BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya gereja merupakan persekutuan orang percaya dan secara rohani
digambarkan sebagai tubuh Kristus dimana Kristus sebagai kepalanya. Gereja dalam menuju
visinya mempunyai dua tugas pokok yaitu “tugas ke luar” memberitakan Injil dan “tugas ke
dalam” yaitu memelihara kondisi jemaat agar bisa menjalankan perkabaran Injil sebagai
misi utama gereja. Kedua tugas pokok gereja itu tidaklah mudah, maka diperlukan suatu
manajemen yang baik dalam gereja. Manajemen dapat disimpulkan seseorang yang
mengerjakan sesuatu dengan meminjam tangan orang lain, disertai dengan pengawasan
proses pelaksanaannya agar menghasilkan produk yang sesuai dengan yang diinginkan.1 Tidaklah mudah untuk menjalankan suatu manajemen bagi sebuah gereja. Para pemimpin
gereja yang mempunyai kemampuan harus selalu siap mengubah struktur untuk dapat
menangani kebutuhan jemaat yang berubah-ubah. Mutasi seharusnya dapat menjadi suatu
wadah dimana para pekerjanya dapat mengekspresikan dirinya. Namun pada kenyataannya
mutasi yang selama ini dilakukan membuat pendeta lari dari permasalahan yang di hadapi
dalam jemaat.
Menurut De Jonge, mutasi dapat membantu pendeta untuk memenuhi panggilan
Allah dalam melayani jemaat.2 Mutasi dipahami sebagai sarana untuk mendidik dan membina pendeta agar tetap melakukan panggilannya sebagai pejabat Gereja. Karena
pendeta sebagai pejabat Gereja itulah maka ia dituntut untuk dapat melakukan tugas
panggilan Gereja.
2
GKPB merupakan gereja yang kudus dan am dalam mengemban panggilanya juga
memiliki kebijakan yang berkaitan dengan mutasi pendeta sebagai penjabat gereja,
sebagaimana bunyi tata gereja 2006 pasal 85:
“Yang pertama, penempatan pendeta dan vikaris diatur oleh Majelis
Sinode dengan memperhatikan semua pihak yang bersangkutan.
Yang kedua, syarat-syarat penerimaan dan penempatan pendeta dan
pentabisan vikaris menjadi pendeta diatur dalam peraturan khusus
yang ditetapkan oleh Majelis Sinode dalam sidang Majelis Sinode
Lengkap.” 3
Dalam penjelasan pasal 85 ayat 1 dikatakan bahwa semua pihak yang bersangkutan
adalah semua pihak atau unsur yang saran-saran dan pendapatnya patut didengar yaitu
pendeta atau vikaris yang akan ditempatkan, majelis jemaat yang bersangkutan dan Majelis
Sinode yang diwakili oleh Majelis Sinode Harian sebagai badan yang akan menetapkan.4 Selain itu dalam tata gereja pasal 86 mengatakan bahwa:
“Pertama, Mutasi bagi seorang pendeta dalam suatu pelayanan
dilaksanakan setiap 4 (empat) tahun, kecuali ada
pertimbangan-pertimbangan khusus yang ditetapkan oleh Majelis Sinode secara
tertulis dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan jemaat yang
bersangkutan. Kedua, perpanjangan masa pelayanan seorang
pendeta di suatu tempat pelayanan tertentu maksimum 4 (empat)
tahun.” 5
Bertolak dari pasal 86 tersebut, maka pendeta tidak dapat melayani dalam suatu jemaat
untuk selamanya. Dengan kata lain pendeta-pendeta dalam lingkungan GKPB harus
menerima kebijakan mutasi di jemaat yang di pimpinnya hanya dengan waktu 4 tahun. Yang
3
Penjelasan Tata Gereja Th. 2006 Gereja Kristen Protestan di Bali, 14 4
Penjelasan Tata Gereja Th.2006, 36 5
dimaksud dengan masa kerja selama empat tahun dalam tata gereja pasal 86 ayat 1 adalah
masa jabatan satu periode yang lamanya 4 (empat) tahun dilaksanakan secara terus-menerus.
Yang dapat dianggap sebagai pertimbangan-pertimbangan khusus adalah: perkembangan
jemaat akan terhambat apabila pendeta yang bersangkutan tidak segera dimutasikan dan
karena yang bersangkutan terpilih atau diangkat dalam jabatan yang lebih tinggi atau
pekerjaan yang dipandang lebih tinggi.6
Dikatakan bahwa mutasi bertujuan untuk penyegaran pelayanan baik pada pendeta
maupun jemaat. Namun sebaliknya pendeta yang di mutasikan merasa terbeban karena
permasalahan satu belum selesai sudah harus menghadapi permasalahan yang baru. Ada
kemungkinan besar pendeta yang sudah di mutasi dari jemaatnya enggan untuk di mutasikan
kembali ke jemaat yang sama dan itu akan menjadi suatu permasalahan yang besar baik itu
bagi pendeta, jemaat dan sinode. Dengan kata lain hubungan antara pendeta dan jemaat akan
menjadi rusak sehingga pelayanan tidak berjalan dengan baik. Sedangkan dalam tata gereja
dan keputusan persidangan sinode tidak ada dituliskan landasan teologis untuk melakukan
mutasi bagi para pendeta GKPB.
Selama ini keputusan penempatan pendeta dan vikaris dilakukan oleh Majelis Sinode
Harian dan Majelis Jemaat dengan melibatkan seluruh pendeta yang akan dimutasikan,
maksudnya semua pendeta atau vikaris yang akan dimutasikan ikut hadir dalam proses
mutasi pendeta. Kendatipun pada satu sisi umum dapat dilihat bahwa adanya mutasi pendeta
tentu akan dapat menambah pengalaman, baik itu pendeta maupun jemaat. Pendeta akan
lebih banyak belajar karakter jemaat yang berbeda-beda. Begitu juga dengan jemaat, mereka
tidak akan merasa bosan bila hanya dipimpin oleh satu pendeta saja. Dengan demikian,
jemaat juga dapat menilai kinerja pendeta yang seperti apa yang diharapkan. Seorang
pendeta dapat membuat suatu perubahan di jemaat dalam waktu empat tahun, baik itu
6
perubahan yang bersifat positif maupun negatif. Itulah landasan mutasi pendeta bila dilihat
dari sisi psikologis.
Secara sosiologis, dapat dilihat alasan adanya mutasi pendeta supaya ada hubungan
sosial yang lebih baik, dengan tujuan adanya pemimpin yang lebih kreatif dan dapat
memajukan jemaat dalam banyak hal. Selain itu melalui mutasi pendeta juga dapat belajar
bersosialisasi dengan banyak jemaat dan mengetahui permasalah-permasalahan atau dilema
yang dihadapi jemaat yang beranekaragam. Dengan demikian seorang pendeta akan terus
belajar dalam hidupnya melalui masalah-masalah baru yang dihadapinya.
Disamping itu pendeta atau seorang pemimpin jemaat harus memiliki kemampuan
untuk memimpin jemaatnya kearah yang lebih baik. Bernardine menemukan ada empat
kemampuan yang jelas dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu: manajemen perhatian yang
dilakukan melalui intensi-intensi atau visi, tetapi dalam artian hasil, tujuan atau arah. Yang
kedua manajemen arti dimana pemimpin dapat membuat mimpi-mimpi itu menjadi jelas
bagi orang lain dan untuk menggalang agar orang-orang bersatu dengan mereka, tetapi juga
menciptakan arti dari visi yang mereka buat. Yang ketiga manajemen kepercayaan dimana
yang menjadi pokoknya adalah dipercaya (reliable), dan yang terakhir adalah manajemen
diri yaitu mengetahui ketrampilan-ketrampilan yang dimilikinya dan dengan efektif
menggunakan ketrampilan-ketrampilan tersebut.7 Sebagai seorang pemimpin dalam jemaat setidaknya harus dapat melihat sumber daya manusia dalam artian, apa yang diperlukan dan
apa yang menjadi kebutuhan jemaat. Dengan demikian sinode dapat mempertimbangkan
mutasi pendeta yang sesuai dengan kebutuhan jemaat, tidak hanya berdasarkan keputusan
beberapa orang saja atau karena urusan keluarga, pekerjaan, dan sakit. Selama ini
penempatan pendeta atau mutasi bagi pendeta hanya dilakukan berdasarkan keputusan dari
7
beberapa orang saja, sehingga mutasi yang selama ini dilakukan sebagian besar tidak
menjawab kebutuhan dari jemaatnya.
Mengacu pada konsep di atas ada begitu banyak pertanyaan yang muncul ketika harus
membahas mutasi pendeta GKPB. Mengapa harus ada mutasi? Apa dasar dilakukannya
mutasi pendeta? Apa maksud dan tujuan yang ingin dicapai? Adakah hubungan mutasi
dengan panggilannya sebagai seorang pendeta? Apakah adanya mutasi dapat
mengembangkan kinerja pendeta? Sejauh manakah pemahaman pendeta GKPB tentang
mutasi? Apakah ada makna teologis dari mutasi pendeta? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini
akan muncul dan untuk menjawabnya mungkin sangat membingungkan dan mungkin tidak
semua pertanyaan itu dapat dijawab dengan baik. Oleh karena itu penulis memberikan
batasan atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul sesuai dengan penelitian yang akan
dilakukan. Batasan masalah tersebut hanya pada bagaimana pelaksanaan mutasi pendeta
GKPB, apa tinjuan manajemen terhadap pelaksanaan mutasi pendeta, dan apa yang menjadi
landasan dasar dari mutasi di GKPB. Dapat juga dilihat dari hasil keputusan-keputusan
sinode, bahwa pernah diberlakukan sistem mutasi yang membagikan formulir mutasi
pendeta kepada masyarakat atau jemaat, tapi pada kenyataannya dalam periode 2000-2004
pelaksanaan mutasi dengan memberikan ke keluasaan pada jemaat untuk mengisi fomulir
yang diberikan oleh MSH (Majelis Sinode Harian) yang pada akhirnya ada beberapa
pendeta yang tidak terpilih oleh warga jemaat. Dalam hal ini mutasi yang dilakukan hanya
atas dasar kepentingan dari beberapa orang saja tanpa melihat terlebih dahulu apa yang
terjadi dalam suatu jemaat, sehingga pendeta jemaat yang di mutasi merasa tidak dihargai
dan seharusnya proses mutasi pendeta harus sesuai dengan tata gereja yang sudah disepakati.
Manajemen atau aturan yang khususnya membahas mengenai mutasi pendeta harus lebih
ditegaskan lagi supaya salah satu pihat tidak merasa dirugikan. Dengan bertolak dari
persoalan ini dan dinamika yang terjadi maka penelitian ini di beri judul “Mutasi
! 1.2. Rumusan Masalah
Manajemen dalam proses mutasi pendeta sanggat diperlukan untuk mengatur proses
penempatan pendeta. Sebelum manajemen mutasi pendeta dilaksanakan, maka tim mutasi
pendeta perlu mengetahui apa yang menjadi latar belakang proses mutasi pendeta di GKPB.
Hal inilah yang akan menjadi salah satu penelitian dari penulis untuk dapat membuat suatu
manajemen yang baik dalam proses pemutasian pendeta di lingkungan GKPB.
Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana proses pelaksanaan mutasi pendeta di lingkungan GKPB?
2. Apa tinjauan manajemen gereja terhadap pelaksanaan mutasi pendeta GKPB?
3. Apa yang menajdi latar belakang dari mutasi pendeta di lingkungan GKPB?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian akan sejalan dan konsisten dengan rumusan masalah penelitian,
sehingga apa yang dinyatakan dalam rumusan masalah juga terkait dengan tujuan penelitian,
sebab tujuan penelitian merupakan pernyataan mengenai apa yang hendak di capai.
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan peraturan-peraturan gereja mengenai proses mutasi pendeta
dilingkungan GKPB dan supaya GKPB maupun pendeta dapat memahani bagaimana
manajemen yang baik dalam pemutasian pendeta ke depannya nanti.
2. Untuk melakukan tinjauan terhadap pelaksanaan proses mutasi pendeta di lingkungan
GKPB.
3. Untuk mendeskripsikan latar belakang GKPB mengenai landasan dasar dari mutasi
" 1.4. Metode Penelitian
1.4.1. Pendekatan Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif-deskriptif. Metode kualitatif bertujuan untuk mengkaji nuansa hidup dan perilaku
(yang samar-samar) serta proses sosial. Penelitian ini mengembangkan teori dari fakta,
kejadian, amatan, pengalaman untuk mencari makna secara holistik sehingga variabel
penelitian yang dipakai adalah pembahasan secara holistik, sistematik, dan
pengungkapan makna dibalik fakta empiri sensual. Objek penelitianya ialah manusia
atau segala sesuatu yang dipengaruhi manusia termasuk tindakan dan perkataan
manusia secara alamiah. Penelitian yang bersifat deskriptif artinya peneliti harus
memperoleh data langsung dari sumber data bukan hasil test dan angket. Data yang
dideskriptifkan harus dijelaskan maknanya, agar terlihat hubunganya dengan masalah.
Pengecekan kebenaran data (triangulasi yaitu hubungan antara metode wawancara,
observasi, dan dokumentasi) sebaiknya dicek pada sumber yang lain, agar data tentang
suatu keadaan atau aspek tertentu yang sama dapat dibandingkan.8 Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan semua fenomena yang
terdapat dalam masalah yang diteliti, yang meliputi pengumpulan dan penyusunan
data serta interpretasi dan analisa tentang arti data itu.9
1.4.2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian yaitu:
a. Observasi
Observasi berarti pengamatan atau peninjauan secara cermat.
Sedangkan Satori dan Komariah mengungkapkan bahwa, observasi adalah
8
Usman dan Setiady, 1995, Metode Penelitian Sosial & Teologi Kristen, (Salatiga: Widya Sari Press, 2005), 20-21.
9
#
dasar semua ilmu pengetahuan.10 Jadi observasi dalam penelitian kualitatif adalah pengamatan langsung terhadap objek untuk mengetahui keberadaan
objek, situasi, konteks dan maknanya dalam upaya mengumpulkan data
penelitian. Di sini penulis melakukan pengamatan secara langsung terhadap
pendeta yang sudah dimutasikan, dengan demikian penulis dapat mengetahui
situasi dan konteks yang terjadi. Adapun kelebihan dari metode observasi
yaitu: peneliti mengetahui kejadian sebenarnya sehingga informanya diperoleh
langsung dan hasilnya akurat, peneliti dapat mencatat kebenaran yang sedang
terjadi, peneliti dapat memahami substansi sehingga ia dapat belajar dari
pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Kekurangan dari metode penelitian
observasi, yaitu: memakan waktu yang lama, tergantung pada kepiawaian
pengamat, observasi apalagi yang dikenal dan disegani bisa mempengaruhi
perilaku partisipan sehingga situasinya bisa menjadi dibuat-buat dan kaku, dan
observer yang berperanserta kurang memiliki waktu untuk membuat catatan
hasil pengamatan.11
b. Wawancara
Wawancara menurut Esterberg, merupakan suatu pertemuan dua orang
untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Jadi wawancara adalah
suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informan yang dapat digali
dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab.12 Wawancara dalam penelitian kualitatif sifatnya mendalam karena ingin mengeksplorasi
10
Djam’an Satori dan Aan Komariah. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta ,2010), 105.
11
Satori dan Aan Komariah. Metodologi Penelitian Kualitatif, 125-126 12
$
informasi secara holistik dan jelas dari informan. Dalam wawancara kita dapat
menggunakan alat bantu berupa tape recorder, buku catatan, pesawat telepon
dan alat tulis. Metode wawancara bersifat terbuka dengan memilih dan
menentukan informan kunci di kalangan interen GKPB, secara proposional dari
unsur pimpinan GKPB dua orang, pendeta pensiun dua orang, pendeta yang di
mutasi dua kali ke atas tiga orang, pendeta yang di mutasi empat kali empat
orang, pendeta yang di mutasi enam kali berjumlah dua orang, dan pendeta
yang masih aktif dalam proses pemutasian pendeta tiga orang. Beberapa
informan ini saya anggap penting dan memiliki cukup informasi yang saya
inginkan dari penelitian ini.
c. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah mengumpulkan data atau bahan dari berbagai
buku dan dokumen lainnya. Studi kepustakaan ini, bermanfaat menyusun
landasan teoritis yang akan menjadi tolak ukur untuk menganalisa hasil
interpretasi data penelitian lapangan guna menjawab persoalan pada rumusan
dan tujuan masalah serta membuktikan hipotesa masalah yang diteliti. Studi
kepustakaan ini dibuat berkaitan dengan GKPB dan mutasi bagi
pendeta-pendeta.
1.4.3. Unit Amatan
Yang menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalah Sinode GKPB, MSH, dan
pendeta yang bertempat di Kapal-Megwi Badung, yang bertunjuan untuk mengetahui
manajemen dalam proses mutasi pendeta di lingkungan GKPB.
Proses mutasi pendeta memerlukan manajemen yang baik supaya dapat menekan
permasalahan yang terjadi. Untuk itu yang menjadi unit analisa dalam penulisan ini
adalah GKPB, pimpinan GKPB empat orang, pendeta pensiun dua orang, pendeta
yang masih aktif dan sudah pernah di mutasi sebilang orang.
1.4.5. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian yang dilakukan Gereja Kristen Protetstan di Bali dan wilayah-wilayah
pelayanan, kabupaten/kota serta beberapa desa yang ada di Bali. Adapun lokasi-lokasi
tersebut adalah, Jembrana, Buleleng, Bangli, Giayar, Klungkung, dan Amlapura.
Alokasi waktu, penulis melakukan penelitian selama satu bulan, terhitung dari tanggal
11 Oktober-11 Nopember 2011.
1.5. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka manfaat yang diharapkan
dari penelitian ini adalah memberi kontribusi pemikiran bagi pelaksanaan mutasi
pendeta-pendeta serta manajemen yang baik dalam mutasi di GKPB guna pengembangan pelayanan
GKPB pada masa yang akan datang.
1.6. Kerangka Penulisan
Pada Bab I, penulis akan memaparkan latar belakang dan rumusan permasalahan dari
judul skripsi yang di buat. Penulis akan menjelaskan akar permasalah tentang judul yang
akan di teliti, tujuan yang hendak dicapai dan manfaat dari penelitian. Selain itu penulis juga
Pada Bab II penulis akan menjelaskan mengenai pengertian manajemen secara umum,
sumber daya manusia dalam konteks gereja dan pengertian mutasi pendeta. Selain itu,
penulis juga akan membahas mengenai fungsi-fungsi manajemen dan kekuatan yang
mempengaruhi manajemen gereja.
Dalam Bab III penulis akan membahas mengenai keputusan-keputusan GKPB dalam
mutasi pendeta dan hasil penelitian mengenai proses mutasi pendeta. selain itu latar
belakang, bentuk dan struktur organisasi, kebijakan mutasi, profil pendeta, prosedur mutasi
dan permasalahan dalam proses mutasi pendeta akan penulis bahas dalam bab tiga. Dalam
pengumpulan data tersebut penulis mendapatkan suatu hasil yang nantinya dapat digunakan
oleh gereja untuk membuat manajemen yang baik dalam proses mutasi pendeta. Bab IV
akan membahas mengenai hasil yang di peroleh dari hasil penelitian dan hasilnya itu dapat
di refleksikan baik itu dalam kehidupan berjemaat dan diri sendiri, tetapi juga bagi orang
lain. Selain itu penulis juga membahas mengenai latar belakang masalah mutasi pendeta,
proses mutasi pendeta dilihat dari fungsi-fungsi manajemen dan upaya penyelesaian masalah
yang timbul dari proses mutasi pendeta. Dimana pada Bab V penulis menyimpulkan hasil