• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN BIOLFILTER PADA BUDIDAYA UDANG WINDU DI TAMBAK MARJINAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN BIOLFILTER PADA BUDIDAYA UDANG WINDU DI TAMBAK MARJINAL"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Produktivitas tambak yang rendah pada budidaya udang windu dapat ditingkatkan produksinya melalui budidaya sistem biofilter dengan memanfaatkan komoditas yang toleran dengan kondisi air payau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh biofilter tiram, rumput laut dan bandeng terhadap produksi udang windu dan keuntungan secara ekonomis di tambak marjinal. Perlakuan yang dicoba adalah A yang terdiri atas 2 petak biofilter yaitu petak biofilter I, ditebari bandeng (9.000 ekor/ha), rumput laut (2 ton/ha), dan tiram (40.000 ind./ha) dan petak II, bandeng (1.000 ekor/ha) dan rumput laut (3 ton/ha). Perlakuan B, petak I ditebari bandeng (4.000 ekor/ha), rumput laut (2 ton/ha) dan tiram (20.000 ind./ha) dan petak II: bandeng (1.000 ekor/ha) dan rumput laut (3 ton/ha). Sedangkan petak III pada masing-masing perlakuan digunakan untuk budidaya udang windu. Benih udang windu yang ditebar berupa tokolan (PL-34) dengan padat penebaran 40.000 ekor/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan biofilter tiram, rumput laut, dan bandeng mampu mempertahankan kondisi kualitas air tambak yang baik untuk pertumbuhan udang windu dan menghambat berkembangnya penyakit patogen. Pada akhir penelitian diperoleh sintasan 63,46% dengan produksi udang windu sebesar 249,28 kg/ha pada perlakuan A dan dibandingkan perlakuan B yang mencapai sintasan 59,73% dengan produksi sebesar 217,48 kg/ha. Hasil analisis ekonomi pada pada perlakuan A menghasilkan keuntungan Rp 10,977.000,-/musim tanam dengan B/C rasio 2,07.

KATA KUNCI: biofilter, udang windu, tambak marginal PENDAHULUAN

Sampai saat ini udang merupakan komoditas bernilai ekonomis tinggi, karena selain gizi yang cukup tinggi juga harganya mahal dan pangsa pasar domestik dan ekspor terbuka lebar. Namun dalam beberapa tahun terakhir produksi udang windu terus mengalami penurunan disebabkan berbagai permasalahan antara lain belum tersedianya benih unggul, harga pakan yang terlalu tinggi dan adanya serangan penyakit yang berujung pada kematian massal. Walaupun sudah diberlakukan dan merupakan SOP bahwa udang yang ditebar minimal berukuran PL-12 dan bebas dari virus, namun masih sering dijumpai udang terserang penyakit. Diduga faktor lingkungan terutama kualitas air tambak berkontribusi dalam berkembangnya penyakit.

Umumnya serangan penyakit pada udang windu setelah penebaran selama 1–2 bulan di tambak. Berkembangnya penyakit pada fase tersebut disebabkan selain beban organik meningkat juga populasi inang untuk berkembangnya penyakit patogen bertambah (Chanratchakool et al., 1998). Untuk itu, diperlukan upaya memperbaiki kualitas air seperti penggunaan biofilter (Chopin et al., 2001; Chow et al., 2001; Edward, 1993). Komoditas yang bisa dimanfaatkan sebagai biofilter adalah bandeng, tiram dan rumput laut (Neori et al., 1996; Mazzola & Sara, 2001). Tiram bakau, Crassostrea iredalei dan Saccostrea cucullata yang hidup pada air payau dan diharapkan dapat mengurangi nutrien dan logam berat dalam perairan karena sifatnya yang feeding filter yaitu menyaring makanannya berupa plankton dan nutrien dengan mengibaskan bulu getarnya. Demikian pula dengan rumput laut, Gracilaria verrucosa yang dapat menyerap kelebihan nutrien di tambak. Menurut Pantjara (2001), rumput laut Gracilaria sp. mampu menyerap logam berat seperti Al3+ dan Fe2+ lebih dari 1.000 mg/

L. Selanjutnya dilaporkan Harlym et al. (1979) dan Neori et al. (2004) bahwa penggunaan Gracillaria sp. dapat mengurangi amonium dari tambak ikan. Dilaporkan oleh Crab (2007), bahwa pemanfaatan rumput laut selain dapat mengurangi NH4+ dalam tambak juga ketahanan pada epiphita lebih tinggi.

Sementara itu, bandeng dapat berfungsi membersihkan berbagai alga dan kelekap yang tumbuh menempel pada permukaan rumput laut dan dasar tambak (Troel et al., 1999; Xu et al., 2004). Dengan demikian ketiga komoditas tersebut dapat digunakan sebagai biofilter untuk meningkatkan kualitas air di tambak dalam menunjang budidaya udang windu.

PEMANFAATAN BIOLFILTER PADA BUDIDAYA UDANG WINDU DI TAMBAK MARJINAL

Brata Pantjara, Erfan Andi Hendrajat, dan Hidayat Suryanto Suwoyo Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros, Sulawesi Selatan 90512 E-mail: bpantjara@yahoo.com

(2)

Pada lahan marginal mempunyai produktivitas rendah karena adanya unsur toksik seperti Fe2+

dan Al3+ serta bahan organik tinggi sehingga berpengaruh terhadap kualitas air yang rendah (Pantjara,

2009). Penggunaan biofilter ini juga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk budidaya udang di tambak marjinal (Pantjara et al., 2008). Berdasakan permasalahan tersebut akan dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui dampak penggunaan biofilter untuk budidaya udang windu di tambak marjinal.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Instalasi Tambak Percobaan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. Tambak yang digunakan tergolong tambak marginal karena tanah tambak sebagian tergolong tanah sulfat masam. Selain itu, sumber air sebagai pasok air tambak berasal dari sungai Maros yang diduga kurang memenuhi persyaratan untuk budidaya udang yang sehat, sehingga untuk mengurangi cemaran tersebut, sebelum masuk ke saluran pemasukan dan petak biofilter, sumber air tersebut dialirkan terlebih dahulu melewati kawasan mangrove yang tumbuh disekitar tambak. Penelitian ini menggunakan enam petak tambak, masing-masing mempunyai luasan 5.000 m2 yang dilengkapi

saluran penghubung menggunakan 2 pipa paralon ukuran 10 inci pada setiap petakan.

Sebelum digunakan untuk petak biofilter dan budidaya udang, dasar tanah pada semua petakan direklamasi. Hal ini untuk menciptakan kondisi tanah tambak yang lebih sehat. Reklamasi dasar tanah dengan cara membalikkan tanah hingga kedalaman 30 cm (lapisan olah tanah) dilanjutkan dengan pengeringan tambak dan perendaman serta diakhiri dengan pembilasan dasar tambak agar senyawa toksik yang terlarut pada saat perendaman dapat terbuang keluar. Pemberantasan ikan liar dan hama lainnya dilakukan dengan menggunakan pestisida organik berupa saponin dosis 20–50 mg/L pada kedalaman air 20 cm dari dasar tambak. Pengapuran dasar tanah dengan dolomit dosis 1,2 ton/ha ditujukan untuk meningkatkan pH tanah sekaligus membunuh trisipan yang masih tersisa didalam tambak dan memberikan kondisi lingkungan yang lebih baik untuk bertumbuhnya bakteri pengurai bahan organik tanah. Pemupukan urea dan SP-36, masing-masing dengan dosis 150 kg dan 100 kg per ha bertujuan untuk menambah nutrien N dan P yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut dan pakan alami di dalam tambak.

Desain dan tata letak tambak biofilter serta padat penebaran komoditas yang digunakan pada petakan biofilter ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Desain dan tata letak tambak pada budidaya udang windu sistem biofilter di tambak marjinal

I Bandeng (9.000 ekor/Ha) Rumput laut (2.000 kg/Ha) Tiram (40.000 ind./Ha II Bandeng (1.000 ekor/Ha) Rumput laut (3.000 kg/Ha) III Udang windu (40.000 ekor/Ha) I Bandeng (4.000 ekor/Ha) Rumput laut (2.000 kg/Ha) Tiram (20.000 ind./Ha II Bandeng (1.000 ekor/Ha) Rumput laut (3.000 kg/Ha) III Udang windu (40.000 ekor/Ha) Sa lu ra n pe ng el ua ra n

A

B

Mangrove Sungai Maros

(3)

Sumber air yang digunakan untuk budidaya udang windu pada perlakuan A dan B sebelumnya melalui petakan biofilter (petak II dan I). Perlakuan biofilter pada A terdiri atas petak I yang ditebari bandeng (Chanos chanos), rumput laut (Gracilaria verrucosa) dan tiram (Crassostrea iredalei dan Saccostrea cuculata), masing-masing dengan padat penebaran 9.000 ekor/ha, 2 ton/ha dan 40.000 ind/ha. Petak II ditebari bandeng dan rumput laut, masing-masing dengan padat penebaran 1.000 ekor/ha dan 3.000 kg/ha. Demikian pula pada perlakuan B terdiri atas petak I yang ditebari bandeng, rumput laut dan tiram, masing-masing dengan padat penebaran 4.000 ekor/ha, 2 ton/ha dan 20.000 ind./ha. Petak II ditebari bandeng dan rumput laut, masing-masing dengan padat penebaran 1.000 ekor/ha dan 3.000 kg/ha. Untuk pemeliharaan udang windu pada perlakuan A dan B dilakukan pada petak III. Padat penebaran udang windu, masing-masing perlakuan adalah 40.000 ekor/ha (Gambar 1). Penebaran udang windu pada petakan III dilakukan setelah 2 minggu petak biofilter ditebari rumput laut, bandeng, dan tiram.

Pertumbuhan bobot udang windu dan kualitas air diukur setiap 2 minggu. Parameter kualitas air yang diamati meliputi bahan organik total, NH4+, NO

3=, PO4=, Fe2+, dan SO4= dengan mengacu pada

prosedur analisis kualitas air yang disarankan APHA (2005). Pertumbuhan pakan alami terutama plankton dilakukan setiap 2 minggu. Pengamatan plankton dengan menggunakan alat Sedwich Rafter Counting (SRC) pada mikroskup binokuler. Identifikasi jenis plankton berpedoman pada buku identifikasi plankton (Prescott, 1997). Data plankton dihitung berdasarkan perhitungan komposisi, kelimpahan, keragaman, dan dominansi pada APHA (2005); Clescer et al. (1998) dan Stafford (1999). Data pertumbuhan udang windu dianalisis statistik dengan menggunakan uji T. Pada akhir penelitian dilakukan penghitungan produksi udang windu dan untuk mengetahui kelayakan usaha dari kegiatan budidaya dilakukan analisis ekonomi.

HASIL DAN BAHASAN Kualitas Air

Hasil analisis bahan organik terlarut (BOT) pada perlakuan A dan B mempunyai kecenderungan pola yang hampir sama, walaupun pada petak I perlakuan B mempunyai nilai sedikit lebih tinggi dengan kisaran 30,45–41,83 mg/L (rata-rata 36,392 mg/L) dibandingkan perlakuan A yang mencapai kisaran 29,45–39,74 mg/L (rata-rata 35,298 mg/L). Pada petak tandon II perlakuan A mencapai kisaran 29,12–37,64 mg/L (rata-rata 33,317 mg/L) dan B 27,79–37,64 mg/L (rata-rata 33,065 mg/L). Namun demikian, bila dibandingkan dengan petak I dan II baik pada perlakuan A maupun B, kandungan bahan organik terlarut pada pada petak III lebih rendah dengan kisaran 25,47–36,59 mg/L (rata-rata 30,398 mg/L) pada perlakuan A dan 25,58–35,54 mg/L (rata-rata 31,238 mg/L) pada perlakuan B. Diduga kandungan BOT air yang rendah pada petak III disebabkan peranan dari rumput laut, bandeng dan tiram pada petak I dan II. Rumput laut, G. verrucosa selain dapat menyerap CO2 juga bermanfaat menyerap kelebihan nutrien di tambak sehingga cukup baik untuk kehidupan udang windu (Neori et al., 1996). Menurut Komarawidjaya (2006), Gracilaria sp. mempunyai kemampuan untuk mengurangi substansi organik melalui penyerapan nitrat dalam air sebesar 0,1219–0,1806 mg/L per hari. Selanjutnya dilaporkan Santoso et al. (2007), bahwa laju penyerapan N-total pada Gracilaria spp. sekitar 37,07–12,31 mg/L per hari (27,28%–8,78%).

Amoniak dalam air bersumber dari hasil perombakan bahan organik dan proses selanjutnya melalui nitrifikasi. Walaupun pada penelitian ini tidak diidentifikasi jenis bakteri pengurai bahan organik, namun banyak literatur menginformasikan bahwa pada proses nitrifikasi tidak terlepas dari peranan bakteri terutama Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp. yang mengubahnya menjadi nitrit dan nitrat. Hasil analisis terhadap kandungan amonia memperlihatkan nilai NH4+ yang berfluktuasi baik

pada petak I, II, dan III. pada petak tandon I, perlakuan A dan B mencapai kisaran 0,0142–0,4457 mg/ L (rata-rata 0,1692 mg/L) dan 0,0207–0,3016 mg/L (rata-rata 0,1370 mg/L). Demikian pula pada petak II pada A dan B, masing-masing mencapai kisaran 0,0590–0,2856 mg/L (rata-rata 0,1444 mg/ L) dan 0,0954–0,4528 mg/L (rata-rata 0,1884 mg/L). Sedangkan pada petak III, perlakuan A dan B mencapai kisaran 0,0305–0,7074 mg/L (rata-rata 0,2382 mg/L) dan 0,0323–0,7070 mg/L (rata-rata 0,2795 mg/L).

(4)

Diduga fluktuasinya disebabkan amonia berada dalam bentuk yang tidak terionisasi (NH3) dan terionisasi (NH4+) secara setimbang mengikuti persamaan seperti berikut:

Biasanya proses amonifikasi ini dipengaruhi oleh kondisi kemasaman air dalam setiap petak. Bila pH<7,0 biasanya amonia berada pada bentuk yang terionisasi dan kesetimbangan bergeser ke kanan menjadi ion amonium, sebaliknya pada pH>7,0 sebagian besar amonia dalam bentuk tak terionisasi, kesetimbangan bergeser ke kiri menjadi amonia.

Pada proses nitrifikasi bakteri memerlukan oksigen dalam air yang cukup untuk merombak am-monia menjadi nitrit. Proses perombakan yang tidak sempurna dapat mengakibatkan akumulasi ion nitrit (NO2-) yang juga bersifat racun bagi udang dan kurang terbentuk ion nitrat (NO

32-). Hasil analisis

kandungan NO32- dalam air selama penelitian berfluktuatif pada setiap tambak biofilter. Pada petak

biofiler I, kandungan nitrat mencapai kisaran 0,0018–0,2919 mg/L (rata-rata 0,0810 mg/L) pada

-4 2

3

H

O

NH

OH

NH

+

+

+

Gambar 2. Fluktuasi BOT, TAN, dan NO32- air pada tambak biofilter dan udang windu selama

penelitian 20 25 30 35 40 45 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu) B O T (ppm ) B2 B4 B6 20 25 30 35 40 45 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu) B O T ( ppm ) B3 B5 B7 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu) NH 4 +-T A N (p p m ) B2 B4 B6 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu) NH 4 +-T A N (p p m ) B3 B5 B7 0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu) NO 3 2- (p p m ) B2 B4 B6 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu0 NO 3 2- (p p m ) B3 B5 B7

(5)

perlakuan A dan 0,0056–0,0857 mg/L (rata-rata 0,0396 mg/L) pada perlakuan B. Demikian pula pada petak II, kandungan nitrat pada masing-masing perlakuan A dan B mencapai kisaran 0,0019–0,0381 mg/L dan 0,0022–0,1005 mg/L. Sedangkan pada petak III yang merupakan petak untuk budidaya udang windu, kandungan nitrat berkisar 0,0036–0,1478 mg/L (rata-rata 0,0347 mg/L) pada A dan 0,0146–0,2002 mg/L (rata-rata 0,0880 mg/L) pada B.

Pada Gambar 3, memperlihatkan bahwa kandungan Fe2+ berfluktuatusi dan mempunyai pola

yang relatif hampir sama dengan kisaran 0,0004-0,0009 mg/L. Demikian pula pada petak II pada

perlakuan A dan B. Rendahnya kandungan Fe2+ diduga karena adanya penyerapan ion-ion oleh

Gracilaria, C. iredalei, dan S. cucullata.

Gambar 3. Fluktuasi Fe2+, SO

42-, dan PO42- air pada tambak biofilter dan udang windu selama

penelitian 0 0,0002 0,0004 0,0006 0,0008 0,001 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu) Fe 2+ (p p m ) B2 B4 B6 0 0,0001 0,0002 0,0003 0,0004 0,0005 0,0006 0,0007 0,0008 0,0009 0,001 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu) Fe 2+ ( ppm) B3 B5 B7 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu) SO 4 2- ( ppm ) B2 B4 B6 0 100 200 300 400 500 600 700 800 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu) SO 4 2- (p p m ) B3 B5 B7 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu) PO 4 2- (pp m ) B2 B4 B6 0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0 12 24 36 48 60 Pengamatan (minggu) PO 4 2- (p p m ) B3 B5 B7

Pantjara et al. (2008) menyatakan rumput laut dapat menyerap ion Fe2+ sangat tinggi (>1.000

mg/L) sehingga cocok bila sebagai biofilter untuk budidaya udang. Sedangkan tiram yang menyaring

plankton sebagai makanannya (Filter feeding) dapat membawa sebagian nutrien termasuk ion Fe2+

yang masuk kedalam tubuhnya. Keberadaan rumput laut Gracilaria sp. yang menyerap berbagai ion-ion yang ada didalam air termasuk sulfat dan fosfat. Nutrien yang terserap tersebut digunakan untuk pertumbuhannya termasuk dalam pembentukan agar.

(6)

Kandungan agar pada G. Verrucosa merupakan polisakarida yang mengandung sulfat pada ester sulfat, -OH dan –COOH yang merupakan situs-situs aktif tempat berinteraksinya suatu logam. Pada Gambar 3, memperlihatkan bahwa SO42- berfluktuasi dan mempunyai pola yang sama antar perlakuan

baik pada petak I dan II perlakuan A dan B. Kisaran sulfat pada petak I perlakuan A adalah 119,21– 842,55 mg/L (rata-rata 503,26 mg/L) dan B adalah 138,43–724,65 mg/L (rata-rata 469,51mg/L). Sedangkan pada petak II, yaitu 117,16–716 mg/L (rata-rata 439,6 mg/L) dan 104,63–683,4 mg/L (rata-rata 470,86 mg/L). Pada petak III kandungan SO42- lebih rendah dibandingkan petak I dan II

yaitu 307,83–573,55 mg/L (rata-rata 432,46 mg/L) pada A dan 150,1–651,45 mg/L (rata-rata 452,24 mg/L). Diduga rendahnya kandungan SO42- di petak III pada perlakuan A dan B disebabkan nutrien

tersebut rumput laut pada petak I dan II.

Kandungan PO42- pada petak tandon I perlakuan A mencapai kisaran 0,0155–0,1704 mg/L

(rata-rata 0,0829 mg/L) dan B adalah 0,0025–0,1219 mg/L ((rata-rata-(rata-rata 0,0659 mg/L). Pada petak II perlakuan A dan B masing-masing mencapai kisaran 0,0029–0,3805 mg/L (rata-rata 0,1106 mg/L) dan 0,0022– 0,1005 mg/L (rata-rata 0,0245 mg/L). Sedangkan di petak III perlakuan A adalah 0,0025–0,1928 mg/ L (0,0821 mg/L) dan pada B berkisar antara 0,0146–0,2002 mg/L (0,0880 mg/L). Diduga rendahnya kandungan PO42- pada petak III karena dimanfaatkan rumput laut dan pertumbuhan klekap atau alga

sebagai makanan bandeng. Menurut Santoso et al. (2007), bahwa laju penyerapan total fosfat pada Gracillaria spp. sekitar 0,98–5,08 mg/L (7,76%–41,80%) per hari. Sifat sinergis dan menguntungkan dari ketiga komoditas tersebut (rumput laut, bandeng, dan tiram) membantu untuk mempertahankan kondisi kualitas air tambak yang baik.

Plankton

Plankton yang teridentifikasi selama penelitian sebanyak 31 genus plankton (17 genus fitoplankton dan 14 genus zooplankton). Pada Tabel 1, tampak bahwa populasi plankton masing-masing petak biofilter pada setiap pengamatan terjadi perbedaan dan berfluktuasi dan diduga hal ini dipengaruhi

Tabel 1. Pengamatan populasi plankton pada perlakuan biofilter setiap 2 minggu

oleh fluktuasi nutrien dalam air (Gambar 2 dan 3). Dilaporkan oleh Mesple et al. (1996), bahwa zooplankton dan fitoplankton diperairan biasanya berada dalam keseimbangan. Keberadaaan zoop-lankton pada siang hari di tambak dipengaruhi sinar matahari.

Dari hasi identifikasi jenis plankton diantaranya merupakan spesies yang bersifat kosmopolit, tahan terhadap kondisi yang ekstrim, mudah beradaptasi pada lingkungan dan daya reproduksi yang sangat cepat. Jenis plankton antara lain adalah Nitzchia sp., Oscilatoria sp., Pleurosigma sp., Copepoda sp., Gyrosigma sp., dan Navicula sp.

Pertumbuhan dan produksi udang windu

Pemanfaatan biofilter untuk budidaya udang windu dapat menghambat berkembangnya penyakit (bakteri dan virus). Pada saat penelitian berlangsung selama 45 hari, tambak percobaan di sekitar lokasi penelitian mulai terserang penyakit WSSV dan bahkan sudah menjalar ke petakan yang tanpa biofilter sehingga banyak udang yang dipanen paksa. Namun pada tambak yang digunakan untuk

(7)

penelitian masih tampak udang tumbuh normal dan dari uji Polimerase Chain Reaction (PCR) terhadap udang windu menunjukkan negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa udang yang dibudidaya pada sistem biofilter belum terjangkiti virus WSSV. Namun demikian, kondisi ini berlangsung selama 33 hari sejak terjadinya serangan penyakit. Sehingga pada umur udang 78 hari setelah pemeliharaan beberapa ekor udang mulai tampak gejala stres dan beberapa diantaranya sudah dinilai positip terserang WSSV. Diduga berkembangnya penyakit yang terjadi pada udang windu di petak III berasal dari rembesan pematang yang bersebelahan dengan saluran air pembuangan dan air dari petak biofilter yang sumber airnya berasal dari sungai dan sudah tercemari WSSV. Tampaknya teknologi biofilter belum mampu untuk mencegah berkembangnya penyakit WSSV pada udang windu, tetapi dapat menghambat WSSV sehingga produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak menggunakan petak biofilter. Pengaruh biofilter terhadap pertumbuhan bobot udang windu pada perlakuan A mencapai bobot rata-rata lebih tinggi yaitu 9,82±2,159 g/ekor dan perlakuan B mencapai bobot rata-rata 9,10±1,322 g/ekor. Namun demikian dalam uji T pada kedua perlakuan biofilter menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Hasil penelitian budidaya udang windu sistem biofilter pada perlakuan A menghasilkan sintasan sebesar 63,46% dan produksi udang windu sebesar 249,28 kg/ha lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan B yang menghasilkan sintasan 59,73% dan produksi 217,48 kg/ha.

Analisis Ekonomi Budidaya Pentokolan

Hasil analisis ekonomi budidaya udang windu sistem biofilter ditampilkan pada Tabel 1 dan 2. Usaha budidaya udang windu di tambak marginal dengan sistem biofilter pada perlakuan A diperlukan total biaya sebesar Rp 1.000.000,- dan biaya operasional Rp 10.275.400,-. Keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 10.977.000,- per musim tanam dengan B/C rasio 2,07 dan rentabilitas ekonomi 116,6%. Sedangkan pada perlakuan B diperlukan total biaya sebesar Rp 1.000.000,- dan biaya operasional Rp 8.775.000,-. Keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 5.277.000,- per musim tanam dengan B/C rasio 1,54 dan rentabilitas ekonomi 64,21%.

KESIMPULAN

♦ Pemanfaatan petak biofilter berupa tiram, rumput laut dan bandeng memberikan andil cukup

besar dalam meningkatkan kondisi kualitas air tambak.

♦ Budidaya udang windu sistem biofilter pada perlakuan A menghasilkan sintasan dan produksi

sebesar 63,46% dan 249,28 kg/ha dan B 59,73% dan 217,48 kg/ha.

♦ Hasil analisis ekonomi pada budidaya udang windu sistem biofilter pada perlakuan A

Menghasilkan keuntungan Rp 10.977.000,- per musim tanam dengan B/C rasio 2,07. 249.28 217.48 63.46 59.73 0 50 100 150 200 250 300 I II Produksi (kg/ha) SR (%)

Gambar 4. Pemanfaatan biofilter di tambak terhadap sintasan dan produksi udang windu

(8)

DAFTAR ACUAN

APHA (American Public Health Association). 2005. Standard Methods for Examination of Water and Waste-water. 20th edition. APHA, AWWA, WEF, Washington, 1,085 pp.

Azim, M.E., Verdegem, M.C.J., van Dam, A.A., & Beveridge, M.C.M. (Eds.). 2005. Peryphyton: ecology, exploitation and management, CAB International, Cambridge, 352 pp.

Boran, E. & Hambrey, J. 1998. Mangrove conservation and coastal management in South East Asia: What impact on Fishery Resources?, Marine Pollution Bulletin, 37(8-12): 431-440.

Chanratchakool, P., Turnbull, J.F., Funge-Smith, S.J., MacRae, F.H., & Limsuwan, C. 1998. Health Man-agement in Shrimp Ponds, 3rd ed. Aquatic Animal Health Research Institute, Kasetsart University Campus, Bangkok, Thailand, 152 pp.

Chopin, T., Buschmann, A.H., Halling, C., Troell, M., Kautsky, N., Neori, A., Kraemer, G., Zertuche-Gonzalez, J., Yarish, C., & Neefus, C. 2001. Integrating seaweeds into aquaculture systems: a key towards sustainability. J. of Phycology, 37: 975–986.

Chow, F., Macchiavello, J., Cruz, S., Fonck, E., & Olivare, L. 2001. Utilization of Gracilaria chilensis (Rhodophyta: Gracilariacea) as a biofilter in the depuration of effluents from tank cultures offish, oysters and sea urchins. J. of World Aquaculture Society, 32: 215–220.

Clescer, L.S., Greenberg, A.E., & Eaton, A.D. 1998. Standard Methods for the examination of water and wastewater. APPHA, AWWA, and WEF, Washington, US.

Crab, R., Avnimelech, Y., Defoirdt, T., Bossier, P., & Verstraete, W. 2007. Nitrogen removal techniques in aquaculture for a sustainable production, Aquaculture, 270: 1-14.

Edwards, P. 1993. Environmental issues in integrated agriculture- aquaculture and wastewater-fed fish culture systems. In: Pullin, R.S.V., Rosenthal, H., Maclean, J.L. (Eds.), Environment and Aquac-ulture in Developing Countries. ICLARM Conf. Proc., 312: 139–170.

Farazanfar, A. 2006. The use of probiotics in shrimp aquaculture FEMS Immunol Medical Microbiol-ogy, 48: 149-158.

Fei, X.G. 2004. Solving the coastal eutrophication problem by large scale seaweed cultivation. Hydrobiologia, 512: 145–151.

Hargreaves, J.A. 2006. Photosynthetic suspended growth systems in aquaculture, Aquacultural Engi-neering, 34: 344-363.

Hari, B., Kurub, M.B., Varagese, J.T., Schrama, J.W., & Verdegem, M. 2006. The effect of carbohydrate addition on water quality and the nitrogen budget in extensive shrimp culture systems. Aquacul-ture, 252(2-4): 248-263.

Komarawidjaya, W. 2006. Manfaat rumput laut (Gracilaria sp.) sebagai biofilter pencemaran limbah organik nitrogen. J. Hidrosfir Indonesia, 1(3): 116-119.

Mazzola, A. & Sara, G. 2001. The effect of fish farming organic waste on food availability for bivalve molluscs (Gaeta Gulf, Central Tyrrhenian, MED):stable carbon isotopic analysis. Aquaculture, 192: 361-379.

Mesple, F., Casellas, C., Trusselliier, M., & Bontoux, J. 1996. Modelling orthophosphat evolution in a high rate algal pond. Ecological Modelling, 89: 13-21.

Nelson, S.G., Glenn, E.P., Conn, J., Moore, D., Walsh, T., & Akutagawa, M. 2001. Cultivation of Gracilaria parvispora (Rhodophyta) in shrimp-farm effluent ditches and floating cages in Hawaii: a two-phase polyculture system. Aquaculture, 193: 239–248.

Neori, A., Krom, M.D., Ellner, S.P., Boyd, C.E., Popper, D., Rabinovitch, R., Davison, P.J., Dvir, O., Zuber, D., Ucko, M., Angel, D., & Gordin, H. 1996. Seaweed biofilters as regulators of water quality in integrated fish seaweed culture units. Aquaculture, 141: 183–199.

Neori, A., Shpigel, M., & Scharfstein, B. 2001. Land-based low-pollution integrated mariculture of fish, seaweed and herbivores:principles of development, design, operation and economics. Euro-pean Aquaculture Society Special Publication, 29: 190-191.

Neori, A., Chopin, T., Troell, M., Buschmann, A.H., Kraemer, G.P., Halling, C., Shpigel, M., & Yarish, C. 2004. Integrated aquaculture: rationale, evolution and state of the art emphasizing seaweed biofiltration in modern mariculture. Aquaculture, 231: 361–391.

(9)

Neori, A., Troell, M., Chopin, T., Yaris, C., Critchley, A., & Buschmann, A.H. 2007. The need for a balanced ecosystem approah to blue revolution aquaculture. Envinronment 49(3): 36-43. Neiland, A.E., Soley, N., Varley, J.B., & Whitmars, D.J. 2001. Shrimp aquaculture: economic

perspec-tives for policy development. Marine Policy, 25: 265-279.

Pantjara, B., Tahe, S., Mustafa, A., & Hendrajat, E.A. 2008. Pemanfaatan tambak marginal tanah sulfat masam untuk budidaya bandeng (Chanos-chanos), nila merah (Oreochonis niloticus), dan rumput laut (Gracilaria verucosa). Prosiding Aquaculture Indonesia, MAI. hlm. 295-302.

Pantjara, B. 2009. Distribusi geokimia dan produktivitas tambak tanah sulfat masam. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur (FITA) 2009, PRPB. hlm. 385-396.

Paez-Osuna, F., Guerrero-Galvan, S.R., Ruiz-Fernandez, A.C., & Espinoza-Angulo, R., 1997. Fluxes and mass balances of nutrients in a semi-intensive shrimp farm in North–Western Mexico. Mar. Pollut. Bull., 34(5): 290–297.

Prescott, G.W. 1997. Algae of water great lake area. Brown company Publishers, Iowa.

Santoso, A.D., Komarawidjaya, W., Darmawan, R.A., & Arman, E. 2007. Studi kemampuan rumput laut dalam penyerapan nutrien. Jurnal Hidrosdfir Indonesia, 2(1): 32-36.

Scheneider, O., Sereti, V., Eping, Ep. H., & Verreth, J.A.J. 2006. Molasses as C source for heterotropic bacteria production on solid fish waste. Aquaculture, 261: 1,239-1,245.

Stafford, C. 1999. Phytoplankton of aquaculture ponds: collection analysis and identification, 59 pp. Troell, M., Ronnback, P., & Halling, C. 1999. Ecological engineering in aquaculture: use of seaweeds

for removing nutrients from intense mariculture. Journal of Applied Phycology, 11: 89–97.

Wasielesky, W (Jr), Atwood, H., Stokes, A., & Browdy, C.L. 2006. Effect of natural production in brown water super-intensive ulture system for white shrimp Litopenaeus Vannamei. Aquaculture, 258: 396-403.

Xu, Y.J., Jiao, N.Z., & Qian, L.M. 2004. Nitrogen nutritional identities of Gracilaria as bioindicators and restoral plants (in Chinese with English abstract). Journal of Fishery Sciences of China, 11: 276–281. Yang, Y.F., Fei, X.G., Song, J.M., Hu, H.Y., Wang, G.C., & Chung, I.K. 2006. Growth of Gracilaria lemaneiformis under different cultivation conditions and its effects on nutrient removal in Chinese coastal waters. Aquaculture, 254: 248–255.

Zhou, Y., Yang, H.S., Hu, H.Y., Liu, Y., Mao, Y.Z., Zhou, H., Xu, X.L., & Zhang, F.S. 2006. Bioremediation potential of the macroalga Gracilaria lemaneiformis (Rhodophyta) integrated into fed fish culture in coastal waters of north china. Aquaculture, 252: 264–276.

(10)

Lampiran 1. Analisis biaya pengaruh biofilter pada perlakuan A

Uraian Volume Harga satuan (Rp) Jumlah (Rp)

A. Modal Investasi 1 0 1.000.000

B. Penyusutan modal investasi 10% 1 0

C. Biaya tetap 1.000.000

D. Biaya Variabel (per siklus) 9.275.000

- Benih udang windu 40.000 35 1.400.000 - Bibit rumput laut 5.000 800 4.000.000 - Tiram 40.000 25 1.000.000 - gelondongan bandeng 10.000 65 650.000 - Pupuk TSP 100 2.500 250.000 - Pupuk urea 100 2.000 200.000 - Pakan udang 100 11.250 1.125.000 - Pakan bandeng 100 6.500 650.000 E. Total Biaya 10.275.000 F. Penerimaan 21.252.000 - udang windu 249,28 25.000 6.232.000 - Rumput laut 8.900 800 7.120.000 - Tiram 16.000 25 400.000 - Bandeng 7.500 1.000 7.500.000 G. Laba G1. Laba operasional 11.977.000 G2. Laba per musim tanam 10.977.000 G3. Laba pertahun 32.931.000

H. Cash Flow 33.931.000

I. B/C rasio 2,07

J. Rentabilitas Ekonomi (%) = 116,56 K. Payback period 0,30

(11)

Lampiran 2. Analisis biaya pengaruh biofilter pada perlakuan B

Uraian Volume Satuan Harga satuan (Rp) Jumlah (Rp)

A. Modal Investasi 1 ha 0 1.000.000 B. Penyusutan modal investasi 10% 0 C. Biaya tetap 1 ha 1.000.000 D. Biaya Variabel (per siklus) 8.775.000 - Benih udang windu 40.000 ekor 35 1.400.000 - Bibit rumput laut 5.000 kg 800 4.000.000 - Tiram 20.000 ekor 25 500.000 - gelondongan bandeng 5.000 ekor 65 325.000 - Pupuk TSP 100 Kg 2.500 250.000 - Pupuk urea 100 kg 2.000 200.000 - Pakan udang 100 kg 11.250 1.125.000 - Pakan bandeng 150 Kg 6.500 975.000 E. Total Biaya 9.775.000 F. Penerimaan 15.052.000 - udang windu 217,48 kg 25.000 5.437.000 - Rumput laut 8.500 kg 800 6.800.000 - Tiram 8.600 ekor 25 215.000 - Bandeng 2.600 ekor 1.000 2.600.000 G. Laba G1. Laba operasional 6.277.000 G2. Laba per musim tanam 5.277.000 G3. Laba pertahun 15.831.000

H. Cash Flow 16.831.000

I. B/C rasio 1,54 J. Rentabilitas Ekonomi (%) = 64,21

K. Payback period 0,58

Gambar

Gambar 1. Desain dan tata letak tambak pada budidaya udang windu sistem biofilter di tambak marjinal
Gambar 2. Fluktuasi BOT, TAN, dan NO 3 2-  air pada tambak biofilter dan udang windu selama penelitian202530354045012 24 36 48 60Pengamatan (minggu)BOT (ppm)B2B4B6 202530354045 0 12 24 36 48 60Pengamatan (minggu)BOT (ppm)B3B5B700,10,20,30,40,50,60,70,80122
Gambar 3. Fluktuasi Fe 2+ , SO 4 2- , dan PO 4 2-  air pada tambak biofilter dan udang windu selama penelitian00,00020,00040,00060,00080,001012 24 36 48 60Pengamatan (minggu)Fe2+ (ppm)B2B4B6 00,00010,00020,00030,00040,00050,00060,00070,00080,00090,001 0 12
Tabel  1. Pengamatan  populasi  plankton  pada  perlakuan  biofilter  setiap  2 minggu
+2

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu sudah sewajarnya bila dalam proses pembelajaran media pembelajaran harus benar- benar direncanakan dan digunakan dengan sebaik-baiknya oleh semua guru, maka dari itu

Dengan memahami konsep kronologi, peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di masa lalu dapat direkonstruksi kembali secara tepat berdasarkan urutan waktu terjadinya..

Data spasial oseanografi khususnya data suhu, salinitas, oksigen terlarut, derajat keasaman, turbiditas, dan kecerahan diperoleh dari pengukuran di beberapa titik observasi

Ekplorasi dimulai dengan mencari tahu atau mempelajari kemampuan apa saja yang tersedia pada feature PC-Dmiss yang bisa dipergunakan untuk efisiensi waktu proses pembuatan

Berdasarkan pemaparan prestasi belajar di atas dapat diberikan penjelasan bahwa telah terjadi peningkatan prestasi belajar siswa dari siklus I mencapai rata-rata 63,33 naik menjadi

Pembiayaan MMQ yang digunakan disini adalah kerjasama antara nasabah dengan bank untuk membeli rumah, kemudian nasabah harus membayar uang sewa secara angsuran

 pendekatan dari dari masyarakat masyarakat ke ke hukum. 'enurut 'enurut ociological ociological @ @u urisprudence risprudence hukum yang baik haruslah hukum yang