membatasi ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mut}laq antara lain dapat dilihat pada sabdanya:
ُعَطْقُ ت َلا
hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu, dengan sabdanya sendiri.
Baya>n tashri>’ adalah penjelasan hadis yang berupa penetapan suatu hukum atau aturan syar’i yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, Rasulullah menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ketentuan ayat- ayat al-Qur’an. Ketetapan Rasulullah tersebut ada kalanya berdasarkan qiyas ada pula yang tidak.
Banyak hadis Nabi yang termasuk ke dalam kelompok ini.
Di antaranya adalah hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum shuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, hukum mengusap bagian atas sepatu dalam berwudhu, hukum tentang ukuran zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh hadis Nabi yang berbunyi:
ُعَمُْيج َلا َْيَْ ب ِةَأْرَلمْا اَِتِاَّمَعَو َْيَْ ب َلاَو
ِةأْرَلمْا اَهِتَلاَخَو .
25
Seorang perempuan tidak boleh dipoligami bersama bibinya dari pihak ibu atau ayahnya” (HR. Al- Bukha>ri>).
Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang keharaman mengawini seorang wanita bersamaan dengan bibinya baik dari
25 Muhammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S{ahí>h al-Bukha>ri>, V, 1965
pihak ayah maupun ibunya. Memang, dalam al-Qur’an dijelaskan beberapa kerabat (keluarga) dilarang dikawini seperti ibu kandung, saudara, anak, dan sebagainya, tetapi tidak ada larangan mempoligami seorang perempuan bersama dengan bibinya.
Dalam hal ini hadis menetapkan hukum tersendiri sebagaimana dijelaskan di atas.
Baya>n ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan bayan za>id ‘ala al-Kita>b al-Kari>m (tambahan terhadap nash al-Qur’an).
Disebut tambahan karena sebenarnya di dalam al-Qur’an sendiri ketentuan-ketentuan pokoknya sudah ada, sehingga datangnya hadis tersebut merupakan tambahan terhadap ketentuan pokok itu. Hal ini dapat dilihat misalnya, hadis mengenai ketentuan diyat. Dalam al-Qur’an masalah ini sudah ditemukan ketentuan pokoknya, yaitu pada surat al-Nisa’: 92. Begitu juga hadis mengenai haramnya binatang-binatang buas dan keledai fasilitas negara (himar al-ahliyah). Ketentuan pokok untuk masalah ini sudah ada, sebagaimana disebutkan di antarannya pada surat al- A‘ra>f: 157. Dengan demikian, tidak ada satu hadis pun yang berdiri sendiri, yang tidak ditemukan aturan pokoknya dalam al- Qur’an.
Hadis Rasulullah yang tennasuk baya>n tashri>’ ini wajib diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan hadis-hadis lainnya. Ibn al-Qayim menyatakan bahwa hadis-hadis Rasul saw.
yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh seseorang menolak atau mengingkarinya, dan ini tidak berarti bahwa sikap Rasulullah itu mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
Ketiga baya>n yang telah diuraikan di atas tampaknya disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga sedikit dipersoalkan. Kemudian untuk baya>n lainnya, seperti baya>n al-naskh, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai baya>n al-nasakh dan ada yang menolaknya. Ulama yang menerima adanya nasakh di antaranya ialah jumhur ulama mutakallimi>n, baik Mu`tazilah, Ash’`ariah, Malikiyah, Hanafiyah, Ibn Hazm maupun Dzahiriyah, sedang yang menolaknya, di antaranya ialah al-Sha>fi`’i> dan mayoritas ulama pengikutnya, serta mayoritas ulama Dzahiriyah.
d. Baya>n al-Nasakh
Kata al-nasakh secara bahasa, bermacam-macam arti. Bisa berarti al-ibt}a>l (membatalkan), atau al-iza>lah (menghilangkan), atau al-tahwi>l (memindahkan), atau al-taghyi>r (mengubah).
Bayân nasakh adalah penjelasan hadis yang menghapus ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Hadis yang datang setelah al-Qur’an menghapus ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya hadis menasakh al-Qur’an. Ulama yang membolehkan juga berbeda pendapat tentang hadis kategori apa yang boleh menasakh al-Qur’an itu.26
Di antara para ulama (baik mutaakkhiru>n maupun mutaqadimu>n) juga terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan baya>n al-nasakh ini. Perbedaan pendapat ini
26Must{}afa> al-Siba>’i>, al-Sunnah wa Maka>natuha> fî al-Tashri>’ al-Isla>mi>
(Beiru>t: al-Maktab al-Isla>mi>, 1985 M.), 360
terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama mutaqadimu>n, baya>n al- nasakh ialah adanya dalil syara` yang datangnya kemudian. Dari pengertian ini, ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an.
Demikian menurut pendapat yang menganggap adanya fungsi hadis sebagai baya>n al-nasakh.
Di antara para Ulama yang membolehkan adanya nasakh hadis terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadis yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi kepada tiga kelompok. Kelompok pertama membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan segala hadis, meskipun dengan hadis aha>d. Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimu>n dan Ibn Hazm serta sebagian pengikut Z}ahiriyah. Kekompok kedua membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa hadis tersebut harus mutawa>tir.
Pendapat ini di antaranya dipegang oleh Mu’`tazilah. Kelompok ketiga membolehkan me-nasakh dengan hadis masyhur tanpa harus dengan hadis mutawa>tir. Pendapat ini dipegang di antaranya oleh ulama Hanafiyah.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama ialah sabda Rasul saw. yang dinarasikan Abu> Uma>mah al-Ba>hili>
berikut: