• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. (2010: 11) konstruktivisme sosial meneguhkan bahwa individu-individu selalu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. (2010: 11) konstruktivisme sosial meneguhkan bahwa individu-individu selalu"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Paradigma Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Creswell

(2010: 11) konstruktivisme sosial meneguhkan bahwa individu-individu selalu

berusaha memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja. Mereka

mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman mereka,

makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau benda-benda tertentu.

Peneliti berusaha mengandalkan sebanyak mungkin pandangan partisipan tentang

situasi yang tengah diteliti. Untuk mengeksplorasi pendangan-pandangan ini,

pertanyaan-pertanyaan pun perlu diajukan. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi

sangat luas dan umum sehingga partisipan dapat mengkonstruksi makna atas

situasi tersebut, yang biasanya tidak asli atau tidak dipakai dalam interaksi dengan

orang lain. Semakin terbuka pertanyaan tersebut tentu akan semakin baik, agar

peneliti bisa mendengarkan dengan cermat apa yang dibicarakan dan dilakukan

partisipan dalam kehidupan mereka.

Menurut Ardianto dan Q-Anees (2007: 152-153), kaum konstruktivis

menganggap bahwa tidak ada makna yang mandiri, tidak ada deskripsi yang murni objektif. Kita tidak dapat secara transparan melihat “apa yang ada disana” atau “yang ada disini” tanpa termediasi oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang disepakati secara sosial. Semesta yang ada di hadapan kita bukan

suatu yang ditemukan, melainkan selalu termediasi oleh paradigma, kerangka

(2)

konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi atau representasi, melainkan

masalah kesepakatan pada komunitas tertentu.

Crotty (dalam Creswell, 2010: 12-13) memperkenalkan tiga asumsi

mengenai konstruktivisme, yaitu:

1) Makna-makna dikonstruksi oleh manusia agar mereka bisa terlibat dengan

dunia yang tengah mereka tafsirkan. Para peneliti kualitatif cenderung

menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka agar partisipan dapat

mengungkapkan pandangan-pandangannya.

2) Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha

memahaminya berdasarkan perspektif historis dan sosial mereka sendiri – kita

semua dilahirkan ke dunia makna (world of meaning) yang dianugerahkan

oleh kebudayaan di sekeliling kita. Untuk itulah para peneliti kualitatif harus

memahami konteks atau latar belakang partisipan mereka dengan cara

mengunjungi konteks tersebut dan mengumpulkan sendiri informasi yang

dibutuhkan. Mereka juga harus menafsirkan apa yang mereka cari: sebuah

penafsiran yang dibentuk oleh pengalaman dan latar belakang mereka sendiri.

3) Yang menciptakan makna pada dasarnya adalah lingkungan sosial, yang

muncul di dalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia. Proses

penelitian kualitatif bersifat induktif di mana di dalamnya peneliti

menciptakan makna dari data lapangan yang dikumpulkan.

2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu

Kajian tentang komunikasi antarbudaya khususnya yang membahas

(3)

tentang komunikasi antarbudaya yang dijadikan sebagai referensi untuk

memperkuat penelitian ini salah satunya yang dilakukan oleh Wenli Yuan (2011)

berjudul “Academic and Cultural Experiences of Chinese Students at An

American University”. Hasil kajian Yuan memperlihatkan bahwa berkomunikasi

dengan Bahasa Inggris dan diskusi di kelas sebagai tantangan terbesar yang

dihadapi informan (mahasiswa asal Cina) di kampus. Mereka juga menyatakan

terbatasnya interaksi dengan warga Amerika.

Berdasarkan penuturan informan diketahui jika ternyata fleksibilitas di

Amerika bertolak belakang dengan budaya di Cina yang cukup kaku. Suasana di

kelas juga sifatnya informal. Bahkan informasi dari seorang dosen menyatakan

bahwa mahasiswa Cina bahkan lebih dari siswa lain memiliki kecenderungan

budaya untuk diam dan tidak untuk mengemukakan pendapat. Sikap tersebut

selain karena kendala bahasa juga karena adanya kekhawatiran akan ditertawakan.

Penelitian yang mengkaji tentang gaya komunikasi berdasarkan budaya

konteks-tinggi dan konteks-rendah dalam proses komunikasi dilakukan oleh Shoji

Nishimura, Anne Nevgi dan Seppo Tella (2008). Dalam penelitian mereka yang

berjudul “Communication Style and Cultural Features in High/Low Context

Communication Cultures: A Case Study of Finland, Japan and India.” Hasil

penelitian mereka memperlihatkan bahwa gaya komunikasi Finlandia dan Jepang

cenderung konteks-tinggi sedangkan India lebih cenderung konteks-rendah. Gaya

komunikasi Finlandia dan Jepang yang berkonteks-tinggi ditandai dengan sifat

yang introvert, tenang, tidak suka interupsi, suka ketenangan, sedikit berbicara,

lebih banyak mendengarkan, menggunakan sedikit bahasa tubuh, berorientasi

(4)

yang cenderung konteks-rendah ditandai dengan sifat mereka yang extrovert,

bersemangat saat berbicara, toleransi terhadap interupsi, bersuara nyaring, banyak

bicara, sering menggunakan bahasa tubuh dan berorientasi pada percakapan.

Konteks gaya komunikasi tidak selalu berbanding lurus dengan konteks

budaya, terlihat dari Finlandia yang individualistis sebagai ciri budaya

konteks-rendah, India yang kolektivis dan menghormati senior (konteks-tinggi). Hanya

Jepang yang sangat kuat dengan budaya konteks-tinggi yang diterapkannya.

Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa pada suatu negara atau suku

memungkinkan terjadi kedua konteks dari gaya komunikasi yang ada yaitu

konteks-tinggi dan konteks-rendah sebagaimana yang dinyatakan Hall (Cardon,

2008) bahwa semua budaya menggunakan komunikasi konteks-tinggi dan

konteks-rendah. Pendapat Hall ini yang kemudian menjadi salah satu alasan bagi

Peter W. Cardon (2008) memberikan kritik terhadap konsep tentang budaya

konteks-tinggi dan konteks-rendah berdasarkan penelitian yang berjudul “A

Critique of Hall’s Contexting Model A Meta-Analysis of Literature on Intercultural Business and Technical Communication.” Cardon melakukan

analisis terhadap 224 artikel yang membahas isu terkait budaya konteks-tinggi dan

konteks rendah. Berdasarkan analisisnya Cardon menemukan kelemahan dalam

konsep Hall yaitu bahwa Hall tidak menyebutkan metode atau analisis yang

digunakan dalam merumuskan model konteks-tinggi dan konteks-rendah. Cardon

juga tidak menemukan penjelasan yang menjadi dasar bagi Hall dalam

menentukan urutan sejumlah negara dari budaya konteks-tinggi hingga budaya

(5)

Cardon kemudian memberikan rekomendasi agar melibatkan lebih banyak

negara dan kebudayaan dalam penelitian tentang budaya konteks-tingi dan

konteks-rendah. Nilai etik dari model Hall akan lebih diterima jika perbandingan

yang dilakukan melibatkan lebih banyak negara dan kebudayaan. Sementara

daftar negara yang disusun oleh Hall tidak bisa menjadi representasi dari

keseluruhan budaya di dunia ini.

Penelitian selanjutnya oleh Kezia Sekeon (2013) berjudul “Komunikasi

Antar Budaya Pada Mahasiswa Fisip Unsrat (Studi pada Mahasiswa Angkatan 2011).” Pada penelitian ini diperoleh informasi bahwa mahasiswa pendatang

angkatan 2011 di Fisip Unsrat, semuanya pernah mengalami kejutan

budaya/culture shock. Mereka mengalami kesulitan saat menghadapi kejutan

budaya yang mereka alami namun kemudian mereka menyesuaikan diri dengan

lingkungan yang ada di Fisip Unsrat mulai dari bahasa, adat istiadat, budaya dan

kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan mahasiswa lainnya. Dari pengalaman

mahasiswa pendatang di Fisip Unsrat tersebut kita bisa melihat bahwa penting

bagi pendatang untuk menyesuaikan diri saat mengalami kejutan budaya. Faktor

utama dalam masa penyesuaian diri ialah adanya sifat keterbukaan dan keinginan

bersosialisasi.

Pembahasan tentang kejutan budaya juga dilakukan oleh Lusiana Lubis dan Emma Violita Pinem (2012) dalam penelitian mereka yang berjudul “Culture

Shock Pada Mahasiswa Asal Malaysia di Medan.” Penelitian ini menjelaskan

tentang bentuk kejutan budaya yang dialami mahasiswa Malaysia di Universitas

Sumatera Utara serta upaya yang mereka lakukan untuk mengatasinya. Temuan

(6)

ketika berinteraksi dengan budaya di Medan terjadi akibat perbedaan bahasa, kuat

dan kasarnya cara orang Medan berbicara, karakteristik orang Medan dan

beberapa perbedaan nilai-nilai. Beberapa upaya yang dilakukan mahasiswa

Malaysia untuk menanggulangi kejutan budaya tersebut adalah dengan memegang

prinsip sebagai pendatang harus bersedia untuk beradaptasi dengan lingkungan

yang didatangi, memperbanyak teman orang-orang Medan (Indonesia) dan

meningkatkan intensitas keterlibatan dengan orang-orang Medan (Indonesia).

Penelitian lain yaitu penelitian yang dilakukan Nittaya Campbell (2012) mengenai “Promoting Intercultural Contact on Campus: A Project to Connect and

Engage International and Host Students.” Penelitian ini membahas tentang masalah

dan tantangan yang harus dihadapi pelajar internasional secara khusus tentang

budaya berbeda yang harus mereka hadapi. Data yang diperoleh memperlihatkan

tentang nilai dari komunikasi dan pentingnya berbagi tentang budaya dengan

orang lain. Pemahaman tentang budaya akan berdampak pada komunikasi. Dari

hasil wawancara kepada beberapa pelajar diperoleh informasi bahwa pemahaman

akan budaya lain memampukan para pelajar internasional untuk memahami

masalah yang harus mereka hadapi dalam proses adaptasi. Pengalaman

antarbudaya memampukan para pelajar tersebut mengenali tendensi dan gaya

komunikasi mereka terkait dengan kompetensi komunikasi antarbudaya. Mereka

harus beradaptasi jika ingin melakukan komunikasi antarbudaya dengan baik.

Selain itu juga diketahui bahwa ternyata berteman dengan warga lokal menjadi

faktor utama dalam proses penyesuaian diri dengan budaya baru.

Selanjutnya penelitian Tuti Bahfiarti (2012) yang berjudul “Komunikasi

(7)

diketahui bahwa penyesuaian diri dan komunikasi antarbudaya yang dilakukan

mahasiswa Malaysia dalam menempuh perkuliahan di Kota Makassar

menyebabkan mereka melakukan kontak antarbudaya dengan mahasiswa tuan

rumah. Kehidupan mahasiswa Malaysia di Kota Makassar memerlukan proses

penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial budaya. Penyesuaian diri tersebut

termasuk tempat tinggal, suasana dan kondisi budaya yang relatif memiliki

perbedaan mengharuskan mereka untuk menyelesaikan setiap persoalan

kebudayaan secara baik, sehingga tidak berbenturan dan menyebabkan mereka

tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Penelitian tentang Gaya Berkomunikasi dan Adaptasi Budaya Mahasiswa

Batak Asal Sumatera Utara di ISI Yogyakarta bukan merupakan duplikasi dari

penelitian-penelitian terdahulu yang tertera di atas. Penelitian sejenis terdahulu

dijadikan sebagai acuan dan bahan pertimbangan untuk melihat hal-hal yang

terjadi ketika seseorang berada di lingkungan dengan budaya yang berbeda dari

budaya daerah asal. Aspek yang dijadikan acuan untuk penelitian ini adalah gaya

komunikasi (konteks-tinggi dan konteks-rendah) serta adaptasi budaya.

2.3 Uraian Teori

2.3.1 Komunikasi Antarbudaya

Dalam kehidupan sehari-hari, tak peduli di mana anda berada, anda selalu

berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang tertentu yang berasal dari

kelompok, ras, etnik atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan

orang-orang yang berbeda kebudayaan merupakan pengalaman baru yang selalu

(8)

lakukan dengan orang lain mengandung dimensi antarbudaya. Komunikasi yang

tidak peka terhadap sistem nilai budaya yang dianut suatu komunitas dapat

menimbulkan perselisihan. Membekali diri dengan pengetahuan yang relevan

khususnya mengenai bagaimana budaya berpengaruh terhadap komunikasi adalah

salah satu cara untuk mengatasi konflik dan perselisihan antar budaya (Mulyana,

2005a: 24-28).

Fungsi-fungsi komunikasi menjadi salah satu alasan penting bagi kita

untuk mempelajari komunikasi antarbudaya. Wiliam I. Gorden (Mulyana, 2008:

5-38) mengemukakan empat fungsi komunikasi yaitu:

1) Fungsi Pertama: Komunikasi Sosial

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan

bahwa komunikasi penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri,

untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari

tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang menghibur dan

memupuk hubungan dengan orang lain. Komunikasi memungkinkan individu

membangun suatu kerangka rujukan dan menggunakannya sebagai panduan

untuk menafsirkan situasi apapun yang dihadapi. Implisit dalam fungsi

komunikasi sosial ini adalah fungsi komunikasi kultural. Para ilmuwan sosial

mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal

balik seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari

perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi juga turut menentukan,

(9)

2) Fungsi Kedua: Komunikasi Ekspresif

Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain,

namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk

menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut

dikomunikasikan terutama melalui pesan-pesan nonverbal. Emosi kita juga

dapat kita salurkan lewat bentuk-bentuk seni seperti puisi, novel, musik,

tarian atau lukisan.

3) Fungsi Ketiga: Komunikasi Ritual

Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual yang

biasanya dilakukan secara kolektif. Mereka yang berpartisipasi dalam

komunikasi ritual menegaskan komitmen mereka kepada tradisi keluarga,

komunitas, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama. Kegiatan ritual

memungkinkan para pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi

perekat bagi perpaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada kelompok.

Hingga kapanpun ritual tampaknya akan tetap menjadi kebutuhan manusia

meskipun bentuknya berubah-ubah, demi pemenuhan jati dirinya sebagai

individu, sebagai anggota komunitas dan sebagai salah satu unsur dari alam

semesta.

4) Fungsi Keempat: Komunikasi Instrumental

Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum yaitu:

menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan,

mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga menghibur. Bila

diringkas, maka kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat

(10)

menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan

hubungan tersebut. Studi komunikasi membuat kita peka terhadap berbagai

strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi untuk bekerja lebih baik

dengan orang lain dengan keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi

sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan, baik

tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang.

Fungsi-fungsi komunikasi tersebut terkait juga dengan komunikasi

antarbudaya karena komunikasi antarbudaya dapat terjadi dalam konteks

komunikasi manapun, mulai dari komunikasi dua orang yang intim hingga ke

komunikasi organisasional dan komunikasi massa. Setiap kali komunikasi

antarbudaya terjadi, perbedaan dalam kerangka rujukan (frame of reference)

peserta komunikasi membuat komunikasi lebih rumit dan lebih sulit dilakukan,

terutama karena peserta mungkin tidak menyadari semua aspek budaya peserta

lainnya. Sebenarnya, kajian komunikasi antarbudaya akan menunjukkan

aspek-aspek perilaku komunikasi kita sendiri yang tidak kita sadari sebagai “khas”,

seperti sikap kita terhadap waktu (Tubbs & Moss, 2005: 236).

Komunikasi antarbudaya bukanlah sesuatu hal yang baru. Sejak awal

peradaban, ketika manusia pertama membentuk kelompok suku, hubungan

antarbudaya terjadi setiap kali orang-orang dari suku yang satu bertemu dengan

anggota dari suku yang lain dan mendapati bahwa mereka berbeda. Terkadang

perbedaan ini, tanpa kesadaran dan toleransi akan keberagaman budaya,

menimbulkan kecenderungan manusia untuk bereaksi secara dengki (Samovar,

(11)

Kita dihadapkan dengan sistem nilai dan aturan yang berbeda ketika kita

berkomunikasi dengan orang dari suku, agama atau ras lain. Sulit memahami

komunikasi mereka bila kita sangat etnosentrik. Melekat dalam etnosentrisme ini

adalah stereotip, yaitu generalisasi (biasanya bersifat negatif) atas sekelompok

orang (suku, agama, ras dan sebagainya), dengan mengabaikan

perbedaan-perbedaan individual (Mulyana, 2005b: 13). Menurut Hall secara teoritis,

seharusnya tidak ada masalah ketika budaya-budaya yang berbeda bertemu.

Biasanya pertemuan antarbudaya itu diawali tidak hanya dengan persahabatan dan

kemauan baik pada kedua pihak, namun ada pengertian intelektual bahwa setiap

pihak mempunyai seperangkat kepercayaan, kebiasaan, aturan dan nilai yang

berbeda (Tubbs & Moss, 2005: 255).

Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan

terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hampir

setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya, dan

kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai

jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan

terisolasi (Mulyana & Rakhmat, 2005: 12). Setiap anda berkomunikasi dengan

seseorang tidak diragukan bahwa orang tersebut berasal dari suatu lingkungan

budaya tertentu. Oleh karena itu ia dipengaruhi oleh latar belakang budayanya.

Tanpa mengetahui budaya mereka, agak sulit bagi anda untuk memprediksi

perilakunya (Mulyana, 2005a: 7). Komunikasi dalam situasi itulah yang disebut

dengan komunikasi antarbudaya.

Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya

(12)

gilirannya budaya yang tercipta pun mempengaruhi cara berkomunikasi anggota

budaya bersangkutan (Mulyana, 2005a: 14). Menurut pandangan Talcott Parsons

(Irewati, et.al.: 11), setiap masyarakat harus dipandang secara integratif dan setiap

perilaku sosial atau suatu kelompok sangat dipengaruhi oleh nilai dan

kebudayaannya. Interaksi yang berhasil akan membutuhkan kemampuan

komunikasi antarbudaya yang terlatih (Samovar, et.al., 2010: 6).

Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang

berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio

ekonomi). Seperti yang ditunjukkan definisi tersebut, penggolongan

kelompok-kelompok budaya tidak bersifat mutlak (Tubbs & Moss, 2005: 236-237).

Gudykunst dan Kim (2003: 17) mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai

proses yang transaksional dan simbolik yang melibatkan pertalian makna di antara

orang-orang yang berbeda budaya.

Liliweri (2004: 9-10) mengartikan komunikasi antarbudaya melalui

beberapa pernyataan sebagai berikut:

a. Komunikasi antarbudaya adalah pernyataan diri antarpribadi yang paling

efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya.

b. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang disampaikan

secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda

latar belakang budaya.

c. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk

informasi atau hiburan yang disampaikan secara lisan atau tertulis atau metode

(13)

d. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari seseorang yang

berkebudayaan tertentu kepada seseorang yang berkebudayaan lain.

e. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol

yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.

f. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan

seseorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal

dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu.

g. Komunikasi antarbudaya adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan

atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang budayanya. Proses

pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui

bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atau bantuan hal lain di sekitarnya

yang memperjelas pesan.

DeVito (1997: 480-481), menggunakan istilah komunikasi antarbudaya

secara luas untuk mencakup semua bentuk komunikasi di antara orang-orang yang

berasal dari kelompok yang berbeda selain juga secara sempit yang mencakup

bidang komunikasi antar kultur yang berbeda, sebagai berikut:

a. Komunikasi antarbudaya – misalnya, antara orang Cina dan Portugis, atau

antara orang Perancis dan Norwegia;

b. Komunikasi antarras yang berbeda (kadang-kadang dinamakan komunikasi

antarras), – misalnya, antara orang kulit putih dangan orang kulit hitam;

c. Komunikasi antar kelompok etnis yang berbeda (kadang-kadang dinamakan

komunikasi antar etnis) – misalnya, antara orang Amerika keturunan Italia

(14)

d. Komunikasi antar kelompok agama yang berbeda – misalnya, antara orang

Katolik Roma dengan Epsikop, atau antara orang Islam dan orang Yahudi;

e. Komunikasi antara bangsa yang berbeda (kadang-kadang dinamakan

komunikasi internasional) – misalnya, antara Amerika Serikat dan Meksiko,

atau antara Perancis dan Italia;

f. Komunikasi antara subkultur yang berbeda dan kultur yang dominan –

misalnya, antara kaum homeseks dan kaum heteroseks, atau antara kaum

manula dan kaum muda;

g. Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda – antara pria dan wanita.

Komunikasi yang berlangsung di antara individu yang berbeda budaya

selalu mengalami hambatan-hambatan yang disengaja maupun tidak

disengaja/tanpa disadari. Hal itu merupakan sesuatu yang wajar kalau ditinjau dari

komunikasi antarbudaya (Lubis, 2012: 44). Cara kita berkomunikasi sebagian

besar dipengaruhi oleh kultur sehingga orang-orang dari kultur yang berbeda akan

berkomunikasi secara berbeda (DeVito, 1997: 481). Kesulitan berkomunikasi

dengan orang lain, khususnya yang berbeda budaya, bukan saja merupakan

kesulitan memahami bahasa mereka yang tidak kita kuasai, melainkan juga sistem

nilai mereka dan bahasa nonverbal mereka (Mulyana, 2005: 25).

Kita dapat lebih memahami komunikasi antarbudaya dengan menelaah

prinsip-prinsip umumnya. Prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya menurut

DeVito (1997: 486-488) adalah:

a. Relativitas Bahasa

Gagasan umum bahwa bahasa mempengaruhi pemikiran dan perilaku paling

(15)

paling besar, tentu saja, pada awal interaksi. Karena itu sangatlah penting

menggunakan teknik-teknik komunikasi yang efektif dengan

mempertimbangkan teknik mendengarkan secara aktif, pengecekan persepsi,

berbicara secara spesifik dan mencari umpan balik.

b. Bahasa sebagai Cermin Budaya

Makin besar perbedaan budaya maka makin besar juga perbedaan komunikasi

baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar

perbedaan budaya maka makin sulit juga komunikasi dilakukan. Kesulitan ini

dapat mengakibatkan lebih banyak kesalahan komunikasi, kesalahan kalimat,

kemungkinan salah paham, salah persepsi dan makin banyak potong kompas

(bypassing). Kita perlu sangat peka terhadap hambatan-hambatan yang

menghalangi komunikasi antarbudaya yang bermakna serta menggunakan

teknik-teknik yang membantu kita melestarikan dan meningkatkan

komunikasi antarbudaya.

c. Mengurangi Ketidakpastian

Makin besar perbedaan budaya maka makin besarlah ketidakpastian dan

ambiguitas dalam komunikasi. Semua hubungan mengandung ketidakpastian.

Kita berusaha mengurangi ketidakpastian dengan berkomunikasi sehingga

dapat lebih baik dalam menguraikan, memprediksi dan menjelaskan perilaku

orang lain. Kita memerlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk

mengurangi ketidakpastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna.

d. Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya

Makin besar perbedaan budaya maka makin besar pula kesadaran diri

(16)

konsekuensi positif dan negatif. Konsekuensi positifnya adalah membuat kita

lebih dewasa yang mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa

tidak peka atau tidak patut. Konsekuensi negatifnya adalah membuat kita

terlalu berhati-hati, tidak spontan dan kurang percaya diri. Semakin baik kita

dalam saling mengenal mengakibatkan perasaan terlalu berhati-hati akan

hilang dan kita menjadi lebih percaya diri dan spontan. Hal ini juga akan

menambah kepuasan dalam komunikasi. Masalah sebenarnya bukanlah pada

bagaimana menjaga interaksi dan mengupayakan saling pengertian.

Masalahnya adalah pada sikap yang terlalu mudah menyerah setelah

terjadinya kesalahpahaman di awal.

e. Interaksi awal dan Perbedaan Antarbudaya

Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara

berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih

akrab. Besar sekali kemungkinan terjadinya salah persepsi dan salah menilai

orang lain dalam situasi komunikasi antarbudaya. Langkah antisipasinya

adalah dengan mencoba menghindari kecenderungan alamiah untuk menilai

orang lain secara tergesa-gesa dan permanen. Penilaian yang dilakukan secara

dini biasanya didasarkan pada informasi yang sangat terbatas karena itu kita

perlu lebih fleksibel untuk memperbaiki pendapat yang kita buat berdasarkan

informasi yang sangat terbatas itu. Prasangka dan bias bila dipadukan dengan

ketidakpastian yang tinggi pasti akan menghasilkan penilaian yang nantinya

(17)

f. Memaksimalkan hasil interaksi

Kita berusaha memaksimalkan hasil interaksi dalam komunikasi antarbudaya.

Kita mungkin akan menghindar karena komunikasi antarbudaya itu sulit

misalnya memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya

dengan kita daripada rekan sekelas yang sangat berbeda. Di satu sisi,

memperluas pergaulan mungkin akan memberikan kepuasan yang lebih besar

setelah beberapa waktu. Kita terus melibatkan diri dalam komunikasi dan

meningkatkan komunikasi kita. Implikasinya jelas yaitu jangan cepat

menyerah terutama dalam situasi antarbudaya. Penting juga untuk

mempelajari sebanyak mungkin tentang isyarat-isyarat sistem komunikasi

dari lawan bicara karena akan membantu dalam memprediksi hasil dari

perilaku kita secara lebih akurat.

Dengan demikian terlihat adanya dinamika di antara para peserta yang

berkomunikasi dengan keragaman budaya yang melatarbelakanginya (Lubis,

2012: 44). Terdapat beberapa prinsip komunikasi yang perlu diperhatikan terkait

dengan dinamika komunikasi antarbudaya. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

1) Komunikasi tak terhindarkan

Komunikasi seringkali terjadi meskipun seseorang tidak merasa

berkomunikasi atau tidak ingin berkomunikasi. Anda tidak bisa tidak

berkomunikasi dalam situasi interaksi karena kita tidak bisa tidak menanggapi

pesan dari orang lain (DeVito, 1997: 48). Prinsip ini juga berlaku dalam

komunikasi antarbudaya. Komunikasi adalah suatu fenomena yang rumit,

apalagi bila para pelakunya berasal dari budaya yang berbeda (Mulyana,

(18)

memahami komunikasi antarbudaya karena saat ini pertemuan dengan budaya

yang berbeda menjadi semakin tidak terelakkan. Tidak terkecuali pertemuan

dengan budaya yang memiliki konteks berbeda.

Komunikasi antarbudaya telah meningkat cepat karena

kemajuan-kemajuan teknologi yang telah membuat komunikasi jarak jauh lebih mudah

dilakukan (Tubbs & Moss, 2005: 262). Orang-orang dari budaya lain tidak

mungkin kita hindari untuk menyelesaikan urusan kita baik dalam pergaulan

sehari-hari, pendidikan, bisnis, politik, olah raga dan lain-lain (Mulyana,

2005a: 10).

2) Komunikasi bersifat dinamis

Seperti juga waktu dan eksistensi, komunikasi tidak mempunyai awal

dan tidak mempunyai akhir, melainkan merupakan proses yang sinambung

(Mulyana, 2008: 120). Kata dinamis menandakan aktivitas yang sedang dan

terus berlangsung. Proses dinamis mengandung arti bahwa pengiriman dan

penerimaan pesan melibatkan sejumlah variabel penting yang bekerja dalam

satu waktu yang bersamaan (Samovar, et.al., 2010: 18).

Sebagai para pelaku komunikasi, secara konstan kita dipengaruhi oleh

pesan orang lain dan sebagai konsekuensinya, kita mengalami perubahan

yang terus-menerus. Setiap kali kita terpengaruh, kita berubah, seberapa kecil

pun perubahan itu. Itu berarti bahwa kita menjalani hidup ini sebagai

orang-orang yang terus menerus berubah/orang-orang-orang-orang dinamis (Mulyana &

Rakhmat, 2005: 16).

Menurut Lubis (2012: 44), komunikasi bersifat dinamis maksudnya

(19)

menerus dari generasi ke generasi dan mengalami perubahan pola-pola, pesan

dan saluran. Hal ini dikarenakan oleh adanya pengaruh mempengaruhi di

antara komunikator dan komunikan, perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi, perkembangan ekonomi, situasi harmonis dan disharmonis yang

berpengaruh terhadap norma dan nilai-nilai budaya yang berkembang dalam

masyarakat.

3) Komunikasi bersifat interaktif

Komunikasi dalam hal ini tidak hanya melibatkan dua atau tiga orang,

melainkan juga beberapa kelompok, organisasi, publik maupun massa.

Masing-masing orang atau kelompok, baik sebagai sumber maupun penerima

dalam sebuah tindak komunikasi sering mempunyai pengalaman yang

berbeda, latar belakang yang berbeda dan kepribadian yang unik (Lubis,

2012: 47). Latar belakang dan pengalaman tersebut mempengaruhi interaksi

mereka. Interaksi juga menandakan situasi timbal balik yang memungkinkan

setiap pihak mempengaruhi pihak lainnya. Setiap pihak secara serentak

menciptakan pesan yang dimaksudkan untuk memperoleh respon-respon

tertentu dari pihak lainnya (Mulyana & Rakhmat, 2005: 16-17).

4) Komunikasi bersifat simbolik

Simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu

hal yang lain dalam komunikasi manusia. Salah satu karakteristik simbol

tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya sehingga

dapat berubah-ubah. Simbol dapat berupa suara, tanda pada kertas, gerakan

dan lain-lain yang digunakan dalam berbagi fakta dengan orang lain

(20)

lain begitu juga makna yang diberikan pada simbol tersebut (Mulyana, 2008:

104).

Setiap suku telah menetapkan simbol-simbol kebudayaan untuk menyatakan kepentingan tertentu. Asap mungkin merupakan “tanda” bahwa di sana ada api, namun kalau rumah yang tidak berasap mungkin merupakan

simbol ketiadaan makanan, hari raya Nyepi dan lain-lain (Liliweri, 2001:

129).

5) Komunikasi bersifat irreversibel

Sifat irreversibel adalah implikasi dari komunikasi sebagai proses yang

selalu berubah. Prinsip ini seyogianya menyadarkan kita bahwa kita harus

hati-hati untuk menyampaikan pesan kepada orang lain sebab efeknya tidak

bisa ditiadakan sama sekali, meskipun kita berupaya meralatnya (Mulyana,

2008: 125). Sekali anda mengkomunikasikan sesuatu, anda tidak bisa tidak

mengkomunikasikannya. Tentu saja anda dapat berusaha mengurangi dampak

dari pesan yang sudah terlanjur anda sampaikan. Tetapi apa pun yang anda

lakukan untuk mengurangi atau meniadakan dampak dari pesan anda, pesan

itu sendiri sekali telah dikirimkan dan diterima, tidak bisa dibalikkan (Devito,

1997: 49).

6) Komunikasi adalah proses penyesuaian/adaptasi.

Komunikasi dalam konteks apapun adalah bentuk dasar adaptasi

terhadap lingkungan (Mulyana, 2008: 17). Beradaptasi bukan berarti

menyetujui atau mengikuti semua tindakan orang lain, melainkan mencoba

memahami alasan di baliknya tanpa kita sendiri tertekan oleh situasi

(21)

jika sistem bahasa anda berbeda. Budaya atau subbudaya yang berbeda,

meskipun menggunakan bahasa yang sama, seringkali memiliki sistem

komunikasi nonverbal yang sangat berbeda. Bila sistem ini berbeda maka

komunikasi yang bermakna dan efektif tidak akan terjadi (DeVito, 1997: 41).

Adaptasi yang sukses membutuhkan sejumlah pengetahuan mengenai

budaya tuan rumah dan bagaimana anda membuat pilihan yang tepat

menyangkut pengetahuan tersebut (Samovar, et.al., 2010: 480). Kita perlu

mengembangkan dan menguasai berbagai keterampilan untuk menghadapi

berbagai masalah dalam era global sekarang ini, agar kita mampu beradaptasi

dengan tuntutan zaman. Salah satunya adalah keterampilan berkomunikasi

dengan orang-orang berbeda budaya (Mulyana, 2005a: 10).

7) Komunikasi selalu berlangsung dalam konteks fisik dan sosial

Faktor lingkungan fisik dapat dianggap mempengaruhi proses

komunikasi. Sedangkan dalam konteks lingkungan sosial, seperti perbedaan

status sosial, ekonomi, pendidikan, prestasi, dan lain-lain akan mempengaruhi

tindak komunikasi (Lubis, 2012: 51-52). Konteks sosial menentukan

hubungan sosial antara sumber dan penerima dan sering lingkungan fisik

turut menentukan konteks sosial. Bagaimanapun konteks sosial tersebut akan

mempengaruhi komunikasi (Mulyana & Rakhmat, 2005: 17).

Secara umum tujuan komunikasi antarbudaya antara lain untuk

menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antarbudaya melalui

perolehan informasi baru, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak pernah ada

dalam kebudayaan serta sekedar mendapat hiburan atau melepaskan diri (Lubis,

(22)

individu mempunyai tingkat kesadaran dan kemampuan yang berbeda-beda dalam

berkomunikasi antarbudaya. Gambar 2.1 dapat memudahkan pembagian

kesadaran dan kemampuan seseorang dalam menghadapi perbedaan antarbudaya.

Tingkat kesadaran dan kemampuan itu terdiri atas empat kemungkinan, yaitu;

1) Seseorang sadar bahwa dia tidak mampu memahami budaya orang lain.

Keadaan ini terjadi karena dia tahu diri bahwa dia tidak mampu

memahami perbedaan-perbedaan budaya yang dihadapi. Kesadaran ini

dapat mendorong orang untuk melakukan eksperimen bagi komunikasi

antarbudaya yang efektif.

2) Dia sadar bahwa dia mampu memahami budaya orang lain. Keadaan ini

merupakan yang ideal artinya kesadaran akan kemampuan itu dapat

mendorong untuk memahami, melaksanakan, memelihara dan mengatasi

komunikasi antarbudaya.

3) Dia tidak sadar bahwa dia mampu memahami budaya orang lain. Keadaan

ini dihadapi manakala orang tidak sadar bahwa dia sebenarnya mampu

berbuat untuk memahami perilaku orang lain dan mungkin orang lain

menyadari perilaku komunikasi dia.

4) Dia tidak sadar bahwa dia tidak mampu menghadapi perbedaan

antarbudaya. Keadaan ini terjadi manakala seseorang sama sekali tidak

menyadari bahwa sebenarnya dia tidak mampu menghadapi perilaku

(23)

Gambar 2.1: Hubungan Antara Kesadaran dan Kemampuan Berkomunikasi Antarbudaya

1 2

3 4

Sumber: Alo Liliweri (2004: 256)

2.3.2 Gaya Komunikasi

Menurut Liliweri (2011: 308), gaya komunikasi ada di dalam setiap jenis

atau bentuk komunikasi. Gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antarpribadi yang terspesialisasi digunakan dalam suatu situasi tertentu. Gaya yang dimaksud sendiri dapat bertipe verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal berupa vokalik, bahasa badan, penggunaan waktu, dan penggunaan ruang dan jarak (http://digilib.uinsby.ac.id). Martin dan Nakayama ( 2008:135) menyatakan setidaknya ada tiga dimensi berbeda dari gaya

komunikasi yaitu: konteks-tinggi/rendah, langsung/langsung dan

menguraikan/mempersingkat. Dimensi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah dimensi komunikasi konteks-tinggi/komunikasi konteks-rendah karena

salah satu analisis populer mengenai perbedaan gaya berkomunikasi dikemukakan

oleh Edward T. Hall yaitu komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks

rendah (Mulyana, 2005a: 130).

Definisi dari komunikasi konteks-tinggi dan komunikasi konteks-rendah

dikemukakan Hall (1989: 91) sebagai berikut: SADAR bahwa TIDAK MAMPU SADAR bahwa MAMPU TIDAK SADAR bahwa TIDAK MAMPU

TIDAK SADAR bahwa MAMPU

(24)

“A high-context (HC) communication or message is one in which most of the information is either in the physical context or internalized in the person, while very little is in the coded, explicit, transmitted part of the message. A low-context (LC) communication is just the opposite; i.e., the mass of the information is vested in the explicit code.”

Berdasarkan definisi yang diberikan Hall maka dapat dikatakan bahwa

komunikasi konteks-tinggi adalah komunikasi di mana sebagian besar informasi

baik berupa konteks fisik atau terinternalisasi dalam diri seseorang, sedikit

menggunakan kode dan pesan yang disampaikan bersifat implisit. Komunikasi

konteks-rendah adalah sebaliknya yaitu sebagian besar makna dan informasi

disampaikan secara eksplisit.

Gaya komunikasi konteks-tinggi memberi tekanan pada pemahaman pesan

tanpa komunikasi verbal secara langsung. Gaya komunikasi konteks-rendah

memberi penekanan pada pesan verbal yang eksplisit. Menurut orang-orang yang

memakai gaya komunikasi ini, lebih baik eksplisit dan berbicara langsung kepada

intinya serta tidak menimbulkan ambigu/makna ganda (Martin & Nakayama,

2003: 204).

Selanjutnya Hall mengatakan bahwa tidak ada batasan antara komunikasi dan budaya, seperti yang dinyatakan Hall, “Budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya” (Samovar, et.al., 2010: 25). Komunikasi dan budaya tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara

dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia

miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan

menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh aktivitas perilaku manusia sangat

(25)

merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka

ragam pula praktik-praktik komunikasi (Mulyana & Rakhmat, 2005: 19).

Secara tegas dapat dikatakan bahwa komunikasi dan budaya seperti dua

sisi mata uang yang mana budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan

pada gilirannya komunikasipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan

atau mewariskan budaya (Lubis, 2012: 2). Dengan kata lain, ketika membahas

budaya dan komunikasi sulit untuk memutuskan mana yang menjadi suara dan mana yang menjadi gemanya. Alasannya adalah karena kita “mempelajari” budaya kita melalui komunikasi dan pada saat yang sama komunikasi merupakan

refleksi budaya (Samovar, et.al., 2010: 25). Oleh karena itu untuk semakin

memahami tentang gaya komunikasi konteks-tinggi dan konteks-rendah maka

perlu juga memahami tentang budaya konteks-tinggi dan konteks-rendah.

Setiap kebudayaan mengajarkan cara-cara tertentu untuk memproses

informasi yang masuk dan keluar dari atau ke lingkungan sekeliling mereka,

misalnya mengatur bagaimana setiap anggota budaya memahami cara mengemas

informasi kemudian melakukan pertukaran informasi. Sebuah kebudayaan yang

mana suatu prosedur pengalihan informasi menjadi lebih sukar dikomunikasikan

disebut High Context Culture (HCC). Sebaliknya kebudayaan yang mana suatu

prosedur pengalihan informasi menjadi lebih mudah dikomunikasikan disebut

Low Context Culture (LCC) (Liliweri, 2004: 154-155).

Kebanyakan masyarakat homogen berbudaya konteks tinggi. Dalam

masyarakat demikian, mengetahui suatu kata atau huruf hanya memberi makna

sedikit bila kita tidak mengetahui konteks penggunaannya. Kontras dengan

(26)

dan jadwal yang persis dengan mengabaikan konteks. Bahasa yang digunakan

langsung dan lugas (Mulyana, 2005a: 131). LCC biasanya ditemukan pada budaya

individual dan HCC pada budaya kolektivistik (https://www.ohrd.wisc.edu).

Pembicara dalam budaya konteks-tinggi harus mempertimbangkan

ucapannya dengan hati-hati. Mereka sadar bahwa kalimat yang diucapkan akan

diperhatikan dan ditanggapi serius. Percakapan tatap muka dilakukan dengan

penuh rasa hormat dan kesopanan dengan elemen substantif yang kaya makna dan

tidak berlebihan. Keterusterangan dan secara khusus kontradiksi sangat tidak

disukai. Tidak mudah bagi pembicara pada konteks budaya ini untuk mengatakan

tidak. Kejujuran bukanlah suatu keharusan jika kebohongan dapat mencegah

timbulnya masalah (Cohen, 2004: 32). Orang-orang dalam budaya konteks tinggi

cenderung lebih curiga terhadap pendatang atau orang asing. Mereka menganggap

orang asing sebagai agak aneh, seakan sejenis makhluk dari luar angkasa

(Mulyana, 2005a: 131).

Pada budaya konteks-rendah pesan harus disampaikan secara eksplisit.

Mereka tidak menyukai gaya bicara yang tidak langsung dan menjunjung tinggi

kejujuran. Mereka tidak mengenal kebohongan karena akan merusak kepercayaan.

Mereka tidak menolak sikap sopan tetapi juga tidak merasa perlu untuk

berbasa-basi (Cohen, 2004: 33). Urutan sejumlah negara berdasarkan tingkat budayanya

(dari budaya konteks-tinggi hingga budaya konteks-rendah) ditunjukkan pada

Gambar 2.2 yang memperlihatkan bahwa negara-negara Barat umumnya

berbudaya konteks-rendah sedangkan negara-negara Timur umumnya berbudaya

(27)

Gambar 2.2: Budaya Disusun dalam Dimensi Budaya Konteks-Tinggi dan Konteks-Rendah BUDAYA KONTEKS-TINGGI Jepang Cina Korea Afrika-Amerika Amerika (pribumi) Arab Yunani Latin Italia Inggris Prancis Amerika Utara Skandinavia Jerman Jerman/Swiss BUDAYA KONTEKS-RENDAH

Sumber: Larry A. Samovar, Richard E. Porter, dan Edwin R. McDaniel (2010: 58)

Stella Ting Toomey (Liliweri, 2004: 155-158) telah menampilkan

beberapa aplikasi yang berkaitan dengan HCC dan LCC, yaitu:

a. Persepsi terhadap Isu dan Orang yang Menyebarkan Isu

Kebudayaan LCC mendorong anggotanya untuk memisahkan isu (catatan: isu

harus dilihat sebagai tema utama informasi yang dipertukarkan) dari orang.

Contoh, jika anda berbicara dengan seseorang dari kebudayaan LCC maka

(28)

menjadi sumber informasi itu. Dalam kebudayaan HCC isu dan orang yang

mengkomunikasikan isu tidak dapat dipisahkan. Kadang-kadang kebenaran isu

tergantung pada siapa yang mengatakannya sehingga kalau anda menolak

orang yang memberikan isu maka anda pun menolak informasi yang diberikan.

b. Persepsi terhadap Relasi Antarpribadi dalam Tugas

Budaya LCC memandang relasi antarpribadi dalam tugas sangat formal dan

impersonal. Relasi antarpribadi hanya berdasarkan relasi tugas-tugas (task

oriented), akibatnya mereka mengabaikan relasi antarpribadi. Sebaliknya

budaya HCC memandang relasi antarpribadi dalam tugas lebih sebagai bagian

dari relasi sosial (social oriented) sehingga kadang-kadang tidak berorientasi

pada tugas.

c. Persepsi terhadap Kelogisan Informasi

Angggota kebudayaan LCC kurang menyukai informasi yang tidak rasional.

Mereka cenderung mengutamakan rasionalitas. Pada umumnya mereka

menjauhi jenis-jenis informasi yang tidak tentu apalagi informasi tersebut

dipertukarkan dalam percakapan-percakapan yang tidak serius. Akibatnya

mereka akan melacak si pemberi informasi; siapakah dia? Siapa yang

mendorong orang itu mengambil langkah seperti ini? Bagaimana kita bisa

meraih sukses dengan orang itu? Apa prestasi kerja yang sudah dicapai orang

itu? Sebaliknya anggota kebudayaan HCC tidak menyukai sesuatu yang terlalu

rasional. Mereka cenderung mengutamakan emosi dalam mengakses informasi.

Pada umumnya mereka menjauhi jenis-jenis informasi yang terlalu rasional

dan sangat mengutamakan basa-basi dalam percakapan-percakapan yang tidak

(29)

d. Persepsi terhadap Gaya Komunikasi

Anggota kebudayaan LCC memakai gaya komunikasi langsung. Mereka

mencari dan mengabsorbsi informasi langsung dari sumbernya, atau

berkomunikasi secara langsung (direct communication). Gaya komunikasi

mereka lebih mengutamakan pertukaran informasi secara verbal (hanya sedikit

didukung oleh pesan non verbal), pertemuannya bersifat formal, langsung,

tatap muka dan tanpa basa-basi, pertemuan langsung ke tujuan. Sebaliknya

budaya HCC selalu menggunakan gaya komunikasi tidak langsung (indirect

communication). Gaya komunikasi kurang formal, pesan-pesan lebih banyak

didukung oleh non verbal, lebih suka berkomunikasi tatap muka, jika perlu

dengan basa-basi ritual.

e. Persepsi terhadap Pola Negosiasi

Anggota masyarakat kebudayaan LCC cenderung melakukan negosiasi yang

bersifat linear dan logis dalam menyelesaikan masalah. Analisis merupakan

suatu prosedur yang esensial dari kebudayaan ini. Negosiasi harus singkat dan

tidak bertele-tele, masuk akal, pakai otak, pendekatannya adalah bargaining.

Contoh yang baik adalah gaya komunikasi dalam menyelesaikan konflik.

Mereka menjadikan informasi sebagai sesuatu yang utama dalam proses

resolusi konflik yang kadang-kadang menggunakan pendekatan konfrontasi.

Sebaliknya pada masyarakat HCC memakai sistem perundingan yang halus,

pilihan komunikasinya meliputi perasaan dan intuisi. Gaya HCC lebih

mengutamakan hati daripada otak. Sebaliknya HCC selalu menggunakan gaya

komunikasi tidak langsung dalam menyelesaikan konflik. Mereka tidak

(30)

konflik tetapi mengutamakan faktor-faktor relasi antarmanusia, emosi, budaya,

yang kadang-kadang menggunakan pendekatan human relations.

f. Persepsi terhadap Informasi tentang Individu

Anggota budaya LCC lebih mengutamakan informasi tentang seorang individu,

aspek-aspek dari individu itu harus lengkap. Mereka tidak mengutamakan

pertimbangan latar belakang individu keanggotaan (sosial, budaya, etnik,

agama). Dalam LCC orang menginginkan sebuah prediksi tentang siapa

individu itu (siapakah dia ini, dia kerja apa, dia benar atau salah, keahliannya

apa). Sebaliknya masyarakat dengan kebudayaan HCC lebih menekankan

kehadiran seorang individu dengan dukungan faktor sosial. Mereka tidak

peduli siapakah dia, dia kerja apa, dia benar atau salah, keahliannya apa. Hal

ini karena pada HCC orang lebih mendengarkan loyalitas kelompoknya

(organisasi, keluarga, loyalitas nasional, dan nilai-nilai kolektif).

Edward T. Hall dalam Liliweri (2001: 101) menyatakan bahwa pertemuan

antara beberapa budaya mengakibatkan proses Extension (E) dan Transference (T)

atas informasi. Dalam hubungannya dengan ET tersebut maka kebudayaan

tersembunyi atau hidden culture sangat menentukan sehingga proses penerimaan,

pengolahan, penyebaran informasi akan ditentukan oleh kebudayaan tersembunyi

itu. Sehubungan dengan pertemuan antarbudaya (komunikasi antarbudaya) hidden

culture itu mempengaruhi sistem code komunikasi.

Ada dua sistem code komunikasi yaitu: (1) sistem Monokronik (M) dan

(2) sistem Polikronik (P). Apabila ada dua orang yang masing-masing berasal dari

(31)

terjadi beberapa perbedaan sifat-sifat komunikasi yang diperani mereka.

Perbedaan-perbedaan itu nampak pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1: Perbandingan Budaya yang Monokronik (M) dan Polikronik (P)

Sistem Monokronik (M) Sistem Polikronik (P)

a. Mengerjakan satu hal dalam satu waktu a. Melakukan banyak hal dalam satu waktu b. Berkonsentrasi terhadap pekerjaan b. Mudah terganggu dan diinterupsi c. Berkomitmen terhadap waktu dengan serius

(tenggat waktu, jadwal)

c. Mempertimbangkan komitmen waktu tujuan untuk dicapai, jika memungkinkan

d. Berkonteks-rendah dan memerlukan informasi

d. Berkonteks-tinggi dan sudah memiliki informasi

e. Terikat dengan pekerjaan e. Terikat pada manusia dan hubungan antarsesama

f. Mengikuti rencana f. Sering dan mudah mengganti rencana g. Peduli untuk tidak mengganggu orang lain;

menghargai privasi

g. Lebih peduli pada orang yang dekat dengan mereka (keluarga, teman, rekan bisnis) dibandingkan dengan privasi

h. Menghargai hak milik pribadi, jarang meminjam atau meminjamkan

h. Sering dan mudah meminjam dan meminjamkan barang

i. Menekankan ketepatan waktu i. Ketepatan waktu didasarkan pada hubungan j. Terbiasa dalam hubungan jangka pendek j. Kecenderungannya rendah untuk membangun

kembali hubungan seumur hidup Sumber: Larry A. Samovar, Richard E. Porter, dan Edwin R. McDaniel (2010:

335)

Liliweri (2001: 102-103) menyatakan bahwa berdasarkan perbedaan-perbedaan sifat sistem M dan P tersebut, kita mengenal dua jenis “tingkat konteks kebudayaan”, yaitu: (1) High Context Culture/HCC dan; (2) Low Context

Culture/LCC. Suatu masyarakat dengan kebudayaan HCC atau kebudayaan

“tinggi” biasanya menganut sistem P karena dalam kode komunikasinya banyak terdapat hal-hal yang implisit. Sebaliknya pada masyarakat dengan kebudayaan LCC atau kebudayaan “rendah” lebih cenderung ke sistem M karena setiap kode

(32)

mengandung informasi yang bersifat eksplisit. Umumnya individu-individu dari sistem M mempunyai informasi dengan banyak “kode” sehingga sulit diterima oleh individu dari sistem P yang “kode” komunikasinya sedikit. Informasi yang dialirkan sistem M lebih cepat dan mudah diterima, serta dipahami karena lebih

sederhana sehingga mudah mempengaruhi orang lain.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa interaksi pada budaya konteks

rendah menekankan pada gaya bicara langsung (direct), berorientasi kepada

orang, peningkatan kualitas diri dan pentingnya berbicara. Interaksi pada budaya

konteks tinggi menekankan pada gaya bicaya tidak langsung (indirect),

berorientasi kepada status, meningkatkan penerimaan diri dan pentingnya pesan

nonverbal bahkan keheningan jika perlu (Ting-Toomey, 1999: 103).

2.3.3 Adaptasi

Tidak satupun pendatang yang berada di daerah baru dapat terbebas dari

adaptasi (Jandt, 2007:306). Menurut Kim (Martin & Nakayama, 2003: 277)

adaptasi budaya adalah proses jangka panjang menyesuaikan diri dan akhirnya

merasa nyaman dengan lingkungan yang baru. Adaptasi adalah proses mengalami

tekanan, penyesuaian diri dan perkembangan. Setiap orang asing di lingkungan

yang baru harus menanggapi setiap tantangan untuk mencari cara agar dapat

menjalankan fungsi di lingkungan yang baru tersebut. Setiap orang asing harus

menjalani proses adaptasi sehingga setiap fungsi yang ada memungkinkan untuk

berfungsi dengan baik (Gudykunst & Kim, 2003:358).

Proses adaptasi berlangsung saat orang-orang memasuki budaya yang baru

(33)

persamaan dan perbedaan dalam lingkungan baru secara bertahap (Gudykunst &

Kim, 2003: 359). Adanya kesamaan antara budaya asal dengan budaya tuan

rumah merupakan salah satu faktor paling penting dalam keberhasilan adaptasi

(Jandt, 2007:307).

Banyak karakteristik individual (termasuk usia, gender, level kesiapan dan

harapan) yang berpengaruh pada seberapa baik seseorang menyesuaikan diri.

Namun terdapat bukti yang bertentangan mengenai dampak usia dan adaptasi. Di

satu sisi, orang-orang berusia muda lebih mudah beradaptasi karena sifatnya yang

lebih fleksibel baik dalam pemikiran, keyakinan dan identitas. Di sisi lain,

orang-orang tua lebih kesulitan dalam beradaptasi karena mereka tidak fleksibel. Mereka

tidak banyak berubah sehingga tidak terlalu kesulitan ketika kembali ke daerah

asal (Martin & Nakayama, 2003: 287-288).

Perubahan adalah inti dari adaptasi dengan budaya berbeda. Seseorang

memiliki kekuatan untuk mengubah lingkungan baru alih-alih membiarkan

budaya baru mempengaruhi dirinya setidaknya untuk jangka pendek (Gudykunst

& Kim, 2003:359-360). Ketika seseorang mengalami tekanan akibat perasaan

tidak cocok dengan lingkungannya, maka respon yang biasanya muncul adalah

mencari hal-hal untuk penyesuaian. Proses penyesuaian diri ini merupakan

gambaran gangguan psikis dari sikap dan perilaku sebelumnya yang biasa muncul

pada budaya tempat dia berasal (Martin & Nakayama, 2003: 285). Seseorang

mampu menyesuaikan diri dengan pola budaya di lingkungan baru pada tingkat

yang signifikan berkat adanya dukungan kelompok, pengakuan identitas baru

secara resmi dan kehadiran pihak lain sebagai pengganti teman-teman di daerah

(34)

Orang asing datang ke tempat yang baru terdiri dari beberapa status antara

lain turis, sojourner, imigran atau pengungsi. Turis adalah orang yang

mengunjungi suatu tempat dan berada di sana untuk waktu singkat. Jangka

waktunya sudah ditentukan karena tujuannya hanya untuk liburan dan relaksasi.

Sojourner menetap sementara di tempat baru untuk jangka waktu antara enam

bulan sampai lima tahun. Sojourner mempunyai tujuan yang sudah pasti yaitu

seperti pendidikan, bisnis, tugas kemiliteran dan relawan. Imigran dan pengungsi

berada di tempat baru dengan tujuan untuk menetap secara permanen di tempat

tersebut (Jandt, 2007: 289; Ting-Toomey, 1999: 234).

Motivasi untuk menyesuaikan diri sangat tergantung pada jangka waktu

berada di tempat yang baru. Para imigran misalnya yang harus membangun

kembali kehidupannya dan memperoleh keanggotaan tetap di lingkungan yang

baru. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kontak sekedarnya yang biasa

dilakukan para sojourner. Alasan para sojourner pada umumnya adalah untuk

meraih gelar sarjana atau hanya untuk meningkatkan prestise di hadapan

orang-orang di daerah asal. Alasan-alasan tersebut menyebabkan rendahnya motivasi

untuk menyesuaikan diri dengan sistem budaya daerah yang dikunjungi

(Gudykunst & Kim, 2003:358).

Beberapa faktor yang mempengaruhi proses adaptasi budaya :

a. Kemiripan atau adanya kesamaan antara budaya baru dengan budaya asal.

Lebarnya jarak budaya akan mengakibatkan pendatang secara psikologis

(35)

b. Dukungan sosial dari budaya asal.

Ketika seseorang berada di luar daerah asalnya, maka orang tersebut akan

turut membawa budaya dari daerah asalnya dan berusaha untuk tetap terus

terhubung dengan daerah asalnya. Dukungan sosial dari budaya asal akan

menjembatani jarak budaya dan secara perlahan individu akan membangun

hubungan dengan budaya yang baru.

c. Karakteristik pribadi dan latar belakang individu

Faktor demografi seperti usia, pendidikan, bahasa, pengalaman pribadi,

paparan budaya lain dan karakteristik pribadi akan mempengaruhi proses

adaptasi budaya.

d. Interaksi dengan intergroup

Intensitas interaksi antara individu dengan daerah asalnya akan berpengaruh

pada proses adaptasinya terhadap budaya baru.

(http://www.uk.sagepub.com).

Adaptasi yang sepenuhnya akan memerlukan waktu bertahun-tahun (Jandt,

2007: 291). Dalam proses adaptasi tersebut maka individu akan mengalami

kejutan budaya. Menurut Ryan dan Twibell (Samovar, et.al., 2010: 276), kejutan

budaya membutuhkan beberapa penyesuaian sebelum anda akhirnya dapat

beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Penyesuaian ini dapat berupa masalah

komunikasi, perbedaan mekanis dan lingkungan, isolasi dan pengalaman

perbedaan budaya, perilaku dan kepercayaan. Masalah-masalah lainnya meliputi

masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan-perbedaan dalam penggunaan

dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekspresi wajah, gerak mata, gerakan

(36)

dan Rakhmat, 2005: 139). Dengan pertimbangan masa tinggal subyek penelitian

yang masih singkat (antara 1 sampai 3 tahun) maka proses adaptasi yang akan

dibahas dalam penelitian ini hanya dibatasi sampai pada tahap kejutan budaya.

2.3.4 Kejutan Budaya

Setiap individu tentu mengalami kejutan budaya (culture shock) saat

bertransisi ke dalam budaya yang baru. Kejutan budaya adalah perasaan

disorientasi, tidak nyaman dengan suasana yang asing dan kurangnya perasaan

akrab dengan lingkungan, yang berlangsung dalam jangka waktu relatif singkat

(Martin & Nakayama, 2003: 270). Derajat kejutan budaya yang mempengaruhi

orang-orang berbeda-beda. Meskipun tidak umum terdapat juga orang-orang yang

tidak dapat tinggal di negeri asing (Mulyana & Rakhmat, 2005: 175).

Kalvero Oberg (1960), antropolog yang mencetuskan istilah culture shock,

menyatakan bahwa kejutan budaya bagaikan penyakit, yang dilengkapi dengan

gejala-gejala (seperti mencuci tangan berlebihan, mudah marah dan sebagainya).

Jika perasaan ini ditangani dengan tepat (seperti mempelajari bahasa setempat,

berteman dengan warga lokal dan sebagainya), orang yang mengalaminya akan

pulih atau menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan merasa seperti di rumah

(Martin & Nakayama, 2003: 270). Reaksi yang diasosiasikan dengan kejutan

budaya bervariasi di antara setiap individu dan dapat muncul dalam waktu yang

berbeda. Beberapa reaksi yang dialami individu saat mengalami kejutan budaya

adalah:

a. Permusuhan terhadap lingkungan yang baru

(37)

c. Perasaan tertolak

d. Sakit perut dan sakit kepala

e. Rindu kampung halaman

f. Merindukan teman dan keluarga

g. Perasaan kehilangan status dan pengaruh

h. Menyendiri

i. Menganggap anggota budaya yang lain tidak sensitif (Samovar, et.al., 2010:

476-477).

Adler, Pedersen dan lainnya (Jandt, 2007: 289-291) menggambarkan

kejutan budaya sebagai sebuah proses yang berlangsung dalam lima tahap, yaitu:

1) Tahap pertama

Tahap ini merupakan kontak awal yang sering juga disebut dengan “tahap bulan madu” atau eforia awal. Tahap pertama merupakan tahap dimana segala sesuatunya terasa baru dan menarik. Individu masih seperti seorang turis dan

identitas dirinya masih tertanam pada budaya asal.

2) Tahap kedua

Pada tahap kedua terjadi disintegrasi pada tanda-tanda yang sudah akrab

digunakan, terjadi iritasi dan kebencian pada pengalaman yang berbeda dalam

budaya baru. Individu akan mengalami perasaan tidak mampu dan

kemungkinan menarik diri dari pergaulan/interaksi atau menjadi terisolasi.

3) Tahap ketiga

Reintegrasi tanda-tanda yang baru dan peningkatan kemampuan untuk

(38)

masih terjadi pengalaman emosional yang biasanya berupa kemarahan dan kekesalan pada budaya baru karena “menjadi berbeda”.

4) Tahap keempat

Di tahap keempat penyesuaian diri terus berlangsung secara bertahap menuju kemandirian serta mampu melihat elemen “baik” dan “buruk” yang terdapat pada budaya asal dan budaya baru. Individu menjadi lebih nyaman dalam

budaya baru dan lebih banyak hal yang sudah bisa diprediksi. Perasaan

terisolasi menjadi semakin kecil dan semakin mampu untuk mengendalikan

situasi.

5) Tahap kelima

Akhirnya pada tahap kelima telah terjadi saling ketergantungan dimana

seseorang telah mampu merasakan kenyamanan.

Meskipun topik mengenai kejutan budaya ditempatkan dalam kategori “masalah”, adalah sebuah kekeliruan jika menyimpulkan diskusi ini tanpa menekankan bahwa kejutan budaya dapat menjadi pengalaman pembelajaran

eksplisit. Kejutan budaya memberikan kesempatan pada pengunjung untuk

mempelajari diri mereka sendiri. Pengalaman kejutan budaya memiliki potensi

yang kuat untuk membuat seseorang menjadi multikultur atau bikultur (Samovar,

et.al., 2010: 478).

2.4 Kerangka Pemikiran

Setelah peneliti melakukan kajian pustaka yaitu mempelajari, mendalami,

mencermati serta menelaah teori-teori dan hasil penelitian-penelitian yang

(39)

kerangka pemikiran dalam melaksanakan penelitian (Sudjarwo dan Basrowi,

2009: 69). Kerangka pemikiran dibentuk dengan merangkum kajian sejenis

terdahulu dan teori yang sesuai dengan fokus penelitian ini. Peneliti mencoba

menggambarkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini sebagai berikut:

Gambar 2.3: Kerangka Pemikiran

Sumber: Hasil pemikiran peneliti

Mahasiswa Batak asal Sumatera Utara yang menjalani pendidikan di Institut Seni Yogyakarta tentunya melakukan komunikasi antarbudaya di lingkungan mereka yang baru. Dalam proses komunikasi antarbudaya tersebut mereka memiliki gaya komunikasi yang dipengaruhi budaya asal dan budaya baru. Proses adaptasi budaya juga terjadi ketika melakukan komunikasi antarbudaya. Bagaimana gaya komunikasi dan adaptasi budaya tersebut yang hendak dikaji dalam penelitian ini. Parameter yang ditetapkan peneliti untuk melihat bagaimana gaya komunikasi dan adaptasi budaya tersebut adalah:

a. Gaya Bahasa (Direct/Indirect)

Budaya konteks-tinggi memakai gaya bahasa tidak langsung (indirect). Mereka mengutamakan pertukaran informasi secara nonverbal dan suasana komunikasi yang informal. Sebaliknya budaya konteks-rendah memakai gaya bahasa langsung (direct). Mereka mengutamakan pertukaran informasi secara verbal dan suasana komunikasi yang formal.

KOMUNIKASI ANTARBUDAY A Mahasiswa Batak asal Sumatera Utara di ISI Yogyakarta Gaya Berkomunikasi Adaptasi Budaya a. Gaya Bahasa b. Bentuk Pesan c. Sikap pada

in-group dan out-group

d. Adaptasi e. Kejutan budaya

(40)

b. Bentuk Pesan (Eksplisit/implisit)

Pada budaya konteks-tinggi sebagian besar pesan tersembunyi dan implisit, sedangkan budaya konteks-rendah sebagian besar pesan jelas tampak dan eksplisit.

c. Sikap pada in-group dan out-group

Anggota budaya konteks-tinggi selalu luwes dalam melihat perbedaan in-group dengan out-group. Anggota budaya konteks-rendah selalu memisahkan kepentingan in-group dengan out-group.

d. Adaptasi

Adaptasi adalah proses penyesuaian diri yang dilakukan seseorang untuk bisa merasa nyaman dengan budaya baru.

e. Kejutan budaya

Kejutan budaya yang hendak dilihat sesuai dengan reaksi-reaksi dan tahapan yang dilalui seseorang ketika mengalami kejutan budaya.

Gambar

Gambar 2.1:   Hubungan Antara Kesadaran dan Kemampuan Berkomunikasi   Antarbudaya
Gambar 2.2: Budaya Disusun dalam Dimensi Budaya Konteks-Tinggi dan   Konteks-Rendah  BUDAYA KONTEKS-TINGGI  Jepang  Cina  Korea   Afrika-Amerika   Amerika (pribumi)  Arab   Yunani   Latin   Italia   Inggris   Prancis   Amerika Utara  Skandinavia   Jerman
Gambar 2.3: Kerangka Pemikiran

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh pada penelitian “Rancang Bangun Rumah Pintar Berbasis IoT (Internet of Things) sebagai Media Pembelajaran Pada Mata Pelajaran

kajian dan hasil penelitian yang menunjukan bahwa guru memiliki peranan yang sangat strategis dan menentukan bagi keberhasilan pendidikan dan meningkatkan kualitas pembelajaran

Aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya

Sedangkan berdasarkan indikator perhatian, responden juga mempunyai perhatian dalam kategori tinggi untuk melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah

Karyawan bagian administrasi telah dapat melakukan pencatatan transaksi, posting hingga penyusunan laporan keuangan yang handal pada Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah

Selama bertahun-tahun, Inggris melihat Rusia sebagai ancaman besar bagi kepentingannya di Timur Jauh dan India. Namun, keadaan berubah setelah Rusia kalah dari Jepang dalam

Informasi yang dapat diperoleh dari Tabel 7 adalah kondisi hidrokimia memiliki hubungah yang sangat kuat dengan penggunaan airtanah untuk keperluan minum.. Hal ini bisa dilihat

º¡FGÈch º¡Nƒ«°ûd AɰVQEG ñÉæe ¤EG ™Lôj ,áØ∏àîŸG ɡશfCÉH äÉHÉîàf’G ‘ ácQɰûŸG øY ÚæWGƒŸG ±hõY ¿EÉa ,ΩÉY πµ°ûHh IGOCÉc á«©jöûàdG á°ù°SDƒŸG AGOCGh