• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelapa Kopyor

2.1.1 Biologi Kelapa Kopyor

Kelapa kopyor merupakan kelapa dengan buah yang unik, yaitu memiliki endosperma (daging buah) yang terlepas dari tempurungnya (Prasetyo & Rachmat, 2003; Mashud, 2010). Warisno (1998) menyebutkan bahwa secara morfologi, kelapa kopyor sulit dibedakan dengan kelapa normal, akan tetapi dengan cara menggoyang - goyang buahnya, suara yang gemericik dari air kelapa di dalam buah dapat digunakan untuk membedakan antara kedua jenis kelapa tersebut. Kelapa kopyor dapat dibedakan dengan mudah setelah buah kelapa dibelah (Gambar 2.1) (Mashud, 2010).

Salah satu penyebab lepasnya endosperma dari tempurung pada kelapa kopyor diduga karena adanya defisiensi enzim α-D-Galaktosidase (Sukendah, 2009). Enzim tersebut merupakan salah satu enzim yang dibutuhkan dalam proses pembentukan endosperma pada tanaman kelapa (Sukendah, 2009). Adanya defisiensi enzim tersebut menyebabkan putusnya hubungan jaringan endosperma dengan embryo sehingga secara alami endosperma tidak mampu mendukung pertumbuhan embryo (Maskromo & Novarianto, 2007).

(2)

Gambar 2.1. Perbedaan endosperma buah kelapa yang dibelah (A) pada kelapa

normal dan (B) kelapa kopyor. (Mashud, 2010).

Menurut Maskromo & Novarianto (2007) kelapa kopyor muncul secara alami dan bersifat diturunkan dengan gen resesif. Sifat kopyor akan muncul apabila saat penyerbukan bunga betina atau bakal buah yang memiliki gen resesif kopyor (k) bertemu dengan bunga jantan yang memiliki gen resesif (k) baik dalam satu pohon maupun yang berbeda pohon. Dengan demikian peluang terbentuknya buah kopyor dalam satu pohon atau tandan tergantung pada peluang penyerbukan yang melibatkan sifat kopyor pada bunga jantan atau betina tanaman kelapa tersebut. Pada kelapa tipe Dalam, persentase kelapa kopyor yang terbentuk secara alami tidak lebih dari 20 %, sedangkan kelapa tipe Genjah dapat mencapai 40 % (Maskromo et al., 2007; Mashud, 2008). Hal ini disebabkan kelapa kopyor tipe Dalam melakukan penyerbukan silang sedangkan pada tipe Genjah melakukan penyerbukan sendiri sehingga peluang untuk bertemunya gen resesif antara bunga jantan dan bunga betina lebih besar (Mashud & Manaroinsong, 2007).

(3)

2.1.2 Manfaat dan Nilai Ekonomi Kelapa Kopyor

Kelapa kopyor memiliki daging buah dengan tekstur buah yang lunak, cita rasa yang khas dan gurih (Mahmud, 2009). Menurut Hutapea et al. (2007), kelapa kopyor biasa dipasarkan dalam bentuk buah segar maupun siap saji seperti es kopyor dan es campur. Selain itu, kelapa kopyor juga dapat diolah terlebih dahulu untuk menghasilkan produk dengan nilai ekonomis lebih tinggi seperti es cream kopyor, selai kopyor ataupun permen kopyor. Di samping itu endosperma kelapa kopyor memiliki nilai gizi lebih tinggi jika dibandingkan dengan endosperma kelapa normal (Sukendah, 2009).

Permintaan kelapa kopyor dilaporkan sangat tinggi terutama pada waktu – waktu tertentu seperti saat bulan puasa dan menjelang lebaran. Akibat permintaan yang meningkat maka harga buah kopyor dapat meningkat hingga dua sampai tiga kali lipat dari harga biasa (Mahmud, 2009). Walaupun sampai saat ini belum pernah dilakukan survei untuk mengetahui secara pasti keseluruhan kebutuhan kelapa kopyor, tetapi survei pada beberapa daerah sentra kelapa kopyor seperti Lampung dan Sumenep menunjukan bahwa kebutuhan kelapa kopyor di Indonesia terutama kota besar di Jawa seperti Jakarta sangat tinggi sedangkan kelapa kopyor yang dihasilkan jumlahnya terbatas (Maskromo et al., 2007).

2.1.3 Budidaya Kelapa Kopyor

Buah kopyor tidak dapat berkecambah secara alami karena endospermanya tidak mampu menyokong pertumbuhan embryo (Prasetyo & Rachmat, 2003). Akibatnya pembibitan kelapa kopyor dilakukan dengan cara menyemaikan buah kelapa normal yang diperoleh dari pohon dengan tandan yang menghasilkan buah

(4)

kopyor. Pembibitan dengan cara tersebut kurang efektif untuk dilakukan karena tidak semua pohon yang dipelihara akan menghasilkan buah kopyor. Kelapa kopyor tipe Dalam yang diperoleh melalui pembibitan secara alami tersebut hanya akan menghasilkan buah kopyor sekitar 3 - 25 % (Maskomo et al., 2007), sedangkan pada tipe Genjah dapat mencapai 30 – 50 % (Mashud, 2008).

Salah satu teknik untuk mengatasi permasalah tersebut adalah dengan menggunakan teknik kultur embryo. Tanaman kelapa kopyor hasil kultur embryo berpotensi sangat besar dalam menghasilkan buah kopyor yaitu mencapai 90 – 100% (Hutapea et al., 2007).

2.2 Kultur Embrio Kelapa Kopyor

Kultur embryo adalah teknik untuk menumbuhkan embryo zigotik pada kondisi aseptis dalam medium tertentu sehingga diperoleh bibit tanaman (Raghavan, 2003). Kultur embryo biasa dilakukan untuk menyediakan bibit suatu tanaman dengan alasan tertentu, seperti penyelamatan spesies tanaman budidaya hasil persilangan yang tidak dapat bertahan hidup apabila ditumbuhkan secara alami (Burun & Poyrazoglu, 2002) maupun dapat digunakan untuk menyelamatkan dan menumbuhkan embryo yang memiliki kebutuhan khusus (Raghavan, 2003).

Pada tanaman kelapa, teknik kultur embryo telah banyak dilakukan dengan berbagai macam tujuan antara lain untuk koleksi dan pengiriman plasma nutfah kelapa (Mashud, 2008), penyelamatan plasma nutfah serta perbaikan bibit tanaman kelapa (Mashud & Manaroinsong, 2007). Khusus pada kelapa unggul

(5)

seperti kelapa kopyor dan kelapa kenari, kultur embryo digunakan untuk menghasilkan bibit unggul yang mampu menghasilkan buah unggul dengan persentase yang lebih tinggi (Mashud, 2008).

Aplikasi kultur embrio untuk menghasilkan bibit kelapa telah banyak dilakukan di beberapa negara seperti Sri Lanka, Filipina, India dan Indonesia. Tingkat keberhasilan kultur embryo di setiap negara bervariasi, seperti di Sri Lanka dan Filipina sangat tinggi (94 -98 %; Weerakoon, 2002; Rillo et al., 2002). Namun di Indonesia dan India memiliki keberhasilan yang lebih rendah (61 – 67 %; Karun et al., 2002; Mashud, 2002).

Pelaksanaan kultur embryo kelapa pada umumnya dilakukan melalui 4 tahap, yaitu (1) koleksi embryo dari lapang (2) persiapan media (3) teknik aseptik (4) aklimatisasi (Mashud & Manaroinsong, 2007). Tahap koleksi embryo dari lapang terdiri atas tahap pemanenan buah kelapa sebagai sumber embryo, pengupasan dan pengambilan silinder endosperma, pemisahan embryo dari endosperma (Gambar 2.2; Mashud et al., 2003).

Tahap persiapan media tanam untuk kultur embryo, media tanam yang umum digunakan terdiri atas unsur hara makro, mikro, vitamin, zat pengatur tumbuh, arang aktif dan sukrosa sebagai sumber energi (Mashud, 2010). Beberapa medium tanam yang banyak digunakan untuk menumbuhkan embryo kelapa secara in vitro meliputi medium CPCRI (Central Plantation Crops Research Institute; Damasco, 2002; Karun et al., 2002; Mashud, 2002; Rillo et al., 2002), medium UPLB (University of Phillipine Los Banos; Karun et al., 2002; Mashud, 2002; Rillo, 2002; Weerakon et al., 2002). medium PCA (Phillipine Coconut

(6)

Authority; Rillo et al., 2002), serta medium HEC (Hybrid Embryo Culture ; Rillo, 2004).

Gambar 2.2. Pengupasan buah kelapa (A) dilanjutkan dengan pengambilan silinder endosperma (B) kemudian embryo di isolasi dari silinder endosperma (C) (Mashud et al., 2004).

Tahap selanjutnya merupakan tahap yang paling penting dalam kultur jaringan yaitu tahap teknik aseptik. Teknik aseptik terdiri dari persiapan embryo steril dan pemeliharaan embryo secara in vitro (Mashud et al., 2003). Pada tahapan ini umumnya eksplan disterilkan dengan menggunakan larutan aseptik seperti larutan hipoklorit (Weerakon et al., 2002). Embryo yang telah disterilkan kemudian ditanam pada media tanam (Mashud, 2008) dan dipelihara pada temperatur 28 - 30 ºC dalam kondisi terang dengan periode 14 jam cahaya, 10 jam tanpa cahaya (Adkins, 2008).

Tahap aseptik selanjutnya adalah tahap induksi akar. Pada kelapa biasa, keberhasilan induksi akar bervariasi antara 26 - 70 % tergantung media yang digunakan (Karun et al., 2002). Namun, pada kelapa kopyor tingkat keberhasilan induksi akar masih sangat rendah. Prasetyo & Rachmat (2003) melaporkan bahwa induksi akar dengan menggunakan medium dasar Murashige dan Skoog (MS, 1962) hanya mampu menginduksi akar sekitar 11 %, sedangkan Sukendah et

(7)

al., (2008) melaporkan tingkat keberhasilan induksi akar yang lebih tinggi (45 %). Tingkat keberhasilan induksi akar yang lebih tinggi, yaitu 100 % telah dilaporkan oleh Risnani (2012).

Tahap terakhir dalam penyediaan bibit kelapa adalah tahap aklimatisasi. Aklimatisasi adalah tahap penyesuaian bibit dari kondisi kultur (in vitro) ke kondisi lingkungan luar (ex vitro) di screen house atau lapang yang mengharuskan bibit tumbuh secara autotrofik (Mashud et al., 2004). Pada kelapa kopyor, tingkat keberhasilan pada tahap ini masih rendah yaitu kurang dari 20 % (Sukendah, 2005; Mashud, 2010). Hal ini disebabkan karena bibit mengalami shock dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan luar (Mashud et al., 2004). Hal inilah yang menjadi penyebab belum banyak dikembangkannya budidaya kelapa kopyor dengan persentase buah kopyor tinggi melalui teknik kultur embryo.

2.3. Aklimatisasi dan Permasalahannya

Aklimatisasi merupakan tahapan yang sangat penting untuk memindahkan planlet hasil kultur in vitro yang tumbuh secara fotomikotrofik ke lingkungan ex vitro di screen house atau lapang yang mengharuskan bibit tumbuh secara autotrofik (Mashud et al., 2004; Wardani et al., 2008; Handayani, 2011). Aklimatisasi dibutuhkan waktu selama beberapa minggu atau beberapa bulan untuk menyesuaikan tanaman secara perlahan dengan lingkungannya.

Banyak tanaman hasil kultur in vitro berhasil diaklimatisasi dengan mudah seperti pada tanaman Aronia arbutifolia L. (Colun-Guasp et al., 1996), kacang tanah (Sinaga, 1998), sambung nyawa (Kristina et al., 2005), krisan (Muhit,

(8)

2007), Rauvolfia serventina L. (Baksha, 2007), anggrek (Wardani et al., 2008), Vitis vinifera (Gago et al., 2009), anyelir (Rohayati & Marlina, 2009), Eucalyptus globulus L. (Pinto et al., 2010), Stevia rebaudiana (Verna, 2011), dan Bambusa tulda. Roxb (Mishra et al., 2011). Namun pada tanaman yang lain seperti kelapa sawit (Meiriani, 2002), anthurium (Marlina, 2004; Gantaif & Madal, 2010), dan Dendrobium lituiflorum (Vyas et al., 2011) tahap aklimatiasi sulit untuk dilakukan.

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab gagalnya proses aklimatiasi tanaman hasil kultur jaringan di antaranya adalah perbedaan lingkungan tanaman yang sangat kontras antara lingkungan in vitro dengan lingkungan ex vitro. Perbedaan lingkungan tersebut seperti kelembapan udara di dalam botol yang sangat tinggi (di atas 95 %) dengan intensitas cahaya yang rendah serta ketersediaan gas CO2 yang sangat terbatas, sedangkan di lingkungan ex vitro memiliki kelembapan udara yang relatif lebih rendah (sekitar 60 - 80 %) dengan intensitas cahaya dan kadar gas CO2 yang relatif tinggi (Pospisilova et al., 1999; Pospisilova et al, 2007). Hal inilah yang menjadi penyebab tanaman mengalami shock dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan luar (Mashud et al., 2004).

2.3.1 Kadar Air

Air berperan penting untuk keberlangsungan hidup semua makhluk hidup termasuk tumbuhan, karena air merupakan penyusun sel yang kadarnya bervariasi kisaran antara 60 – 85 % tergantung pada jenis jaringan selnya (Salisbury & Ross, 2005). Air memiliki peran sebagai sistem pelarut di dalam sel, mempertahankan

(9)

tekanan turgor serta berperan penting dalam pengangkutan unsur hara dan mineral dari akar menuju ke daun (Hsiao, 1973). Akibatnya, air mutlak dibutuhkan tumbuhan dan harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu air sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Taiz & Zaiger, 2002).

Kehilangan air dapat menyebabkan terganggunya proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman dengan efek lebih jauh dapat menyebabkan kematian bagi

tanaman (Mark et al., 1995). Pada bibit tanaman yang baru dipindahkan dari

kondisi lingkungan in vitro ke lingkuangan ex vitro sering kali mengalami kelayuan pada daun sebagai akibat dari hilangnya air dari sel daun ke lingkungan ex vitro.

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab hilangnya kadar air pada daun sewaktu terjadi proses aklimatisasi di antaranya adalah lapisan epikutikular lilin. Menurut Esau (1977) epikutikular lilin merupakan senyawa lipid yang terdapat di luar permukaan epidermis, bersifat kedap air dan berfungsi sebagai pengatur kadar air di dalam sel-sel yang berada di bawahnya Secara anatomis semakin tebal lapisan epikutikular lilin pada daun maka tanaman tersebut akan relatif lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang memiliki lapisan epikutikular lilin tipis.

Menurut Imaningsih (2006), ketebalan lapisan epikutikular lilin merupakan salah satu cara tumbuhan untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Lapisan

epikutikular lilin merupakan lapisan pelindung pada tumbuhan yang berada di atas

(10)

penguapan. Tanpa adanya lapisan pelindung tersebut, maka hilangnya uap air melalui permukaan daun akan berlangsung sangat cepat sehingga tumbuhan akan layu dan mati (Salisbury & Ross, 2005). Epikutikular lilin juga merupakan lapisan pertahanan pertama bagi tumbuhan untuk menghadapi kondisi lingkungan ekternal seperti perlindungan terhadap radiasi sinar matahari maupun serangan patogen (Mark et al., 1995; Matthew, 1995).

Menurut Gilly et al., (1997) dan Seelye et al., (2003), bibit tanaman yang dihasilkan dari teknik perbanyakan secara in vitro memiliki lapisan epikutikular lilin yang lebih tipis dibandingkan dengan bibit yang dihasilkan melalui teknik konvensional. Akibatnya bibit yang dihasilkan dari perbanyakan secara in vitro akan kehilangan air secara cepat pada waktu dipelihara di lingkungan ex vitro. Maka banyak tanaman yang dihasilkan dari teknik in vitro akan mati sewaktu dilakukan aklimatisasi.

Faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap hilangnya kadar air pada sel-sel daun sel-selama terjadinya proses aklimatisasi adalah struktur stomata. Stomata berfungsi sebagai tempat berlangsungnya pertukaran gas (CO2, O2) dan tempat keluarnya uap air (transpirasi) antara jaringan tumbuhan dengan lingkungannya (Cha-um et al., 2010 ). Menurut Pospisilova et al., (1999) bibit tanaman yang dihasilkan dari teknik perbanyakan secara in vitro pada umumnya memiliki stomata yang lebih banyak terbuka dibandingkan dengan bibit yang dihasilkan melalui teknik konvensional (Gambar 2.3). Akibatnya bibit yang dihasilkan dari perbanyakan secara in vitro akan mengalami penguapan dengan cepat sewaktu

(11)

dilakukan aklimatisasi. Akibatnya banyak tanaman yang mati pada tahapan tersebut.

Gambar 2.3 Perbandingan stomata bibit in vitro dengan bibit normal (Pospisilova et al.,1999).

2.3.2 Faktor Fotosintesis

Fotosintesis adalah suatu proses pengubahan zat – zat anorganik H2O dan CO2 oleh kloroplas diubah menjadi zat organik karbohidrat (C6 H12 O6) dengan bantuan energi cahaya (Gambar 2.4. Taiz & Zaiger, 2002). Fotosintesis merupakan aktivitas kompleks, dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi kondisi jaringan dan organ fotosintetik, kandungan klorofil, umur jaringan daun, aktivitas fisiologi seperti transpirasi, respirasi dan adaptasi fisiologis. Faktor eksternal seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, hujan, cahaya, konsentrasi CO2, air (H2O) dan penyebab timbulnya stress seperti ketersediaan air, ada polutan biosida dan zat-zat beracun lain (Taiz & Zaiger, 2002; Suyitno, 2006; Cha-umet al., 2010).

(12)

Gambar 2.4 Rumus Reaksi Fotosintesis (Taiz & Zaiger, 2002).

Selama proses aklimatisasi, bibit yang dihasilkan dari perbanyakan secara in vitro memiliki laju fotosintesis yang lebih rendah dibandingkan dengan bibit yang dihasilkan melalui teknik konvensional (Minocha et al., 2009). Akibatnya selama proses tersebut bibit in vitro memiliki laju pertumbuhan yang lebih rendah (Wellburn, 1994).

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya laju fotosintesis pada tanaman in vitro di antaranya adalah ketebalan daun tanaman. Daun memiliki dua permukaan yaitu permukaan yang menghadap ke atas (adaxial) dan permukaan yang menghadap ke bawah (abaxial). Secara umum, kelapa merupakan tanaman monokotil yang memiliki susunan daun dari atas ke bawah secara berurutan adalah epidermis atas, jaringan mesofil dan epidermis bawah (Gambar 2.5. Santana et al., 2010; Noblick, 2013). Pada umumnya epidermis atas dilindungi oleh lapisan epikutikular lilin guna memperkecil terjadinya penguapan (Santana et al., 2010). Jaringan mesofil umumnya tersusun atas jaringan tiang (palisade), jarignan bunga karang (spons) maupun ikatan pembuluh (Noblick, 2013, Moya et al., 2013). Pada jaringan mesofil inilah banyak ditemukan kloroplas yang mengandung klorofil sehingga bagian tersebut berwarna hijau.

(13)

Gambar 2.5 Perbandingan penampang melintang daun kelapa in vitro (A dan B) dengan bibit kelapa yang dipelihara secara ex vitro (C dan D). T (tebal daun); KT (kutikula); Ep. A (epidermis atas); MS (jaringan mesofil, MS. Kl (jaringan mesofil dengan kloroflas); Ep. B (epidermis bawah) (Santana et al., 2010; Noblick, 2013).

Pada tanaman yang dipelihara secara in vitro jaringan mesofil banyak mengalami keabnormalan dibandingkan dengan tanaman yang dipelihara secara ex vitro (Gambar 2.5. Santana et al., 2010). Keabnormalan jaringan mesofil pada tanaman in vitro nampak dengan bentuk jaringan palisade yang kurang beraturan dan berukuran sangat panjang dengan kandungan kloroplas yang lebih sedikit. Hal ini berbeda dengan tanaman ex vitro yang memiliki bentuk jaringan palisade yang kompak dengan ukuran lebih pendek dan mengandung banyak kloroplas (Santana et al., 2010). Akibat sedikitnya jaringan yang mengandung kloroplas pada tanaman in vitro tersebut akan menyebabkan rendahnya laju fotosintesis sehingga

(14)

menyebabkan pertumbuhan tanaman lambat (Willburn, 1999; Minocha et a., 2009).

Faktor lain yang diduga mempengaruhi proses fotosintesis adalah kadar klorofil. Klorofil merupakan pigmen penyerap cahaya pada proses fotosintesis yang terdapat pada tumbuhan, alga dan bakteri fotosintetik. Senyawa ini yang berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan dengan menyerap dan mengubah energi cahaya matahari menjadi energi kimia (Taiz & Zaiger, 2002). Pada tumbuhan tingkat tinggi terdapat dua macam jenis klorofil yaitu klorofil a (C55H72O5N4Mg) yang berwarna hijau tua dan klorofil b (C55H70O6N4Mg) yang berwarna hijau muda, keduanya dibedakan oleh gugus methyl (CH3) pada klorofil a dan gugus aldehid (CHO) pada klorofil b (Gambar 2.6).

Gambar 2.6. Rumus bangun klorofil a dan klorofil b (Taiz & Zaiger, 2002). Pada umumnya tanaman yang dipelihara secara in vitro memiliki kadar klorofil a dan kadar klorofil b serta klorofil total yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang dipelihara secara ex vitro (Pospisilova et al., 1998; Pospisilova et al., 1999; Pospisilova et al., 2007). Akibatnya kecepatan fotosintesis pada tanaman yang dipelihara secara in vitro jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanaman ex vitro (Pospisilova et al., 1999). Selama proses aklimatisasi, kadar klorofil a, kadar klorofil b, klorofil total maupun kecepatan

(15)

fotosintesis akan meningkat dengan bertambahnya waktu (Pospisilova et al., 1999; Minocha et al, 2009).

2.4 Upaya Perbaikan Teknik Aklimatisasi Kelapa Kopyor

Pada kelapa kopyor, tingkat keberhasilan pada tahap aklimatisasi masih rendah (Mashud & Manaroinsong, 2007; Sukendah et al., 2008). Teknik yang digunakan untuk aklimatisasi pada penelitian-penelitian tersebut adalah dengan menggunakan teknik konvensional yaitu tanaman disungkup dengan menggunakan plastik guna menjaga kelembaban. Hasil yang diperoleh dengan teknik tersebut masih sangat rendah, yaitu kurang dari 20 % (Mashud & Manaroinsong, 2007; Sukendah et al., 2008). Hal ini disebabkan karena bibit mengalami shock dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan luar (Mashud et al., 2004).

Teknik penelitian yang lebih baik dilaporkan oleh Risnani (2012) dengan menggunakan kotak aklimatisasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan keberhasilan yang lebih tinggi, yaitu di atas 90 %. Namun demikian, pada penelitian tersebut belum dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perubahan anatomi dan fisiologi bibit kelapa kopyor yang berhasil diaklimatisasikan dan dipelihara di lingkungan luar. Oleh karena itu pada skripsi ini akan dilaporkan hasil analisis anatomi dan morfologi daun bibit yang dipelihara secara in vitro dibandingkan dengan bibit selama aklimatisasi maupun yang telah dipelihara di lingkungan ex vitro selama sekitar 2 tahun.

Gambar

Gambar  2.2.  Pengupasan  buah  kelapa  (A)  dilanjutkan  dengan  pengambilan  silinder  endosperma (B) kemudian embryo di isolasi dari silinder  endosperma (C) (Mashud et al., 2004)
Gambar 2.3 Perbandingan stomata bibit in vitro dengan bibit normal                        (Pospisilova et al.,1999)
Gambar 2.6. Rumus bangun klorofil a dan klorofil b (Taiz & Zaiger, 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan keterampilan proses harus diterapkan karena ilmu pengetahuan berlangsung semakin cepat sehingga tak mungkin lagi para guru mengajarkan semua fakta dan

Setelah pasien menginputkan gejala yang dikeluhkan atau telah melakukan proses retrieve , kemudian sistem akan melakukan proses tahapan case based reasoning

Faktor koreksi persamaan diperoleh dari data pengukuran konsentrasi sedimen suspensi (data pengukuran laboratorium dan lapangan) yang digunakan dalam penelitian ini,

Makeeva’s latest publication (2015) entitled Learn to Read by Teaching gives an insight into professionally oriented English class procedures and techniques which

diketahui bahwa subsektor pertanian, peternakan, perburuan dan jasa pertanian menjadi prioritas pengembangan pertama di Kabupaten Wonogiri, subsektor tersebut merupakan

Selain belatung gelang, daerah Lampung juga memiliki beberapa jenis sanggul lainnya, yaitu Belattung Tebak (sanggul yang bentuknya malang), Belattung Miring (sanggul yang

Seminar Hukum dan Publikasi Nasional (Serumpun) II 2020 yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung ini di antaranya bertujuan untuk

Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku dosen pembimbing III bagi