• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM HERMENEUTIKA

A. Ruang Lingkup Hermeneutika

2. Aliran-aliran Hermeneutika Umum/Modern dan Tipologi Tafsir Al-

dipelopori oleh dua filosof dan teolog modern, yang pada tahap pertama dipelopori oleh Johann Conrad Danhauer (1603-1666), dan pada tahap kedua dipelopori oleh Ernst Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Akan tetapi, pada dasarnya bibit pemikiran ini sudah ada sejak masa filosof Yunani kuno, seperti karya Aristoteles yang berjudul “Peri Hermeneias”.

Dalam karyanya ini memuat pokok-pokok bahasan, seperti filsafat bahasa dan teori simbol/semiotic.

Berawal dari pemikiran Aristoteles yang kemudian terus dikembangkan oleh para ahli hermeneutika modern hingga saat ini, seperti Dannhauer, Wilhelm Dilthey dan Johann Heinrich Lambert.

2. Aliran-aliran Hermeneutika Umum/Modern dan Tipologi Tafsir

Hermeneutics (Nicholas H. Smith). Three Faces of Hermeneneutics (Roy.

J. Howard). Aliran hermeneutika dari sudut pandang pemaknaan teks.

Nicholas H. Smith membagi aliran hermeneutika modern ke dalam tiga macam: Weak hermeneutics (hermeneutika lemah), Strong hermeneutics (hermeneutika kuat), dan Deep hermeneutics (hermeneutika mendalam). Dalam pembagian aliran ini, ia menuliskan alasannya menggunakan istilah “Hermeneutika”, yaitu hanya untuk mengacu pada model-model argumentasi dari para filosofis kontemporer yang bervariasi, mengenai kemungkinan kejelasan identitas moral. Selain Nicholas Smith, ada juga Roy J. Howard dalam bukunya yang berjudul Three Faces of Hermeneuticsi. Ia membagi aliran hermeneutika menjadi tiga macam: ‘Analytic hermeneutics’ (hermeneutika analitik),

‘Psychosocial hermeneutics’ (hermeneutika psikososial), dan

‘Ontological hermeneutics’ (hermeneutika ontologis). Ketiga aliran yang disuguhkan oleh Howard didasari pertimbangan hubungan antara ilmu alam/science, dan ilmu humaniora/humanity.16

Dan terakhir adalah aliran hemeneutika yang dilihat dari segi pemaknaan teks, dibagi menjadi tiga aliran: 1) Aliran obyektivis, 2) Aliran subyektivis, dan 3) Aliran obyektivis-cum-subyektivis. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk mempermudah dalam memahami ragam pemikiran.17

Pertama, Aliran Obyektivis. Aliran ini lebih fokus pada pencarian makna asal dari objek penafsiran, baik berupa teks tertulis, ucapan, prilaku, simbol-simbol kehidupan dan sebagainya. Pada aliran ini juga, seorang penafsir hanya berupaya merekonstruksi atau menafsirkan ulang suatu teks. Adapun tokoh-tokoh hermeneutika yang masuk ke dalam

16 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, h. 44.

17 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, h. 45.

golongan ini adalah pemikiran Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey dan Hirsch. Grant R. Osborne menyebut aliran ini dengan istilah

“Author-centered hermeneutics”, artinya aliran hermeneutika yang berpusat pada maksud sang pengarang. Alasan yang mendasar dari aliran ini adalah bahwasanya setiap pengarang teks memiliki maksud atau pengertian tertentu dalam menciptakan, menyusun atau mengubah teks.18

Kedua, Aliran Subyektivis. Aliran yang kedua ini lebih memfokuskan pada peran pembaca/peran mufassir dalam memaknai teks.

Istilah lain dari aliran ini adalah “Reader-centered hermeneutics”

(hermeneutika yang menitikberatkan pada (pemaknaan oleh) pembaca).

Aliran ini berbeda dengan aliran sebelumnya, karena pemikiran yang tergolong dalam aliran ini terpecah menjadi tiga ragam pemikiran. Dari tiga golongan ini ada yang sangat subjektivis (dekonstruksi dan reader response criticism), ada yang agak/sedikit subjektivis (postrukturalisme), dan ada juga yang kurang/tidak terlalu subjektivis (strukturalisme). Yang termasuk pada golongan dekonstruksi adalah Jacques Derrida. Ia tidak setuju dengan adanya konsep ‘ketertutupan’ teks, yang mana seseorang harus mencari makna tunggal dari sebuah teks. Menurutnya, pemberian makna dalam suatu teks bersifat pluralistic dan relative serta subjektif- individualistik. Artinya setiap orang dapat memaknai teks yang dibacanya. Selain Derrida, ada juga Stanley Fish yang berpendapat bahwa pemaknaan tersebut selalu bersifat subjektif. Hal ini dikarenakan penafsiran mendominasi teks, serta dapat menentukan teks. Selain itu, baginya subjektivitas tidak hanya pada individual penafsir, akan tetapi dapat dipengaruhi oleh komunitas tertentu pula.19

18 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, h. 45- 46.

19 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, h. 47- 49.

Secara garis besar, golongan kedua ini bersifat liberal. Sebagaimana Gracia, yang mengatakan bahwasanya aliran ini digolongkan sebagai

“Self-contained enities” (entitas-entitas yang mengandung dirinya sendiri). Artinya golongan ini bertindak sesuai kehendaknya sendiri, tanpa melihat atau merujuk pada pengarang asli teks serta terlepas dari maksud auidens historisnya/terlepas dari sejarah atau asal usul teks tersebut.

Ketiga, Aliran Objektivis-cum-Subjektivis. Aliran ketiga ini berbeda dari kedua aliran di atas. Aliran ini berada ditengah-tengah antara aliran objektivis dan aliran subjektivis. Aliran ketiga ini berupaya menukil kembali makna orisinil/historis di satu sisi dan adanya pengembangan makna teks. Artinya, aliran ini menyeimbangkan antara pencarian makna asal teks dengan peran pembaca dalam penafsiran. Adapun tokoh hermeneutika yang termasuk pada golongan ini adalah pemikiran Jorge J.

E. Gracia dam Hans-Georg Gadamer.20

b. Kajian Tafsir Al-Qur’an di Masa Kontemporer

Sepanjang sejarah perkembangannya, kajian tafsir Al-Qur’an sudah ada sejak masa Nabi saw. dan eksistensinya pun masih dilakukan hingga saat ini. Sebelum berlanjut pada pembahasan seputar kajian tafsir Al- Qur’an, sebaiknya membahas pengertian tafsir terlebih dahulu.

Secara harfiah, di dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) tafsir berarti keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an sehingga dapat menangkap maksudnya dengan jelas.21 Asal kata tafsir sendiri terambil dari bahasa Arab yang dalam pengertiannya terdapat perbedaan pendapat. Menurut pendapat Mannā’ Khalil Al-Qattān, kata ‘Tafsir’

20 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, h. 50.

21 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 988.

berasal dari kata al-Fasr dengan mengikti wazan taf’il” yang berarti menjelaskan atau menerangkan suatu makna yang abstrak. Sedangkan kata kerjanya mengikuti wazan Ḍaraba-yaḍribu” dan“naṣara-yanṣuru”, yakni fasara-yafsiru/yafsuru-fasran-fasarahu yang artinya abānahu (menjesalkan). Kata at-Tafsīr dan al-fasr memiliki arti yang sama yaitu menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.22

Ada yang berpendapat bahwasanya kata tafsir berasal dari kata al- Fasr yang artinya menyibak (al-kasyf). Selain al-fasr, ada juga yang mengatakan bahwa asal kata tafsir diambil dari kata at-Tafsirah yang artinya botol kecil yang berisi air (untuk mendiagnosis penyakit) yang ditujukan pada sebuah riset fakultas kedokteran pada pesiennya untuk mengetahui penyakitnya. Hal tersebut dikaitkan dengan seorang mufassir yang meneliti dan mengamati makna ayat-ayat Al-Qur’an agar dapat mengetahui dan mengambil makna serta hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an.23

Berdasarkan rangkaian pendapat di atas, bahwasanya kata tafsir secara harfiah ialah suatu penjelasan atau penerangan makna ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh seorang mufassir.

Sedangkan, secara istilah tafsir adalah ilmu yang membahas maksud dan tujuan firman Allah swt. Menurut Al-Zarkasyi, dalam kitabnya

“Burha>n fi> 'Ulum Al-Qur'a>n”, Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang menerangkan maknanya, menyingkap hukum dan hikmahnya, dengan merujuk pada ilmu bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu, tashrif, bayan, ushul fiqih, qiraat, asbabun nuzul dan sebagainya.24

22 Mannā’ Khalil Al-Qattān, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’ān, terj. Mudzakir AS, (Bogor:

Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), h. 455-456.

23 Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, (Bandung: Humaniora, 2011), h. 244.

24 Badru Al-Di>n Al-Zarkasyi>, Al-Burha>n fi> ‘Ulum Al-Qur’a>n, h.416-417.

Meurut Al-Zarqani, tafsir ialah ilmu yang membahas tentang term- term Al-Qur’an dari segi turunnya ayat, sanad, serta makna-makna yang berkaitan dengan kosakata dan hukum.25

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa tafsir adalah suatu ilmu pengetahuan dalam mengkaji aspek-aspek Al-Qur’an dengan tujuan agar dapat memahami makna, serta hukum dan hikmah yang terkandung di dalam Al-Qur’an dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmu lainnya, seperti ilmu bahasa Arab, asababun nuzul, nasikh dan mansukh, dan munasabah ayat, serta ilmu-ilmu pokok kandungan Al-Qur’an lainnya yang dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Berbicara mengenai ilmu pengetahuan, sejarah menjadi suatu keharusan dalam disiplin ke-ilmuan. Oleh karena itu, penulis akan sedikit mengulas tentang sejarah perkembangan tafsir dari masa ke masa.

Sepanjang perkembangannya, penafsiran Al-Qur’an sebenarnya sudah dilakukan sejak masa Nabi saw. dan praktiknya juga masih dilakukan hingga saat ini. Pada masa Rasulullah saw. tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang berani menafsirkan Al-Qur’an. Karena saat itu beliau masih berada ditengah-tengah mereka. Beliau sendirilah yang menafsirkan Al-Qur’an dan menunaikan kewajibannya untuk menerangkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut.

َ ت يَْم هل عل وَْم هْيل اَل ز نَا مَ سا نل لَ ن ي ب ت لَ رْ

ك ذلاَ ك ْيل آَا نْ

ل زْنا وَ ر ب ُّزلا وَ تٰن ي بْ لا ب

َ ن ْو ركف

َ

“(Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu

25 Muhammad Abdul ‘Aẓim Al-Zarqani, Manahi Al-‘Irfān fi ‘Ulum Al-Qur’ān, juz 1, (Pamulang: Gaya Media Pratama, 2002), h. 471.

agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan”. (QS. An-Naḥl [16]:44)

Ayat di atas menerangkan bahwasanya Rasulullah saw. diutus sebagai pembawa bukti-bukti kebenaran (Al-Qur’an) serta menerangkan isi kandungannya. Hanya saja Rasulullah saw. tidak menafsirkan Al- Qur’an secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu ada sebagian ayat yang pemahamannya didasarkan pada pengetahuan tentang kebahasaan. Sebagian ayat ada yang mudah untuk dipahami, sehingga tidak perlu dijelaskan oleh Nabi saw. Sebagian terdapat ayat yang penjelasannya hanya diketahui oleh Allah swt. Dan ada sebagian ayat yang dianggap tidak bermanfaat untuk diketahui maknanya lebih jauh. Penafsiran pada masa Nabi bersifat global, hanya menjelaskan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum, serta memberikan batasan terhadap hal-hal yang mutlak dan menjelaskan makna kata.

Penafsirannya juga belum dibukukan secara khusus sebagai disiplin keilmuan, tetapi hanya disampaikan melalui riwayat.26

Penafsiran Al-Qur’an terus berlanjut hingga pada saat Nabi saw. wafat, yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabat Nabi saw. Sumber-sumber tafsir yang terdapat pada masa sahabat selain merujuk pada Al-Qur’an mereka juga menukil dari riwayat Nabi saw. Ketika Rasulullah masih hidup, para sahabat masih bisa bertanya langsung segala persoalan kepada beliau. Namun, setelah Nabi saw. wafat, semua problematika yang ada dikembalikan kepada hadis. Selain itu, para sahabat juga mulai melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini dilakukan apabila tidak mendapatkan jawaban dari kedua rujukan tersebut.

26 Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 50-52.

Namun, terdapat perbedaan pendapat perihal sumber rujukan yang kedua (ijtihad) ini. Sebagian sahabat ada yang hanya menafsirkan Al- Qur’an dengan riwayat saja, sedangkan sebagian lainnya tidak hanya menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan riwayat saja, melainkan dengan ijtihad yang juga berpegang pada aspek bahasa Arab dan asbab al-Nuzul.

Abu Bakar ra. Adalah salah satu dari kalangan sahabat yang tidak membenarkan penafsiran dengan ijtihad. Sedangkan sahabat yang menafsirkan Al-Qur’an dengan riwayat dan ijtihad yaitu Ibnu Ma’ud dan Ibnu Abbad. 27

Ciri-ciri tafsir pada masa sahabat yaitu belum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan, hanya sedikit dimasuki riwayat israiliyat, dan di antara mereka hanya sedikit yang berbeda pendapat. Hal ini dikarenakan mereka hidup sezaman dengan turunnya wahyu dan memahami bahasa Arab. Penafsirannya belum dipengaruhi oleh mazhab manapun, akan tetapi tafsir mereka merupakan hasil dari istinbath hukum fiqh. Dan pada masa ini juga tafsir belum dibukukan, serta belum dipisahkan dari hadis dan masih terspisah-pisah. Adapun sahabat yang yang masyhur dalam bidang tafsir pada periode ini yaitu keempat Khulafa Ar-Rasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asya’ari dan Abdullah bin Zubair.28

Penafsiran dari kalangan sahabat diterima baik oleh para ulama dikalangan tabi’in. Oleh karena itu, mereka juga banyak menukil dari para sahabat, baik yang berasal dari Nabi atau dari hasil ijitihad para sahabat.

Tabi’in memiliki peran penting dalam bidang tafsir. Bahkan menurut Dr.

27 Teungku M. Hasbi Aṣ- Ṣidqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustka Rizki Putra, 2002), h. 178.

28 Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 55-56.

Ahsin Sakho, bahwasanya penafsiran pada masa tabi’in ini begitu marak dibandingkan dengan perode sebelumnya.29

Pada masa ini tafsir mulai dibukukan untuk pertama kalinya, dan sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri, meskipun masih dalam bentuk riwayat.

Penafsirannya juga sudah mencakup sebagian besar ayat Al-Qur’an.

Namun, tidak menutup kemungkinan, pada masa ini justru melahirkan adanya banyak perbedaan pendapat, serta muculnya perbedaan mazhab.

Dan para mufassir pada masa tabi’in banyak yang merujuk pada riwayat isra>illiy>at dan ahli kitab. Adapun para mufassir yang masyhur pada masa tabi’in terbagi ke dalam tiga kelompok, yakni: 1) Kelompok Makkah, terlahir dari Abdullah bin Abbas yang melahirkan murid-muridnya seperti, Sa’id bin Jubair (w. 95 H), Mujahid bin Jabr (w. 101 H), Ikrimah Maula bin Abbas (w. 105 H), Thawus bin Kaisan Al-Yamani (w. 106 H), dan Atha’ bin Abi Rabah (w. 114 H). 2) Kelompok Madinah. Ubay bin Ka’ab melahirkan beberapa murid dalam bidang tafsir, yaitu Zaid bin Aslam (w. 136 H), Abu Al-Aliyah Rafi’bin Mihran Ar-Riyahi (w. 90 H), dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurthi (w. 118 H). 3) Kelompok Kufah.

Terlahir dari Abdullah bin Mas’ud, muridnya adalah Alqamah bin Qais An-Nakha’I (w. 102 H), Masruq bin Al-Ajda’ (w. 63 H), Amir Asy- Sya’bi (w. 105 H), Amru bin Syurahbil (w. 63 H), Abu Abdirrahman As- Sulami (w. 70 H), Al-Aswad bin Yazid (w. 75 H), Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (w. 177 H), dan Al-Hasan Al-Basri (w. 121 H).30

Setelah masa tabi’in berakhir, kemudian aktivitas penafsiran dilanjutkan oleh generasi setelah tabi’in atau disebut juga dengan istilah tabi’ tabi’in yang pada masa ini perhatian mulai ditujukkan kepada tafsir-

29 Ahsin Sakho Muhammad, Membumikan Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT Qaf Media Kreativa, 2019), h. 162.

30 Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 66-68.

tafsir yang dikutip dari Rasulullah, sahabat, dan tabi’in. Ilmu tafsir mulai berkembang pesat pada masa ini, hal ini dilihat dengan adanya pembukuan kitab-kitab tafsir, sebagaimana yang dilakukan oleh Sufyan bin ‘Uyainah, Waki’ bin Al-Jarrah, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Yazid bin Harun, ‘Abd bin Hamid, dan yang lainnya. Berkat mereka yang kemudian lahirlah Ibnu Jarir At-Thabari dengan metode tafsirnya yang diikuti oleh hampir seluruh ahli tafsir.31

Adapun ciri-ciri khusus tafsir pada masa tabi’ tabi’in adalah lebih fokus pada sanad, baik riwayat tafsir Nabi, sahabat, maupun tabi’in. Tafsir Al-Qur’an pada masa ini belum berdiri sendiri, masih menyatu dengan disiplin ilmu hadis. Pada masa ini juga, mayoritas ulama tafsir melakukan interpretasi Al-Qur’an secara perkata dan mulai menekankan tafsir bil- ma’tsur dan tafsir bil-ra’yi.32

Adapun ulama tafsir yang terkenal pada masa ini yaitu, Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), Syu’bah bin Al-Hajaj (w. 160 H), Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri (w. 161 H), Waqi’ bin Jarah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Yazid bin Harun (w. 206 H), Rauh bin Ubadah (w. 207 H), Abdurrazzaq bin Hamam Ash-Shan’ani, dan Imam Al-Bukhari (w. 211 H).33

Historis perkembangan penafsiran Al-Qur’an dari masa Nabi Muhammad saw. sahabat, tabi’in hingga tabi’tabi’in mengalami

31 Subhi Aṣ-Ṣaleh, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), h. 413.

32 Tafsir bil-ma’tsur yaitu kelanjutan dari tafsir-tafsir pada periode sebelumnya yang disandarkan kepada para sahabat Nabi, Tabi’in, dan tabi’tabi’in. Lihat Membahas Subhi Aṣ- Ṣaleh Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Sedangkan, tafsir bil-Ra’yi adalah tafsir yang mengandalkan kekuatan ijtihad seorang mufassir dengan bekal ilmu-ilmu yang diperlukan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Llihat Ahsin Sakho Muhammad Membumikan Ulumul Qur’an

33 Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 71-73.

perkembangan dan proses yang cukup panjang. Dimana ilmu tafsir yang masih menyatu dengan ilmu hadis, sampai dengan dibukukan menjadi disiplin keilmuan tersendiri.

Menurut Al-Zahabi, perkembangan tasfir Al-Qur’an dibagi menjadi 3 periode; Tafsir pada masa Nabi saw. dan Sahabat (Mutaqaddimin), Masa Tabi’in (Mutaakhirin), dan tafsir pada masa kodifikasi Al-Qur’an/periode baru (Al-Tafsir fi ushur al-Tadwin) atau disebut juga masa pembukuan tafsir Al-Qur’an. Masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir masa Khalifah Bani Umayah sampai awal kekhalifahan bani Abbasiyah.34 Pada masa ini ilmu pengetahuan mulai diperhatika secara serius sehingga melahirkan ragam ilmu pengatahuan, termasuk ilmu tafsir yang baru muncul setelah generasi tabi’in (tabi’ tabi’in). Seiring berjalannya waktu, ilmu tafsir juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan sampai melahirkan banyak cabang keilmuan dalam kajian penafsiran, seperti metode-metode tafsir, corak-corak tafsir serta pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penafsiran.

Berbicara mengenai kajian tafsir Al-Qur’an, ilmu tafsir yang lahir pasca generasi tabi’in ini menaruh perhatian para ulama untuk tetap melestarikan dan melanjutkan kesenjangan pemikiran serta menjawab problematika yang terjadi disetiap zamannya. Tafsir sebagai Aktifitas pemikiran, kemudian masih berlanjut di periode-periode setelahnya, serta dapat dikategorikan ke dalam tiga periode; klasik, pertengahan, modern dan kontemporer. Hal ini bertujuan agar dapat memudahkan dalam memahami kajian tafsir sesuai masanya.

34 Muhammad Husain Adz-Dzahibi, Ilm At-Tafsir, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1119), h.

35.

Pertama, Tafsir Klasik. Tafsir klasik lahir pada abad ke-III sampai abad VIII hijriyah. Kitab-kitab tafsir periode pertama lahir berbarengan dengan kodifikasi hadis-hadis Nabi saw. Sumber tafsir pada periode ini ialah Al-Qur’an, hadis-hadis Nabi saw., riwayat para sahabat, riwayat para tabi’in, riwayat dari tabi’tabi’in, cerita dari ahli kitab, ijtihad atau istinbath dari para mufassir, dan bahasa Arab pedalaman. Secara umum, bentuk kitab tafsir pada masa ini adalah bi Al-Ma’tsur dan ada yang bi Al- Ra’yi. Metode tafsir yang digunakan oleh mufassir abad klasik mayoritas menggunakan metode tahlili, dan sistematika penulisan tafsirnya dimulai dari surah Al-Fatihah sampai akhir surah An-Nas (tartib as-surah).

Adapun mufassir pada abad ini adalah Ath-Thabari dengan karyanya yang berjudul Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an (Tafsir Ath-Thabari), Nasr ibn Muhammad Al-Samarqandi dengan karyanya Bahr Al-Ulum (Tafsir Al-Samarqandi), Al-Husain ibn Al-Ghalib Al-Baghawi dengan karyanya Ma’alim Al-Tanzil / Tafsir Al-Baghawi, dan Al-Razi dengan karyanya Mafatih Al-Ghaib.35

Kedua, Tafsir Abad pertengahan (Abad IX-XII H). Tafsir abad pertengan adalah pada masa penulisan gelombang kedua dari pemisahan kitab hadis. Periode ini mucul setelah kemunduran umat Islam, yakni runtuhnya Baghdad sampai terjadi perang salib. Sumber rujukan kitab tafsir yang dipakai pada abad ini hampir sama dengan abad klasik. Akan tetapi, kitab tafsir pada abad ini merujuk pada pendapat para mufassir sebelumnya. Bentuk tafsir yang digunakan abad ini mayoritas dengan memadukan dua bentuk, yakni bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi. Metode

35 M. Isa HA Salam dan Rifqi Muhammad Fathi, “Pemetaan Kajian Tafsir Al-Qur’an pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Analisis Sitiran Pengarang yang Disitir Disertasi Mahasiswa Tahun 2005-2010,”

h. 16-19.

tafsirnya juga sama dengan abad klasik menggunakan metode tahlili. Dan sistematika penulisan pada abad ini dengan mengurai ayat per ayat (tartib mushafi). Adapun mufassir pada abad ini, yaitu Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuthi kitab tafsirnya dikenal dengan Tafsir Jalalain dan Tafsir al-Dur al-Manthur, Imam Al-Qurtubi karyanya yang berjudul Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, dan Al-Alusi dengan kitab tafsirnya Ruh al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim wa al-Sab al-Mathani.36

Ketiga, Tafsir Modern (Abad XII-XIV H). Sebagian dari mereka selalu mengaitkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan keadaan sosial masyarakat susai zamannya. Sehingga sumber rujukan yang digunakan oleh para mufassir pada abad ini tidak hanya menggunakan sumber riwayat, tetapi dengan menggunakan dirayah. Bentuk penafsirannya pun menitiberatkan pada kajian dirayah (al-Ra’yu). Sementara, metode yang digunakan dalam tafsir ini mayoritas menggunakan metode tahlili. Akan tetapi ada juga yang menggunakan metode mawdhu’I (tematik), seperti karya Muhammad Al-Ghazali dengan judul Nahwa Tafsir Al-Mawdhu’I.

Sistematika penulisannya yaitu menafsirkan dari awal surah hingga akhir surah, dan sebagian yang lain menggunakan sistematika tematik. Di antara para mufassir yang masyhur pada abad ini, yakni Shihab Al-Din Al-Sayyid Mahmud Al-Alusi karya tafsirnya Ruh Al-Ma’ani fi Tafsir Al- Qu’an Al-‘Azhim wa Al-Sab’ Al-Mathani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dengan karyanya Tafsir Al-Manar, Sayyid Qutub kitab tafsirnya yang berjudul Fi Zilal Al-Qur’an, Muhammad Musthafa Al-Maraghi dengan judul Tafsir Al-Maraghi, Jamal al-Din al-Qasimi dengan karyanya

36 M. Isa HA Salam dan Rifqi Muhammad Fathi, Pemetaan Kajian Tafsir Al-Qur’an pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Analisis Sitiran Pengarang yang Disitir Disertasi Mahasiswa Tahun 2005-2010, h. 19-20.