• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISKURSUS DISABILITAS DAN AYAT-AYAT TENTANG DISABILITAS

B. Jenis-Jenis Disabilitas

merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktifitas secara layak.29

4. Penyandang Ketunaan

Istilah penyandang ketunaan itu berasal dari kata “tuna” yang berasal dari bahasa jawa kuno yang artinya rusak, rugi atau dengan definisi lain kata

“tuna” ialah bentuk terikat, luka, rusak, kurang, tidak memiliki. Penggunaan kata ini diperkenalkan pada awal tahun 1960 sebagai bagian dari istilah yang mengacu pada fungsi organ tubuhnya secara spesifik. Dalam hal ini misalnya istilah tunanetra, tunadaksa, tunarungu.30

a. Tunanetra

Tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat melihat. Dan tunanetra adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kehilangan akan fungsi penglihatan baik sebagian maupun keseluruhan. Tantangan terbesar yang dihadapi anak-anak tunanetra adalah kesulitan dalam mobilitas (bergerak/berpindah tempat secara mandiri).32

Seseorang yang mengalami gangguan penglihatan adalah mereka yang rusak penglihatan walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi diri mereka sendiri (scholl, 1986:29). Pengertian ini mencakup seseorang yang masih memiliki sisa penglihatan dan yang buta total. Penyandang tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya tidak berfungsi sebagai penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas.33

Menurut Lowenfeld (1955:219), klasifikasi tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan sebagai berikut:

1) Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil, yakni mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual, tetapi belum kuat dan mudah melupakannya.

2) Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, yakni mereka memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan diri.

3) Tunanetra pada usia dewasa, pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.

32 Kementrian Pendidikan Nasional, Merangkul Perbedaan: Mengajar Anak-Anak dengan Disabilitas dalam Seting Inklusif, (Jakarta, IDPN Indonesia, 2005) h. 46

33 Safrudin Aziz, Perpustakaan Ramah Difabel, (Yogyakarta, Ar-ruzz Media, 2014) h.

41

4) Tunanetra dalam usia lanjut, sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.

5) Tunanetra akibat bawaan.

Adapun klasifikasi penyandang tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatannya dikelompokkan mulai dari kelompok kurang lihat hingga kelompok yang buta total, pengelompokkannya yakni sebagai berikut:

a) Kelompok yang mempunyai ketajaman penglihatan 20 per 70 feet (6 per 21 meter) sedangkan orang normal yang hanya dapat melihat dari jarak 70 feet tergolong kurang lihat (low vision).

b) Kelompok yang hanya dapat membaca huruf E paling besar pada kartu Snellen dari jarak 20 feet.

c) Kelompok yang sangat sedikit kemampuan melihatnya sehingga ia hanya mengenal bentuk dan objek

d) Kelompok yang hanya dapat menghitung jari dari berbagai jarak.

e) Kelompok yang tidak bisa melihat tangan yang digerakkan.

f) Kelompok yang hanya mempunyai light projection (dapat melihat terang serta gelap dan menunjuk sumber cahaya (light perception) yaitu hanya bisa melihat terang dan gelap.

g) Kelompok yang tidak mempunyai persepsi cahaya (no light perception) yang disebut buta total (totally blind)34

b. Tunarungu

Menurut Emon Sastrawinata (1976:1) definisi ketunarunguan ada dus macam yaitu untuk tujuan medis dan definisi untuk tujuan pedagosis.

Secara medis ketunarunguan ialah kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan mal/dis/non

34 Kementrian Pendidikan Nasional, Pembelajaran Peserta Didik Tunanetra pada Satuan Pendidikan Khusus, (Jakarta, IDPN Indonesia, 2017) h.4

fungsi dan sebagian atau keseluruhan alat-alat pendengaran. Secara pedagosis ketunarunguan ialah kekurangan atau kehilangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus.35

Menurut Permanarian Sumatri dan Tati Hermawati (Departemen Pendidikan dan Kebudyaan tahun 1996) kata tunarungu berasal dari kata tuna yang artinya kurang dan rungu yang artinya pendengaran. Orang dapat dikatakan tunarungu apabila tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Dwijosumarto (1988) menyatakan bahwa tunarungu bisa diartikan sebagai keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang terutama melalui indra pendengarannya.

Klasifikasi tunarungu, ketajaman pendengaran seseorang diukur dan dinyatakan dalam satuan bunyi deci-Bell (dB). Berdasarkan kriteria standart Internatoinal Organization, gradasi anak tunarungu sebagai berikut:

1) Tunarungu ringan: 27 – 40 dB

Orang yang tergolong tunarungu ringan akan sulit mendengar suara jauh dan mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya sehingga membutuhkan terapi bicara.

2) Tunarungu sedang: 41 – 55 dB

Orang yang tergolong tunarungu sedang dapat mengerti percakapan dengan jarak 1 sampai 2 meter secara berhadapan.

3) Tunarungu agak berat: 56 – 70 dB

Orang yang tergolong tunarungu berat hanya dapat mendengar suara dari jarak dekat sehingga ia perlu mengguanakan alat bantu dengar

35 Kementrian Pendidikan Nasional, Pembelajaran Peserta Didik Tunarungu pada Satuan Pendidikan Khusus, (Jakarta, IDPN Indonesia, 2017) h.5

serta latihan pendengaran dan latihan mengembangkan kemampuan bicara dan bahasa.

4) Tunarungu berat: 70 – 90 dB

Orang yang tergolong tunarungu berat ia hanya mendengar suara- suara keras dari jarak dekat. Mereka ini membutuhkan pendidikan khusus secara intensif, alat bantu dengar serta latihan mengembangkan kemampuan bicara dan bahasanya.

5) Tunarungu sangat berat: 90 dB – lebih

Orang yang tergolong tunarungu berat sekali mungkin ia masih mendengar suara keras sekali, tetapi ia lebih menyadari suara melalui getaran daripada pola suara dan selalu mengandalkan penglihatannya daripada pendengarannya. Dalam berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dan membaca ujaran.36

c. Tunawicara

Tunawicara adalah seseorang yang mengalami suatu gangguan atau gangguan dalam komunikasi verbal sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi baik dari suara, pengucapan bahasa, dan bunyi bicara atau kelancaran bicara.

Menurut Dr. Mulyono Abdurrahman dan Dr. Sudjadi, gangguan wicara atau tunawicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari bunyi bicara dan kelancaran bicara.37

Menurut Heri Purwanto dalam bukunya Ortopedagogik Umum (1998), pada umumnya penyandang tunawicara memiliki keterambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara dari perkembangan bicara pada saat balita. Dalam hal kemampuan intelegensi (IQ) mereka tidak jauh

36 Kementrian Pendidikan Nasional, Pembelajaran Peserta Didik Tunarungu pada Satuan Pendidikan Khusus, h .6

37Kementrian Pendidikan Nasional, Pembelajaran Peserta Didik Tunawicara pada Satuan Pendidikan Khusus, (Jakarta, IDPN Indonesia, 2017) h.5

berbeda dengan orang normal pada umumnya, hanya saja pada IQ verbalnya akan lebih rendah dari IQ performanya. Namun dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat banyak mengandalkan kemampuan verbal, hal ini yang menyebabkan tunawicara mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial. Sehingga anak tunawicara terkesan agak eksklusif atau terisolasi dari kehidupan masyarakat normal.

Adapun hal-hal lain yang menjadi karakteristik penyandang tunawicara dalam hal fisik dan psikis yakni mereka suka melihat gerak bibir atau tubuh lawan bicaranya, cenderung tidak aktif, suaranya sengau dan suka melakukan gerakan tubuh untuk menunjukkan hal yang dimaksud38

d. Tunadaksa

Banyak pendapat mengenai pengertian tunadaksa yang semuanya merujuk pada gangguan fungsi anggota gerak. Penyandang Tunadaksa atau yang biasa disebut dengan orang cacat, atau orang dengan hambatan gerak adalah orang yang kurang dapat menggunakan tangan dan kakinya untuk bergerak.

Heward (2006) menyebut orang dengan hambatan gerak yaitu orang yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang. Pendapat lain adalah dari Mohammad Efendi, yang menyatakan bahwa tunakdasa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna.

38 Kementrian Pendidikan Nasional, Pembelajaran Peserta Didik Tunawicara pada Satuan Pendidikan Khusus, h.6-7

Secara garis besar penyandang Tunadaksa dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian besar, yaitu: Tunadaksa yang disebabkan oleh kelainan sistem serebral (cerebral system), dan Tunadaksa yang disebabkan oleh kelainan system otot dan rangka (Musculus skeletal system). Penyandang tunadaksa dengan kelainan pada system serebral sering disebut dengan istilah Cerebral Palsy (CP).39

Berdasarkan derajat kecacatannya, Cerebral palsy dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:

1) Cerebral palsy ringan, adalah mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas, dengan menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

2) Cerebral palsy sedang, adalah mereka yang membutuhkan treatment/latihan khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri, golongan ini memerlukan alat-alat khusus untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk membantu penyangga kaki, kruk/tongkat sebagai penopang dalam berjalan. Dengan pertolongan secara khusus anak-anak kelompok ini diharapkan dapat mengurus dirinya sendiri.

3) Cerebral palsy berat, adalah mereka yang dalam hidupnya tetap membutuhkan perewatan dalam ambulasi, bicara, dan menolong dirinya sendiri, mereka tidak dapat hidup mandiri ditengah-tengah masyarakat.

Secara umum ada beberapa ciri-ciri penyandang tunadaksa, adalah yakni anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh, mereka mengalami kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali, terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak

39 Kementrian Pendidikan Nasional, Pembelajaran Peserta Didik Tunadaksa pada Satuan Pendidikan Khusus, (Jakarta, IDPN Indonesia, 2017) h. 5-6

sempurna/lebih kecil dari biasanya, terdapat cacat pada alat gerak, jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam, dan juga hiperaktif/tidak dapat tenang.40

2. Disabilitas Mental (non fisik) a. Autis

Autis adalah gangguan perkembangan neurologis yang sangat kompleks atau berat dalam kehidupan yang panjang dan meliputi gangguan pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa.

Tiga aspek tersebut merupakan gangguan utama bagi penyandang autis yang disebut dengan triad impairment (tiga gangguan yang saling mengikat). Seringkala penyandang autis disertai juga dengan gangguan pada aspek emosi dan persepsi sensori bahkan aspek motoriknya. Gejala autis biasanya muncul pada usia kurang dari 3 tahun.41

Gangguan pada penyandang autis terdapat kelompok ciri-ciri yang disediakan sebagai kriteria untuk mendiagnosis autis. Hal ini terkenal dengan istilah “Wing’s Triad of Impairmet” yang dicetuskan oleh Lorna Wing dan Judy Gould. (Jordan, 2001; Jordan & Powell, 2002; Wall, 2004; Yuwono, 2006). Ada tiga gangguan pokok pada peserta didik atau autis yakni perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa.

Ciri-ciri penyandang autis yang dapat diamati yakni perilaku penyandang autis yakni sering acuh terhadap lingkungan, perilaku yang tak terarah seperti mondar-mandir dan lompat-lompat, kelekatan pada benda tertentu, perilaku yang tak terarah, tantrum, terpukau benda yang berputar-putar atau benda yang bergerak. Dalam interaksi sosial penyandang autis biasanya tidak mau menatap mata orang lain, dan

40 Kementrian Pendidikan Nasional, Pembelajaran Peserta Didik Tunadaksa pada Satuan Pendidikan Khusus, h. 7

41 Kementrian Pendidikan Nasional, Pembelajaran Peserta Didik Autism pada Satuan Pendidikan Khusus, (Jakarta, IDPN Indonesia, 2017) h. 6-7

senang bermain sendiri. Biasanya ketika dipanggil mereka tidak akan menoleh dan juga mereka tidak memiliki rasa empati terhadap lingkungan sekitar. Biasanya penyandang autis cenderung terlambat bicara, meracau dengan bahasa yang tak dapat dipahami dan tidak dapat memahami pembicaraan orang lain juga suka mengulang-ulang suatu kata.42

b. Tunagrahita

Penyandang tunagrahita adalah penyandang cacat mental yang mengalami hambatan fungsi kecerdasan intelektual yang mempengaruhi mereka dalam penyesuaian diri dan keterampilan kehidupan sehari-hari.

Ciri-ciri penyandang tunagrahita dari segi fisik atau penampilan mereka mengalami kematangan motorik yang lambat, dari segi intelektual mereka sulit mempelajari hal-hal akademik, serta sosial dan emosi mereka suka menyendiri dan kurang konsentrasi.43