• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistematika, Metodologi dan Corak Penafsiran Imam Al-Qurthubî Menurut Amin al-Khuli dalam bukunya Manâhij Tajdîd bahwa dalam

IMAM AL-QURTHUBÎ DAN TAFSIRNYA

D. Sistematika, Metodologi dan Corak Penafsiran Imam Al-Qurthubî Menurut Amin al-Khuli dalam bukunya Manâhij Tajdîd bahwa dalam

penulisan kitab tafsir dikenal beberapa sistematika, yaitu mushâfî, nuzulî dan

81 Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al- Qur’an, jilid 1, h. xviii

maudhû’î.82 sistematika tafsir mushâfî adalah penyusunan kitab tafsir Al- Qur’an yang sesuai dengan tertib susunan ayat-ayat dalam mushaf Al-Qur’an.

Sedangkan sistematika tafsir nuzulî adalah penyusunan kitab tafsir Al-Qur’an berdasarkan urutan kronologis turunnya ayat atau surah dalam Al-Qur’an. Dan sistematika tafsir maudhû’î adalah penyusunan kitab tafsir Al-Qur’an berdasarkan tema atau topik permasalahan yang hendak dibahas, kemudian mengumpulkan ayat yang sesuai dengan topik atau tema tersebut.83

Tafsir al-Qurthubî menggunakan sistematika tafsir mushâfî, ia menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf Al-Qur’an, yaitu dimulai dari ayat pertama surat Al-Fatihah sampai ayat terakhir surat An-Nas. Tafsir al-Qurthubî tidak menggunakan sistematika tafsir maudhû’î, yaitu menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan tema- tema tertentu dan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan tema tersebut. Meskipun sistematika penafsiran al-Qurthubî menggunakan mushâfî, namun menurut Quraish Shihab benih-benih sistematika penafsiran maudhû’î dalam tafsir al-Qurthubî sudah tumbuh, hal ini melihat corak penafsiran Al-Qurthubi yang memfokuskan pada penafsiran ayat Al-Qur’an bertema hukum.84

Menurut al-Farmawî, metode yang digunakan mufassir untuk menafsirkan ayat dapat diklasifikasi menjadi empat, yaitu metode tahlîlî, metode ijmâlî, metode muqâran, dan metode maudhû’î.85 Metode tahlîlî adalah metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dalam berbagai aspek, serta menjelaskan maksud yang

82 Amin al-Khuli, Manâhij Tajdîd, (Mesir Dar al-Ma’rifah, 1961) h. 300

83 http://ejournal.kopertais4.or.id/susi/index.php/kaca/article/download/3075/2255 (Diakses pada 20 Juni 2020 Pukul 09.10 wib)

84 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat dan ketentuan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur’an (Tangerang, Lentera Hati, 2013) h. 387

85 Abdul Hayyi al-Farmawî, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhû’i, (Kairo, Dar al- Tiba’ah wa Nasr al-Islamiyah, 2005) h. 19

terkandung didalamnya sehingga mufassir menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, makna lafadz tertentu, susunan kalimat, asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan. Sedangkan metode ijmâlî adalah metode menafsirkan ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan membahas ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang ada pada mushaf, kemudian menjelaskan maksudnya secara global, tidak terperinci seperti metode tahlîlî. Kemudian metode muqâran adalah penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan mengkaji dan membandingkan antara ayat satu dengan ayat yang lain, yaitu dengan ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih, atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk kasus yang sama atau yang diduga sama, atau membandingkan ayat dengan hadis yang tampak bertentangan, serta membandingkan pendapat dan penafsiran para ulama tafsir. Kemudian metode maudhû’i adalah metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara memilih topik atau tema-tema tertentu kemudian dicari dan dikumpulkan ayat- ayat yang berkaitan dengan tema tersebut.86

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa metode yang dipakai dalam tafsir al-Qurthubî adalah metode tahlîlî. Hal ini dapat dilihat dalam tafsirnya ketika yang menjelaskan dengan panjang lebar dan mendalam tentang kandungan ayat dari berbagai aspek secara runtut dengan langkah-langkah penafsiran sesuai dengan metode tafsir tahlîlî. Langkah-langkah penafsiran al- Qurthubî sebagai berikut:

1. Memberikan kupasan dari segi bahasa.

2. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadis-hadis dengan sumber dalilnya.

86https://rindufidati.wordpress.com/2015/04/17/metodologitafsirtahliliijmalimaudhui muqorrin/ (Diakses pada 24 Juni 2020 Pukul 08.50 wib)

3. Mengutip pendapat ulama’ dengan menyebutkan sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok pembahasan.

4. Menolak ajaran yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran islam.

5. Mendiskusikan pendapat ulama’ dengan argumentasi masing-masing dan mengambil pendapat yang paling benar.87

Sebagai ilustrasi dapat diambil contoh ketika ia menjelaskan mengenai ucapan isti’âdzah. Pertama beliau membaginya menjadi 12 masalah, masalah pertama menyebutkan ayat Al-Qur’an (QS. An-Nahl ayat 98) yang menunjukkan perintah isti’âdzah, kemudian menyertakan sya’ir dan ayat lain (QS. An-Najm ayat 8 dan Al-Qamar ayat 1) sebagai argumentasi tentang makna kata qara’ta yang menunjukkan makna akan. Masalah kedua menyebutkan tentang hukum membaca isti’âdzah di dalam dan diluar shalat dengan menyebutkan perbedaan para ulama’ mengenai hukumnya, seperti menurut pendapat Al-Nuqas dari ‘Atha hukumnya wajib, menurut Ibnu Sirin isti’âdzah dibaca setiap rakaat shalat, berbeda dengan Abu Hanifah dan Al- Syafi’i yang dibaca pada rakaat pertama saja, berbeda dengan Imam Malik yang isti’âdzah ketika qiyâmu ramadhân. Masalah ketiga menyebutkan apakah isti’âdzah bagian dari Al-Qur’an. Masalah keempat sampai masalah ketujuh menyebutkan kutipan hadis yang berkaitan dengan asbâbul wurud, mendiskusikan pendapat ulama tentang apakah bacaan isti’âdzah dibaca sebelum atau sesudah membaca Al-Qur’an. Masalah kedelapan menyebutkan tentang keutamaan ta’âwudz. Masalah kesembilan menyebutkan tentang makna bahasa isti’âdzah. Masalah kesepuluh sampai kedua belas menyebutkan tentang perbedaan makna syaithan, syayathin, al-raajim.88

87 Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an (Beirut, Mansyurat al-Asr al- Hadis, 1973) h. 380-381

88 Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al- Qur’an, jilid 1 (Beirut, Mu’assisah ar-Risalah, 2006) h. 88-91

Menonjolnya corak fiqih dalam tafsir al-Qurthubî bukanlah suatu hal yang aneh, karena tafsirnya dari awal berjudul al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an.

Namun konsep-konsep fiqih yang ditonjolkannya terkesan netral, dan tidak fanatik kepada madzhab Maliki yang dianutnya, terlebih kepada madzhab lain.89 Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa penafsiran Imam al-Qurthubî cukup obyektif dan didukung oleh argumen yang kuat serta fakta sejarah yang valid. Disinilah terletak kekuatan argumen tafsir al-Qurthubî terutama dalam bidang fiqih dan hukum.

Sebagai contoh ketika Imam al-Qurthubî memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalan-persoalan fiqih adalah ketika beliau membahas surah Al-Baqarah ayat 43. Imam al-Qurthubî membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara pembahasan yang menarik adalah masalah ke-16, beliau mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam shalat. Diantara tokoh yang tidak memperbolehkan anak kecil menjadi imam shalat adalah as-Sauri, Maliki, dan Ashab al-Ra’yi. Namun dalam hal ini Imam al-Qurthubî berbeda pendapat dengan madzhab yang dianutnya, dan menuliskan bahwa anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik. Pendapat Imam al-Qurthubî ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan Abu Daud dalam kitab Sunan miliknya.90 Dalam hadis tersebut diriwayatkan Amr Ibnu Salamah yang pernah menjadi imam saat beliau berusia 7-8 tahun. Hal ini juga diperkuat oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya yang berjudul Fath al-Bari, didalamnya disebutkan tentang keabsahan anak kecil yang menjadi imam merupakan pendapat Hasan al-Basri, al-Syafi’i dan Ishaq. Sementara Malik al-Sauri melarangnya. Sementara ada dua riwayat yang masyhur dari Abu Hanifah dan

89 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005) h. 418

90 Abu Daud Sulaiman al-Sujastani, Sunan Abu Daud, Juz I (Beirut, ar-Risalah Al- Alamiyyah, 2009) h. 115

Ahmad, anak kecil sah jadi imam shalat sunnah bukan shalat wajib.91 Dari pembahasan persoalan diatas dapat tergambarkan betapa Imam al-Qurthubi banyak membahas persoalan hukum, sehingga menjadikan tafsirnya masuk kedalam jajaran tafsir bercorak hukum.

Kemudian contoh lain yakni dalam menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 187, setelah beliau mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang makan di siang hari pada bulan Ramadhan karena lupa, dan mengutip pendapat Imam Malik yang mengatakan batal dan wajib mengqadha’. Beliau mengatakan “Menurut pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya.

Menurut pendapat saya pribadi, itu adalah pendapat yang benar dan jumhurpun berpendapat bahwa barang siapa makan dan minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadha’nya dan puasanya tetap sempurna.” Hal ini berdasarkan pada hadis Abi Hurairah, Rasulullah bersabda “Jika seseorang sedang berpuasa lalu ia makan atau minum karena lupa, maka yang demikian adalah rizki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tak wajib menqadha’nya.” Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa pendapat Imam al-Qurthubî tidak selalu memihak pada madzhabnya sendiri, beliau berlaku adil terhadap madzhab lain.92

Dalam tafsirnya Imam al-Qurthubî banyak mengambil pendapat dari ulama sebelumnya, adapun beberapa nama yang sering dikutip ialah Ibnu Jarir al-Tabari, Ibnu ‘Atiyyah, Ibnu ‘Arabi, Abu Bakr al-Jassas.93 Selain itu dilihat dari sumber penafsirannya, Imam al-Qurthubî banyak menyebutkan ayat-ayat lain dan hadis yang berkaitan dengan penafsiran ayat yang dibahasnya, disamping itu beliau banyak memberikan kupasan dari segi bahasa, dengan

91 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahi al-Bukhari, Jilid II (Jakarta, Pustaka Azam, 2016) h. 186

92 Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-

Qur’an, jilid 2 (Beirut, Mu’assisah ar-Risalah, 2006) h. 712

93 https://www.researchgate.net/publication/327419826/EpistemologiTafsiral-Jami'li Ahkam Al-Qur'anKaryaal-Qurtubi (Diakses pada 26 Juni 2020 Pukul 08.44 wib)

menggunakan sya’ir-sya’ir arab sebagai rujukan kajiannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa beliau menggabungkan antara metode penafsiran bil ma’tsur dan bil ra’yi.