• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEJARAH HUKUM"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN Perlunya Mempelajari Sejarah Hukum

Sebagai suatu disiplin ilmu, sejarah hukum tergolong pegetahuan yang masih muda dan belum banyak dikenal bahkan dikalangan fakar hukum sendiri sehingga pertumbuhan dan perkembangannya belum menggembirakan. Hal ini mungkin sekali disebabkan oleh belum disadarinya betapa pentingnya disiplin ilmu baru ini dalam menunjang dan memahami ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum positif.

Menurut John Gillisen dan Frist Gorlé, terdapat manfaat yang besar dalam mempelajari sejarah hukum dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak (Hukum Belgia,

Hukum Amerika, Hukum Indonesia, dan sebagainya), malainkan juga dalam lintasan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil, yakni bentuk-bentuk penampakan diri norma-norma hukum, maupun isi norma-norma hukum itu sendiri (sumber-sumber hukum materiil).

2. Norma-norma hukum dewasa ini sering kali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum.

3. Sedikit banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya merupakan suatu pegangan penting bagi yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata hukum.

4. Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi manusia terhadap perbuatan semena-mena bahwa hukum diletakan dalam perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai sesuatu gejala histories.

Objek dan Tujuan Sejarah Hukum

Sejarah hukum merupakan bagian dari sejarah umum. Sejarah menyajikan dalam bentuk sinopsis suatu keterpaduan seluruh aspek kemasyarakatan dari abab ke abad, yakni sejak untuk pertama kali tersedia informasi sampai masa kini..

(2)

Sebagai ilmu pengetahuan, sejarah hukum tergolong ilmu pengetahuan sosial atau ilmu pengetahuan kemanusiaan (humaniora), yang memunyai kesamaan dengan ilmu pengetahuan alam, yakni semua adalah empiris, artinya bertumpu pada pengamatan dan pengalaman suatu aspek tertentu dari kenyataan.

Sejarah dan Sejarah Hukum

Sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, sedangkan sejarah hukum merupakan satu aspek tertentu dari hal itu, yakni hukum. Apa yang berlaku untuk seluruh, betapapun juga berlaku untuk bagian, serta maksud dan tujuan sejarah hukum mau tidak mau akhirnya adalah menentukan juga dalil-dalil atau hukum-hukum perkembangan kemasyarakatan.

Sudah barang tentu bahwa sejarawan hukum harus memberikan sumbangsihnya kepada penulisan sejarah secara terpadu. Bahkan sumbangsih tersebut teramat penting, mengingat peran besar yang dimainkan oleh hukum di dalam perkembangan pergaulan hidup manusia. Hal tersebut integral dalam pengertian bahwa ia tidak dapat diwujudkan dengan memisahkan hukum dari gejala-gejala kemasyakatan lainnya, yang antra hal-hal tersebut dengan hukum dapat ditelusuri keterkaitannya. Historitas Hukum

a. Visi Idealitas-Spiritualistis

Hukum itu sebagai suatu perwujudan satu atau lain gagasan absolut, maka apapun asal atau isi gagasan yang kita kemukakan, bagaimanapun kita akan lebih cendrung dan bermuara pada suatu pandangan hukum yang lebih statis dari pada yang dinamis. Memang benar bahwa dalam hipotesis tersebut berbagai bentuk perwujudan hukum yang muncul secara berturut-turut satu sesudah yang lain sebagai pencerminan gagasan hukum absolut yang tiak sempurna, dan pada hakikatnya cendrung a-priori tidak berubah dan karenanya a-historis. Bentuk-bentuk perwujudan yang timbul secara berturut-turut satu sesudah yang lain dapat diuraikan sesuai dengan tertib urut kronologis, tetapi keterkaitan yang satu dengan yang lain tidak dilihat

(3)

dalam perspektif kronologis linear melainkan dalam perimbangan terhadap gagasan absolut tersebut. Berdasarkan titik tolak yang demikian, pada hakikatnya hanya sedikit sekali mengarah seperti yang dimaksudkan dalam sejarah hukum.

b. Visi Matrealistis-Sosialogis

Hukum tidak dianggap sebagai perwujudan ide, seperti keadilan rasio, dan lain-lain, melankan sebagai produk kenyataan masyarakat atau realitas masyarakat, maka pandangan hukum statis beralih tempat dan berubah oleh hal yang dinamis, yang pada hakekatnya lebih rentan terhadap suatu pendekatan histories. Selama hukum itu dipandang sebagai suatu produk rasio, yang per definisinya dimana-mana dan senantiasa identik, maka selama itu pula kita tidak dapat menemukan suatu klarifikasi yang memadai bagi besarnya keanekaragaman norma-norma hukum. Dalam aliran ini, yang paling banyak sumbangsihnya bagi pembentukan hukum dinamis adalah mazhab histories dan marxisme.

John Gillisen dan Frist Gorlé, bertitik tolak dengan memilih pandangan hukum sosialogis, artinya suatu yang dalam hukum tidak bertujuan melihat perwujudan tersebut dari satu atau lain asas tersebut, melainkan menengok suatu produk kenyataan dalam kemasyarakatan. Dengan cara ini visi-visi matrealistis dan spiritualistis sepertinya dapat diperdamaikan satu dengan yang lainnya. Didalam batas-batas yang dimungkinkan oleh situasi kehidupan materiil untuk dapat melaksanakan (karenanya ada kemandirian relative ini), maka hal tersebut memainkan suatu peranan spesifik yang perlu kita teliti.

(4)

BAB I

PEMBENTUKAN DAN EVOLUSI TATANAN-TATANAN HUKUM TERPENTING I. Terbentuknya Hukum

Jika hukum adalah produk kenyataan masyarakat, bagaimana hal itu terbentuk. Hal ini sangat sulit untuk ditentukan, oleh karena pengetahuan kepurbakalaan, etnologi hukum, dan sebagainya menunjukan bahwa pada kebanyakan bangsa-bangsa primitif di jaman purba kala pun pada saat belum ada aksara telah dikenal norma-norma prilaku yang berkaitan dengan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan yang berangsur-angsur menjelma menjadi norma hukum yang sesungguhnya. Penelitian tatanan-tatanan hukum primitif tuna kasara dan tatanan-tatanan hukum yang lebih maju menunjukan bahwa sumber hukum primer adalah kebiasaan (hukum).

A. Kebiasaan Hukum

Disemua pergaulan hidup nampaknya suasana kehidupan menyebabkan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan. Dalam arti yang umum kebiasaan tersebut tidak lain adalah suatu perbuatan maupun penahanan diri berbuat sesuatu secara teratur oleh individu atau sekelompok manusia. Semenara itu, untuk dapat dikatakan kebiasaan hukum harus memenuhi sejumlah persyaratan : (1) kebiasaan itu tidak boleh merupakan kebiasaan individual, melainkan suatu kebiasaan kemasyarakatan; (2) kebiasaan itu harus menyangkut suatu perbuatan (komisi) atau penahanan diri (omnisi), yang di dalam kehidupan bermasyarakat meluangkan berbagai (setidak-tidaknya dua) kemungkinan; (3) kehidupan (kebiasaan) ini harus dialami oleh masyarakat sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat ; dan (4) kebiasaan tersebut harus dikukuhkan oleh penguasa umum.

B. Penguasa Umum atau Negara

Untuk membuat suatu kebiasaan kemasyarakatan menjadi sebuah norma hukum diperlukan perantaraan penguasa. Tidak dapat disangkal bahwa dewasa ini penguasa umum muncul kepermukaan dalam bentuk

(5)

negara. Antara pemegang kekuasaan dan anggota-anggota kelompok ini terjadi sejumlah perimbangan, dimana kedua belah pihak tersebut masing-masing mengupayakan hal ini oleh situasi dan kondisi materiil serta melalui keadaan di dalam kelompok itu sendiri memenangkan kepentingan-kepentingan dan pandangan-pandangan tertentu.

 Sinergi Penguasa dan Masyarakat

Satu hal yang sudah pasti agar perimbangan penguasa masyarakat dapat mencapai suatu derajat kelanggengan tertentu maka keduanya harus membentuk sebuah sinergi yang mengasumsikan adanya suatu minimum kepentingan bersama.

 Berakhirnya Eigenrichting (Tindakan Main Hakim Sendiri)

Kepentingan penguasa umum untuk mempertahankan diri, baik untuk dirinya sendiri maupun bagi kelompoknya dalam hubungan dengan dunia luar dilakukan melalui upaya mencegah terjadinya sengketa antara para anggota kelompok satu sama lain atau jika perlu, mengusahakan sekeras mungkin penyelesaian perselisihan yang terjadi secara damai.

Sarana dan prasarana yang diperlukan dalam menanggulangi sengketa tersebut yaitu : (1) pembasan yang kemudian disusul dengan larangan sepenuhnya terhadap tindakan main hakim sendiri; (2) pengukuhan dan bertanggungjawan atas celaan sosial atau sanksi yang dikenakan karena tidak memenuhi kebiasan-kebiasan tertentu; (3) menyusun dan menyeimbangkan kebijakan, prosedur dan/atau badan-badan yang membuat aturan dan peraturan untuk menyelesaiakan perselisihan-perselisihan.

II. Aturan Pengakuan dari Hart

Pengukuhan kebiasaan-kebiasaan merupakan gejala yang oleh ahli filsafat hukum Inggris, Hart, disebut “aturan pengukuhan” (rule of recognition).

(6)

Pada awalnya suasana hukum meliputi semata-mata hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan, yang mempunyai arti yang fundamental bagi keterikatan dan keterpaduan kelompok; perbuatan-perbuatan melawan hukum seperti pembunuhan, pencurian dan lain-lain. Perbuatan-perbutan demikian tidak secara langsung dilarang sebagaimana mestinya. Namun penguasa melarang tindakan main hakim sendiri sehubungan dengan persengketaan yang terjadi, karenanya dan dikukuhkan, atau membuat aturan-aturan serta menetapkan tarif-tarif untuk mempermudah (composition) penyelesaian perselisihan secara damai antara para pihak yang bersengketa. Demikian pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara anggota kelompok dan kekuasaan umum perlu dituang dalam peraturan atau cara lain. Ketentuan-ketentuan tersebut, baik larangan langsung atau tdak langsung maupun berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap penguasa merupakan norma-norma hukum yang mengandung sebuah perikatan. Yang menjadi dasar aturan-aturan seperti itu adalah hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan yang ditandai dan diwarnai kepentingan-kepentingan timbal balik yang harus ditakar satu dengan lainnya.

Derajat saling mempengaruhi secara timbal balik yang terjadi antara kebiasaan-kebiasan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dan aturan-aturan hukum yang dibuat penguasa sangat bergantung pada perimbangan-perimbangan kekuatan yang ada antara berbagai kelompok masyarakat dan penguasa.

B. Keadilan,Keseimbangan,dan Kepastian Hukum (Pembagian lebih lanjut atutarn-aturan menurut Hart)

Hart menamakan norma-norma dengan “aturan-aturan hukum primer” dan “aturan-aturan sekunder”. Norma-norma tersebut telah menjawab atau merespon yang oleh Redbruch dianggap sebagai komponen ide hukum, yakni keadilan dengan asas keseimbangan dan kepastian hukum. Ide hukum tentang keadilan, keseimbangan, dan kepastian hukum digunakan di dalam masyarakat yang lebih maju dalam menciptakan peraturan-peaturan bidang pergaulan hidup yang mendasari penggunaan hukum sebagai

(7)

sarana bukan saja untuk menertibkan masyarakat tetapi juga untuk mengubahnya atau mengarahkannya kesuatu jalur evolusi tertentu.

BAB II

TATANAN HUKUM PRIMITIF MENUJU HUKUM MODERN I. Titik Tolak : Pra Sejarah Hukum dan Sejarah Hukum

Sejak terjadinya hukum, maka dalam benihnya dapat dikatakan telah ada hampir seluruh komponen, yang berlangsung berabad-abad untuk kemudian menghasilkan tatanan hukum modern masa kini. Konsensus yang terjadi antara yang memerintah dan yang diperintah, bertumpu pada suatu gagasan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban yang dapat dijadikan dasar keadilan.

Pengakuan, pengukuhan, dan pemberian sanksi kebiasaan oleh penguasa dengan serta-merta menujukan bahwa atas inisiatif sendiri ia juga dapat mengeluarkan larangan dan perintah. Inilah awal dari perundang-undangan. Juga telah ada peradilan, yang di dalamnya seringkali putusan-putusan yang diambil oleh pejabat-pejabat atau badan-badan peradilan diberlakukan sebagai preseden-preseden untuk waktu yang akan datang. A. Tatanan-tatanan Hukum Primitif

Pada umumnya semua bangsa pernah mengalami evolusi hukum selama berabad-abad sebelum periode mereka mempergunakan aksara. Perbedaan antara pra sejarah hukum dan sejarah hukum pada hakikatnya terletak pada perbedaan antara bangsa tuna aksara dan bangsa-bangsa beraksara. Dengan demikian aksara ini dapat dikatakan merupakan faktor kebuyaan terpenting yang menentukan pengevolusian hukum. Sementara periode peralihan pra sejarah hukum ke sejarah hukum berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Misalnya antara lain : bangsa Mesir peralihan tersebut terjadi sekitar abad ke- 28 dan 27 SM, bangsa Romawi antara abag ke- 5 dan 6 SM, bangsa Germania pada ke-5 sesudah Masehi.

(8)

Karakteristik umum tatanan hukum bangsa-bangsa tuna aksara sebagai berikut : (1) tidak tertulis; (2) tidak ada hukum kebiasaan primitif umum; (3) setiap kelompok sosial mempunyai hukum kebiasaan masing-masing; (4) hukum dan agama belum mempunyai perbedaan sistem norma yang jelas; (5) Agama mempunyai peranan besar dalam tatanan hukum primitif.

Aturan-aturan hukum primitf merupakan pengungkapan yuridis hubungan-hubungan kemasyarakatan. Hal-hal tersebut terbentuk dengan makin berkembanya hubungan sebagai berikut : (1) hubungan-hubungan keluarga; (2) hubungan-hubungan kelompok keluarga; (3) hubungan-hubungan bangsa; (4) penguasaan benda-benda bergerak; dan ( 5) hubungan kelas-kelas dalam masyarakat.

B. Tatatan Hukum Arkais

Melalui penemuan aksara perkembangan yuridis mengalami kemajuan. Pra sejarah hukum telah lewat dan sejarah hukum antik muncul kepermukaan. Awal dari periode ini sekitar tiga puluh abad Sebelum Masehi. Peradaban-peradaban daerah perkotaan yang berasal dari abad ke- 40 dan 30 SM menampakan diri di tiga kawasan besar, yaitu : (i) Mesir, di delta sungai Nil; (ii) Mesopotamia, di lembag sungai Tigris dan Eufrat; dan (iii) lembah sungai Indus dengan kota-kota Harappa, Amri, Mahenjo-Daro, dan lain-lain. Kota-kota tersebut mempunyai pemerintahan sendiri dan yang terpenting adalah seni tulis menulis telah ada seperti hierogrif di Mesir, tulisan paku di Mesopotamia, dan huruf-huruf brahmi dan kharasti di India. Atas dasar peluang untuk mencatat aturan-aturan hukum ini, maka terjadilah tatanan-tatanan hukum, yang disebut Arkaistis.

(1) Hukum Mesir

Selama hampir 40 abad lamanya, perkembangan hukum di Mesir mengalami periode-periode pasang surut, yang kira-kira berlangsung bersamaan dengan fluktuasi-fluktuasi besar kekuasan-kekuasan raja-raja Mesir, para Fira’un. Sampai tiga kali sejarah Mesir telah berevolusi dari suatu tatanan feodal patriakhat ke kekuasan tokratis yang sentralistis dan

(9)

seiring melemahnya kekuasan tersebut, kembali ke tatanan neo-feodal. Di bawah tatanan feodal yang disebut “leenstelsel”, tanah sesuai kebutuhan diberikan sebagai pinjaman, persetujuan peminjaman tanah ini dibuat di bawah sumpah dan perempuan berada dalam situasi hina dina. Keturunan melalui garis ibu dan endogami, mengijinkan perkawinan antara kakak dan adik perempuan yang merupakan ciri-ciri khas hukum keluarga Mesir kuno

Nampaknya orang-orang Mesir tidak meninggalkan peraturan perundang-undangan atau kitab-kitab undang-undang (kodifikasi), setidak-tidaknya belum ditemukan hal-hal seperti itu. Meskipun demikian, banyak sekali ditemukan pengumuman dan pemberitahuan tentang undang-undang tersebut, yang pada hakekatnya telah pernah ditulis sebelumnya, tetapi karena dalam periode-periode pemberontakan kesemuanya itu telah dibuang atau dihancurkan. Pada sisi lain dikenal “pelajaran-pelajaran dan buku-buku kepintaran” yang di dalamnya dijumpai asas-asas tentang hukum yang bertujuan melindungi barang dan orang dalam pergaulan hidup.

(2) Hukum Babilonia : Zaman Hamurabi

Di Babilonia, sebelum kodeks Hamurabi, juga terdapat kodeks lain, yaitu : (i) kodeks Urnami, sekitar tahun 2040 SM; (ii) kodeks Esinunna, sekitar tahun 1930 SM disebuah kerajaan Akadia. Kodeks inimempunyai 60 Pasal; (iii) kodeks Lipitisitar, yang ditulis sekitar tahun 1880 SM dan mempunyai 37 Pasal. Dibandingkan dengan kodeks-kodeks yang tersebut, kodeks Hamurabi merupakan “kitab undang-undang yang terpenting dan terbesar” yang terdiri dari 282 Pasal. Untuk pertama kali dalam sejarah hukum telah ditetapkan sederet asas-asas seperti hak milik (eigendom) yang sangat individualistik, sewa bawaan (onderhuur), dan juga perbutan melawan hukum (onrechtmatig daag). Hukum pidana dalam kodeks Hamurabi terkenal kejam seperti hukuman mati, pemblasan dendam, pengundungan tangan, jari dan lain-lain.

(3) Hukum Hindu

(10)

besar. Kesatuan dan persatuan yang tidak dapat dipungkiri yang diperlihatkan oleh hukum Hindu tradisionil disebabkan oleh faham Brahmanisme. Adapun Brahmanisme ini bukan saja menganut hukum bahwa manusia itu tidak sama satu dengan yang lain, tetapi juga membagi-bagi umat manusia dalam kasta-kasta. Untuk setiap kasta tersedia hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing.

Kasta-kasta tersebut dibagi dalam kelompok-kelompok keluarga patriarchal dengan kekuasaan seumur hidup dari kakek tertua atas perempuan-perempuan, anak-anak, dan budak-budak. Beberapa contoh hukum Hindu tentang keluarga antara lain : kewajiban janda untuk melanjutkan perkawinan denga kakak laki-laki dari almarhum suaminya (leviraatshuweklyk) atau “kawin ipar”, atau mengikuti suaminya dalam kematian; menyerahkan anak-anak laki-laki dari anak perempuannya kepada ayah yang tidak mempunyai anak laki-laki; harta milik bersama keluarga dengan mengecualikan anak-anak perempuan.

Hukum Hindu adalah tatanan hukum yang diwahyukan sekaligus hukum ini suatu tatanan yang bertumpu pada asas-asas umum tentang ketidaksamaan manusia, tatanan kasta. Apa yang paling dekat persamaannya dengan pengertian penulis tentang hukum adalah yang disebut “darma”, “kewajiban”. Jadi, darma adalah keseluruhan aturan hidup, yang harus diataati oleh manusia karena setatusnya dalam masyarakat. Tujuan darma adalah tujuan esensiil masyarakat; hal ini harus memberikan peluang kepada setiap kasta untuk memenuhi kewajibanya.

Sumber-sumber darma terdiri atas :

(1) Kitab suci Weda, yang pada hakikatnya mempunyai dua pengertian, yakni pengetahuan pada satu sisi dan pada sisi lain naskah-nahkah suci, yang di dalamnya dicatat apa yang diwahyukan;

(2)smr’ti atau tradisi sebenarnya berarti “ingatan”, diantaranya yang paling terkenal manusmr’ti (ingatan Manu), yang disebut kodeks Manu. Kodeks Manu ini meliputi 12 buku dan kurang lebih 5400 ayat. Kodeks ini juga merupakan pembagian secara metodis pertama kedalam cabang-cabang hukum (hukum keluarga, huku perikatan, dan hukum pidana), malahan ditinjau dari isinya menunjukan tentang adanya kematangan pemikiran

(11)

yuridis yang sangat maju. Misalnya nuansa perkembangan di dalam pembagian tahap-tahan persetujuan, cacat-cacat dalam pemberian persetujuan, dasar-dasar tanggung jawab hukum, title-titel daluarsa akuisitif, dan lain-lain.

(3) Kebiasaan, hal ini dipandang oleh penganut Hindu sebagai sumber hukum. Bahkan dalam kenyataanya, kebiasaan menjadi sumber hukum terpenting hukum positif Hindu, karena ia menambahkan dan melengkapi peraturan-peraturan yang dijabarkan dari kitab-kitab suci.

II. Tatanan Hukum Maju atau Mapan

Ciri umum tatanan hukum maju atau mapan mempunyai kesamaan bahwa mereka adalah tatanan-tatanan hukum dunia sekuler, yang di dalamnya penyelenggaraan hukum berlandaskan jalan pikiran rasional, di mana hukum telah mencapai suatu derajat kompleksitas, abstraksi, dan sitematisasi dengan akibat bahwa hal ini merupakan subjek studi dan dilaksanakan oleh para spesialis yang khusus didik untuk itu.

Sekularitas hukum tersebut, bertumpu pada pengembalian penguasaan keagamanaan ke dalam suasananya sendiri, yakni bidang keagamaan dan kedua pengeluaran unsure-unsur irasionil dalam hukum, misalnya dalam hukum pembuktian. Sementara ciri rasional, sitematisasi, dan abstraksi pada hakikatnya merupakan sebab dan akibat suatu ciri khas yang terakhir dari tatanan hukum modern. profesionalisme dan pengilmiahan (verwissenschaftlichung).

(12)

BAB III

FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PERKEMBANGAN HUKUM

Hukum merupakan suatu produk hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan, maka di dalam proses penciptaan dan perkembangannya ia ditentukan oleh sejumlah aspek hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan tersebut. Tidak mudah untuk menelusuri dan menetapkan sumbangsih beberapa faktor yang benar-benar berperan dalam penciptaan dan perkembangan huku karena faktor-faktor tersebut tampil ke permukaan dalam beraneka ragam sifat dan bentuk. Beberapa diantanya yang paling penting, yaitu :

I. Faktor-faktor politik

Faktor-faktor politik terutama meliputi : (1) adanya penguasa; (2) penguasa agama; (3) tradisi imperial; (4) kekuasaan tersentralisasi; (5) bentuk-bentuk kekuasaan.

II. Faktor-faktor ekonomi

Menurut Marx dan Engels bahwa factor ekonomis mempunyai pengaruh absolute atas perkembangan kemasyarakatan. Akibatnya, hukum sebagian besar ditentukan oleh ekonomi.

III. Faktor-faktor Agama dan Idiologi

Pencampuran antara aturan-aturan agama dan masyarakat dalam satu sisi, dan kekuasaan-kekuasaan kerohanian dan keduniawian pada sisi lain menunjukan mengapa agama juga dipandang sebagai factor penting evolusi hukum, dimana

IV. Faktor-faktor Kultural

Faktor-faktor kultural ini tidak hanya penting bagi penghalusan teknik hukum yang semakin meningkat, tetapi juga berpengaruh secara

(13)

berkelanjutan terhadap pandangan-pandangan yang dianut dalam pergaulan kemasyarakatan. Faktor kultural tersebut antara lain :

(1) Aksara, yakni terciptanya seni tulis-menulis. Dimana hukum pada hakikatnya hanya dapat hidup mandiri dan berkembang menjadi ilmu pengetahuan bilama orang-orang dapat membaca dan menulis.

(2) Resepsi, yakni pengambilalihan oleh suatu kelompok hasil-hasil perolehan budaya kelompok lain.

(3) Aliran-aliran budaya besar, seperti Helenisme pada zaman dahulu (oudheid), Renaisans Karolingis pada awal abad pertengahan, dan pada akhir abad pertengan meliputi : (i) Aristotelisme Kristen (ii) Renaisans, yakni aliran budaya yang telah menggunakan pengaruhnya atas semua bidang kegiatan manusia, baik terhadap seni, ilmu pengetahuan, literature, politik dan lain-lain; (ii) Era pencerahan yang merupakan aliran kejiwaan yang mendominasi pada abad XVIII; (iii) Mazhab Romantik, seperti dalam historiche rechtschule dijumpai beberapa aliran namun mazhab romantik yang diwujudkan oleh von Savigny yang mengandalkan hukum Romawi keluar sebagi pemenang; (iv) Psoitivisme, aliran yang lahir bagian ke-2 abad XIX dan mempunyai pengaruh yang besar sampai sekarang; dan (8) Marxisme dan leninisme merupakan aliran yang diformulasi pada abad XIX oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, dalam karya seperti Das Capital sementara Lenin memberikan isi yang lain terhadap pengerian “dictator proletariat” Karl Marx.

(14)

BAB IV

TATANAN HUKUM DI DUNIA MASA KINI 1. Tatanan-tatanan Hukum Tuna Aksara

Meskipun tatanan hukum tuna aksara ini mencerminkan suatu stadium primitif perkembangan hukum, nampaknya hal-hal ini masih di jumpai di dunia masa kini. Misalnya di sejumlah daerah Afrika, Australia, Brazil, dan tempat-tempat lain. Pada umumnya tatanan hukum tersebut tidak lagi merupakan bentuk-bentuk primitif karena telah mengalami suatu evolusi panjang yang bagaimanapun juga seringkali menuntut tatanan hukum yang lebih maju, namun demikian asas-asas primitif tetap tidak mempunyai kesamaan dengan pandangan hukum yang maju.

2. Tatanan Hukum Tradisonal

Tatanan hukum tradisional merupakan tatanan-tatanan yang dijumpai masa kini namun unsur-unsur fundamental diturunkan dari sumber-sumber agama atau filsafat, yang asal-unsulnya membentang kebelakang hingga zaman dahulu, seperti hukum Iberani, hukum Hindu, hukum Cina, hukum Jepang, hukum Islam.

3. Tatanan Hukum Modern

Tatanan hukum modern masa kini merupakan tatanan hukum yang keluar dari sumber tradisi kultural Erofa, yakni tatanan hukum Erofa kontinental maupun tatanan hukum Anglo-Amerika (Common Law). Tatanan hukum hukum Erofa kontinental merupakan suatu kelompok tatanan hukum yang seringkali disebut “romanistis-germanitis”, oleh karena campuran unsur-unsur hukum Romawi dan unsure-unsur dari hukum Germana, terutama Jerman. Orang-orang Ingris menamakannya Civil Law (satu dan lain hal karena pengaruh hukum Romawi dahulu, yakni Corpus Juris Civilis

(15)

berkembang di Inggris sejak bagian terakhir abad pertengahan, dari peradilan, dalam hal ini pengadilan-pengadilan raja. Oleh sebab itu common law asli pun pertama-tama adalah “judge made law”, artinya suatu tatanan hukum yang terutama tidak bertumpu pada aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh pembuat undang-undang.

4. Hukum Iberani

Hukum Iberani adalah ciri khas sebuah hukum agama, ia tidak mengenal perbedaan antara asas-asas agama dan asas-asas yuridis. Sumber hukum Iberani ditemukan di dalam kitab suci, yaitu : (1) Alkitab atau Bible, yakni kitab suci yang mengandung “undang-undang” yang diwahyukan Allah kepada hamba-Nya; (2) Misyna dan Gemara, yaitu

Misyna merupakan himpunan pendapat para Rabi sedangkan Gemara

merupakan glossen (cacatan-catatan) dari ulasan-ulasan dari Misyna; (3) Talmud merupakan berkas Misyna dan Gemara yang dijadikan satu.

5. Hukum Yunani

Hukum Yunani merupakan salah satu sumber-sumber sejarah terpenting bagi tatanan-tatanan hukum modern Erofa. Sejarah Hukum Yunani dapat dibagi dalam periode-periode berikut : (1) Peradaban Kreta

dan Peradaban Mykene; (2) periode gen (clan, generasi persekutuan local); (3) Periode poleis (negara kota), terbentuk melalui pengelompokan-pengelompokan suku-suku di bawah pimpinan salah seorang kepala suku; (4) periode abad-abad VIII dan VI SM, diantara beberapa Negara kota terbentuk suatu tatanan demokrasi, seperti Athena. Sumber histories Hukum Yunani berupa Gortyn, yaitu suatu inskripsi piagam yang berasal dari abad 480-460 SM dan mengandung sejumlah aturan-aturan hukum privat. Di dalam Negara-negara kota Yunani, hukum perdata tidak begitu berkembang dibandingkan dengan hukum tata negara.

6. Hukum Romawi Kuno

Sejarah hukum Romawi di zaman kuno meliputi 12 abad, mulai dari abad VII SM sampai periode kerajaan sampai abad VI. Selanjutnya era

(16)

Kaisar Justianus sampai abad XV berlangsung kerajaan Romawi Timur atau Byzantum. Sumber-sumber Hukum Romawi dibedakan berdasarkan :

(i) Periode dini, yang berlangsung sejak pertengahan abad II SM. Sumber hukum periode ini berupa kebiasaan (mos maiorum consuetodo) pada saat Roma dikuasai organisasi clan, sementara pada masa Kerajaan dan Republik dini sumber hukum berupa undang-undang, yiatu Undang-undang Dua Belas Prasasti sebagai salah satu fundamen ius civile.

(ii) Periode klasik, yang membentang antara abad II SM sampai akhir abad III M. sumber-sumber terpenting Hukum Romawi Klasik masih tetap berupa kebiasaan dan undang-undang. Pada perkembangannya, undang-undang itu telah menajdi sumber terpeting Hukum Romawi masa ini. Undang-undang meliputi leges, konsul-konsul senat, dan terutama constituties kekaisaran yang dibedakan dalam empat kategori yaitu (i) edikta-edikta, yaitu ketentuan yang mempunyai ruang lingkup umum; (ii) dekreta-dekreta, yaitu vonis-vonis yang diucapkan oleh Kaisar atau dewannya berkaitan dengan peristiwa yuridis; (iii) reskripta-reskripta, yakni jawaban-jawaban yang diberikan oleh kaisar atau dewannya kepada seorang pejabat negara, seorang megistrat atau bahkan patikulir; (iv) mandata, yaitu instruksi-instruksi yang diberikan kaisar kepada gubernur-gubernur provinsi, terutama berhubungan dengan persioalan administrasi dan perpajakan.

(iii) Periode terlambat, yang berlangsung sejak era Dominat yang tumbuh dari krisis yang dialami oleh Kekaisaran Romawi pada abad III M. periode ini ditandai dan diwarnai oleh pemerintahan absolutisme kekaisaraan, dimana perundang-undangan Kaisar merupakan sumber hukum terpenting dan pada sisi lain pengaruh Kristen sedang tumbuh dengan pesat.

(17)

BAB V

AGAMA KRISTEN

Agama Krsiten tampil berkat kegiatan-kegiatan penyebaran ajaran-ajaran Yesus dari Nazaret, yang kelahirannya menandai awal Tarikh Masehi. Informasi penting bagi sejarah hukum antara lain dapat diseidiki lebih lanjut :

I. Hubungan dan perimbangan antara penguasa gerejawi dan penguasa duniawi.

Dalam hal ini, secara pundamental teori yang berkembang di Barat telah didominasi ide bahwa agama Kristen perlu memenuhi sebuah misi di lapisan atas, yang diarahkan pada Civitas Dei (negara ketuhanan), sedangkan Civitas Terrena (Negara keduniawian) hanya mengurus ketertiban dan tidak boleh menghalang-halangi pekerjaan gereja.

II. Yuridikasi Agama Krsten

Satu dan hal karena agama Kristen berkembang dalam konteks negara Romawi dengan gaya susunan administrasi dan ketertiban hukum, maka seiring itu gereja berikhtiar membangun di bidang kerohanian sebuah aparat pemerintahan dan hukum yang serupa. Pada dasarnya ikhtiar gereja tersebut bertolak dari cita-cita bahwa gereja merupakan sebuah Civitas Dei

tersendiri yang diberi tugas kerohanian. Persoalan-persoalan yang muncul dalam Civitas Dai ini diatur dalam hukum kanonik melalui teknik yuridis Romawi.

III. Teoretisasi Agama Kristen

Sejak abad XI makin besar dirasakan kebutuhan untuk memberikan suatu fundamental intelektual yang kokoh kepada moral dengan ajaran agama Kristen dengan pengandalan filsafat zaman kuno. Akan tetapi, sejak

(18)

mengakomodasi dan memadukan ajaran-ajaran atau filosofi Kristen dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan. Sejak masa rasionalisme dan era pencerahan abad XVIII, gereja telah benar-benar pada persimpangan jalan.

BAB VI

HUKUM ROMAWI DAN HUKUM GERMANA

PADA BAGIAN AWAL ABAD PERTENGAHAN ANTARA LAIN DI DALAM NEGARA FRANKA

I. Iktisar Historis

Pada era Negara Romawi bangsa Germana bermukim di wilayah sebelah timur sungai Rin dan sebelah utara sungai Donau. Pada abad V suku-suku bangsa Franka menetap di kawasa sungai Rin dan Seine. Raja-raja Frangka Clovis, Dagobert, Pepijn de Korte, dan Charle Agung (Charlemagne) telah berhasil memperluas kekuasaanya yang membentang mulai dari sunagi Ebro di Spanyol sampai dengan sungai Elbe di Jerman sekarang. Walaupun demikian, negara tersebut hanya berdiri untuk waktu yang tidak panjang.

Terjadinya peperangan yang berlangsung selama satu abad untuk memperebutkan warisan Charles Agung dan penggantinya, maka Francia Orientalis seorang putra Louis Yang Saleh (Lodewijk de Vrome) yang berdasarkan pada Traktat Verdum (843) dikukuh menguasai sebelah timur sungai Rin, telah menyerap seluruh Negara Lathorius dan keseluruhanya menjadi Negara Germania, yang kemudian menjadi Negara Katolik Roma bangsa Jerman dan berdiri sampai dengan tahun 1806. Pada awalnya kekuasan kaisar tetap besar, terutama pada era pemerintahan Otto Akbar (Otto de Grote) tahun 936-973, Frederik Barbarossa (1152-1190), maupun Frederi II (1211-1250). Kemudian dengan relatif lemahnya persatuan dan kesatuan di Negara tersebut, nampaknya sedikit banyak telah membantu terbentuknya tatanan hukum Erofa yang seragam.

II. Survival Hukum Romawi

(19)

Pada awal abad V asas personalitas diterapkan di Erofa Barat. Hubungan dan perimbangan demografis antara Galia-Romawi dan Germana bagaimanapun tidak sama. Diantara daerah hukum Germana di sebelah utara dan daerah hukum Romawi di sebelah selatan terdapat suatu zona, yang didalamnya diterapkan secara utuh asas personalitas pada abad VI,VII, dan VIII. Asas personalitas disini berlaku semata.mata bagi hukum perdata dan pidana. Apa yang menyangkut negara dan pemerintahan, misalnya tata Negara adalah murni territorial. Sejak abad IX, asas personalitas perlahan sirna di seluruh Erofa diganti asas teritorialitas.

B. Himpunan Hukum Romawi Erofa Barat

Penerapan asas personalitas pada hakikatnya telah memungkinkan hukum Romawi tetap bertahan di Erofa Bara kendati pun Negara Romawi Barat telah sirna. Akan tetapi, hukum Romawi tersebut tetap mengalami evolusi, yang sebagian besar melalui kontak dengan hukum-hukum kebiasaan Germana. Hukum Romawi blasteran ini, dalam bahasa Jerman disebut. Vulgarreht. Kendati demikian, para raja dari kerajan-kerajaan Germana bagian selatan, sekitar tahun 500 merasa perlu menyususun himpunan-himpunanhukum Romawi, untukkepentingan para hakim. Himpunan hukum tersebut dilakukan sekitar tiga puluh tahun sebelum kodifikasi besar hukum Romawi atas perintah kaisar Justianus di Negara Byzantium : digesta, Codeks dan Institutiones, yang tetap dikenal di Erofa Barat sampai abad XII.

C. Sumber-sumber Hukum di Negara Frangka

Sumber hukum Negara Franka dibedakan : (1) Reichsrecht, yaitu perundang-undanagn kerajaan (selelah tahun 800 perundanag-undanagn kekaisaran, pada asasnya seragam untuk seluruh Negara); Volkrechte, yaitu hukum, terutama hukum kebiasaan, dari masing-masing bangsa yang berbeda, yang dipersatukan di bawah kekuasan raja-raja Franka.

Reichsrecht dan Volkrechte tidak merupakan tatanan-tatanan hukum yang terpisah satu denngan yang lain. Reichsrecht ini pada umumnya menyangkut pemerintahan sedangkan Volkrechte berkaitan dengan hubungan-hubungan privat.

(20)

D. Leges Barbarorum

Terdapat sejumlah Leges Barbarorum dikenal di wilayah Franka, antara lain : Lex Salica, Lex Riburaria, Ewa ed Amorem, Lex Burgundionum, dan lex Frisionum. Leges ini pada hakkatnya bukanlah kitab undang-undang yang sesungguhnya, bahkan bukan pula undang-undang dalam arti masa kini. Leges ini merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dengan bantuan para urteilfinder (para pendamping yang harus melaksanakan legem dicere, yakni menemukan putusan) dibuatkan catatan dan disetujui penguasa.

E. Perundang-undangan Raja di dalam Negara Frangka

Pada periode Merovia dan Karolingis, undang-undang merupakan sumber hukum disampinng kebiasaan. Para Raja Merovia dan terutama raja-raja Karolingis telah berupaya menyeragamkan hukum dengan jalan meniadakan asas personalitas dan melalui penerapan peraturan mereka sendiri diseluruh wilayah Negara.

Perundang-undangan raja-raja Merovia pada hakikatnya melanjutkan tradisi Romawi, bukan saja yang menyangkut terminologi, melainkan juga dari segi bentuk dan isi dan sedikit sekali mengeluarkan undang. Sementara raja-raja Karolongis telah banyak membuat peraturan perundang-undangan. Terutama Charles Agung, Louis de Vrome, dan Cahrle de Kele. Sejak pemerintahan Charles Agung, peraturan perundang-undangan lazimnya dsebut capitularia atau capitula. Kekuatan mengikat capitula tersebut sesungguhnya bersumber pada otoritas sang raja, yaitu hak untuk melarang, hak untuk memerintah, dan hak untuk menjatuhkan hukuman yang disebut bannum.

(21)

BAB VII

TATANAN FEODAL

Tatanan feodal di Erofa Barat berkembang menjelang abad X, XI, dan XII dan selama tiga abad itu institusi-institusi feodal memperoleh bentuknya yang definitif. Di Perancis, Burgondia, dan Italia tatanan feodal ini memainkan peranan besar di dalam kehidupan kemasyarakan dan hukum. Sementara di Jerman, feodalisme mengenal zaman emasnya setelah Ottonen dalam abad XII, XIII, dan bahkan abad XIV. Di Inggris feodalisme diintrodusir oleh kaum Normandia pada tahun 1066, setelah pertempuran

hastings dan sebagai akibat peranan raja di dalamnya, maka tatanan feodalisme Inggris memiliki cirri-ciri khas tersendiri. Sedangkan di Spanyol tatanan feodalisme ini dimasukan reconquista yaitu perampasan kembali jazirah Spanyol oleh raja-raja Kastila dan Aragon dari bangsa Arab.

Tatanan feodal tersebut ditandai dan diwarnai oleh serentetan institusi yang sebagian besar terjadi selama periode raja-raja Merovia dan Karolinga serta telah berlangsung terus sampai abad XVIII. Institusi-institusi dimaksud adalah sistem-sistem vassal (Negara tertentu taklukkepada Negara lain), leen (peminjaman tanah), imunitas (kekebalan), horigheid

(benda-benda tak bergerak milik Negara) dan dominal (petani terikat pada tuannya).

.Sistem vasal adalah ikatan pribadi di dalam hubungan dan perimbangan feodal-vasal, sedangkan sistem leen ini merupakan ikatan kebendaan. Sistem vasal tumbuh sebagi akibat ketidaksetabilan dan keamanan periode-periode Marovia dan Karolinga, yaitu orang-orang merdeka (non budak) meminta dan mendapat perlindungan (commandare-commandatio) dari seorang yang berkuasa (senior), asalkan mengucapkan janji akan setia kepada senior tersebut,bahwa harus taat dan membantu

(22)

melaui beneficium (=baik hati, anugrah). Leen merupakan hak menguasai biasanya sebidang tanah, yang diberikan oleh senior atau majikan leen tersebut kepada vassal-nya, untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang tersebut terakhir untuk dapat menutupi biaya-biaya kehidupannya dari penghasilan tanah tersebut.

Kebiasaan (adat) merupakan satu-satunya sumber hukum selama masa feodal. Pada hakikatnya kebiasan-kebiasaan ini tidak diketahui karena hal-hal tersebut tidak meninggalkan bekas-bekas tulisan, seperti akta-akta maupun vonis-vonis tertulis, kontrak-kontrak yang merupakan dasar adanya bukti tentang pemberian ijin mempergunakan tanah milik bangsawan, janji-janji pada penggarap tanah, dan lain-lain.

Pada masa feodalisme ini, mampir tidak ada peraturan perundang-undangan yang dibentuk. Hukum sama sekali tidak dicacat di sisni. Jadi, tidak ditemukan lagi kitab undang-undang mauun kitab hukum. ini adalah era tampa aksara baru. Kebanyakan orang malahan belum menguasai teknik tulis menulis maupun seni baca, para hakim (antara lain kaum bangsawan dan pejabat-pejabat daerah) yang pada umumnya tidak cakap membaca sebuah naskah yuridis. Dan biasanya mereka mengadili suatu perkara dengan mengandalkan takdir ilahi, terutama untukpembuktian yang sudah barang tentu dilakukan dengan cara-cara irasional.

(23)

BAB VIII

SUMBER-SUMBER HUKUM PADA AKHIR ABAD PERTENGAHAN DAN ZAMAN MODERN ABAD XIII – XVIII

I. Ikhtisar Umum

Masyarakat Erofa Barat mengalami perubahan-perubahan mendasar di dalam abad XIII meskipun institusi-institusi feodal masih tetap berlangsung. Undang-undang sedikit demi sedikit kembali menjadi sumber hukum, bahkan bukan sang raja saja yang membentuk undang-undang melainkan juga para tuan tanah maupun pemerintah kota-kota. Akan tetapi, kegiatan perundang-undangan masih terbatas ruang ringkupnya. Di dalam bidang hukum perdata, kebiasaan masih tetap merupakan sumber hukum yang terpenting.

Di dalam sejarah hukum dijumpai kontinuitas antara abad-abad pertengahan dan zaman-zaman modern. Abad XIII merupakan suatu momentum penting dalam sejarah negara dan hukum. Dalam bidang yuridis, raja-raja absolut memperjuangkan terutama untuk mempersatukan hukum negara mereka. Pada abad ke XVI berkat ditemukannya seni mencetak buku, maka hukum semakin lama dicatat. Pendokumentasian hukum mencapai titik kulminasinya dalam gerakan kodifikasi, yang mulai tampil pada abad XVIII, terutama di Jerman dan Italia. Pada abad-abad ini, undang-undang menjadi sumber hukum terpenting menggantikan kebiasaan.

II. Kebiasaan

Seorang ahli hukum Vlanderen dari abad XVI, Filips Wielan, kebiasaan sebagai sumber hukum didefinisikan sebagai berikut :

“Kebiasaan adalah hukum tidak tertulis yang terdiri dari ketentuan-ketentuan sehari-hari(usance) dan perbutan yang terus-menerus oleh orang-orang dalam kehidupan dan pergaulan hidup serta diwujudkan

(24)

secara nyata tanpa paksaan masyarakat atau bangsa, selama kebiasaan itu diikuti secara berkesinambungan”

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui karakteristik-karakteristik kebiasaan yaitu : (i) hukum tidak tertulis; (ii) dibentuk oleh kelaziman dan tindakan-tindakan berulang-ulang; (iii) dijadikan kelajiman di muka umum; (iv) tanpa bantahan mayoritas kelompok sosial politik; (v) kebiasaan tersebut harus pernah diterapkan selama periode tertentu yang cukup lama; (vi) kebiasaan harus rasional.

Salah satu kelemahan hukum kebiasaan adalah tidak mempunyai kepastian oleh karena tidak dituangkan secara tertulis. Kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh tidak adanya kepastian hukum nampaknya mulai disadari para raja. Di Perancis, pencatatan resmi hukum-hukum kebiasaan mulai diselenggarakan pada XIV, ketika Raja Charles VII memberi perintah melalui ordonansi Montil les Tours tahun 1454. Di negeri Belanda hal tersebut di lakukan 77 tahun kemudian melalui ordonansinya tahun 1531. Selajutnya, para raja memerintahkan pencetakan kebiasan-kebiasan tersebut sehingga pada hakekatnya tidak lagi merupakan kebiasan-kebiasan murni dan dalam realita menjadi undang-undang yang berasal dari kebiasan-kebiasaan hukum.

III. Undan-undang

Peranan besar perundangan-undangan pada hakikatnya dimainkan oleh evolusi umum hukum di dalam masyarakat yang semakin individualistis, dimana peranan keluarga dan kelompok-kelompok yang mendapatkan privilese-privilese di dalam bidang kemasyarakatan, politik dan hukum mulai melemah. Titik akhir evolusi tersebut adalah gerakan kodifikasi yang pada abad XVIII di bawah pengaruh hukum alam dan pencerahan yang makin hari berpengaruh. Gerakan ini memperoleh kemenangan dengan pecahnya Revolusi Perancis serta mencapai titik puncaknya pada kodifikasi-kodifikasi Napoleon (awan abad XIX).

Perundang-undangan kodifikasi sejak abad XIX tetap merupakan sumber hukum terpeting di benua Erofa dan di banyak wilayah, yang membiarkan diri diilhami dan dipengaruhi oleh burgerliche gesetzbuch

(25)

uangkapan atau kehendak sang raja, melainkan sejak Revolusi Perancis adalah kemauan rakyat melalui dewan perwakilan rakyat. Oleh karena itu hal ini hampir dipandang sebagai sumber hukum terpenting, bahkan pada mulanya hampir sebagai satu-satunya sumber hukum.

IV. Hukum Kanonik

Hukum Kanonik adalah hukum anggota-anggota persekutuan kaum Kristiani, lebih khusus lagi Gereja Katolik-Roma. Istilah “kanonik” ini berasal dari kata Yunani, yaitu kanon yang berarti regula atau aturan. Nama ini diberikan pada keputusan-keputusan konseli-konseli di abad-abad pertama tarirh Masehi. Hukum Kanonik ini memainkan peranan penting di dalam evolusi umum hukum oleh sebab pengaruh gereja terhadap persekutuan-persekutuan Erofa Barat di abad-abad pertengahan. Sampai saat ini kaum Katolik menganggap dirinya tunduk pada dua buah tatanan hukum, yaitu hukum Negara dan hukum kanonik.

Secara kronologis, perkembangan Hukum Kanonik dapat dibedakan pada tiga periode, yaitu : (1) fase yang menunjukan peningkatan, yakni dari abad III sampai dengan XI; (2) fase titik kulminasi pada abad XII dan XIII; dan (3) fase menurun secara berangsur-angsur sejak abad XIV dan menurun secara derastis sejak abad XVI. Akan tetapi, hukum kanonik masih tetap merupakan hukum yang hidup meskipun telah terjadi sekulerisasi institusi-institusi hukum perdata dan hukum publik.

Sumber hukum kanonik adalah Wahyu Tuhan sebagaimana ditemukan dalam kitab suci yang merupakan satu-satunya dari Hukum Ketuhanan (ius divinum). Hukum ketuhanan ini adalah seperangkat aturan-aturan yuridis yang dijabarkan dari kitab suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Hukum ini ditambah serta dilengkapi dan disesuaikan dengan dekrit-dekrit konsili-konsili dan dekteral-dekteral para paus maupun oleh kebiasaan. baik perjanjian lama maupun perjanjian baru

V. Ajaran Hukum

Ajaran hukum menduduki tempat penting di dalam perkembangan hukum sejak abad XVI. Ia tidak hanya membatasi diri pada penelaahan Hukum Romawi dan Hukum Kanonik, tetapi juga hukum pribumi setiap

(26)

ilmiah. Dengan demikian, terjadilah pengilmiahan dari hukum itu sendiri, yang dipelajari secara ilmiah sehubungan dengan pelaksanannya. Pada abad XVII, Mazhab Hukum Alam mengalami masa pemekarannya, antara lain Grotius. Walau bagaimanapun juga, hal ini telah menjurus ke arah globalisasi dan kesatuan hukum.

VI. Organisasi Kehakiman dan Peradilan

Dengan adanya hirarkisasi pengadilan-pengadilan dan perkembangan institusi permohonan banding terhadap putusan-putusan majelis-majelis kehakiman yang lebih rendah, maka peradilan selama zaman-zaman modern ini lama-kelamaan menjadi sumber hukum tersendiri. Lazimnya hakim-hakim merasa terikat pada putusan hakim-hakim sebelumnya atau putusan-putusan pengadilan yang lebih tinggi. Peradilan ini disebarluaskan melalui kumpulan putusan-putusan dan arest-arest.

Pengaruh peradilan terhadap sumber-sumber hukum lain adalah sangat besar. Selain itu, peradilan pun telah membantu dalam proses romanisasi hukum baik di Perancis, Jerman, dan Belanda.

Peradilan telah banyak membantu dalam pembentukan hukum modern, yaitu : (1) mengenai kekuasan pengadilan-pengadilan memberikan makna kepada preseden-preseden; (2) karena pengaruh putusan-putusan pengadilan rendah dan arrest-arrest pengadilan yang lebih tinggi terhadap penyusunan hukum-hukum kebiasaan dan ajaran hukum.

Pada abad XIII, seperti hal sebelumnya, di dalam pengadilan, hukum di jalankan oleh “hakim-hakim rakyat”, artinya hakim-hakim tanpa latar belakang yuridis. Sejak abad XIV sampai abad XVIII, jabatan hakim diselenggarakan oleh hakim-hakim professional, yakni yuris-yuris atau legis-legis, yang pada umumnya adalah lulusan universitas.

(27)

BAB IX

COMMON LAW I. Hal Ikhwal yang Bersifat Umum

Pada hakekatnya, common law adalah sebuah judge made law,

artinnya hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan berkat kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan) hakim-hakim. Dan undang-undang nampaknya hampir tidak berpengaruh terhadap evolusi common law ini. Akan tetapi, common law

dalam arti sempit ini tidak mencakup tatanan hukum Inggris; disamping peradilan pengadilan-pengadilan kerajaan telah berkembang pula statute law, yaitu hukum undang yang dikeluarkan oleh pembuat undang-undang (legislatif). Statute law ini telah menjadi suatu sumber hukum penting, terutama selama abad-abad XIX dan XX.

Ungkapan common law telah dipergunakan sejak abad XIII untuk menyebutkan hukum Inggris secara keseluruhan. Pada abad XV dan XVI, disamping common law telah terbentuk sepangkat aturan-aturan hukum yang lain, yakni apa yang dikenal equity. Betapun juga common law tetap berhasil mengimbangi perkembangan pengaruh equity tersebut. Saat ini ungkapan common law tersebut seringkali dipergunakan pula untuk menyatakan keseluruhan aturan-aturan hukum yang berlaku di Inggris, tanpa membedakan apakah hal-hal tersebut berasal common law yang asli,

equity maupun statute law. Dalam makna ini, diperbandingkan dengan civil law , yakni ungkapan yang dipakai untuk menyatakan tatanan-tatanan hukuk Erofa Kontinental yang dipengaruhi corpus iuris civilis.

II. Pembentukan Tatanan Cammon Law A. Hukum di Inggris Sampai Abad XII

(28)

Inggris pun merupakan bagian dari Negara Romawi sejak abad I sampai abad V, namun proses Romanisasi di dalamhukum dan institusi-institusi boleh dibilang tidak meninggalkan bekas-bekasnya dalam periode-periode kemudian.

Pada tahun 1066 Inggris ditaklukan oleh Hortog Nertog Normandia, Willam Penakluk (1028-1087) dalam pertempuran di Hasting. William menyatakan tidak akan mengubah hukum dan kebiasaan penduduk pribumi, namun memasukan tatanan feodal yang lazim berlaku di Erofa Kontinental pada Inggris. Dalam abad XII, kebiasaan tetap merupakan sumber hukum satu-satunya hukum Inggris, yaitu : kebiasaan-kebiasaan lokal Anglo-sakson, kebiasaan-kebiasaan kota-kota yang bar didirikan (borough customs), kebiasan-kebiasaan kaum pedagang, terutama pedagang-pegadang London, yakni yang dikenal “pie powder” dan lex mercatoria. B. Susunan Pengadilan-pengadilan Kerajaan : Prosedur Writ

Pada awalnya sang raja sendiri yang memimpin sidang yang diselenggarakan di dalam istananya, yang disebut dengan curia regis.

Namun, tidak lama kemudian telah dibentuk bidang-bidang spesialisasi, terpisah dari curia yang sebenarnya. untuk menangani permasalahan-permasalahan tertentu : (1) court of excheqeur scaccarium, sejak abad XII, berwenang dalam bidang-bidang financial dan perpajakan; (2) court of

common pleas communia placita, berwenang urusan-urusan pemilikan tanah; (3) king’s bench dari bench coram rage, yang berwenang untuk memeriksa kejahatan-kejahatan terhadap keamanan dan perdamaian di dalam wilayah kerajaan.

Perluasan wewenang yang berlangsung cepat pada pengadilan-pengadilan tingkat tinggi ini dimungkinkan terlaksana oleh prosede teknis yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa-sengketa pada majlis-majlis hakim. Setiap orang yang ingin memperoleh keadilan sang raja, dapat mengajukan surat permohonan kepada raja. Kanselir sebagai salah satu penasehat terpentng raja, meneliti surat permohonan tersebut dan bilaman surat permohonan tersebut dipandang layak, maka kanselir mengirim surat atas nama raja, sebuah perintah yang disebut writs melalui sheriff untuk

(29)

memaksa tertuduh membuat pembelaan. Adapun tatanan writs ini terbentuk pada abad XII pada saat Hendrik II (1154-1189) menjadi raja. Pada awalnya writs tersebut diperuntukan dalam menyelesaikan kasus-kasus khusus, namun setelah itu hal ini menjadi stereotype formula-formula, yang diberikan oleh konselir setelah membayar sejumlah uang, tampa pemeriksaan mendalam sebelumnya (writs de cursu).

Jadi, pada pokoknya hukum Inggris berkembang terutama dari suatu keseluruhan aturan-aturan prosedur dan bukan dari aturan-aturan menyangkut substansi dasar. Dengan adanya alasan-alasan ini, struktur

common law secara pundamental berbeda dengan tatanan-tatanan Erofa Kontinental. Dengan tidak adanya kodifikasi, maka tidak ada pula pembagian dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan yang besar, seperti hukum perdata, hukum pidana, dan sebagainya, namun berbicara tentang

family law (hukumkeluarga), contract law (hukum kontrak), law of tort

(hukum yang menyangkut perbuatan melawan hukum), dan seterusnya. C. Sumber-sumber Common Law

Sesungguhnya common law benar-benar diciptakan oleh hakim-hakim pengadilan kerajaan. Para hakim-hakim tersebut mengandalkan kebiasaan, khususnya pada kebiasaan lama umum kerajaan (general immemorial custom of the realm). Sejak tahun 1292 putusan-putusan terpenting pengadilan-pengadilan tinggi Westminster telah dicacat dan disimpan dalam Year Book. Kemudian, pada abad XVI dijumpai pula Law Reports yang dicetak dan ini merupakan dokumen-dokumen terpenting bagi kehakiman dan advokat. Meskipun common law adalah hukum yurisprudensi, namun baru pada tahun 1875 hakim-hakim menurut undang-undang wajib menerapakan prinsip stare decisis (tetap menerapkan apa yang telah diputuskan sebelumnya, artinya menjunjung tinggi preseden-preseden). Selain itu, para hakim mempergunakan juga buku-buku hukum besar yang disusun oleh para hakim. Buku-buku tertua, legibus et consuetudinibus angliae (tentang undang-undang dan kebiasaan) berasal dari tahun 1187 dan telah mamainkan peranan penting dalam terbentknya common law.

(30)

Equity dapat dipandang sebagai sebuah pelengkap dan untuk sebagian lagi sebagai alat koreksi common law, yakni : (1) bilamana

common law memperlihatkan celah-celah kosong, seperti tidak ada writ untuk sebuah kasus tertentu, yang tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan pergaulan hidup; (2) bilamana remedy yang disediakan common law (ganti rugi) tidak memuaskan; (3) bilamana pengadilan common law dalam mengadili orang memberikan putusan yang tidak adil; (4) bilamana pengadilan common law tidak berwenang mengadili, misalnya terhadap kaum pedagang luar negeri.

Pada tahun 1873-1875 terjadi peleburan pengadilan-pengadilan

common law dan pengadilan-pengadilan equity sebagai akibat dikeluarkannya Judicature Act. Sejak itu aturan-aturan common law dan

equity pada prinsipnya diterapkan oleh pengadilan-pengadilan yang sama, yang pada gilirannya mempercepat prosespeleburan menjadi kesatuan yang utuh. Judycature Act 1873 menetapkan bahwa untuk selanjutnya equity

mendapatkan prioritas atas common law dan hal tersebut kemudian dikomfirmasi oleh Supreme Court Act tahun 1981.

III. Trial by Jury

Suau kespesifikan tatanan hukum Inggris adalah peranan penting yang dimainkan oleh Juri di dalam institusi peradilan. Juri ini di dalam perkara-perkara hukum baru terbentuk pada zaman Hendrik II (1133-1189), yakni pada tahun 1166 melalui writ of novel disseisin. Tatanan juri di Inggris masih tetap bertahan samai abad XX.

IV. Perkembangan Statute Law

Perundang-undangan menduduki tempat kedua dalam tata urutan sumber-sumber hukum Inggris setelah peradilan. Undang-undang (act of statute) dipandang sebagai kekecualian atas common law ; hakim harus menafsirkan undang-undang ini secara sempit, bahkan lebih mengindahkan kata-katanya daripada jiwanya. Pandangan yang meberikan prioritas kepada

common law nampaknya mulai luntur dengan meluasnya peranan pembuat undang-undang terutama dalam abad XX. Melalui jalur perundang-undangan (Acts tahun 1832-1833 dan 1873-1875), telah diadakan

(31)

perubahan mendasar di dalam susunan peradilan dan oleh sebab itu reformasi dalamhukum acara dan hubungan serta perimbangantimbal balik antara common law dan equity. Dengan cara yang sama, terutama setelah tahun 1945, telah diberlakukan sustu hukum sosial yang sama sekali baru, walaupu dalam jumlah kecil.

V. Undang-undang Dasar dan Kodifikasi

Kendatu pun peranan besar yang dimainkan oleh perundang-undang, namun tetap saja Inggris merupakan sebuah Negara tanpa undang-undan dasar dan tanpa kitab undang-undang. Constitusional law Inggris bertumpu pada kebiasaan dan pada preseden-preseden, maupun pada beberapa naskah undang-undang seperti Magna Charta tahun1215, Bill of Right tahun 1689 dan Acts of Union antara Inggris dan Skotlandia tahun 1707. Dalam hal kitab undang-undang, di Inggris paling tidak telah disusun apa yang disebut consolidation undang-undang yang ada, antara lain dalam periode 1825-1863 dan beberapa materi terbatas dikodifikasikan seperti sale of goods act (1893), sejenis kodeks kontrak jual beli, bankruptcy act tahun 1914, dan seterusnya. Yang dimaksud kodifikasi di Inggris adalah sebuah undang-undang, yang didalamnya telah dikonsolidaskan bukan hanya undang-undang yang berlaku sejak dulu, melainkan juga case law.

VI. Penyebaran Common Law di Dunia

Inggris telah membawa dan sedikit banyak dipaksakan kepada semua negara yang mereka kuasai atau yang mereka jajah, dengan hasil yang berbeda-beda. Banyak wilayah yang termasuk Kerajaan Inggris, tetap mengakui kekuasaan hukum Inggris. Kanada misalnya sampai tahun 1949 dan beberapa Negara lain : Selandia Baru; Hongkong, dan Singapura bahkan sampai sekarang menganggap majelis pengadilan tertinggi yakni

Judicial Committee of Privy Council, yang terdiri dari 3 sampai 5 anggota-anggota House of Lords. Di dalam United Kingdom Common Law ini diterapkan di Walles dan Irlandia Utara, akan tetapi tidak di Skotlandia yang telah mengalami pengaruh hukum Romawi karena banyak yuris-yuris skotlandia yang mendapat pendidikan hukum pada universitas Erofa

(32)

Kontinental. Selain itu Amerika Serikat dan Australia tergolong Negara-negara common law

BAB X

HUKUM HINDU MASA KINI I. Dominasi Islam

Sejak abad X, bagian-bagian tertentu sub-benua India sedikit banyak dikuasai oleh penguasa Islam. Sebagai akibat hal tersebut, yakni sebagaian penduduk India Timur dan Barat memeluk Islam satu sisi dan Hindu pada sisi lain. Pada saat Mongol Agung (abad XVI sampai XIX) maka kaum penguasa pada umumnya menghormati agama dan hukum penduduk India. Peradilan paskhayat kasta-kasta tetap berlangsung tanpa kendala, namun kekuasan raja berkurang bagi keuntungan kodi Islam.

II. Dominasi Inggris

Sejak tahun 1857 India berada di bawah kekuasaan Inggris sepenuhnya. Ratu Viktoria dari Inggrs dinobatkan selaku Kaisar Perempuan India, sehingga berada diatas hirarki para maharaja dan raja tatanan feodal. Pada perinsipnya Inggris, sebagaimana koloni-kaloni lainnya berdasarkan asas “indirect rule”. Institusi-institusi lokal yang ada begitu pula hukum Hindu tetap berlangsung. Bersamaan dengan hal itu, Inggris berupaya kea rah pembentukan sebuah hukum India, yang sama bagi seluruh penduduk India, baik bagi kaum Islam maupun bagi kaum Hindu. Inggris berhasil melalui perundang-undangan dan dengan reorganisasi peradilan. Dengan demikian terbentuklah pengadilan campuran, dimana berlangsung proses peradilan oleh hakim-hakim Ingris yang dibantu oleh para pandit.

III. Republik India Merdeka

India merupakan sebuah Republik merdeka sejak tahun 1947. Berdasarkan Pasal 372 UUD menyataan bahwa hukum yang dimasukan oleh pemerintah Inggris, tetap dipertahankan sepanjang tidak bertentangan dengan pandangan sebuah republic demokrasi yang berdaulat. Oleh karena itu, banyak perundang-undangan Inggris masih tetap berlaku, hal ini

(33)

menyangkut baik perundangan-undangan maupun judge made law. Dengan demikian India dewasa ini tergolong ngara-negara common law.

BAB XI

HUKUM IBERANI MODERN

Hukum Iberani masih tetap merupakan tatanan hukum pribadi orang-orang Yahudi (Israel). Disamping itu betapun juga hukum territorial masih tetap berlaku. Di Israel dijumpai empat buah sumber hukum : (1) Hukum Iberani tradisional; (2) Hukum Negara Ottoman, antara lain kitab undang-undang medjelle; (3) common law yang dimasukan tatkala Palestina merupakan daerah mandat yang atas perintah league of nation dipimpin Britania Raya (1920-1948); dan (4) perundangan-undangan Knesset, parlemen Negara Israel.

Di Israel ditemukan pengadilan Negara dan pengadilan-pengadilan agama (rabinal). Pengadilan rabinal hanya berwenang semata-mata dalam urusan-urusan perkawinan dan perceraian serta dalam materi-materi lainnya, yang merupakan pula saingan dalam wewenang memeriksa dan mengadili kasus-kasus tertentu bagi pengadilan-pengadilan Negara. Mahkamah Agung mengawasi kedua jenis pengadilan tersebut, dengan pengertian bahwa Mahkamah ini tidak dapat mengubah putusan-putusan rabinal,melainkan dapat mengevaluasi apakah para rabi ini tdak melampaui batas wewenang dan tidak melecehkan prinsip-prinsip peradilan yang layak. Putusan-putusan Mahkamah Agung ini mengikat bagi hakim-hakim pengadilan yang lebih rendah, bahkan terkadang Mahkamah Agung tersebut masih pula bertumpu pada peradilan Judicial Committeeof the Privy Council

periode mandate Inggris. Sebagaimana halnya India, Israel pun masih dikonfrontasi oleh problema-problema penyesuaian diri hukum tradisional terhadap perkembangan sebuah masyarakat modern.

Modernisasi hukum yang telah mencapai banyak kemajuan adalah dalam bidang hukum dagang, seperti undang-undang unifrm kontrak-kontrak

(34)

sangat signifikan oleh karena kaum ulama dan kelompok-kelompok politik fundamental masih menentang kesetaraan yuridis perempuan.

BAB XII

HUKUM ISLAM

Hukum Islam adalah hukum pergaulan hidup kum muslimin, artinya hukum berlaku bagi semua orang yang memeluk agama Islam, dimanapun mereka berada. Seperti halnya hukum Hindu, maka Hukum Islam pun merupakan hukum masyarakat Islam dan bukan hukum penduduk suatu Negara.

I. Agama dan Sejarah

Islam mempunyai arti tunduk kepada kehendak Allah. Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, nabi terakhir Allah Subhannahu Wata’ala setelah Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Daud dan Isa.

Agama Islam, telah mengalami perluasan cepat, sebagai akibat kegiatan-kegiatan pengikut-pengikut Nabi Muhammad, para khalif, yang dalam satu abad mampu menguasai Siria, Mesir, daerah Magrib (Aljazair, Maroko, Tunisia), Spanyol dan bahkan sebagian Perancis. Negara-negara besar Muslim menguasai derah-daerah ini dalam abad VIII dan IX, bahkan bangsa Abbasida memerintah Bagdad. Sejak abad XIV sampai abad XIX Negara Ottoman (Turki) mendominasi sebagai besar dunia Islam.

II. Syariat dan Fikih

Hukum Islam tidaklah merupakan suatu ilmu pengetahuan tersendiri, melainkan salah satu aspek agama. Hal ini meliputi teologi (yang menetapkan dogma, yakni apa yang dipedomani sebagai kepercayaan kaum Muslimin) dan syariat yang memberikan ketentuan-ketentuan kepada orang-orang beriman apa yang wajib apa yang wajib dilakukan dan apa yang wajib ditinggalkan.

Syariat adalah “jalan yang harus ditemuh” atau “aturan yang diwahyukan”. Jadi hal ini menyangkut pula hal-ikhwal yang harus dilakukan

(35)

oleh orang beriman terhadap Allah (sholat, puasa, jakat, dan seterusnya). Semua kealfaan dianggap pelanggaran. Fikih adalah pengetahuan tentang syariat; ia adalah ilmu pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia, tentang pemberian ganjaran dan hukuman. Fikih ini menetapkan aturan-aturan perilaku yang diturunkan dari empat sumber syariat : (i) Al-Quran; (ii) Sunnah; (iii) ijma (kesesuaian pendapat ulama tentang peristiwa hukum); dan (iv) kias (analogi).

III. Empat Buah Sumber Syariat A. Al-Quran

Al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Ia merupakan wahyu-wahyu Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, Rosul-Nya yang terakhir. Prinsip-prinsip yuridis yang dapat diturunkan dar Al-Quran pada haikatnya memenuhi tujuan nabi Muhammad SAW, yakni mengganti tata organisasi suku-suku Arab lama, tanpa adanya kelas-kelas yang memperoleh hak pengutamaan (privilege). Adapun aturan-aturan yang diletakkan adalah hal-hal yang mengupayakan mempertinggi mutu akhlaq.

Para hakim (kadi) harus berikhtiar untuk mendapatkan suatu solusi yang adil dan pantas untuk semua persoalan, mereka harus berjuang melawan praktek suap-menyuap, memerintahkan keterangan saksi-saksi, menjaga agar persetujuan-persetujuan dilaksanakan dengan baik, memberi perlindungan terhada kaum lemah (perempuan, yatim piatu, budak belian).

B. Sunnah

Sunnah adalah seluruh perbuatan dan ucapan Nabi Muhammad, sebagaimana hal itu dikisahkan oleh para sahabatnya. Pernyataan atau sikap Nabi Muhammad SAW memunculkan sebuah hadist, yang didalam abad VIII dan IX banyak hadis ini dikumpulkan dalam buku-buku : yang terpenting akhirnya tetap ada secara definitive.

C. Ijma

Ijma’ adalah consensus bersama kaum Islam yang dicapai dengan bulat. Pada hakikatnya, ini adalah konsesus kalangan para ahli hukum,

(36)

“doktores-doktores” syari’at, meskipun hal ini tidak selalu seia-sekata dengan pandangan khalayak ramai.

Ijma ini sebagaian besar ditetapkan dan dikumpulkan dalam bentuk tertulis selama abad-abad VIII dan IX Masehi, artinya 100 sampai 300 tahun setelah

Hijrah. Ijma ini diwujudkan oleh ahli-ahli hukum yang mempunyai nama-nama besar dalam abad VIII dan IX Masehi, terutama oleh mereka yang berasal dari Bagdad pada saat kekuasaan berada dalamkekuasaan Abasiah, yang kebanyakan adalah imam-imam biasa tanpa fungsi memimpin maupun tanggung-jawab politik, namun memiliki pengetahuan yang mendalam tentang syari’at, hukum yang diwahyukan Allah SWT.

Dalam peraktek telah diterima sebagai kenyataan bahwa dijumpai berbagai cara, berbaai jalan untuk tiba pada kebenaran; jalan-jalan ini disebut madzhab-madzhab. Di dalam dunia Islam dibedakan empat madzhab ialah madzhab Hanafi, Maliki, Syafei, dan Hambali. Kemempat madzhan itu disebut kaum sunni,oleh karena mereka ini menjunjung tinggi Sunnah. Disamping empat madzhab terdapat yang lainnya, antara lain madzhab kaum syi’ih.

D. Kias

Kias artinya analogi atau pikiran secara analogi, dipandang pula sebagai sumber Syariat : hal-hal ini adalah kesimpulan-kesimpulan yang dapat jibarkan dari Al-Quran dan Sunnah melalui pemekiran logis. Kias berfungsi sebagai pengisi-pengisi kekosongan-kekosongan yang ditinggalkan oleh ketiga buah sumber lainnya.

IV. Sumber-sumber Hukum Pelengkap

Islam tidak memperkenankan dipergunakannya sumber-sumber hukum lain kecuali syari’at. Walaupun demikian, kebiasaan (orf - yang juga disebut adapt) dan perundang-undangan (qanun) telah memainkan peranan yang tidak dapat dianggap remeh, namun kesemuanya itu tidak boleh bertentangan dengan syari’at.

Lazimnya penyelenggara hukum dilakukan oleh kodi, hakim-hakim agama dan dibantu oleh kaum awam terpandang yang berasal dari

(37)

masyarakat setempat. Mereka memiliki wewenang penuh untuk mengadili perkara-perkara, baik yang yang menyangkut perdata maupun pidana. Adapun fatwa-fatwa merupakan nasihat-nasihatt keagamaan dan hukum, yang kebanyakan diberikan oleh seorang mufti atau pejabat keagamaan yang penting.,

V. Evolusi Masa Kini Hukum Islam

Fikih diterapkan pada abad X dan sejak itu tidak diubah lagi. Sekalipun demikian, ia merupakan salah satu tatanan hukum yang besar masa kini dan diterapkan dikebanyakan negara-negara Islam. Dan hal ini hanya mungkin karena fikih tersebut bersifat fleksibel dan dapat menyesuaikan diri pada evolusi dalam bidang politik dan kemasyarakatan dunia Islam.

Sekalipun kesatuan hukum dan agama sebagai asas umum masih berlaku, menyebabkan negara-negara Islam sedikit banyak mengalami evolusi yang berbeda dan beraneka ragam, terutama di bawah pengaruh factor politik dan juga karena adanya tradisi-tradisi lokal yang sangat bereda satu dengan yang lain. Sementara itu, perundang-undangan (qanun), dimungkinkan untuk membentuk disamping hukum agama, sebuah hukum umum/awawm. Selama berabad-abad raja-raja atau kepala-kepala negara hanya sedikit sekali mempergunakan peluang tersebut. Sejak abad XX di kebanyakan negara-negara Islam makin banyak undang-undang dibentuk.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : 1 Prestasi kerja pada PT Kereta Api (Persero) Daop II Bandung cukup baik karena dalam penilaian dilakukan dengan

• Supply chain adalah jalur yang memfasilitasi arus sumber daya fisik dari pemasok ke perusahaan dan kemudian ke pelanggan.. • Supply chain management mengelola sumber daya

Wisata ini dapat dirancang hampir serupa dengan kegiatan safari malam (night safari) yaitu dengan melakukan perjalanan pada malam hari pada jalur pengamatan karena

5edangkan penguraian tulang disebut as%r(si, ter+adi secara bersamaan dengan  pembentukan tulang. !enyerapan tulang ter+adi karena akti8itas sel-sel yang disebut

Table 7-34 Details of Best Superstructure Replacement + Substructure Rehabilitation Primary Cost Model for all Bridge

Konsep-konsep cakupan perlindungan ekspresi budaya tradisional sangat erat kaitannya dengan daerah sebagai “pengemban” budaya tradisional, sehingga pemerintah daerah,

Puisi yang berjudul Legal Alien ini dibuat untuk menunjukkan bagaimana perkembangan seseorang dengan identitasnya sebagai orang amerika keturunan meksiko

Kawasan Kampung Madras dan Kawasan Kota Lama Labuhan Deli memiliki nilai faktor pendukung wisata yang sedang karena pada kedua kawasan tersebut, ketersediaan fasilitas