• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan - Bab II Mulyani S Fadilah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan - Bab II Mulyani S Fadilah"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Secara bahasa, istilah Civic Education oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewargaan.

Menurut Kerr (dalam Winataputra dan Budimansyah,2007:4) mengemukakan bahwa Citizenship Education or Civic Education didefinisikan sebagai berikut:

Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and in particular , the role of education (trough schooling, teaching and learning) in that preparatory process.

Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga Negara, dan secara khusus peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar dalam proses penyiapan warga Negara tersebut. Cogan (1999:4) mengartikan Civic Education sebagai “The foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives”, maksudnya adalah suatu

(2)

Menurut Zamroni (Tim ICCE,2005:7) mengemukakan bahwa pengertian Pendidikan Kewarganegaraan adalah:

Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi.

Sementara itu, PKn di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga Negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah Negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu Negara yang sama, walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya (Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/ BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI).

(3)

PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga Negara dengan Negara serta pendidikan pendahuluan bela Negara agar menjadi warga Negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan Negara.

Menurut Branson (1994:4) civic education dalam demokrasi adalah pendidikan untuk mengembangkan dan memperkuat tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri, mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain.

Beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn, antara lain (Somantri, 2001:158):

a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.

b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional. c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan.

d. Disiplin ilmu-ilmu social, khususnya ide fundamental Ilmu Kewarganegaraan.

e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan Negara serta sejarah perjuangan bangsa.

f. Kegiatan dasar manusia g. Pengertian pendidikan IPS

Ketujuh unsur inilah yang mempengaruhi pengembangan PKn. Karena pengembangan pendidikan kewarganegaran akan mempengaruhi pengertian PKn sebagai salah satu tujuan Pendidikan IPS. Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan Pendidikan IPS yang menekankan pada nilai – nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka

(4)

dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS. Beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai Pendidikan kewarganegaraan antara lain (Somantri, 2001:161) :

1) PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikan diorganisasikan secara terpadu dan berbagai disiplin ilmu sosial, Humaniora, dokumen negara, terutama bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara. 2) PKn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu

sosial, humaniora, pancasila, UUD 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.

3) PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusan PMPKN dan FPIPS meupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi. 4) Dalam mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus

berfikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif (agama, nilai – nilai) dengan pengetahuan ekstaseptif (ilmu), kebudayaan Indonesia, tujuan pendidikan nasional, pancasila, UUD 1945, GBN, filsafat pendidikan, psikologis pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin, ilmu – ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur : (i) tujuan pendidikan, (ii) bahan pendidikan, (iii) metode pendidikan, (iv) evaluasi.

5) Pkn menitikberatkan pada kemampuan dan keterampilan berpkir aktif warga negara, yang baik (good citizen) dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civics affairs).

6) Dalam keputusan asing PKn sering disebut civic education, yang salah satu batasnya ialah “seluruh kegiatan sekolah, rumah dan masyarakat dan dapat menumbuhkan demokrasi”.

(5)

2. Konteks Kelahiran dan landasan Pendidikan Kewarganegaraan di

Indonesia

Istilah pendidikan kewarganegaraan di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan pendidikan kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan nama civic education di USA menunjukkan adanya perluasan dari waktu ke waktu.

Secara historis pertumbuhan Civic Education dapat digambarkan sebagai berikut (Sumantri, 1975:31):

1. Civics (1790)

2. Community Civics (1970,A.W.Dunn) 3. Civic Education (1901, Harold Wilson)

4. Civic-Citizenship Education (1945, John Mahoney) 5. Civic Citizenship Education (1971, NCSS)

Pelajaran Civics mulai diperkenalkan pada tahun 1970 di Amerika Serikat dalam rangka meng-Amerikakan bangsa Amerika atau terkenal dengan theory of Americanization. Penerbitan majalah “The Citizen” dan “Civics” pada tahun 1886, Henry Randall Waite merumuskan Civic dengan “the science of citizenship - the relation of man, the individual, to man in organized collections – the individual in his relation to the state, creshore, education”(Somantri, 1975:31).

Penjelasan mengenai Civic mempunyai kesamaan yang sama yaitu membahas mengenai “government” hak dan kewajiban sebagai warga negara akan tetapi, arti Civic dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi “government” saja, kemudian dikenal dengan istilah Community Civics,

(6)

tahun 1970 dipelopori oleh W.A Dunn adalah untuk menghadapkan pelajar pada lingkungan atau kehidupan sehari – hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional maupun internasional. Gerakan “Community Civics” disebabkan pula karena pelajaran civics pada waktu itu hanya

mempelajari konstitusi dan pemerintah saja, akan tetapi kurang memperhatikan lingkungan sosial.

Selain gerakan Community Civics, timbul pula gerakan Civic education atau banyak disebut pula sebagai Citizenship Education.

Ruang lingkup Civics Education (Somantri, 1975:33), antara lain: a) Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah

b) Civis Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebuh baik dalam masyarakat demokratis.

c) Dalam Civic Education termasuk pula hal – hal yang menyangkut, pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat – syarat obyektif hidup bernegara.

NCSS (Somantri,1975:33) merumuskan mengenai Citizenship Education sebagai berikut :

Citizenship Education is aproses comprising all the positive influences which are intended ti shape a citizhen view to his role in society. It comes partly from learning outside the classroom and the home. Through Citizenship Education, our youth are helped to again an understanding of our national ideas, the common good, and the prosess of the self government”.

(7)

digunakan untuk membantu generasi muda memperoleh pemahaman cita – cita nasional / tujuan negara dan dapat mengambil keputusan yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah pribadi, masyarakat dan negara. Unsur – unsur Civic Education dapat menjadi acuan bagi para pelajar, antara lain: mengetahui, memahami dan mengapresiasikan cita – cita nasional, dan dapat membuat keputusan – keputusan yang cerdas.

Kuhn (Winataputra dan Budimansyah, 2007:71) menyatakan bahwa perkembangan istilah Civic education di Indonesia terjadi pada tahun :

1) Kewarganegaraan (1957), membahas cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan.

2) Civics (1962), tampil dalam bentuk indoktrinasi politik.

3) Pendidikan Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan kewarganegaraan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial.

4) Pendidikan Kewargaan Negara (1960) tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi ketetapan MPRS.

5) Pendidikan kewargaan Negara (1973) yang diidentikan dengan pengajaran IPS.

6) Pendidikan moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil menggantikan PKn dengan isi pembahasan P4.

7) Pendidikan Pancasila kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pamcasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari pancasila dan P4.

3. Tujuan dan fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

Menurut Branson (1997:7) tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara, dan nasional. Tujuan pembelajaran PKn dalam Depdiknas (2006:49) adalah untuk memeberikan kompetensi sebagai berikut :

(8)

b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter – karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa – bangsa lain.

d. Berinteraksi dengan bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pembelajaran PKn secara umum mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam lingkungan lokal, regional, maupun global. Sedangkan tujuan Pkn menurut Djahiri (Dalam Supardi, 2010) adalah sebagai berikut :

1. Secara umum Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung kehidupan pencapaian pendidikan nasional yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.

2. Secara khusus Tujuan Pkn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari – hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan YME dalam masyarakat yang terdiri dari golongan agama, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan dan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.

(9)

bernegara membentuk diri berdasarkan karakter – karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain.

Sedangkan menurut Sapriya (2000), tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah :

“Partisipasi yang penuh nalar dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai – nilai dan prinsip – prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan inteletktual serta keterampilan untuk beperan serta. Partisipasi yang efektif dan tanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melaluai pengembangan disposisi atau watak – watak tertentu yang tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsi sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat‟‟.

Berdasarkan pendapat tersebut maka PKn memiliki tujuan agar siswa memiliki pengetahuan tentang politik sebelum terjun dalam prosesnya. Untuk itu melalui PKn siswa didik agar memahami tentang politik. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan sebuah pembelajaran yang berusaha membina para siswa menjadi manusia dimasa depan yang akan hidup dengan nilai – nilai Pancasila, Undang – undang Dasar 1945, serta mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara menjadi yang baik, yang dapat di lukiskan “warga negara yang patriotik, toleran, setia

tehadap bangsa dan negara, beragama, demokratis pancasila sejati” (Somantri,

(10)

dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berfikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

Upaya agar tujuan Pkn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja, maka harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30), yang meliputi:

1. Ilmu pengetahuan, meliputi hirarki: fakta, konsep dan generaliasai teori

2. Keterampilan intelektual

a) Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai;

b) Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan bertanya dan mengetahui masalah, (b) keterampilan merumuskan hipotesis, (c) keterampilan mengumpulkan data, (d) keterampilan menafsirkan dan menganalisis data, (e) keterampilan menguji hipotesis, (f) keterampilan merumuskan generalisasi, (g) keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.

3. Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal – soal efektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dijabarkan

4. Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial yaitu keterampilan yang dapat memberikan kemungkinann kepada siswa untuk secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari – hari, Dufty (Nauman Somantri, 1975:30) mengkerangkakan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan (a) konsep dasar, generalisasi, konesp atau topik PKn, (b) tujuan Instruksional, (c) konstruksi tes beserta penilaiannya.

(11)

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa PKn sebagai program pengajaran yang tidak hanya sosok programan pola KBM yang mengaju pada aspek kogntif saja, melainkan secara utuh dan menyeluruh yakni mencakup aspek aspek afektif dan psikomotorik. Selain aspek – aspek tersebut PKn juga mengembangkan pendidikan nilai.

4. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan

Karakteristik merupakan suatu ciri khas yang menunjukkan adanya perbedaan dengan lainnya, begitu pula pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang memiliki karakteristik yang membedakan dengan mata pelajaran yang lainnya yang diajarkan disekolahan pada umumnya. Adapun karakteristik pendidikan kewarganegaraaan menurut Branson, (1999:4) materi pendidikan kewarganegaraan harus mencakup tiga komponen, yaitu yaitu Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic Skill (kecakapan kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak–watak kewarganegaraan).

Komponen pertama Civic Knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara” (Branson,

(12)

misal merancang dialog dengan DPRD. Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajiban dibidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui.

Ketiga Civic Dispotition (watak–watak kewarganegaraan) merupakan dimensi yang paling subtantif dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai “muara” dari

pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif.

Berdasarkan rumusan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan antara lain menyatakan antara lain menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, pada jenjang pendidikan menengah, terdiri dari atas lima kelompok mata pelajaran. PKn juga termasuk dalam kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian. Kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik dan status, hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.

(13)

kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Dalam penjelasan pasal 37 Ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

5. Kurikulum dan bahan Ajar pendidikan kewarganegaraan

Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu didesentralisasikan terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaan yang disesuaikan dengan tuntunan kebutuhan siswa, sarana dan prasarana sekolah. Dengan demikian, sekolah memiliki kewenangan untuk merancang dan menentukan materi ajar, pengalaman belajar, dan penilaian hasil belajar.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasioanal yang disusun dan dilaksanakan oleh masing – masing satuan pendidikan. Di dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan:

1. Kurikulum dan silabus SD/ MI/ SDLB/ Paket A, atatu bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan membaca, dan menulis kecakapan berhitung serta kemampuan berkomunikasi (pasal 6 ayat 6)

2. Sekolah dan komite sekolah, atatu madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkankerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah sepervisi Dinas Pendidikan Kabupaten/ kota yang bertanggung jawab terhadap pendidikan untuk TK/ SD/ SMP/ SMA/ SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintah di bidang agama untuk MI, MTs, MA, MAK (Pasal 17 ayat2)

(14)

Bahan ajar memiliki peran yang penting dalam pembelajaran termasuk dalam pembelajaran PKn. Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek – aspek sebagai berikut (Depkniknas, 2006:49) :

1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebangsaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan Jaminan Keadilan.

2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku dalam masyarakat, Peraturan – peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan, berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.

3. Hak asasi manusia meliputi : Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.

4. Kebutuhan Warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat , Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara. 5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi Kemerdekaan dan

konstitusi yang pertama, Konstitusi – konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi.

6. Kekuasaan dan Politik, meliputi: pemerintahan desa dan pemerintahahn daerah dan otonomi, pemerintahan pusat, Demokrasi dan madani, sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi.

7. Pancasila meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan idiologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan sehari – hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.

(15)

B. Hakikat pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

1. Prinsip dasar Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Prinsip dasar pembelajaran PKn mengenai pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran. Menurut pendapat Budimansyah (2002: 8) prinsip–prinsip pembelajaran tersebut adalah prinsip belajar siswa aktif (student active learning), kelompok belajar kooperatif (cooperative learning), pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang reaktif (reactive learning). Selanjutnya keempat prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah, 2002: 8 – 13):

a. Prinsip Belajar Siswa Aktif

Model ini menganut prinsip belajar siswa aktif, Aktifitas siswa hamper diseluruh proses pembelajaran dari mulai fase perencanaan dikelas, kegiatan lapangan dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktivitas siswa terlihat pada saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brain storming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya, disamping itu tentu saja yang berkaitan tentang materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas.

(16)

membuat sketsa, membuat kliping, bahkan adakalanya mengabadikan peristiwa penting dalam video.

b. Kelompok Belajar Kooperatif

Proses pembelajaran PKn juga menerapkan prinsip belajar kooperatif yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antar siswa dan antar komponen – komponen lain disekolah, termasuk kerja sama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait. Kerjasama antar siswa jelas terlihat pada saat kelas sidah memilih satu masalah untuk bahan kajian bersama.

Dengan komponen – komponen sekolah lainnya juga seringkali harus dilakukan kerjasama. Misalnya pada saat para siswa hendak mengumpulkan data dan informasi lapangan sepulang daei sekolah, bersamaan waktunya dengan jadwal latihan olahraga yang diundur atau kunjungan lapangan yang diubah. Kasus seperti itu memerlukan kerjasama, walaupun dalam lingkup kecil dan sederhana. Hal serupa juga seringkali terjadi dengan pihak keluarga. Orang tua juga perlu diberi pemahaman, manakala anaknya pulang agak terlambat dari sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu. Sekali lagi, dari peristiwa ini pun tampak perlu kerjasama antar sekolah dengan orang tua dalam upaya membangun kesepahaman.

(17)

kantor bupati atau wali kota untuk mengetahui kebijakan mengenai peneriban pedagang kaki lima, mengamati dampak pembuangan limbah pabrik pada suatu kawasan tertentu, dan sebagai. Kegiatan para siswa tentu saja perlu dibeli surat pengantar dari kepala sekolah selaku penanggung jawab kegiatan sekolah.

c. Pembelajaran Partisipatorik

Selain prinsip pembelajaran di atas, PKn juga menganut prinsip dasar pembelajaran partisipatorik, sebab melalui model ini siswa belajar sambil melakoni (learning be doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi. Sebab, dalam langkah model ini memiliki makna yang ada hubungannya dengan praktik hidup berdemokrasi.

Sebagai contoh pada saat memilih masalah untuk kajian kelas memilih makna bahwa siswa dapat menghargai dan menerima pendapat yang didukung suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik dengan kepala dingin. Proses ini mendukung adagium yang menyatakan bahwa “democracy is not inheredity but learning” (demokrasi itu tidak

diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami).

(18)

dapat dicapai dengan belajar sambil melakoni atau dengan kata lain harus menggunakan prinsip belajar partisipatorik.

d. Mengajar yang Reaktif

Prinsip ini lebih menekankan bagaimana guru menciptakan strategi agar peserta didik mempunyai motivasi belajar. Guru harus mempunyai sensitifitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakh kegiatan pembelajaran sudah membosankan dan jika hal ini terjadi guru harus segera mencari cara untuk menanggulanginya.

2. Materi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Materi pemebalajarn merupakan substansi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran (Djamarah dan Zain, 2002:50). Materi pembelajaran merupakan komponen penting dalam semua proses pembelajaran, termasuk proses pembelajaran PKn. Guru mempunyai tugas yang penting dalam mengembangkan dan memperkaya materi pembelajaran, karena hal tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Menurut Djamarah dan Zain (2002:51) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pembelajaran yaitu:

a) Materi pembelajaran hendaknya sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.

b) Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa pada umumnya.

c) Materi pembelajaram hendaknya disesuaikan terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan.

(19)

Berdasarkan hal tersebut, maka materi pembelajaran PKn harus mengacu pada kompetensi yang ingin dicapai. Materi yang diajarkan harus bermakna bagi siswa dan merupakan bahan – bahan yang benar – benar penting, baik, dilihat dari kompetensi yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk menentukan materi pada proses pembelajaran berikutnya. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, Print dalam Sunarso (2006:11) berpendapat bahwa isi Pendidikan Kewarganegaraan prinsipnya adalah: 1) hak dan tanggung jawab warga negara, 2) pemerintah dan lembaga–lembaga, 3) sejarah dan konstitusi, 4) identitas nasional, 5) system hukum dan rule of law, 6) hak asasi manusia, hak-hak politik, ekonomi dan sosial, 7) proses dan prinsip – prinsip demokrasi, 8) wawasan internasional, 9) nilai–nilai kewarganegaraan demokrasi.

Hal tersebut sejalan dan dipertegas dengan ruang lingkup materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan yang meliputi aspek sebagai berikut :

1. Persatuan dan Kesatuan bangsa , meliputi Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah pemuda, Keutuhan Negara Kesayuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.

2. Norma hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan – peraturan daerah, Norma – norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.

(20)

internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.

4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara. 5. Kekuasaan dan Politik meliputi: Pemerintahan desa dan

kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya Politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi.

6. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamaln nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan sehari – hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.

7. Globalisasi, meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.

3. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia yang dalam konteks internasional dikategorikan ke dalam kelompok citizenship education Asia-Afrika yang masih berada pada titik minimal yakni education about citizenship sudah seharusnya menggunakan strategi progresif menuju titik maksimal, yakni education for citizenship melalui titik median education through citizenship (Kerr, 1999).

Paino (2007: 35) mengemukakan bahwa:

(21)

Target pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selama ini menitikberatkan pada pembekalan yang bersifat hafalan, materinya terdiri atas doktrin Negara, sistem politik, norma, yuridis formal, hak dan kewajiban, dan tanggung jawab warga negara yang akhirnya menjadi suatu tatanan dari sejumlah kewajiban/ keharusan. Pada dasarnya Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai hakikat yaitu upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara, dengan tujuan untuk mewujudkan warga negara sadar bela negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa (Tohir, 2010).

(22)

memahami/ mengkaji ulang tentang makna dan hakekat mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

4. Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Djahiri (1995/1996: 28) dalam bukunya “Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT”, bahwa metode merupakan kumpulan sejumlah teknik. Terdapat beberapa metode dalam pembelajaran PKn yang dikemukakan Djahiri (1985:36), antara lain:

a. Ceramah (lecturing)

Pada umumnya metode pembelajaran memerlukan ceramah, sehingga tidaklah benar pernyataan bahwa metode ini jelek dan harus dibuang. Akan tetapi, yang harus dihindari adalah penggunaan metode ceramah selama satu jam pelajaran penuh terus menerus dengan memakai pola ceramah murni yang naratif, monoton dan bersifat normatif imperatif.

Sedangkan kelebihan metode ceramah menurut Suryosubroto (dalam Taniredja, dkk 2011: 48) adalah:

1) Guru dapat menguasai seluruh arah kelas. 2) Organisasi kelas sederhana.

Kelemahan metode ceramah antara lain:

 Guru sukar mengetahui sampai dimana murid-murid telah mengerti pembicaraannya.

 Murid sering kali memberi pengertian lain dari hal yang dimaksud guru.

b. Metode Pengajaran Konsep (teaching konsep)

(23)

1) Data adalah realita yang ada, kejadian, atau hal baik fisik-non fisik, materil-immateril, dan personal-kondisional.

2) Fakta adalah sejumlah data yang memiliki keterkaitan menunjuk kepada suatu konsep.

3) Konsep adalah label/ nama/ istilah yang merupakan rangkaian sejumlah fakta menuju suatu pengertian/makna isi pesan dan atau fungsi peran atau harga/ nilai. Jadi, konsep merupakan sesuatu yang memiliki cirri esensial tertentu.

c. Metode Tanya Jawab

Metode Tanya jawab ini dianggap memiliki kadar CBSA yang tinggi, karena pertanyaan akan menggugah dan mengundang potensi diri siswa.

d. Diskusi dan Kelompok Belajar

Ciri khas dari diskusi sebagai pola kegiatan belajar mengajar yakni demokratis. Metode diskusi mengundang dan melibatkan banyak orang serta tidak ada dominasi seseorang, memiliki indicator CBSA yang tinggi karena meminta daya analisis dan evaluatif terhadap masalah yang dilontarkan atau tanggapan dan sanggahan terhadap orang lain. Djahiri (1995/1996: 53) mengungkapkan bahwa diskusi adalah kegiatan belajar siswa dialogistik sacara intra potensi diri antar potensi orang lain serta potensi dunia keilmuan dan kehidupan.

Bentuk-bentuk diskusi menurut Djahiri (1995/1996, 58) antara lain: 1) Diskusi kelas

2) Diskusi kelompok 3) Diskusi panel 4) Seminar 5) Lokakarya

(24)

mengemukakan bahwa “kelompok belajar yang sesuai dengan pembelajaran

PKn adalah kelompok belajar kooperatif”.

5. Media Pembelajaran

Kata “media” berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk

jamak dari kata “medium”, yang secara harifah berarti “perantara atau

pengantar”. Dengan demikian, media merupakan wahana penyalur informasi

belajar atau penyalur pesan (Djamarah dan Zain, 2010 : 120).

Sedangkan media pembelajaran menurut Shofyan (2010) merupakan “segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran agar dapat

merangsang pikiran, perasaan, minat dan perhatian siswa sehingga proses interaksi komunikasi eduksi antara guru (atau pembuat media) dan siswa dapat berlangsung secara tepat dan berdayaguna‟‟.

Media pengajaran harus dibedakan dengan sumber pengajaran. Djahiri (1995/1996: 31) mengemukakan bahwa sumber pembelajaran merupakan tempat di mana butir mata pelajaran dan media bisa dilihat, diperoleh dan dikaji seperti buku, perpustakaan, media cetak, kehidupan nyata, dan lain-lain. Sedangkan media pembelajaran lebih diutamakan pada fungsi dan perannya.

Djahiri (1995/1996) mengemukakan bahwa dengan adanya media pembelajaran diharapkan dapat berperan untuk:

1) Menjadi fasilitator proses Kegiatan Belajar Siswa dan peningkatan Hasil Belajar Real.

2) Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses Kegiatan Mengajar Guru interaktif-reaktif.

(25)

4) Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran dan keberhasilan pengajaran.

5) meningkatkan proses KBM secara efektif, efisien dan optimal. 6) Menyegarkan KBM.

Jenis dan bentuk media yang ditemukan oleh Djamarah dan Zain (2010 : 124 – 126) antara lain:

a. Dilihat dari Jenisnya, Media dibagi kedalam: 1). Media Auditif

Media Auditif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio, cassette recorder, piringan hitam. Media ini tidak cocok untuk orang tuli atau yang mempunyai kelainan pedengaran.

2). Media Visual

Media Visual adalah media yang hanya mengandalkan indera penglihatan. Media visual ini ada yang menampilkan gambar diam seperti film strip (film rangkai), slides (film bingkai) foto, gambar atau lukisan, dan cetakan. Adapula media visual yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film bisu, dan film kartun.

3). Media Audiovisual

Media audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua.

Media ini dibagi kedalam:

a) Audiovisual diam, yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam seperti film bingkai suara (sound slides), film rangkai suara, dan cetak suara.

b) Audiovisual gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video-cassatte.

Pembagian lain dari media ini adalah:

a) Audiovisual murni, yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar berasal dari satu sumber seperti film video-cassatte, dan

(26)

b. Dilihat dari Daya Liputnya, Media dibagi dalam: 1) Media dengan Daya Liput Luas dan Serentak

Penggunaan media ini tidak terbatas oleh tempat dan ruang serta dapat menjangkau jumlah anak didik yang banyak dalam waktu yang sama.Contoh: radio dan televisi.

2) Batas oleh Ruang Media dengan Daya Liput yang Terbatas oleh Ruang dan Tempat.

Media ini dalam penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat yang khusus seperti film, sound slide, film rangkai yang harus menggunakan tempat yang tertutup dan gelap. 3) Media untuk Pengajaran Individual

Media ini penggunaannya hanya untuk seorang diri. Yang termasuk media ini adalah modul berprogram dan pengajaran melalui komputer.

c. Dilihat dari bahasa Pembuatannya, media dibagi dalam: 1) Media Sederhana

Media ini bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya murah, cara pembuatnnya mudah dan penggunaannya tidak sulit.

2) Media Kompleks

Media ini adalah media yang bahan dan alat pembuatannya sulit diperoleh dan mahal harganya, sulit membuatnya sulit diperoleh serta mahal harganya, sulit membuatnya, dan penggunaannya memerlukan ketrampilan yang memadahi.

Penggunaan media ini harusnya menjadi pertimbangan guru ketika akan memilih dan menggunakan media yang tepat untuk digunakan dalam pengajaran.

6. Sumber Belajar

Menurut Winataputra dan Ardiwinata (Djamarah dan Zain, 2010 : 48) sumber belajar adalah sebagai “sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai

tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang”.

(27)

digunakan sebagai wahana peserta didik untuk melakukan proses perubahan tingkah laku.

Roestiyah (Djamarah dan Zain, 2010: 48-49) mengatakan bahwa sumber-sumber belajar itu adalah:

a. Manusia ( dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat). b. Buku/Perpustakaan.

c. Media Massa (majalah, surat kabar, radio, televisi, dan lain-lain). d. Dalam Lingkungan.

e. Alat pengajaran ( buku pelajaran, peta, gambar, kaset, tape, papan tulis, kapur, spidol dan lain-lain).

f. Museum ( tempat penyimpanan benda-benda kuno).

Sumber belajar akan menjadi bermakna bagi peserta didik maupun guru apabila sumber belajar diorganisir melalui satu rancangan yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkan sumber belajar.

7. Evaluasi Pembelajaran

Menurut Wand and Brown (Djamarah dan Zain, 2010: 50), evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Berkaitan dengan evaluasi pembelajaran, evaluasi dilakuakn pada kegiatan akhir dalam bentuk refleksi dan praktek pembelajaran.Dalam mengevaluasi pembelajaran guru sebaiknya mengadakan berbagai macam penilaian.Mulai dari ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester.

(28)

a. Tujuan umum dari evaluasi adalah:

4) Mengumpulkan data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

5) Memungkinkan pendidik/guru menilai aktivitas/pengalaman yang didapat.

6) Menilai metode mengajar yang dipergunakan. b. Tujuan khusus dari evaluasi adalah:

1) Merangsang kegiatan siswa

2) Menemukan sebab-sebab kemajuan atau kegagalan

3) Memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan bakat siswa yang bersangkutan.

C. Hakikat tentang Kesadaran Hukum

1. Pengertian Kesadaran Hukum

Masalah mengenai kesadaran hukum ini pada awalnya timbul sehubungan dengan usaha untuk mencari dasar dari pada sahnya suatu peraturan hukum sebagai akibat dari berbagai masalah yang timbul dalam rangka penerapan suatu ketentuan hukum. Selanjutnya hal ini berkembang dan menimbulkan suatu problema dalam dasar sahnya suatu ketentuan hukum, apakah berdasar pada perintah pihak penguasa atau berdasar pada kesadaran dari masyarakat? Permasalahan tersebut timbul karena dalam kenyataan di masyarakat banyak sekali ketentuan-ketentuan hukum yang tidak ditaati oleh masyarakat.

(29)

hukum yang diterapkan dengan kesadaran hukum dari masyarakat, maka peraturan itu sendiri harus rasional dan dilaksakan dengan prosedur yang teratur dan wajar. Kesadaran hukum merupakan interdepedensi mental dan moral yang masing-masing tergantung pada egonya manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, Widjaya (1984: xviii) mengemukakan bahwa :

Kesadaran hukum merupakan keadaan dimana tidak terdapatnya benturan-benturan hidup dalam masyarakat. Masyarakat dalam kehidupan seimbang, serasi dan selaras. Kesadaran hukum diterima sebagai kesadaran bukan diterima sebagai paksaan, walaupun ada pengekangan dari luar diri manusia atau masyarakat sendiri dalam bentuk perundang-undangan.

Selain itu juga, purbacaraka dan Soekanto (1985:9) mengartikan kesadaran hukum sebagai “keyakinan/ kesadaran akan kedamaian pergaulan

hidup yang menjadi landasan regel mating (keajegan) maupun beslissigen (keputusan) itu dapat dikatakan sebagai wadahnya jalinan hukum yang mengendap dalam sanubari manusia”. Kedua batasan tersebut, dengan jelas

menyebutkan bahwa kesadaran hukum itu merupakan kepatuhan untuk melaksanakan ketentuan hukum tidak hanya bergantung pada pengertian dan pengetahuan, tetapi lebih diutamakan terhadap sikap dan kepribadian untuk mewujudkan suatu bentuk perilaku yang sadar hukum. Lebih jelas Paul Scholten (Mertokusumo, 1984:2) menjelaskan bahwa kesadaran hukum adalah:

(30)

Berdasarkan pendapat di atas, kesadaran hukum merupakan kesadaran yang terdapat dalam diri manusia terhadap hukum yang ada, yaitu yang akan di manifestasikan dalam bentuk kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum. Melalui proses kejiwaan, manusia membedakan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Pendapat Paul Scholten ini dipertegas oleh pendapat Soekanto (1982:152) yang mengemukakan bahwa “kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran

atau nilai-nilai yang terdapat di dalam dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada”.

Apabila masyarakat tidak sadar hukum, maka hal ini harus menjadi kajian bagi pembentuk dan penegak hukum. Ketidakpatuhan terhadap hukum dapat disebabkan oleh dua hal yaitu :

a. Pelanggaran hukum oleh si pelanggar sudah dianggap sebagai kebiasaan bahkan kebutuhan.

b. Hukum yang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kehidupan.

(31)

formal (tertulis) dalam lingkup hukum nasional, akan tetapi hukum tersebut seringkali dijadikan dasar dalam menentukan suatu tindakan.

Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat.

2. Indikator Kesadaran Hukum

Setiap manusia yang normal mempunyai kesadaran hukum, masalahnya adalah taraf kesadaran hukum tersebut, yaitu ada yang tinggi, sedang dan rendah (Salman, 1989:56).

Menurut pendapat beberapa ahli ada beberapa indikator dalam kesadaran hukum. Beberapa ahli hukum yang telah mengemukakan pendapatnya Menurut Seokanto Kesadaran hukum (1982:152) didefinisikan sebagai berikut:

Kesadaran hukum merupakan kesadaran akan nilai – nilai yang terdapat didalam diri manusia tentang ada dan tentang hukum yang diharapkan ada. Kesadaran hukum merupakan konsepsi – konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya.

(32)

Mengacu pada pendapat Soekanto (1982:159) indikator kesadaran hukum mencakup hal – hal sebagai berikut :

1. Pengetahuan tentang peraturan – peraturan hukum (law awarence) adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu hukum yang dimaksud adalah hukum yang tertulis dan tidak tertulis Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang tidak dilarang oleh hukum (Salman, 1989:40). Soekanto (1993:72) mengungkapkan bahwa pengetahuan hukum tertentu dalam wujud peraturan mengenai bidang – bidang kehidupan tertentu merupakan salah satu petunjuk akan adanya kesadaran hukum yang minimal. Dengan demikian jika seseorang telah memiliki pengetahuan hukum tertentu maka diharapkan akan timbul kesadaran dalam dirinya untuk mematuhi hukum tersebut.

2). Pemahaman tentang isi peraturan hukum (law acquentence) Pemahaman hukum menurut Salman (1989:57) adalah : “Sejumlah informasi yang dimiliki seseorang” mengenai isi peraturan dan suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya di atur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahaman hukum, tidak disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur suatu hal akan tetapi yang dilihat disini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal yang ada kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Pemahaman ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.

3). Sikap terhadap peraturan – peraturan hukum (legal attitude) Sikap dapat dikatakan suatu kecenderungan seseorang untuk bertindak berkenaan dengan objek tertentu. Menurut Salman (1989:58) Sikap hukum diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan masyarakat terhadap hukum yang sesuai nilai-nilai yang ada pada dirinya sehingga akhirnya masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.

4). Pola perilaku hukum (legal behavior)

(33)

seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari perilaku hukum (Salman, 1993:42).

Sedangkan menurut Achmad Sanusi (1994:227) kesadaran hukum itu merupakan daya atau potensi yang unsur – unsur :

1. Persepsi, pengenalan, pengetahuan, ingatan dan pengertian tentang hukum termasuk konsekuensinya.

2. Harapan kepercayaan kegunaan serta member perlindungan dengan jaminanannya dengan kepastian dan rasa keadilan.

3. Perasaan perlu dan butuh akan jasa – jasa hukum karena itu tersedia menghormatinya.

4. Perasaan takut dan kawatir melanggar hukum dan arena itu berusaha menghormatinya.

5. Orientasi kesanggupan kemauan baik, sikap, perhaian dan kesediaan.

Menurut pendapatnya B. Kurtechinchy (Soekanto, 1987:159) unsur – unsur kesadaran hukum adalah:

1. Pengetahuan tentang peraturan – peraturan hukum 2. Pengetahuan tentang isi peraturan – peraturan hukum 3. Sikap terhadap peraturan hukum

4. Pola – pola perilaku hukum.

(34)

Gambar

gambar berasal dari satu sumber seperti film video-

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi pendidikan politik sangat penting sebab pendidikan politik meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kehidupan politik yang pada giliranya akan

Untuk dapat berperan secara aktif tersebut diperlukan pengetahuan tentang konsep fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan dengan substansi

“misi sosio -pedagosis adalah mengembangkan potensi individu sebagai insan Tuhan dan makhluk sosial menjadi warga negara yang cerdas, demokratis, taat hukum,

Tiga kompetensi warga negara ini sejalan dengan tiga komponen kewarganegaraan yang baik, yaitu pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan

Perancangan adalah suatu proses perencanaan atau penggambaran dari beberapa komponen yang terpisah kedalam satu kesatuan yang utuh untuk menganalisis, menilai,

Sugihartono (2007:81) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisasi

Meningkatkan Kesadaran Hukum Berlalu Lintas Siswa SMA Negeri 3 Cirebon”. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui 1) Peran sekolah dalam. meningkatkan kesadaran

adalah untuk mengetahui 1) Nilai-nilai demokrasi yang diimplementasikan dalam pembelajaran IPS di SMP Diponegoro Majenang; 2) Proses pembelajaran IPS yang