i
PENGEMBANGAN KARANG TARUNA KABEJAN
Pengelolaan Lingkungan oleh Pemuda Desa Jembul Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Dirasah Islamiyah
Oleh
Ahmad Muhtadi Billah NIM. F520915003
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
xii
PENGEMBANGAN KARANG TARUNA KABEJAN:
(Pengelolaan Lingkungan oleh Pemuda Desa Jembul Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto)
Oleh : Ahmad Muhtadi Billah1
Abstrak
Jembul merupakan desa terakhir di ujung Kecamatan Jatirejo. Beberapa waktu lalu Jembul bukanlah desa yang memiliki daya Tarik tinggi. Saat ini banyak orang mendatanginya untuk menikmati keindahan alam yang diberikan. Selain mengandung keberkahan, tersimpan kerisauan akan sampah yang ditinggalkan oleh para pengunjung. Hal ini didukung dengan pola hidup masyarakat yang tidak terbiasa mengelola sampah. Melalui gerakan pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna, mereka berusaha mencari alternatif untuk mengelola sampah tersebut sehingga dapat dikurangi dan tidak menimbulkan kerugian. Melalui pendekatan riset aksi partisipatoris dan menggunakan sudut pandang Freire, para pemuda diajak untuk melihat kondisi lingkungan dan memberikan alternatif melalui proses diskusi. Mereka diajak untuk bangkit dari kondisi yang dianggap lumrah dan pada kondisi kesadaran palsu, menuju pada proses yang berbuah kesadaran kritis dan transformatif. Hasilnya, para pemuda menyadari bahwa keberadaan sampah tersebut akan menganggu lingkungan Desa Jembul. Dengan semangat para pemuda, mereka mencari solusi yang dapat dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa tergantung dari pihak manapun (Sustainability).
Kata Kunci : Pemuda, Pemberdayaan, Sustainability
xiii
Abstract
Jembul is the last village at the end of Jatirejo Subdistrict. Some time ago Jembul is not a village that has high attraction. Today many people come to him to enjoy the natural beauty given. In addition to containing blessings, stored worries will be garbage left by the visitors. This is supported by the pattern of community life that is not accustomed to managing waste. Through youth movements incorporated in Karang Taruna, they tried to find an alternative to manage the waste so that it can be reduced and not cause harm. Through a participatory action research approach and using Freire's point of view, young people are invited to look at environmental conditions and provide alternatives through a discussion process. They are invited to rise from the prevailing conditions and to the state of false consciousness, leading to a process that produces critical consciousness and transformative consciousness. The result, the youth realized that the presence of waste will disrupt the environment of Jembul Village. In the spirit of the youth, they look for solutions that can be implemented in a sustainable manner without depending on any party.
x
B. Dimensi Sosial Keagamaan Pemuda dan Masyarakat Desa
Jembul……….……….54
C. Aspek Perekonomian Para Pemuda Produktif………….. 61
BAB IV LANGKAH PEMUDA KABEJAN DALAM MENGELOLA
SAMPAH
A. Identifikasi ProblematikaDesa Jembul……… 73
B. PencegahanTumpukan Sampah ………80
C. Penanganan Sampah Desa Jembuloleh Para Pemuda….. 86
BAB V PENUTUP
xi
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
A. Daftar Tabel
Nomor Keterangan
3.1 Transek : Identifikasi singkat kekayaan Desa Jembul
3.2 Jumlah rumah berdasarkan luas bangunan
3.3 Jumlah rumah berdasarkan fasilitas
3.4 Jadwal kegiatan keagamaan masyarakat Desa Jembul
3.5 Perbandingan jagung lokal dan jagunglanang wedok
3.6 Perbandingan padi lokal dan padi IR64
3.7 Kalender Musim
B. Daftar Gambar
Nomor Keterangan
3.1 Peta Desa Jembul yang dikelilingi hutan
3.2 Nderesrutin yang dibimbing oleh Wulyono
3.3 Para Ibu dalam kegiatan yasinan dan tahlil
3.4 Kegiatankhotmilquran laki-laki pada tradisilegian
3.5 Jagung lokal yang belum dipipil
3.6 Padi IR64
3.7 Padi lokal
3.8 Cokelat berwarna kuning siap panen
4.1 Suasana FGD Karang Taruna
4.2 Pembuatan tulisan petunjuk arah dan himbauan
4.3 Komposter TPA Pojok Kediri
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk hidup tidak terlepas dari keberadaan sampah.
Tidak hanya menjadi persoalan lokal, sampah juga menjadi perhatian
internasional selama proses penglolaannya tidak berjalan secara maksimal. Dalam
pengawasan penguraian B3 (bahan berbahaya dan beracun) misalnya, tidak
banyak dari masyarakat yang mengetahui hal tersebut. Jika B3 tersebut tercemar
dalam lingkungan luas, maka akan mengancam kehidupan masyarakat lainnya.
Lebih sederhana lagi, limbah rumah tangga sekalipun yang tidak mengandung B3
dapat menjadi berbahaya jika berada dalam lingkungan bebas dan tidak terkelola
dengan baik.
Indonesia sebagai negara dunia ketiga, memiliki masyarakat dalam taraf
berkembang. Saat ini sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia
mencapai 175.000 ton per hari dan mencapai hingga 64 juta ton per tahun. Dalam
catatan Kementrian Lingkungan Hidup, pada tahun 2016 ini sebanyak 60% tempat
pembuangan akhir (TPA) di beberapa wilayah di Indonesia telah mengalami
overload.1 Hal ini terjadi karena kebiasaan masyarakat Indonesia yang langsung membuang sampah rumah tangga ke tempat pembuangan sementara (TPS) dan
langsung diangkut menuju ke TPA. Hal ini terjadi di seluruh wilayah Indonesia,
1
2
termasuk Kabupaten Mojokerto sebagai daerah periferi dari kota metropolitan
Surabaya.
Mojokerto sebagai kabupaten penyangga kota metropolitan serta menjadi
kota destinasi wisata, menjadi sangat rasional apabila kota ini juga identik dengan
keberadaan sampah yang masiv. Data yang dicatat oleh Dinas Pekerjaan Umum
Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Mojokerto, pada tahun 2016 volume
sampah yang masuk ke TPA mencapai 25 ton.2 Angka tersebut baru 25-50 persen
total sampah dari masyarakat Kabupaten Mojokerto. Sisanya masih terbuang di
TPS dan ada pula yang menggunakan cara tradisional dengan dibakar atau
ditimbun. Cara inilah yang juga dilakukan oleh masyarakat Desa Jembul
Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto.
Sampah yang dihasilkan sendiri oleh masyarakat tidaklah terlalu banyak,
mengingat kebutuhan masyarakat desa yang seadanya. Meskipun demikian, jika
kita amati berdasarkan hasil survey, rata-rata masyarakat Jembul memproduksi
sampah, baik sampah organik maupun non organik adalah 1-2 kilogram per KK
setiap harinya. Jika diambil nilai tengahnya dengan jumlah 90 KK, maka
terkumpul sampah seberat 135 kilogram setiap harinya. Jumlah ini belum
ditambahkan dengan sampah yang dibawa oleh para pengunjung wisata air terjun
Kabejan. Jika setiap pengunjung meninggalkan sampah satu ons plastik, maka
pada hari libur sebanyak 200 orang akan meninggalkan 200 ons sampah atau
setara 20 kilogram sampah yang sulit untuk diuraikan.3
2
Ibid 3
3
Sebagai desa yang berada di lereng gunung, bukan hal yang sulit untuk
menemukan lokasi penguburan atau membakar sampah secara bebas. Meskipun
tidak berdampak secara langsung, namun ini bukanlah sesuatu yang efektif.
Apalagi pembakaran sampah plastik juga mempunyai efek berbahaya bagi
lingkungan. Para ibu rumah tangga melakukan pembakaran sampah secara rutin
baik di halaman depan maupun belakang rumah. Bahkan selama ini penanganan
sampah tidak melibatkan pihak manapun juga. Padahal Desa Jembul memiliki
potensi pemuda yang cukup aktif dalam melaksanakan berbagai kegiatan. Para
pemuda memiliki kesempatan agar mampu berkembang sesuai dengan amanat
Undang-undang Nomor 40 tahun 2009 Tentang Kepemudaan, yang meliputi
pelayanan, penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan potensi pemuda.
Pelayanan kepemudaan yang digariskan dalam undang-undang dimaksud
meliputi penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan dalam bidang
kepemimpinan, kewirausahaan dan kepeloporan. Tiga bentuk pelayanan ini adalah
sebuah proses yang saling berkaitan dan berkelanjutan (suistainability). Ketiganya
saling berkaitan. Hal itu karena tiga bentuk pelayanan tersebut lebih merupakan
proses perjalanan pembangunan masyarakat, dalam kasus ini adalah masyarakat
dalam arti kelompok Karang Taruna. Ketiga hal tersebut meliputi penyadaran,
pemberdayaan, dan pengembangan pemuda.
Pertama adalah penyadaran. Bentuk pelayanan ini lebih bersifat satu arah,
dimana masyarakat dalam hal ini pemuda masih belum dapat berdaya dan
memiliki kemampuan mengembangkan diri. Bentuk berikutnya adalah
4
belum berdaya, karenanya membutuhkan pemberdayaan dari kelompok yang lebih
maju. Dua pendekatan awal ini masih bercorak negatif approach. Bentuk yang
ketiga adalah pengembangan, yaitu proses lebih lanjut dari dua bentuk pertama.
Pada tahap ini masyarakat diposisikan sebagai satuan yang sudah mampu
berkembang secara mandiri. Corak terakhir ini lebih menempatkan masyarakat
sebagai subyek daripada obyek.
Pasal 4 undang-undang nomor 40 tahun 2009 menyatakan bahwa
“pembangunan kepemudaan dilaksanakan dalam bentuk pelayanan kepemudaan”.
Sedangkan bentuknya sebagaimana telah disebutkan diatas yaitu melalui
penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan dimuat dalam pasal 5. Apabila
melihat program yang akan dilaksanakan, maka program ini berada pada area
pemberdayaan dan pengembangan. Strategi dalam melaksanakan pelayanan juga
telah disusun dalam undang-undang kepemudaan dalam pasal 8 yang diantara
melalui :4
1. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pemuda
2. Pendampingan pemuda
3. Perluasan kesempatan memperoleh dan meningkatkan pendidikan serta
keterampilan
4. Penyiapan kader pemuda dalam menjalankan fungsi advokasi dan
mediasi yang dibutuhkan lingkungannya.
Pembangunan kepemudaan juga diharapkan mampu mendorong peran dan
tanggung jawab pemuda dalam arah pembangunan nasional. Peran aktif yang
4
5
diharapkan dari pemuda meliputi berbagai bidang dalam peta pembangunan
nasional, mulai dari aspek yang bersifat abstrak dan pemikiran hingga yang
bersifat kongkret kemasyarakatan dan perekonomian. Peran pemuda dalam pasal
17 meliputi peran aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial dan agen
perubahan.5 Peran aktif sebagai agen perubahan salah satunya dilaksanakan
dengan mengembangkan kepedulian terhadap lingkungan dan diwujudkan dengan
pengelolaan sampah.
Pemberdayaan kepemudaan yang akan dilaksanakan dalam program ini
sejalan dengan pasal 24 undang-undang nomor 40 tahun 2009 tentang
kepemudaan yang dilaksanakan secara sistematis, terencana dan berkelanjutan
yang bertujuan meningkatkan potensi dan kualitas jasmani, mental spiritual,
keterampilan diri dan organisasi menuju kemandirian pemuda.6 Pemberdayaan
dapat dilakukan melalui kemandirian dalam pengelolaan sampah. Sehingga
mampu mewujudkan lingkungan yang sehat.
Selanjutnya pengembangan pemuda tertuang dalam bab vii undang-undang
nomor 40 tahun 2009.7 Pengembangan dalam undang-undang tersebut
menyebutkan pengembangan dapat dilakukan dalam tiga area, yaitu
kepemimpinan, kewirausahaan dan kepeloporan. Selaras dengan bunyi
undang-undang tersebut, program ini dilaksanakan dalam area pengembangan
kepemimpinan dan kepeloporan. Para pemuda yang terbentuk dalam Karang
Taruna menjadi pemimpin dan pelopor terbentuknya system pengelolaan sampah
6
suatu hal yang memiliki nilai ekonomi. Dengan demikian, akan tercakup tigal
aspek dalam area pengembangan pemuda tersebut, yakni kepemimpinan,
kewirausahaan, dan kepeloporan.
Dengan bermodalkan mindset masyarakat desa yang terbuka dan mau
bekerja keras, bukan sesuatu yang mustahil untuk menggerakkan masyarakatnya
dalam mengelola sampah terutama melalui kekuatan para pemuda. Melalui spirit
para pemuda, sampah dapat dikelola menjadi hal yang bermanfaat. Sesuai dengan
amanat UU no.40 tahun 20098, pemuda sebagai salah satu agent of change
menjadi sangat penting keberadaannya dalam mendampingi dan melaksanakan
wilayah nol sampah.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Penelitian berbasis riset partisipatoris ini berangkat dari proses diskusi
yang dilakukan oleh karang taruna Desa Jembul. Dalam proses diskusi tersebut
dihasilkan rencana-rencana strategis dalam mengelola lingkungan. Pengembangan
pemuda desa dan Pengelolaan sampah menjadi fokus utama dalam penelitian ini.
Sehingga pengelolaan sampah yang ramah lingkungan berbentuk bank sampah
menjadi tujuan akhir dari penelitian ini.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana transformasi kesadaran pemikiran (mindset) pemuda Karang
Taruna Desa Jembul Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto dalam
mengelola lingkungan? 8
7
2. Bagaimana langkah pemuda Karang Taruna Desa Jembul Kecamatan
Jatirejo Kabupaten Mojokerto sebagai fasilitator dalam mengembangkan
lingkungan?
D. Tujuan Penelitian
1. Menggerakkan kesadaran para pemuda untuk mendampingi dan mengelola
lingkungan
2. Mengembangkan dan mengelola sampah rumah tangga menjadi lebih
bermanfaat dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle)
E. Manfaat Penelitian
1. Manfat Akademik
a. Sebagai bahan rujukan bagi penelitian berbasis riset aksi partisipatoris
lainnya
b. Sebagai model penelitian pemberdayaan yang variatif
2. Manfaat Praktis
a. Menumbuhkan kesadaran perilaku hidup sehat kepada pemuda desa
b. Menggerakkan semangat pengelolaan lingkungan bagi masyarakat
F. Penelitian Terdahulu
Penelitian berbasis riset partisipatoris telah dilakukan beberapa kali dan terus
berlanjut hingga tercapai sebuah kemandirian. Riset terdahulu dilakukan oleh
8
Pendampingan untuk Pengorganisasian Msyarakat Desa Jembul dalam
Memecahkan Problem Penghasilan Alternatif Pasca Reboisasi di Desa Jembul
Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto”. Dalam penelitian berbasis PAR ini,
peneliti mendampingi masyarakat Desa Jembul dalam menggali ekonomi
alternative berbasiskearifan lokal. Meskipun banyak kekayan alam yang
melimpah, namun salah satu tanaman berjenis porang mampu dikembangkan dan
dimantapkan dalam manajemen pasca panen. Masyarakat yang awalnya memanen
porang pada saat tertentu saja, kini dapat dikelola setiap waktu ketika hara tinggi
dengan jalan manajemen pasca panen. Dalam penelitian ini, juga menggunakan
beebrapa tools PRA sebagai bahan acuan dalam merumuskan rencana strategis
gerakan masyarakat.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Eva Zumrotul dkk dalam penelitian
yang berjudul “Efektivitas Bank Sampah dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Ekonomi Masyarakat RT 06 RW 11 Desa Sawotratap Kecamatan Gedangan
Kabupaten Sidoarjo”. Penelitian ini juga berbasis pendampingan, dimana para
peneliti bertindak sebagai fasilitator dan mengembangkan potensi pemuda karang
taruna sebagai kekuatan utama dalam membangun bank sampah di Desa
Sawotratap. Pemuda karang taruna yang awalnya kurang memiliki kegiatan, kini
mereka mengembangkan bank sampah. Dibuka setiap hari minggu, para nasabah
adalah masyarkat Desa Sawotratap sendiri. Selain mengumpulkan sampah untuk
dijual kembali, bank sampah juga mengelola sampah non organic menjadi
9
G.Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode riset aksi partisipatoris / Participatory
Action Research (PAR). Dengan menggunakan metode ini, penelitian berangkat dari kelompok yang memahami keadaan mereka sendiri. Peneliti sebagai
fasilitator terkadang perlu untuk menyediakan sarana-sarana yang kelak
menyadarkan kemampuan mereka dan terus berkembang. Untuk mencapai kondisi
pendampingan yang diharapkan, diperlukan beberapa tahap-tahap yang akan
dilakukan dalam proses pendampingan. Tahap tahap tersebut antara lain To Know,
To Understand, To Plann, To Action, To Reflection.9 Berikut penjabaran dari masing-masing strategi tersebut:
1. To Know
Pada tahap ini, fasilitator melakukan getting in dan inkulturasi dengan
masyarakat dan Remus. Dengan proses tersebut, diharapkan mampu untuk
berbaur dan menjadi bagian dalam masyarakat. Tahap ini merupakan
bagian terpenting yang merupakan akses masuk bagi para fasilitator untuk
memberdayakan masyarakat. Jika pada proses ini fasilitator diterima
dengan baik, maka permasalahan akan secara jelas diidentifikasi dengan
proses diskusi yang terbuka dan tanpa ada rasa sungkan. Jika proses ini
belum berjalan maksimal, maka masyarakat akan kurang terbuka dan
informasi yang didapatkan menjadi minim bahkan tidak valid.
2. To Understand
9
10
Setelah fasilitator berbaur dengan masyarakat, maka disinilah tools /
alat-alat Partisipatory Rural Appraisal (PRA) digunakan untuk
mengidentifikasikan permasalahan. Pemetaan secara partisipatif melalui
proses Focus Group Discussion (FGD) dilakukan sebagai bentuk aplikasi
keterampilan PRA. Masyarakat yang terbelenggu dalam kehidupan yang
konservatif dapat didorong untuk berpikir kritis sehingga mampu
mengungkapkan segala permasalahan. Selain Mapping, berdiskusi dengan
masyarakat juga bertujuan untuk merumuskan hirarki permasalahan
dengan tools PRA seperti, diagram venn, diagram alur, kalender musim,
timeline, daily routine, tren and change, hingga pada akhirnya
menemukan titik permasalahan yang tergambar pada pohon masalah.
3. To Plann
Keberhasilan PAR bukanlah dinilai dari kuantitas stakeholder semata.
Adanya komunitas yang bekerja secara berkesinambungan merupakan
modal utama dari sebuah proses pemberdayaan. Melalui sebuah
komunitas, disusunlah rencana-rencana yang strategis untuk memecahkan
problem yang telah ditemukan pada proses diskusi sebelumnya. Pada
perencaan ini pula digambarkan sebuah harapan dari mereka melalui
kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memecahkan problem tersebut.
4. To Action
Kegiatan-kegiatan yang disusun Remus tersebut dilakukan bersama-sama
sebagai bentuk nyata sebuah pasrtisipasi. Aksi yang dilaksanakan bukan
11
diskusi yang panjang dan tepat sasaran. Dengan modal komunitas inilah
sebuah proses pemberdayaan akan terus dilakukan hingga tercipta sebuah
transformasi social dalam masyarakat.
5. To Reflection
Pada tahap akhir proses pemberdayaan, dilakukan sebuah evaluasi
terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan. Semua proses yang
telah dijalankan diharapkan mampu menjadikan perubahan pola pikir
melalui transformasi social yang terjadi. Selain itu, dengan adanya
komunitas yang terus mengawal kegiatan-kegiatan yang berbasis local
knowledge diharapkan mampu berkesinambungan (suistainability). Dan pada akhirnya, mereka mampu membagi pengalaman tersebut melalui
local leader yang terbentuk selama proses pendampingan. Pada tahap ini pula dilakukan analisis terhadap program-program yang telah dijalankan.
Sehingga ditemukan pula titik kesulitan dan kelak akan diatasi melalui
proses yang serupa.
H.Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah Desa Jembul Kecamatan Jatirejo
Kabupaten Mojokerto. Lokasi ini dipilih karena memiliki potensi kekayaan alam
yang melimpah dan potensi sumber daya manusia, yakni para pemuda yang
memiliki kemauan tinggi untuk berkembang. Desa Jembul juga merupakan desa
12
Penelitian partisipatoris ini dilaksanakan dalam kurun waktu 4 (empat) bulan
terhitung dari 1 Pebruari – 30 Juni 2017 atau menyesuaikan dengan waktu
penelitian tesis yang ditentukan oleh Program Studi Dirasah Islamiyah
Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
I. Subyek Penelitian
Pemilihan subyek penelitian dalam metode PAR merujuk pada komunitas
yang termarginalkan. Dalam hal ini keefektifan informan dapat diperoleh melalui
tools Focus Group Discussion (FGD). Melalui FGD yang melibatkan masyarakat, informasi akan lebih banyak didapatkan dan lebih akurat. Sedangkan sasaran
utama dalam proses diskusi tersebut adalah para pemuda yang tergabung dalam
wadah karang taruna. Para pemuda dipilih karena mereka sebagai aktor utama
yang memiliki semangat untuk menjaga kebersihan lingkungan. Melalui para
pemuda diharapkan muncul-inisiatif untuk mengembangkan lingkungan.
J. Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pendampingan berbasis PAR, beberapa tools yang dapat
digunakan untuk menggali data antara lain mapping, transect, survey belanja
rumah tangga, timeline, tren and change, seasonal calendar, daily routine,
13
pohon masalah dan harapan.10 Berikut adalah penjelasan dari masing-masing tools
PRA:
1. Mapping
Menggambar kondisi wilayah yang dialkukan secara partisipatif bersama
para narasumber lokal (NSL). Tujuan dari proses ini adalah
menggambarkan wilayah desa secara umum, maupun topic-topik tertentu
yang relevan dengan proses pendampingan.
2. Transect
Menelusuri wilayah desa yang telah digambarkan dalam proses mapping.
Transect dilakukan bersama dengan NSL untuk mengetahui secara
langsung gambaran masyarakat desa. Transect dilakukan dengan
menelusuri rute yang telah ditentukan bersama dengan NSL.
3. Survey Belanja Rumah Tangga
Teknik ini dugunakan untuk memperoleh gambaran secara rinci tingkat
kehidupan masyarakat melalui jenis-jenis pemasukan maupun
pengeluaran. Dalam survey ini melibatkan pula aspek-aspek ekonomi,
pendidikan, kesehatan, kelayakan hidup dan tingkat konsumsi.
4. Timeline
Merupakan teknik yang dilakukan untuk mengetahui asur sejarah
masyarakat desa. Dengan demikian, akan tergambar kejadian-kejadian
penting yang pernah dialami dalam waktu tertentu.
5. Trend and Change
10
14
Teknik ini digunakan untuk menganalisis perubahan tertentu pada satu
periode. Aspek yang dianalisis meliputi kecenderungan umum perubahan
seperti pertanian, agama, tingkat kelahiran dan kematian, dan topic
tertentu yang berkaitan dengan proses pendampingan.
6. Seasonal Calender
Kalender musim adalah salah satu teknik yang digunakan untuk
menggambarkan siklus-siklus tahunan. Permasalahan yang dikaji dapat
berupa siklus pertanian, siklus kegiatan desa dan keagamaan. Penyajian
data dapat dilakukan dalam bentuk matriks.
7. Daily Routine
Tools ini berfungsi sebagai pisau analisis yang menggambarkan kegiatan harian individu maupun kelompok. Melalui teknik ini dapat diperoleh
informasi mengenai pemanfaatan waktu setiap individu maupun
kelompok. Dengan proses ini pula akan tergambar permasalahan yang
sehari-hari dialami oleh masyarakat.
8. Diagram Venn
Teknik ini berfungsi untuk menggambarkan relasi kuasa yang terjadi antar
lembaga yang ada dalam masyarakat. Digambarkan pula tingkat pengaruh
lembaga tersebut terhadap masyarakat dalam aspek tertentu.
9. Diagram Alur
Teknik ini digunakan untuk menggambarkan proses-proses yang terkait
dalam sebuah permasalahan. Teknik ini juga berfungsi untuk menganalisa
15
dengan tujuan menimbulkan kesadaran kritis pada kondisi status quo yang
mereka alami.
10.Matrix Rangking
Dalam proses pendampingan, matrik rangking digunakan untuk
menentukan sebuah prioritas. Permaslahan yang telah diidentifikasikan
dapat dinilai / scoring untuk menentukan penting tidaknya topic tersebut
bagi masyarakat.
11.Wawancara Semi Terstruktur
Seperti halnya dengan penelitian lainnya, wawancara dilakukan untuk
menggali informasi. Namun wawancara dilaukan secara santai dan dibatasi
oleh topic-topik tertentu. Dalam proses ini, memungkinkan masyarakat
untuk menggambarkan kondisi mereka. Teknik ini merupakan alat bantu
yang digunakan dalam setiap teknik PRA.
12.Analisis Pohon Masalah dan Harapan
Teknik ini merupakan analisis akhir yang didasarkan pada tools PRA
sebelumnya. Pohon masalah menggambarkan akar-akar dari problem yang
dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian dapat didiskusikan
proses-proses menuju perubahan yang tertuang dalam pohon harapan. Pemecahan
problem juga dilakukan secara partisipatoris dengan menumbuhkan pola
berpikir kritis. Dengan demikian, kekuatan utama masyarakat akan
16
K.Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpualan. Tahap pertama yaitu tahap reduksi. Tahap reduksi
data dilakukan dengan proses menelaah kembali data yang didapat di lapangan
dan melakukan pemusatan perhatian pada penyederhanaan data. Tahap reduksi
data meliputi meringkas data, mengkode, dan menelusur tema.11 Reduksi data
merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikaian
rupa sehinggga kesimpulan akhir dapat diambil.
Kedua yaitu tahap penyajian data. Tahap penyajian data yaitu kegiatan ketika
sekumpulan informasi disusun, sehingga akan memberikan kemungkinan akan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Ketiga yaitu tahap
penarikan kesimpulan. Dari analisis data yang telah dilakukan, kemudian
diinterpretasikan dengan teori (analisis teori).
Maka selanjutnya dapat dialakukan penarikan kesimpulan yang mula-mula
belum jelas kemudian menjadi lebih rinci. Setelah tersusun dalam kelompok maka
sekaligus juga dipilah-pilah mana yang akan digunakan dan mana yang termasuk
data jenuh. Setelah semua data terkumpul dan telah tersusun dalam
pengelompokan-pengelompokkan maka data tersebut selanjutnya diolah dan
dianalisis untuk dijadikan sebuah laporan penelitian.
11
17
L.Sistematika Pembahasan
Bab I memuat tentang pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
pemilihan focus penelitian. Pada bab ini juga dipaparkan metode yang digunakan
oleh peneliti dalam menyikapi sebuah permasalahan. Rancangan penelitian
terdahulu juga tertuang sebagai landasan dilakukannya penelitian partisipatif ini.
Disamping itu, terdapat metode penelitian yang berisi langkah-langkah dan
penjelasan teknis terhadap penelitian yang dilaksanakan. Dalam bab ini juga
memaparkan secara lengkap lokasi, subyek, serta teknik yang digunakan dalam
mengambil data dilapangan.
Bab II berisi tentang kajian teori dengan memaparkan berbagai teori yang
mendasari dilakukannya penelitian ini. Teori sebagai pisau bedah dan petunjuk
dilakukannya sebuah proses penelitian partisipatif.
Bab III berisi temuan data yang terdiri dari beberapa sub-bab seperti
derskripsi wilayah, problem yang dihadapi, hingga proses perencanan strategis
oleh masyarakat dan pemuda. Seluruh hasilnya dituliskan dalam bentuk teks
naratif.
Bab IV dan V berisikan analisis data serta penutup. Analisis data merupakan
hasil refleksi temuan data terhadap kajian teori yang digunakan dalam penelitian
ini. Sedangkan bab terakhir berisi kesimpulan serta hal-hal yang perlu
18
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Teori Pemberdayaan Masyarakat
Berkembangnya konsep pembangunan top-down yang berkesan
sentralisasi menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah semua proses tersebut telah
memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya, ataukah hanya sebuah tindakan
pemborosan anggaran yang mubazir. Semua kegiatan pembangunan yang terkesan
mementingkan proyek semata dinilai banyak yang tidak tepat pada sasaran.
Masyarakat seluruhnya dianggap awam dengan berbagai alasan dinamikanya.
Padahal, mereka lah yang lebih memahami tentang seluk beluk kehidupan yang
setiap harinya mereka jalani.
Beberapa kritik terhadap proyek pembangunan ini ditujukan kepada
metode proyek yang tidak “memanusiakan manusia”. Cara yang didasari suatu
keyakinan bahwa penyelesaian persoalan hanya bisa ditangani oleh kaum
profesional. Sementara masyarakat dianggap sebagai kelompok yang tidak
memiliki kemampuan menyelesaikan masalah atau justru dianggap sebagai bagian
dari masalah. Metode seperti ini umumnya didasarkan pada bentuk-bentuk riset
dengan menggunakan pendekatan logika pengetahuan dan penelitian-penelitian
yang terpengaruh oleh ilmu-ilmu social yang bersifat positivistik.1
1
19
Kritik terhadap metodologi pembangunan yang didasarkan pada
bentuk-bentuk penelitian positivistik dengan menggunakan pendekatan logika sains dan
penelitian-penelitian etnometodologis, pada intinya antara lain:2
a) Riset ini umumnya hanya menghasilkan pengetahuan yang
empiris-analitis. Pengetahuan seperti ini memiliki kecenderungan tidak
mendatangkan manfaat bagi masyarakat lokal.
b) Banyak bermuatan kepentingan teknis untuk melakukan rekayasa
sosial (social enginering), Memungkinkan terjadinya "pencurian"
terhadap kekayaan pengetahuan lokal oleh peneliti (orang
luar) sehingga sangat berpotensi untuk menyebabkan penindasan
terhadap orang dalam (masyarakat lokal).. Sementara pendekatan
etnometodologis, meskipun berusaha memahami kehidupan sehari-hari
masyarakat, mencoba menghasilkan pengetahuan yang bersifat
historis-hermeuneutik, dan meyakini adanya makna di balik fenomena sosial,
juga memiliki kelemahan. Yakni kecenderungannya untuk
menghasilkan pengetahuan yang hanya bisa terlarut dalam realitas.
Pemberdayaan memiliki makna membangkitkan sumber daya,
kesempatan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat untuk meningkatkan
kapasitas dalam menentukan masa depan mereka. Konsep utama yang terkandung
dalam pemberdayaan adalah bagaimana memberikan kesempatan yang luas bagi
masyarakat untuk menentukan sendiri arah kehidupan dalam komunitasnya.
Pemberdayaan memberikan tekanan pada otonom pengambilan keputusan dari
2
20
suatu kelompok masyarakat. Penerapan aspek demokrasi dan partisipasi dengan
titik fokus pada lokalitas akan menjadi landasan bagi upaya penguatan potensi
lokal. Pada aras ini pemberdayaan masyarakat juga difokuskan pada penguatan
individu anggota masyarakat beserta pranata-pranatanya.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan ini adalah menempatkan
masyarakat tidak sekedar sebagai obyek melainkan juga sebagai subyek. Konteks
pemberdayaan, sebenarnya terkandung unsur partisipasi yaitu bagaimana
masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil
pembangunan. Pemberdayaan mementingkan adanya pengakuan subyek akan
kemampuan atau daya (power) yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini
melihat pentingnya proses ini melihat pentingnya mengalihfungsikan individu
yang tadinya obyek menjadi subyek.
1. Prinsip Mengutamakan yang Terabaikan
Sering kali program-program pengembangan tidak melibatkan masyarakat
yang terabaikan. Meskipun secara retorika politik, program tersebut disusun di
atas derita masyarakat terabaikan (masyarakat hanya sebagai sarana program
untuk memperoleh program). Dengan demikian, diperlukan keterlibatan
orang-orang yang selama ini terpinggirkan, seperti kaum marginal ibu kota
dan perempuan.
2. Prinsip Pemberdayaan (Penguatan) Masyarakat
Banyak program pemberdayaan masyarakat berorientasi pada bantuan fisik.
Program ini umumnya berdampak negatif, karena justru meningkatkan
21
PRA bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
menganalisa keadaannya dan meningkatkan taraf hidupnya secara mandiri
dengan menggunakan sumber daya setempat serta menurun ketergantungan
kepada pihak luar. Semua itu dilakukan agar kelak sifat kemandirian
terbangun dan terbebas dari belenggu para pemilik kuasa modal.
3. Facilitating, They Do It
Sering kali masyarakat diikutkan dalam suatu program tanpa diberikan
pilihan. Pihak luar melaksanakan program tersebut. PRA dilakukan oleh
masyarakat. Pihak luar hanya berperan sebagai pendamping atau fasilitator.
Jadi bukannya masyarakat yang harus berpartisipasi, tetapi orang luarlah yang
harus berpartisipasi dalam program masyarakat. Inilah yang disebut dengan
proses kemandirian. Sebagai seorang yang memiliki pengetahuan modern,
fasilitator tidak berhak untuk mendikte dan mendominasi masyarakat.
4. Prinsip Saling Belajar dan Menghargai Perbedaan (seeking diversity)
PRA adalah suatu proses belajar berdasarkan pengalaman. Setiap orang harus
didudukkan sebagai manusia yang berpotensi dan setiap orang berpengalaman
yang berbeda. Justru perbedaan-perbedaan ini merupakan kesempatan yang
baik untuk saling berbagi belajar bersama. Dengan kesamaan posisi tersebut,
akan terbentuk sebuah pemahaman terhadap perbedaan tanpa justifikasi
kebenaran dan kesalahan yang bersifat mutlak.
5. Prinsip Terbuka, Santai dan Informal
Untuk mencipatakan keterbukaan di antara masyarakat, diperlukan suasana
22
pemikiran masyarakat untuk mengutarakan segala pendapatnya. Tentu saja
suasana ini harus tercipta agar setiap proses diskusi berjalan dengan maksimal.
Dengan demikian data yang diperoleh akan menjadi valid.
Pada hakikatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana atau iklim
yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Logika ini
didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa
memiliki daya. Setiap masyarakat pasti memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang
mereka tidak menyadari atau daya tersebut masih belum diketahui secara eksplisit.
Oleh karena itu daya harus digali dan kemudian dikembangkan. Jika asumsi ini
berkembang maka pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya, dengan
cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. Di samping itu hendaknya
pemberdayaan jangan menjebak masyarakat dalam perangkap ketergantungan
(charity), pemberdayaan sebaliknya harus mengantarkan pada proses kemandirian. Akar pemahaman yang diperoleh dalam diskursus ini adalah:
1. Daya dipahami sebagai suatu kemampuan yang seharusnya dimiliki
oleh masyarakat, supaya mereka dapat melakukan sesuatu
(pembangunan) secara mandiri.
2. Pemberdayaan merupakan suatu proses bertahap yang harus dilakukan
dalam rangka memperoleh serta meningkatkan daya sehingga masyarakat
23
B. Teori Pembebasan Freire
Freire Paulo adalah seorang tokoh pendidikan kritis, seorang filsuf yang
merupakan kelahiran Brazil 19 September 1921 tepatnya di daerah Recife,
sebelah timur laut Brazil3. Saat itu merupakan pusat salah satu daerah paling
terbelakang di dunia ketiga. Freire berasal dari keluarga menengah, tetapi ia sejak
kecil hidup dalam situasi miskin karena keluarganya tertimpa kemunduran
finansial, yang diakibatkan oleh krisis ekonomi yang menimpa Amerika Serikat
sekitar tahun 1929 dan juga imbasnya juga sampai ke Brazil4. Namun, Freire
terlahir dari kalangan keluarga demokratis, menghargai dialog dan memperluas
kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk mengemukakan ekspresi
pribadi masing-masing.
Freire, meskipun tidak termasuk dari kalangan mampu , akan tetapi ia
mempunyai kesempatan mendapatkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Tentunya
di sini sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangannya dalam
berfikir dan bertindak. Sehingga karakter yang sangat mencolok bagi Freire
adalah seorang yang sangat terbuka, menghargai pendapat orang lain dan selalu
mengedepankan dialog. Pada zamannya Freire dapat dikatakan “zaman
ketertindasan”. Keadaan ini justru meninggalkan pengaruh kuat dalam hidupnya,
ketika ia merasakan gerogotan sakit kelaparan. Pada usia 11 tahun Freire
menyatakan tekad mengabdikan hidupnya bagi perjuangan melawan kemiskinan
sehingga anak-anak lain tidak akan mengenal penderitaan seperti yang
dirasakannya semasa hidupnya.
3Mu’arif,
Wacana Pendidikan Kritis, (Yogyakarta: IRCiSoD,2005)., hlm. 68. 4
24
Freire menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Recife. Dari
sinilah kemudian Freire mengasah dan menggembleng diri untuk memperdalam
pengetahuan filsafat dan psikologi bahasa yang secara tidak langsung menjadi
bekal untuk memperkuat konsep-konsep kritisnya. Pengaruh pemikirannya, tidak
hanya dalam pendidikan saja, tetapi dalam teori-teori sosial modernpun sempat
merujuk pada buah pemikirannya. Pemikiran kritis Paulo Freire telah
menghegemoni (menguasai) wilayah-wilayah teoritis maupun praktis dalam
bidang pendidikan. Kecenderungan Freire lebih ke arah pendalaman konsep
pendidikan ketika Freire menjalani mahligai rumah tangga bersama Elza Maria
Costa Oliveira, pada tahun 1944. Hal ini berpengaruh pada jiwanya yang
sebelumnya padahal lebih menghegemoni filsafat dan psikologi bahasa5.
Sewaktu masih muda, Paulo Freire banyak menelaah karya-karya Karl
Marx, Maritain, Bernanos dan Mounier. Tidak hanya itu beberapa pemikiran dan
para filosof sebelumnya juga tidak luput dari kehausan intelektualnya. Sebut saja
Erich Fromm, Jean Paule Sartre, Friedrich Nietzche, Antonio Gramschi dan
sebagainya. Literatur yang banyak itu kemudian semakin mematangkan
konsep-konsepnya. Freire telah berhasil menarik buah pemikiran para tokoh sebelumnya
menajdi bangunan konseptual yang berpengaruh di dunia pendidikan khususnya6.
Pada tahun 1959, ia meraih gelar doctor dalam bidang sejarah dan filsafat
pendidikan. Freire yang kemudian berkarir di bidang pendidikan masyarakat,
memberi perhatian besar pada awal tahun 60-an pada berjuta-juta rakyat Brazil
yang tidak berhak ikut pemilihan umum karena tidak mampu membaca dan
5
Agung Prihantoro, Pendidikan sebagai Proses, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 9. 6
25
menulis. Dengan kegigihan yang tidak pernah surut Freire terlibat dalam gerakan
pemberantasan buta huruf, yang oleh lawan-lawannya dinilai sebagai gerakan
penghimpunan kekuatan. Ia dianggap orang berbahaya (segala ancaman) bagi
pemerintah ketika itu.
Akibatnya, Freire segera dipenjara setelah kudeta militer pada tahun 1964.
Ia dibebaskan tujuhpuluh hari kemudian dan diperintahkan segera meninggalkan
negerinya. Freire pergi ke Chili, di mana kemudian ia menghabiskan lima tahun
dari waktunya untuk bekerja pada UNESCO dan lembaga pembaruan pertanian
Chili dalam program-program pendidikan masyarakat. Freire pernah menjadi
konsultan di Fakultas Ilmu Pendidikan di Universitas Harvard dan bekerja pada
suatu kelompok terbatas para ahli yang bergerak dalam percobaan-percobaan
pendidikan baru di wilayah pedesaan dan perkotaan. Pada tahun 1970, Freire
ditunjuk sebagai penasehat pada kantor pendidikan dewan gereja-gereja sedunia di
Jenewa, Swiss.
Freire terlibat dalam gerakan sosial dan pendidikan orang dewasa,
khususnya gerakan yang berhubungan dengan budaya rakyat dan “gerakan
masyarakat bawah” di gereja Katholik. Dengan bekerja bersama petani dan buruh
terutama di wilayah miskin Brazil Timur Laut, di sanalah pertamakali ia
mengembangkan metodenya yang berpengaruh untuk menghadapi persoalan buta
huruf (illiteracy). Fokusnya pada peran pendidikan dalam perjuangan kaum
26
radikalnya menyatu dengan kesederhanaan pribadi pandangan etika yang kuat,
dan koherensi (konsistensi) intelektual yang mengesankan7.
Sebagai pendidik Freire begitu optimis meskipun dikungkung oleh
kemiskinan, penjara, dan pembuangan. Dialah pemimpin dunia yang eksis
memperjuangkan keadilan dan kebebasan bagi orang kelas marginal (pinggiran)
yang menyusun “kebudayaan diam” di banyak wilayah. Untuk itulah Freire
berusaha membangkitkan kesadaran di hati setiap orang agar bertindak mengubah
kenyataan yang selama ini membelenggu sebagian besar dari mereka yang
miskin8.
Freire adalah pendidik, teolog, humanis, sosialis dan bahkan dianggap
mesias dunia ketiga (khususnya masyarakat Amerika Latin). Ia tidak hanya seorang yang kontroversial dengan metode pendidikan revolusionernya. Namun,
juga sosok yang sulit diterka. Perkembangan ide-ide kependidikannya dari tiap
tahap kehidupan dan tiap pekerjaan yang dilakoninya cukup menjadikan ia
seorang pembebas pejuang dunia ketiga yang sulit ditebak. Pemikiran
kependidikannya selalu mencerminkan nada gugatan, protes, dan berontak
terhadap segala bentuk pendidikan yang telah mencerabut manusia dari
kesadarannya9. Kondisi inipun terasa pada zaman sekarang apa yang menjadi
Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung Pustaka,2004), hlm. 21-22.
9
27
Freire menghembuskan nafas terakhir pada hari Jum’at tanggal 2 Mei
1997 kematiannya diawali dengan serangan jantung yang kemudian menjadi
sebab dari akhir hidupnya. Nama Paulo Freire menjadi semakin harum setelah
buah pikirannya banyak dipertimbangkan oleh berbagai kalangan, terutama bagi
kalangan praktisi pendidikan. sehingga Paulo Freire terkenal dengan pendidikan
kritis menuju pembebasan yang saat ini menjadi trend pendidikan ideal. Faktor
penting dalam gerakan pendidikan dan pembebasan adalah perkembangan
kesadaran (conscientization). Freire berupaya untuk mendobrak proses pendidikan
tradisional “sistem bank” di mana guru mentransfer pengetahuan kepada murid.
Guru berposisi sebagai subyek, sedangkan murid sebagai obyek. Dalam sistem ini
tidak terjadi komunikasi sebenarnya antara guru dan murid sehingga pendidikan
hanya akan memperkuat struktur yang menindas. Pendidikan menjadi alat
dominasi yang dimanfaatkan untuk penjinakan atau penindasan secara sistematik.
Menurut Paulo Freire “education as the practice of freedom”10 pendidikan
pembebasan adalah membuat mereka yang tertindas (istilah yang digunakan
Freire) atau terbelenggu suatu keadaan menjadi suatu kemerdekaan, kemandirian,
tak terikat atau terjerat dalam keadaan yang mendominasi dirinya. Sebenarnya
Freire ingin mengajak atau mengarahkan pendidikan untuk membentuk manusia
bebas, manusia otonom yang menguasai dirinya sendiri, juga bagaimana
mengarahkan pendidikan agar manusia berfikir kritis dan menganggap dirinya
sebagai subyek atas dunia dan realitas.
10
28
Pikiran-bahasan menjadi kebutuhan inti pendidikan sebab itu adalah suatu
kesatuan yang menggunakan realitas kepada manusia karena pemikiran tidak
mungkin tanpa bahasa dan keduanya tidak mungkin tanpa dunia yang diacu itu.
Karena manusia adalah kombinasi pikiran dan tindakan untuk memanusiakan
sejarah dan kebudayaan. Freire menitikberatkan proses penyadaran
(conscietization) terhadap diri manusia atas segala kelemahannya dan kesahalannya baik dalam menerima nasib serta melakukan upaya pendobrakan
untuk menjadi manusia yang bebas dari belenggu yang mengerikan. Pada awalnya
memang Freire tertarik pada pembebasan buta huruf atau aksara, tetapi dalam
perjalanannya yang ia lakukan dalam pendidikan justru lebih dari sekedar
pembebasan buta huruf. Melek huruf merupakan modal awal guna melawan
proses dehumanisasi. Pembongkaran terhadap dehumanisasi mampu dikurangi
sedikit demi sedikit dengan melek huruf.
Freire menginginkan manusia yang utuh serta memiliki otonom terhadap
diri, realitas dan dunianya. Di sisi lain, memanusiakan manusia (proses
humanisasi), ini adalah gambaran manusia ideal bagi Freire. Manusia ideal adalah
manusia tersebut memperoleh keutuhan. Keutuhan yang diperoleh untuk menjadi
manusia yang ideal (humanisasi) ini memerlukan manusia yang sadar akan diri.
Adanya kesadaran dalam diri manusia itu diperoleh dengan kebebasan.
Dalam pendidikan pembebasan Freire menekankan perlunya metode
pendidikan kritis dialogis bagi masyarakat miskin, tertindas dan bodoh, sehingga
mendorong perubahan sifat seseorang agar berwatak demokratis11. Contoh, di
11
29
Indonesia, nama Freire sangat terkenal di kalangan LSM. Model pendidikan
partisipatif yang digunakan LSM dalam aktivitas pengembangan masyarakat
mengambil inspirasi dari praktis pendidikan pembebasan yang digagas Paulo
Freire12, Maka pendidikan pembebasan tidak mengajak kaum tertindas menjadi
penindas, melainkan kaum tertindas jangan sampai, dalam mengusahakan
memperoleh kembali kemanusiaan mereka, berubah menjadi penindas kaum
penindas, tetapi mereka musti memanusiakan kembali keduanya13.
Jadi, pembebasan adalah kelahiran, dan kelahiran itu menyakitkan.
Manusia yang lahir adalah manusia baru yang hanya bisa muncul bila kontradiksi
penindas tertindas ditaklukkan oleh pemanusiaan seluruh manusia. Atau dengan
kata lain, penyelesaikan kontradiksi inilah yang dilahirkan ketika lahir manusia
baru, yang ada bukan lagi penindas dan yang tertindas, melainkan yang berproses
mencapai kebebasan. Supaya kaum tertindas mampu berjuang demi pembebasan
diri, mereka harus berhenti menganggap kenyataan penindasan sebagai sebuah
jagat tertutup tanpa pintu keluar. Mereka musti memandangnya sebagai sebuah
situasi pembatas yang dapat mereka ubah. Ini harus dijadikan daya penggerak atau
sumber motivasi bagi aksi pembebasan14.
Dalam pendidikan menurut Paulo Freire adalah praktek pembebasan,
karena ia membebaskan pendidik, bukan hanya terdidik saja, dari perbudakan
ganda berupa kebisuan dan monolog. Kedua-duanya dibebaskan ketika mereka
mulai belajar, yang satu mulai menganggap diri cukup berharga biarpun buta
12
Miguel Escobar, dkk., Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah Kapitalisme yang Licik, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm. V.
13
Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk., Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 435.
14
30
huruf, miskin, dan tidak menguasai teknologi, dan yang lain belajar berdialog
meski masih saja dibayang-bayangi oleh peranan pendidik yang serba tahu.
Kaitannya dengan modernisasi Paulo Freire “mendiskusikan” bahwa modernisasi
semata-mata hanyalah proses mekanistis, yang tergantung pada tindakan para
teknisi atau para manipulator yang hendak mempertahankan agar pusat
pengambilan keputusan tetap berada di luar masyarakat yang mengalami
perubahan.
Freire berpendirian bahwa kegagalan metodologis selalu dapat
dikembalikan kepada kekeliruan ideologis. Misal, di balik praktek ekstensi
pertanian, Freire melihat suatu ideology (implisit) berupa paternalisme
(bapakisme), kontrol sosial, dan hubungan satu arah dari para ahli kepada mereka
yang dibantu. Padahal bila orang menggunakan metode yang mendorong dialog
dan resiprositas (hubungan dua arah), maka pertama-tama ia harus memeluk
ideologi kesederajatan manusia, penghapusan privilese (hak istimewa), dan
bentuk-bentuk kepemimpinan monelitis yang meskipun menuntut kualifikasi
(pembatasan) tertentu namun tidak bersifat melestarikan, tentunya tidak terlepas
dari berteori sebab bagi Paulo Freire, itu membantu melepaskan diri dari
bentuk-bentuk kesadaran naif15.
Intinya, pendidikan yang membebaskan merupakan proses di mana
pendidik mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkap kehidupan
yang senyatanya secara kritis; pendidikan yang membebaskan tidak dapat
direduksi menjadi sekedar usaha guru untuk memaksakan kebebasan pada
15
31
siswa. Pendidikan yang membebaskan tidak ada subyek yang membebaskan atau
obyek yang dibebaskan, karena tidak ada dikotomi antara subyek dan obyek.
Pendidikan yang membebaskan bersifat dialogis; pendidikan yang membebaskan
merupakan upaya memperoleh pengetahuan dan menjadi proses transformasi yang
dikaji dalam kehidupan nyata. Misal, pemberantasan buta huruf dilihat dari
kacamata pembebasan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan
kreativitas di mana siswa bersama-sama dengan guru menjadi subyek
pengetahuan. Jelas siswa tidak dipandang sebagai bejana kosong yang hanya
menerima kata-kata dari guru. Karena siswa bukan makhluk yang terpinggirkan
yang perlu disembuhkan kesehatannya atau diselamatkan, maka mereka
dipandang sebagai anggota keluarga besar yang tertindas. Jawaban atas masalah
ini tidak terletak pada pelajaran membaca cerita-cerita yang teralienasi, namun
pada penciptaan sejarah yang akan mengaktualisasikan hidup siswa16.
Untuk mengubah kondisi sosial masyarakat tertindas itulah, Freire
menggagas gerakan “penyadaran” (conscientizacao) sebagai usaha membebaskan
manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan yang bisu yang selalu
menakutkan. Arti dari gerakan penyadaran ini adalah agar manusia bisa mengenali
realitas (lingkungan) sekaligus dirinya sendiri, memahami kondisi kehidupannya
yang terbelakang itu dengan kritis serta mampu menganalisa persoalan-persoalan
yang menyebabkannya. Dalam hal ini Freire memetakan tipologi kesadaran
manusia dalam
empat kategori:
16
32
1. Magic Conscientizacao (kesadaran magis), merupakan jenis kesadara yang
paling determinis (dikuasai). Seseorang tidak mampu memahami realitas
sekaligus dirinya sendiri. Bahkan dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya ia
lebih percaya pada kekuatan takdir yang telah menentukan. Bahwa ia harus hidup
miskin, bodoh, terbelakang adalah suratan takdir yang tidak dapat diganggu gugat.
Secara teoritis orang-orang yang berkesadaran magis itu menyesuaikan dengan
kondisi yang ada. Mereka menerima hidup apa adanya, mereka memiliki tingkat
ekonomi dan sosial yang paling rendah. Lebih dari itu mereka tidak memiliki
mobilitas sosial dan tidak menunjukkan agresivitas, mereka menyerah pada
keadaan (orang miskin, bodoh dan kotor). Pada umumnya mereka hidup religius
dengan mengikuti ritus-ritus tradisional gereje yang menawarkan keselamatan
sekarang dan mendatang.
2. Naival conscientizacao (kesadaran naif), adalah jenis kesadaran yang sedikit
berada di atas tingkatannya dibanding dengan sebelumnya. Kesadaran naif dalam
diri manusia baru sebatas mengerti namun kurang bisa menganalisa
persoalan-persoalan sosial yang berkaitan dengan unsurunsur yang mendukung suatu
problem sosial. Ia baru mengerti bahwa dirinya itu tertindas, terbelakang dan itu
tidak lazim. Hanya saja kurang mampu untuk memetakan secara sistematis
persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. Apalagi
mengajukan suatu tawaran
solusi dari problem sosial.
3. Critical conscientizacao (kesadaran kritik). Kesadaran ini lebih melihat aspek
33
kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik,.ekonomi, budaya dan
akibatnya pada keadaan masyarakat. Kesadaran kritis jenis paling ideal di antara
jenis kesadaran sebelumnya. Kesadaran kritis bersifat analitis sekaligus praktis. Di
sini seseorang mampu memahami persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah,
identifikasi serta mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Dan
juga mampu menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial.
4. Transformation conscientizacao (kesadaran transformasi). Ini adalah puncak
dari kesadaran kritis. Dengan istilah lain kesadaran ini adalah “kesadarannya
kesadaran” (the conscie of the conscieousness). Dalam merumuskan suatu
persoalan, lebih mengintegrasikan antara ide, perkataan, dan tindakan serta
progresifitas beada dalam posisi seimbang. Kesadaran transformatif akan
menghantarkan manusia pada kesempurnaan. Setelah melewati proses
penyadaran, pendidikan akan mampu membebaskan manusia dari belenggu hidup
manusia, sekaligus mengembalikan pada potensi fitrah yang dimilikinya.
Kebebasan (lebration) berarti pembebasan manusia dari belenggu-belenggu
penindasan yang menghambat kehidupan secara lazim. Dalam hal proses
pembebasan memiliki indikasi sebagai berikut:
1. Optimisme. Sikap optimis inilah yang membangun manusia sebagai sosok yang
penuh harapan.
2. Resisten, adalah karakter manusia yang paling dasar ketika mendapatkan
tekanan-tekanan baik secara fisik atau psikis dari penguasa (baik dalam
34
3. Kritis. Sikap kritis merupakan manifestasi dari sikap seseorang yang mampu
memahami kondisi sosial serta dirinya dalam pergumulan dengan manusia lain
atau lingkungan.
Dengan “penyadaran” (conscientizacao) inilah Freire ingin mengubah
kondisi sosial masyarakat yang tertindas dari keterbelakangan, kebodohan atau
kebudayaan bisu (diam), gerakan penyadaran mempunyai maksud agar manusia
mengenal realitas (lingkungan) sekaligus dirinya supaya manusia tidak terjebak
dengan sistem yang menindas. Untuk itu berfikir kritis dan bertindak adalah
kekuatan yang harus diusahakan terus jangan sampai padam.
Dalam konsepsi pendidikan Paulo Freire, pendidikan hadap masalah
merupakan sebuah metode pendidikan. Sebagai ilmu antagonis dari konsep
pendidikan “gaya bank” yang berorientasi pada pembebasan manusia. Dalam hal
ini guru dan murid harus menjadikan dialog dalam memecahkan segala persoalan,
bukan membuat jarak antara guru dengan murid. Karena itu, akan membuka jalan
lebar bagi guru berupaya untuk penindasan. Satu-satunya alat paling efektif dalam
sebuah pendidikan pemanusiaan adalah adanya hubungan timbal balik berbentuk
dialog. Guru dan murid adalah makhluk yang belum sempurna dan keduanya
belajar satu sama lain dalam proses pendidikan. Proses ini bukan berarti bahwa
guru harus menolak sebagai figur yang melaksanakan proses belajar. Namun
proses tersebut harus didasarkan pada dialog kritis dan penciptaan pengetahuan
bersama.
Tidak salah bila Freire memunculkan gagasan dan gerakan melek huruf
35
kata-kata. Tindakan membaca harus dikaitkan dengan kemampuan untuk
“membaca” dunia serta mampu mengubah apa yang ada dihadapannya menjadi
suatu penyadaran – pembebasan yang tidak membelenggu17. Maka dalam
pendidikan hadap masalah, yang akan menjawab kesadaran, mengatasi
kontradiksi guru-murid dengan hubungan dan situasi pembelajaran dialogis. Guru
tidak lagi menjadi orang yang mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya
melalui dialog dengan para murid, yang pada gilirannya di samping diajar, mereka
juga mengajar. Dalam hal ini tidak ada lagi subyek maupun obyek, yang ada
hanyalah subyek sekaligus obyek manusia saling mengajar satu sama lain.
Bagi Freire pendidikan tidak boleh terlepas dari realitasnya. Pendidikan
ada karena realitas dan pendidikan harus melibatkan diri secara aktif dalam
realitas yang tentu saja untuk melakukan perubahan. Karena itu, menurutnya,
“memisahkan pendidikan dari politik adalah berbahaya. Memikirkan pendidikan
terbebas dari kekuasaan yang mengaturnya, yang terpisah dari dunia nyata yang
dipalsukan, mengarah kita pada pereduksian pendidikan menjadi nilai dan
identitas yang abstrak, atau merubah pendidikan menjadi laporan teknik-teknik
tingkah laku. Gagasan ini adalah di ilhami kesadaran yang mendalam bahwa
realitas adalah obyek pendidikan. Guru dan siswa adalah subyek-obyek keduanya
harus berhubungan secara dialektis dengan obyek”. Jadi menghadapkan murid -
juga guru pada masalah- masalah manusia dalam hubungannya dengan dunia
merupakan sebuah metode pembebasan.
17
36
Metode pendidikan hadap masalah tidak memicu dikotomi kegiatan guru –
murid, sehingga proses pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, dengan
demikian masing-masing harus berperan aktif di dalam proses itu. Pendidikan
hadap masalah sebagai suatu praksis (kegiatan hidup) pembebasan yang
manusiawi, menganggapnya sebagai dasariah bahwa manusia korban penindasan
harus berjuang bagi pembebasan dirinya. Maka pendidikan ini harus mendorong
guru dan murid untuk menjadi subyek dari proses pendidikan dengan membuang
otoritasianisme serta intelektual yang mengasingkan. Manusia harus mampu
membenahi pandangan mereka yang keliru terhadap realitas. Dunia bukan lagi
sesuatu yang dilukiskan dengan kata-kata yang menipu melainkan harus menjadi
obyek dari tindakan manusia yang mengubah, yang akan menghasilkan
humanisasi bagi mereka18.
18
37
BAB III PAPARAN DATA
A. Deskripsi Bentang Wilayah Desa Jembul
Pokok bahasan mengenai lingkungan sedikit banyak akan menghubungkan
inti permasalahan pada pola hidup bersih. Perkotaan maupun pedesaan merupakan
dua tempat yang tak terpisahkan dalam mengkaji permasalahan tentang
lingkungan. Meskipun gaya hidup urban di perkotaan banyak dinilai sebagai
bentuk adaptasi kehidupan pedesaan yang buruk, hal tersebut tidak sepenuhnya
benar. Justru jika kita lihat upaya yang dilakukan oleh karang taruna Desa Jembul
meruntuhkan stigma negatif tersebut.
Jembul merupakan salah satu desa yang secara administratif terletak di
Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto. Tidak terlalu jauh dari ibu kota Jawa
Timur, Surabaya. Meskipun sama-sama terletak di deretan pegunungan yang
sejajar dengan Kecamatan Pacet dan Trawas, namun nama Desa Jembul dan
Kecamatan Jatirejo ini tak setenar kedua kecamatan di dataran tinggi tersebut.
Dengan demikian, tak banyak masyarakat yang datang secara khusus mendatangi
Desa Jembul meskipun banyak kekayaan alam menyelimuti desa tersebut.
Terdapat beberapa cerita mengenai asal-usul dari Desa Jembul ini. Salah satunya
yang tertulis dalam buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
38
Pada awal mulanya zaman dahulu ada dua orang laki-lakin dan perempuan yang telah berkelana dari bukit ke bukit pada akhirnya mereka singgah di lereng-lereng gunung Semar. Kedua orang tersebut bernama Mento Grantang dan Mento Granti. Mereka pun sudah bersuami istri dan sudah mempunyai keturunan. Hari demi hari telah mereka lalui, jumlah mereka pun semakin banyak. Akhirnya singgah disuatu tempat yang bernama Sambirejo. Pada suatu hari didatangi segerombolan perampok atau Kampak. Mento Grantang dan Mento Granti berlari bersama-sama dengan anak-anaknya ke arah selatan. Mereka bersembunyi disebuah hutan yang sangat lebat sekali. Hutan itu pun sangat angker. Banyak hantu, gondotowo, setan,
wewe gombel, ilo-ilo, dan lain-lain. Ditengah-tengah hutan itu mereka
mendirikan rumah yang terbuat dari kayu Jembul. Setelah aman dari gangguan apapun, akhirnya Mento Grantang dan Mento Granti memutuskan untuk tempat tinggalnya dinamakan Desa Jembul. Karena dalam hutan tersebut banyak sekali pohon Jembul. Rumah tersebut juga terbuat dari
pohon Jembul.1
Selain Desa Jembul, ada beberapa desa yang terletak dalam satu gugusan
pegunungan Arjuno-Welirang-Semar ini. Desa-desa tersebut memiliki
karakteristik alam dan masyarakat serupa dengan Desa Jembul. Desa-desa
tersebut adalah Desa Rejosari terletak disebelah barat Desa Jembul. Desa Rejosari
secara administratif terbagi
Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) tahun 2013-2018
Gambar 3.1 : Desa Jembul yang Dikelilingi Hutan
39
Desa lain yang termasuk dalam satu gugusan pegunungan dan masih
menjadi wilayah administratif Kecamatan Jatirejo adalah Desa Tawangrejo.
Seperti Desa Rejosari, Tawangrejo juga dibagi menjadi dua dusun. Dusun yang
berada di wilayah lebih rendah adalah Dusun Penghulu Banyu. Sedangkan dusun
yang berada di wilayah lebih tinggi adalah Dusun Nawangan. Baik dua desa dan
empat dusun ini mereka memiliki hubungan kekerabatan yang cukup erat. Karena
bagaimanapun masih ada hubungan keluarga meskipun terpisah tempat
tinggalnya. Dengan demikian, tidak mengherankan jika seluruh mata pencaharian,
sifat dan perilaku masyarakatnya banyak menunjukkan kesamaan.2
Letak desa diantara pegunungan inilah menganugerahkan kekayaan alam
melimpah yang mampu memenuhi kebutuhan bercocok tanam bagi masyarakat
Desa Jembul. Berada di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut, menjadikan
tanah Jembul sangat subur untuk beberapa jenis tanaman seperti singkong, kopi,
cokelat, jagung, alpukat, rambutan, hingga durian. Namun yang menjadi
kelemahannya adalah pola bercocok tanam mereka yang cenderung heterogen.
Dengan demikian produksi hasil panen dari beberapa varietas terkesan kurang
maksimal. tidak hanya ladang dan persawahan saja menjadi lokasi untuk
menanam, tetapi juga halaman depan maupun belakang rumah yang kosong
menjadi lahan untuk menanam buah-buahan ringan seperti rambutan, mangga dan
salak. Untuk mengetahui lebih detail, dapat dilihat pada tabel transek berikut :
2
40
Tabel 3.1 : Transek3; Mengidentifikasi singkat kekayaan Desa Jembul4
Topic / Aspek Tata Guna Lahan
Permukiman dan Pekarangan
Persawahan Sungai Tegalan Lereng Gunung
Kondisi Tanah - Tanah liat dengan batuan kali
Kegiatan menyusuri Desa Jembul dengan stakeholder lokal
43
agar tidak rawan ambrol dari para pamong desa.
Potensi - Ada lahan yang
memungkinkan untuk
reactor biogas
- Sumber air yang
melimpah
- Memiliki keinginan
untuk berbenah
- Pembagian air yang merata dan melimpah.
Dapat ditanam padi
meskipun musim
kemarau sekalipun - Tanah yang subur, sehingga dapat ditanam sepanjang tahun
- Air yang melimpah,
memenuhi kebutuhan
pertanian maupun rumah tangga sepanjang tahun
- Warga memiliki
keinginan untuk
44
Salah satu kekayaan melimpah di Desa Jembul adalah debit air yang cukup
melimpah. Hal ini dikarenakan Jembul merupakan salah satu Daerah Aliran
Sungai Brantas (DAS Brantas) sehingga terdapat pengawasan ekstra dari pihak
pemerintahan. Wilayah DAS Brantas membentang dari wilayah Kota Batu,
Pasuruan, hingga Mojokerto5. Daerah tersebut dilalui oleh deretan pegunungan
Arjuno – Welirang yang menjadi daerah serapan air sebagai pusat produksi air
sungai Brantas. Dengan demikian, seluruh daerah yang ditetapkan sebagai DAS
Brantas wajib untuk menjaga dan melestarikan lingkungan agar debit air sungai
Brantas tetap terjaga.
Sub DAS Brantas merupakan bagian terpenting dari kehidupan
masyarakat, terutama tujuh kabupaten / kota di Jawa Timur. Setidaknya lebih dari
20 juta penduduk Jawa Timur atau 56% dari jumlah penduduk keseluruhan
memanfaatkan air dari aliran sungai Barantas ini6. Sejauh ini, banyak
penyimpangan yang ditorehkan oleh desa-desa ujung gunung ini terhadap
keberadaan sub-DAS Brantas. Yang paling menojol adalah alih fungsi lahan
hingga penurunan kualitas air.7
Jembul hanya memiliki satu dusun yaitu Desa dan Dusun Jembul itu sendiri.
Wilayah yang cukup kecil menjadikan Desa Jembul tidak banyak membaginya.
Secara administratif, Jembul masih memiliki RT – RW untuk menandai wilayah
yang hanya dihuni oleh 317 orang tersebut. Dua RW dan Empat RT membagi
5
Hasil wawancara dengan Mantri Perhutani Desa Jembul pada tanggal 10 Maret 2017 6
Fitri Nurfatriani. Pengelolaan Kawasan Hutan Di Bagian Hulu Das Brantas Hulu : Sebagai Pengatur Tata Air. http://puslitsosekhut.web.id/download.php, diakses pada tanggal 16 Agustus 2014 Pukul 10.14 WIB. Hal. 249
7