• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA DI KABUPATEN NATUNA KHAIRUNNAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA DI KABUPATEN NATUNA KHAIRUNNAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA

DI KABUPATEN NATUNA

KHAIRUNNAS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir yang berjudul Strategi Pengembangan Kesempatan Kerja Di Kabupaten Natuna adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing. Belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari kutipan baik karya yang diterbitkan maupun belum dari penulis lain telah dicantumkan dalam teks dan daftar pustaka tugas akhir ini.

Bogor, April 2011

Khairunnas NRP H252090165

(3)

ABSTRACT

KHAIRUNNAS, 2011, Strategy of Employment Development Opportunities in Natuna Regency. Under the supervision of LALA M KOLOPAKING as the chairman, LUKMAN M BAGA as the member of Supervisor committee.

The purpose of this study is to analyze the result of supplies and local manpower qualification. In addition, strategy and employment developing

program through SWOT and Road Map Strategy is formulated. Local inhabitants manpower age prediction on the period of inhabitants productive domination. PDRB based on constant price of 2000 is assumed higher, especially in agriculture sector will be amounting to 618 milliards rupiahs in 2015 with total manpower expectation 38.340 manpower. Employment which are available in Natuna due to Riau and Kepri development, consisting 8.887 manpower, industrial collaborated component is 2.407 manpower, competitive potential component is 2.172 so that the total of available Employment will be 13.467 laborers from 2002 till 2009. Location Quotient (LQ) analysis indicates the result that in 2009, Natuna possesses four based sectors, they are agriculture, construction, service and collaborated sectors (minning and quarrying, electricity, gas and water). Among others the formulation strategy conducted through SWOT and Road Map are the local economy development based on marine and the fisheries and the enpowerment of the productive age populations is to support the development of agroindustry through three main clusters tor the coming five years in achieving sustainable employment development program to develop Natuna Regency.

(4)

RINGKASAN

KHAIRUNNAS, 2011. Strategi Pengembangan Kesempatan Kerja Di Kabupaten Natuna. Dibimbing oleh LALA M KOLOPAKING sebagai ketua, LUKMAN M BAGA sebagai anggota komisi pembimbing.

Kabupaten Natuna merupakan daerah tertinggal di Provinsi Kepulauan Riau. Daerah tertinggal harus melakukan perubahan yang mendasar dalam membangun daerah untuk mengejar ketertinggalan dan ketergantungan. Salah satu cara yang paling efektif adalah mengembangkan kesempatan kerja melalui pendekatan ekonomi lokal berbasis perikanan dan kelautan. Kabupaten Natuna memiliki potensi perikanan dan kelautan yang belum dimanfaatkan secara optimal serta belum mampu menjadi pengungkit perekonomian daerah.

Tujuan umum dari kajian ini adalah untuk merumuskan strategi pengembangan kesempatan kerja di Kabupaten Natuna. Tujuan spesifik adalah: (1). Mengkaji ketersediaan dan kebutuhan tenagakerja daerah, (2). Mengkaji kondisi kesempatan kerja, (3). Mengkaji tingkat pengangguran dan pembangunan Base Camp Blok D-Alpha Natuna di Kabupaten Natuna. Metode analisis yang

digunakan dalam kajian adalah Analisis Regresi Linier Sederhana, Analisis Shift Share, Analisis Location Quotient, Analisis Pengganda Basis Lapangan

Kerja dan Analisis Deskriptif. Untuk merumuskan strategi digunakan metode Analisis SWOT, untuk menentukan prioritas, jangka waktu pelaksanaan dan program digunakan Metode Road Map Strategy.

Berdasarkan hasil kajian ini menunjukkan bahwa diperkirakan penduduk usia kerja di Kabupaten Natuna akan didominasi kelompok produktif umur 25-29 tahun sebesar 15.720 orang pada tahun 2015. Perekonomian Kabupaten Natuna diperkirakan mengalami pertumbuhan yang positif dan signifikan dengan perkiraan jumlah PDRB sebesar Rp. 912,315 milyar dengan kebutuhan tenagakerja sebesar 73.794 orang. Perubahan kesempatan kerja per sektor di Kabupaten Natuna terhadap kesempatan kerja Provinsi Riau dan Kepri menunjukkan pergeseran yang positif selama kurun waktu tahun 2002 dan 2009. Laju pertumbuhan kesempatan kerja wilayah Provinsi Riau dan Kepulauan Riau sebesar 33 persen telah menciptakan kesempatan kerja sebesar 8.887 orang. Pengaruh bauran industri Provinsi Riau dan Kepulauan Riau telah menciptakan kesempatan kerja sebesar 2.421 orang, sedangkan dampak dari keunggulan kompetitif Kabupaten Natuna menciptakan kesempatan kerja baru sebesar 2.172 orang. Pada tahun 2009 jumlah pengangguran terbuka di Kabupaten Natuna sebesar 3.632 orang, yang sebagian besar berjenis kelamin perempuan, berdomisili di perdesaan bergolongan umur antara 15 sampai dengan 24 tahun. Dampak pembangunan Base Camp Blok D-Alpha Natuna akan menciptakan lapangan pekerjaan baru dan dampak perekonomian. Penganggur terbuka Kabupaten Natuna memiliki keterampilan dan pendidikan yang kurang memadai, untuk itu diperlukan penyiapan tenagakerja yang terampil dengan mengadakan kursus dan pelatihan yang dibutuhkan perusahaan yang mengelola minyak dan gas Blok D-Alpha Natuna. Pemerintah perlu pro aktif dalam kerjasama dengan Pertamina dan Exxon Mobil (perusahaan pengelola minyak dan gas Blok D-Alpha

(5)

Natuna) untuk menyiapkan sarana dan prasarana balai latihan kerja yang mendukung pembangunan ekonomi lokal dan agroindustri.

Strategi yang harus dilaksanakan untuk pengembangan kesempatan kerja untuk membangun daerah Kabupaten Natuna, adalah: Strategi penyerapan tenagakerja, revitalisasi balai latihan kerja, pemberdayaan penduduk usia produktif guna mendukung pembangunan agroindustri, pengembangan ekonomi lokal berbasis kelautan dan perikanan, peningkatan kerjasama ketenagakerjaan antara Kabupaten Natuna dan Kabupaten Sambas, peningkatan kerjasama perguruan tinggi dan daerah, peningkatan LKS (Lembaga Kerja Sama) Tripartit daerah, dan peningkatan perlindungan kesejahteraan pekerja/ buruh. Road Map Strategy membantu memetakan jalan dan tujuan dalam pengembangan kesempatan kerja di Kabupaten Natuna melalui time frame periode 5 tahunan, dengan tujuan ketersediaan dan mutu tenaga kerja daerah, pengembangan kerjasama kelembagaan tenaga kerja, dan pengembangan hubungan industrial ketenagakerjaan. Meningkatkan pembangunan ekonomi berbasis perikanan dan kelautan Pemerintah Kabupaten Natuna perlu memanfaatkan penduduk usia produktif dengan menyiapkan pelatihan-pelatihan dan training sesuai dengan kebutuhan tenagakerja daerah yang dimiliki, guna mengantisipasi pembangunan Base Camp Blok D-Alpha Natuna, dengan mengembangkan sektor basis yakni: sektor pertanian, sektor bangunan, sektor jasa dan gabungan dua sektor (sektor pertambangan dan penggalian dan sektor listrik, gas dan air bersih). Meningkatkan koordinasi antar satuan kerja perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna yang terlibat dalam pelaksanaan program pengembangan kesempatan kerja untuk mencapai program pengembangan kesempatan kerja untuk membangun daerah Kabupaten Natuna yang berkelanjutan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(6)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

©Hak Cipta miliki IPB, Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.

(7)

STRATEGI PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA

DI KABUPATEN NATUNA

KHAIRUNNAS

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(8)
(9)

Judul Tugas Akhir : Strategi Pengembangan Kesempatan Kerja Di Kabupaten Natuna Nama : Khairunnas NRP : H252090165 Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M Kolopaking, MS Ketua

Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya, sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Natuna Propinsi Kepulauan Riau sejak Bulan Februari 2011 sampai dengan Bulan April 2011 adalah ketenagakerjaan, dengan judul Strategi Pengembangan Kesempatan Kerja Di Kabupaten Natuna.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Lala M Kolopaking, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Lukman M Baga, MA.Ec selaku anggota komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada dosen-dosen, pimpinan dan pengelola Program Magister Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bupati Natuna, yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, isteri dan anak-anak tercinta beserta seluruh keluarga besar yang telah banyak mendorong, memberi semangat, dan perhatian sampai selesainya pendidikan ini. Tak lupa kepada teman-teman yang tak dapat disebut satu persatu, diucapkan terimakasih.

Semoga tugas akhir ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Pinang Provinsi Kepulauan Riau pada tanggal 01 Januari 1975 dari Ayah H. Idrus M. Thahar (Alm) dan Ibu Hj. Zariah Hamzah. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri 01 Ranai Kabupaten Natuna. Pada tahun 1994 penulis diterima di Universitas Riau Pekanbaru melalui tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada Fakultas Ekonomi Jurusan IESP (Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan). Pada tahun 2009, penulis melanjutkan kuliah pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkan pada tahun 2011.

Jabatan terakhir penulis sebelum berangkat tugas belajar adalah sebagai Kepala Seksi Jaminan Sosial pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Natuna. Penulis menikah dengan Nuraminah pada 22 Desember 2001 dan

dikarunia tiga putra, masing-masing Annisa Al Humaira, Septa Aulia dan Najla Az zahra.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Persediaan Tenagakerja Daerah ... 8

2.2. Kebutuhan Tenagakerja Daerah ... 10

2.3. Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi ... 13

2.3.1. Dampak Sektor Basis Terhadap Lapangan Kerja ... 14

2.3.2. Sumberdaya Manusia Belum Dimanfaatkan ... 15

2.4. Penyediaan Lapangan Kerja Dalam Pembangunan Daerah ... 20

2.5. Pembangunan Ekonomi Lokal Menciptakan Lapangan Kerja ... 22

2.6. Penyerapan Tenagakerja Agroindustri ... 23

2.7. Wisata Bahari Pendekatan Partisipatif Masyarakat Pesisir ... 24

2.8. Peningkatan Kesempatan Kerja Melalui Penanaman Modal .... 25

2.9. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 25

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 29

3.1. Kerangka Pemikiran kajian ... 29

3.2. Lokasi dan Waktu Kajian ... 32

3.3. Metode Kajian ... 32

3.3.1. Sasaran Kajian dan Teknik Sampling ... 32

3.3.2. Metode Pengumpulan Data ... 33

3.3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 33

3.3.3.1. Analisis Regresi Linier Sederhana ... 33

3.3.3.2. Analisis Shift Share (SS) ... 34

3.3.3.3. Analisis Location Quotient (LQ) ... 35

3.3.3.4. Pengganda Basis Lapangan Kerja ... 37

(13)

3.4. Metode Perumusan Strategi dan Program ... 38

3.4.1. Analisis SWOT ... 38

3.4.2. Road Map Strategy ... 39

4. KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN NATUNA ... 40

4.1. Kondisi Geografis dan Administrasi ... 40

4.2. Visi dan Misi Kabupaten Natuna ... 42

4.3 Sarana dan Prasarana Daerah ... 44

4.4. Perekonomian Kabupaten Natuna ... 45

4.5. Investasi Gas Natuna ... 46

4.6. Rencana Pembangunan Base Camp Blok D-Alpha Natuna ... 46

4.7. Kependudukan Kabupaten Natuna ... 48

4.7.1. Jumlah, Distribusi dan Kepadatan Penduduk ... 49

4.7.2. Struktur Penduduk ... 50

4.8. Keragaan Ketenagakerjaan Kabupaten Natuna ... 51

4.9. Strategi dan Kebijakan Ketenagakerjaan Kabupaten Natuna .... 55

5. ANALISIS KETENAGAKERJAAN KABUPATEN NATUNA ... 61

5.1. Analisis Persediaan dan Kebutuhan Tenagakerja Daerah ... 61

5.2. Kesempatan Kerja pendekatan Ekonomi Lokal ... 66

5.3. Pemberdayaan Penganggur Terbuka guna Mengantisipasi Pembangunan Base Camp Blok D-Alpha Natuna ... 73

6. STRATEGI PENGEMBANGAN KESEMPATAN KERJA KABUPATEN NATUNA ... 81

6.1. Identifikasi SWOT Pengembangan Kesempatan Kerja ... 81

6.1.1. Identifikasi Kekuatan (Strengths) ... 81

6.1.2. Identifikasi Kelemahan (Weaknesses) ... 84

6.1.3. Identifikasi Peluang (Opportunities) ... 87

6.1.4. Identifikasi Ancaman (Threats) ... 91

6.2. Perumusan Strategi ... 94

6.2.1. Strategi SO (Agressive Strategies) ... 95

6.2.2. Strategi ST (Diversification Strategies) ... 96

6.2.3. Strategi WT (Defensive Strategies) ... 97

6.2.4. Strategi WO (Turn-Arround Strategies) ... 97

6.3. Road Map Strategy Pengembangan Kesempatan Kerja ... 99

6.4. Pembentukan Cluster dalam Road Map Strategy ... 101

(14)

7. KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

7.1. Kesimpulan ... 107

7.2. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perkembangan Persentase Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha Pertanian dan Jasa di Kabupaten Natuna

Tahun 2002 - 2009 ... 2

2. Perbandingan Tingkat Pengangguran Nasional, Provinsi Kepri, dan Kabupaten Natuna Tahun 2008 – 2009 ... 4

3. Distribusi Responden Kajian ... 32

4. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Natuna Tahun 2005 - 2007 ... 45

5. Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kabupaten Natuna Tahun 2005-2007 ... 51

6. Perkembangan Penduduk dan Tenagakerja di Kabupaten Natuna Tahun 2005 - 2007 ... 53

7. Banyaknya Penduduk 15 Tahun Ke Atas Berdasarkan Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja di Kabupaten Natuna Tahun 2008 ... 53

8. Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan tertinggi di Kabupaten Natuna Tahun 2005-2007 ... 54

9. Struktur Penduduk Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Natuna Tahun 2005-2007 ... 57

10. Proyeksi Penduduk Usia Kerja Menurut Golongan Umur di Kabupaten Natuna Tahun 2012 - 2015 ... 61

11. Proyeksi Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Natuna Tahun 2012 - 2015 ... 62

12. Proyeksi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Angkatan Kerja di Kabupaten Natuna Tahun 2012 - 2015 ... 63

13. Proyeksi PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Natuna Tahun 2013 – 2015 (Milyar) ... 64

(16)

14. Proyeksi Struktur Penduduk Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Natuna Tahun 2013 - 2015... 65

15. Perubahan Kesempatan Kerja per Sektor di Kabupaten Natuna, Provinsi Riau dan Kepri Tahun 2002 - 2009 ... 67

16. Analisis Shift Share Kesempatan Kerja di Kabupaten Natuna Tahun 2002 - 2009 ... 68

17. Koofisien Location Quotient (LQ) Kesempatan Kerja di Kabupaten Natuna Tahun 2002 - 2009... 69

18. Angka Pengganda Basis Lapangan Kerja di Kabupaten Natuna Tahun 2002 - 2009 ... 70

19. Fokus dan Pendekatan Pengembangan Ekonomi Lokal ... 71 20. Penganggur Terbuka Menurut Golongan Umur dan Pendidikan

di Kabupaten Natuna Bulan Agustus Tahun 2009 ... 74 21. Penganggur Terbuka Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin

di Kabupaten Natuna Bulan Agustus Tahun 2009 ... 75 22. Penganggur Terbuka Menurut Kategori dan Jenis Kelamin

di Kabupaten Natuna Bulan Agustus Tahun 2009 ... 76

23. Penganggur Terbuka Menurut Golongan Umur dan Daerah di Kabupaten Natuna Bulan Agustus Tahun 2009 ... 77 24. Rancangan Program Pengembangan Kesempatan Kerja

Untuk Membangun Daerah Kabupaten Natuna ... 106

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja ... 17

2. Konsep Pengangguran ... 20

3. Kerangka Pemikiran Kajian ... 31

4. Matrik Analisis SWOT ... 39

5. Peta Wilayah Provinsi Kepulauan Riau ... 41

6. Diagram Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per Kecamatan di Kabupaten Natuna Tahun 2008 ... 50

7. Matrik SWOT Pengembangan Kesempatan Kerja di Kabupaten Natuna ... 94

8. Road Map Strategi Pengembangan Kesempatan Kerja Untuk Membangun Daerah Kabupaten Natuna ... 100

                               

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Yang Bekerja Pada

Lapangan Usaha di Kabupaten Natuna Tahun 2002 - 2009 ... 114

2. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Yang Bekerja Pada Lapangan Usaha di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau Tahun 2002 – 2009 ... 115

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kesempatan kerja merupakan lapangan pekerjaan atau kesempatan yang tersedia untuk bekerja akibat dari suatu kegiatan ekonomi atau produksi (Depnakertrans, 2007). Tujuan kegiatan ekonomi untuk mengejar perkembangan ekonomi yang berkualitas yang mampu menyerap tenagakerja yang banyak. Istilah perkembangan ekonomi diperuntukkan kepada negara sedang berkembang, menurut Schumpeter dalam Jhingan (2008) perkembangan ekonomi adalah perubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya. Menurut Jhingan (2008) perkembangan ekonomi harus diukur dalam arti kenaikan pendapatan nasional nyata dalam suatu jangka panjang. Para ahli sepakat mempergunakan pendapatan nasional riil per kapita sebagai ukuran perkembangan ekonomi.

Membahas ekonomi ketenagakerjaan memerlukan data dari disiplin ilmu demografi, sosial, politik, budaya dan geografi, membahas pergerakan pendudukan yang dianggap sebagai tenagakerja (manpower) pada suatu wilayah atau daerah. Penduduk Kabupaten Natuna mendiami wilayah geografis yang khas, berada di Laut Cina Selatan dimana sebagian besar terdiri dari perairan seluas 138.700 km2 dan daratan berbentuk kepulauan seluas 3.200 km2 dengan ketinggian 3 sampai dengan 959 mdpl (meter dari permukaan laut). Pertanian merupakan salah satu potensi ekonomi utama di Kabupaten Natuna yang dapat menggerakan ekonomi daerah, terutama sub sektor perikanan yang merupakan potensi terbesar di wilayah ini. Perkembangan persentase kesempatan kerja pada lapangan usaha di Kabupaten Natuna didominasi oleh sektor pertanian dengan kontribusi rata-rata sebesar 60 persen per tahun diikuti sektor jasa rata-rata sebesar 18 persen per tahun (sebagaimana tersaji Tabel 1).

Kabupaten Natuna memiliki potensi perikanan dan kelautan terdiri dari potensi yang dapat pulih (renewable resources) antara lain sumberdaya ikan, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan potensi tidak dapat pulih (unrewable resources) seperti mineral, minyak dan lain-lain. Tercatat potensi

(20)

perikanan di Laut Cina Selatan adalah 361.430 ton/tahun (RPJM, 2008). Dalam mengelola sumberdaya alam baik minyak dan gas bumi di Kabupaten Natuna terdapat tiga perusahaan besar yang tergabung dalam West Natuna Consortium (WNC) yakni: perusahaan Conoco Phiilips, Premeir Oil, dan Star Energy yang telah beroperasi rata-rata sejak belasan tahun yang lalu. Penduduk Kabupaten Natuna mayoritas bersuku Melayu, dan sebagian kecil Jawa, Batak, Minang dan warga keturunan Tionghoa. Mereka hidup rukun dan damai dalam membangun daerah Kabupaten Natuna.

Tabel 1. Perkembangan Persentase Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha Pertanian dan Jasa Di Kabupaten Natuna Tahun 2002 - 2009

Sumber : BPS Natuna, 2010

Kabupaten Natuna dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor: 53 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten/ Kota di Lingkungan Propinsi Riau, yang diresmikan Menteri Dalam Negeri (ad-interim) Feisal Tanjung pada tanggal 12 Oktober 1999. Sejak saat itu pula pembangunan otonomi daerah Kabupaten Natuna mulai dijalankan. Dampak pembangunan yang memusat di Kabupaten Natuna ini menyebabkan migrasinya penduduk pendatang dari daerah sekitarnya seperti dari Tanjung Pinang, Batam dan bahkan dari Provinsi Kalimantan Barat. Migrasi ini dilatarbelakangi untuk mencari pekerjaan yang layak di kabupaten yang baru dimekarkan. Faktanya penduduk migran sulit mendapatkan pekerjaan yang diinginkan, karena minimnya informasi peluang kesempatan kerja.

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pertanian Jasa‐Jasa

(21)

Perusahaan-perusahaan minyak terbesar yang diinformasikan banyak menyerap peluang kerja, tidak pernah mendaftar peluang kesempatan yang ada diperusahaan mereka pada Dinsosnaker (Dinas Sosial dan Tenagakerja) Kabupaten Natuna. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam penyampaian informasi peluang dan penempatan tenagakerja pada pencari kerja yang mendaftar. Dinsosnaker Kabupaten Natuna tidak mengetahui jumlah tenaga, kualifikasi tenagakerja yang dibutuhkan perusahaan.

Kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk menciptakan sumber-sumber ekonomi atau produksi dalam menyerap kesempatan kerja. Sumberdaya manusia memiliki pendidikan dan keterampilan yang relatif rendah sehingga minim inovasi dan kreasi dalam menciptakan sumber-sumber ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang rendah menyebabkan rendahnya pemanfaatan tenagakerja yang ada, maka mengakibatkan penganggur terbuka maupun penganggur terselubung.

Menurut Adioetomo et al (2010) konsep pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang pada saat pencacahan sedang aktif mencari pekerjaan. Kategori pengangguran terbuka menurut Sakernas (2006), yakni: penduduk yang mencari pekerjaan, mempersiapkan pekerjaan, tidak mencari pekerjaan (karena tidak mungkin mendapatkan pekerjaan/ discouraged worker) dan sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Menurut data tahun 2009 tingkat pengangguran di Kabupaten Natuna relatif tinggi, bila dibandingkan dengan tingkat pengangguran nasional maupun Provinsi Kepulauan Riau sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 2.

Dengan melihat potensi sumberdaya alam, potensi kelautan dan perikanan serta kekayaan bahan tambang minyak dan gas alam yang terbesar didunia, perkembangan kontribusi kesempatan kerja pada lapangan usaha dari tahun 2002 sampai dengan 2009, serta tingginya tingkat pengangguran terbuka yang terjadi pada tahun 2009 di Kabupaten Natuna, maka diperlukan sebuah kajian, ”Strategi apa yang perlu dirumuskan dalam upaya Pengembangan Kesempatan Kerja di Kabupaten Natuna?”

(22)

Tabel 2. Perbandingan Tingkat Pengangguran Nasional, Provinsi Kepri dan Kabupaten Natuna Tahun 2008 – 2009.

Sumber : Depnakertrans RI, 2010

1.2 Perumusan Masalah

Untuk merumuskan strategi pengembangan kualitas tenagakerja di Kabupaten Natuna, sebagai institusi wewenang di bidang ketenagakerjaan yakni Dinsosnaker masih menghadapi kendala belum ada kajian spesifik terkait dengan kesempatan kerja. Namun pada tahun 2008 Dinsosnaker pernah mengadakan kegiatan penyusunan profil ketenagakerjaan Kabupaten Natuna. Informasi akan persediaan tenagakerja yang menggambarkan angkatan kerja yang tersedia, dengan berbagai karakteristiknya, serta informasi kebutuhan tenagakerja yang merefleksikan angkatan kerja yang diperlukan untuk mengisi kesempatan kerja belum tersedia. Untuk menghadapi permasalahan tersebut pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan Permen Nomor 15 tahun 2007 tentang perhitungan kesediaan dan kebutuhan tenagakerja di daerah. Informasi perencanaan yang sistematis yang dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan dalam kajian ini yang pertama adalah: “Bagaimana ketersediaan dan kebutuhan ketenagakerjaan di Kabupaten Natuna?” 0% 1% 2% 3% 4% 5% 6% 7% 8% 9% 10%

Nasional  Kepri Natuna

2008 2009

(23)

Pemerintah Kabupaten Natuna yang memiliki potensi kelautan perlu lebih kreatif dalam menyusun perencanaan daerah dalam menciptakan lapangan pekerjaan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Bertambahnya jumlah penduduk usia kerja berpengaruh pada penyediaan tenagakerja. Penawaran tenagakerja yang tinggi tanpa diikuti penyediaan kesempatan kerja yang cukup akan menimbulkan pengangguran dan setengah pengangguran. Kondisi yang dihadapi Kabupaten Natuna belum tersedianya lapangan kerja yang memadai.

Jumlah pencari kerja (pencaker) yang terdaftar pada Dinsosnaker Kabupaten Natuna sejak tahun 2001 sampai dengan 2008 mengalami perkembangan yang fluktuatif. Pencari kerja mengalami peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2004 sebesar 1.466 pencaker, sedangkan yang paling kecil terjadi pada tahun 2007 sebesar 446 pencaker. Rendahnya kesempatan kerja di Kabupaten Natuna dapat dilihat berdasarkan data dari tahun 2001-2008 dengan nihilnya permintaan tenagakerja yang ada dari pihak-pihak swasta. Sedangkan bila melihat serapan tenagakerja usia 15 tahun ke atas berdasarkan lapangan usaha, hanya dua sektor besar yang dapat menyerap tenagakerja yakni sektor sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan kedua kajian ini adalah,” Bagaimana Kondisi Kesempatan Kerja di Kabupaten Natuna?”

Isu pembangunan base camp Blok D-Alpha di Kabupaten Natuna atas pengelolaan gas terbesar di dunia ini menimbulkan ketegangan antar daerah yang memiliki berbatasan langsung secara geografis yakni Kabupaten Natuna dan Kabupaten Sambas Provinsi Kalbar. Masing-masing daerah mengklaim rencana pembangunan base camp tersebut akan dibangun di daerahnya. Namun sampai saat ini belum ada ketetapan dari pemerintah pusat tentang daerah mana yang akan dibangun. Rencana pembangunan base camp ini memerlukan kesiapan daerah baik dari sisi persiapan lahan maupun dari penyediaan tenagakerja. Oleh karena itu masalah ketenagakerjaan dan kesempatan kerja merupakan masalah strategis yang menjadi perhatian pemerintah daerah terutama pemerintah daerah Kabupaten Natuna

(24)

Pengelolaan sumberdaya alam memerlukan sumberdaya manusia dan tenagakerja yang profesional. Rendahnya kesempatan kerja, rendahnya produktivitas dan rendahnya kualitas tenagakerja yang ada menjadi permasalahan yang harus segera dituntaskan di daerah Kabupaten Natuna. Berdasarkan data perkembangan persentase kesempatan kerja menurut lapangan usaha pertanian dan Jasa-jasa di Kabupaten Natuna tahun 2001 sampai 2009 menunjukkan tren yang menurun, pertanian menyerap rata-rata 58 persen per tahun sedangkan jasa-jasa menyerap 18 persen dalam setahun. Tingkat pengangguran di Kabupaten Natuna cendrung meningkat di tahun 2009 menjadi 8,5 persen bila dibandingkan tahun sebelumnya. Tingkat Pengangguran ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan Kepri (6,8 persen) dan Nasional (6,9 persen). Bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas, maka pertanyaan kajian ketiga adalah, “Bagaimana mengidentifikasi pengangguran terbuka dan rencana pembangunan base camp Natuna Blok D-Alpha di Kabupaten Natuna?”

Mengidentifikasi ketersediaan ketenagakerjaan, menganalisis kesempatan kerja berdasarkan pendekatan ekonomi basis, mengidentifikasi pengangguran terbuka dan rencana dampak pembangunan base camp Blok D-Alpha di Kabupaten Natuna adalah merupakan tiga pertanyaan spesifik kajian dalam kajian pembangunan daerah ini. Hasil analisis dari jawaban pertanyaan akan dijadikan masukan dalam perumusan strategi dan perancangan program. Maka pertanyaan kajian keempat adalah,” Strategi dan perancangan program apa yang perlu dirumuskan dalam pengembangan kesempatan kerja di Kabupaten Natuna?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tujuan kajian ini adalah: 1. Mengkaji ketersediaan dan kebutuhan tenagakerja di Kabupaten Natuna.

2. Mengkaji kondisi kesempatan kerja di Kabupaten Natuna.

3. Mengkaji tingkat pengangguran dan pembangunan base camp Blok D-Alpha di Kabupaten Natuna.

4. Merumuskan strategi dan program pengembangan kesempatan kerja di Kabupaten Natuna.

(25)

Manfaat

Kajian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah, pihak-pihak terkait, dan khususnya Dinsosnaker Kabupaten Natuna dalam mengembangkan kesempatan kerja di Kabupaten Natuna. Selain itu sebagai bahan/ dasar bagi pengembangan kajian berikutnya.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persediaan Tenagakerja Daerah

Sumberdaya manusia atau human resources mengandung dua pengertian, pertama, sumberdaya manusia (SDM) mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal ini SDM mencerminkan kualitas usaha yang diberikan oleh seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Pengertian yang mengandung aspek kuantitas dan kualitas. Ekonomi sumberdaya manusia juga menerangkan bagaimana memanfaatkan SDM sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan barang atau jasa sebanyak mungkin sesuai kebutuhan masyarakat. Faktor-faktor yang dibicarakan dalam ekonomi sumberdaya manusia, faktor yang mempengaruhi penyediaan tenagakerja, permintaan tenagakerja, pasar kerja dimana terjadi proses mempertemukan lowongan kerja dan pencari kerja (Arfida, 2003).

Pembangunan bidang ketenagakerjaan masih menghadapi berbagai permasalahan antara lain tingginya tingkat pengangguran, terbatasnya penciptaan dan perluasan kesempatan kerja, rendahnya produktivitas pekerja/ buruh. Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan suatu perencanaan tenagakerja secara optimal, produktif guna mendukung pembangunan ekonomi atau sosial secara nasional, daerah, maupun sektoral sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh. Persediaan tenagakerja adalah angkatan kerja yang tersedia dengan berbagai karakteristiknya (Depnakertrans, 2010).

Menurut Rusli (1995) Angkatan kerja (labour force) merupakan konsep yang memperlihatkan economically active population, sedangkan bukan angkatan kerja adalah mereka yang tergolong non economically active population. Konsep manpower juga menunjuk pada labour force ini berbeda dengan penduduk usia kerja, karena tak semua penduduk usia kerja tergolong dalam angkatan kerja.

(27)

Ukuran angkatan kerja L tergantung pada ukuran jumlah penduduk yang berusia layak kerja (age-eligible population, yaitu P, dan keseluruhan tingkat partisipasi angkatan kerja L/P, persentase penduduk yang berusia layak kerja yang memilih untuk ikut dalam angkatan kerja (Bellante and Jackson, 1983) :

L = P (L/P)

Penduduk yang berusia layak kerja dirumuskan sebagai semua individu secara tidak dilembagakan berusia 16 tahun atau lebih tua. Tidak dilembagakan artinya individu-individu itu tidak berada dalam penjara atau lembaga perawatan mental, atau menurut cara lainnya yang bertentangan dengan pelembagaan. Usia 16 tahun sampai batas tertentu memang bersifat arbitrer. (Sampai 1967 usia minimun adalah 14 tahun). Akan tetapi bagian dari penduduk yang berusia 16 tahun atau lebih itulah yang kebanyakan cendrung melakukan pilihan dalam status angkatan kerja (Bellante dan Jackson, 1983).

Individu-individu berpartisipasi angkatan kerja bersifat terputus-putus dikenal dengan istilah pekerja sekunder (secondary workers). Sebagai lawannya, sejumlah individu seperti halnya kaum laki-laki dan kaum wanita sebagai kepala rumah tangga serta banyak kaum laki-laki dan kaum wanita secara tunggal sebagai individu cenderung untuk tetap tinggal dalam angkatan kerja, baik sebagai tenagakerja yang digunakan maupun sebagai tenagakerja yang menganggur, tanpa pandang bulu terhadap upah dan kondisi pasar kerja lainnya. Individu yang partisipasi angkatan kerjanya tidak mengikuti kecendrungan perubahan karena upah dan lain-lain perubahan kondisi pasar, dikenal dengan sebutan pekerja primer (primary workers) (Bellante dan Jackson, 1983).

Secara umum reit partisipasi angkatan kerja dapat dinyatakan sebagai jumlah penduduk yang tergolong angkatan kerja per 100 penduduk usia kerja. Jika

penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk 10-64 tahun, maka (Rusli, 1995) :

Reit Partisipasi Angkatan kerja (RPAK)

= Jumlah Angkatan Kerja X 100 Penduduk 10-64 tahun

(28)

Dengan cara yang sama reit partisipasi angkatan kerja dapat dihitung untuk tiap golongan umur dan jenis kelamin, misalnya untuk penduduk laki-laki golongan umur 15-19 tahun.

RPAK m 15-19 =

Angkatan kerja laki-laki 15-19 tahun

X 100 Penduduk laki-laki 15-19 tahun

Selain untuk tiap golongan umur dan jenis kelamin, reit partisipasi angkatan kerja dapat pula dihitung untuk lain-lain karakteristik penduduk seperti daerah tempat tinggal (perdesaan-perkotaan), status perkawinan, dan tingkat pendidikan. Reit partispasi angkatan kerja umumnya rendah atau agak rendah pada usia muda dan tua. Sebagian mereka yang berusia muda masih bersekolah, sedangkan pada usia tua telah tidak bekerja ataupun mencari pekerjaan (Rusli, 1995).

Konsep angkatan kerja yang paling luas ialah angkatan kerja menyeluruh atau total labor force, yang dirumuskan sebagai keseluruhan angkatan kerja dari semua individu yang tidak dilembagakan berusia 16 tahun atau lebih tua dalam satu minggu yang mana saja, termasuk angkatan militer, baik yang tenaganya digunakan maupun tidak digunakan. Angkatan kerja sipil dirumuskan dengan cara yang sama, yang di dalam dikecualikan tenagakerja militer. Maka angkatan kerja sipil tiada lain adalah jumlah yang terdiri dari dua komponen mereka yang tenaganya digunakan maupun yang tidak digunakan. (Bellante dan Jackson, 1983).

2.2 Kebutuhan Tenagakerja Daerah

Kebutuhan tenagakerja adalah angkatan kerja yang diperlukan untuk mengisi kesempatan kerja yang tersedia, dengan berbagai karakteristiknya. (Depnakertrans, 2010). Analisis permintaan tenagakerja didasarkan atas asumsi bahwa permintaan pasar tenagakerja diturunkan dari permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang dibutuhkan. Tenagakerja diminta karena kemampuannya menghasilkan barang dan jasa. Dengan demikian, analisis permintaan tenagakerja biasanya didasarkan pada teori produktivitas tenagakerja (Arfida, 2003).

(29)

Permintaan adalah suatu hubungan antara harga dan kuantitas. Apabila kita membicarakan permintaan akan suatu komoditi, merupakan hubungan antara harga dan kuantitas komoditi yang para pembeli bersedia untuk membelinya. Sehubungan dengan tenagakerja, permintaan adalah hubungan antara tingkat upah (yang ditilik dari perspektif seorang majikan adalah harga tenagakerja) dan kuantitas tenagakerja yang dikehendaki oleh majikan untuk dipekerjakan (dalam hal ini dapat dikatakan, dibeli). Secara khusus, suatu kurva permintaan mengGambarkan jumlah maksimum tenagakerja yang seorang pengusaha bersedia untuk mempekerjakan pada setiap kemungkinan tingkat upah dalam jangka waktu tertentu. Secara alternatif kurva permintaan tenagakerja haruslah ditilik sebagai suatu kerangka alternatif yang dapat diperoleh pada suatu titik tertentu yang ditetapkan pada suatu waktu (Bellante dan Jackson, 1983).

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Di sini, proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Para teoritikus ilmu ekonomi pembangunan masa kini, masih terus menyempurnakan makna, hakikat, dan konsep pertumbuhan ekonomi. Para teoritikus tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan, kebahagiaan, rasa aman, dan tenteram yang dirasakan masyarakat luas Boediono (1985) dan Arsyad (1999) dalam Kuncoro (2004).

Strategi dan kebijaksanaan yang telah diambil pada masa lalu perlu dimonitor dan dievaluasi hasil-hasilnya untuk keperluan tersebut. Berbagai data statistik yang bersifat kuantitatif diperlukan untuk memberikan gambaran tentang keadaan pada masa lalu dan masa kini, serta sasaran-sasaran yang akan dicapai pada masa yang akan datang. Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan usaha, pemerataan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan hubungan ekonomi regional dan melalui pergeseran struktural kegiatan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Dengan perkataan lain bahwa arah dari pembangunan ekonomi adalah

(30)

mengusahakan agar pendapatan masyarakat naik, disertai dengan tingkat pemerataan yang sebaik mungkin (widodo, 2006).

Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakat, perlu disajikan statistik pendapatan nasional/ regional secara berkala, untuk digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan nasional atau regional khususnya dibidang ekonomi. Angka-angka pendapatan nasional/ regional dapat dipakai juga sebagai bahan evaluasi dari hasil pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik pemerintah pusat/ daerah, maupun swasta. Pembangunan disegala bidang telah menjangkau seluruh pelosok tanah air. Aktivitas tersebut memerlukan data PDRB sesuai dengan batas-batas wilayah administrasi pemerintahan untuk perencanaan, sekaligus evaluasi hasilnya khususnya bidang ekonomi (Widodo, 2006).

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam periode tertentu adalah data PDRB, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah (Value Added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir (neto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar. PDRB atas dasar harga yang berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi, sedangkan perhitungan atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi riil dari tahun ke tahun, dimana faktor perubahan harga telah dikeluarkan (Widodo, 2006)

Dengan menggunakan data sensus penduduk, jumlah penduduk yang bekerja biasanya dipandang mencerminkan jumlah kesempatan kerja yang ada. Dalam pengertian ini kesempatan kerja bukanlah lapangan pekerjaan yang masih terbuka, walaupun komponen yang terakhir ini akan menambah kesempatan kerja yang ada diwaktu yang akan datang. Memang mungkin pada suatu waktu lapangan pekerjaan yang masih terbuka cukup banyak, sementara

(31)

jumlah pencari kerja (penganggur) banyak pula. Hal ini karena kurang baiknya distribusi lapangan pekerjaan yang masih terbuka itu bertalian dengan pola penyebaran penduduk, ataupun karena alasan lain seperti faktor keterampilan/ keahlian dari para pencari kerja (Rusli, 1995).

Penggolongan lapangan pekerjaan (industry) yang biasa dipakai seperti dalam sensus penduduk 1971 dan 1980 terdiri dari (Rusli, 1995):

1. Pertanian, Perburuan, Kehutanan dan Perikanan (Agriculture, hunting, forestry and fishing).

2. Pertambangan dan Penggalian (minning and quarriying). 3. Industri Pengolahan (Manufacturing).

4. Listrik, gas dan air (Electricity). 5. Bangunan (Contruction).

6. Perdagangan, rumah makan, dan hotel (Wholesale and Retail Trade, Restaurants and hotels).

7. Pengangkutan, penyimpanan/ pergudangan dan komunikasi (transport, storage, and communication).

8. Keuangan, asuransi dan perdagangan benda tak bergerak/ usaha persewaan bangunan, tanah, jasa, perusahaan (financing, innsurance, real estate and business services).

2.3 Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi

Strategi pembangunan harus berdasarkan pada kepadatan penduduk sebagai karakteristik dasar yang membedakan Indonesia dengan negara berkembang lainnya. Tanpa memahami karakteristik kepadatan penduduk selama berabad-abad telah memunculkan pola kemiskinan tradisional yang menolak teknologi padat modal dari barat yang dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Maka apabila ingin berhasil dalam strategi pengembangan kesempatan kerja haruslah (Cahyono, 1983) :

1). Bisa meningkatkan upah kelompok penghasilan rendah, baik di desa maupun di kota-kota.

(32)

2). Bisa meningkatkan pemakaian mesin kecil-kecil untuk meningkatkan produktivitas.

3). Bisa mengadakan pergeseran-pergeseran orang dari sektor marjinal/ informal ke sektor yang lebih produktif.

Proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, faktor ekonomi dan non ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara tergantung pada sumberdaya alam, manusia, modal, usaha, teknologi, dan sebagainya. Semua itu merupakan faktor ekonomi. Tetapi pertumbuhan ekonomi tidak mungkin terjadi selama lembaga sosial, kondisi politik, dan nilai-nilai moral dalam suatu bangsa tidak menunjang. Pertumbuhan ekonomi, lembaga sosial, sikap budaya, nilai moral, kondisi politik dan kelembagaan merupakan faktor non ekonomi. Menurut, Profesor Bauer dalam Jhingan (2008) bahwa penentuan utama pertumbuhan ekonomi adalah bakat, kemampuan, kualitas, kapasitas dan kacakapan, sikap, adat-istiadat, nilai, tujuan dan motivasi, serta struktur politik dan kelembagaan.

2.3.1 Dampak Sektor Basis Terhadap Lapangan Kerja

Teori ekonomi basis mula-mula diperkenalkan oleh Douglas C. North pada tahun 1956. Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. Bila daerah yang bersangkutan dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai keuntungan kompetitif sebagai basis untuk ekspor, maka pertumbuhan daerah yang bersangkutan akan dapat ditingkatkan. Hal ini akan terjadi karena peningkatan ekspor tersebut akan memberikan dampak berganda (multiplier effect) kepada perekonomian daerah (Syafrizal, 2008).

Menurut teori basis ekonomi (economic base theory) bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan kegiatan non basis. Hanya kegiatan basis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Tarigan, 2005).

(33)

Dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah menjual produk/ jasa ke luar wilayah baik ke wilayah lain dalam negara itu maupun ke luar negeri. Tenagakerja yang berdomisili di wilayah kita, tetapi bekerja dan memperoleh uang dari wilayah lain termasuk dalam pengertian ekspor. Pada dasarnya kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah disebut kegiatan basis. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat exogenous (tidak bergantung pada kekuatan intern/ permintaan lokal) (Tarigan, 2005).

Semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk ke dalam kegiatan/ sektor service atau pelayanan, tetapi untuk tidak menciptakan pengertian yang keliru tentang arti service disebut saja sektor non basis. Sektor non basis adalah untuk memenuhi kebutuhan lokal, permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat. Oleh sebab itu, kenaikannya sejalan dengan kenaikan pendapatan masyarakat setempat. Dengan demikian, sektor ini terikat terhadap kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah. Atas dasar anggapan di atas, satu-satunya sektor yang bisa meningkatkan perekonomian wilayah melebihi pertumbuhan alamiah adalah sektor basis (Tarigan, 2005).

2.3.2 Sumberdaya Manusia yang Belum Dimanfaatkan

Besarnya penyediaan tenagakerja dalam masyarakat adalah jumlah orang yang menawarkan jasanya dalam proses produksi. Dimana diantara mereka sebagian sudah aktif dalam kegiatannya menghasilkan barang dan jasa (bekerja), dan sebagian lagi mereka yang siap bekerja dan sedang mencari pekerjaan (pencari kerja atau penganggur). Jumlah orang yang bekerja tergantung dari besarnya permintaan dalam masyarakat, dimana permintaan dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan tingkat upah. Proses terjadinya hubungan kerja melalui penyediaan dan penawaran tenagakerja tersebut dinamakan pasar kerja. Besarnya jumlah orang yang bekerja dipengaruhi oleh kekuatan penyediaan dan permintaan. Sedangkan penyediaan dan permintaan akan tenagakerja dipengaruhi oleh tingkat upah yang berlaku.

(34)

Berdasarkan teori klasik dijelaskan bahwa pengangguran bersifat sukarela karena tidak sesuainya tingkat upah dengan aspirasi pekerja. Bertambahnya jumlah pengangguran dalam masyarakat terjadi karena menunggu masa transisi dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dalam teori klasik ini disebutkan bahwa untuk mengurangi pengangguran tidak diperlukan intervensi pemerintah, karena pengangguran yang terjadi bersifat sementara. Selain itu unit-unit pelaku ekonomi percaya bahwa upah dan tingkat harga yang fleksibel dapat menyesuaikan diri secara otomatis untuk mencapai titik keseimbangan (ekualibrium) dalam ekonomi. Namun demikian perlu diingat bahwa dalam teori klasik mengansumsikan:

a. Adanya pasar persaingan sempurna dan tiap industri terintegrasi secara vertikal.

b. Tidak ada serikat buruh yang efektif.

c. Terjaminnya mobilitas pekerja antar industri/ perusahaan dan daerah. d. Tersedianya informasi lengkap dan bebas untuk semua pekerja.

Ternyata pada kenyataan pasar persaingan tidak sempurna dan terjadi persaingan monopolistik. Menurut Keynes dalam Simanjuntak (1998) menyatakan bahwa pengangguran di masyarakat terjadi karena kekurangan permintaan umum terhadap barang, jasa dan tingkat upah yang tidak fleksibel di pasar kerja. Berarti dalam perekonomian wilayah yang stagnasi, permintaan akan barang dan jasa dalam masyarakat menurun, akibatnya produksi perusahaan juga menurun dan banyak tenagakerja yang tidak terpakai menjadi penganggur. Turunnya produksi seharusnya diikuti dengan turunnya tingkat upah, akan tetapi karena tingkat upah yang tidak fleksibel menyebabkan peningkatan pengangguran. Dalam hal ini untuk mengembalikan situasi pasar pada keadaan ekulilibrium diperlukan intervensi pemerintah, karena pelaku ekonomi hanya bertindak dalam batas-batas tertentu.

Simanjuntak (1998) dalam ekonomi Neoklasik diasumsikan bahwa penawaran tenagakerja akan bertambah bila tingkat upah bertambah. Hal tersebut digambar oleh garis SS disajikan dalam Gambar 1, sedangkan permintaan terhadap tenagakerja akan berkurang apabila tingkat upah meningkat, hal ini dijelaskan oleh garis DD. Pernyataan tersebut dengan asumsi bahwa semua pihak

(35)

mempunyai informasi yang lengkap mengenai pasar kerja. Teori neoklasik ini beranggapan bahwa penawaran tenagakerja sama dengan permintaan Le. Bila keadaan dimana penawaran tenagakerja sama dengan permintaan tenagakerja berarti tidak terjadi pengangguran. Dalam kenyataannya, titik keseimbangan (E) tidak pernah tercapai karena ketidaksempurnaan informasi pasar kerja serta adanya hambatan-hambatan institusional selalu ada. Pada tingkat upah yang berlaku (Wi), penawaran tenagakerja sebanyak Ls sedangkan permintaan terhadap tenagakerja hanya sebesar Ld. Maka selisih antara Ls dan Ld merupakan jumlah penganggur.

Dalam kaitannya dengan penawaran dengan tenagakerja, pendapatan Neoklasik diatas hanya dapat menggambarkan pekerja total dan penganggur total (Gambar 1) sedangkan pekerja swakarya (self-employed) tidak tergambar secara eksplisit dimana untuk negara-negara berkembang pekerja swakarya harus diperhitungkan. Kelemahan tersebut disempurnakan oleh Squire (1986), yang menyatakan bahwa dalam menyelidiki hubungan konsep-konsep teoritis tentang kelebihan penawaran tenagakerja dan konsep empirikal tentang tingkat pengangguran untuk negara-negara sedang berkembang maka pekerja swakarya harus diperhitungkan secara eksplisit.

Sumber : Simanjuntak, 1998

Gambar 1. Penawaran dan Permintaan Tenagakerja Wage D W1 W2 S o Ld Le Ls E S D Tenagakerja Penempatan Penganggur

(36)

Adapun menurut sebab terjadinya, pengangguran dapat digolongkan menjadi tiga jenis (Simanjuntak, 1985) yaitu:

a. Pengangguran Friksional

Pengangguran friksional adalah pengangguran yang terjadi karena kesulitan temporer dalam mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja yang ada. Kesulitan temporer dapat berbentuk sekedar waktu yang diperlukan selama prosedur pelamaran dan seleksi, atau terjadi karena faktor jarak atau kurangnya informasi. Pengangguran friksional dapat pula terjadi karena kurangnya mobilitas pencari kerja dimana lowongan pekerjaan justeru terdapat bukan di sekitar tempat tinggal pencari kerja. Bentuk ketiga pengangguran friksional terjadi karena pencari kerja tidak mengetahui dimana adanya lowongan pekerjaan dan pengusaha tidak mengetahui dimana tersedianya tenaga-tenaga yang sesuai.

b. Pengangguran Struktural

Pengangguran struktural terjadi karena adanya perubahan dalam struktur atau komposisi perekonomian. Perubahan struktur memerlukan perubahan dalam keterampilan tenagakerja yang dibutuhkan, sedangkan pihak pencari kerja tidak mampu menyesuaikan diri dengan keterampilan baru tersebut. Misalnya dalam suatu pergeseran ekonomi yang cenderung agraris menjadi ekonomi yang cenderung industri, disatu pihak akan terjadi pengurangan tenagakerja di sektor pertanian, dan di pihak lain bertambah kebutuhan di sektor industri. Tenagakerja yang berlebih disektor industri memerlukan tenagakerja dengan keterampilan tertentu, akibatnya tenaga berlebih di sektor pertanian tersebut merupakan pengangguran struktural.

c. Pengangguran Musiman

Pengangguran musiman terjadi karena pergantian musim. Di luar musim panen dan turun sawah banyak orang yang tidak mempunyai kegiatan ekonomis, mereka hanya sekedar menunggu musim yang baru, dan selama masa menunggu tersebut mereka digolongkan sebagai penganggur musiman.

Sedangkan Bellante (1990) menyatakan pengangguran dibedakan menjadi tiga yaitu: Pengangguran friksional, pengangguran struktural dan pengangguran karena kurangnya permintaan barang dan jasa. Arfida (2003) menggolongkan

(37)

pengangguran menjadi enam profil pengangguran, yaitu: Friksional, struktural, siklikal, musiman, teknologi dan kurangnya permintaan agregate.

Penganggur adalah angkatan kerja yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan atau dapat dikatakan penganggur adalah orang yang full timer dalam mencari pekerjaan. Ukuran yang digunakan adalah angka pengangguran terbuka, yaitu persentase angkatan kerja yang mencari pekerjaan terhadap angkatan kerja seluruhnya, konsep ini didasarkan pada labor force approach. Sebenarnya pendekatan ini mempunyai kelemahan, karena klarifikasi yang diajukan masih belum menggambarkan masalah ketenagakerjaan yang sebenarnya. Angka pengangguran terbuka kurang tepat untuk menganalisa masalah ketenagakerjaan di negara berkembang, angka ini lebih sesuai untuk negara maju karena situasi ketenagakerjaan di negara berkembang berbeda dengan kondisi ketenagakerjaan di negara maju (Ananta, 1991), karena di negara berkembang tidak ada tunjangan hidup bagi penganggur dan setengah penganggur serta pekerja di sektor informal.

Myrdal (1968) menyatakan bahwa pengangguran terbuka tidak menggambarkan masalah ketenagakerjaan yang sebenarnya di Asia. Hal tersebut disebabkan karena negara berkembang sebagian besar penduduknya bekerja pada jenis pekerjaan yang tidak berlaku sistem upah atau gaji. Disamping itu tanpa adanya tunjangan penganggur menyebabkan penduduk di negara sedang berkembang tidak mampu untuk menganggur (Arndt dan Sundrum, 1983).

Pengangguran memang belum mencerminkan masalah ketenagakerjaan yang sebenarnya, akan tetapi pengangguran merupakan sebagian dari masalah ketenagakerjaan masih perlu diungkapkan dalam rangka melihat keseimbangan antara kesempatan kerja dan penduduk yang membutuhkan pekerjaan. Disamping itu apabila dilihat dari pemanfaatan angkatan kerja, pengangguran merupakan angkatan kerja yang belum dimanfaatkan sehingga pembahasan pengangguran akan memperjelas potensi sumberdaya yang tidak dimanfaatkan.

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia digunakan pendekatan pemanfaatan angkatan kerja yang kemukakan Hauser (1981), sebagai penyempurnaan kedua pendekatan yang telah dijelaskan di atas. Pendekatan pemanfaatan angkatan kerja dapat dilihat dari aspek jumlah jam kerja, besarnya pendapatan maupun aspek pendidikan terakhir yang ditamatkan. Pendekatan ini membagi angkatan kerja

(38)

menjadi beberapa kelompok yaitu angkatan kerja yang telah dimanfaatkan secara ekonomi dan mereka yang kurang dimanfaatkan. Berdasarkan pendekatan jumlah jam kerja apabila seseorang bekerja kurang dari sejumlah jam kerja normal, akan menghasilkan pekerja yang kurang dimanfaatkan. Sedangkan berdasarkan aspek pendidikan, akan diperoleh apakah jenis pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan pendidikan yang ditamatkan. Secara garis besar dapat tersaji pada Gambar 2.

Sumber : Afrida, 2003 Gambar 2. Konsep Pengangguran

2.4 Penyediaan Lapangan Kerja Dalam Pembangunan Daerah

Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan yang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara yang satu dengan negara yang lain. Penting bagi kita untuk dapat memiliki definisi yang sama dalam mengartikan pembangunan. Secara tradisional, pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk

ANGKATAN KERJA

Penganggur

(Pencari Kerja) Bekerja

Setengah Penganggur Bekerja Penuh

Tidak Kentara Bekerja 15 ≤ a < 35 jam Kentara

Bekerja < 15 Jam

(39)

Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto suatu provinsi, kabupaten, atau kota.

Namun, muncul kemudian sebuah alternatif definisi pembangunan ekonomi yang lebih luas menekankan pada peningkatan pendapatan per kapita. Definisi ini menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang dapat melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi. Kontribusi pertanian mulai digantikan dengan kontribusi industri. Definisi yang cenderung melihat kuantitatif dari pembangunan ini dipandang perlu melihat indikator-indikator sosial yang ada (Kuncoro, 2004).

Menurut Widodo (2006) proses pembangunan berdasar atas pandangan tradisional ini masih menyisakan berbagai permasalahan seperti pengangguran, kesenjangan pendapatan dan ketidakpastian perbaikan pendapatan riil sebagian besar penduduknya. Dilatarbelakangi permasalahan yang belum dapat diatasi oleh pembangunan yang demikian, muncul istilah sudut pandang yang kedua mengenai pengertian pembangunan yang kemudian dikenal dengan istilah pembangunan modern. Pada sudut pandang ini, pembangunan dilihat sebagai upaya pembangunan yang tidak lagi menitikberatkan pada pertumbuhan PDB sebagai tujuan akhir, melainkan pengurangan (atau dalam bentuk ekstrimnya penghapusan) tingkat kemiskinan yang terjadi, penanggulangan ketimpangan pendapatan serta penyediaan lapangan kerja yang mampu menyerap angkatan kerja produktif.

Dari dua definisi pembangunan di atas, baik dari pandangan tradisional maupun dari pandangan modern, proses pembangunan yang dilakukan haruslah memiliki tiga nilai inti dan tiga tujuan pembangunan (Todaro, 2000) adalah: 1. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (sustenance). Semua individu

memiliki kebutuhan dasar yang menyebabkan dia bertahan hidup. Kebutuhan dasar meliputi pangan, sandang, kesehatan dan proteksi.

2. Manusia terhormat (self-esteem). Salah satu komponen universal hidup adalah harga diri. Semua orang dan masyarakat mencari bentuk dasar harga diri yang

(40)

mungkin kemudian disebut : keaslian, identitas, kehormatan, penghargaan atau kemasyuran.

3. Kebebasan (freedom from servitude). Kebebasan disini dipahami sebagai kebebasan yang terkait dengan emansipasi, kepedulian, penderitaan dan nilai-nilai.

2.5 Pembangunan Ekonomi Lokal Menciptakan Lapangan Kerja

Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) hakekatnya merupakan proses yang mana pemerintah daerah dan atau kelompok berbasis komunitas mengelola sumberdaya yang ada dan masuk kepada penataan kemitraan baru dengan sektor swasta, atau diantara mereka sendiri, untuk menciptakan pekerjaan baru dan merangsang kegiatan ekonomi wilayah. Ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah pada titik beratnya pada kebijakan endogenous development menggunakan potensi sumberdaya manusia, institusional dan fisik setempat. Orientasi ini mengarahkan kepada fokus dalam proses pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi (Blakely, 1994).

Pengembangan ekonomi lokal seyogyanya tidak dipandang sebagai suatu yang ekslusif, tetapi sebagai bagian integral dari pembangunan daerah. Arah tujuan dan cakupan inisiatif pengembangan ekonomi lokal menurut perspektif GTZ: Pertama, mendorong ekonomi lokal untuk tumbuh dan menciptakan tambahan lapangan kerja. Kedua, mendayagunakan sumberdaya lokal yang tersedia secara lebih baik. Ketiga, menciptakan ruang dan peluang untuk menyelaraskan suplai dan permintaan. Keempat, mengembangkan peluang-peluang baru bagi bisnis.

Apapun bentuk kebijakan yang diambil, PEL mempunyai satu tujuan yaitu meningkatkan jumlah dan variasi lapangan kerja yang tersedia bagi penduduk setempat. Dalam mencapai itu, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat (stakeholders) dituntut untuk mengambil inisiatif dan bukan hanya berperan pasif saja. Setiap kebijakan dan keputusan publik dan sektor usaha, serta keputusan dan tindakan masyarakat, harus pro-PEL, atau sinkron dan mendukung kebijakan pengembangan ekonomi daerah yang telah disepakati bersama.

(41)

2.6 Penyerapan Tenagakerja Agroindustri

Pembangunan agroindustri merupakan lanjutan dari pembangunan pertanian. Hal ini telah dibuktikan bahwa agroindustri mampu meningkatkan pendapatan para pelaku agribisnis, mampu menyerap tenagakerja, mampu meningkatkan perolehan devisa dan mampu mendorong munculnya industri yang lain. Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agroindustri pada dasarnya, menunjukkan arah bahwa pengembangan agribisnis merupakan suatu upaya yang sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu: menarik dan mendorong munculnya industri baru di sektor pertanian, menciptakan nilai tambah, meningkatkan devisa, menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki pembagian pendapatan.

Menurut White (1990) agrobased industry mencakup dua jenis industri manufaktur. Pertama, industri penyedia input pertanian, seperti industri pupuk dan pestisida. Kedua, industri pengolahan hasil pertanian. Konsep agroindustri yang digunakan disini adalah agroindustri dalam arti luas, yaitu selain mencakup industri pengolahan hasil pertanian dan industri penyedia input bagi pertanian, juga termasuk seluruh sub sektor dalam sektor pertanian, yang meliputi tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan.

Soekartawi (2000) menyebutkan bahwa agroindustri adalah pengolahan hasil pertanian dan karena itu agroindustri merupakan bagian enam subsistem agribisnis yang disepakati selama ini yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usaha tani, pengolahan hasil (agroindustri), pemasaran, dan pembinaan. Dari penelaahan diatas, maka agroindustri dapat diartikan sebagai industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian. Agroindustri pada konteks ini adalah menekankan pada food processing management dalam suatu perusahaan produk olahan yang bahan baku utamanya adalah pertanian. Menurut FAO (Hicks, 1996) suatu industri yang menggunakan bahan baku dari pertanian dengan jumlah minimal 20 persen dari jumlah bahan baku yang digunakan adalah disebut agroindustri.

(42)

2.7 Wisata Bahari Pendekatan Partisipatif Masyarakat Pesisir

Rencana pengembangan kawasan bahari harus dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang mendasar, yaitu pemberdayaan masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki banyak pengetahuan tentang kondisi objektif wilayahnya, oleh karena itu dalam pengembangan kawasan wisata bahari senantiasa melalui pendekatan terhadap masyarakat setempat sebagai suatu model pendekatan perencanaan partisipatif yang menempatkan masyarakat pesisir memungkinkan saling berbagi, meningkatkan dan menganalisa pengetahuan mereka tentang bahari dan kehidupan pesisir (Sastrayuda, 2010).

Pembangunan yang berpusat pada masyarakat lebih menekankan pada pemberdayaan (enpowerment), yang memandang potensi masyarakat sebagai sumberdaya utama dalam pembangunan dan memandang kebersamaan sebagai tujuan yang akan dicapai dalam proses pembangunan. Masyarakat pesisir adalah termasuk masyarakat hukum adat yang hidup secara tradisional di dalam kawasan pesisir maupun di luar kawasan pesisir. Pengelolaan kawasan wisata bahari harus memenuhi prinsip dasar yang harus dikembangkan adalah: 1. Prinsip co-ownership, 2. Prinsip co-operation/ co management, 3. Prinsip co-responsibility (Sastrayuda, 2010).

Departemen Kelautan dan Perikanan (2006) menunjukkan bahwa jumlah pulau Indonesia mencapai sekitar 17.504 yang terdiri dari 8.488 pulau belum bernama dan sekitar 9.016 pulau sudah bernama. Dari sekian banyak pulau-pulau kecil tersebut sekitar 15,76 persen terdapat di Provinsi Kepulauan Riau dan sekitar 10,95 persen terdapat di Provinsi Irian Jaya Barat.

Salah satu potensi besar dalam kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasis kepulauan adalah pengembangan wisata pulau-pulau kecil. Kegiatan pariwisata bahari menjadi fokus utama karena secara natural potensi kawasan pesisir dan laut pulau-pulau kecil hampir tersebar di seluruh pulau. Departemen Kelautan dan Perikanan (2001) mengidentifikasi bahwa dengan menetapkan 36 kawasan sebagai pusat pertumbuhan maka terdapat 4.557 pulau yang memiliki peluang pengembangan ekonomi termasuk didalamnya wisata bahari. Statistik industri wisata nasional menyebutkan bahwa target jumlah kunjungan wisata pada tahun 2013 adalah 163 juta orang dengan laju pertumbuhan 3,8 persen per tahun.

(43)

Jumlah total kunjungan wisata tersebut, proporsi dari kegiatan pariwisata bahari diharapkan menjadi sekitar 25 persen atau 40 juta orang (Kusumastanto, 2007).

2.8 Peningkatan Kesempatan Kerja Melalui Penanaman Modal

Investasi (Penanaman Modal) adalah pengeluaran atau perbelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Investasi atau pembentukan modal merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat (Sukirno, 1994).

Investasi merupakan tambahan stok barang modal tahan lama yang akan memperbesar peluang produksi dimasa mendatang. Salah satu peranan yang sangat penting untuk menjalankan suatu perekonomian adalah investasi, karena merupakan salah satu faktor penentu dari keseluruhan tingkat output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek. Apabila penemuan-penemuan baru atau pembebanan pajak yang ringan atau pasar-pasar yang semakin berkembang memberikan insentif bagi investasi-investasi yang ada, yang membuat permintaan agregat meningkat sementara output dan kesempatan kerja tumbuh dengan cepat. Penggunaan tenagakerja penuh dapat dicapai dengan cara menaikkan jumlah investasi oleh para pengusaha. Bila investasi tidak tidak mencapai tingkat tersebut pengangguran akan berlaku (Sukirno, 1994).

2.9 Tinjauan Kajian Terdahulu

Penyusunan Rencana Tenagakerja Kabupaten Sragen tahun 2011-2014 dilakukan atas kerjasama Kementrian Tenagakerja dan Transmigrasi RI dengan Pemerintah Kabupaten Sragen tahun 2010. Adapun maksud dan tujuan adalah untuk memotret situasi dan kondisi ketenagakerjaan di Kabupaten Sragen saat ini (existing), memperkirakan persediaan, kebutuhan dan jumlah angkatan kerja yang tidak terserap oleh perekonomian di Kabupaten Sragen selama lima tahun mendatang (2011-2014) menurut karakteristiknya. Metode yang dilakukan dengan menggunakan formula regresi linier dan elastisitas.

(44)

Hasil dari penelitian ini bahwa penduduk usia kerja Kabupaten Sragen di masa mendatang masih didominasi oleh usia 15-34 tahun, yakni proporsinya mencapai lebih dari 40 persen. Perkiraan tingkat partisipasi angkatan kerja menurut tingkat pendidikan Kabupaten Sragen dimasa mendatang untuk tingkat SD ke bawah tahun 2007-2009 diperkirakan akan terus menurun. Sedangkan TPAK untuk tingkat pendidikan pergurun tinggi dimasa mendatang diperkirakan juga akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Perkiraan kebutuhan tenagakerja Kabupaten Sragen pada kesempatan kerja menurut lapangan usaha, hal ini selaras dengan karakteristik dan potensi daerah yang berbasis pertanian. Pada tahun 2011 diperkirakan akan mencapai 206.677 orang (43,23 persen), meningkat menjadi 215.420 orang (44,12 persen) pada tahun 2012. Sedangkan perkiraan kesempatan kerja menurut status pekerjaan utama pada tahun 2011-2014 masih akan didominasi oleh sektor informal. Proporsi sektor informal ini sangat signifikan, yakni mencapai lebih dari 70 persen. Meskipun proporsinya diperkirakan terus menurun, yakni dari 78,04 persen pada tahun 2011 menjadi 76,91 persen pada tahun 2014, namun kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan yang dilaksanakan di Kabupaten Sragen belum cukup mampu menyediakan banyak kesempatan kerja sektor formal yang notabene memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan di sektor informal.

Penelitian yang dilakukan oleh Putu Ayu Pramitha Purwanti pada tahun 2009 dengan judul Analisis Kesempatan Kerja Sektoral di Kabupaten Bangli Dengan Pendekatan Pertumbuhan Berbasis Ekspor. Tujuan penelitian menganalisis kesempatan kerja nyata di Kabupaten Bangli yang dipengaruhi laju pertumbuhan kesempatan kerja di Provinsi Bali, bauran industri dan keunggulan kompetitif yang dimiliki. Menganalisis sektor-sektor basis yaitu sektor yang memiliki kesempatan kerja lebih dari cukup dan menganalisis besarnya pertambahan lapangan kerja total sebagai akibat dari adanya pertambahan

lapangan kerja di sektor basis. Metode analisis yang digunakan adalah Shift-share, LQ dan Angka Pengganda Basis.

Hasil penelitian ini menggambarkan laju pertumbuhan kesempatan kerja di Provinsi Bali sebesar 19 persen telah menciptakan kesempatan kerja di Kabupaten

(45)

Bangli bagi 21.036 orang. Sektor-sektor yang merupakan sektor basis dengan nilai koefisien LQ > 1 pada tahun 1998 adalah sektor pertanian LQ = 1,59 dan sektor industri pengolahan LQ = 1,61. Kedua sektor tersebut adalah sektor yang mampu menyerap tenagakerja yang lebih dari cukup sehingga dapat menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan lokal dan juga untuk daerah lain. Pada akhir periode penelitian 2007, sektor pertanian dan sektor industri pengolahan tetap menjadi basis dengan tambahan satu sektor lagi yaitu sektor pertambangan dan penggalian. Angka pengganda kesempatan kerja pada tahun 1998 sebesar 1,37 dan pada tahun 1,35. Angka 1,37 ditafsirkan bahwa bila kesempatan kerja sektor basis meningkat 100 persen, akan mengakibatkan pertambahan kesempatan kerja total 137 persen yaitu 100 persen di sektor basis dan 37 persen di sektor non basis. Nilai pengganda basis kesempatan kerja di Kabupaten Bangli tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 1,35. Ini berarti peningkatan kesempatan kerja sektor basis sebesar 100 persen akan meningkatkan kesempatan kerja total sebesar 135 persen, disektor non basis.

Penelitian yang dilakukan oleh Widyaningsih pada tahun 2001 dengan judul Kebijakan Publik dibidang Perencanaan Ketenagakerjaan Dalam Memperluas Kesempatan Kerja di Provinsi Bali. Tujuan penelitian adalah melihat sejauhmana kesempatan kerja yang bisa diciptakan oleh sektor pariwisata, pertanian dan industri. Metode penelitian dilakukan dengan menggunakan elastisitas kesempatan kerja, laju pertumbuhan produktivitas dengan asumsi cateris paribus setelah diperoleh hasil penelitian selanjutnya secara sektoral dan regional dibanding dengan Program Pembangunan Daerah (Propeda) Provinsi Bali 2001-2004. Hasil penelitian menyatakan bahwa elastisitas kesempatan kerja dalam jangka panjang untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 0,33 dengan hasil propeda menyatakan 0,16. Hal ini perlu dikoreksi oleh Pemerintah Daerah (Pemda) setempat karena sektor ini masih dapat menampung tambahan tenagakerja yang ada dengan laju produktivitas pekerja sektor yang relatif cukup tinggi yaitu sebesar 5,88. Untuk sektor pertanian diperoleh hasil elastistas yaitu sebesar – 2,88 dalam arti dengan penambahan PDRB sektor pertanian sebesar satu persen akan menurukan perluasan kesempatan kerja sektor pertanian sebesar 4,5 persen. Tetapi pemda setempat menggunakan elastisitas yang jauh berbeda, yaitu

(46)

sebesar 0,22, sehingga sektor ini sudah tidak dapat lagi diandalkan dalam penyerapan tenagakerja pada masa-masa yang akan datang. Dari hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa karakteristik ketenagakerjaan di Provinsi Bali unik, dimana kualitas pekerjanya unik, dimana kualitas pekerjanya tidak harus dilihat melalui tingkat pendidikan yang ditamatkan saja karena keahlian dan keterampilan yang mereka miliki bidang kebudayaan memiliki nilai jual dan nilai seni yang tinggi.

Gambar

Tabel 1.  Perkembangan Persentase Kesempatan Kerja  Menurut Lapangan Usaha  Pertanian dan Jasa Di Kabupaten Natuna Tahun 2002 - 2009
Tabel 2.  Perbandingan Tingkat Pengangguran Nasional, Provinsi Kepri dan  Kabupaten Natuna Tahun 2008 – 2009
Gambar 1.  Penawaran dan Permintaan Tenagakerja
Gambar 3.  Kerangka Pemikiran Kajian MATRIK   SWOT
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan yang berasal dari bagian tumbuhan atau pohon seperti serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun daun- daun bekas

The content of this presentation may not be used, duplicated or transmitted in any form without the written consent from Prodia.. All

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa penambahan jahe dalam pakan ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon kebal non- spesifik ikan nila

Paired Samples Test..

Sementara, perilaku K3 kategori tidak aman ditemukan pada persepsi kategori baik sebanyak 7 orang (17,9%), dan persepsi kurang sebanyak 9 orang (23,1%).Hasil uji

Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi konsentrasi enzim papain pada pH 5,5 dan pH 7,0 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar lemak, kadar

Berdasarkan uraian latar belakang, maka dalam penelitian ini peneliti tertarik akan melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh Pengendalian Diri dan Perilaku Belajar

Bisa menjelaskan dan menghitung besar peluang dalam kejadian yang mengikuti pola distribusi normal.. Bisa menjelaskan konsepdistribusi sampling sebagai dasar