• Tidak ada hasil yang ditemukan

ۡو َ

أ ۡمُكِنىَوۡخِإ ِتوُيُب

ُيُب ۡو َ

أ ۡمُكِتى َوَخ َ أ ِتوُيُب ۡو َ

أ ۡمُكِتىَّمَع ِتوُيُب ۡو َ

أ ۡمُكِمى َمۡع َ أ ِتو َل ۡۚۡمُكِقيِد َص ۡو َ

أ ٓۥُهَ ِتِاَفَّم مُتۡكَلَم اَم ۡو َ

أ ۡمُكِتىَلى َخ ِتوُيُب ۡو َ

أ ۡمُكِلى َوۡخ َ أ ِتوُيُب َسۡي

ْاوُمِ ل َسَف اٗتوُيُب مُت ۡلَخَد اَذِإَف ۡۚاٗتاَتۡشَأ ۡوَأ اًعيِ َجَ ْاوُلُكۡأَت نَأ حاَنُج ۡمُكۡيَلَع ٰٓ َ َعَل

ِتى َيلۡأٓٱ ُمُكَل ُ َّللَّٱ ُ ِ يَّبُي َكِلىَذَك ۡۚٗةَبِ يَط ٗةَكَرىَبُم ِ َّللَّٱ ِدنِع ۡنِ م ٗةَّيِ َتِ ۡمُكِسُفنَأ َنوُلِقۡعَت ۡمُكَّلَعَل

“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, (dirumah) kamu yang kamu miliki kuncinya, atau (dirumah) kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendiri-sendiri. Apabila kamu memasuki rumah-rumah hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu mengerti.” (QS An-Nur [24]:61)

98 Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-

Qur’an, jilid 4, h. 254

Dalam ayat ini Imam al-Qurthubî membahasnya menjadi sebelas masalah, namun masalah yang sesuai dengan pembahasan penulis adalah masalah kedua.

Ibnu Zaid berkata, “Halangan yang dimaksud adalah halangan untuk berperang. Yakni tidak ada dosa bagi mereka untuk tidak berperang.”

Sekelompok ulama mengatakan bahwa seluruh ayat ini berbicara tentang makanan. Mereka berkata, “Orang-orang Arab dan orang-orang Madinah sebelum pengangkatan Rasulullah, enggan untuk makan bersama orang- orang yang memiliki uzur. Sebagaian dari mereka melakukan itu karena merasa jijik terhadap tangan orang buta, duduk bersama orang pincang, dan bau badan orang sakit. Ini adalah akhlak jahiliyah dan sikap sombong yang ditunjukkan oleh mereka, sehingga turunlah ayat yang mengizinkan untuk makan bersama mereka. Sebagian yang lain melakukan itu karena merasa tidak enak terhadap orang-orang yang mempunyai uzur. Pasalnya, orang- orang yang mempunyai uzur (buta, pincang dan sakit) itu berada di bawah orang-orang yang sehat dalam hal mengonsumsi makanan. Mereka juga ada yang tidak dapat melihat, ada yang tidak dapat berdesek-desekkan, dan ada pula yang sangat lemah, sehingga turunlah ayat ini yang membolehkan makan bersama mereka.99

Ibnu Abbas berkata dalam kitab yang ditulis az-Zahrawi, “Orang- orang yang mempunyai uzur enggan makan bersama orang-orang yang tidak memmpunyai uzur, karena uzur yang mendera mereka, sehingga turunlah ayat yang membolehkan mereka untuk makan bersama orang- orang yang tidak memiliki uzur (orang yang sehat, tidak pincang dan tidak buta) tersebut.” Menurut satu pendapat, apabila orang yang mempunyai uzur datang ke rumah seseorang dan tidak menemukan sesuatu di

99 Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-

Qur’an, jilid 12 (Beirut, Mu’assisah ar-Risalah, 2006) h. 784-785

rumahnya, maka sang pemilik rumah mendatangi rumah saudaranya untuk meminta sesuatu yang akan diberikan kepadanya. Oleh karena itu, orang yang mempunyai uzur itu merasa tidak enak akan hal itu, sehingga turunlah ayat ini.”100

Ayat diatas secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dengan orang normal pada umumnya. Mereka harus diperlakukan sama dan diterima dengan tulus, tanpa diskriminasi, serta tanpa stigma negatif dalam kehidupan bersosial di masyarakat. Syaikh Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya menjelaskan, substansi firman Allah dalam surah An-Nur ayat 61 ini adalah bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang memiliki uzur dan keterbatasan fisik (tunanetra, tunadaksa, dan orang yang sakit) untuk makan bersama orang sehat (dan bukan penyandang disabilitas), sebab Allah membenci kesombongan dan orang-orang yang sombong. Allah menyukai kerendahan hati dari para hambaNya.101 Bahkan dari penafsiran ayat ini menjadi jelas bahwa islam mengecam sikap dan tindakan diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas. Terlebih diskriminasi yang berdasarkan kesombongan dan jauh dari akhlaq yang mulia. Dari ayat ini terlihat bagaimana Islam sebagai perintis dalam memenuhi hak-hak disabilitas. Islam juga sangat memperhatikan penyandang disabilitas, menerimanya setara dengan manusia lainnya.102 2. Surah Al-Fath ayat 17

100 Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, h. 786

101 Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir al-Ahkam, cet. 3 (Beirut, Muassah Manahil al-Irfan, 1981) h. 223

102https://islam.nu.or.id/post/read/114186/pandanganfiqihterhadapibadahpenyandangd isabilitas (Diakses pada 21 Juni 2020 Pukul 10.25 wib)

جَرَح ى َمۡع َ ۡ لۡٱ َ َعَل َسۡيَّل

جَرَح ِجَرۡع َ ۡ لۡٱ َ َعَل َلََو جَرَح ِضيِرَم ۡ لٱ َ َعَل َلََو

نَمَو

اًباَذَع ُهۡبِ ذَعُي َّلَوَتَي نَمَو ُُۖرىَهۡنَ ۡلۡٱ اَهِتۡ َتِ نِم يِرۡ َتَ ٖتىَّنَج ُهۡلِخۡدُي ۥَُلَوُسَرَو َ َّللَّٱ ِعِطُي اٗم ِلِ َ

أ

“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang-orang yang pincang dan atas orang-orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang) dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling, Dia akan mengazabnya dengan azab yang pedih. (QS Al-Fath [48]:17)

Ibnu Abbas berkata, ketika turun surah Al-Fath ayat 16, Orang-orang yang mempunyai penyakit menahun (cacat permanen) berkata, ‘Bagaimana dengan kami wahai Rasulullah? Maka turunlah ayat 17 ini. Yakni tidak ada dosa atas mereka jika tidak ikut berjihad karena buta, penyakit menahun, atau karena lemah. Pembahasan mengenai hal ini telah dikemukakan dengan jelas pada surah At-Taubah dan yang lainnya.103

Al-A’raj adalah cacat yang mendera sebelah kaki. Apabila hal itu dapat menimbulkan pengaruh (sehingga dapat menggugurkan kewajiban jihad) maka apalagi dengan kedua kaki. Tentunya cacat kedua kaki ini lebih dapat menggugurkan kewajiban jihad. Muqatil berkata, mereka adalah orang-orang yang mempunyai penyakit menahun, yang tidak turut serta dalam melaksanakan umrah pada tahun penandatanganan kesepakatan Hudaibiyah. Dimana Allah telah memaafkan mereka. Maksudnya, barangsiapa diantara mereka yang hendak pergi bersamamu ke Khaibar, maka hendaklah dia melakukannya. ُلَوُسَرَو َ َّللَّٱ ِعِطُي نَمَوۥَ “Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya” (pada apa yang diperintahkanNya),

103 Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, jilid 16 (Beirut, Mu’assisah Al-Risalah, 2006) h. 708

ُرى َهۡنَ ۡ لۡٱ اَهِتَۡ

تِ نِم يِرَۡ

تَ ٖتىَّنَج ُهۡلِخۡدُي. “Niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam

surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” 104

Nafi’ dan Ibnu Amir membaca firman Allah itu dengan Nudhilhu (niscaya kami masukkan dia) yakni dengan huruf nun, guna mengagungkan dzat Allah.105 Adapun yang lain, mereka membaca firman Allah itu dengan huruf ya’ ( ُهۡلِخۡدُي ). Qira’at inilah yang dipilih Abu Ubaid dan Abu Hatim, sebab sebelumnya nama Allah sudah disebutkan.

Perlindungan terhadap kaum disabilitas juga diperlihatkan oleh Al- Qur’an dalam ayat ini yakni pada surah Al-Fath ayat 17. Ayat ini turun berkenaan dengan keresahan orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik, baik karena cacat fisik maupun karena sakit, dalam melaksanakan perintah untuk berjihad yang sesungguhnya diarahkan kepada orang munafik yang enggan untuk berjihad di jalan Allah, meskipun kondisi fisik mereka sangat memungkinkan untuk turut dalam perang. Karena adanya ancaman dalam Al-Qur’an terhadap kelompok yang enggan untuk berjuang dan berjihad di jalan Allah, sekelompok orang yang secara fisik memiliki keterbatasan merasa resah, lalu mengadu kepada Rasulullah, langkah terbaik apa yang seharusnya mereka ambil. Dengan keresahan tersebut maka turunlah surat Al-Fath ayat 17 tersebut.106

3. Surah Abasa ayat 1 dan 2

ٰٓ لََّوَتَو َسَبَع َّ

( ١ ى َمۡع َ ۡ لۡٱ ُهَءٓاَج ن َ )

أ (

٢ )

“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling. Karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum).” (QS ‘Abasa [80]: 1-2)

104 Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, h. 709

105 Qira’ah dengan huruf nun ini pun merupakan qira’ah yang mutawatir.

106 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, jilid 13 (Beirut, Dar Al-Fikr, 2003) h. 495

Mengenai dua ayat ini Imam al-Qurthubî membahasnya menjadi enam masalah, yakni:

Pertama: firman Allah ta’ala, َسَبَع artinya kalaha bi wajhihi (berwajah masam). Dikatakan ‘abasa wa basara. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya. ٰٓلََّوَتَوَّ artinya a’radha bi wajhihi (memalingkan wajahnya). نَ

أ

ُهَءٓاَج karena telah datang kepadanya, نَ

أberada pada posisi nashab sebagai maf’ul lahu. Maknanya lian jaa’ahul a’ma (karena telah datang seorang buta kepadanya). Yakni, orang yang tidak dapat melihat dengan kedua matanya.107

Mayoritas ahli tafsir meriwayatkan bahwa ada beberapa tokoh-tokoh Quraisy bersama Rasulullah yang beliau ingin sekali mengislamkan mereka. Tiba-tiba Abdullah Ummi Maktum datang. Ketika itu Rasulullah merasa tidak suka Abdullah mengganggu pembicaraan beliau. Oleh karena itu, beliau pun berpaling darinya, pada peristiwa tersebutlah ayat ini turun.108

Malik berkata, “Hisyam bin Urwah menceritakan kepadanya, dari Urwah, bahwa dia berkata, turun Firman Allah Ta’ala َّٰٓ

لََّوَتَو َسَبَع “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling,” pada Ibnu Ummi Maktum.

Dia (Ibnu Ummi Maktum) datang kepada Rasulullah, lalu berkata, “Wahai Muhammad, berilah aku petunjuk”. Ketika itu, di dekat beliau ada seorang tokoh kaum musyrikin. Rasulullah malah berpaling darinya dan menghadap ke orang lain sambil berkata, “Hai fulan, apakah kamu melihat ada ketidaksesuaian dengan apa yang aku katakan?” fulan itu menjawab

107Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, Jilid 20 (Beirut, Mu’assisah ar-Risalah, 2006) h. 84

108 Jalaluddin As-Suyuti, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, (Beirut, Dar al-Khatab al- Ilmiyah 2012) h. 473

Tidak, demi berhala, aku tidak melihat ada ketidaksesuaian dengan apa yang kamu katakan” maka Allah menurunkan firmanNya, َّٰٓ

لََّوَتَو َسَبَع “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling”.

Dalam riwayat at-Tirmidzi, ia berkata “Sa’id bin Yahya bin Sa’id al- Umawi menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepadaku, dia berkata, ‘Inilah yang kami paparkan kepada Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a, dia berkata, “Turun Firman Allah Ta’ala, َسَبَع َّٰٓ

لََّوَتَو‘Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling’ pada Ibnu Ummi

Maktum yang buta. Dia datang kepada Rasulullah, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, beri aku petunjuk.’ Ketika itu di dekat Rasulullah ada tokoh kaum musyrikin. Rasulullah malah berpaling darinya dan menghadap kepada orang lain sambil berkata, ‘Apakah kamu melihat ada ketidaksesuaian dengan apa yang aku katakan.’ Orang itu menjawab

‘tidak’. Pada peristiwa itu turunlah ayat ini.” at-Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadis gharib109

Kedua: Ayat ini adalah teguran dari Allah kepada Rasulullah karena sikap berpalingnya dari Abdullah Ummi Maktum. Ada yang mengatakan namanya adalah Amr bin Ummi Maktum. Nama Ummi Maktum sendiri adalah Atikah binti Amir bin Makhzum. Amr ini adalah putra Qais bin Za’idah bin al-Asham, putra paman (dari pihak ibu) Khadijah r.a. Ketika itu, Rasulullah sibuk dengan seorang laki-laki dari tokoh kaum musyrikin.

Ada yang mengatakan bahwa nama tokoh kaum musyrikin ini adalah Walid

109 Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, Jilid 20, h. 85

bin Mughirah. Ini menurut Ibnu Al-Arabi. Seperti yang dikatakan oleh al- Malikiyah dari ulama kami. Dia bergelar Abu Abdi Syams.110

Menurut Qatadah tokoh kaum musyrikin itu adalah Umayyah bin Khalaf. Namun diriwayatkan dari Qatadah juga bahwa tokoh kaum musyrikin itu bernama Ubay bin Khalaf. Mujahid berkata, “Tokoh kaum musyrikin itu berjumlah tiga orang, yaitu Utbah dan Syaibah, keduanya putri Rabi’ah dan Ubay bin Khalaf.” Menurut Atha, Utbah bin Rabi’ah.

Menurut Sufyan ats-Tsauri, Nabi bersama paman beliau, Abbas. Menurut az-Zamakhsari, ketika itu beliau bersama sejumlah tokoh Quraisy, yaitu Utbah bin Syaibah, kedua putra Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, Abbas bin Abdul Muthalib, Muthalib, Umayyah bin Khalaf bin Walid bin Mughirah.

Beliau mengajak mereka kepada islam, dengan harapan orang lain juga berislam dengan keislaman mereka.111

Ibnu Arabi berkata, “Adapun pendapat ulama kita bahwa tokoh kaum musyrikin itu adalah Walid bin Mughirah maka ulama lainnya mengatakan bahwa tokoh kaum musyrikin itu adalah Umayyah bin Khalaf bin Abbas.

Semua pendapat diatas adalah keliru dan bukti ketidaktahuan sebagian ahli tafsir yng tidak teliti dengan agama. Sebab Umayyah bin Khalaf dan Walid berada di Makkah dan Ibnu Ummi Maktum berada di Madinah. Dia tidak pernah bersama keduanya dan keduanya tidak pernah bersamanya. Selain itu, Umayyah dan Walid meninggal dalam keadaan kafir. Salah satunya sebelum hijrah dan satunya lagi pada perang badar. Umayyah sendiri tidak pernah pergi ke Madinah dan tidak pernah berada dekat dengan Nabi baik sendirian maupun bersama orang lain.”

110 Ibnu Arabi, Ahkam Al-Qur’an, Jilid 4 (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003) h.

1905

111Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, jilid 20, h. 86

Ketiga: Ibnu Ummi Maktum datang saat Rasulullah sibuk dengan beberapa tokoh Quraisy untuk mengajak mereka kepada Allah. Beliau sangat ingin mereka, dengan keislaman mereka diharapkan dapat menyebabkan keislaman kaum mereka.

Ibnu Ummi Maktum, seorang buta itu datang, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang telah diajarkan oleh Allah kepada engkau.” Dia terus menyeru beliau, namun ia tidak tahu bahwa beliau sedang sibuk dengan orang lain, hingga nampak ketidaksenangan di wajah beliau, karena pembicaraan beliau jadi terganggu. Dalam hati pun beliau berkata “Orang-orang itu pasti berkata, ‘Ternyata pengikutnya adalah orang-orang buta, rendah dan budak’.” maka beliau bermuka masam dan berpaling dari Ibnu Ummi Maktum, ketika itu juga turunlah ayat ini. Ats- Tsauri berkata, “Setelah kejadian itu, apabila melihat Ibnu Ummi Maktum, Rasulullah langsung menghamparkan selendang beliau dan berkata,

‘Selamat datang orang yang karenanya Tuhanku mencelaku.’ Lalu beliau bersabda, ‘ada yang bisa aku bantu?’ Rasulullah juga sempat dua kali menugaskannya untuk memimpin Madinah sementara beliau pergi melakukan perang” Anas r.a berkata, “Pada peristiwa Qadasiyah aku melihat Ibnu Ummi Maktum memakai baju besi dan di tangannya bendera hitam”.112

Keempat: Para ulama kami berkata, “Apa yang dilakukan oleh Ibnu Ummi Maktum termasuk perbuatan tidak sopan seandainya dia mengetahui bahwa nabi sedang sibuk dengan orang lain dan beliau mengharap keislamannya.” Akan tetapi Allah tetap menegur Rasulullah hingga tidak mengecewakan hati ahli shuffah (kaum muslimin yang tidak mampu) dan agar semua orang tahu bahwa mukmin yang fakir lebih baik dari orang kafir

112Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, jilid 20, h. 87-88

yang kaya dan memandang atau memperhatikan kepada orang yang beriman itu lebih utama dan lebih baik, sekalipun ia seorang fakir, daripada memandang dan memperhatikan kepada perkara lain, yaitu memperhatikan orang-orang yang kaya karena menginginkan keimanan mereka, sekalipun ini termasuk salah satu kemaslahatan. Berdasarkan hal ini muncullah Firman Allah ta’ala dalam Al-Qur’an surah Al-Anfal ayat 67:

ي ِبَ ِلِ َن َكَ اَم اَيۡنُّلدٱ َضَرَع َنوُديِرُت ِۚ ِضرۡ َ ۡ

لۡٱ ِفِ َنِخۡثُي ى َّتََّح ىىَ ۡسۡ َ

أ ٓۥُ لَ َنوُكَي ن َ َ أ

ميِكَح زيِزَع ُ َّللَّٱَو َةَرِخلۡأٓٱ ُديِرُي ُ َّللَّٱَو

“Tidaklah pantas bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu).

Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Al-Anfal [8]:67) Ada juga yang mengatakan bahwa tujuan Rasulullah adalah menjinakkan laki-laki itu, karena beliau percaya dengan keimanan yang ada di dalam hati Ibnu Ummi Maktum. Sebagaimana beliau bersabda,

“Sesungguhnya aku terhadap laki-laki itu dan lainnya lebih aku sukai daripada terhadapnya, karena khawatir Allah akan menjerumuskannya ke dalam api neraka.”113

Kelima: Ibnu Zaid berkata, “Rasulullah bermuka masam terhadap Ibnu Ummi Maktum dan berpaling darinya karena beliau telah mengisyaratkan kepada orang yang membimbingnya agar menghentikan seruan Ibnu Ummi Maktum, namun Ibnu Maktum malah mendorongnya dan bersikeras terus berseru hingga beliau mengetahui kedatangannya. Ini termasuk sikap bodoh dari Ibnu Ummi Maktum. Walaupun begitu, Allah

113Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, jilid 20, h. 89

tetap menurunkan firmanNya َّٰٓ

لََّوَتَو َسَبَع

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling”.

Terkait kejadian ini dengan konteks pemberitahuan demi mengagungkan beliau. Dia tidak berfirman, ‘Abasa watawallaita.

Kemudian Dia berfirman dengan konteks dialog demi menenangkan beliau, Dia berfirman َكيِرۡدُي اَمَو yang artinya yu’limuka (tahukah kamu), ۥُهَّلَعَل (barangkali ia), yakni Ibnu Ummi Maktum. َّٰٓ

كَّّزَي (ingin membersihkan

dirinya) dengan Al-Qur’an dan agama yang dia minta kamu mengajarkannya, agar bertambah kesucian pada agamanya dan hilang kegelapan kejahilan darinya. Ada yang mengatakan bahwa maksud dhamir (kata ganti) pada ۥُهَّلَعَل adalah orang kafir. Maksudnya, apabila kamu menginginkan orang itu membersihkan diri dengan islam atau menjadikan pelajaran, lalu pelajaran itu mendekatkannya kepada menerima kebenaran dan kamu tidak tahu bahwa apa yang kamu inginkan padanya pasti terjadi.

114

Hasan membaca ُهَءٓاَج نَ أ ى َمۡعَ ۡلۡٱ

yakni dengan mad, dengan bentuk istifham (pertanyaan). Maka kata ن أ tergantung dengan fi’il yang dihilangkan yang telah ditunjukkan oleh kata ٰٓلََّوَتَو َسَبَعَّ . Perkiraan susunannya: aanjaa’anhu a’radha watawalla. Berdasarkan qira’at ini, boleh waqaf (berhenti) pada kata ٰٓلََّوَتَّ و dan tidak boleh waqaf padanya berdasarkan qirâ’ah khabar. Inilah qirâ’ah ahli qirâ’ah umumnya.

114 Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, jilid 20, h. 89

Keenam: Padanan ayat ini adalah Firman Allah Ta’ala dalam surah Al-An’am ayat 52:

ُهَهۡجَو َنوُديِرُي ِ ِشَع ۡلٱَو ِةىوَدَغۡلٱِب مُهَّبَر َنوُعۡدَي َنيِ َّلَّٱ ِدُرۡطَت َلََو

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi hari dan petang hari.”

Begitu juga firmanNya dalam surah Al-Kahfi ayat 28:

اَيۡنُّلدٱ ِةىوَيَ ۡ

لۡٱ َةَنيِز ُديِرُت ۡمُهۡنَع َكاَنۡيَع ُدۡعَت لََو َ

Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia”.

Teguran dalam ayat di atas bisa dikaitkan dengan larangan mengabaikan orang yang tekun beribadah kepada Allah meskipun orang tersebut tidak memiliki pangkat atau derajat sosial yang tinggi.

Sebagaimana telah diungkapkan di awal bahwa ayat tersebut diturunkan ketika beberapa pembesar Quraisy mendatangi Rasul yang pada saat itu di sekelilingnya ada beberapa orang yang tidak memiliki status sosial.

Pembesar Quraisy menyarankan kepada Rasul agar orang-orang tersebut menyingkir karena kedatangan para pembesar. Para pembesar Quraisy itu berkilah bahwa mereka akan mengikuti ajaran Rasulullah jika permintaannya dipenuhi, karena orang di sekeliling Rasulullah adalah orang-orang yang dianggap kecil, sehingga para pembesar tersebut merasa tidak ingin bersanding dengan mereka di hadapan Rasulullah.115

Adanya teguran dari Allah dalam surah ‘Abasa ayat 2 merupakan salah satu bukti kebenaran dan keorisinilan Al-Qur’an. Sebuah bukti bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan nabi Muhammad SAW. karena jika demikian niscaya akan ia sembunyikan teguran dan kritik tersebut. 116

115https://islam.nu.or.id/post/read/114186/pandanganfiqihterhadapibadahpenyandangd isabilitas (Diakses pada 21 Juni 2020 Pukul 10.25 wib)

116Ahmad Zaki Mubarok, Studi tentang Historitas Al-Qur’an: Tela’ah Pemikiran M.M.

Azami, Jurnal Hermeneutik 9, No.1 (2015) h. 7

Secara sosiologis, sebab ayat yang demikian dapat dipahami sebagai ketidaksiapan mental para pembesar Quraisy terhadap kesetaraan yang diajarkan oleh islam. karena ayat ini menjadi dasar tentang ajaran islam yang menjunjung kesetaraan dengan tidak memandang tinggi rendahnya status sosial, baik laki-laki maupun perempuan.117

Di sisi lain ayat ini memberikan dukungan moral serta tanggung jawab kepada Rasulullah agar tidak mengabaikan kelompok masyarakat yang dianggap rendah seperti penyandang disabilitas dan yang memiliki strata sosial rendah di masyarakat. Lebih dari itu, kesahajaan dan perhatian Rasul terhadap orang yang lemah sejatinya merupakan sikap yang arif dan bersahaja serta keteladanan yang menjadi panutan bagi pemimpin masyarakat. Selain itu teguran atas tindakan Rasulullah yang berpaling dan menunjukkan ekspresi tidak senang tersebut juga memiliki hikmah besar, diantaranya adalah untuk membesarkan hati para penyandang disabilitas, dan orang-orang yang memiliki keterbatasan lainnya seperti fakir dan miskin. Dengan teguran tersebut tentunya menunjukkan bahwa kedudukan berdasarkan materi tidak selamanya baik, boleh jadi seseorang dengan segala keterbatasannya memiliki kedudukan yang lebih mulia di sisi Allah.

Kemudian ayat ini dengan jelas menunjukkan atas hukum wajib bagi adanya kesamaan (al-Musawamah) dalam islam, terutama dalam hal memberi penyampaian dakwah dan peringatan-peringatan agama tanpa membeda-bedakan strata sosialnya, miskin kaya, cacat ataupun tidak. Ayat ini juga menjelaskan bahwa penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan kesempatan untuk mempelajari islam seperti orang muslim lainnya.118

117 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, jilid 15 (Beirut, Dar Al-Fikr, 2003) h. 430

118Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, jilid 20, h. 90