• Tidak ada hasil yang ditemukan

BANGUNAN HUNIAN KOLONIAL AWAL ABAD 20 DI KOMPLEKS TAMAN KENCANA BOGOR: PENGARUH TRADISIONAL DAN EROPA PADA UNSUR-UNSUR HUNIANNYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BANGUNAN HUNIAN KOLONIAL AWAL ABAD 20 DI KOMPLEKS TAMAN KENCANA BOGOR: PENGARUH TRADISIONAL DAN EROPA PADA UNSUR-UNSUR HUNIANNYA."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BANGUNAN HUNIAN KOLONIAL AWAL ABAD 20 DI KOMPLEKS

TAMAN KENCANA BOGOR:

PENGARUH TRADISIONAL DAN EROPA PADA UNSUR-UNSUR

HUNIANNYA

Fadly Rahman, Heriyanti Ongkodharma

Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia fadlyahnaf@gmail.com

Abstrak

Jurnal ini membahas tentang bangunan hunian kolonial awal abad 20 yang terletak di Taman Kencana, Bogor. Tujuannya untuk mengetahui pengaruh tradisional dan Eropa yang terdapat pada unsur-unsur bangunannya beserta ciri khas yang terdapat pada bangunan-bangunan tersebut. Pada masa kolonial di Indonesia, pembentukan pola pemukiman didasarkan oleh perbedaan ras., dimana warga Eropa adalah warga kelas atas yang mendapatkan kawasan pemukiman terbaik. Taman Kencana, Bogor adalah salah satu daerah yang merupakan kawasan pemukiman elit Eropa pada masa itu. Metode penelitian ini adalah deskriptif analitik dan metode perbandingan. Perbandingan dilakukan dengan hunian Menteng yang memiliki kesamaan dengan Taman Kencana, yaitu dibangun oleh elit kolonial dan dibangun pada masa yang berdekatan. Hunian Taman Kencana memiliki pola yang tertentu pada unsur-unsur bangunannya, pola tersebut didapatkan setelah dilakukan deskripsi dan analisis bentuk dari unsur-unsur bangunan yang meliputi tata letak ruang, atap, tampak depan, dan teras. Hasil penelitian menjelaskan adanya identitas tersendiri pada bangunan hunian kolonial Taman Kencana.

Kata kunci:

Kolonial, Taman Kencana, pengaruh tradisional dan Eropa, Bogor

Abstract

This journal discusses about colonial houses from the beginning of 20th century at Taman Kencana, Bogor. The aim of this thesis is to know the influences of traditional and Europe on the houses with the identity that found in these. On the colonial age in Indonesia, the area of housing estate was built based on the race diversification, where the European was the high class citizens and got the best housing area. Taman Kencana was one of high class housing area on that time. The metode of this thesis is descriptive-analytical and comparative. The comparison was the colonial houses at Menteng wich built by elite colonials and was built in the meantime. Houses at Taman kencana had a pattern wich known after the description and form-analysis from the parts of the house wich pervade the roof, layout, façade, and terrace. The result of this research explains the identity of the houses at Taman Kencana, Bogor.

Keywords:

Colonial, Taman Kencana, influences of Traditional and Europe, Bogor

Pendahuluan

Bangunan adalah sesuatu yang didirikan atau sesuatu yang dibangun1. Bangunan terdiri dari berbagai macam jenis dan didirikan sesuai dengan kebutuhannya. Dalam kehidupan manusia, perkembangan bangunan-bangunan tersebut telah menjadi bagian dari                                                                                                                          

(2)

budaya manusia itu sendiri. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008), huni adalah didiami, jadi hunian adalah tempat yang ditempati. Dari definisi di atas, bangunan hunian dapat diartikan sebagai sebuah tempat yang dibangun untuk dihuni. Bangunan untuk tempat tinggal umumnya adalah rumah. Pada awalnya rumah dibangun hanya sebagai tempat berteduh dan berlindung dari cuaca sehari-hari dan ancaman binatang buas, namun seiring waktu perkembangan bentuk rumah di tiap daerah semakin bervariasi, tergantung budaya yang mempengaruhi tempat dimana rumah atau hunian itu dibangun (Dakung, 1998: 27).

Begitu juga dengan perkembangan bangunan vernakuler2 atau bangunan yang biasa ditemui pada rumah-rumah tradisonal Indonesia. Bangunan tradisional sendiri merupakan salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan perkembangan suatu suku atau bangsa. Oleh karena itu bangunan tradisional merupakan satu di antara identitas suatu pendukung kebudayaan (Abu, 1998: 1).

Pada masa kolonial di Indonesia, perkembangan bentuk-bentuk bangunan di seluruh kota di Indonesia, baik bangunan pribadi maupun bangunan umum banyak dipengaruhi oleh bentuk bangunan Eropa. Hal ini tentu tidak lepas dari budaya yang dibawa oleh para penjajah yang asalnya dari Eropa seperti Portugis dan Belanda. Pengaruh-pengaruh pada gaya bangunan tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah-istilah seperti Art Nouveau, Art

Deco, De Stijl, Amsterdam School, dan gaya Indis (David, 2010: 21-23).

Perkembangan bentuk hunian juga terjadi di Jawa, sejak awal kehadiran orang Belanda, unsur-unsur budaya dan iklim alam sekeliling sudah mempengaruhi dalam membangun rumah tempat tinggal mereka. Dari rumah tempat tinggal masa awal ini, dapat diketahui bahwa pembuatan rumah di Batavia tidak sepenuhnya tepat seperti bentuk tempat tinggal Belanda kuno di negeri induknya (Wall dalam Soekiman, 2000: 136). Rumah tinggal Belanda masa awal di Jawa mempunyai susunan tersendiri yang secara umum mirip dengan negeri asalnya, namun pada rumah mewah (landhuizen) dan rumah tinggal selain landhuizen tersebut dibangun dengan lingkungan pulau Jawa. Adapun hasilnya adalah suatu bentuk campuran, yaitu tipe rumah Belanda dan bangunan pribumi Jawa. Bentuk campuran tersebut disebut juga dengan rumah bergaya Indis. Menurut Djoko Soekiman, gaya Indis adalah gaya seni yang muncul pada abad XVIII di Hindia Belanda (Soekiman, 2000: 9, 137).

                                                                                                                         

2 Hasil percampuran budaya yang melibatkan kearifan lokal, termasuk terjadi dalam gaya bangunan

(3)

Perkembangan bangunan juga mempengaruhi salah satu kota yang terletak di Pulau Jawa yaitu Bogor. Bogor mempunyai perjalanan sejarah kebudayaan yang cukup panjang.

Adanya situs masa prasejarah seperti Situs Cibalay di daerah Bogor menunjukkan bahwa Bogor sudah memiliki peninggalan budaya sejak masa tersebut. Selain pada masa prasejarah, pada jaman klasik, Bogor juga sering disebut memiliki keterkaitan erat dengan kerajaan Pajajaran. Begitu pula pada masa pemerintahan kolonial, Bogor yang pada masa itu dikenal dengan Buitenzorg, digunakan sebagai peristirahatan orang Belanda yang waktu itu menjajah tanah Jawa (Winarno, 1990: 3).

Kota Bogor pada awal abad ke-20 mengalami pembangunan dibawah pemikiran Thomas Herman Karsten dan arsitek Friedrich Silaban. Karsten terkenal dengan kecintaannya terhadap Indonesia dan karyanya selalu berusaha adaptatif dengan lingkungan, iklim, dan budaya Indonesia. Sementara itu Silaban, seorang arsitek Indonesia, adalah arsitek yang sangat berperan dalam pembangunan umum di Bogor dari tahun 1931 sampai 1965 (Iskandar, 2009:11). Ide rancangan Karsten untuk tata letak pemukiman Bogor berawal di tahun 1917 ketika pemimpin Bogor pada waktu itu memberikan wewenang kepadanya untuk memperluas pembangunan di wilayah Bogor. Rancangan Karsten adalah rancangan yang mengikuti peraturan dan kecendrungan yang terjadi diseluruh wilayah jajahan Eropa, dimana perbedaan kelas sosial sangat jelas terlihat. Pada tahun 1933 ia mempresentasikan rancangan tata kota yang dibuat untuk Kota Malang, yang mana rancangan tersebut walaupun dengan skala yang berbeda, memiliki kemiripan dengan rancangan tata kotanya untuk wilayah Bogor (Roosmalen, 2011, 57).                        

Meskipun bangunan kolonial banyak didirikan di daerah Bogor, namun belum banyak diteliti, termasuk hunian kolonial Taman Kencana Bogor. Diketahui bahwa ada beberapa penelitian arkeologis di Bogor antara lain penelitian tentang tata letak kota, bangunan ibadah dan kawasan pecinan yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian riwayat penelitian tulisan ini. Karena itu hunian Taman Kencana Bogor menjadi menarik untuk diteliti karena rumah-rumah yang ada di hunian ini bisa menunjukan adanya percampuran antara unsur barat dengan unsur vernakuler pada masa Kolonial, selain itu rumah adalah salah satu peralatan dan perlengkapan hidup manusia yang termasuk dalam salah satu konteks tujuh unsur budaya universal yang membuat isi kebudayaan Eropa bisa memperkaya kebudayaan Indonesia (Soekiman, 2011: 20).

(4)

Tinjauan Teoritis

Pola perumahan di Bogor serupa dengan pola perumahan di kota-kota Indonesia pada masa Kolonial dengan pemisahan berdasarkan ras. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembagian-pembagian pemukiman berdasarkan ras seperti Kampung Cina, Kampung Arab, Kampung Pribumi, dan daerah orang Eropa yang berkuasa (Rini, 2012: 81). Pemisahan kawasan pemukiman berdasarkan ras ini pada awalnya ditentukan oleh peraturan pemerintah Kolonial Kebijakan tersebut dapat terlihat dalam Staadsblad No 37, 1835. Adanya kecendrungan bercampurnya berbagai bangsa mendorong dibuatny wijkenstelsel3 dan

passentelse4l (Ong, 2005: 13). Kebijakan kolonial Belanda mengenai pemisahan pemukiman

tersebut ditegaskan kembali pada tahun 1854 yang dikenal dengan Regerings Reglement. Peraturan tersebut juga memperkenalkan 4 kategori pokok: Elit Eropa, mereka yang dipersamakan kedudukannya dengan orang Eropa (met Europeanen gelijkgestelden), orang pribumi (Inlanders), dan orang asing timur (Vreemde Oosterlingen) (Lombard, 1996: 82).

Kota Bogor sendiri yang pada masa kolonial turut berkembang juga melaksanakan kebijakan tersebut. Ini dapat terlihat dari wilayah persebaran pemukiman berdasarkan ras tersebut yaitu, Kampung Cina terletak di kawasan yang sekarang dikenal dengan nama Surya Kencana, sementara itu kampung Arab berada di kawasan yang sekarang bernama Empang, wilayah pemukiman pribumi terdapat di pinggiran-pinggiran kota seperti di daerah Bondongan, wilayah Eropa sendiri mendapat daerah paling besar dan strategis meliputi Istana Bogor dan daerah sekitarnya yang termasuk Taman Kencana di dalamnya.

Diutamakannya penduduk Eropa dalam setiap kota yang diduduki oleh Belanda juga diungkapkan oleh Djoko Soekiman (2001: 114), bahwa pejabat Eropa sebagai administrator pemerintah kolonial di wilayah kabupaten tinggal di rumah sekitar kabupaten. Sementara yang lain tinggal berkelompok di pemukiman khusus orang Eropa, yaitu daerah terpilih di bagian kabupaten tersebut, dan biasanya terletak di tepi jalan-jalan besar kabupaten yang terpisah dari tempat pemukiman golongan pribumi yang berada di daerah pinggiran.

Pauline K.M. van Roosmalen dalam artikelnya juga menjelaskan bahwa pada masa kolonial, perbedaan kelas sosial-ekonomi sangat terlihat. Pembangunan di tiap-tiap wilayah sangat mengutamakan kaum Eropa yang merupakan kalangan paling terhormat. Pejabat-pejabat kolonial ini mendapat akses jalan, lahan pemukiman dan rumah yang luas serta tanah                                                                                                                          

3 Wijkenstelsel adalah pengelompokkan suatu etnik untuk tinggal di daerah yang telah ditentukan di dalam kota 4 Passenstelsel adalah surat pass atau surat jalan

(5)

yang subur. Sementara itu kalangan menengah yaitu Indo-Eropa, Cina, dan Arab mendapatkan wilayah yang penduduknya lebih padat, jalan yang lebih sempit (terkadang belum diaspal), rumah-rumah yang lebih kecil, dan terkadang rumahnya menyatu dengan toko. Kawasan pribumi adalah kawasan yang kelas sosial-ekonominya paling rendah, dimana penduduknya sangat padat dan kawasan pemukimannya tidak terencana, seringkali tidak permanen serta mendapat letak yang tidak strategis (Roosmalen, 2011: 7). Meskipun kebijakan pemisahan pemukiman penduduk berdasarkan ras tersebut telah dihapuskan pada tahun 1920-an (Suryadinata, 1999: 228), namun bekas-bekas kebijakan tersebut masih terlihat sampai sekarang.

Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu barat dan timur. Akibat percampuran tersebut, kebudayaan pribumi diperkaya dengan kebudayaan barat (Soekiman, 2011: 11). Sementara itu menurut Gosden, kolonialisme adalah tentang material culture, tetapi kolonialisme juga mempunyai efek budaya pada setiap bagian (Gosden, 2004: 1).

Daniel Perret, seorang antropolog, menyatakan bahwa individu tidak pernah berhenti membentuk dan membentuk kembali identitas kelompoknya dan identitasnya sendiri dengan mengedepankan ciri-ciri budaya yang memungkinkannya menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan situasi sosial tertentu (2010: 17). Selain itu, Rapoport yang seorang arsitek juga menyatakan bahwa lingkungan buatan mempunyai berbagai macam kegunaan dan salah satunya adalah untuk menekankan identitas sosial dan menunjukkan status (Snyder, 1991: 41). Karena itu penelitian ini juga diharapkan bermanfaat untuk memberi tambahan sedikit informasi tentang salah satu fase pembentukan kembali identitas suatu kelompok, dalam hal ini adalah kelompok Barat dan kelompok penduduk di Bogor yang mengalami percampuran budaya untuk menyesuaikan keberadaan kelompok mereka dalam situasi sosial tertentu.

Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan tahap-tahap penelitian yang biasa digunakan dalam penelitian arkeologi yaitu tahap pengumpulan data atau observation, tahap pengolahan data atau description, dan penafsiran data atau interpretation (Deetz, 1967: 8). Pada tahap

observation atau pengumpulan data dilakukan pengumpulan data-data yang terkait dengan

(6)

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan bersifat kualitatif seperti artefak, berbagai teks, produksi kultural (dalam hal ini bangunan hunian Taman Kencana), pengamatan, sejarah dan berbagai teks visual (Santana, 2010: 5).

Tahap pengumpulan data ini terdiri atas pengumpulan sumber literatur atau verbal dan data piktorial yaitu denah dan gambar atau foto. Pada tahap ini dikumpulkan sumber literatur mengenai kebudayaan Kolonial, bangunan Kolonial, kebudayaan Indis, bangunan bergaya Indis, bangunan vernakular, dan buku-buku mengenai kota Bogor yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Sumber literatur yang diperoleh diprioritaskan yang memiliki informasi tentang Hindia Belanda dalam rentang waktu abad ke-18 sampai abad ke-20 karena pada masa tersebut muncul golongan sosial baru sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (Belanda-Jawa) di daerah jajahan Hindia Belanda (Soekiman, 2011: 11).

Selain itu pada tahap pengumpulan data ini juga dicari data mengenai unsur tradisional dan unsur barat pada bangunan hunian. Dalam hal unsur tradisional, pengumpulan data difokuskan kepada rumah tradisional Sunda yang banyak terdapat di berbagai tempat. Sementara itu mengenai pengaruh gaya bangunan barat, pengumpulan data akan mengacu pada bangunan hunian Eropa di Batavia pada akhir abad ke-19 yang memiliki gaya

klasisisme. Klasisisme adalah gaya bangunan yang sejak akhir abad ke-19 menggunakan

elemen-elemen seni bangunan klasik zaman Yunani dan Romawi.

Selanjutnya pada tahap pengolahan data, dilakukan analisis dari data penelitian yang sudah dideskripsikan. Analisis yang dilakukan adalah analisis bentuk. Selain itu, dilakukan analisis khusus untuk mengetahui apakah terdapat pola ruang tertentu pada bangunan hunian Kolonial di Taman Kencana. Pada tahap ini juga dilakukan perbandingan antara data-data yang telah dikumpulkan dan mulai dianalisisa, dengan sumber tertulis atau sumber penunjang topik ini. Perbandingan dilakukan dengan menggunakan bangunan hunian Kolonial yang sebelumnya sudah pernah diteliti sebagai patokan. Dalam penelitian ini rumah-rumah di kawasan Menteng (Jakarta) dijadikan perbandingan. Perbandingan dilakukan dengan kawasan tersebut karena kawasan tersebut terletak dekat dengan Bogor, dibangun pada masa yang relatif dekat (awal abad 20), dan sama-sama dibangun oleh elit kolonial pada masa itu. Sementara itu yang dibandingkan adalah data yang diperoleh dari sumber data yaitu unsur-unsur bangunan hunian bergaya kolonial di Taman Kencana Bogor dengan data yang diperoleh dari sumber literatur terkait dan hasil survey lapangan, yaitu bangunan bergaya Indis di kawasan Menteng, bangunan vernakuler, dan bangunan barat pada masa Hindia

(7)

Belanda. Adapun unsur-unsur bangunan yang akan dianalisis adalah bentuk atap, teras,

façades dan tata letak ruang.

Pada tahap terakhir yaitu tahap penafsiran data atau interpretation dilakukan penafsiran terhadap data-data yang telah dideskripsikan dan dianalisis. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh maka hasil analisis tersebut kemudian diberikan makna atau ditafsirkan. Penafsiran dilakukan dengan melihat hasil analisis mengenai unsur-unsur bangunan hunian pada kompleks Taman Kencana Bogor (bentuk atap, teras, façades, dan tata letak ruang rumah). Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diketahui unsur-unsur yang

menunjukan ciri kuat gaya bangunan Indis pada rumah-rumah hunian tersebut sehingga akan diketahui bagaimana percampuran unsur barat dan tradisional yang terdapat pada bangunan hunian Taman Kencana Bogor.

Hasil Penelitian

Ciri bangunan Eropa yang terdapat pada bangunan hunian Taman Kencana dapat dilihat pada unsur-unsur bangunannya. Salah satu unsur yang terlihat terdapat pada tata letak ruang rumah hunian Taman Kencana. Tata letak ruang pada rumah-rumah Taman Kencana memiliki kesamaan, yaitu bangunan utama yang dilengkapi dengan bangunan yang terletak pada sisi bangunan utama, biasanya merupakan bangunan kamar pembantu, kamar mandi, dapur, dan garasi atau biasa disebut dengan bangunan servis. Ciri tata letak ruang ini juga terdapat pada rumah-rumah di Menteng. Pada masa dulu, bangunan induk dan bangunan servis jelas menandakan perbedaan kelas sosial orang-orang yang menempatinya. Bangunan servis adalah untuk pembantu dan bangunan induk untuk majikan. Namun pada kegunaannya yang sekarang, bangunan servis tidaklah terlalu menjadi hal yang diperhatikan, hal ini juga semakin berubah karena pada masa sekarang lahan pada bangunan servis sudah banyak yang berubah fungsi menjadi tempat yang disewakan sebagai kost ataupun ruang-ruangan yang fungsinya berubah seperti perpustakaan atau gudang.

Sementara unsur bangunan bagian atap, terdapat beberapa rumah yang beratap beratap lebih curam, namun semua bentuk atap di rumah Taman Kencana adalah limasan. Hal ini dapat dikaitkan dengan faktor iklim di Bogor sendiri yang memiliki curah hujan tinggi. Atap limasan akan membantu air hujan turun cepat sehingga tidak merusak atap. Selain itu, plafon-plafon di rumah-rumah Taman Kencana juga dibuat meninggi, hal ini sepertinya bertujuan

(8)

untuk memberi pola pertukaran udara yang lebih baik. Karena semakin tinggi atap tersebut, pertukaran udara juga semakin cepat terjadi sehingga panas karena terik matahari atau udara yang lembab bisa diminimalisir.  

Atap limasan sendiri sudah lama dikenal pada rumah tradisional Sunda yang terdapat pada rumah tradisional Sunda bertipe perahu kumereb. Namun apakah atap limasan yang dibangun seragam pada rumah-rumah Taman Kencana mendapat pengaruh dari atap rumah tradisional tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Lalu unsur lainnya adalah teras yang terdapat di halaman depan. Hampir setiap rumah yang menunjukan ciri bangunan Eropa di Taman Kencana selalu memiliki teras di depan rumah. Teras ini biasanya dikelilingi tembok yang pada bagian luarnya diberi hiasan berupa lempengan dari batu kali yang memberikan kesan alami, tinggi tembok teras ini biasanya 75-80 cm. Teritisan pada rumah-rumah di Taman kencana juga mengatapi bagian terasnya.

Tembok-tembok teras-teras ini dulu digunakan sebagai tempat untuk menaruh pot-pot tanaman, namun seiring waktu, teras-teras ini akhirnya diubah atau ditambah fungsinya menjadi tempat berkumpul atau tempat menerima tamu yang tidak terlalu dekat, sementara tamu yang sudah dekat akan dipersilakan masuk di ruang tamu dalam rumah. Pada masa kolonial teras biasanya digunakan juga sebagai fungsi sosial dimana pada waktu itu, di sore hari, para pejabat-pejabat kolonial akan meminum teh sambil menghisap cangklong, atau sebagai tempat anak-anak mereka bermain, hal ini menunjukkan kalau mereka adalah warga kelas atas.

Sementara itu pada masa yang sekarang fungsi teras sebagai fungsi sosial tetap ada, namun tidak lagi untuk menunjukan perbedaan kelas sosial mereka, melainkan sebagai tempat menikmati suasana sekaligus sesekali bercengkrama dengan tetangga. Hal ini dikarenakan di masa sekarang tidak ada lagi pejabat-pejabat kolonial yang mendapat hak lebih istimewa dibandingkan masyarakat biasa.

Selain itu unsur lain yang dilihat adalah tampak depan atau fasadenya. Tampak depan dari rumah hunian Taman Kencana biasanya terlihat asri dengan halaman depan yang tertata rapi dan teritis atap lebar dan rendah, hal ini mungkin diperuntukkan sebagai pelindung panas dan hujan (Surowiyono, 1996: 29). Di beberapa rumah terdapat hiasan tembok berupa lempengan batu kali yang disusun rapi pada bagian bawah tembok depan rumah. Hiasan tembok berupa lempengan-lempengan batu kali berwarna hitam ini biasanya serupa dengan

(9)

hiasan yang terdapat pada tembok terasnya. Tampak depan rumah-rumah Taman Kencana terlihat serupa karena satu aksen khasnya yaitu hiasan lempengan batu-batu kali yang menmpel di dinding depan bagian bawah. Hiasan lempengan batu-batu kali tersebut adalah hiasan khas rumah Eropa di Indonesia.

Rumah-rumah Taman Kencana menunjukkan bahwa pengaruh tradisional dan pengaruh Eropa tetap ada pada elemen-elemen rumah tersebut, baik secara sadar maupun tidak sadar. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun walaupun penghuni rumah sudah berganti generasi, namun dalam hunian tersebut terdapat hal-hal yang memang tidak bisa dilepaskan, baik itu faktor tradisi maupun faktor sosial lingkungannya.

Pembahasan

Tata Letak Ruang

Erna Krisnanto, seorang arsitek, menyatakan bahwa denah mencerminkan skema organisasi kegiatan dalam bangunan dan merupakan unsur penentu bentuk bangunan. Denah juga berguna untuk mengungkap banyak hal seperti ruang sirkulasi dengan ruang untuk beraktifitas, dan hubungannya baik antar ruang di dalam maupun di luar bangunan yang masih terletak di dalam tapak, secara keseluruhan memberi makna bagi bangunan tersebut (Krisnanto, 2008: 17). Sementara itu menurut Snyder dan Catanese, seluruh ruang, baik interior maupun eksterior, dirancang untuk menunjang satu atu lebih aktifitas-aktifitas tertentu (Snyder, 1984: 42).

Melihat pernyataan-pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa denah adalah unsur yang penting dalam suatu bangunan rumah tinggal, karena denah bukan hanya sebatas gambar tampak atas dari ruangan-ruangan rumah, tetapi juga gambar yang dapat memberikan informasi mengenai fungsi dari masing-masing ruangan tersebut, bahkan konsep dari bangunan tersebut. Pada bangunan-bangunan hunian di Taman Kencana tentunya juga terdapat beberapa bentuk denah, pada bagian ini akan dipaparkan bentuk denah dari masing-masing rumah yang menjadi objek penelitian di Taman Kencana.

Heuken memaparkan bentuk denah dari salah satu rumah di Menteng yang ia sebut dengan rumah tipe ‘Sumenep’ karena pada waktu itu rumah-rumah tipe tersebut banyak ditemui pada Jl. Sumenep (kini Jl. Kusumaatmaja).  

(10)

Gambar 4.2 Sketsa denah rumah tipe ‘Sumenep’ Sumber: Heuken (2001)

Sementara itu denah-denah bangunan hunian Taman Kencana memiki bentuk yang memiliki beberapa persamaan dengan denah hunian di Menteng dan Depok lama, yaitu hampir semua bangunan hunuan Kolonial Taman Kencana memiliki dua bagian bangunan yaitu bangunan induk dan bangunan servis. Seperti denah rumah tipe Sumenep, memiliki kesamaan dengan denah beberapa rumah di Taman Kencana seperti berikut:

                                     

Gambar  4.3    Denah  salah  satu  rumah  Taman  Kencana   Dok.  Fadly,  2014  

 

Selain denah rumah tipe ‘Sumenep’, Heuken juga memaparkan denah rumah yang ia sebut dengan tipe ‘madura’ yang juga penamaan tipenya didasari oleh letak tipe-tipe rumah tersebut yang banyak ditemui di ‘Madoeraweg’ atau Jl. Madura (kini Jl. Moh. Yamin). Ia memberikan contoh salah satu rumah tipe ‘Madura’ yang dibangun pada tahun 1934, rumah ini terdapat di daerah Menteng. Denah seperti ini biasanya terdapat pada rumah yang memiliki luas tanah 700-1000 m2.

(11)

  Gambar 4.4 Denah rumah tipe ‘Madura’

(sumber: Heuken 2011)

Pada bangunan hunian Taman Kencana, juga terdapat rumah yang memiliki kesamaan dengan denah yang terdapat pada foto di atas. Hanya yang berbeda adalah, pada beberapa rumah Taman Kencana bangunan servis terletak terpisah dengan bangunan induknya, yaitu terletak di samping bangunan induknya. Sementara seperti yang dapat dilihat di denah rumah tipe ‘Madura’ di atas, terdapat dua bangunan servis yaitu yang menyatu dengan bangunan induk dan yang terpisah dengan bangunan induknya.

Sementara itu, denah rumah tradisional Sunda, dari beberapa penelitian diketahui beberapa bangunan yang fungsi bangunannya berbeda-beda. Rumah tradisional Sunda yang lengkap terdiri dari satu ruang utama yang berada di tengah dan terdapat bangunan tambahan di depan, samping, dan belakang rumah (Sarjono, 2013).

Di kawasan Sunda sendiri, yang juga melingkupi wilayah Bogor, juga terdapat rumah tradisional. Pada rumah tradisional Jawa Barat terdapat beberapa model berbeda walaupun perbedaannya tidak terlalu mencolok. Perbedaan model tersebut juga mempengaruhi perbedaan tata letak ruangnya.

Beberapa rumah yang menjadi objek penelitian di Taman Kencana memiliki dua bagian bangunan yaitu bangunan induk dan bangunan servis, namun tidak ada bangunan tambahan yang letaknya di depan rumah. Pada bangunan hunian Taman Kencana terdapat beberapa rumah yang bangunan servisnya menyatu dengan bangunan induk, baik itu memanjang dari samping ke belakang ataupun langsung menyatu di belakang bangunan induk.

(12)

Atap

Menurut Francis D.K. Ching, atap adalah penutup bagian atas dari suatu bangunan, termasuk kerangkanya, yang berfungsi untuk mengatapi bangunan (Ching, 1994: 208). Selain itu menurut Budi A. Sukada jenis atap ditentukan oleh (terutama) badan rumah dan lingkungan sekitar kita (1983: 83). Sementara itu, pentingnya atap pada bangunan diungkapkan Heinz Frick, bahwa atap tenda merupakan bentuk asal dari cara manusia membuat pelindung terhadap cuaca. Dinding dapat ditiadakan, tetapi tidak mungkin menghapuskan atap karena tanpa atap kita akan kehilangan tujuan suatu bangunan (Frick, 1982: 116).

Pada bangunan hunian di Taman Kencana, semua rumah yang menjadi objek penelitian memilik atap limasan, sehingga tidak ada bentuk lain selain atap limasan. Atap limasan atau yang juga disebut atap perisai adalah atap yang terdiri dari empat bidang atap, dua bidang bertemu pada satu garis bubungan jurai dan dua bidang bertemu pada garis bubungan atas. Jika dilihat terdapat dua bidang berbentuk trapesium dan terdapat dua bidang berbentuk segitiga (Supriatna, 2013: 3 [e-bookspdf.org] ).

 

Gambar  4.9      Atap  Limasan  1   (sumber:  google  image  )  

Pada bangunan tradisional Sunda sendiri, terdapat beberapa macam bentuk bangunan, hal itu membuat tipe atap pada masing-masing bangunan tersebut juga berbeda-beda.  

Jika melihat bentuk atap dari rumah-rumah tradisional di Jawa Barat, bentuk-bentuk atap dari rumah-rumah Taman kencana menyerupai bentuk-bentuk dari rumah tradisional Jawa Barat yang bertipe perahu kumereb atau yang dikenal dengan atap limasan. Sementara itu yang berbeda dari bentuk-bentuk atap dari rumah-rumah di Taman Kencana adalah bukan pada bentuk dasar atapnya, melainkan pada ukuran, bahan, warna, dan jumlah anak atap yang dimiliki pada tiap-tiap atap rumah, namun pada dasarnya semua memiliki bentuk dasar atap limasan.

Pada rumah rumah di Menteng, bentuk-bentuk atapnya lebih bervariasi, mulai dari atap limasan hingga atap pelana dekoratif. Pada rumah rumah di Menteng juga terdapat

(13)

hiasan-hiasan pada atapnya, berbeda dengan rumah Taman Kencana yang atap-atapnya sederhana dan tidak terdapat hiasan.

Tampak Depan

Menurut Rob Krier, tampak depan atau fasade merupakan elemen arsitektur terpenting yang mampu menyuarakan fungsi dan makna sebuah bangunan. Akar kata ‘fasade’ (façade)

diambil dari kata latin ‘facies’ yang merupakan sinonim dari ‘face’ (wajah) dan ‘appearance’ (penampilan). Oleh karena itu, membicarakan wajah sebuah bangunan, yaitu fasade, yang kita maksudkan adalah bagian depan yang menghadap jalan (1998: 123).

Sebagai suatu keseluruhan, fasade tersusun dari elemen tunggal, suatu kesatuan tersendiri dengan kemampuan untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Elemen-elemen tersebut-alas, jendela, atap, dan sebagainya-karena sifat alaminya merupakan benda-benda yang berbeda sehingga memiliki bentuk, warna, dan bahan yang berbeda (Krier, 1988: 123).

Pada bangunan hunian Taman Kencana, bagian tampak depan akan diuraikan menurut elemen-elemen bangunan yang terdapat pada fasade yaitu pintu, jendela, dan ornamen-ornamennya.

Pintu

Jika mengacu pada bentuk pintu yang populer pada pertengahan abad ke-20 di bangunan hunian Menteng, pintu-pintu pada bangunan tersebut biasanya berhiaskan kaca-kaca patri berwarna-warni. Namun pada bangunan hunian Taman Kencana, walaupun memiliki bentuk dasar pintu yang sama dengan rumah di Menteng, pintu pada rumah-rumah di Taman Kencana tidak ada yang berhiaskan kaca patri seperti yang terdapat pada bangunan hunian di Menteng. Pintu utama pada bangunan hunian Taman Kencana umumnya berbentuk pintu lipat yang berdaun ganda dan berlapis dua. Lapisan luarnya adalah kayu jati dan lapisan dalamnya adalah panil kaca. Secara umum bentuk dasar pintu rumah Menteng dan Taman Kencana hampir sama, namun tidak terdapat pintu yang menggunakan kaca patri pada rumah Taman Kencana.

(14)

Jendela-jendela pada pada bangunan Eropa biasanya tidak memiliki daun jendela dan bentuknya tidak selalu menyudut. Sementara itu jendela pada rumah tradisional Jawa biasanya memiliki jendela yang berdaun dan memiliki lubang ventilasi atau yang biasa disebut jalusi. Sementara itu pada bangunan hunian di Menteng jendela-jendelanya biasanya berhiaskan kaca patri.

Pada bangunan hunian Taman Kencana hampir semua rumah memiliki bentuk jendela yang serupa, yaitu jendela berdaun ganda atau berdaun tiga dan pada satu ruasnya memiliki dua bagian yang berbeda. Satu bagian dilapisi oleh panil kaca dan bagian lainnya adalah jalusi sebagai lubang-lubang ventilasi. Semua jendela di rumah-rumah Taman Kencana dapat dibuka ke arah depan. Jendela-jendela pada bangunan hunian Taman Kencana memiliki kesamaan dengan jendela pada bangunan rumah tradisional Jawa. Jendela-jendela di Taman Kencana juga mirip dengan jendela-jendela pada beberapa rumah di Menteng

Ornamen

Lubang angin pada dinding bagian atas adalah salah satu ornamen mutlak pada setiap rumah hunian di Menteng. Pada bangunan hunian di Menteng terdapat dua cara pembuatan lubang angin, cara pertama adalah dengan beton cetakan khusus yang berlubang-lubang kecil, dan yang kedua adalah membuat lubang angin dengan mengisi dinding dengan memasang sirip atau balok beton yang berprofil pada permukaan dinding (Heuken, 2001: 109).

Pada lubang-lubang angin di bagian atas dinding bagunan hunian Taman Kencana, ditemukan beberapa rumah yang bentuk lubang anginnya menyerupai lubang-lubang angin yang terdapat pada rumah-rumah di Menteng. Lubang angin biasanya terletak di bagian atas dinding rumah dan disusun sejajar.

Namun terdapat juga bentuk lubang angin yang berbeda dengan rumah-rumah hunian di Menteng, walaupun diletakkan pada tempat yang sama yaitu bagian atas dinding.

Teras

Teras bukan merupakan bagian dari gaya bangunan Eropa, karena pada dasarnya bangunan rumah mereka tidak mengenal teras yang memiliki atap. Tetapi bagi elite Kolonial di Batavia, mereka mengenal telundak, telundak atau teras yang luas adalah tempat untuk mereka berkumpul, bersantai, menghisap rokok, dan kegiatan lainnya. Telundak tersebut bukan hanya sekedar bagian dari bangunan, tetapi juga memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai penghubung antar tetangga yang mempunyai arti sosial penting. Pada masanya kemudian,

(15)

telundak-telundak itu kemudian diberi bangku sebagai tempat duduk-duduk, dan seringkali bangku itu dibuat permanen dengan semen sebagai kelanjutan tradisi bangku-bangku yang sebelumnya terbuat dari kayu ketika bangunan rumah masih terbuat dari kayu (Soekiman, 2011: 76-77).

Pada rumah tradisional Jawa Barat, mereka mengenal istilah balandongan yang mempunyai fungsi kurang lebih sama dengan teras. Namun pada rumah tradisional Jawa Barat dan keperuntukannya pada masa lalu, fungsi balandongan ini menjadi lebih spesifik karena teras menjadi tempat menerima tamu laki-laki dan tamu perempuan ditempatkan di dalam rumah.

Sementara itu di rumah-rumah Menteng memiliki teras yang relatif berbeda dengan teras Taman Kencana, teras-teras di Menteng bentuknya banyak yang menyerupai ‘lobby’ suatu rumah, berbeda dengan Taman Kencana yang pada awalnya diperuntukkan sebagai tempat untuk menambah estetika rumah, seperti untuk menaruh pot-pot tanaman.

Pada teras rumah di Taman Kencana, hampir semuanya memiliki atap, baik atap tambahan maupun atap yang memanjang dari badan bangunan. Pada teras-teras tersebut biasanya terdapat tiang-tiang penyangga dan semua teras di bangunan hunian Taman Kencana berbentuk menyerupai persegi panjang dan terasnya menyatu dengan dinding depan rumah. Setiap teras di rumah-rumah Taman Kencana juga sudah terbuat dari bata dan dapat dibuat sebagai tempat duduk. Pada bagian luar tembok teras di beberapa rumah juga dilapisi lempengan-lempengan batu kali berwarna hitam sebagai hiasan dan penambah kesan alami.

Pada masanya yang sekarang, teras-teras pada rumah-rumah Taman Kencana biasanya dijadikan sebagai tempat penghuni untuk sekedar duduk bersantai atau tempat menerima tamu yang datang. Hal ini ditunjukan dengan seringnya terdapat meja dan kursi-kursi yang diletakkan di teras-teras rumah tersebut.

Selain itu, salah satu unsur tampak depan lainnya adalah dinding depan itu sendiri. Terdapat ciri bangunan Indis yang sangat khas yaitu hiasan lempengan batu yang menempel pada dinding bagian depan rumah. Dalam hal hiasan dinding ini, rumah-rumah Taman Kencana dan rumah Menteng memiliki kesamaan di mana sama-sama terdapat hiasan ini.

(16)

Kesimpulan

Secara garis besar Rumah tipe Taman Kencana adalah rumah yang memiliki dua bagian bangunan yaitu bangunan induk dan bangunan servis. Rumah Taman Kencana memiliki atap limasan dengan genteng berwarna coklat yang memiliki pintu utama terbuat dari kayu jati, dinding-dinding rumah Taman Kencana juga memiliki ornamen berupa lubang angin yang berbentuk persegi panjang sejajar atau berbentuk persegi yang juga disusun sejajar. Setiap rumah Taman Kencana memiliki teras yang berbentuk seperti tembok pembatas yang tingginya antara 60 – 80 cm. Teras rumah Taman Kencana selalu menyatu dengan dinding depan rumah, dan selalu memiliki atap yang juga menempel pada bagian dinding depan rumah. Teras rumah Taman kencana berbentuk simetris menyerupai persegi panjang dan pada bagian luarnya dilapisi oleh lempengan-lempengan batu kali berwarna hitam.

Pada rumah Taman Kencana yang lahannya berukuran ± 500 m2 terdapat banyak kesamaan pola tata letak ruang dengan rumah-rumah Menteng yang bertipe Tosari, Sumenep, ataupun tipe Madura. Namun tetap terdapat beberapa perbedaan seperti pada teras, atap, dan ornamen-ornamennya. Pada rumah Taman Kencana tidak terdapat ornamen-ornamen khas yang menunjuk dengan jelas apakah rumah tersebut art deco atau art nouvou, berbeda dengan beberapa rumah di Menteng yang masih menunjukan elemen atau ornamen khas gaya bangunan tersebut.

Selain itu pada rumah-rumah Taman Kencana yang memiliki lahan yang lebih besar, bentuk rumahnya sudah berbeda dengan dengan rumah-rumah Menteng yang berukuran kurang lebih sama. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa rumah-rumah Taman Kencana memiliki ciri-ciri tersendiri yang pada kemudian hari dapat disebut dengan rumah ‘tipe Taman Kencana’.

Saran

Penelitian mengenai Taman Kencana masih dapat dikaji lebih dalam. Masih banyak kajian arkeologi yang bisa ditemukan, tentu saja penelitian dikaitkan dengan aspek-aspek disiplin ilmu lainnya. Dengan hasil penilitian ini diharapkan salah satu peninggalan bersejarah di kota Bogor bisa dilestarikan dan dijaga baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat umum.

(17)

Daftar Referensi

Abu, Rifai. (peny). (1998). Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Busono, Tjahyani., dan Erna Krisnanto. (2008). Modul Dasar-Dasar Menggambar Bangunan. Bandung: Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur Fakultas Teknologi & Kejuruan Universitas Pendidikan Indonesia.

Ching, Francis DK. (1994). A Visual Dictionary of Architecture. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Dakung, Sugiarto. (peny). (1998). Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Jogjakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Deetz, James. (1967). Invitation to Archaeology.New York: Garden City

Frick, Heinz. (1984). Rumah Sederhana: Kebijaksanaan Perencanaan dan Konstruksi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Gosden, Chris. (2004). Archaeology and Colonialism: cultural contract from 5000 BC to the

present. United Kingdom: Cambridge University Press

Heuken SJ, Adolf dan Pamungkas, ST, Grace. (2001). Menteng ‘Kota Taman’ Pertama di Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Heuken SJ, Adolf. (1997). Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Krier, Rob. (1988). Architectural Composition. New York: Rizzoli

Lombard, Denys. (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lombard, Denys. (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

(18)

Perret, Daniel. (2010). Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Rini, Mira Puspita. (2012). Dinamika Kesehatan Penduduk Bogor 1905-1942. Semarang: Universitas Diponegoro.

Roosmalen, Pauline K.M van. (2011). “Designing colonial cities: the making of modern town

in the Dutch East Indische and Indonesia 1905-1950.” Netherland: Delft University of

Technology.

Santana K, Septiawan. (2010). Menulis Ilmiah: Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Snyder, James C., dan Anthony J. Catanese. (1991). Pengantar Arsitektur: Asal Mula

Arsitektur. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Soekiman.Djoko.(2000). Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII– Medio Abad XX) . Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Soekiman, Djoko. (2011). Kebudyaan Indis dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi. Depok: Komunitas Bambu.

Referensi

Dokumen terkait

7 Osnovne trditve: • konfliktne situacije so v podjetjih neizogibne • konfliktne situacije so nujne za delovanje podjetja • na nastanek konfliktov vpliva organizacija sama,

Pertanyaan ini pastinya akan sering muncul ketika Anda tengah menjalani sesi wawancara Pertanyaan ini pastinya akan sering muncul ketika Anda tengah menjalani sesi wawancara kerja.

Jika hasilnya menolak hipotesis adanya unit root , berarti pada tingkat first difference , series sudah stationary atau dengan kata lain semua series terintegrasi pada orde

Mengetahui pengaruh perkembangan rasio likuiditas, rasio profitabilitas dan keputusan investasi (dilihat dari sudut investor) pada perusahaan sektor pertambangan yang

Menimbang, bahwa guna memenuhi ketentuan Pasal 82 ayat (4) Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan

Sedangkan anggotanya adalah sebagai berikut : Asisten Perekonomian dan Pembangunan setda KABUPATEN PASURUAN, Dinas Kesehatan KABUPATEN PASURUAN, Dinas Cipta Karya

Untuk menjaga tubuh tetap dalam kondisi yang baik saat berpuasa, orang perlu asupan makanan dan minuman yang cukup agar imunitas tubuh tetap terjaga.. Menurut Ketua Departemen Ilmu