• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMAM AL-QURTHUBÎ DAN TAFSIRNYA

B. Guru dan Murid Imam Al-Qurthubî

tersebut yang sederhana dan zuhud sehingga cocok bagi beliau yang sedang ditimpa kesedihan mendalam pasca jatuhnya seluruh wilayah Andalusia ke tangan pasukan salib, beliau ingin fokus beribadah dan menyusun kitab-kitab beliau dan tempat inilah yang menurutnya paling cocok baginya.73

Imam al-Qurthubî adalah seorang ulama fiqih dan ahli tafsir yang dikenal sebagai seorang yang arif, tawadhu’, wara’ dan zuhud di dunia, dan sibuk dalam urusan akhirat. Untuk menggambarkan kezuhudannya, para penulis biografinya menyebutkan bahwa waktunya dihabiskan untuk beribadah dan menulis. Beliau lebih mementingkan ilmu pengetahuan, terutama ilmu tafsir dan hadis. Dari karyanya yang berjudul al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, dapat dilihat dari penamannya bahwa tafsir ini lebih menitik beratkan pada hukum- hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, meskipun didalamnya juga terdapat pula masalah linguistik dan sastra. Sehingga dalam kitab al-Tafsir wa al- Mufassirun tafsir ini dikelompokkan dalam tafsir al-fuqaha.74

Meskipun Imam al-Qurthubî termasuk ahli fiqih dari kalangan madzhab Maliki, beliau meninggalkan fanatisme jauh-jauh dan menghargai setinggi- tingginya perbedaan pendapat. Beliau dikenal sebagai seseorang dengan independensi dan obyektifitas yang tinggi berkaitan dengan pandangan- pandangan yang ada. Imam al-Qurthubî meninggal di Mesir pada malam Senin, 09 Syawal tahun 671 H / 1273 M. Makamnya berada di Alminya, di timur sungai Nil.75

Perjalanan Imam al-Qurthubî dalam mencari ilmu tentunya banyak memberikan pengaruh dalam perkembangan intelektualitasnya. Aktifitas intelektualitasnya terbagi menjagi 2 tempat, pertama yakni ketika di Cordoba Andalusi dan kemudian di Mesir. Ketika di Cordoba beliau sering belajar dan menghadiri halaqah-halaqah yang biasa diadakan di masjid-masjid, madrasah-madrasah. Hal ini didukung dengan maraknya pembangunaan madrasah dan koleksi perpustakaan di setiap ibukota dan perguruan tinggi yang menjadi salah satu pusat sumber ilmu pengetahuan Eropa dalam waktu yang lama, dari sinilah dimulainya intelektualitas Imam al-Qurthubî.76

Kemudian intelektualitas Imam al-Qurthubî diperoleh ketika beliau di Mesir yaitu dengan melakukan perjalanan dari Andalusia ke Mesir, lalu menetap di kota Iskandariyah. Kemudian pergi melewati Kairo dan menetap di Alminyah, selama dalam perjalanan inilah beliau belajar kepada para ulama’

yang beliau jumpai. Diantara guru-guru Imam al-Qurthubî ialah:

1. Abû Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Qaisî, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abî Hijah. Beliau adalah seorang al-Muqri’ dan ahli ilmu nahwu, yang merupakan guru Imam al-Qurthubî yang pertama. Beliau wafat pada tahun 643 H.

2. Abû Ubai, beliau adalah Rabi’ bin Ahmad bin Rabi’ al-Asywî, salah seorang ulama Cordoba dan qadhinya, beliau meninggalkan Cordoba setelah jatuh ke tangan tentara salib kemudian pindah ke Sevilla dan meninggal dunia disana.

3. Abû ‘Amîr Yahya bin Abdur Rahmân bin Ahmad bin al-Asy’arî, wafat pada tahun 639 H. Beliau dikenal sebagai ulama’ ahli hadis, fiqih, dan teolog.

4. Abû al-Abbâs Ahmad bin Umar bin Ibrâhim al-Malikî, wafat pada tahun 656 H. Beliau adalah guru Imam al-Qurthubî yang paling terkenal diantara

76 http://imamal-qurtubi.blogspot.com/2012/07/biografi-imam-al-qurthubi-ulama- besar.html (Diakses pada 10 Juni 2020 Pukul 08.49 wib)

sekian banyak gurunya, beliau adalah seorang ulama yang bermadzhab Maliki dan dikenal sebagai guru hadis serta pakar dalam bahasa arab. Beliau adalah penulis kitab al-Mufhim fii Syarh Shahih Muslim.

5. Abû Ali al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakrî, wafat pada tahun 656 H.

6. Abû Muhammad Abdul Wahab bin Rawâj, wafat pada tahun 648 H. beliau adalah seorang ahli hadis dan fiqih, Imam as-Suyuti mengatakan “banyak penuntut ilmu yang menimba ilmu dari beliau, termasuk diantaranya adalah Abû Abdillah al-Qurthubî”.

7. Ibnu al-Jummaizî, Abû Hasan Ali bin Hibatullah bin Salâmah al-Lakhmî, dikenal dengan nama Ibnu al-Jummaizî. Wafat pada tahun 649 H. Beliau adalah ulama ahli hadis, fiqih, nahwu dan ilmu qira’at.

8. Abû Rasyid ad-Din Abdul Wahab bin Dhafir, wafat pada tahun 648 H.

9. Abû Muhammad Abdullah bin Sulaiman bin Daud bin Hautillah al-Ansharî al-Andalusî, wafat pada tahun 612 H. Beliau terkenal sebagai seorang ahli hadis di Andalusia, dan juga seorang penyair dan ahli nahwu.

10. Abû Thahir Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Ashfahanî.

11. Abû Bakar Muhammad bin al-Walid, beliau berasal dari Andalusia dan mengajar di madrasah al-Thurthûsî.

12. Al-Qadhi Abû ‘Amir Yahya bin ‘Amir bin Ahmad al-Muni’. Yahya bin Abdurrahman bin Ahmad Abdurrahman bin Rabi’.

13. Abû Sulaiman Rabi’ bin al-Rahmân bin Ahmad al-Asy’arî, beliau adalah seorang hakim di Andalusia hingga jatuh ke tangan Perancis. Kemudian beliau berpindah ke Syubailiah hingga meninggal disana pada tahun 632 H.

14. Abû Hasan Ali bin Abdullah bin Muhammad bin Yusuf al-Anshari al- Qurthubî al-Malikî yang dikenal dengan sebutan Ibnu Qutal, beliau juga pernah menjabat sebagai seorang hakim. Beliau wafat di Marakasyi pada tahun 651 H.

15. Abu Muhammad Abdullah bin Sulaiman bin Daud bin Hautillah al-Anshari al-Andalusî, beliau terkenal sebagai seorang ahli hadis di Andalusia, dan juga seorang penyair dan ahli nahwu. Beliau juga pernah menjadi Qadhi di Cordoba dan tempat lainnya. wafat pada tahun 612 H.

16. Abû Muhammad Abdul Mu’ati bin Mahmud bin Abdul Mu’atti bin Abdul al-Khaliqî al-Khamlî al-Malikî al-Faqih, beliau wafat pada tahun 656 H.77

Adapun mengenai nama-nama murid Imam al-Qurthubî tidak pernah disebutkan dalam sejarahnya kecuali satu orang yaitu anaknya yang bernama Shihab ad-Din Ahmad, hal tersebut tentu sangat menarik sekali untuk dikaji, menurut hemat penulis seorang Imam al-Qurthubî dengan kapasitas keilmuannya yang tidak diragukan lagi dilihat dari hasil karya-karya beliau, sangat mustahil jika tidak mempunyai murid kecuali dengan alasan tertentu.

Penulis setuju dengan analisis yang dikemukakan oleh Muhammad Sofa Shaih Ibrahim Haqqi dalam menanggapi sementara alasan yang dikemukakan oleh sebagian pembahas, yaitu hal ini terjadi karena kesibukan beliau dalam memperdalam ilmu kepada para gurunya dan tercurahnya waktu beliau hanya untuk menulis kitab dan beribadah. Sehingga tidak memungkinkan dirinya berkecimpung dalam pemerintahan maupun pendidikan.78