5
TINJAUAN PUSTAKA
Nata
Nata adalah lembaran gel di permukaan substrat berupa selulosa hasil fermentasi bakteri Acetobacter xylinum. Lembaran tersebut mengandung 35-62% selulosa (Arviyanti dan Yulimartani, 2009). Ukuran kekenyalan nata ditentukan oleh gaya tekan yang mula-mula menyebabkan deformasi produk, kemudian memecahkan produk setelah produk mengalami deformasi bentuk (Soeharto, 1990).
Komponen utama nata adalah selulosa yang mampu mengikat air sebesar 95% dalam bentuk gel nata sehingga bersifat empuk (Enie, 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan nata adalah kandungan gula, protein, lemak, karbohidrat dan vitamin di dalam larutan. Selain faktor tersebut, proses produksi nata sangat dipengaruhi oleh umur starter, lama fermentasi, tingkat keasaman medium dan ruangan produksi (Arviyanti dan Yulimartani, 2009).
Selama fermentasi bakteri Acetobacter xylinum memecah gula (sukrosa) menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa melalui reaksi heksokinase diubah menjadi glukosa-6-fosfat. Glukosa-6-fosfat diubah menjadi glukosa-1-fosfat oleh enzim fosfoglukomutase. Reaksi selanjutnya adalah pembentukan uridin difosfat glukosa (UDP-glukosa) yang merupakan hasil reaksi antara glukosa-1-fosfat dengan uridin trifosfat (UTP), oleh kerja enzim glukosa-1-fosfaturidiltransferase. Reaksi ini dialihkan menuju ke kanan oleh kerja pirofosfatase, yang menghidrolisa pirofosfat (Ppi) menjadi ortofosfat (Pi). UDP-glukosa adalah donor langsung residu glukosa di dalam pembentukan enzimatik selulosa oleh kerja
selulosa sintetase yang mengiatkan pemindahan residu glukosil dari UDP-glukosa ke ujung non residu molekul selulosa (Lehninger, 1994). Reaksi biosintesa selulosa dari glukosa yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 1.
Sukrosa + H2O invertase Glukosa + Fruktosa
Glukosa + ATP Glukosa-6-fosfat + ADP Glukosa-6-fosfat glukosa-1-fosfat
UTP + glukosa-1-fosfat UDP-glukosa + Ppi UDP-glukosa + (glukosa)n selulosa UDP + (glukosa)n
sintetase rantai selulosa yang
diperpanjang
Gambar 1. Biosintesa selulosa dari glukosa (Lehninger, 1994). Pembentukan nata (polisakarida ekstraselluler) memerlukan senyawa antara lain yaitu heksosa fosfat. Heksosa fosfat mengalami oksidasi melalui lintasan pentosa fosfat menghasilkan senyawa NADPH (senyawa penyimpan tenaga pereduksi) dan melepas CO2. Gas CO2 yang dilepas akan terhambat dan
menempel pada mikrofibril selulosa, sehingga selulosa naik ke permukaan cairan. Fosfat anorganik perlu ditambahkan ke dalam medium karena bahan tersebut sangat diperlukan untuk memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Arviyanti dan Yulimartani, 2009).
Pada proses metabolismenya, selaput selulosa ini terbentuk oleh aktivitas Acetobacter xylinum terhadap glukosa. Karbohidrat pada medium dipecah menjadi glukosa yang kemudian berikatan dengan asam lemak (Guanosin trifosfat) membentuk prekursor penciri selulosa oleh enzim selulosa sintetase, prekursor ini selanjutnya dikeluarkan ke lingkungan membentuk jalinan selulosa pada permukaan medium. Pembentukan selulosa oleh Acetobacter xylinum
dipengaruhi ketersediaan oksigen dan glukosa. Selain itu, pembentukannya juga
dipengaruh pH medium, lama fermentasi, dan sumber nitrogen (Palungkun, 1993).
Berdasarkan penelitian Tari, dkk. (2012), pemberian sumber N pada medium pertumbuhan A. xylinum ternyata memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kadar nitrogen nata. Sumber nitrogen yang terbaik diperoleh dari ZA. Bakteri hanya dapat menggunakan nitrogen dalam bentuk anorganik, yaitu nitrat (NO3-) atau ammonium (NH4+). Molekul ammonium (NH4+) dipecahkan menjadi lebih sederhana, maka ion ammonium (NH4+) yang sudah terpecah atau tersedia
ini, lebih mudah dikonsumsi lagi oleh bakteri A. xylinum untuk perkembangbiakan sel atau pembelahan sel yang merupakan proses sintesa protein.
Pertumbuhan mikroba membutuhkan unsur-unsur kimia dasar seperti karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, sulfur, fosfor, magnesium dan zat besi. Bahan pangan selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga sebagai sumber makanan bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Nata merupakan salah satu bahan pangan yang rentan terhadap kontaminasi mikroba, sebab nata de coco selain mengandung kadar air yang tinggi juga mengandung unsur-unsur kimia dasar sebagai sumber energi untuk pertumbuhan sel mikroba. Komposisi kimia nata de coco adalah serat, air 98 %, lemak 0,2 %, kalsium 0,012 %, fosfor 0,002 %, dan vitamin B3 0,017 % (Buckle, dkk., 1985).
Nata dalam kemasan adalah produk makanan berupa gel selulosa hasil fermentasi air kelapa, air tahu atau bahan lainnya oleh bakteri asam cuka (Acetobacter xylinum) yang telah diolah dengan penambahan gula dan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan dan dikemas secara aseptik.
Syarat mutu nata de coco dalam kemasan berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-4317-1996 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Standar nasional Indonesia nata de coco dalam kemasan
No. Jenis uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bau - Normal
1.2 Rasa - Normal
1.3 Warna - Normal
1.4 Tekstur - Normal
2 Bahan asing - Tidak boleh ada
3 Bobot tuntas % Min. 50
4 Jumlah gula (dihitung sebagai
Sakarosa % Min. 15
5 Serat makanan % Maks. 4,5
6 Bahan Tambahan Makanan 6.1 Pemanis buatan :
- Sakarin Tidak boleh ada
- Siklamat Tidak boleh ada
6.2 Pewarna tambahan Sesuai SNI 01-0222-1995
6.3 Pengawet (Na Benzoat) Sesuai SNI 01-0222-1995 7 Cemaran Logam :
7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,2
7.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 2
7.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 5,0
7.4 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0/250,0*) 8 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,1
9 Cemaran Mikroba :
9.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks. 2,0 x 102
9.2 Coliform APM/g < 3
9.3 Kapang Koloni/g Maks. 50
9.4 Khamir Koloni/g Maks. 50
*) Dikemas dalam kaleng (Badan Standarisasi Nasional, 1996).
Nata de coco dibentuk oleh spesies bakteri asam asetat pada permukaan cairan yang mengandung gula, sari buah, atau ekstrak tanaman lain. Beberapa spesies yang termasuk bakteri asam asetat dapat membentuk selulosa, namun selama ini yang paling banyak dipelajari adalah Acetobacter xylinum. Bakteri A.
xylinum termasuk genus Acetobacter. Bakteri ini bersifat Gram negatif, aerob, berbentuk batang pendek atau basil (Forng, dkk., 1989).
Limbah Cair Pati Bengkuang
Umbi bengkuang mengandung serat yang tinggi, terdiri dari serat larut dalam air dan serat yang tidak larut dalam air. Rasa manis pada umbi bengkuang berasal dari suatu oligosakarida yang disebut dengan inulin, yang tidak bisa dicerna oleh tubuh manusia tetapi larut di dalam air. Sifat seperti ini sangat berguna bagi penderita diabetes atau orang yang berdiet rendah kalori (Adi, 2008). Komposisi kimia umbi bengkuang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia umbi bengkuang
Zat gizi Kadar per 100 gram
Energi (kkal) 55 Protein (g) 1,4 Lemak (g) 0,2 Karbohidrat (g) 12,8 Kalsium (mg) 15 Fosfor (mg) 18 Besi (mg) 0,6 Vitamin C (mg) 20 Vitamin B1 (mg) 0,04 Vitamin A (IU) 0,5 Air (g) 85,1
Sumber: Direktorat Depkes Gizi (1992)
Bengkuang mengandung serat yang tinggi, terutama serat larut dalam air yang berguna untuk memperlancar buang air besar. Bagi penderita wasir, buang air besar yang lancar akan mengurangi rasa sakit. Bengkuang dapat mengobati sariawan, karena kandungan vitamin C yang tinggi. Bengkuang mengandung komponen bioaktif yang bertindak sebagai antioksidan karena senyawa isoflavon yang dihasilkan dapat menurunkan kadar kolesterol jahat / Low Density
Lipoprotein (LDL), meningkatkan kadar kolesterol baik / High Density Lipoprotein (HDL) dalam darah yang berguna bagi kesehatan pembuluh darah dan jantung serta dapat meningkatkan kekebalan tubuh (Lingga, 2010).
Polisakarida non-pati terdiri dari makanan pelengkap yang digunakan sebagai diet lemak. Polisakarida non-pati ditemukan dalam dua bentuk, yaitu yang larut dan tidak larut yang dominan terdapat dalam buah-buahan, sayuran, sereal dan bahan lain. Polisakarida non-pati sangat penting untuk kesehatan, khususnya pencernaan tubuh (Dickerson dan Morgan, 2003).
Starch atau pati merupakan polisakarida hasil sintesis dari tanaman hijau melalui proses fotosintesis. Pati memiliki bentuk kristal bergranula yang tidak larut dalam air pada suhu ruangan, memiliki ukuran dan bentuk tergantung pada jenis tanamannya. Pati digunakan sebagai pengental dan penstabil dalam makanan. Pati alami (native) menyebabkan beberapa permasalahan yang berhubungan dengan retrogradasi, kestabilan rendah, dan ketahanan pasta yang rendah (Fortuna, dkk., 2001).
Proses pembuatan pati bengkuang terdiri dari dua tahap, yakni preparasi bengkuang segar sebagai tahap pertama dan disusul dengan pengemasan. Pada tahap pertama, terdiri dari penimbangan, pengupasan, pencucian, pemarutan, pembuburan, pemerasan, pengendapan pati, pemanenan pati, pengeringan, penepungan dan pengayakan (Angwar, 2014).
Bengkuang parutan disebut dengan bubur bengkuang. Bubur bengkuang diencerkan dengan menambah air. Setiap 1 liter parutan ditambah dengan 1 liter air. Bubur encer diaduk-aduk kemudian disaring dengan kain saring. Pati bengkuang bersama cairan akan lolos, sedangkan serat kasar dan bahan-bahan
kasar akan tertahan pada kain saring. Cairan yang lolos tersebut didiamkan selama 1 malam sehingga patinya mengendap sebagai lapisan pasta. Endapan pati tersebut disebut dengan pasta pati. Lapisan pasta pati diambil dengan membuang air yang berada di atasnya. Pasta pati tersebut dikeringkan dalam oven dan kemudian dihancurkan menjadi pati kasar, selanjutnya dilakukan pengayakan untuk mendapatkan pati (Hilman, 2012).
Derajat Keasaman (pH)
Setiap organisme mempunyai kisaran nilai pH di mana pertumbuhannya masih memungkinkan dan biasanya mempunyai pH optimum. Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,0-8,0. Mikroorganisme yang bersifat perusak tumbuh pada kisaran nilai pH diluar 2,0-10,0. (Buckle, dkk., 1985). Pada umumnya fermentasi membutuhkan pH asam sekitar 3,4 – 4. Hal tersebut berdasarkan lingkungan hidup dari starter yang dapat tumbuh dan melakukan metabolisme pada pH tersebut (Winarno, dkk., 1980).
Dalam fermentasi bahan pangan kekuatan buffer dari bahan pangan sangat penting peranannya. Jika kekuatan buffer kurang memungkinkan maka hasil awal pembentukan asam oleh bakteri tidak akan cukup untuk menurunkan nilai pH sampai pada keadaan di mana pertumbuhan bakteri berbentuk batang terhenti seluruhnya (Buckle, dkk., 1985).
Laju pertumbuhan bakteri yang bersifat autotrofik lebih lambat dibandingkan dengan bakteri heterotrofik. Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi amonia (Esoy, dkk., 1998). Derajat keasaman (pH) optimum untuk pertumbuhan bakteri pengoksidasi amonia yang bersifat autotrofik
berkisar dari 7,5 sampai 8,5. Sedangkan bakteri yang bersifat heterotrofik lebih toleran pada lingkungan asam, dan tumbuh lebih cepat dengan hasil yang lebih tinggi pada kondisi dengan konsentrasi DO (Dissolved Oxygen) rendah (Zhao, dkk., 1999).
Bahan-bahan pada Pembuatan Nata Gula
Acetobacter xylinum dapat mensintesa sebagian gula menjadi selulosa dan sebagian lagi diurai menjadi asam asetat yang akan menurunkan pH medium. Penurunan pH melewati pH optimum dapat menyebabkan terganggunya proses fermentasi nata serta terurainya kembali selulosa menjadi glukosa yang dapat teroksidasi lagi menjadi asam asetat. Penambahan sukrosa yang melewati kadar optimum ke dalam media, menyebabkan lebih banyak gula yang diubah menjadi asam (Suryani, dkk., 2005).
Adanya gula sukrosa dalam air kelapa akan dimanfaatkan oleh A. xylinum sebagai sumber energi, maupun sumber karbon untuk membentuk senyawa metabolit di antaranya adalah selulosa yang membentuk nata de coco. Senyawa peningkat pertumbuhan mikroba (growth promoting factor) akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, sedangkan adanya mineral dalam substrat akan membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase dalam metabolisme di dalam sel A. xylinum untuk menghasilkan selulosa (Misgiyarta, 2007).
Glukosa diambil dari air gula dalam air kelapa oleh sel-sel Acetobacter xylinum membentuk nata de coco. Glukosa tersebut digabungkan dengan asam lemak membentuk prekursor (lapisan nata). Prekursor tersebut dikeluarkan bersama enzim yang akan mengubah glukosa menjadi selulosa di luar sel. Nata de
coco sebenarnya tidak mempunyai nilai kalori bagi manusia, oleh sebab itu produk ini dipakai sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet (Astawan, 2004).
Acetobacter xylinum
Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada media dengan kondisi optimum dengan ketentuan derajat keasaman media (pH) 4-5, suhu 28-31 oC atau pada suhu kamar. Sumber karbon yang baik adalah sukrosa dan glukosa dengan konsentrasi 5-8%. Sumber nitrogen yang dapat digunakan yaitu yeast extract, peptone, kalium maupun natrium nitrat. Acetobacter xylinum biasanya digunakan untuk membuat nata de coco dengan konsentrasi 10% (Sulistyo, dkk., 2007). Acetobacter xylinum berbentuk batang dan gram negatif. Proses metabolismenya bersifat aerobik, sering disebut bakteri asam asetat karena peranannya dalam fermentasi bahan pangan yaitu mengoksidasi alkohol dan karbohidrat menjadi asam asetat dan sering dipergunakan dalam pabrik cuka (Buckle, dkk., 1985).
Pertumbuhan Acetobacter xylinum dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu nutrisi, sumber karbon, sumber nitrogen, tingkat keasaman media, suhu dan kondisi udara (oksigen). Monosakarida dan disakarida dibutuhkan sebagai karbon dalam fermentasi nata. Sumber karbon yang paling banyak digunakan adalah gula. Penambahan nitrogen berasal dari bahan organik seperti ZA atau urea. Meskipun bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5-7,5 tetapi akan tumbuh dengan optimal pada pH 4 dengan kisaran suhu ideal berkisar 28-30 oC. Bakteri
ini sangat memerlukan oksigen sehingga dalam fermentasi tidak perlu ditutup rapat, biasanya hanya ditutup dengan menggunakan kertas berpori (koran) untuk
mencegah masuknya kotoran ke dalam media yang dapat menyebabkan kontaminasi (Darmansyah, 2010).
Amonium sulfat
Sumber nitrogen dalam medium kultur untuk pertumbuhan A. xylinum juga mempengaruhi produksi selulosa. Sumber nitrogen tersebut dapat berasal dari nitrogen organik seperti ekstrak yeast, pepton, tripton dan polipepton maupun nitrogen anorganik seperti dari NPK, Urea maupun ZA (Zwavelzuur Amonia) atau Amonium Sulfat (Tari, dkk., 2012).
Nitrogen organik ekstrak yeast sebesar 2% yang ditambahkan pada medium kultur A. xylinum dapat meningkatkan produksi selulosa sedangkan ketika polipepton (0,5%) ditambahkan pada ekstrak yeast, produksi selulosa dapat meningkat hingga dua kali lipat (Sanchez dan Yoshida, 1998).
Pada pembuatan nata dari air mineral (nata de aqua) menggunakan nitrogen anorganik dari ZA dan NPK, jumlah nitrogen yang melebihi kebutuhan akan mengganggu aktivitas Acetobacter xyllinum dalam mensintesa selulosa. Sebaliknya kecukupan N dalam medium menstimulir bakteri dalam mensintesa selulosa dan menghasilkan nata dengan ikatan selulosa yang kuat. Kuatnya ikatan selulosa dalam jaringan nata mengakibatkan air yang terperangkap sedikit, sehingga tidak mudah meluruh. Adanya unsur-unsur lain seperti : P (Fosfor) dalam NPK serta S (Sulfur) dalam ZA akan memberi pengaruh besar, karena unsur- unsur tersebut berperan dalam pembentukan dan perkembangbiakan sel
bakteri, yang mempengaruhi jumlah selulosa yang terbentuk (Zubaidah dan Prasetyana, 2002).
Ketebalan nata adalah tingginya lapisan selulosa yang mampu dihasilkan oleh bakteri A.xylinum. Pemberian sumber N berupa ZA pada medium pertumbuhan A. xylinum ternyata memberikan pengaruh ketebalan nata lebih tinggi, dibanding medium dengan sumber N urea maupun NPK. Bakteri hanya dapat menggunakan nitrogen dalam bentuk anorganik, yaitu nitrat (NO3-) atau ammonium (NH4+) (Khairul, 2010).
Ketika ZA diberikan pada medium pertumbuhan A. xylinum, menyebabkan bakteri A.xylinum lebih mudah memperoleh N, karena pemecahan molekul ammonium lebih sederhana dibanding urea dan NPK. Selain itu bentuk ion ammonium (NH4+) lebih membutuhkan sedikit energi dibandingkan nitrogen yang masih berbentuk amida. Sehingga kecukupan N tersebut mampu menstimulir bakteri dalam mensintesa selulosa dan menghasilkan nata paling tebal (Tari, dkk., 2012).
Asam asetat
Asam asetat atau lebih dikenal sebagai asam cuka (CH3COOH) adalah
suatu senyawa berbentuk cairan, tak berwarna, berbau menyengat, memiliki rasa asam yang tajam dan larut di dalam air, alkohol, gliserol, eter. Pada tekanan atmosfer, titik didihnya 118 oC. Asam asetat mempunyai aplikasi yang sangat luas
di bidang industri dan pangan. Di Indonesia kebutuhan asam asetat masih harus diimpor sehingga perlu diusahakan kemandirian dalam penyediaan bahan tersebut (Hardoyo, dkk., 2007).
Media fermentasi pembuatan nata de coco perlu ditambahkan komponen-komponen seperti glukosa 10% sebagai sumber karbon, asam asetat 25% untuk mengatur pH menjadi 3-4, K2HPO4 0,03 %, MgSO4 0,03% sebagai mineral dan
sumber nitrogen sebanyak 0,3 %. Sumber nitrogen dalam medium kultur untuk pertumbuhan A. xylinum juga mempengaruhi produksi selulosa (Collado, 1986).
Proses Pengolahan Nata
Cara penyiapan substrat untuk pembuatan nata de coco dengan bahan baku air kelapa ádalah sebagai berikut; air kelapa yang diperoleh dari pasar disaring dengan menggunakan kain saring bersih. Sukrosa (gula pasir) ditambahkan sebanyak 10% (b/v). Sambil dipanaskan, dan diaduk hingga homogen. Urea ditambahkan sebanyak 5 gram untuk setiap 1 liter air kelapa bergula yang disiapkan dan diaduk sambil dididihkan. Substrat ini didinginkan, kemudian ditambah asam asetat sebanyak 2% atau asam cuka dapur 25% (16 ml asam asetat untuk setiap 1 liter air kelapa). Substrat disterilkan dengan cara dimasukkan dalam autoclave pada suhu 121 oC, tekanan 2 atm, selama 15 menit (atau didihkan selama 15 menit). Substrat didinginkan hingga suhu 40 oC. Substrat dimasukkan pada nampan atau baskom steril dengan permukaan yang lebar, dengan ketebalan substrat kira-kira 5 cm. Substrat diinokulasi dengan menggunakan starter atau bibit sebanyak 10 % (v/v). Substrat kemudian diaduk rata, ditutup dengan menggunakan kain kasa. Nampan diinkubasi atau diperam dengan cara diletakkan pada tempat yang bersih, terhindar dari debu, ditutup dengan menggunakan kain bersih untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Inkubasi dilakukan selama 10 – 15 hari, pada suhu kamar. Pada tahap fermentasi ini tidak boleh digojok. Pada umur 10-15 hari nata dapat dipanen (Misgiyarta, 2007).
Pembuatan nata de coco dilakukan dengan pembuatan starter Acetobacter xylinum yang dilakukan dengan cara biakan kultur murni pada media air kelapa. Starter kemudian dimasukkan ke dalam nampan steril. Dilakukan pembuatan nata
sampai nata dipanen dengan cara mengeluarkan nata yang telah berbentuk wadah fermentasi dan dipotong-potong. Keberhasilan pembuatan serat nata de coco ditandai dengan lempeng tebal berwarna putih, tidak terdapat cairan/loyang pertumbuhan kering, dan lempeng nata tidak berjamur, tidak bolong, dan tidak terdapat noda hitam (Darmansyah, 2010).