HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN
DIARE PADA BALITA DI DESA PRINGAPUS KECAMATAN PRINGAPUS
KABUPATEN SEMARANG
Baiq Linda Wilyandari
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran
ABSTRACT
Diarrhea is the number one cause of infant mortality worldwide. Every 30 seconds there is a child who died because of diarrhea. In Indonesia, every year 100,000 children under five die from diarrhea. Environmental factors are the most dominant factors that cause diarrhea. The purpose of this research is the relationship of environmental sanitation families with incidence of diarrhea in children under five in the Village Pringapus Pringapus District of Semarang District.
This type of research design in the form of descriptive correlational design with cross sectional approach. The study population was a toddler in the village environment Pringapus Pringapus District of Semarang District with the sample studied 43 infants, using sampling techniques as well as the total sampling data retrieval tool using questionnaires. Test data analysis using chi-square correlation analysis
The results showed that the family of environmental sanitation in the village Pringapus District of Semarang District Pringapus most categories either as many as 24 people (55.8%). Toddler Village Pringapus District of Semarang District Pringapus mostly diarrhea as many as 23 people (53.5%). There is a family of environmental sanitation relationship with the incidence of diarrhea in infants in the Village Pringapus Pringapus District of Semarang District with p value of 0.000 (α = 0.05).
Community should increase knowledge about diarrheal disease and family efforts in the prevention of diarrheal disease in infants should to seek information through health professionals. Keywords: Environmental sanitation families, the incidence of diarrhea
PENDAHULUAN
Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai meninggal, hal ini disebabkan karena manusia
memerlukan daya dukung unsur-unsur
lingkungan untuk kelangsungan hidupnya (Entjang dalam Hamzah, 2009). Penyakit
berbasis lingkungan masih menjadi
permasalahan hingga saat ini. Hal ini dikarenakan penyakit berbasis lingkungan selalu masuk dalam 10 besar penyakit di hampir seluruh Puskesmas di Indonesia salah satunya adalah diare (Prabu, 2008).
Diare adalah buang air besar lembek atau cair dapat berupa air saja yang lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari) (Depkes RI, 2006). Menurut Widjaja (2007), diare diartikan sebagai buang air encer lebih dari empat kali sehari, baik
disertai lendir dan darah maupun tidak. Hingga kini diare masih menjadi child killer (pembunuh anak-anak) peringkat pertama di Indonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik balita, anak-anak dan orang dewasa. Tetapi penyakit diare berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita (Zubir, 2006).
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang sering mengenai bayi dan balita. Seorang bayi baru lahir umumnya akan buang air besar sampai lebih dari sepuluh kali sehari, dan bayi yang lebih besar akan mempunyai waktu buang air masing-masing, ada yang sehari 2-3 kali sehari atau ada yang hanya 2 kali seminggu. Neonatus dinyatakan diare bila buang air besar lebih dari empat kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak, bila nya lebih dari 3 kali sehari (Hasan, 2007).
Menurut data World Health Organization (WHO), diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan
Akut). Sementara UNICEF (Badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak) memperkirakan bahwa, setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare. Di Indonesia, setiap tahun 100.000 balita meninggal karena diare (Widya, 2007).
Cakupan penemuan dan penanganan diare di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 42,66%, lebih rendah dibanding tahun 2011 (57,9%). Cakupan penemuan dan penanganan diare tertinggi pada tingkat kabupaten/kota adalah Kabupaten Klaten (93,33%) dan terendah adalah Kabupaten Cilacap (6,20%). Jumlah kasus diare pada balita rata-rata setiap tahunnya di atas 40%. Ini menunjukkan bahwa kasus diare pada balita masih cukup tinggi dibandingkan golongan umur lain (Dinkes Prov Jateng, 2012).
Penyakit diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan. Beberapa faktor yang berkaitan dengan kejadian diare yaitu tidak memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan sarana kebersihan (pembuangan tinja yang tidak higienis), kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek, penyiapan makanan kurang matang dan penyimpanan makanan masak pada suhu kamar yang tidak semestinya (Sander, 2005).
Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi pendorong terjadinya diare yaitu faktor agen, penjamu, lingkungan dan perilaku. Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling dominan yaitu sarana penyediaan air bersih dan pembuangan tinja, kedua faktor berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta terakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat, maka penularan diare dengan mudah dapat terjadi (Zubir et al, 2006).
Wilayah di Kabupaten Semarang kejadian diare mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 sebanyak 22.791 kasus diare, tahun 2008 terdapat 24.152 kasus diare, tahun 2009 terdapat 25.458 kasus diare tahun 2010 terdapat 25.926 kasus diare, tahun 2011 terdapat 26.016 kasus diare dan tahun 2012
terdapat 26.987 kasus diare (Dinkes Kab. Semarang, 2012).
Kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Ungaran Barat masih menempati urutan yang relatif tinggi, terlihat dari rekapitulasi cakupan pelayanan penderita diare pada tahun 2008 sebanyak 402 kasus diare dan tahun 2009 pada seluruh golongan umur sebesar 410 kasus di mana 50,5% terjadi pada balita. Pada tahun 2012 jumlah kasus diare di puskesmas Ungaran Barat sebanyak 641 anak usia < 1 tahun, 757 anak usia 1-4 tahun dan 1.301 anak usia lebih dari 5 tahun. Berdasarkan laporan puskesmas, faktor yang menyebabkan diare pada anak usia 6-12 bulan di daerah tersebut adalah status gizi, pemberian ASI eksklusif dan kebersihan lingkungan (Puskesmas Ungaran Barat, 2012).
Menurut Suharyono (2008), faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian diare tersebut disebabkan oleh berbagai hal di antaranya umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, tingkat pengetahuan, prilaku cuci tangan, status gizi balita, sanitasi lingkungan yang meliputi kualitas sumber air dan kebersihan jamban.
Faktor lingkungan rumah menjadi salah satu faktor penting terjadinya diare. Terutama rendahnya ketersediaan air bersih, sanitasi yang buruk di lingkungan sekitar rumah, dan perilaku hidup yang tidak bersih. Sebagian besar rumah penduduk Indonesia, hanya 57,09% yang memenuhi syarat kesehatan air bersih. Presentase keluarga yang menggunakan jamban yang memenuhi syarat kesehatan baru sekitar 68,72% (Widaya, 2012).
Menurut Notoatmodjo (2007), sanitasi lingkungan adalah usaha untuk memperbaiki atau mengoptimalkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimal bagi manusia yang hidup di lingkungan tersebut. Kesimpulan peneliti sanitasi lingkungan itu merupakan usaha-usaha untuk mengoptimalkan yang menitikberatkan pada pengawasan faktor lingkungan agar menjadi media yang baik serta sehat bagi manusia,dan
lebih mengutamakan pencegahan agar
berbagai penyakit dapat terhindar.
Menurut Suharyono (2008), sanitasi lingkungan yang buruk merupakan faktor yang berpengaruh pada kejadian diare di mana adanya interaksi antara penyakit, manusia dan faktor lingkungan yang mengakibatkan
penanggulangan diare. Secara klasik telah dibuktikan pada berbagai penyelidikan bahwa peranan faktor lingkungan (air, makanan, lalat, dan serangga lain), entero bakteri, parasit usus, virus dan beberapa zat kimia merupakan penyebab penyakit diare. Adanya pencemaran sumber air minum yang kurang sehat yaitu dengan membuang kotoran di sembarang tempat dapat juga berperan dalam penyebaran penyakit diare. Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau selanjutnya air minum seharusnya tidak mengandung kuman patogen yang dapat membahayakan kesehatan manusia, juga tidak mengandung zat kimia yang dapat mempengaruhi fungsi tubuh, serta air juga tidak boleh meninggalkan endapan pada seluruh jaringan distribusi yang mempunyai tujuan untuk mencegah terjadinya penyakit bawaan air (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan fenomena yang terjadi di
masyarakat Desa Pringapus Kecamatan
Pringapus Kabupaten Semarang bahwa kondisi
penduduk padat dan dengan kondisi
lingkungan yang kurang sehat, di mana, tidak setiap rumah memiliki fasilitas Mandi, Cuci,
Kakus (MCK) yang memadai, tidak
tersedianya saluran pembuangan air limbah rumah tangga, sampah yang masih di buang sembarangan, kondisi rumah dengan lantai dari tanah dan dinding dari papan atau bilik bambu serta kandang ternak yang sangat dekat dengan perumahan warga dapat menimbulkan kondisi lingkungan yang cocok bagi perkembangan berbagai vektor penyakit, yaitu salah satunya penyakit diare. Dalam 1 bulan terakhir dari 5 balita di dapatkan bahwa 2 balita jarang mengalami diare dengan diare 1-2 kali sedangkan 3 balita sering yang mengalami diare dengan diare 3-5 kali.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul "Hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan kejadian diare pada balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang".
METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengungkapkan hubungan korelatif antar variabel. Desain ini dipilih karena peneliti mencoba untuk menyelidiki hubungan sanitasi lingkungan
keluarga dengan kejadian diare pada balita di
Desa Pringapus Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional. Pendekatan cross
sectional dimaksudkan pada sanitasi
lingkungan keluarga dan kejadian diare pada balita yang di ukur dalam waktu yang sama. Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi sasaran adalah lingkungan balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang dan jumlah balita sebanyak 43 balita (data bulan Maret-Mei 2014).
Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah lingkungan balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang dan jumlah balita yang mengalami diare sebanyak 43 balita. Jadi penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data total
sampling.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang, pada tanggal 25-26 Agustus 2014. Pengumpulan Data
Alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data yaitu kuesioner yang dalam penelitian ini berisi data demografi responden dan mengidentifikasi variabel yang diteliti.
Analisis Data
Analisis Univariat
Analisa univariat adalah analisa yang menggambarkan setiap variabel (variabel independen dan variabel dependen) dengan menggunakan distribusi dan proporsi,
sehingga tergambar fenomena yang
berhubungan dengan variabel yang diteliti.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan dua variabel yang
diduga berhubungan atau berkorelasi
(Notoatmodjo, 2010). Analisa bivariat ini menggunakan chi square.
HASIL PENELITIAN Analisis Univariat
Gambaran Sanitasi Lingkungan Keluarga di
Desa Pringapus Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang
Tabel 1.
Distribusi Frekuensi Sanitasi Lingkungan Keluarga di Desa Pringapus Kecamatan
Pringapus Kabupaten Semarang Sanitasi Frekuensi (f) Persentase (%) Kurang 19 44,2 Baik 24 55,8 Jumlah 43 100,0
Tabel 1 menunjukkan bahwa sanitasi lingkungan keluarga di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang kategori baik yaitu sebanyak 24 orang (55,8%)
dan kategori kurang yaitu sebanyak 19 orang (44,2%).
Gambaran Kejadian Diare pada balita di
Desa Pringapus Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang
Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Kejadian Diare pada balita di Desa Pringapus Kecamatan
Pringapus Kabupaten Semarang Kejadian diare Frekuensi (f) Persentase (%) Diare 20 46,5 Tidak diare 23 53,5 Jumlah 43 100,0
Tabel 2 menunjukkan bahwa balita di
Desa Pringapus Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang tidak mengalami diare yaitu sebanyak 23 orang (53,5%) dan yang mengalami diare yaitu sebanyak 20 orang (46,5%).
Analisis Bivariat
Tabel 3.
Gambaran Hubungan Sanitasi Lingkungan Keluarga Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang Sanitasi Lingkungan Keluarga Kejadian diare χ 2 OR (95%CI) p-value
Diare Tidak Total
f % f % f %
Kurang 15 78,9 4 21,1 19 100,0 12,155 14,250 0,000
Baik 5 20,8 19 79,2 24 100,0
Jumlah 20 46,5 23 53,5 43 100,0
Berdasarkan hasil analisis hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan kejadian diare pada balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang diperoleh hasil, responden yang menyatakan sanitasi lingkungan keluarga kategori kurang sebanyak 19 orang di mana sebagian besar balita mengalami diare yaitu 15 orang (78,8%) lebih banyak dari yang tidak mengalami diare yaitu 4 orang (21,1%). Responden yang menyatakan sanitasi lingkungan keluarga kategori baik sebanyak 24 orang di mana sebagian besar balita tidak mengalami diare yaitu 19 orang (79,2%) lebih banyak dari yang mengalami diare yaitu 5 orang (20,8%).
Hasil uji statistik didapatkan nilai χ2 hitung (12,155) > χ2tabel (3,84) dan p value 0,000 (α = 0,05), maka dapat disimpulkan ada hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan kejadian diare pada balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Artinya jika sanitasi lingkungan keluarga semakin baik maka balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang tidak mengalami diare. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji chi square diperoleh Odds Ratio (OR) sebesar 14,250 artinya sanitasi lingkungan keluarga yang baik cenderung 14,250 kali tidak mengalami diare dibandingkan sanitasi lingkungan keluarga yang kurang baik.
PEMBAHASAN
Gambaran Sanitasi Lingkungan Keluarga di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanitasi lingkungan keluarga di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang kategori baik yaitu sebanyak 24 orang (55,8%). sanitasi lingkungan keluarga di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang kategori baik dimana pembuangan sampah sudah dilakukan di tempat sampah (76,7%), sampah yang penuh di bakar (79,1%), air limbah rumah tangga di buang ke got atau selokan (88,4%).
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya. Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik serta lingkungan sosial (Purnawijayanti, 2004).
Sarana pembuangan air limbah yang sehat yaitu yang dapat mengalirkan air limbah dari sumbernya (dapur, kamar mandi) ke tempat penampungan air limbah dengan lancar tanpa mencemari lingkungan dan tidak dapat dijangkau serangga dan tikus. Rumah yang membuang air limbahnya di atas tanah terbuka tanpa adanya saluran pembuangan limbah akan membuat kondisi lingkungan sekitar rumah menjadi tidak sehat. Akibatnya menjadi kotor, becek, menyebabkan bau tidak sedap da dapat menjadi tempat berkembang biak serangga terutama nyamuk (Pamsimas, 2011). Sanitasi lingkungan keluarga di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang kategori baik di dukung oleh perilaku hidup bersih.
Perilaku hidup bersih sehat yang baik dapat memberikan dampak yang bermakna terhadap kesehatan lingkungan rumah dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam peningkatan derajat kesehatan, status pola gizi dan pemanfaatan sarana kesehatan lingkungan agar tercapai derajat kesehatan yang optimal. Masalah kesehatan lingkungan merupakan salah satu dari akibat masih rendahnya tingkat pendidikan penduduk, masih terikat eratnya masyarakat Indonesia dengan adat istiadat kebiasaan, kepercayaan dan lain sebagainya yang tidak sejalan dengan konsep kesehatan (Azwar, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanitasi lingkungan keluarga di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang kategori tidak baik yaitu sebanyak 19 orang (44,2%). Lingkungan keluarga di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang kategori tidak baik tempat sampah berupa bak sampah tertutup (0,0%), jamban yang digunakan leher angsa (32,6%) dan jarak sumur dan jamban lebih dari 10 meter (2,3%).
Sanitasi adalah sesuatu cara untuk mencegah berjangkitnya suatu penyakit menular dengan jalan memutuskan mata rantai dari sumber. Sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada penguasaan terhadap
berbagai faktor lingkungan yang
mempengaruhi derajat kesehatan (Azwar, 2006). Sedangkan sanitasi lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau mengoptimalkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimal bagi manusia yang hidup di lingkungan tersebut (Notoatmodjo, 2007). Lingkungan keluarga di
Desa Pringapus Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang kategori tidak baik disebabkan oleh kepadatan lingkungan
Luas rumah yang cukup memberikan ruang gerak bagi penghuninya, sehingga terasa bebas dari resiko benturan dengan yang ada dalam rumah. Kenyamanan dapat terjamin, karena sirkulasi udara berjalan baik tanpa menimbulkan kejenuhan udara dalam ruangan yang di dalam terkandung zat-zat buangan dari sesama penghuni misalnya CO2 dan kuman-kuman patogen. Kepadatan hunian untuk seluruh rumah bisa dinyatakan dalam m2 /orang. Penggunaan luas lantai ini dimaksudkan untuk mennghindari penularan penyakit pernafasan (droplet infection).
Menurut WHO salah satu kriteria rumah sehat adalah rumah tinggal yang memiliki luas lantai per orang minimal 10 m2. Sementara luas ruangan tidur minimal 8 m2, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun (Notoatmodjo, 2007).
Gambaran Kejadian Diare pada balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang yang mengalami tidak diare sebanyak 23 orang (53,5%). Diare adalah pengeluaran feses yang tidak normal dan cair. Bisa juga didefinisikan sebagai buang air besar yang tidak normal dan berbentuk cair dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Bayi dikatakan diare bila sudah lebih dari 3 kali buang air besar, sedangkan neonatus dikatakan diare bila sudah lebih dari 4 kali buang air besar (Dewi, 2011).
Menurut Dewi (2011), mekanisme dasar yang dapat menyebabkan terjadinya diare
adalah gangguan motilitas usus.
Hiperperistaltik akan menyebabkan
berkurangnya kesempatan bagi usus untuk menyerap makanan yang masuk, sehingga akan timbul diare. Akan tetapi, apabila terjadi keadaan yang sebaliknya yaitu penurunan dari peristaltik usus maka akan dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan di dalam rongga usus sehingga akan menyebabkan diare juga. Faktor yang mendukung balita tidak mengalami diare adalah status gizi yang baik.
Keadaan gizi anak juga berpengaruh terhadap diare. Pada anak yang kurang gizi karena pemberian makanan yang kurang mengakibatkan diare akut yang lebih berat, yang berakhir lebih lama dan lebih sering terjadi pada diare persisten dan disentri lebih berat. Resiko meninggal akibat diare persisten atau disentri sangat meningkat, apabila anak sudah kurang gizi. Sebaliknya, status gizi yang baik mendukung pencegahan diare yang lebih berat, yang berakhir lebih cepat dan lebih jarang terjadi (Depkes, 2005).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang yang mengalami diare sebanyak 20 orang (46,5%). Diare adalah penyakit yang terjadi ketika terjadi perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar. Seseorang dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Dinkes Prov. Jateng, 2012). Faktor yang menyebabkan diare pada balita di antaranya perilaku hygiene yang buruk.
Perilaku personal hygiene yang buruk misalnya dalam perilaku mencuci tangan, kebersihan putting susu, kebersihan dalam botol susu dan dot susu pada balita.
Kemudian dari faktor lingkungan
(environment) yang menyebabkan balita
terkena diare yaitu dari kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik misalnya dalam penggunaan kebersihan air yang digunakan untuk mengolah susu dan makanan balita (Soegijanto, 2006).
Hubungan Sanitasi Lingkungan Keluarga dengan Kejadian Diare pada Balita di Desa
Pringapus Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang
Hasil uji statistik didapatkan nilai χ2 hitung (12,155) > χ2tabel (3,84) dan p value 0,000 (α = 0,05), maka dapat disimpulkan ada hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan kejadian diare pada balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Artinya jika sanitasi lingkungan keluarga semakin baik maka balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang tidak mengalami diare. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji chi square diperoleh Odds Ratio (OR) sebesar 14,250 artinya sanitasi lingkungan keluarga yang baik cenderung 14,250 kali tidak mengalami diare dibandingkan sanitasi lingkungan keluarga yang kurang baik.
Menurut M.Alimin Umar (1990) dalam Mustakim Sahdan (2002), Sanitasi lingkungan meliputi aspek yang sangat luas, hampir sebagian besar kehidupan manusia. Menurut Badudu (dalam Sahdan.2002), sanitasi
lingkungan dapat diartikan sebagai
pengawasan faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani, rohani dan sosial, termasuk pengawasan terhadap persediaan air, pembuangan sekreta/tinja, air bekas pakai dan sampah, persyaratan rumah sakit, makanan (susu, daging dan lain-lain), kebersihan umum, pencemaran udara, tempat-tempat umum seperti pasar, kantor, bioskop, restoran dan lain-lain
Lingkungan yang buruk menyebabkan timbulnya berbagai penyakit endemik kronis, seperti pengolahan sumber air rumah tangga, infeksi karena kontak langsung dengan atau tidak dengan feses manusia, infeksi karena disebabkan oleh arthropoda, keong, cacing dan vektor lain, pengotoran makanan dan minuman, perumahan yang sempit dan berdesak-desakan, penyakit hewan yang dapat menular ke manusia.
Penyakit diare adalah salah satu penyakit berbasis lingkungan, dimana dua faktor yang
penyediaan air bersih dan pembuangan kotoran/tinja manusia. Menurut Heru 1995) dalam Toyo (2005) pemakaian air yang tidak bersih menjadi penyebab utama kejadian diare. Hal ini sejalan dengan Thaha (1995) dan Ahmad dalam Astyani (2005) bahwa episode kejadian diare lebih mengacu pada kesehatan lingkungan, jika sarana air bersih kurang dan tidak memenuhi syarat sehingga resiko diare selalu ada.
Berdasarkan hasil analisis hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan kejadian diare pada balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang diperoleh hasil, responden yang menyatakan sanitasi lingkungan keluarga kategori kurang sebanyak 19 orang di mana sebagian besar balita mengalami diare yaitu 15 orang (78,8%)
Diare adalah penyakit yang terjadi ketika terjadi perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar. Seseorang dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Dinkes Prov. Jateng, 2012)
Berdasarkan hasil analisis hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan kejadian diare pada balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang diperoleh hasil, responden yang menyatakan sanitasi lingkungan keluarga kategori baik di mana sebagian balita tidak mengalami diare yaitu 19 orang (79,2%).
Diare adalah pengeluaran feses yang tidak normal dan cair. Bisa juga didefinisikan sebagai buang air besar yang tidak normal dan berbentuk cair dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Bayi dikatakan diare bila sudah lebih dari 3 kali buang air besar, sedangkan neonatus dikatakan diare bila sudah lebih dari 4 kali buang air besar (Dewi, 2011). Diare adalah gangguan fungsi penyerapan dan sekresi dari saluran pencernaan, dipengaruhi oleh fungsi kolon dan dapat diidentifikasikan dari perubahan jumlah, konsistensi, frekuensi dan warna dari tinja (Whaley & Wong, 1997
dalam Ridha, 2014). responden yang
menyatakan sanitasi lingkungan keluarga kategori baik di mana sebagian balita tidak mengalami diare disebabkan oleh sumber air bersih yang baik.
Sumber air bersih yang digunakan untuk minum merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah pentingnya
berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar oleh tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan makanan, dan makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air yang tercemar (Depkes RI, 2006).
Berdasarkan hasil analisis hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan kejadian diare pada balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang diperoleh hasil, responden yang menyatakan sanitasi lingkungan keluarga kategori kurang sebanyak 19 orang di mana sebagian balita tidak mengalami diare yaitu 4 orang (21,1%).
Diare adalah suatu keadaan bertambahnya kekerapan dan keenceran buang air besar. Kekerapan yang dianggap masih normal adalah sekitar 1 – 3 kali dan banyaknya 200 – 250 gr sehari. Beberapa penderita mengalami peningkatan kekerapan dan keenceran buang air besar walaupun jumlahnya < 250 gr dalam kurun waktu sehari (Soeparman Sarwono Waspadji, 2006). Sanitasi lingkungan keluarga kategori kurang di mana sebagian balita tidak mengalami diare disebabkan faktor status gizi yang baik.
Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan
muntah, kadang-kadang orang tuanya
menghentikan pemberian makanan karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan kejang dan koma (Suharyono, 2008).
Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari adanya beberapa keterbatasan dan kelemahan di antaranya
masih adanya variabel lain yang
mempengaruhi penelitian ini yang belum bisa dikendalikan oleh peneliti di antaranya perilaku hygiene dan status gizi. Variabel-variabel tersebut dimungkinkan memberikan pengaruh kepada variabel kejadian diare, artinya kemampuan diare tidak hanya disebabkan oleh variabel sanitasi dalam
lingkungan keluarga, akan tetapi oleh variabel tersebut di atas.
KESIMPULAN
Gambaran sanitasi lingkungan keluarga di
Desa Pringapus Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang sebagian besar kategori baik yaitu sebanyak 24 orang (55,8%).
Balita di Desa Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang sebagian besar tidak diare yaitu sebanyak 23 orang (53,5%).
Ada hubungan sanitasi lingkungan keluarga dengan kejadian diare pada balita di
Desa Pringapus Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang dengan p value 0,000 (α = 0,05),
SARAN
Bagi masyarakat diharamkan dapat menambah pengetahuan responden tentang penyakit diare dan upaya keluarga dalam pencegahan terjadinya penyakit diare pada balita.
Bagi pelayanan kesehatan, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan masukan bagi pelayanan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan
dan melakukan upaya keluarga dalam
pencegahan penyakit diare pada balita dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di masyarakat.
Bagi peneliti diharapkan menambah
pengalaman langsung dalam melakukan
penelitian dan dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan penelitian.
Bagi perawat, diharapkan menambah pengetahuan perawat tentang penyakit diare sebagai upaya untuk memberikan penyuluhan tentang upaya keluarga dalam pencegahan penyakit diare pada balita.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Arikunto, S, 2006. Prosedur penelitian
suatu pendekatan praktik, ed revisi VI,.
Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
[2] Depkes RI, 2004. Kumpulan Modul
Kursus Higiene Sanitasi Makanan dan. Minuman. Jakarta
[3] Depkes RI, 2006. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2005. Jakarta
[4] Dewi, 2011. Asuhan kehamilan untuk
kebidanan. Jakarta: Salemba medika.
[5] Dinkes Kab Semarang, 2009. Profil
Kesehatan Kabupaten Semarang.
Semarang
[6] Dinkes Prov Jateng, 2008. Pedoman
Pemberantasan. Penyakit Diare.
Semarang
[7] Ghozali, I, 2006. Aplikasi analisis
multivariate dengan program
SPSS.Semarang : Badan Penerbit Undip.
[8] Gould & Brooker, 2003. Mikrobiologi
Terapan untuk Perawat. Jakarta:
EGC
[9] Hamzah, 2009. Diare Akut. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-3. Bandung : Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Universitas
Padjajaran/RSUP Hasan Sadikin
Bandung. Halaman 271-278.
[10]Hasan, 2007. Buku Kuliah : Ilmu
Kesehatan Anak I. Jakarta : Penerbit
Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. [11]La Ode, 2012. Faktor-faktor yang
Menghambat Praktik ASI ekskusif pada Bayi Usia 0-6 bulan. Jakarta : Penerbit
Bagian
[12]Litbang Kesehatan, 2006. Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2006
[13]Lubis, 2009. Perumahan Sehat, Pusat
Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI.
Jakarta
[14]Notoatmodjo, 2010. Metodologi
penelitian kesehatan. Penerbit PT. Rineka
Cipta.
[15]Nursalam, 2008. Konsep dan penerapan
metodologi penelitian ilmu keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika
[16]Prabu, 2008. Higene dan Sanitasi
Makanan. Jakarta: Rineka Cipta
[17]Purnawijayanti, 2004. Sanitasi Higiene
dan Keselamatan Kerja Dalam
Pengelolaan Makanan. Kanisius.
Yogyakarta
[18]Sander, 2005. Hubungan Faktor Sosio Budaya dengan Kejadian Diare di Desa. Candinegoro Kecamatan Wonoayu
Sidoarjo. Dalam: Jurnal Medika; Vol 2.
No 2 pp163-193
[19]Sugiono, 2003. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D”. Bandung:
Alfabeta.
[20]Suyono, 2010. Ilmu Kesehatan
Masyarakat Dalam Konteks Kesehatan Lingkungan, EGC, Jakarta
[21]Widjaja, 2007. Mengatasi Diare Dan
Keracunan Pada Balita. Jakarta: Kawan.
Pustaka
[22]Widya, 2007. Gastroenterology Anak
Praktis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
[23]Zubir, Juffrie, M., Dan Wibowo, T. 2006. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Diare Akut Pada Anak 0-35 Bulan (Batita) Di Kabupaten Bantul. Sains
Kesehatan. Vol 19. No 3. Juli 2006. Issn 1411-6197 : 319-332; 2006.
[24]Silitonga, 2010. Definisi Perumahan dan
Rumah
http://xisuca.blogspot.com/2010/06/defini si-perumahan-dan-rumah.html