• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adat Pelamaran

Dalam dokumen Hukum Adat di Indonesia (Halaman 68-72)

BAB III HUKUM PERKAWINAN ADAT

C. Hukum Perkawinan Adat

4. Adat Pelamaran

mengadakan pertemuan kerabat dan menyampaikan utusan untuk menyampaikan permohonan maaf serta memohon penyelesain yang sebaik-baiknya kepada pihak kerabata wanita, lalu diadakan perundingan kedua belah pihak.

Di daerah Lampung beradat pesisir, setelah gadis diketahui pergi berlarian, maka pihak kerabat mengusut jejaknya (nyusul tapak, nyusul luyut) kemana si gadis pergi, kedatangan si pencari jejak dari pihak si gadis harus diberikan kesempatan untuk bertanya kepada anak gadis mereka, apakah atas kemauan sendiri atau di paksa. Di daerah Bugis pihak kerabat yang mengetahui anak gadis mereka pergi berlarian atau mengejar (tomasiri) jika belum sampai di tangan kepala adat si pemuda yang melarikan dapat di bunuh.

Di lingkungan Dayak Ngaju Kalimantan berlaku adat si gadis mendatangi rumah bujang untuk memaksakan perkawinan atau sebaliknya si bujang mendatangi rumah si gadis dengan membawa barang-barang pemberian meminta dikawinkan, jika pihak gadis menolak maka pihak gadis harus mengganti nilai barang-barang pemberiannya, dan dapat pula terjadi si bujang di kurung sampai pagi ketika berada di rumah si gadis, lalu si gadis memaksa untuk di kawinkan dengan pemuda tersebut.

Di Toraja Sulawesi sepasang pemuda berkumpul dirumah sigadis sampai pagi lalu memaksa untuk di kawinkan oleh orang tua mereka. Di Banyuwangi (masyarakat osing) ada adat (ngeleboni) yaitu pemuda mendatangi rumah si gadis meminta untuk di kawinkan, atau adat unggah-unggahi, yaitu si gadis datang kekediaman pemuda meminta untuk di kawinkan, maka pihak keluarga yang didatangi akan mengirimkan colok kepada keluarga si gadis untuk menyelesaikan perkawinan mereka.

mengadakan pertemuan kerabat dan menyampaikan utusan untuk menyampaikan permohonan maaf serta memohon penyelesain yang sebaik-baiknya kepada pihak kerabata wanita, lalu diadakan perundingan kedua belah pihak.

Di daerah Lampung beradat pesisir, setelah gadis diketahui pergi berlarian, maka pihak kerabat mengusut jejaknya (nyusul tapak, nyusul luyut) kemana si gadis pergi, kedatangan si pencari jejak dari pihak si gadis harus diberikan kesempatan untuk bertanya kepada anak gadis mereka, apakah atas kemauan sendiri atau di paksa. Di daerah Bugis pihak kerabat yang mengetahui anak gadis mereka pergi berlarian atau mengejar (tomasiri) jika belum sampai di tangan kepala adat si pemuda yang melarikan dapat di bunuh.

Di lingkungan Dayak Ngaju Kalimantan berlaku adat si gadis mendatangi rumah bujang untuk memaksakan perkawinan atau sebaliknya si bujang mendatangi rumah si gadis dengan membawa barang-barang pemberian meminta dikawinkan, jika pihak gadis menolak maka pihak gadis harus mengganti nilai barang-barang pemberiannya, dan dapat pula terjadi si bujang di kurung sampai pagi ketika berada di rumah si gadis, lalu si gadis memaksa untuk di kawinkan dengan pemuda tersebut.

Di Toraja Sulawesi sepasang pemuda berkumpul dirumah sigadis sampai pagi lalu memaksa untuk di kawinkan oleh orang tua mereka. Di Banyuwangi (masyarakat osing) ada adat (ngeleboni) yaitu pemuda mendatangi rumah si gadis meminta untuk di kawinkan, atau adat unggah-unggahi, yaitu si gadis datang kekediaman pemuda meminta untuk di kawinkan, maka pihak keluarga yang didatangi akan mengirimkan colok kepada keluarga si gadis untuk menyelesaikan perkawinan mereka.

4. Adat Pelamaran

Untuk dapat melangsungkan ikatan perkawinan guna membentuk keluarga/rumah tangga bahagia, harus dilakukan dengan sistem pelamaran, yaitu adanya pelamaran dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Bagaimana pelamaran itu mesti di lakukan tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional ataupun di dalam hukum agama. Jika pria dan wanita sudah sepakat

dapat langsung memeritahukan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan sebagamana diatur dalam Bab II Pasal 2-9 PP Nomor 9 Tahun 1975 tanpa melibatkan orang tua atau keluarga. Akan Tetapi menurut pandangan masyarakat adat hal tersebut tercela, karena perkawinan adalah perbuatan suci dalam ajaran agama, juga menyangkut nilai-nilai kehidupan keluarga dan masyarakat.

Menurut Ter Haar “..bahwa perkawinan itu bertautan dengan urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi..”46

Menurut hukum adat jenjang perkawinan dapat di capai dengan dua jalur, yaitu; ‘pekerjaan anak-anak’ (Lampung; rasan sanak, Pasemah; rasan budak, Rejang; asen titik) dan atau ‘pekerjaan orang tua’ (Lampung; rasan tuha, cakak situha, cakakpun, Batak; adat nagok, terpasu-pasu, Rejang; asen tuwai) atau dari keinginan anak- anak dilanjutkan oleh orang tua (Pasemah; rasan mude dituekhi).

Di antara kedua jalur itu ada lingkungan adat yang memiliki tata-tertib pergaulan muda-mudi (bujang gadis, Lampung; muli menganai, Batak; naposo bulung) dan ada juga yang tidak. Sehingga cara pergaulan mereka tidak tertentu waktu dan tempatnya atau menunggu saja bagaimana kehendak orang tua.

a. Pertemuan muda-mudi

Pertemuan pada malam hari antara pukul 20.00 s/d 23.00 dimana bujang menyelinap kebelakang rumah gadis dengan memberi tanda kemudian berbicara berbisik-bisik dengan gadis di antara dinding atau di balik pintu dapur, berlaku di daerah Gayo (Aceh timur; meroyok) Lampung (Abung; nyucuk, nyerubuk), jika pihak pemuda datang dengan beberapa temannya dan membawa bahan makanan (Lampung; manjau, benejuk, bekadew, Pasemah;

begareh nyemantung) dan pihak sigadis mengijinkan, maka para pemuda di ijinkan masuk di serambi belakang atau di serambi depan rumah (Batak; martandang, Lampung; manjau mulei, ngayak menganai, miyah damaw, makhatin, marindang). Di daerah Dayak Berusu apabila pemuda di ijinkan sampai semalam suntuk di rumah si gadis disebut ‘betakit’.

46 Ibid. Hlm. 191

Selain pertemuan perorangan (Lampung; nyubuk, ngasasiah, Banyuwangi; gridowan) di rumah gadis, maka dapat pula pertemuan di adakan di rumah tetangga atau kerabat, ketika ada hajatan kecil (kelahiran, khitanan, dan sebagainya), atau dalam upacara adat besar bertempat di balai adat, dimana para gadis duduk berderet menghadapi para pemuda-pemuda di bawah pimpinan kepala bujang dan kepala gadis (Batak; Raja naposo, Lampung; Kepala menganai, kepala muli).

Pertemuan muda-mudi seperti itu tidak berlaku pada masyarakat Aceh, Minangkabau, Jawa dan lainnya. Apabila dari pertemuan muda-mudi itu meningkat pada rasa cinta dimana pemuda memberikan sesuatu barang ‘tanda mau’ (Lampung; tanda bekahaga, Rejang; barang gadai) pada si gadis, berupa bahan makanan, pakaian atau perahiasan, maka berarti si gadis sudah terikat kepada si pemuda. Di daerah Batak persetujuan untuk mengikat perkawinan itu berlaku tukar menukar tanda (Toba;

mengalehon tanda, Karo; tagih-tagih, Simalungun; mambere galomon) dari pihak pemuda dapat berupa uang tunai, emas, bahan makanan, sedangkan pihak si gadis memberikan barang-barang berupa kain Batak (Toba; Ulos sitoluntuho), setelah tukar menukar tanda tersebut berarti si gadis sudah terikat oleh si pemuda dan di larang menerima lamaran pemuda yang lain.

Dari pergaulan pemuda pemudi yang telah akrab, kemudian di lanjutkan dengan lamaran orang tua atau kerabat kedua pihak mengadakan perundingan untuk mewujudkan perkawinan anak mereka. Gagalnya perundingan dapat mengakibatkan terjadinya kawin lari di daerah-daerah yang memiliki adat kawin lari, atau melaksanakan kawin sendiri tanpa campur tangan keluarga di daerah-daerah yang tidak biasa melakukan kawin lari.

b. Cara melamar

Tata-tertib cara melamardi berbagai daerah berbeda-beda, pada umumnya pelamaran di lakukan oleh pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita. Tetapi dapat juga terjadi sebaliknya, sebagaimana dilingkungan masyarakat adat Minangkabau atau

Selain pertemuan perorangan (Lampung; nyubuk, ngasasiah, Banyuwangi; gridowan) di rumah gadis, maka dapat pula pertemuan di adakan di rumah tetangga atau kerabat, ketika ada hajatan kecil (kelahiran, khitanan, dan sebagainya), atau dalam upacara adat besar bertempat di balai adat, dimana para gadis duduk berderet menghadapi para pemuda-pemuda di bawah pimpinan kepala bujang dan kepala gadis (Batak; Raja naposo, Lampung; Kepala menganai, kepala muli).

Pertemuan muda-mudi seperti itu tidak berlaku pada masyarakat Aceh, Minangkabau, Jawa dan lainnya. Apabila dari pertemuan muda-mudi itu meningkat pada rasa cinta dimana pemuda memberikan sesuatu barang ‘tanda mau’ (Lampung; tanda bekahaga, Rejang; barang gadai) pada si gadis, berupa bahan makanan, pakaian atau perahiasan, maka berarti si gadis sudah terikat kepada si pemuda. Di daerah Batak persetujuan untuk mengikat perkawinan itu berlaku tukar menukar tanda (Toba;

mengalehon tanda, Karo; tagih-tagih, Simalungun; mambere galomon) dari pihak pemuda dapat berupa uang tunai, emas, bahan makanan, sedangkan pihak si gadis memberikan barang-barang berupa kain Batak (Toba; Ulos sitoluntuho), setelah tukar menukar tanda tersebut berarti si gadis sudah terikat oleh si pemuda dan di larang menerima lamaran pemuda yang lain.

Dari pergaulan pemuda pemudi yang telah akrab, kemudian di lanjutkan dengan lamaran orang tua atau kerabat kedua pihak mengadakan perundingan untuk mewujudkan perkawinan anak mereka. Gagalnya perundingan dapat mengakibatkan terjadinya kawin lari di daerah-daerah yang memiliki adat kawin lari, atau melaksanakan kawin sendiri tanpa campur tangan keluarga di daerah-daerah yang tidak biasa melakukan kawin lari.

b. Cara melamar

Tata-tertib cara melamardi berbagai daerah berbeda-beda, pada umumnya pelamaran di lakukan oleh pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita. Tetapi dapat juga terjadi sebaliknya, sebagaimana dilingkungan masyarakat adat Minangkabau atau

Rejang Bengkulu, pelamaran dilakukan oleh pihak kelaurga wanita kepada pihak keluarga pria.

Cara melamar biasanya pihak yang akan melamar terlebih dahulu dengan mengirim utusan perantara pria atau wanita (Aceh;

seulangke, Melayu; telangkai, Toba; domu-domu, Lampung; lalang, Jawa; congkok, Bayuwangi; garuman, Dayak kendayan; picara, patone) berkunjung kepada pihak yang dilamar untuk melakukan penjajakan. Setelah penjajakan barulah dilakukan pelamaran secara resmi oleh keluarga orang tua pihak pria pada waktu yang telah di tentukan berkunjung kepada keluarga pihak wanita dengan membawa ‘tanda lamaran’ atau ‘tanda pengikat’ (Aceh;

konghaba/narit, Toba; tuhor, toli, Karo; petindih pudun, Nias;

bobomibu, Mentawai; sesere, Pasemah; kule, Lampung; segreh, daw adat, Sunda; pamawakeun, penyancang, Jawa; paningset, sasrahan, panjer, tukon, Bali; paweweh, base panglarang, Banyuwangi;

cencengan, Sulawesi selatan; passikoq, Maluku/Halmahera; tapu, key, masaye.

Tanda lamaran itu biasanya ‘sirih dan pinang’ (tepak sirih), sejumlah uang (mas kawin, uang adat), bahan makanan matang (dodol, wajik, rengginang dan lain-lain), bahan pakaian dan perhiasan. Bahan tanda lamaran tersebut di sampaikan oleh juru bicara pihak pelamar kepada pihak yang di lamar dengan gaya bahasa dan pribahasa yang indah dan sopan santun serta penuh rasa hormat dengan memperkenalkan para anggota yang ikut dalam rombongan, hubungan kekerabatannya satu persatu dengan mempelai pria.

Begitu pula juru bicara dari pihak wanita yang di lamar akan menyatakan penerimaannya dengan bahasa dan pribahasa adat yang indah juga. Setelah selesai kata-kata sambutan kedua belah pihak, maka barang-barang tanda lamaran itu diteruskan kepada tua-tua adat keluarga/ kerabat wanita (Lampung; toala anaw). Kemudian kedua pihak melanjutkan perundingan untuk mencapai kesepakatan tentang hal-hal sebagai berikut:

1) Besarnya uang jujur (uang adat, denda adat dan sebagainya) dan atau mas kawin.

2) Besarnya uang permintaan (biaya perkawinan dan lain-lain) dari pihak wanita.

3) Bentuk perkawinan dan kedudukan suami-istri setelah perkawinan.

4) Perjanjian-perjanjian perkawinan, selain taklik talak.

5) Kedudukan harta perkawinan (harta bawaan dan lain-lain).

6) Acara dan upacara adat perkawinan.

7) Waktu dan tempat upacara, dan lain-lain.

Tidak semua acara dan upacara perkawinan tersebut akan di laksanakan oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan.

Tergantung dengan keadaan, kemampuan dan kesediaan masyarakat adat bersangkutan.

Dalam dokumen Hukum Adat di Indonesia (Halaman 68-72)