• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISKURSUS DISABILITAS DAN AYAT-AYAT TENTANG DISABILITAS

D. Ayat-Ayat yang Berkaitan dengan Disabilitas dan Klasifikasinya

lainnya. aksebilitas pada sebuah tempat ibadah menjadi sangat penting agar dapat dijangkau semua kalangan umat beragama.45

bahwa ‘umyun berarti hilangnya penglihatan pada kedua mata. Sedangkan dalam kamus Mushthâlahat al-‘Ulum al-Ijtima’îyah al-Injilizî wa al-Arabî, kata a’mâ berarti suatu keadaan terhambatnya penglihatan yang mencakup kebutaan total maupun keadaan-keadaan lain yang mendekatinya, yang dalam bahasa inggris disebut blindness.47

Berdasarkan hasil penelusuran dalam Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz Al- Qur’an Al-Karîm, kata a’mâ atau ‘umyun terulang sebanyak 33 kali dalam Al- Qur’an pada 28 ayat yang tersebar dalam 21 surah, yakni pada surah Al- Baqarah ayat 18 dan 171, surah Al-Mâidah ayat 71, surah Al-An’âm ayat 50 dan 104, surah Al-A’râf ayat 64, surah Yunûs ayat 43, surah Hûd ayat 24, surah Ar-Ra’d ayat 16 dan 19, surah Al-Isra’ ayat 72 dan 97, surah Al-Hajj ayat 46, surah Thâhâ ayat 124 dan 125, surah An-Nûr ayat 61, surah Al-Furqân ayat 73, surah An-Naml ayat 66 dan 81, surah Ar-Rûm ayat 53, surah Fâtir ayat 19, surah Ghâfir ayat 58, surah Al-Fushilat ayat 17, surah Al-Zukhruf ayat 40, surah Muhammad ayat 23, surah Al-Fath ayat 17, surah ‘Abasa ayat 2.48

Terdapat banyak ayat yang menyebutkan kata ‘umyun namun tidak semuanya bermakna tunanetra. Adapun dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menyebutkan tentang disabilitas tunanetra atau bermakna cacatnya secara fisik. Ayat-ayat tersebut yakni terdapat dalam surah ‘Abasa ayat 1-2, surah An-Nûr ayat 61, surah Al-Fath ayat 17.

Kedua, kata akmah. Menurut asal katanya akmah ini terambil dari kata kamaha yang dalam kamus Lisan Al-Arab diartikan keadaan buta pada seseorang sejak kelahirannya. Selain itu menurut Ibnu Arabi, kata akmah berarti seseorang yang dapat melihat diwaktu siang, namun tidak dapat melihat

47 Muslih Al-Shalih, Qamus Mushtalahat al-‘Ulum al-Ijtima’iyah Injilizi wa al-Arabi, (Riyadh, Dar al-‘Alam al-Kutub, 1998) h. 69

48 Muhammad Fuad Abdul Baihaqi, al-Mu’jam al-Muhfahras li Alfadz Al-Qur’an Al- Karim, (Beirut, Dar al-Fikr, 1987) h. 488-489

di waktu malam.49 Penggunaan kata akmah dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 2 kali yang terdapat pada 2 surah yakni pada surah Ali Imran ayat 49, dan surah Al-Mâidah ayat 110.50

Ketiga, kata Bukmun. Menurut asal bahasanya, Bukmun berasal dari kata bakama dan bentuk fâilnya adalah abkamu yang memiliki arti dekat dengan makna kata kharasu atau bisu (tunawicara).51 Hanya antara kata bukmun dan kharasu terdapat perbedaan pada penggunaannya. Menurut Lisan al-‘Arabi, kharasu lebih tepat dan biasanya digunakan untuk menunjukkan makna sesuatu yang memang diciptakan tanpa kemampuan berbicara seperti tumbuhan.

Sedangkan bukmun lebih digunakan untuk sesuatu yang diciptakan pada umumnya dapat berbicara, namun pada orang itu (penderitanya) tidak memiliki kemampuan berkata-kata.52 Kata bukmun dan derivasinya dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 6 kali yang tersebar dalam 5 surah, yaitu pada Surah Al- Baqarah ayat 18 dan 171, surah Al-An’âm ayat 39, surah Al-Anfâl ayat 22, surah An-Nahl ayat 76 dan surah Al-Isra’ ayat 97.53

Keempat, kata shummun yang asal katanya adalah shamama atau as- shamama yang berarti insyidadu al-udzunu wa tsiqolu as-sam’i, atau sumbatan pada telinga dan kesulitan atau gangguan pada pendengaran. Kata shummun dan berbagai derivasinya didalam Al-Qur’an terulang sebanyak 15 kali yang tersebar dalam 13 surah, yaitu pada surah Al-Baqarah ayat 18 dan 171, surah Al-Mâidah ayat 71, surah Al-An’âm ayat 39, surah Al-Anfâl ayat 22, surah Yunûs ayat 42, surah Hûd ayat 24, surah Al-Isra’ ayat 97, surah Al-Anbiyâ’

49 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, cet 25 (Surabaya, Pustaka Progresif, 2002) h. 1231, lihat juga Ibnu Mazhur, Lisan al-‘Arab, jilid 5 (Beirut, Dar Shadir, 2010) h. 3933

50 Muhammad Fuad Abdul Baihaqi, al-Mu’jam al-Muhfahras li Alfadz Al-Qur’an Al- Karim, h. 621

51 Ahmad Warson Munawwir, h. 331

52 Ibnu Mazhur, Lisan Al-‘Arab, jilid 1, h. 337

53 Muhammad Fuad Abdul Baihaqi, h. 133

ayat 45, surah Al-Furqân ayat 73, surah An-Naml ayat 70, surah Ar-Rûm ayat 52, surah Al-Zukhruf ayat 40, surah Muhammad ayat 23.

Adapun dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menyebutkan kata shummun (tunarungu) dan bukmun (tunawicara). Namun semua ayat itu bukan dimaksudkan untuk makna tunawicara dan tunarungu secara fisik, yakni bermakna seseorang dengan cacat teologis.

Kelima, kata a’raj. Asal katanya adalah ‘araja yang berarti naik atau mendaki. Sedangkan bentuk kata a’raj memiliki makna adh-dhala’a yang bermakna pincang dan timpang, hal ini dikarenakan seseorang pincang kakinya, berjalan seolah sedang menanjak, naik ke tempat yang lebih tinggi atau berjalan pada permukaan yang tidak datar. Kata a’raj dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 2 kali yang terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 2 kali, yaitu pada surah An-Nur ayat 61 dan surah Al-Fath ayat 17.54

Berikut adalah pengelompokkan ayat-ayat yang menyebutkan term-term disabilitas dalam Al-Qur’an dalam bentuk tabel:

No Kata / Jenis Disabilitas Nama Surah Ayat

1. A'mâ

Al-Baqarah 18

171

Al-Mâidah 71

Al-An’âm 50

104

Al-A’râf 64

Yunûs 43

Hûd 24

28

Al-Qashash 66

Ar-Ra'd 16

19

Al-Isra' 73

54 Muhammad Fuad Abdul Baihaqi, al-Mu’jam al-Muhfahras li Alfadz Al-Qur’an Al- Karim, h. 456

97

Al-Hajj 46

Thâhâ 124

125

An-Nûr 61

Al-Furqân 73

Ar-Rûm 53

An-Naml 66

81

Fâthir 19

Ghâfir 58

Al-Fushilat 17

Al-Zukhruf 40

Muhammad 23

Al-Fath 17

‘Abasa 2

2. Akmah Ali Imrân 49

Al-Mâidah 110

3. Bukmun

Al-Baqarah 18

171

Al-An’âm 39

Al-Anfâl 33

An-Nahl 76

Al-Isra’ 97

4. Shummun

Al-Baqarah 18

171

Al-Mâidah 71

Al-An’âm 39

Al-Anfâl 22

Yunûs 42

Hûd 24

Al-Isra’ 97

Al-Anbiyâ’ 45

Al-Furqân 73

An-Naml 70

Ar-Rûm 52

Al-Zukhrûf 40

Muhammad 23

5. A’raj An-Nûr 61

Al-Fath 17

Keseluruhan term-term tersebut dapat ditemukan dalam 38 ayat atau sekitar 0,6% dari seluruhan ayat Al-Qur’an (6236 ayat),55 yang tersebar dalam 26 surah atau 22,8% dari keseluruhan surah dalam Al-Qur’an (114 surah), 17 surah diantaranya termasuk dalam golongan surah Makiyyah, 9 surah lainnya termasuk dalam golongan surah Madaniyyah.56

Berdasarkan analisis diatas mengenai term-term penyandang cacat dalam Al-Qur’an, dapat ditemukan bahwa term-term tersebut merujuk kepada 2 konotasi,57 yakni konotasi negatif dan konotasi netral. Hal ini menjadikan penulis mengklasifikasikan ayat-ayat tersebut menjadi dua, yakni ayat-ayat yang menunjukkan makna cacat non fisik atau cacat teologis, dan ayat-ayat yang menunjukkan makna cacat fisik atau penyandang disabilitas.

Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut:

1. Cacat Non Fisik (Teologis)

Term-term penyandang cacat yang termuat dalam ayat-ayat Al- Qur’an sebagian besar digunakan untuk konotasi yang tidak baik dan bukan dalam pengertian cacat secara fisik, namun berupa kecaman dan ancaman balasan bagi orang-orang yang mempersekutukan Allah, mengingkari ayat-

55 Para Ulama’ berbeda pendapat mengenai jumlah ayat dalam Mushaf Al-Qur’an.

Jumlah ini menurut riwayat hafs.

56 Nur Faizin, Sepuluh Tema Kontroversial ‘Ulum Al-Qur’an, (Kediri, CV Azhar Risalah, 2011) h. 10

57 Konotasi adalah makna tambahan atau makna yang berhubungan dengan nilai rasa, yakni makna yang merupakan ciri-ciri tambahan yang melekat. Misalnya, seorang wanita memiliki memiliki sifat yang melekat seperti suka menangis, lama, dan ribet. Inilah makna konotasi dari wanita. Apabila ada ungkapan “kamu kayak wanita saja kalau mandi”, maka wanita disini bukan menunjukkan wanita yang sebenarnya, namun maksudnya adalah “lama”

yakni sifat yang melekat pada wanita.

ayatNya, dan mendustakan petunjukNya. Terdapat 33 ayat yang memuat term-term cacat dalam konotasi negatif ini, yang menggambarkan perilaku orang yang tidak beriman, tidak taat, serta tidak mengikuti anjuran untuk berbuat baik. Disamping itu term-term tersebut juga digunakan sebagai tamsil atau perumpamaan kesempurnaan fisik yang tidak memiliki manfaat akibat tidak digunakan untuk menelaah dan menerima kebenaran.

Konotasi yang tidak baik dari-dari term-term penyandang cacat dalam Al-Qur’an tersebut pada umumnya tidak merujuk pada kecacatan fisik, melainkan kepada kecacatan mental berupa kecacatan hati dan teologis seseorang. Berikut adalah beberapa karakteristik cacat non fisik atau cacat teologis yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

a. Orang-orang yang mendustakan risalah nabi, memusuhi bahkan melakukan tindak kekerasan terhadap orang beriman. Karakteristik tersebut digambarkan pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, yakni surah Al-A’râf ayat 64, surah An-Naml ayat 80 dan 81, surah Fushilat ayat 17, surah Al-Zukhrûf ayat 40, surah Ar-Rûm ayat 52 dan 53, surah Al- Mâidah ayat 71.

b. Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah (kitab suci), dan tidak mau mengambil pelajaran dan manfaat darinya. Karakteristik tersebut digambarkan pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, yakni surah Al- Furqân ayat 73, surah Al-An’âm ayat 39, surah Al-Anfâl ayat 22, surah Al-Ra’d ayat 19 dan surah Al-Hajj ayat 46.

c. Orang-orang yang menyekutukan Allah, berpaling dari peringatanNya dan lalai untuk berdzikir kepadaNya. Karakterikteristik tersebut disebutkan dalam Al-Qur’an pada surah Al-An’âm 50, surah Al-Ra’d ayat 16, dan surah Thâhâ ayat 124.

d. Orang-orang yang tidak mau mengambil manfaat dari panca indra untuk menelaah dan menerima kebenaran. Karakteristik tersebut digambarkan

dalam Al-Qur’an pada beberapa ayat, yakni pada surah Al-Baqarah ayat 171, surah Yunûs ayat 42 dan 43, dan surah Al-An’âm ayat 104.

e. Orang-orang yang durhaka, berbuat kerusakan di bumi serta memutuskan silaturahim. Karakteristik tersebut digambarkan dalam Al- Qur’an pada beberapa ayat, yakni pada surah Fâthir ayat 19, surah Ghâfir ayat 58, dan surah Muhammad ayat 23.

f. Orang-orang yang mengingkari hari akhirat dan adanya balasan di akhirat. Karakteristik tersebut digambarkan dalam Al-Qur’an pada beberapa ayat, yakni pada surah Thâhâ ayat 125, surah An-Naml ayat 66, surah Al-Qashash ayat 66 dan surah Al-Isra’ ayat 72.

Apabila menggunakan aspek kebahasaan, secara eksplisit redaksi ayat-ayat yang menunjukkan konotasi negatif diatas memiliki arti cacat fisik. Namun secara konteks ayat-ayat tersebut tidak dimaksudkan untuk menunjukkan makna kecacatan fisik. Cacat fisik yang dipergunakan Al- Qur’an untuk menggambarkan sisi negatif dari individu yang tidak beriman, bisa dikatakan mewakili peradaban Arab pada masa saat wahyu diturunkan.

Dengan kebiasaan bangsa Arab sebelum Islam yang selalu berperang, maka kesempurnaan fisik adalah hal yang mutlak diperlukan. Hal tersebut berdampak pada tolak ukur bangsa Arab dalam menilai seseorang, apabila seseorang yang mempunyai tubuh yang sempurna, tegap, dan kuat maka dinilai dia adalah orang yang hebat. Sebaliknya orang-orang dengan kecacatan fisik seperti buta, tuli, bisu, dan pincang adalah termasuk golongan yang rendah dan hina.

Penyandang cacat fisik dipandang sebelah mata dan tidak memiliki kedudukan di tengah masyarakat. Demikian pula dalam agama-agama sebelum islam datang, orang Arab menganggap kecacatan fisik sebagai akibat dari perbuatan dosa dan kerasukan roh-roh jahat. Kitab matius misalnya, menyebutkan bahwa Yesus sanggup menyembuhkan orang

lumpuh. Kelumpuhan adalah kondisi penuh dosa, sehingga ketika dosa telah diampuni maka penderita lumpuh tersebut akan sembuh.58

Berdasarkan pandangan masyarakat Arab sebelum Islam datang terhadap para penyandang cacat itulah kemudian Allah menggunakan term- term yang menunjukkan makna penyandang cacat untuk orang-orang kafir, musyrik, dan tidak taat pada perintahNya. Adapun tujuannya adalah untuk menunjukkan kehinaan keadaan mereka dan betapa Allah sangat membenci perilaku mereka.

2. Cacat Fisik

Beberapa tempat dalam Al-Qur’an yang memuat term-term penyandang cacat juga menunjukkan konotasi yang netral, dalam artian bahwa term tersebut memang menunjukkan makna cacat secara fisik seperti buta (tunanetra), bisu (tunawicara), tuli (tunarungu), dan pincang (tunadaksa). Yang terdapat pada 5 tempat yakni surah ‘Abasa ayat 2, surah Ali Imran ayat 49, surah An-Nûr ayat 61, surah Al-Fath ayat 17 dan surah Al-Mâidah ayat 110.

Dengan demikian maka penggunaan term-term penyandang cacat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan makna cacat fisik hanya sekitar 13,15% saja dari jumlah 38 ayat atau sekitar 0,08% dari keseluruhan ayat Al-Qur’an. Jumlah ini relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah ayat- ayat dengan konotasi cacat teologis, yaitu 33 ayat atau sekitar 86,84% dari jumlah 38 ayat dan sekitar 1,01% dari keseluruhan ayat Al-Qur’an.

Kemudian perbandingan surah yang tergolong Makkiyah dan Madaniyyah. Hanya ada satu ayat Makiyyah yang menunjukkan kecacatan secara fisik, yaitu surah Abasa ayat 2, sedangkan 25 ayat Makkiyah yang lain menunjukkan konotasi kecacatan teologis. Hal ini dapat dipahami

58 Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an, (Yogyakarta, Kaukaba, 2012) h. 78- 79

bahwa lebih dominannya konotasi kecacatan teologis dalam ayat-ayat Makkiyah sebagai implikasi dari keadaan agama Islam saat periode Makkah.

Sebagaimana catatan sejarah dimana dakwah Islam masih dalam tahap yang masih awal dan belum berkembang, bahkan cenderung sulit akibat kuatnya penolakan dari masyarakat Makkah saat itu yang tenggelam dalam kemusyrikan yang luar biasa.59

Maka untuk membantah perilaku mereka yang tidak menerima kebenaran dan selalu melakukan kebatilan, Allah mendenotasi mereka dengan sebutan-sebutan cacat. Selain itu ayat-ayat tersebut juga dimaksudkan agar mereka menggunakan akal pikiran serta membuang taklid yang tidak berdasarkan pengetahuan dan dalil-dalil dari tradisi-tradisi nenek moyang.60

Berkenaan dengan minimnya ayat-ayat yang berbicara mengenai para penyandang cacat fisik pada ayat-ayat periode Makkah, dapat dipahami bahwa pada saat itu pembahasan mengenai hal itu bukanlah menjadi suatu yang utama. Sebab prioritas dakwah Rasul pada saat itu adalah dalam tatanan penanaman akidah tauhid dan belum masuk pada ranah sosial.

Meskipun demikian, adanya satu ayat yang membicarakan penyandang cacat menunjukkan bahwa segmen ini tetap menjadi perhatian. Mengingat kondisi sosial masyarakat Makkah saat itu yang berada pada puncak dekadensi moral. Mereka terbiasa mencela orang-orang yang dianggap lemah dan rendah seperti orang miskin, budak, perempuan, tidak terkecuali dengan para penyandang cacat.61

59 Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkhal li Dirasah Al-Qur’an Al-Karim, (Riyadh, Dar al-Liwa’, 1987) h. 228

60 Tim FKI Raden, Al-Qur’an Kitab Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah, (Kediri, Lirboyo Press. 2015) h. 146

61 Ati Solehuddin, Perkembangan Dakwah Nabi Muhammad SAW, Jurnal Islamica No.2 (2015) diakses melalui http://stai-siliwangi.ac.id (pada 25 Juni 2020 Pukul 19.26 Wib)

Di sisi lain terdapat empat surat Madaniyyah yang menunjukkan konotasi cacat fisik, dan lima surat lainnya menunjukkan konotasi cacat teologis. Secara presentase, jumlah antara masing-masing konotasi dapat dikatakan hampir seimbang, meskipun tetap lebih banyak ayat yang menunjukkan konotasi negatif. Hal ini dapat dipahami bahwa pada periode Madinah, Allah menginginkan agar umat islam memperhatikan keberadaan para penyandang cacat. Dakwah Rasul pada periode ini lebih menekankan pada syariat secara detail dan hukum-hukum amaliah dalam beribadah dan bermasyarakat.62

Pada periode Madinah ini islam fokus untuk membangun sistem peradaban sosial yang kuat dengan menjunjung nilai-nilai syariat. Hal ini disebabkan kehidupan umat islam di Madinah telah menampakkan keberadaannya, sehingga memiliki kekuatan dan kekuasaan. Sudah menjadi keniscayaan, bahwa kelompok masyarakat ketika sudah terikat dalam satu ikatan, maka membutuhkan undang-undang yang menjamin kebutuhan mereka dalam pranata sosial. Meskipun demikian, tetap saja pada periode Madinah, ayat-ayat yang memuat term-term penyandang cacat lebih banyak merujuk pada makna kecacatan iman. Ini tidak lain disebabkan pada masa itu perilaku-perilaku yang menyimpang masih saja dipraktikkan oleh orang- orang saat itu. Terutama dalam menjelaskan terhadap kesesatan orang-orang munafik dan keburukan tingkah laku mereka serta bagaimana watak dan tujuan mereka yang berorientasi pada hal-hal duniawi, karena memang komposisi penduduk Madinah saat itu juga ada yang berasal dari yahudi serta banyak orang yang munafik.63

62 Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkhal li Dirasah Al-Qur’an Al-Karim, (Riyadh, Dar al-Liwa’, 1987) h. 231

63 Tim FKI Raden, Al-Qur’an Kitab Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah, (Kediri, Lirboyo Press. 2015) h. 149

41

BAB III