• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Pendidikan Seks dengan Perilaku Seks Bebas Siswa Kelas XI SMK Negeri 1 Wonosegoro T1 132010105 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Pendidikan Seks dengan Perilaku Seks Bebas Siswa Kelas XI SMK Negeri 1 Wonosegoro T1 132010105 BAB II"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

2.1. Perilaku Seks Bebas 2.1.1.Pengertian Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri

yangmempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara,

menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari

uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah

semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang

tidak dapat diamati oleh pihak luar. (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Skinnerdalam Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku

merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari

luar, perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan

kemudian organisme tersebut merespons.

Perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh individu yang berbeda

antara individu yang satu dengan individu yang lain dan bersifat nyata. Perilaku

setiap individu berbeda-beda, perilaku merupakan hal nyata atau suatu perbuatan

yang dilakukan oleh seorang individu secara kongkret, (Sarwono, 2007).

Skinner dalam Walgito (2003) membedakan perilaku manusia menjadi dua,

yaitu :

1. Perilaku yang alami (innate behavior)

(2)

2. Perilaku Operan (operant behavior)

Perilaku operan yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar, perilaku ini disebut juga refleksi karena dikendalikan oleh otak sebagai pusat kesadaran.

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku adalah segala aktivitas

individu dalam merealisasikan keinginan individu tersebut yang bersifat nyata dan

kongkret.

2.1.2. Pengertian Perilaku Seks Bebas

Menurut Hudson (dalam walmyr.com 2003). Pengertian seks telahdidefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Seks memiliki makna yang luas dan berbeda-beda. Oleh karena itu pembahasan seks dapat membawa ke perdebatan yang mengarah pada unsur negatif dari seks itu yaitu seks bebas. Seks bebas adalah perilaku dan aktifitas fisik seseorang yang didorong oleh hasrat seksual dan menggunakan tubuh untuk mengekspresikan perasaan erotik yang dilakukan sendiri maupun melibatkan orang lain di luar ikatan pernikahan. Perilaku seks bebas adalah respon yang diberikan oleh remaja terhadap perilaku dan aktifitas fisik seseorang yang didorong oleh hasrat seksual dan menggunakan tubuh untuk mengekspresikanperasaan erotik yang dilakukan sendiri maupun melibatkan prang lain di luar ikatan pernikahan setelah mengetahui informasi dan pemberitaan dalam wujud suatu orientasi atau kecenderungan dalam bertindak.

Selanjutnya Kartono (2001) mendefinisikan perilaku seks bebas adalah

hubungan seksual secara bebas dengan banyak orang dan merupakan tindakan

hubungan seksual yang tidak bermoral, terang-terangan, dan tanpa malu-malu

sebab dorongan oleh nafsu seksual yang terintegrasi, tidak matang dan tidak

wajar. Perilaku seks bebas mencangkup berbagai macam bentuk perilaku seks

diantaranya berpelukan, berciuman, meraba dan bersenggama.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Bebas

Menurut Sarwono (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi seks bebas pada

(3)

1. Perubahan hormonal

Perubahan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu.

2. Penyebaran informasi melalui media massa

Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media massa dan teknologi canggih (internet) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengar dari lingkungan sekelilingnya, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.

3. Tabu-larangan, norma-norma di masyarakat

Orang tuanya sendiri, baik karena kehidupan ketidak tahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini.

4. Pergaulan yang semakin bebas antara laki-laki dan perempuan.

Adanya kecenderungan yang makin bebas antara laki-laki dan wanita, dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, sehingga kedudukan wanita sejajar dengan pria.

1.1.4. Bentuk-bentuk Perilaku Seks Bebas

Menurut Santrock (2002) Bentuk-bentuk perilaku seks bebas meliputi :

1. Kissing: Saling bersentuhan antara dua bibir atau pasangan yang didorong

oleh hasrat seksual.

2. Necking: Mencium bagian leher pasangan sampai menimbulkan nafsu.

Leher adalah bagian tubuh yang peka terhadap rangsangan.

3. Petting: Bercumbu sampai menempelkan alat kelamin, yaitu dengan

menggesek-gesekkan alat kelamin dengan pasangan namun belum bersenggama.

4. Intercaurse: Mengadakan hubungan kelamin atau bersetubuh di dalam dan

diluar pernikahan.

Menurut Mu’tadin (2002) perilaku seksual adalah segala tigkah laku yang

didorong oleh hasrat seksual, baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis.

Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik

hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Obyek seksual dapat

berupa orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang

(4)

yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual(yang

dilakukan sebelum waktunya) justru dapat memiliki dampak psikologis yang

sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi, marah dan agresi.

Hudson ( dalam walmyr.com, 2003) ada sebagaian kalagan mengganggap

bahwa perilaku seks bebas terpisah dari ukuran moral; artinya sah-sah saja

sepanjang dilakukan atas dasar kebutuhan bersama. Khusus dalam pergaulan

lewat jenis pada lingkungan bebas norma dan rendahnya control sosial, cenderung

mengundang hasrat dan kebutuhan seks serta menerapkannya secara bebas. Bagi

kalangan remaja, seks merupakan indikasi kedewasaan yang normal, bila remaja

tidak cukup mengetahui secara utuh tentang rahasia dan fungsi seks, maka wajar

kalau remaja menafsirkan seks semata-mata sebagai tempat pelampiasan birahi,

dan tidak peduli dengan resiko.

1.1.5. Sikap Seksual

Sikap seksual menurut Hudson ( dalam walmyr.com 2003) sesuai dengan

skala Likert yang disusun, dikategorikan menjadi 4 sikap;

1. Sikap sangat tidak setuju yaitu: seseorang menganggap perilaku seks pranikah merupakan suatu hal yang harus dihindari.

2. Sikap tidak setuju yaitu: seseorang yang tidak menyetujui dengan adanya perilaku seks pranikah karena tidak sesuai dengan ajaran agama dan hanya sebagai pengetahuan saja.

3. Sikap setuju yaitu: seseorang menerima bahwa perilaku seks pranikah merupakan suatu hal yang lumrah dan telah banyak terjadi di kalangan masyarakat.

(5)

1.1.6.Aspek-aspek Perilaku Seks

Menurut Hudson dalam (Walmyr.com,2003) aspek sikap remaja terhadap

perilaku seks pranikah mengkait dengan empat aspek :

1. Aspek Biologis

Aspek biologis merupakan aspek yang berkaitan dengan berfungsinya organ reproduksi termasuk didalamnya bagaimana menjaga atau merawat kesehatan kesehatan reproduksi, mengfungsikannya secara optimal pengetahuan mengenai bahayanya melakukan seks bebas. Aspek biologis ini berkaitan dengan perilaku seks bebas yang meliputi

kissing, necking, petting dan intercourse.

2. Aspek Psikologis

Aspek psikologis berhubungan dengan permasalahan perasaan seseorang.

1). Atas dasar saling mencintai, melakukan hubungan seks bebas sebagai pencurahan rasa kasih saying.

2). Atas dasar pemuas nafsu dan kebutuhan materi. 3. Aspek Moral

Aspek moral mencangkup anggapan dari seseorang individu terhadap hubungan seks bebas

4. Aspek Sosial

Merupakan aspek yang melihat bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia, bagaimana seseorang menyesuaikan diri dengan tuntutan peran dari lingkungan social, serta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan manusia.

2.2. Pendidikan Seks

2.2.1. Pengertian Pendidikan Seks

Menurut Ajen (2003) Pendidikan seks adalah membimbing dan menjelaskan

tentang perubahan fungsi organ seksual sebagai tahapan yang harus dilalui dalam

kehidupan manusia dan dapat membantu para remaja laki-laki dan perempuan

untuk mengetahui resiko dari sikap seksual mereka dan mengajarkan pengambilan

keputusan seksualnya secara dewasa, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang

(6)

Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya

pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama buat

setiap anak. Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan

melaksanakan pendidikan seksual perlu diulang-ulang (repetitive) selain itu juga

perlu untuk mengetahui seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh

anak, juga perlu untuk mengingatkan dan memperkuat (Singgih D. Gunarso,

2002).

Menurut Tukan (1994) mengartikan pendidikan seks adalah manusia menjelaskan dan memberikan informasi tentang seksualitas manusia serta meneguhkan makna atau menafsirkan nilai manusiawi terhadap seksualitas tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa pendidikan seksualitas bertujuan mengartikan pengahayatan kehidupan seksual manusia dan pendidikan seksualitas merupakan proses pembudayaan diri sendiri dalam kehidupan bersama orang lain yang harus di tempatkan dalam konteks keluarga, sekolah dan masyarakat.

Pendidikan seks membantu remaja untuk menumbuhkan sikap-sikap baik,

dan norma-norma kelakuan dalam segi-segi seks, diperlukan oleh semua orang

dewasa yang berhubungan dengan anak-anak (Kirkendall, 1985).

Pendidikan seks adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas

manusia yang jelas dan benar meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan

sampai kelahiran, tingkah laku seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan

dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat(Sarwono, 2007).

(7)

Pendidikan seks membantu remaja untuk menumbuhkan sikap-sikap baik,

dan norma-norma kelakuan dalam segi-segi seks, diperlukan oleh semua orang

dewasa yang berhubungan dengan anak-anak (Kirkendall, 1985).

Dari beberapa teori pendidikan seks yang telah dijabarkan oleh penulis

diatas, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan seks adalah membimbing atau

menjelaskan tentang fungsi organ seksual baik bagi laki-laki dan perempuan baik

dari lingkup sekolah keluarga maupun masyarakat, agar mereka tidak memiliki

kesalah pahaman mengenai seks sehingga tidak berakibat pada perilaku yang

tidak diinginkan. Dalam penelitian ini teori pendidikan seks yang digunakan oleh

penulis yaitu teori dari Rahman dan Fachrudin .

2.2.2. Tujuan Pendidikan Seks

Menurut Kirkendall (1985) Tujuan dari pendidikan seks yang hendak

dicapai adalah sebagai berikut:

1. Membantu anak-anak untuk merasakan bahwa seluruh anggota jasmaninya dan semua tahap-tahap pertumbuhan adalah sesuatu yang disukai dan mempunyai tujuan tertentu. Kendatipun anaka tidak harus memikirkan salah satu anaggota tubuhnya atau fungsi tertentu yang dilaksanakannya, namun tubuhnya atau fungsi tertentu yang dilaksanakannya, namun ia hendakanya dapat berbicara tentang itu seperti halnya dengan anggota tubuh lainya secara terbuka dan tidak malu.

2. Menjadikan si anak mengerti dengan jelas tentang proses berketurunan, karena ia seharusnya tahu bahwa setiap gambaran kehidupan timbul dari kehidupan yang serupa dan berketurunan terjadi dalam bermacam-macam bentuk.

3. Mempersiapkan anak untuk menghadapi perubahan-perubahan yang akan terjadi akibat pertumbuhannya, misalnya si anak harus mengetahui sedikit tentang keluarnya mani waktu tidur.

4. Membantu remaja untuk mengetahui bahwa perbuatan seks harus didasarkn atas penghargaan yang tulus terhadap kepentingan orang lain. 5. Menjadikan anak merasa bangga dengan jenis kelamin yang ia di dalam

(8)

6. Menciptakan perasaan bahwa masalah seks adalah satu sisi positif konstruktif dan terhormat dalam kehidupan manusia.

2.2.3. Tahap-Tahap Perkembangan Seks

Tahap perkembangan menurut Sigmund Freud dalam Suryabrata (2011)

terbagi 5 fase, yaitu:

1. Tahap pertama (Oral Stage)

Ini adalah tahapa paling awal kegiatan seks manusia yang dimulai sejak lahir hingga tahun pertama kehidupannya. Pada tahap ini seorang bayi akan berusaha memenuhi kebutuhan seksualnya yang terpusat di daerah seputar mulut (oral) dengan melakukan aktivitas menghisap. Cara pemuasan seks semacam ini pada usia dewasa akan ditranformasikan kedalam bentuk menggigit, menjilat, menghisap, dan mencium, dalam ragam aktivitas seks oral yang mengaplikasi bibir, lidah, dan gigi.

2. Tahap kedua (Anal Stage)

Pada tahap ini manusi akan mendapat kesenangan seksual dari daerah sekitar dubur. Biasanya dilakukan melalui aktivitas saat mengeluarkan kotoran. Tahap ini berlangsung sepanjang tahun kedua kehidupan bayi. Pada orang dewasa dorongan mendapatkan kepuasan melalui daerah anal juga biasanya akan ditransformasikan ke dalam bentuk aktivitas seks anal yang lebih kompleks lagi.

3. Tahap ketiga (Phalic Stage)

Pada tahap ini seorang anak sudah dapat mengidentifikasi kelaminya dan mulai dapat merasakan kenikmatan ketika memainkannya. Tahap ini berlangsung antara umur 3 hingga 6 tahun. Pada tahap ini anak telah menunjukkan keingintahuan yang lebih besar terhadap perbedaan yang ada diantara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki menidolakan ayahnya dan berusaha untuk meniru semua prilaku sang ayah, sedangkan anak perempuan berusaha keras untuk meniru ibunya.

4. Tahap keempat (Latency Stage)

Tahap ini juga sering disebut masa atau fase laten karena cenderung untuk menekan seluruh keinginan erotisnya hingga nanti mencapai pada usia pubertas. Pada tahap ini ketertarikan anak pada usia pubertas. Pada tahap ini ketertarikan anak pada seksualitas biasanya akan dikalahkan dengan keinginantahuan yang lebih besar terhadap hal-hal yang bersifat ilmiyah dan sains, tahap ini terjadi ketika anak memasuki usia remaja. Namun demikian ada pula anak yang menunjukkan ketertarikan pada seks, yang ditandai dengan munculnya sktivitas rutin semacam masturbasi ataupun manipulasi genital lainnya (biasanya anak akan memainkan alat vitalnya). 5. Tahap Kelima (Genital Stage)

(9)

Maka ini dikenal dengan istilah pubertas yang menandai terjadinya

perubahan fisiologi dan hormonal tubuh anak secara revolusioner.

2.2.4. Metode-Metode Pendidikan Seks

Sedangkan menurut Tukan (1994) ada beberapa 3 metode pendidikan seks

yaitu:

1. Metode Pengalaman

Pengalaman adalah guru yang paling baik, orang tua tentunya mempunyai banyak pengalaman yang berharga dari perkawinannya tentunya masalah seks, dari itulah orang tua membagikan informasi seks tersebut melalui pengalaman dengan cara penyampaian pengalaman yang pernah dilalui dengan bahasa yang disesuaikan jangan terlalu fulgar.

2. Metode Ilmu

Dalam metode ini masih terbagi dalam tiga metode lagi, yaitu:

a. Metode Biologi-Media

Melihat data badan manusia atau mempelajari badan manusia hingga pada alat kelamin manusia, penyakit menular jika terjadi penyalahgunaan seks, dan melihat data tetang bayi yang berada dalam perut.

b. Metode Psikologi

Metode ini memberikan perbedan sifat pria dan wanita, namun dalam hal ini kita tidak hanya sampai pada pemberiaan sifat manusia tetapi pada kesiapan dua individu yang ingin menuju kearah berkeluarga. c. Metode Sosiologi

Dalam metode ini pendidik memberikan informasi seks melalui materi yang mempelajari secara sistematis kehidupan bersama manusia sejauh kehidupan itu dapat ditinjau dan diamati. Dengan kata lain metode ini dalam penyampaian mengenai seks di selipkan dalam mata pelajaran seperti sejarah, ekonomi, ilmu politik, dan psikologi. 3. Metode Etis-Filosofis

Metode ini lebih menekankan kepada peserta didik mengenai gambaran secara jelas tentang seks dari ilmu filsafat yang diberikan oleh pendidik, yaitu dengan menekankan pada kenyataan pada norma moral yang biasanya berlaku apakah dapat diterima oleh masyarakat atau ditolak.

2.2.5.Kapan Pendidikan Seks Perlu Diberikan

Tukan (1994) mengungkapkan pendidikan seks harus dimulai dalam dan

(10)

Sedangkan menurut Kirkendall (1985) pendidikan seks dimulai sejak

kanak-kanak pertama, yang sebagian besarnya tidak lain dari gambaran tentang

pendidikan seks yang tidak langsung dan tergantung kepada cara orang tua

mendekati anak-anak mereka dan mereka berusaha memenuhi keinginan mereka.

2.2.6.Sumber-Sumber Pendidikan Seks

Sedangkan menurut Ajen (2003) sumber pendidikan seks yang diperoleh

oleh remaja yaitu; lingkungan terdekat yaitu keluarga, sekolah dengan diberikan

layanan oleh guru pembimbing, oleh masyarakat sekitar, LSM-LSM dan mencari

sumber sendiri menonton film, menonton TV, membaca buku tentang seks, dan

membuka situs di internet.

2.2.7.Aspek-aspek Pendidikan Seks

Menurut Rahmad dan Fahrudin (2000) mengungkapkan beberapa

aspek-aspek pendidikan seks yang perlu diterapkan kepada anak, antara lain :

1. Harapan Orang Tua

Menerapkan pendidikan seks dalam konsep pengenalan seks yang jelas pada anak perlu dan penting, seperti menjelaskan hubungan seks itu apa?, menjelaskan tentang alat kelamin itu apa?, menerapkan kepada anak bahwa baiknya hubungan seks dilakukan setelah menikah, kenapa manusia dapat dilahirkan, perilaku menyimpang kejahatan seks dan membimbing anak pada saat menonton acara televise yang berkategori dewasa.

2. Terintegrasi pendidikan

(11)

3. Harapan Masyarakat Sekitar

Pendidikan seks yang diberikan masyarakat, sekitar adalah bagaimana lingkungan masyarakat berdampak positif atau negative dalam pemberian informasi seksualitas, pembentuk perkembangan seksualitas pada anak, kegiatan LSM seperti memberikan informasi seks yang tepat atau tidak?, pengenalan mengenai seksualitas, buku porno, film blue, dampak negative dari itu semua.

2.3.Hubungan Pendidikan seks dengan Perilaku Seks Bebas

Sarwono (2003) mengungkapkan bahwa perilaku seksual remaja dapat

dikurangi atau dicegah melalui kedekatan hubungan antara orang tua dan anak,

pelaksanaan kehidupan beragama secara aktual sehari-hari dan

mengkomunikasikan seks (pendidikan seks) pada remaja. Pendidikan seks

bukanlah penerangan tentang seks semata-mata. Pendidikan seks mengandung

pengalihan nilai-nilai, seperti peran pria dan wanita dalam pergaulan, peran

ayah-ibu dan anak-anak dalam keluarga.

2.4.Penelitian yang relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Wulan (2011), di SMA Negeri 11

Yogyakarta.Dari hasil uji statistik chi square diperoleh hasil p-value 0,027 dengan

menggunakan nilai derajat 95 % taraf kebebasan α p-value < 0,05, maka ada

hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual

pada remaja kelas X SMA Negeri 11 Yogyakarta.

Juga penelitian yang dilakukan oleh Yohanes (2002), di SMA Negeri 5

Bogor. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) ada hubungan yang

signifikan antara pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seks bebas pada

(12)

2.5. Hipotesis

Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah:“Ada hubungan

yang negatif signifikan antara pendidikan seks dengan perilaku seks bebas siswa

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Febby Litta (2009) yang berjudul “Hubungan antara Persepsi tentang Seks dengan Perilaku Seksual

positif antara persepsi tentang seks dengan perilaku seksual pada remaja kelas X dan. XI SMA Kristen

antara persepsi tentang seks dengan perilaku seksual dengan arah hubungan yang.. positif pada remaja kelas X dan XI SMA Kristen

dicapai yaitu pelayan seks pilihan atau kelas atas. 2) Pengenalan tanda komunikasi pada ruang virtual sex oleh mucikari dan pekerja. seks memiliki perbedaan pada tahapan, dan

Dalam kaitannya dengan dampak perilaku seks pranikah terhadap kehidupan sosial maka yang menjadi fokus peneliti adalah interaksi pelaku seks pranikah terhadap

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan komunikasi orangtua-anak mengenai seks dengan perilaku seksual pada remaja di pedesaan.. Dalam penelitian ini

anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan.. untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar. kesetiaan

Korelasi antara religiusitas dengan perilaku prososial adalah sebesar 0,738, menunjukkan adanya korelasi yang positif, dengan kata lain semakin tinggi konformitas