• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Nata de coco

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Nata de coco"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Nata de coco

Nata adalah produk pangan hasil fermentasi organisme Acetobacter xylinum. Acetobacter xylinum memproduksi nata apabila tumbuh di media yang mengan-dung karbon dan nitrogen. Pada kondisi ini, Acetobacter xylinum memproduksi enzim ekstraseluler yang dapat membentuk glukosa menjadi ribuan rantai fiber atau selulosa. Nata yang terbentuk memiliki kualitas yang berbeda tergantung dari substrat yang digunakan. Apabila perbandingan kandungan karbon dan nitrogen pada substrat diatur optimum, maka seluruh cairan substrat dirubah menjadi nata tanpa adanya sisa (Pambayun 2002).

Menurut Mukerji dan Gupta (2001), nata biasa dikonsumsi sebagai pangan penutup (dessert) dan dibuat dari fermentasi aneka jus buah-buahan. Berbagai jenis bahan baku, seperti santan kelapa, jus kelapa, nenas, tomat, molase dan aneka jus buah lainnya yang mengandung gula dapat dibuat menjadi nata. Karena itu, nama nata didasarkan atas bahan baku yang digunakan, seperti nata de coco dibuat dari kelapa, nata de pina dibuat dari nenas, nata de tomato dibuat dari tomat, nata de soya dibuat dari ekstrak kedelai (Pambayun 2002).

Nata merupakan lapisan berwarna putih atau krem, tak dapat larut, lapisan menyerupai gel dari sel dan polisakarida yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum, pada permukan media yang diasamkan yang mengandung gula, etil alkohol dan nutrisi lainnya (Steinkraus 1996). Menurut Suprapti (2003), lapisan kental dan transparan pada permukaan media terbentuk pertama kali pada hari hari ke-2 dan ke-3 fermentasi. Pada hari ke-3 sampai ke-5, terdapat banyak gelembung udara pada permukaan media, dan seluruh gelembung udara ini berubah menjadi lapisan tipis putih secara bertahap. Lebih lanjut, setelah kira-kira 15 hari fermen-tasi, lapisan polimer bakteria padat setebal 2-3 cm terbentuk pada cairan media (Mukerji dan Gupta 2001). Lapisan ini kemudian diambil dan dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil, dicuci dan dididihkan hingga asam asetat hilang. Nata disajikan setelah dimasak dalam larutan gula dan disajikan bersama cam-puran jus buah.

(2)

SNI 01-4317-1996, nata dalam kemasan mendefinisikan nata dalam kemasan sebagai produk makanan berupa gel selulosa hasil fermentasi air kelapa, air tahu atau bahan lainnya oleh bakteri asam cuka (Acetobacter xylinum) yang telah diolah dengan penambahan gula dan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan dikemas secara aseptik. Syarat mutu nata dalam kemasan menurut SNI 01-4317-1996 seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. SNI 01-4317-1996 Syarat Mutu Nata dalam kemasan

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 2. 3. 4. 5. 6. 6.1. 6.2. 6.3. 7. 7.1. 7.2. 7.3. 7.4. 8. 9. 9.1. 9.2. 9.3. 9.4. Keadaan Bau Rasa Warna Tekstur Bahan asing Bobot tuntas

Jumlah gula (dihitung sebagai sukrosa)

Serat makanan

Bahan Tambahan Makanan Pemanis Buatan:

• Sakarin • Siklamat Pewarna tambahan Pengawet (Na Benzoat) Cemaran Logam: Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn)

Cemaran Arsen (As) Cemaran Mikroba: Angka Lempeng Total Coliform Kapang Khamir - - - - - % % % Sesuai SNI 01-0222-1995 mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg APM/g koloni/g koloni/g koloni/g normal normal normal normal tidak boleh ada

minimum 50 minimum 15 maksimum 4.5

tidak boleh ada tidak boleh ada Sesuai SNI 01-0222-1995 maksimum 0.2 maksimum 2 maksimum 5.0 maksimum 40.0/250.0 maksimum 0.1 * maksimum 2.0 x 10 <3 2 maksimum 50 maksimum 50 * dikemas dalam kaleng

Acetobacter xylinum, merupakan bakteri gram-negatif, aerobik, berbentuk batang termasuk dalam keluarga Acetobacteraceae. Di Habiatat alaminya, mayo-ritas bakteri mensintesa polisakarida di luar sel-nya, yang menutupi dan

(3)

menge-lilingi sel. Bakteri pembentuk Nata adalah salah satu contohnya. Di dalam media statis, sel memproduksi selulosa sebagai metabolit sekunder yang disatukan diluar sel menjadi pilinan selulosa yang tebal, yang disebut juga pelikel. Pelikel ini normalnya melindungi seluruh permukaan medium yang terekspos ke udara. Hal ini dimaksudkan agar selulosa yang dihasilkan meyebabkan sel terperangkap dalam pelikel untuk mencapai permukaan media dimana pasokan oksigen selalu tersedia (Hestrin and Schramm 1954), meskipun studi selanjutnya menunjukkan bahwa pelikel selulosa bisa memiliki fungsi alternatif lain selain menempatkan sel dalam kondisi aerobik (William and Cannon 1989). Hal ini telah dilaporkan bahwa pelikel selulosa melindu ngi sel dari efek kematian oleh sinar ultra violet, meningkatkan kolonisasi substrat seperti buah-buahan (yang merupakan habitat alami organisma tersebut) dan membantu mempertahankan kandungan air untuk mencegah pengeringan substrat untuk waktu yang lama. Dalam kondisi yang cocok hingga 50% pasokan substrat karbon memungkinkan diasimilasi menjadi selulosa untuk menghasilkan pelikel yang tebal.

Faktor kritis yang langsung mempengaruhi produksi nata oleh A. xylinum dibagi menjadi dua kelompok yaitu (1) bahan-bahan fermentasi dan (2) kondisi operasi selama fermentasi. Termasuk dalam kelompok pertama adalah tipe/strain mikroorganisma yang digunakan, komposisi media yang selanjutnya dibagi lagi menjadi sumber karbon yang digunakan sebagai substrat dan sumber nitrogen atau mineral yang ditambahkan kedalam media. Kelompok kedua adalah parameter-parameter seperti pH, oksigen, suhu, konsentrasi relatif dari substrat dan tipe metode fermentasi atau disain fermentor yang digunakan. Masing-masing kondisi tidak hanya menentukan kecepatan dihasilkannya nata tetapi juga memperngaruhi karakteristik fisik dan kimia selulosa (nata) yang dihasilkan.

Ratusan strain berbeda dari genus Acetobacter yang dapat menghasilkan selulosa, dan pemilihan strain terbaik yang menghasilkan selulosa adalah langkah pertama yang biasa dilakukan untuk optimasi prosedur. Satu strain Acetobacter xylinum yang diketahui menghasilkan gel selulose hingga ketebalan 5-7 cm dikelompokkan sebagai penghasil selulosa berlebih (Cannon and Anderson 1991).

Sudah banyak diketahui bahwa A. xylinum mempunyai kemampuan mensintesa selulosa dari berbagai substrat, namun dilaporkan terdapat perbedaan

(4)

pendapat mengenai tipe sumber karbon yang dapat memberikan kecepatan produksi terbaik. Salah satu penelitian (Masaoka, et al., 1993), glukosa memberi-kan hasil selulosa tertinggi melebihi sumber karbon lainnya. Penelitian lain (Embuscado et al., 1994), fruktosa dipilih untuk menghasilkan selulosa tujuh kali lebih banyak dari selulosa yang dihasilkan oleh glukosa. Perbedaan ini dimung-kinkan terjadi karena perbedaan strain pada masing-masing penelitian. Sumber nitrogen yang pernah dibandingkan penggunaanya adalah yang berasal dari sumber organik seperti ekstrak khamir dan sumber anorganik seperti ammonium sulfat yang digunakan dalam produksi selulosa oleh strain penghasil selulosa berlebih A. xylinum (Embuscado et al., 1994).

Nilai pH media bisa jadi merupakan studi awal yang dilakukan untuk mengetahui kondisi biosintesisis selulosa dari bakteri. Banyak penelitian setuju bahwa pH optimum untuk menghasilkan selulosa antara pH 4 sampai 6 dengan nilai maksimum pada 5 sampai 5.5. (Hestrin et al., 1954, Lapuz et al., 1967, Masaoka et al., 1993, Embuscado et al., 1994). Diluar batas ini selulosa yang dihasilkan minimal dan mempengaruhi pertumbuhan walaupun sel Acetobacter diketahui dapat bertahan pada nilai pH yang rendah.

Oksigen sangat dibutuhkan dalam produksi selulosa, sel A. xylinum tidak dapat membentuk membran koheren ketika tumbuh dalam lapisan udara nitrogen (Hestrin et al., 1954). Penelitian lain (Schramm and Hestrin, 1954), pemberian oksigen bertekanan tinggi (100% oksigen udara) menambah kecepatan produksi selulosa. Penelitian selanjutnya menunjukan tingkat oksigen yang rendah dalam fase gas sekitar 10% dan 15% (dibandingkan dengan 21% pada lapisan udara normal) meningkatkan produksi selulosa meskipun pertumbuhan sel tetap konstan (Yamanaka et al., 1994).

Pengaruh suhu dalam produksi nata menyerupai pH, yaitu dalam kisaran tertentu. Penelitian kebutuhan pertumbumbuhan organisma nata (Lapuz et al., 1967) berkesimpulam bahwa sel tumbuh dan pelikel yang dihasilkan terjadi pada kisaran suhu 20-30o

Pemanfaatan selulosa dari bakteri (nata) yang telah berhasil secara komersial adalah sebagai produk pangan, nata de coco. Berbagai produk pangan C. Hasil ini dapat diterima ditunjukkan dengan hampir semua isolasi strain A. xylinum dari buah yang membusuk dilakukan pada suhu ruangan.

(5)

juga telah disarankan untuk menggunakan selulosa dari bakteri ini seperti sebagai bahan tambahan rendah kalori, pengental, penstabil dan untuk memodifikasi tekstur (Okiyama et al., 1992). Aplikasi untuk pangan proses seperti sebagai minuman coklat rendah kalori, pasty condiments, dan es krim sudah dicoba (Okiyama et al., 1993). Pemanfaatan lain diluar produk pangan antara lain untuk diafragma akustik, kertas berkekuatan tinggi, bahan pengikat untuk pembuatan kertas dari bahan berserat lain, pelindung luka, pelapis permukaan, serat tekstil dan banyak lagi kegunaan potensial lainnya.

Nata dapat dikategorikan sebagai probiotik. Nata berkontribusi membantu proses pencernaan di usus kecil dan menyerap air di usus besar. Nata mengandung + 2.5% sellulosa, 2.75% serat kasar, 1.5-2.8% protein, 0.35% lemak, dan sisanya air. Protein pada nata umumnya berasal dari Acetobacter xylinum yang terjebak didalam lapisan serat (Hidayat et al. 2006).

Pengaruh Keasaman pada Pertumbuhan Mikroorganisme

Pengawetan pangan menggunakan asam lebih lama dari yang telah ditulis sejarah. Hal itu seperti ketika pertama kali pangan diawetkan dengan cara fermentasi seperti yoghurt dan saurkraut. Pangan-pangan tersebut diawetkan oleh asam laktat yang diproduksi karena adanya bakteri yang ditumbuhkan dalam pangan. Asam laktat ini menghambat pertumbuhan organisme lainnya yang dapat merusak pangan (National Food Processors Association 1995).

Food and Drug Administration (FDA) mendifinisikan pangan yang diasam-kan (acidified foods) sebagai pangan berasam rendah yang dalam pembuatannya ditambahkan asam atau pangan asam untuk menghasilkan produk yang memiliki kesetimbangan pH akhir 4.6 atau kurang dan memiliki aktifitas air (aw) lebih

besar dari 0.85. Pangan jenis ini disebut dengan pickles. Definisi ini menyebabkan beberapa pangan tidak termasuk produk yang diasamkan yaitu minuman karbonasi, jam, jelli, pangan yang yang diawetkan dengan cara fermentasi. Namun demikian prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengolah dapat digunakan dan mungkin sama (National Food Processors Association 1995).

(6)

Spora dari Clostridium bolinum tidak akan bergerminasi dan tumbuh pada pangan yang memiliki pH di bawah 4.6. Nilai pH 4.6 telah dipilih menjadi pembagi pangan asam dan pangan berasam rendah. Spora Clostridium botulinum dan bakteri lain penyebab kerusakan pangan tetap dapat ditemukan dipangan asam dan pangan berasam rendah (National Food Processors Association 1995).

Penerapan panas sedang membunuh semua bakteri tidak pembentuk spora atau seluruh sel vegetatif dipangan berasam rendah dan pangan asam. Pada pangan berasam rendah, panas yang tinggi harus diterapkan untuk membunuh spora bakteri Costridium botulinum atau spora penyebab kerusakan pangan lainnya. Pada pangan asam spora dari C. Botulinum tidak perlu dikhawatirkan. Spora pada pangan tersebut dihambat pertumbuhan dan perkembangannya karena memiliki pH 4.6 atau lebih kecil (National Food Processors Association 1995).

Menurut Haryadi (2000), untuk makanan asam, proses termal didisain berdasarkan pada ketahanan panas bakteri fakultatif anaerob, seperti Bacillus coagulan (B. thermoacidurans), B. mascerans, dan B. polymyxa.

Proses Termal

Tujuan utama proses termal adalah untuk menghasilkan pangan yang ”steril komersial”. Perbedaan sterilisasi total dengan sterilisasi komersial adalah pada sterilisasi komersial, masih terdapatnya beberapa mikroba yang masih dapat hidup setelah pemberian panas (sterilisasi). Namun, karena kondisi dalam kemasan selama penyimpanan yang terjadi dalam praktek komersial sehari-hari, maka mikroba tersebut tidak mampu tumbuh dan berkembang biak, sehingga tidak dapat membusukkan produk yang terdapat di dalam kemasan (Winarno 1994).

Penentuan proses termal didasarkan atas beberapa faktor. Pertama, daya tahan panas dari mikroorganisme yaitu jumlah panas yang dibutuhkan untuk membunuh mikroorganisme harus diketahui untuk setiap produk yang spesifik. Kedua, penentuan kebutuhan panas spesifik produk (National Food Processors Association 1995).

Pangan yang diasamkan, proses pengisian panas-penahanan (hot-fill-hold process) bisa digunakan. Cara ini membutuhkan pengisian secara panas, dan

(7)

penahanan (holding) produk beberapa waktu baru kemudian dilanjutkan dengan pendinginan (Fardiaz 2000). Produk yang diasamkan dapat dilakukan dengan pasteurisasi, pemasakan atmosfir dalam waktu tertentu. (National Food Processors Association 1995). Lebih lanjut menurut Fardiaz (2000), proses termal dengan alat pasteurisasi didasarkan pada suhu akhir produk pada tahap akhir dari bagian pemanasan. Pembacaan suhu maksimum dari termometer dapat digunakan untuk menetapkan proses bagi produk-produk asam atau terasamkan.

Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu yang relatif rendah yaitu suhu dibawah 100o

Pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dalam waktu yang relatif lama, yaitu 65

C akan tetapi dengan waktu yang bervariasi dari mulai beberapa detik sampai beberapa menit tergantung dari tingginya suhu tersebut. Makin tinggi suhu pasteurisasi, makin singkat proses pemanasannya. Pasteurisasi umumnya dikombinasikan dengan proses pengawetan lainnya seperti fermentasi atau penyimpanan pada suhu rendah. Pada bahan pangan yang tergolong asam (pH<4.5), pasteurisasi bertujuan untuk memperpanjang umur simpan dan untuk membunuh mikroorganisme pembusuk seperti khamir dan kapang serta untuk mengaktivasi enzim yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (Fellow 2000).

o

C selama 30 menit atau pada suhu tinggi dalam waktu singkat yaitu 72oC selama 15 detik. Semakin tinggi suhu pasteurisasi, semakin singkat proses pemanasannya. Beberapa bakteri vegetatif yang tahan panas (termofilik) dan spora tahan terhadap proses fermentasi. Setelah pasteurisasi, produk harus didinginkan dengan cepat untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang masih hidup (Fardiaz 1992). Dalam pasteurisasi, konsep yang umum digunakan adalah konsep 6D. Menurut Fellow (2000) dan Holdsworth (1997) konsep ini cukup memadai dari segi kualitas dan keamanam pangan. Namun demikian dalam pengalengan makanan secara komersial direkomendasikan juga nilai pasteurisasi (nilai P) dengan konsep 2D dan 3D untuk mikroba targetnya (Silva dan Gibbs 2001). Kondisi dan tujuan pasteurisasi yang biasa dilakukan untuk beberapa produk digambarkan pada Tabel 2.

(8)

Tabel 2. Kondisi dan tujuan pasteurisasi dari beberapa produk pangan (Haryadi, 2000)

Menurut Haryadi (2000) pada prinsipnya bahan pangan dapat dipasteurisasi pada saat sesudah dikemas maupun sebelum dikemas. Jika bahan pangan dikemas dalam kemasan gelas, maka air panas sering digunakan sebagia medium pemanas untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pecah (thermal shock; yaitu pecah karena adanya perubahan suhu secara mendadak). Perbedaan suhu maksimum antara bahan kemasan gelas dan air biasanya berkisar sekitar 20oC pada pemanasan dan sekitar 10oC untuk proses pendinginan. Untuk bahan pangan yang dikemas dengan bahan logam (metal) dan atau plastik dapat diproses dengan menggunakan uap panas karena resiko thermal shock relatif kecil. Pada umumnya, setelah pasteurisasi bahan pangan didinginkan kembali sampai mencapai suhu sekitar 40o

Jenis Produk Pangan

C untuk mengevaporasi sisa air, sehingga (i) mencegah terjadinya Tujuan Utama Pasteurisasi Tujuan sampingan/ikutan Kondisi Minimum Proses Pasteurisasi • pH < 4,5

Sari Buah Inaktivasi enzim (pektinesterase dan poligalakturonase) Membunuh mikroorganisme pembusuk (kapang dan khamir) 65 o 77 C selama 30 menit; o C selama 1 menit, 88 oC selama 15 detik Bir Membunuh

mikroor-ganisme pembusuk (khamir, Lactobacillus sp.) dan sisa khamir/ ragi yang ditambahkan pada proses fermentasi (Saccharomyces sp)

- 65-68 oC selama 20

menit (dalam botol); 72-75 oC selama 1-4 menit pada tekanan 900-1000 kPa

• pH > 4,5

Susu Membunuh mikroor-ganisme patogen (Brucella abortis, Mycobacterium tuber-culosis(Coxiella burnettii) Membunuh mikro-organisme pembusuk dan beberapa enzim

63 o 71,5 C selama 30 menit, o C selama 15 detik

Telur cair Membunuh mikro-organisme patogen Salmonella sp. Membunuh mikro-organisme pembusuk 64,4 o 60 C selama 2,5 menit; o C selama 3,5 menit

Es Krim Membunuh mikro-organisme pathogen Membunuh mikro-organisme pembusuk 65 oC selama 30 menit; 71 oC selama 10 menit; 80 oC selama 15 detik

(9)

proses korosi dan (ii) mempermudah proses penempelan dan pengeleman label pada permukaan bahan pengemas.

Keberhasilan penuh dari pengolahan dengan panas pada produk pangan adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba penyebab kebusukan dan keracunan. Untuk itu perlu ditentukan sejauh mana ketahanan mikroba terhadap panas hingga proses dapat tercapai pada kombinasi suhu dan waktu yang tepat (Holdsworth 1997).

Ketahanan panas mikroorganisme biasanya dinyatakan dengan istilah waktu reduksi desimal (decimal reduction time) atau waktu yang dibutuhkan pada suhu tertentu untuk menurunkan jumlah sel atau spora sebesar satu siklus log, atau waktu yang diperlukan pada suhu tertentu untuk membinasakan organisme atau sporanya, disebut dengan nilai D. Nilai Z suatu organisme atau spora adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan sampai 90% atau pembinasaan seluruhnya (Heldman dan Singh 2001). Kinetika inaktivasi mikrorganisme karena proses pemanasan digambarkan pada Gambar 1, sedangkan pengaruh suhu terhadap pada nilai D dan Z digambarkan pada Gambar 2. Sel vegetatif bakteri termasuk bakteri pembentuk spora, kapang dan khamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar antara 0.5 sampai 3 menit pada suhu 65 oC. Nilai Z untuk sel vegetatif bakteri, kapang dan khamir berkisar antara 6 sampai 16oC dan biasanya adalah 10o

Ketahanan panas mikroba dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain: (a) umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, (b) komposisi medium bagi suatu organisme atau spora itu tumbuh terutama adanya garam, zat pengawet, lemak dan minyak dan bahan penghambat lainnya serta adanya spora yang masih terdapat setelah pemanasan, (c) pH dan a

C (Garbutt 1997). Beberapa nilai D untuk beberapa jenis bakteri di jelaskan pada Tabel 3.

w medium waktu pemanasan dan (d)

(10)

Gambar 1. Logaritma jumlah mikroba yang hidup sebagai fungsi waktu pada suhu pemanasan T

Tabel 3. Nilai D untuk beberapa jenis bakteri penyebab kerusakan makanan kaleng (Hariyadi, 2000)

Jenis Bakteri Jenis kerusakan Nilai D

Untuk produk kaleng berasam rendah (pH >4.5) Termofilik

Bacillus stearothermofilus ’flat sour’

D121C = 4.0 – 5.0 menit

Clostridium

thermosacharolyticum

’hard swell’ D121C = 3.0 – 4.0 menit

Clostridium nigrificans ’sulfide spoilage’ D121C = 2.0 – 3.0 menit

Mesofilik: Clostridium botulinum, Tipe A + B

’putrid swell’ D121C = 6 – 12 detik

Clostridium Sporogenes D121C = 6 – 90 detik

Untuk produk asam (pH 4.0 -5.0), penyebab kerusakan termofilik Bacillus coagulans

(facmesofilik)

D121C = 1 – 4 detik

Untuk produk asam (pH 4.0 – 5.0), penyebab kebusukan mesofilik

Bacillus polymyxa D100C = 6 – 30 detik

Bacillus nacerans

Clostridium pasterianum ’butyric acid spoilage’

Untuk produk sangat asam (pH < 4.0), penyebab kebusukan mesofilik

Lactobacillus D65.5C = 0.5 – 1 menit

Leuconostoc spp. Kapang

(11)

Gambar 2. Kurva semilogaritma hubungan nilai D dengan suhu. Nilai Z diperoleh dari kebalikan nilai kemiringan kurva

Nilai Pasteurisasi dan Nilai Sterilisasi

Kemampuan proses termal bergantung pada karakteristik nilai Z mikroorganisme dan suhu sterilisasinya. Simbol F biasanya digunakan untuk menunjukkan nilai sterilisasi. Nilai F dengan Z = 18oF biasa disebut Fo, karena nilai Z= 18o

F = ∫ Lr .dt (1)

F sangat umum digunakan untuk spora khususnya C. Botulinum. Nilai sterilisasi adalah dasar penentuan matematika untuk kecukupan proses panas. Nilai ini dapat dihitung dengan persamaan (1) atau (2):

atau

Lr = ∫ 10 (T-Tr)/z dimana :

(2)

F : nilai sterilisasi

Lr : laju kematian (lethal rate) Z : faktor kinetik

T : suhu produk

(12)

Sama halnya dengan pasteurisasi, Tucker et.al. (2003) menyatakan bahwa nilai pasteurisasi dinyatakan dengan simbol P. Nilai P dapat dihitung dengan integral kekuatan membunuh melalui percobaan antara waktu dan suhu sebagai berikut (persamaan (3)): P = ∫ 10 o (T(t)-Tref)/ z .dt (3) o dimana: T(t) : suhu produk ( o T C)

ref : suhu referen pada nilai DT

Z : faktor kinetik

(menit)

Selain itu ditambahkan bahwa untuk menghitung kecukupan proses pasteurisasi yang disebut nilai P adalah dengan persamaan (4) berikut ini:

P = DT . log (Ninitial / Nfinal dimana:

) (4)

P : nilai pasteurisasi (menit) Ninitial

N

: jumlah mikroba awal sebelum dipasteurisasi (CFU/ml) pada suhu tertentu

final

D

: jumlah mikroba akhir setelah dipasteurisasi (CFU/ml)

T : decimal reduction time pada suhu tertentu untuk mereduksi jumlah

mikroba dengan faktor 10 menit.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, untuk produk asam dengan pH ebih kecil dari 4.5, yang disebut dengan produk asam, mikroorganisme penyebab keracunan pangan seperti Clostridium botulinum tidak dapat bergerminasi, sehingga konsokuensinya yang dibutuhkan adalah untuk menginaktivasi kapang dan khamir. Hal ini dapat dilakukan dengan suhu yang lebih rendah dengan hasil Fo yang sangat rendah dengan nilai lethal rate pada suhu 80oC adalah 7.76 x 10-5 min-1. Dalam pelaksanaannya suatu unit yang digunakan untuk menghitung efek kematian dari jenis proses ini adalah nilai pasteurisasi (P) (Shapton 1966 ; Shapton et al. 1971 di dalam Holdsworth 1992) dirumuskan dengan persamaan (5) berikut (suhu referensi 65o

C): P 10 t 65= ∫ 10 (T-65)/10 dt (5) o

(13)

Untuk pasteurisasi produk bir, PU (pasteurization unit) disarankan oleh (Ball dan Olson 1957 di dalam Holdsworth 1992) dan didefinisikan seba-gai berikut (persamaan (6)):

PU = exp[2.303(T-140)/18] (6)

PU ekivalen dengan P18140 dalam derajat Fahreinheit. Hal ini telah

dikem-bangkan menjadi unit pasteurisasi. Satu PU adalah ekuivalen dengan proses selama 1 menit pada suhu 140oF (60 oC) (Portno 1968 di dalam Holdsworth 1992), dengan nilai Z = 7oC untuk kerusakan mikroba produk bir. Kriteria ini digunakan oleh Fricker (1984) di dalam Holdsworth (1992) dengan menyarankan bahwa proses yang memuaskan untuk stabilitas produk bir adalah 5.6 PU. Untuk industri susu, Kessler (1981) didalam Holdsworth 1992 mengusulkan nilai P*, didasarkan atas suhu referensi 72oC dan nilai Z adalah 8oC dengan menggunakan persamaan Shapton 1966 dan Shapton et al. 1971 di atas, dengan nilai P*

Pasteurisasi juga digunakan untuk produk sous vide yang disimpan dan didipasarkan pada suhu rendah. Umumnya proses 6D digunakan untuk produk ini yang ekuivalen dengan proses panas selama 12 menit pada suhu 70

= 1 pada proses industri susu untuk hasil yang memuaskan.

o

Produk dengan pH 4.0-4.5 prosesnya dirancang untuk mengawasi tumbuhnya dan tahannya organisme pembetuk spora seperti Bacillus coagulans, B. polymyxa, B. macerans, dan anaerob butirat seperti C. Butyricum dan C. Pasteu-rianum. Produk dengan pH lebih rendah suhu dibawah 100

C. Proses ini cukup untuk menginaktifkan bakteri patogen Listeria monocytogenes, namun hal ini masih jauh dari cukup untuk menginaktifkan spora Clostridium botulinum. Oleh karena itu diperlukan penyimpanan produk pada suhu rendah dengan maksud menghindari tumbuhnya spora botulinum (Holdsworth 1992).

o

Target mikroba untuk proses pasteurisasi pada umunya dilakukan sama terhadap mikroorganisme yang memiliki data tahan panas dan kemampuan merusak produk. Namun demikian mikroba target yang digunakan di industri C biasanya sudah cukup, namun kapang tahan panas seperti Byssoclamys fulva dan B. nivea dimungkinkan ada dan apabila bergerminasi dan memproduksi enzim dapat menimbulkan pemecahan struktur produk buah-buahan khususnya stroberi.

(14)

pengolahan buah-buahan memiliki ketahanan terhadap panas lebih kecil dibandingkan dengan spora dari Alicyclobacillus acidoterrestris yang merupakan bakteri penghasil spora yang menyebabkan kebusukan pada industri jus buah-buahan (Silva dan Gibbs 2001).

Alicyclobacillus acidoterrestris merupakan bakteri tahan panas dan asam atau acidophilic thermophilic bacteria. Bakteri ini tumbuh baik pada lingkungan asam seperti jus buah-buahan dan bertahan pada pH rendah sampai 2.5. Bakteri ini tumbuh baik pada suhu yang ditinggikan. Spora yang dihasilkan dari bakteri ini dapat bertahan hidup dari perlakuan pasteurisasi yang diberikan pada hampir semua produk jadi. Perlakuan pemanasan justru dapat mengaktivasi spora untuk tumbuh (Terano et al. 2005).

Menurut Splittstoesser et.al. (1994) di dalam Silva dan Gibbs (2001), kinetika inaktivasi bakteri Alicyclobacillus acidoterrestris pada produk buah-buahan dalam hal ini jus anggur memiliki suhu standar 95 oC memiliki nilai D = 2.4 menit dan Z = 7.2 oC. Standar ini yang digunakan adalah karena karakteristik pH dan padatan terlarut (brix) jus anggur, mirip dengan karakteristik produk nata de coco.

Gambar

Tabel 1. SNI 01-4317-1996 Syarat Mutu Nata dalam kemasan
Tabel 2. Kondisi dan tujuan pasteurisasi dari beberapa produk pangan  (Haryadi,  2000)
Gambar 1.  Logaritma jumlah mikroba yang hidup sebagai fungsi waktu pada  suhu pemanasan T
Gambar 2.  Kurva semilogaritma hubungan nilai D dengan suhu. Nilai Z diperoleh  dari kebalikan nilai kemiringan kurva

Referensi

Dokumen terkait

Limbah industri nata de coco yang ditemukan di Kota Padang berupa kotoran hasil penyaringan air kelapa, limbah cair, lapisan kulit nata de coco, nata yang tidak terpakai (hasil

lembaran nata de coco menjadi nata de coco yang siap dikonsumsi atau pengolahan air kelapa menjadi nata de coco yang siap dikonsumsi., (2) mengetahui pendistribusian

Supaya hasil Nata berkualitas, media disesuaikan dengan syarat tumbuh (sifat fisik-kimia media) bakterinya A.xylinum. Nata de coco tanpa ZA dengan lama fermentasi 10 hari

Bakteri Acetobacter xylinum akan dapat membentuk nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan Karbon © dan Nitrogen (N), melalui proses

Program pelatihan pembuatan dan pengemasan nata de coco yang penulis rencanakan adalah kegiatan pelatihan tentang bagaimana pembuatan nata de coco, hal ini dilakukan karena

Penelitian ini bertujuan untuk mencari kualitas terbaik pada fermentasi dalam proses pembuatan nata de coco, dan mengetahui senyawa fungsional yang terdapat pada nata de

Hubungan kimia insdustri dengan aplikasi ilmu biologinya adalah pembuatan nata de coco memerlukan mikroba dalam proses fermentasi gula yaitu bakteri asam asetat

Besarnya keuntungan tersebut mengandung arti setiap satu kilogram bahan baku air kelapa yang diolah menjadi nata de coco mampu memberikan keuntungan sebesar Rp