PERLUNYA UNDANG-UNDANG MATA UANG
1Oleh: Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Airlangga
A. Latar Belakang Masalah
Amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 mengamanatkan bahwa macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang. Sampai saat ini Undang-Undang yang mengatur macam dan harga mata uang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.
Apabila dilihat dari sejarah pengaturan mata uang di Indonesia setelah masa kemerdekaan, sejauh ini pernah terdapat 4 (empat) Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai mata uang yaitu:
a. Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951 tentang Penghentian Berlakunya ”Indische Mutwet 1912” dan
Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang;
b. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1953 tentang Penetapan ”Undang-Undang Darurat Tentang Penghetian Berlakunya ”Indische Mutwet 1912” dan Penetapan Baru Tentang Mata Uang” (Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951) Sebagai Undang-Undang;
c. Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1985 tentang Pengubahan ”Undang-Undang Mata Uang Tahun 1953”;
d. Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1985 tentang Pengubahan ”Undang-Undang Mata Uang Tahun 1953” Sebagai Undang-Undang.
1 Executive Summary dari Penelitian dengan judul “Penelitian Hukum Perlunya Undang-Undang Mata Uang”
Pemberlakuan keempat Undang-Undang tersebut bukan sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945, tetapi merupakan pelaksanaan amanat Pasal 109 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Dalam perjalanan waktu ketika UUD 1945 diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang-Undang yang mengatur mengenai macam dan harga mata uang tersebut kemudian secara tegas dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral tersebut merupakan pelaksanaan amanat Pasal 23 UUD 1945. Sejak saat itu, pengaturan mengenai mata uang diatur dalam Undang-Undang Bank Sentral dan tidak lagi diatur dengan Undang-Undang tersendiri.
Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 sebelum diamandemen berbunyi: “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang”. Penjelasan ketentuan itu menyatakan bahwa perlunya macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya bagi masyarakat. Menurut penjelasan ketentuan UUD 1945 tersebut, uang adalah alat penukar dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk memudahkan pertukaran jual beli dalam masyarakat. Berhubung dengan itu perlu ada macam dan rupa uang yang diperlukan oleh
rakyat sebagai pengukur harga untuk dasar menetapkan harga masing-masing barang yang dipertukarkan. Barang yang menjadi pengukur harga itu, mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena keadaan uang yang tidak teratur. Oleh karena itu, keadaan uang itu harus ditetapkan dengan Undang-Undang. UUD 1945 hasil amandemen tidak mengenal Penjelasan. Akan tetapi Pasal 23B UUD 1945 yang telah diamandemen bunyinya tetap seperti Pasal 23 (3) sebelum amandemen, yaitu “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang”.
ketentuan serta praktik yang berlaku selama ini di Indonesia.
Namun, jika melihat sejarah pengaturan mata uang di Indonesia, mulai dari tahun 1953 sampai dengan saat ini, pengaturan mata uang menjadi satu dengan pengaturan di bidang moneter yaitu diatur dalam satu Undang-Undang tentang bank sentral.
Kewenangan bank sentral untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang memiliki kaitan yang erat dengan kewenangan pencetakan uang. Apabila pencetakan uang tetap berada diluar kewenangan bank sentral, maka kualitas kerjasama antara bank sentral dengan perusahaan pencetak uang akan mempengaruhi secara langsung efektifitas kebijakan pengedaran uang. Perusahaan pencetak uang dituntut untuk senantiasa mampu mengikuti perkembangan teknologi di bidang pencetakan uang dan penyediaan kapasitas produksi yang memadai. Selain merupakan kewenangan dan tanggung jawab lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan uang, pengaturan mata uang perlu pula memberikan dasar hukum yang kuat bagi lembaga tersebut dalam mengatur penggunaan uang sebagai alat pembayaran yang sah (legal
tender). Uang rupiah sebagai legal
tender di wilayah RI harus digunakan
untuk setiap transaksi pembayaran yang mensyaratkan pembayaran menggunakan uang. Kewajiban
penggunaan mata uang ini seringkali memerlukan pengecualian - pengecualian, terutama jika secara praktis tidak dimungkinkan atau secara kelaziman memang sangat memerlukan penggunaan mata uang lain. Pelanggaran terhadap larangan menolak mata uang maupun terhadap kewajiban penggunaan mata uang, bisa merupakan perbuatan pidana atau juga bisa pula bukan kejahatan. Ini sangat tergantung bagaimana Undang-Undang mengaturnya.
Kejahatan terhadap mata uang
(crimes against currency)
mendapatkan jawaban atas masalah-masalah sebagai berikut:
a. Apakah pengaturan mata uang
perlu dituangkan dalam Undang-Undang tersendiri, terpisah dari Undang-Undang Bank Indonesia;
b. Bagaimana uang kertas dan
uang logam yang dikeluarkan Bank Indonesia apa perlu dilakukan pencadangan (back up
currency);
c. Bagaimana pengaturan
kedudukan uang sebagai alat pembayaran yang sah (legal
tender). Apakah penolakan
terhadap penggunaan rupiah perlu diberikan sanksi pidana;
d. Cakupan materi apa saja yang
perlu dituangkan dalam pengaturan mata uang di Indonesia;
e. Apakah sanksi pidana atas
kejahatan terhadap uang perlu diatur dalam Undang-Undang Mata Uang, serta materi pidana apa saja yang perlu dicantumkan ke dalam Undang-Undang.
B. Landasan Pemikiran Pengaturan Undang-Undang
Mata Uang
Pada saat ini ketentuan-ketentuan mengenai “macam” mata uang terdapat di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2004, yaitu Pasal 2 dan 3.
Adanya Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar menunjukkan bahwa ketentuan konstitusi itu memang perlu dilaksanakan dengan Undang-Undang. Dengan demikian, ketentuan tentang “macam” mata uang juga perlu dilaksanakan dengan Undang-Undang organik tersendiri, tidak cukup apabila hanya dicantumkan sebagai ketentuan dalam Undang-Undang lainnya. Lebih-lebih apabila dikaitkan dengan Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, tidak boleh tidak, ketentuan konstitusi itu harus dituangkan ke dalam Undang-Undang bukan produk peraturan perundang-undangan lainnya. Hal itu disebabkan dilihat dari sudut ketatanegaraan, Undang-Undang merupakan produk parlemen. Parlemen merupakan wakil-wakil rakyat. Oleh karena itulah produk tersebut dianggap sebagai produk rakyat.
tersendiri. Hal ini disebabkan oleh fungsi uang yang esensial dalam hidup bermasyarakat.
Tidak dapat disangkal bahwa uang telah memfasilitasi dan memotivasi semua aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan konsumsi, produksi, tukar-menukar, dan distribusi. Uang memungkinkan
konsumen memaksimalkan kepuasannya. Uang menjadi tolok
ukur intensitas keinginan dan kegunaan komoditas bagi konsumen. Uang memfasilitasi produksi dengan cara mendorong tabungan dan investasi. Uang memobilisasi modal dan membantu pembentukan modal. Uang memungkinkan entrepreneur
memaksimalkan keuntungan dengan cara melakukan kiat-kiat tertentu atas faktor-faktor produksi. Dengan mengintroduksi uang, terciptalah tukar-menukar dan
memungkinkan terjadinya perdagangan baik secara nasional
maupun internasional. Uang berfungsi sebagai denominator bersama bagi distribusi produk-produk sosial. Upah, rent, bunga, dan keuntungan semuanya mengenai uang. Uang membantu bekerjanya mekanisme harga dan bertindak sebagai suatu instrumen untuk alokasi sumber-sumber daya bagi entrepreneur yang saling bersaing. Uang telah terbukti melancarkan berfungsinya sistem perekonomian. Uang telah mengakselarasi proses industrialisasi. Oleh karena adanya uang, telah
terjadi aliran pembayaran dan adanya aliran pembayaran inilah yang memungkinkan peningkatan kesejahteraan ekonomi.
Berdasarkan penelusuran, masalah mata uang memang lazim diatur dengan Undang-Undang tersendiri. Hal ini terlihat di Australia, Amerika Serikat, Canada, Thailand, dan Singapura.
Mengingat dilihat dari bahannya nilai nominal yang tertera pada mata uang itu lebih tinggi daripada nilai intrinsik bahannya, kepercayaan masyarakat akan mata uang merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itulah untuk menjaga kepercayaan itu diperlukan pengaturan tersendiri tentang mata uang.
C. Perlunya Back up Currency
Di beberapa negara Undang-Undang mengenai Mata Uang telah diundangkan menjadi Undang-Undang tersendiri yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan ekonomi, khususnya sektor keuangan dan teknologi. Dalam Undang-Undang Mata Uang itu diantaranya diatur penerbitan uang, pencetakan, distribusi, kebijakan persediaan, penggantian uang rusak, penanganan uang palsu, back
up currency, design/tema, dan
denominasi.
Di beberapa negara terdapat perbedaan kebijakan mengenai back
up currency. Hanya di Singapura
sajalah yang melakukan back up
(pencadangan/jaminan) terhadap mata uang sebesar 100%. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap mata uang yang diedarkan, Bank Sentral Singapura (MAS) akan menjamin sepenuhnya dengan aset yang ada. Aset penjaminan bisa dalam bentuk cadangan emas ataupun cadangan devisa yang dimiliki oleh MAS. Sehingga uang dalam arti fiat/
fiduciary money (uang kepercayaan)
tidak berlaku di Singapura. Artinya Jika terjadi suatu saat seluruh masyarakat ingin menukarkan mata uangnya dengan aset yang lebih aksesibel terhadap keuangan internasional (yaitu emas ataupun
hard currency lainnya), pemerintah
Singapura mampu untuk memenuhinya. Kebijakan ini bisa berlangsung karena Pemerintah Singapura memiliki cadangan devisa yang sangat cukup, sebagai hasil dari kegiatan ekspor yang melebihi impor maupun meningkatnya surplus neraca modal yang memasuki pasar keuangan di Singapura.
mata uangnya tidak rontok seiring merosotnya perekonomian.
Di Indonesia, tiadanya kebijakan
back up currency ataupun jaminan
terhadap mata uang yang beredar, walau sekecil apapun, dari pemerintah telah mengakibatkan kepercayaan masyarakat turun seiring dengan isu-isu (sentimen pasar) yang mungkin bukan alasan fundamental ekonomi. Hal itu telah dibuktikan dengan adanya peristiwa yang terjadi pada bulan Mei tahun 1998 yaitu tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kondisi perekonomian berhasil merontokkan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah sehingga kurs pada waktu itu pernah mencapat Rp. 16.000/$. Oleh karena itulah di dalam penelitian ini didapatkan kebutuhan akan adanya ketentuan mengenai
back up currency.
Untuk pencapaian sasaran mengenai kelancaran dan ketersediaan uang yang efisien perlu dilakukan langkah-langkah:
(1) Menetapkan jumlah uang yang diperlukan dalam perekonomian. Dalam hal ini jumlah uang yang diedarkan harus disesuaikan
dengan kebutuhan perekonomian. Apabila jumlah
uang yang diedarkan lebih kecil dari kebutuhan, maka akan menghambat kelancaran transaksi yang berdampak pada
terganggunya kegiatan produksi dan investasi. Sebaliknya, apabila uang yang diedarkan melebihi
kebutuhan maka akan mengakibatkan naiknya harga-harga.
(2) Pemetaan wilayah pengedaran uang. Dalam rangka pengelolaan pengedaran uang, letak dan karakteristik suatu daerah perlu dipertimbangkan. Daerah yang sulit dijangkau oleh alat
angkutan biasanya membutuhkan stok uang yang
lebih besar. Disamping itu, ada juga daerah yang memiliki karakteristik khusus, misalnya lebih senang menggunakan uang seri atau pecahan tertentu. (3) Perhitungan jumlah uang lusuh/
rusak. Perhitungan jumlah uang rusak/ lusuh merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan dalam membuat rencana pencetakan uang.
(4) Penyediaan stok uang yang optimal. Perhitungan stok uang yang perlu dipelihara tidak hanya didasarkan pada kebutuhan pada kondisi normal, tetapi juga perlu dipertimbangkan kondisi darurat dan perlunya stok uang yang setiap saat harus tersedia.
Dalam penelitian ini disarankan bahwa seyogianya Undang-Undang Mata Uang itu menetapkan ketentuan yang mewajibkan adanya
back up currency. Akan tetapi
mengenai prosentase yang perlu dicadangkan tidak perlu dicantumkan dalam
Undang-Undang Mata Uang seyogianya menetapkan bahwa prosentase yang perlu dicadangkan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Jika hal ini memang diperintahkan oleh Undang-Undang, maka sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 10 tahun 2004, Peraturan Bank Indonesia ini setingkat Peraturan Pemerintah karena diperintahkan oleh Undang-Undang.
D. Kedudukan Uang Sebagai Alat Pembayaran Yang Sah
(Legal Tender)
Kedudukan sebagai legal tender ini dinyatakan di dalam uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank Sentral setiap negara. Di dalam legal tender
terdapat dua elemen yang esensial yaitu pertama, keberadaannya dinyatakan oleh hukum dan kedua untuk pembayaran.
Ditinjau dari teori Hukum Tata Negara, suatu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada suatu badan atau lembaga bersifat atributif artinya tidak
menimbulkan kewajiban menyampaikan laporan atas
pelaksanaan kekuasaan itu. Di dalam Pasal 20 UU No. 23 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut,
menarik dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran. Kewenangan ini bersifat atributif sehingga tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada lembaga yang lebih tinggi. Konsekuensinya, produk yang dikeluarkan oleh lembaga dengan wewenang atributif bersifat mengikat dan apabila tidak diindahkan sanksi dapat dikenakan kepada mereka yang tidak mengindahkan atau menghormati produk itu. Dengan demikian, apabila ada fihak yang tidak menghargai uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, fihak tersebut dapat dikenai sanksi sesuai dengan yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
Legal tender atau alat pembayaran
yang sah pada saat ini pada umumnya dibuat dari kertas dan logam. Uang logam ini disebut coin. Pada masa sekarang coin biasanya dibuat dari logam yang harganya lebih rendah dari nilai nominal yang tertera pada coin tersebut. Di samping itu nilai nominal coin pada umumnya lebih kecil daripada nilai nominal uang kertas karena memang untuk transaksi kecil. Sebagai legal tender, coin juga harus dihormati. Oleh karena itulah penolakan terhadap coin juga dapat dikenakan sanksi.
misalnya dalam suatu transaksi yang bernilai jutaan rupiah dibayar dengan coin seratusan rupiah atau paling tinggi lima ratusan rupiah, pihak penjual akan dihadapkan kepada suatu situasi yang dilematis. Kalau menolak pembayaran dengan
coin berarti menolak legal tender
dan hal ini merupakan perbuatan yang dikenai sanksi. Sedangkan kalau menerima, transaksi lain akan terhambat hanya untuk menghitung jumlah coin. Jika dalam satu hari ada satu saja transaksi semacam itu, dapat dibayangkan betapa banyak waktu yang terbuang yang sebenarnya dapat digunakan untuk yang lain.
Dari penelusuran terhadap Undang-Undang Mata Uang negara lain, ternyata di dalam perundang-undangan negara-negara tersebut ditetapkan adanya pembatasan penggunaan coin. Dengan adanya pembatasan tersebut dimaksudkan bahwa Undang-Undang yang dibuat tidak menghambat transaksi bisnis di satu pihak dan di pihak lain tetap menghargai coin sebagai legal
tender sesuai dengan tujuannya
yaitu untuk transaksi kecil sehingga tidak mudah rusak karena perputarannya yang sangat intensif. Apabila mata uang dengan nilai sebesar itu dibuat dari kertas, dikhawatirkan akan cepat rusak. Dengan demikian, pembayaran dengan coin untuk transaksi jutaan rupiah tidak sesuai dengan tujuan diproduksinya coin. Akan tetapi tidak berarti bahwa pembatasan
tersebut menyebabkan coin menjadi
illegal tender. Di dalam hukum
istilah legal tidak berarti dilawankan dengan istilah illegal sama halnya istilah “dinyatakan tidak bersalah” tidak berarti “dinyatakan benar”. Penolakan terhadap rupiah tidak perlu dikenai sanksi pidana. Hal ini disebabkan perbuatan tersebut terbukti bukan merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan juga tidak anti sosial. Bagi kalangan pebisnis apapun mata uang diberlakukan apakah rupiah, dollar, ataupun mata uang kuat lainnya tidak menjadi masalah. Yang penting adalah bagaimana mendorong aktivitas bisnis dengan menggunakan mata uang rupiah. Selain itu penggunaan mata uang rupiah pada saat sekarang ini, sudah convertible. Bisa ditukar kapan saja dan dimana saja ada. Apalagi penukaran mata uang dari rupiah ke mata uang lain ataupun dari mata uang hard/soft
currency lain ke rupiah bisa
ini, para pebisnis yang melakukan
quotation dalam dollar, akan senang
kalau dibayar dengan denominasi rupiah dengan kurs yang ditetapkan lebih tinggi dari pada yang ada di pasar.
Dalam studi perbandingan dengan
Currency Act negara-negara lain
seperti Kanada, Singapura, dan Thailand tidak dijumpai ancaman pidana bagi mereka yang menolak menggunakan mata uang negeri itu untuk transaksi domestik di negara-negara itu. Bahkan menurut pengalaman para peneliti dalam penelitian ini, justru yang sebaliknya yang terjadi, yaitu ketika para peneliti ini di Australia dan New Zealand, kedua negara itu tidak mau menerima dollar Amerika Serikat. Begitu juga negara-negara Eropa yang menggunakan Euro, menolak menerima mata uang asing lain selain Euro.
E. Cakupan RUU Mata Uang
Undang-Undang ini seyogianya dimulai dengan pengaturan mengenai Macam dan Harga Mata Uang. Pengaturan demikian dituangkan dalam Bab I. Mengenai hal ini substansi dalam Pasal 2 UU No. 23 Tahun 1999 dapat diambil alih karena susunannya sudah tepat. Pertama yang perlu diatur adalah penetapan rupiah sebagai satuan mata uang Republik Indonesia, penetapan uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, macam uang (uang kertas dan uang logam) dan
denominasinya. Selanjutnya juga perlu diatur harga mata uang. Di samping itu dalam bab ini juga diatur mengenai penggunaan rupiah.
Selanjutnya dalam Bab II diatur mengenai keharusan menggunakan uang rupiah untuk setiap transaksi di wilayah Republik Indonesia. Pengaturan mengenai mata uang ditujukan untuk menjaga stabilitas mata uang yang bersangkutan. Dalam kaitan ini sudah cukup bila diatur adanya keharusan untuk menggunakan mata uang itu dalam setiap transaksi. Begitu pun dengan mata uang rupiah. Sebenarnya aturan yang mengharuskan digunakannya uang rupiah dalam setiap perbuatan yang menimbulkan kewajiban pembayaran dengan uang, sudah cukup sehingga tidak perlu lagi aturan tentang penolakan. Justru yang perlu diatur adalah hak untuk menolak jika orang yang akan menerima pembayaran itu mempunyai alasan yang sah untuk menolak, misalnya karena fisik uang cacat atau diduga palsu.
waktu dan biaya serta tidak selaras dengan semangat dan prinsip kepastian hukum dalam penyusunan RUU Mata Uang ini. Sebaliknya, pengecualian itu cukup dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang pokok-pokoknya dapat merujuk pada bagian penjelasan Pasal 2 UU No. 23 Tahun 1999. Perlu pula dikecualikan setiap kewajiban pembayaran dengan uang yang terjadi atau disepakati sebelum lahirnya Undang-Undang Mata Uang. Sekalipun terdapat asas bahwa Undang-Undang tidak berlaku surut (retro aktif), untuk kepastian hukum pengecualian tersebut tetap diperlukan.
Bab-bab berikut yaitu yang mengatur mengenai Ciri-ciri, Desain dan Bahan Uang, demikian juga
Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Pemusnahan Uang,
serta Penukaran Uang dan