sejumlah data atau informasi yang tersusun dan memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan tindakan secara lebih lanjut. Dengan melihat penyajian data, kita akan mendapatkan pemahaman apa yang sedang terjadi dan apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Penyajian data ini berupa bagan, matriks, jaringan maupun berupa naratif. Penelitian ini menyajikan data mengenai tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo. Dari penyajian data akan diketahui faktor dan bentuk dalam tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo di Dusun Pondok Wonolelo.

4. Menarik Kesimpulan/Verifikasi

(28)

I. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun sistematika sebagai berikut: BAB I Pendahuluan yang berisi tentang Latar belakang masalah, Fokus masalah, Tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Definisi Operasional, Metode penelitian, Teknik pengumpulan data, Teknik analisis data, Sistematika penulisan.

BAB II Tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo dan Nilai-nilai Pendidikan Islam.

BAB III Membahas gambaran umum lokasi dan hasil temuan tentang tradisi saparan Ki Ageng Wonolelodi Desa Widodomartani, Kec. Ngemplak, Kab. Sleman BAB IV Analisis Pemahaman Masyarakat tentang tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo, Bentuk Tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo dan Nilai-nilai Pendidikan Islam yang terkandung di dalam tradisi tersebut.

BAB V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran sebagai bahan masukan dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo dan Nilai-nilai Pendidikan Islam yang terkandung di dalamnya.

(29)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tradisi Ki Ageng Wonolelo

1. Definisi Kebudayaan

Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasan dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan pada keperluan masyarakat (Dr. Selo Soemardjan, 1974: 133). Istilah kebudayaan menurut Soerjono (2003: 9) berasal dari kata sansekerta “budhayyah” yang merupakan

bentuk dari kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Keindahan dalam kebudayaan merupakan keindahan sebagai salah satu sifat manusia dalam karya cipta manusia. Di dalam kebudayaan apapun pasti memiliki nilai keindahan, karena di dalamnya memiliki nilai estetika yang sangatlah enak dipandang, dan di dalamnya kebudayaan memiliki keindahan yang mewakili sifat-sifat dari keindahan tersebut.

Kebudayaan sangat banyak jenisnya, ada yang mewakili nilai-nilai Sosial, Spiritual, Mata pencaharian, Kesenian dan lain-lain. Biasanya orang-orang banyak melihat keindahan yang ditampilkan melalui kesenian dari kebudayaan tersebut, padahal dari jenis kebudayaan yang lain pun terdapat nilai-nilai keindahan di dalamnya. Kebudayaan merupakan suatu kekayaan

(30)

yang sangat bernilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Serta kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena kebudayaan telah diciptakan dari hasil rasa, karya, kasra dan cipta manusia yang kesempurnaannya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.

Dengan kata lain kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan cipta manusia mengembangkan kemampuan alam pikir yang menimbulkan ilmu pengetahuan. Dengan rasa manusia menggunakan panca inderanya yang menimbulkan karya-karya seni atau kesenian. Dengan karsa manusia menghendaki kesempurnaan hidup, kemuliaan dan kebahagiaan sehingga berkembanglah kehidupan beragama dan kesusilaan. Kebudayaan dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu kebudayaan materi dan nonmateri. Kebudayaan nonmateri terdiri dari kata-kata yang dipergunakan orang, hasil pemikiran, adat istiadat, keyakinan, dan kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat. Kebuadayaan materi terdiri atas benda-benda hasilkarya misalnya, alat-alat, mebel, mobil, bangunan ladang yang diolah. Kebudayaan sering dicampuradukan dengan masyarakat, yang sebenarnya arti keduanya berbeda.

(31)

kelompok tersebut. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut.

Menurut Koentjaraningrat (1984: 5) kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan, dan sebagainya. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia, serta wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Sedangkan tradisi hampir sama dengan budaya. Tradisi dan kebudayaan sebagai hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia, menurut Alisyahbana merupakan suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Masrin, 2009: 2).

2. Tradisi saparan

(32)

Pelaksanaan tradisi tersebut ada yang rutin setiap tahun sekali. Tradisi ini dilakukan di bulan Sapar (bulan Jawa), yang menurut sejarah tradisi ini untuk mensyukuri desa supaya tetap makmur dan sejahtera serta untuk mengirim do‟a dan dzikir bersama masyarakat. Tradisi saparan ini hampir

mirip dengan tradisi nyadran yang biasa terjadi di bulan Suro (muharram). Tradisi saparan ini hampir dilakukan oleh setiap warga desa.

B. Nilai-nilai Pendidikan Islam

Nilai pendidikan Islam adalah pendidikan yang dijalankan atas dasar ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW dan contoh serta informasi yang berasal dari para sahabat, ulama, filosof dan cendekiawan muslim. Dalam pelaksanaannya, pendidikan Islam paling tidak harus mengacu pada empat nilai dasar, yaitu : keimanan dan ketaqwaan, penghargaan kepada keberadaan manusia dengan segala potensi yang dimilikinya, nilai kebebasan dan kemerdekaan, serta nilai tanggung jawab sosial.

(33)

Nilai-nilai pendidikan itu, dapat diambil oleh seorang anak melalui proses pengajaran (nasehat-nasehat) dan keteladanan dalam artian apa yang dicontohkan oleh kedua orang tua, sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak.

Di bawah ini, adalah konsep yang diterapkan oleh Luqman dalam mendidik anaknya. (safardanil21.blogspot.co.id/2015/05)

.

“Dan ingatlah ketika lukman berkata kepada anaknya, ketika dia member

pelajaran kepadanya, “wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah,

sesugguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang

besar.”(Q.S Luqman: 13).

Nlai pendidikan yang terkandung dalam surah ini, yaitu bagaimana seharusnya menjadi seorang pendidik dalam berikan pengajaran kepada anak. Setelah melihat bagaimana Lukman dalam mendidik anak, maka dilanjutkan dengan ayat berikutnya yang membahas atau mengajar kita bagaimana dalam bergail dan berbuat baik kepada kedua orang tua:

(34)

Menurut sebagian para ulama, ayat diatas bukanlah bagian pengajaran Luqman kepada anaknya. Ia disisipkan Al-qur‟an untuk menunjukkan betapa penghormatan dan kebaktian kepada kedua orang tua yang menempati posisi kedua setelah pengagungan kepada Allah SWT. Dan kita diperintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua. Nilai pendidikan yang harus kita ambil yaitu bagaimana cara untuk mempergauli kedua orang tua baik mereka sudah lanjut usia yang dalam pemeliharaan kita. Lalu menekankan tentang pentingnya berbuat baik kepada orang tua, maka dalam ayat dibawah ini dinyatakan pengecualian untuk mentaati perintah kedua orangtua:

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu

yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau mematuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Luqman : 15).

Asbab nuzul ayat ini berkenaan Sa‟ad bin Malik. Sa‟ad bin Malik mengatakan, “aku sangat mencintai ibuku. Saat aku masuk islam ibuku tidak setuju

(35)

aku akan tetap dalam Islam. Karena itu terserah ibu mau makan atau tidak, ahirnya ibuku pun luluh dan mau makan kembali.” (H.R. at-Tabrani).

Nilai-nilai pendidikan yang bias kita ambil jika dikaitkan dengan Al-qur‟an surah Lukman ayat 15 adalah peran orangtua bukanlah segalanya, melainkan terbatas dengan peraturan dan norma-norma ilahi. Dalam dunia pendidikan, pendidik tidak mendominasi secara mutlak, tidak semua harus diterima oleh anak didik melainkan anak didik perlu memilah yang benar berdasarkan nilai-nilai Islamiyah. Yaitu merujuk pada Al-qur‟an dan As-sunnah. Dalam persoalan keduniaan, kita harus mematuhi kedua orang tua dan berbakti atau memberikan haknya, namun kalau persoalan aqidah tidak seharusnya kita mengikuti.

“wahai anakku, sesungguhnya jika ada (seuatu perbuatan) seberat biji sawi,

dan berada di dalam batu karang atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha

Mengetahui.”(Q.S Luqman:16).

(36)

“wahai anakku, laksanakanlah shalat dan perintahkanlah mengerjakan yang

ma‟ruf dan cegahlah dari kemungkaran dan bersabarlah terhadap apa yang

menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal diutamakan.” (Q.S Luqman:17).

Ayat atas adalah lanjutan nasihat dari Lukman kepada anaknya, terkait perintah sholat, dan menyuruh anaknya memerintahkan kepada setiap orang untuk melakukan hal-hal yang ma‟ruf dan mencegah dari perbuatan kemungkaran dan bersabarlah. Karena hal yang ketiga tersebut merupakan hal-hal yang diutamakan. Dalam menjalankan wasiat Lukman tersebut tidaklah mudah melainkan ada banyak rintangan yang dihadapi ketika menyampaikan hal-hal yang baik. Ini sama halnya yang dirasakan Rasulullah saat berdakwah, betapa banyak rintangan yang dialami sampai-sampai beliau rela dilempari kotoran dan batu untuk menegakkan kebenaran. Nilai pendidikan yang bisa diambil dari ayat ini adalah kewajiban mendidik diri sendiri sebelum mendidik orang lain. Sebagai seorang pendidik, perlunya kesabaran dan penuh kasih sayang tanpa membedakan peserta didik.

“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong)

dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”( QS. Luqman:18).

(37)

kehidupan sehari-hari kita. Kadang kala orang yang pernah kenal baik dengan kita, saat mendapati posisi yang tinggi seakan malu dan memalingkan muka saat bertemu karena posisi dan status sosial sudah beda lagi dengan kita. Telah digambarkan diatas nasihat Lukman kepada anaknya, yaitu nasihat untuk tidak menyombongkan diri, dan jangan berjalan dengan angkuh. Karena itu merupakan perbutan yang tidak disukai oleh Allah SWT. Nilai pendidikan yang bisa kita ambil dari ayat ini adalah etika dalam berbicara atau berdialog untuk tidak merendahkan orang yang kita ajak bicara atau bertukar fikiran. Ayat ini mengajarkan kita konsep berdialog antara sesama manusia.

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (QS. Luqman:19).

Allah SWT berfirman:“Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara

keledai”. Mujahid dan banyak Ulama berkata bahwa perumpamaan

keledai orang yang mengangkat suaranya tinggi-tingi, disamping merupakan hal yang dimurkai oleh Allah.

Dengan demikian, nilai pendidikan Islam mempunyai dua orientasi.

(38)

sebagai khalifatullah fi al ardh. Secara epistemologis, nilai pendidikan Islam diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya. Dasar-dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama tentu saja adalah A1- Qur'an dan Sunnah (Hasan Langgulung, 1980 : 196 – 202). Uraian mengenai kedudukan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai nilai pendidikan Islam dapat dilihat antara lain, menetapkan Al-Qur'an sebagai landasan epistemologis nilai-nilai pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Akan tetapi, justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.

Seperti yang dikatakan dalam Al- Quran surah Al-Baqarah ayat 2 berbunyi:

Yang artinya: Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan pada-Nya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (PT. Karya Toha Putra, 2011: 2)

(39)

dengan jalan mengikuti perintah dan menjauhi larangan demi menjaga diri dari api neraka.

Demikian juga dengan kebenaran Sunnah sebagai dasar kedua bagi pendidikan Islam. Secara umum Sunnah dipahami sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perbuatan, perkataan dan ketetapannya. Al-qur‟an surah Al-Ahzab ayat 21 berbunyi :

Yang artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (PT. Karya Toha Putra, 2011: 420)

(40)

Dalam nilai pendidikan Islarn, Sunnah Nabi mempunyai dua fungsi, yaitu :

pertama, menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam Al-Qur'an yang umumnya masih bersifat global, kedua, menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama sahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukannya. (Abdurrahman An-Nahlawi, 1992: 47). Dengan ungkapan lain, keberadaan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai landasan epistemologis pendidikan Islam tidaklah terputus atau terpisah, tetapi satu rangkaian yang hidup dan dinamis seperti dikehendaki oleh Islam. Dari sini nilai pendidikan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah menunjukkan nilai keilmiahannya.

Pelaksanaan nilai pendidikan Islam dengan situasi sosial kemasyarakatan dan tidak tercerabut dari akar sejarah. Nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan landasan utama Al-Qur'an dan Sunnah dan menjadi bahan masukan yang berharga, dengan pertimbangan memberikan kemaslahatan kepada manusia dan menjauhkan kerusakan. Dengan dasar ini, pendidikan Islam diletakkan dalam kerangka sosiologis, selain menjadi sarana pewarisan kekayaan sosial budaya yang positif bagi kehidupan manusia. Kemudian, warisan pemikiran Islam juga merupakan dasar penting dalam pendidikan Islam. Dalam hal ini, contoh-contoh yang dilakukan para sahabat, hasil pemikiran para utama, filosof, cendekiawan muslim, khususnya berkaitan dengan pendidikan menjadi rujukan penting pengembangan nilai pendidikan Islam.

(41)

kontekstualisasi ajaran Islam, yang jelas warisan pemikiran ini mencerminkan dinamika Islam dalam menghadapi kenyataan kehidupan yang terus berubah dan berkembang. Karena itu, ia dapat diperlakukan secara positif dan kreatif untuk pengembangan pendidikan Islam.

(42)

BAB III PAPARAN DATA

A. PAPARAN DATA

1. Gambaran Umun Lokasi

a. Data Geografis Lokasi

(43)

Ageng Wonolelo. Dusun ini masuk pada lingkup kelurahan Widodomartani. Adapun batas-batas wilayahnya sebagai berikut (Anonim, 2014: 8):

1) Sebelah Selatan : Dusun Macanan Wedomartani Ngemplak 2) Sebelah Utara : Dusun Grogolan Umbulmartani Ngemplak 3) Sebelah Barat : Dusun Jangkang Widodomartani Ngemplak 4) Sebelah Timur : Dusun Cokrogaten Bimomartani Ngemplak

Wilayah ini cukup maju dan daerahnya cukup subur, hal ini terbukti karena banyak tanaman maupun pepohonan yang rindang sehingga suasana dari dusun ini terlihat teduh, nyaman dan asri. Dusun ini cukup strategis karena hanya menempuh jarak kurang lebih 3 km saja untuk bisa menjangkau daerah kecamatan.

b. Demografi Desa

1) Keadaan Penduduk Menurut Umur

Berdasarkan laporan administrasi tahun 2016 Desa Pondok Wonolelo Widodomartani memiliki jumlah 8.103 jiwa, terdiri dari 4.045 jumlah laki-laki dan 4.058 jumlah perempuan. Dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur

Umur Jenis Kelamin Jumlah

Laki-Laki Perempuan

0-4 283 258 541

(44)

10-14 313 286 599

2) Keadaan Penduduk Berdasarkan Kepemilikan KTP

Masyarakat desa Widodomartani sebagian besar telah memiliki Kartu Tanda Penduduk yang menunjukkan tingkatan umur kepemilikan atau hak. Dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepemilikan KTP

Penduduk

Laki-Laki Perempuan Jumlah

3.001 3.088 6.089

(45)

Tingkat pendidikan pada penduduk desa Widodomartani dapat dikatagorikan cukup baik. Karena berdasarkan data yang diperoleh masyarakat setempat banyak yang menempuh pendidikan dari tingkat SD/MI sampai perguruan tinggi. Dapat di lihat dari tabel berikut:

Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Jenis Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah

Tidak sekolah 688 787 1.475

Akademi/Diploma III/Sarjana muda 123 114 237

Diploma IV/Strata I 260 286 546

Strata II 32 11 43

Strata III 1 0 1

Total 4.045 4.058 8.103

4) Keadaan Penduduk Berdasarkan Matapencaharian

Dalam bidang perekonomian masyarakat desa Widodomartani, kecamatan Ngemplak kabupaten Sleman dapat dikatakan sudah cukup baik karena terlihat dari data dibidang pertanian dan berwiraswasta, karena memeliki lahan yang cukup subur yang berdekatan dengan aliran sungai kawah merapi dari endapan lava. Dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Matapencaharian

Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan Jumlah

Mengurus rumah tangga 0 1.039 1.039

(46)

Pensiunan 173 48 221

/peternakan/perikanan 720 687 1.407 Karyawan

BUMN/BUMD 15 5 20

Karyawan wiraswasta 686 458 1.144

Wiraswasta 422 278 700

Tenaga medis 4 12 16

Pekerjaan lain 51 9 60

Total 3.114 3.222 6.336

5) Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama

Mayoritas penduduk desa Widodomartani adalah pemeluk agama Islam, sehingga wajar jika masyarakat dan trah keturunan beliou sering mengadakan acara tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo sebagai penyebar agama Islam dikawasan Pondok Wonolelo desa Widodomartani kecamatan Ngemplak kabupaten Sleman, akan tetapi sebagian kecil masyarakat juga memiliki keyakinan beragama selain agama Islam dan mereka dapat hidup secara berdampingan tanpa melihat status sosial dan agama yang diyakini. Dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

(47)

Islam 3.930 3.947 7.877 wilayah tanah Jawa terutama di desa Widodomartani kecamatan Ngemplak kabupaten Sleman sudah dilakukan sejak lama bahkan ratusan tahun, salah satunyan jumlah masyarakat sekitar mayoritas beragama Islam dan tapak tilas peninggalan Ki Ageng Wonolelo.

Berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan, maka informan dalam penelitian ini mengambil beberapa narasumber untuk diteliti. Adapun daftar responden sebagai berikut:

Tabel 6. Perincian Subjek Penelitian

No Subjek Jumlah

1. Kepala desa Widodomartani

Bapak Drs. Kawit Sudiyono, M. Pd.

1

2. Keluarga trah Ki Ageng Wonolelo Bapak Tugiman , S.S

1

3. Juru kunci makam Ki Ageng Wonolelo

Bapak Sarto Utomo

1

4. Tokoh agama Islam

Bapak Muhammad Sholihin

(48)

5. Panitia saparan

1. Pendapat masyarakat tentang pemahaman terhadap bentuk tradisi dan

Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo.

Upacara tradisional sangat erat kaitannya dengan kebudayaan suatu daerah atau suatu suku bangsa. Selain itu upacara tradisional juga merupakan sumber informasi kebudayaan yang tidak tertulis tetapi mempunyai arti yang sangat penting baik bagi anggota masyarakat pendukungnya terutama yang muda maupun bagi orang lain yang berminat memahaminya. Dalam hal ini upacara tradisional menjadi jembatan penghubung antara tradisi budaya masyarakat terdahulu dengan masyarakat sekarang dan akan datang, karena upacara tradisional diwariskan kepada anak cucu meskipun selalu ada perubahan dan penyesuaian sejalan dengan perjalanan waktu.

Menurut hasil wawancara peneliti terhadap kepala desa Widodomartani Bapak Drs. Kawit Sudiyono, M. Pd. dan sekaligus sebagai ketua panitia pada hari Senin 31 Oktober 2016 di kantor kelurahan Widodomartani, upacara adat dimulai pada hari Jum‟at 28 Oktober sampai dengan hari Sabtu 12 November

(49)

upacara adat ini juga menjadi media untuk mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rezeki, kesehatan, keselamatan dan ketenteraman. Dituturkan olehnya, Ki Ageng Wonolelo dikenal pula bernama Jumadigeno. Ia merupakan seorang keturunan Prabu Browijoyo V dan seorang penyebar agama islam pada masa kerajaan mataram.

Ki Ageng Wonolelo juga diyakini memiliki ilmu kebatinan sehingga ia pun pernah diutus Raja Mataram untuk berkunjung ke Kerajaan Sriwijaya Palembang. Dikisahkan, saat itu Kerajaan Sriwijaya membangkang kepada Mataram sehingga Ki Ageng Wonolelo diutus untuk menaklukan Sriwijaya. Ia pun berhasil menaklukan Sriwijaya tanpa melewati proses peperangan.

Nama Ki Ageng Wonolelo semakin tersohor dan banyak orang berdatangan untuk menuntut ilmu. Sehingga beliau pun menjadi sosok panutan. Ki Ageng Wonolelo kemudian banyak mewariskan berbagai peninggalan berupa tapak tilas, pusaka serta benda keramat lainnya. Adapun peninggalan tapak tilas yang tercata meliputi Rumah Tiban, Surau, Gumuk Lengki, Gua Landak serta Makam Ki Ageng Wonolelo sendiri. Dengan nama besar tersebut, tak heran warga Wonolelo selalu memperingati dan mengenangnya lewat upacara adat saparan dan kirab pusaka.

(50)

puncak acara diisi dengan kirab pusaka Ki Ageng Wonolelo. Kirab tersebut diikuti oleh bregodo meliputi sesepuh trah, sesepuh dusun, putro wayah, santri, alim ulama, prajurit, putri domas serta berbagai kelompok kesenian. Adapun benda pusaka yang dikirab meliputi Kitab suci Al-Quran peninggalan Ki Ageng Wonolelo. Keberadaan Al-Quran ini menjadi bukti bahwa dirinya merupakan seorang ulama besar dan penjadi bukti bahwa kitab suci Al- Quran merupakan dasar pokok untuk mengajarkan agama islam kepada murid-muridnya.

Kedua, yakni Bandil, bentuknya bola kecil ada tali dan ada pegangannya. Pernah digunakan Ki Ageng Wonolelo saat babat alas untuk mendirikan Pondok Wonolelo. Konon saat itu, bandil diputar-putarkan diatas kepala lantas dilemparkan ke arah pohon-pohon besar yang membuat pohon tersebut mengering dan bertumbangan. Namun sayang, bandil hilang dan tidak pernah ditemukan.

Ketiga, yaitu Baju Ontokusumo, bentuknya menyerupai rompi dan berfungsi untuk menciptakan kekebalan pada tubuh si pemakainya. Baju ini pernah digunakan Ki Ageng Wonolelo saat babat alas. Baju tersebut dikenakan supaya badan si pemakainya tidak kena senjata tajam, tidak diganggu binatang buas, tidak diganggu jin, setan serta banas pati tidak berani mendekat.

(51)

menjalankan ibadah shalat jumat. Seketika masjid dan bumi Palembang ikut miring dan membuat orang-orang berjatuhan.

Kelima yaitu Potongan Kayu Jati Mustoko Masjid, berupa potongan kayu jati biasa yang dulunya digunakan untuk membangun surau atau masjid.

Keenam, tongkat yang digunakan sebagai senjata sehingga selalu dibawa Ki Ageng Wonolelo saat menghadapi berbagai rintangan selama menyebarkan agama islam.

Ketujuh, sesaji berupa tumpeng robyong sebagai simbol untuk menghilangkan keruwetan dari segala macam gangguan dan sebagai lambing kesuburan. Sedangkan ingkung ayam merupakan simbol kepasrahan terjadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu ada pula Pisang Ayu, Kembang Telon, Buah-buahan, Daun Kluwih 5 lembar serta Tumpeng Lima Golong Tujuh yang bermakna waktu dibagi menjadi kedalam tujuh hari dan terdiri atas lima pasaran.

(52)

kerap ziarah ke Mekah bersama Syeikh Wasibogeno. Dikisahkan pada bulan sapar tahun alip 1511, diperlambangi sinengkalan “Ratu Suci Tataning Jagad”

Syeikh Jumadigeno ziarah ke Mekah. Sepulangnya berziarah, beliou membawa oleh-oleh berupa roti gimbal yang masih hangat. Roti tersebut terbuat dari tepung beras sejenis apem.

Sementara anak cucu, para santri dan tetangga Ki Ageng Wonolelo sudah berkumpul di rumahnya sambil menunggu kepulangan Ki Ageng Wonolelo beserta berkah dan buah tangan dari Mekah. Kebetulan saat itu malam Jumat dan terang bulan. Setibanya di rumah, Ki Ageng kemudian memberikan wejangan dan siraman rohani yang dilanjutkan dengan pembagian roti gimbal atau yang lebih dikenal dengan sebutan kue apem. Kue apem ini konon berasal dari kata afuwun yang berarti ampunan. Maksudnya, supaya anak cucu dan para tetangga yang menyimak ceramahnya kemudian memperoleh hidayah untuk selalu memohon ampunan kepada Allah SWT. Ki Ageng Wonolelo juga memerintahkan untuk selalu berbuat kebajikan serta memperbanyak sedekah.

(53)

pun semakin banyak pula dan pembagian apem di cungkup makam dinilai sudah tak memungkinkan lagi.

Maka pada tanggal 10 Maret 2001 kemudian dibuatkan panggung khusus untuk penyebaran apem. Sehingga pembagian apem pun dipindah ke panggung dengan cara disebar untuk diperebutkan kepada penonton. Tradisi ini pun berlanjut hingga sekarang. Ada beberapa orang yang meyakini bahwa apem tersebut bisa digunakan sebagai tolak bala hama tanaman dan berkah lainnya. Namun tak sedikit pula yang hanya sekadar ingin melestarikan kekayaan budaya. Namun, di luar itu semua, setiap peringatan saparan, ratusan orang selalu datang untuk berebut apem. Mereka rela berdesakan dan berlomba dengan penonton lainnya demi memperoleh apem yang dikemas menggunakan plastik yang dibentuk menyerupai gunungan.

(54)

pondok sehingga sampai sekarang tempat ini dikenal sebagai Pondok Wonolelo. Ya singkatnya seperti itu mbak.

Dapat diketahui bahwa keluarga trah Ki Ageng Wonolelo menyatakan, Ki Ageng Wonolelo itu keturunan langsung dari Prabu Brawijaya V, raja Majapahit yang terakhir. Gusti prabu itu punya anak 111, salah satu anaknya itu namanya Blancak Ngilo, biasa disebut Ki Jumadil Qubro, lha Ki Jumadil itu punya anak Syekh Kaki sama Syekh Jimat, 2 itu yang terkenal, aslinya anaknya 4, kemudian Syekh Kaki itu punya anak 3, salah satunya Syekh Jumadigeno, atau yang kita Sebut Ki Ageng Wonolelo. Saparan menurut adat Jawa merupakan sebuah upacara yang dilaksanakan pada bulan Sapar yang bertujuan untuk simbol memohon keselamatan. Dalam hal ini menurut ketua panitia, pada saat dilaksanakan penelitian merupakan Kirab yang ke-49, berarti acara ini dilaksanakan sejak 49 tahun yang lalu, acara ini merupakan tradisi turun temurun.

Tujuan diadakan tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo dalam masyarakat Desa Pondok Wonolelo untuk meneladani dan mengenang jasa Ki Ageng, untuk mengumpulkan Trah keluarga Ki Ageng, untuk meminta berkah kepada Ki Ageng Wonolelo agar masyarakat Desa Pondok Wonolelo, Widodomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta tentram hidupnya, selain itu juga untuk mengajarkan kepada kaum muda agar melestarikan kebudayaan yang dimiliki, agar tetap dilaksanakan di kemudian hari.

(55)

yang diwawancarai oleh peneliti pada hari Kamis 03 November 2016 dikediamannya, menyatakan bahwa: Wah, nek ngomongke makna ki ketok sesuk esuk ra rampung nak ... hahahaha... intine, kanggo ungkap syukur marang gusti ingkang sampunparing nikmat kaliyan kabeh warga kene, kuwi sepisan. Ingkang kaping pindone, kan awakdewe wis diwenehi bagas waras urip neng donyo, diwenehi rejeki walaupun pas-pasan, nanging kan cukup kanggo uri, dadi yo sewajare manungso ngabdi kaliyan gusti. Terus makna liyone, seko apem kuwi, kuwi kanggo simbol pangapuran seko gusti marang manungso lan manungso marang manungso, apem kuwi wujud tresnane masyarakat, wujud syukure masyakarat sing dibagi karo masyarakat liyo, sing insyaallah iso berkah. Selain kuwi yo ono kacang po sawi, sayur-sayurankuwi kan hasil bumi mbak, lha nek kuwi artine nggo jogo hubungan karo sik kuoso, karo alam lan ugo karo manungso liyane, dadi hasil bumi kuwi mau podo wae dibagekke marang tonggo teparo utawi masyarakat benkabeh melu ngrasakke. Ngono nak.

(56)

bangsa Jawa dalam menghadapi alam di sekeliling lingkungannya, yaitu pola-pola yang isinya berupa pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai pendidikan beragama atau norma-norma yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Begitu halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bapak Muhammad Sholihin selaku tokoh agama Islam setempat yang diwawancarai oleh peneliti di kediamannya pada hari Sabtu 05 November 2016, tradisi ini memiliki falsafah yang tinggi, dan tentunya juga mengandung nilai-nilai dakwah. Selain nilai dakwah, banyak sisi positif yang bisa diambil. Antara lain bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat khususnya, seperti berwirausaha dengan memanfaatkan cara berdagang makanan ataupun pernak pernik karena bisa meningkatkan ekonomi bagi masyarakat. Dari segi sosial merupakan sarana silaturahim. Selain itu nilai sejarahnya juga sangat banyak dapat di jadikan pembelajaran bagi anak-anak sekola. Banyak juga nilai pendidikan di dalam tradisi tersebut antara lain nilai tentang persatuan, nilai toleransi, dan nilai tentang rasa syukur kita kepada Allah SWT”.

(57)

orangpun datang ke saparan bisa mendapatkan dapat berkah. Berkaitan dengan manfaat masyarakat menghadiri tradisi Ki Ageng Wonolelo, lain hal nya dengan Ibu Siti, selaku masyarakat menyatakan bahwa; Turene tiyang sepuh kulo, dateng ing wonten acara kirab meniko, ngunduh berkah mbak, kathah berkahipun, berkahipun menika wujudipunkesehatan, bagas waras lahir batin, berkah jodoh, berkah kagem taneman menawi dipun paringaken saben, mengkih panen e saged sae mbak. Niku sak ngertos kulo, kulo nggih percaya marang berkah niku mbak, saenggomenawi wonten wekdal kulo tindak dateng acara kirab meniko. Lebih lanjut Ibu Siti mengutarakan makna dari mendapatkan apem, yaitu: Nggih mbak, gadhah. Sami kaliyan kulo matur wau mbak, maknanipun menawi angsal apem meniko nggih kagem ketentreman lahir batin,kesehatan, subur tanduranipun saenggo panenipun InsyaAllah sae. Nggih pokokke angsal berkah ingkang kathah mbak, menawi angsal apem meniko.

(58)

Hal senada juga disampaikan oleh Ibu Supadmi selaku masyarakat, bahwa: Gadhah mbak.... wonten maknanipun. Kathah tiyang, termasuk kulo ingkang gadhah keyakinan menawi apem meniko saged digunaaken kagem tumbal tolak balak hama tanaman, tumbal kagem katentreman griyo, supoyo dipun cerakaken kaliyan jodoh, ingkang dereng gadhah jodoh, lajeng apem meniko dadosaken rejeki kita lancar. Nggih pokokke kathanberkahipun mbak, menawi kulo yakin lan ugi percoyo kaliyan meniko, tapimenawi mbak‟e paling

tasih mikir, mboten masuk akal, mbak‟e kan sampun tiyang ingkang modern, sampun berpendidikan, mesti nopo-nopo dipikir kagem nalar. Nggih to mbak?hehehe.

(59)

BAB IV

PEMBAHASAN

(60)

Setelah terjun kelapangan di desa Widodomartani kecamatan Ngemplak kabupaten Sleman, penulis menemukan bentuk-bentuk tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo yang dapat dihubungkan dengan kajian teori, maka hasilnya sebagai berikut: A. Analisi Hasil Temuan

1. Pemahaman masyarakat tentang tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo

Sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa tradisi saparan ini sebuah tradisi yang harus dijaga dan dilestarikan kebudayaanya agar tetap terpelihara dari pergeseran perubahan zaman yang semakin berkembang. Karena tradisi saparan ini selain mengenang perjuangan Ki Ageng Wonolelo dalam meyebarkan agama Islam di tanah Jawa terutama di desa Widodomartani dan sekitarnya dan nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat di dalamnya, karena kita mengetahui bahwa agama terbesar di Indonesia adalah agama Islam yang mangajarkan untuk saling bertoleransi satu sama lain.

Tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo dilaksanakan setiap tahunnya yaitu pada hari Kamis Pahing malam Jumat Pon di bulan Sapar (kalender Jawa), dengan berbagai persiapan satu hari sebelum hari pelaksanaan tradisi saparan tokoh masyarakat serta ulama melakukan ziarah kubur atau yang biasa disebut dengan nyekar dengan dipimpin ulama membaca yasin, tahlil, dan do‟a di

makam Ki Ageng Wonolelo dengan bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT untuk keselamatan, kesejahteraan, dijauhkan dari tolak bala, kesehatan, dan do‟a bagi babat alas serta penyebar agama Islam Ki Ageng Wonolelo

khususnya dan masyarakat desa Widodomartani kecamatan Ngemplak pada umumnya.

(61)

Upacara saparan Ki Ageng Wonolelo seluruhnya diselenggarakan oleh keturunan Ki Ageng Wonolelo di Pedukuhan Pondok Wonolelo, akan tetapi pusat penyelenggaraan upacara dilakukan di dua tempat, yaitu di rumah kepala desa Widodomartani Pondok Wonolelo, dan tempat yang kedua yaitu di kompleks makam Ki Ageng Wonolelo. Di lokasi pertama, yaitu di tempat tinggal Kepala Desa Widodomartani sebagai tempat penyimpanan salah satu pusaka Ki Ageng Wonolelo, yaitu Kyai Gondhil yang dikenakan Ki Ageng Wonolelo pada waktu babad alas Wonolelo, dipersiapkan barisan yang akan mengarak pusaka Ki Ageng Wonolelo menuju ke makam. Kemudian dipersiapkan pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo, yaitu Kyai Gondhil, Kopyah, AI-Qur'an, dan Cupu (potongan mustaka masjid). Masing-masing pusaka ini dimasukkan ke dalam Joli-joli yang telah disiapkan pula sebelumnya. Joli-joli yang berisi pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo ini masing-masing dipikul oleh empat orang laki-laki yang kesemuanya mengenakan pakaian peranakan, seperti abdi dalem Kraton Yogyakarta.

(62)

b. Barisan kedua prajurit lengkap dengan senjata tombaknya

c. Barisan ketiga adalah pembawa Joli-joli di dalamnya ditaruh pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo, dengan urutan paling depan Kyai Gondhil, disusul Kopyah, Kitab Suci Al-Quran, dan Cupu

d. Barisan keempat anak cucu keturunan Ki Ageng Wonolelo e. Barisan terakhir adalah para peziarah.

Sesampainya di kompleks makam, iring-iringan berjalan pelan memasuki halaman makam dan terus menuju ke makam Ki Ageng Wonolelo. Yang masuk adalah barisan putri domas, sedangkan barisan prajurit tidak masuk tetapi hanya duduk bersimpuh di luar bangunan (cungkup) makam. Setelah barisan prajurit pengiring mendekati makam disusul barisan pembawa Joli-joli berisi pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo. Pusaka-pusaka ini selanjutnya disemayamkan di dekat makam. Pusaka yang pertama kali dimasukkan ke dekat makam adalah Kyai Gondhil, kemudian Kopyah, disusul Kitab Suci Al Qur'an, dan terakhir Cupu. Pihak yang berkewajiban menerima pusaka dari pimpinan rombongan pembawa pusaka adalah Juru Kunci makam Ki Ageng Wonolelo.

(63)

Puncak acara Saparan Pondok Wonolelo ini adalah pembagian kue apem kepada para peziarah atau kepada siapa saja yang minta apem tersebut. Pembagian apem ini dilakukan setelah pusaka-pusaka tadi dibawa kembali ke rumah Kepala Desa Widodomartani oleh barisan pengarak pusaka. Dengan dikembalikannya pusaka-pusaka Ki Ageng Wonolelo ke tempat semula dan dengan berakhirnya pembagian apem, maka secara prinsip berakhir pula seluruh rangkaian upacara saparan Wonolelo. Selanjutnya diadakan wungon

(tidak tidur) sampai saat subuh tiba, baik oleh trah Ki Ageng Wonolelo maupun para peziarah lainnya.

2. Nilai-nilai pendidikan Islam dalam Tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo

di Desa Widodomartani, kecamatan Ngemplak, kabupaten Sleman

Yogyakarta

Setiap tradisi tidak terlepas dari sebuah sejarah dan tentunya memiliki tujuan dan nilai-nilai pendidikan baik secara sosial maupun agama. Begitu pula nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat didalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo yang terdapat di desa Widodomartani. Dari hasil penelitian yang ada dan dikaitkan dengan teori, penulis menemukan banyak hal positif berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam tradisi ini, antara lain: nilai pendidikan sejarah, nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan budaya, nilai pendidikan birrul walidain, nilai religius atau pendidikan rasa syukur terhadap Allah SWT, dan nilai pendidikan kemanusiaan. Di antara nilai-nilai pendidikan tersebut dapat penulis paparkan sebagai berikut:

(64)

Di dalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo pastinya mengandung nilai sejarah yang tinggi, yaitu berupa perjuangan Islam oleh seorang wali Allah bernama Ki Ageng Wonolelo di tanah Jawa khususnya di daerah Widodomartani kecamatan Ngemplak dan sekitarnya. Nilai-nilai sejarah ini dapat kita lihat dari kisah perjuangan beliou dalam berdakwah menyebarkan agama Islam, sebagai contoh yaitu peninggalan pusaka-pusaka yang samapi sekarang diyakini sebagai milik Ki Ageng Wonolelo. Dengan melihat peninggalan petilasan-petilasan yang ada di sekitar desa Widodomartani kecamatan Ngemplak salah satu bukti warisan budaya.

Pewarisan budaya berlangsung sepanjang masa, selama masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan tidak punah. Prosesnya berjalan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya secara berkesinambungan. Lingkungan sosial yang pertama yang dikenal individu sejak lahir adalah Keluarga. Ayah, ibu dan anggota keluarga lainnya merupakan lingkungan sosial yang secara langsung berhubungan dengan individu. Sosialisasi yang dialami individu secara intensif berlangsung dalam keluarga. Pengenalan nilai, norma, dan kebiasaan untuk pertama kali di terima dari keluarga. Pengaruh sosialisasi yang berasal dari keluarga sangat besar pengaruhnya bagi pembentukkan dan perkembangan kepribadian individu. Kebiasaan-kebiasaan yang positif dan negatif yang berlangsung lama dan terbuka dalam lingkungan keluarga dapat tertanam secara kuat pada kepribadian seseorang.

(65)

Kebudayaan Jawa rasa sosial merupakan pedoman dalam hidup untuk berinteraksi satu sama lain yang harus di jaga dan dipergunakan sebaik mungkin agar tidak terjadi pergesekan pemahaman di dalam masyarakat. Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Nilai pendidikan sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai pendidikan sosial yang ada dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya.

(66)

masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting, seperti contoh masyarakat melakukan rapat panitian pelaksanaan tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo, kerja bakti pembagian tugas panitia dan sebagainya.

c. Nilai Pendidikan Budaya

Nilai-nilai budaya yang terdapat didalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya. Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Mengenai pemahaman tentang nilai budaya dalam kehidupan manusia. Makna itu akan diterapkan serta ditumbuh-kembangkan secara individual, namun dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan.

(67)

bernilai dalam hidup, seperti contoh penyebaran apem secara serentak kepada pengunjung. Karena itu, suatu sisitem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

d. Nilai Pendidikan Religius atau Tentang Rasa Syukur Kepada Allah SWT Didalam ritual tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo manusia akan diajarkan bagaimana mengungkapkan rasa syukur atas kenikmatan yang telah diberikan Allah SWT. Religi merupakan suatu kesadaran yang terbentuk secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai ciptaan-Nya. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya hubungan ke dalam ke Esaan Tuhan. Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan, seperti contohnya manusia dengan melakukan shalat lima waktu serta bersedekah ataupu malakukan zakat atas rizqi yang telah di dapat.

Kita tidak mengerti hasil-hasil kebudayaanya, kecuali bila kita paham akan kepercayaan atau agama yang mengilhaminya. Religi lebih pada hati, nurani, dan pribadi manusia itu sendiri. Dapat dipahami bahwa nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.

(68)

Didalam tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo seseorang diajarkan tentang rasa hormat yang tinggi terhadap kedua orang tua. Sebelum acara dimulai masyarakat dan tokoh agama melakukan ziarah kubur atau nyekar dengan membaca sholawat, Al-qur‟an, dzikir, dan tahlil. Dengan tujuan untuk mendoakan para sesepuh, para guru, ulama, dan kepada orang tua yang telah meninggal.

Dalam surat Maryam terdapat dua ayat yang menggunakan istilah “birrul walidain” secara langsung, yaitu terdapat pada ayat 14 dan 32.

Kedua ayat tersebut berbunyi . (Karya Toha Putra, 2011 : 306-307)

Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuannya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka”.(QS. Maryam (19: 14)

“Dan berbakti kepada ibuku, dan dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka”. (QS. Maryam (19:32)

(69)

Penafsiran Al Maraghi tersebut senada dengan Alquran surat Al Isra‟ ayat 23 sebagai berikut:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan

menyembah selain Dia dan hendaknya kamu berbuat baik pada ibu bapak dengan sebaik-baiknya, jika salah seorang diantara kedunya sampai berumur lanjat dalam pemeliharaanmu. Maka jangan sekali-kali kamu

mengatakan; “ah”, dan jangan kamu membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia”.(QS. Al Isra‟:17: 23) (PT. Karya Toha Putra, 2011 : 284)

(70)

membantahnya, karena ini adalah bentuk wujud kasih sayang dan perhatian sebagai orang tua. Disaat orang tua telah meninggal maka seorang anak wajib mendoakan agar dosa-dosanya diampuni dan mendapat kebaikan dihadapan Allah SWT.

f. Nilai Pendidikan Tentang Kemanusiaan

Ritual tradisi saparan Ki Ageng Wonolelo dapat dijadikan sebagai sarana sosialisasi antar masyarakat sehingga terbentuk kerukunan dan rasa kemanusiaan yang kuat atau rasa uhkuwah. Seperti contoh pada saat acara berlangsung masyarakat dapat membaur tanpa melihat sudut pandang agama ataupun suku, mereka dapat menciptakan suasana yang damai seperti gotong royong dalam kelancaran acara tradisi saparan tersebut. Kemanusiaan adalah nilai-nilai yang baik yang terbit dari hati seorang manusia dan terjelma dalam percakapan dan perbuatan seharian. Nilai-nilai ini mampu membentuk manusia menjadi insan yang mulia, beriman dan berakhlak serta sentiasa bahagia dalam kehidupan di dunia dan akhirat.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur
Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepemilikan KTP
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
+7

Referensi

Dokumen terkait