• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROFIL SAHIRON SYAMSUDDIN SERTA PEMIKIRANNYA

A. Biografi Singkat Sahiron Syamsuddin

1. Kondisi Sosio-Historis dan Perjalanan Intelektual

Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M.A. merupakan salah satu pakar Tafsir asal Indonesia kelahiran Cirebon pada tanggal 5 Juni 1968.

Ia berasal dari keluarga yang religious, maka tak ayal jika ia dikenal sebagai santri yang taat nan berprestasi. Perjalanan pendidikannya ia tempuh mulai dari tingkat dasar di SDN Panembahan, Balung, Cirebon pada tahun 1976-1981. Kemudian menempuh pendidikan menengah pertama di Madrasah Tsanawiyah Negri (MTSN) hingga Madrasah Aliyah Negri (MAN) di Pondok Pesantren Raudhatul At-Thalibin, Babakan, Ciwaringin, Cirebon, pada tahun 1981-1987.1

Lalu pada tahun 1987-1993, beliau melanjutkan studinya di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dengan jurusan Tafsir Hadis. Selama menempuh kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, beliau juga mondok di Pesantren Al-Munawir, Krapyak. Setelah itu, melanjutkan magisternya di McGill University of Canada dengan fokus pada Kajian Islam, pada tahun

1 Sahiron Syamsuddin, Penggagas Metode Pendekatan Hermeneutika Ma’na-Cum- Magza, Zoom meeting, wawancara oleh penulis via zoom meeting, 4 Juli 2022, 18.30 WIB.

1998 dengan mendapatkan gelar M.A. Dan pada tahun 2001, beliau melanjutkan studi di Otto-Friedrich University of Bamberg Jerman dengan jurusan yang sama (Islamic studies), serta mendapatkan gelar Ph.D, di tahun 2006.2

Demikian sekilas tentang perjalanan hidup serta intelektual beliau yang lebih banyak mengenyam pendidikan formalnya di Pondok pesantren dan di negara asing. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap menuntut ilmu di dunia Barat. Karena menurut prinsipnya, “Ilmu apa saja boleh dipelajari, baik ilmu filsafat, sosiologi, maupun antropologi serta ilmu-ilmu lainnya yang dapat bermanfaat untuk perkembangan kajian ilmu ke-Islaman.

Disamping kesibukannya sebagai pelajar, beliau juga aktif di berbagai organisasi dan seminar-seminar internasional, seperti mengikuti organisasi PERMIKA (Persatuan Mahasiswa Islam Kanada), menjabat sebagai sekretaris pada periode 1997. Kemudian mengikuti seminar Internasional pada Asosiasi MESA (Middle Easten Study Asociation) yang berlokasi di Amerika Serikat.

Sekembalinya ke tanah air, tidak menjadikannya fanatik terhadap dunia Barat, melainkan sebagai ladang prestasinya sebagai seorang intelektual muslim. Setelah menyelesaikan studinya di luar, beliau justru mendirikan Pondok Pesantren Baitul Hikmah. Hal ini membuktikkan bahwa, belajar di dunia Barat belum tentu menjadikan Iman seseorang lemah, tetapi lebih memperkuat keimanan.

Selain menjabat sebagai pimpinan pondok pesantren, perjalanan karir lainnya, yaitu menjadi wakil rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menjabat sebagai ketua di Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (AIAT) se-

2 Sahiron Syamsuddin, Penggagas Metode Pendekatan Hermeneutika Ma’na-Cum- Magza, Zoom meeting, wawancara oleh penulis via zoom meeting, 4 Juli 2022, 18.30 WIB.

Indonesia, dan pernah menjadi Steering Committee di Netherlands- Indonesian Consortium.

2. Karya-karya

Berikut beberapa karyanya yang berkaitan dengan hermeneutika dan ulumul Qur’an, antara lain:

a. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (2017) b. Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (2007)

c. Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (2002)

d. Hemeneutika Al-Qur’an dan Hadis (2010) e. Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya

f. Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (2007)

g. Ma’na>-Cum-Magza> Aproach to The Qur’an: Interpretation of QS. Al- Ma>idah [5]:51 (2017)

h. Pendekatan Ma’na>-Cum-Magza> atas Al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer (2020)

Beberapa karya di atas merupakan sebagian kecil dari karyanya yang terdiri dari makalah-makalah yang telah di Publish ke jurnal-jurnal internasional, serta buku-buku yang sudah diterbitkan maupun yang belum diterbitkan.3

3 Sahiron Syamsuddin, “Departement of Qur’anic Studies, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,” https://scholar.google.co.id/citations?user=uyZziCEAAAAJ&hl=en&oi=ao.

B. Pemikiran Hermeneutika Ma’na-Cum-Maghza Sahiron Syamsuddin dalam Penafsiran Al-Qur’an

1. Identifikasi Fisiologis

Buku yang berjudul “Pendekatan Ma’na>-Cum-Magza> atas Al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer” merupakan kumpulan karya-karya ilmiah dari para penulis anggota Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir se-Indonesia yang di editori oleh Prof. Sahiron sendiri. Hal ini bertujuan untuk memberikan ruang kontribusi ilmiah dalam menjawab problematika-problematika yang ada di era kontemporer seperti sekarang ini.

Buku ini diawali dengan artikel yang beliau tulis menggunakan pendekatan ma’na-cum-magza, terkhusus dalam menguraikan pengertian ma’na-cum-magza serta langkah-langkah metodisnya. Kemudian pada halaman 19 sampai dengan halaman 569 berisi tentang artikel-artikel para penulis anggota AIAT se-Indonesia yang ikut berkontribusi dengan menggunakan aplikasi pendekatan tersebut terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Artikel-artikel yang memuat pendekatan ma’na-cum- magza ini sesuai dengan pemahaman para penulisnya sendiri. Sebagian ada yang menggunakan pendekatan tersebut secara komprehensif, dan sebagian lainnya hanya menerapkan secara parsial.

Ketebalan buku ini berisi 592 halaman diluar kata sambutan, kata pengantar dan daftar isi. Buku ini merupaka cetakan pertama yang dicetak pada tahun 2020, diterbitkan atas kerjasama antara AIAT se-Indonesia dengan Lembaga Ladang Kita, Kampung Kepanjen, Banguntapan, Bantul. Cover depan terdapat gambar tangan seseorang yang sedang merangkup bola dunia yang dihiasi dengan lukisan manusia dari berbagai etnis. Selain itu terdapat gambar suatu kitab bertuliskan bahasa Arab. Dan

terdapat tulisan nama judul buku, nama editor dan dibawah judul terdapat nama-nama para penulis artikel. Kemudian cover luar belakang terdapat tulisan judul dan prakata dari Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama RI, Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A., serta pada bagian bawah terdapat logo penerbit dan logo AIAT.

2. Identifikasi Metodologis Penafsiran Berdasarkan Ma’na-cum- Magza

Pendekatan ma’na>-cum-magza> adalah pendekatan dimana seseorang menggali atau merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma’na>) dan pesan utama/signifikansi (magza>) yang mungkin dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh audiens historis, dan kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut ke dalam konteks kekinian dan kedisinian. Dengan demikian, menurut Sahiron Syamsuddin ada tiga hal penting yang seyogyanya dicari oleh seorang mufassir, yakni (1) makna historis (al-ma’na> al-tarikh), (2) signifikansi fenomenal historis (al-magza> at-tarikh), (3) signifikansi fenomenal dinamis (al- magza> al-mutaharrik) untuk konteks ketika Al-Qur’an ditafsirkan.4 a. Langkah-langkah dalam menggali makna historis (al-ma’na> al-

tarikhi>) dan Signifikansi fenomenal historis (al-magza> al-tarikhi>):

1) Penafsir hendaknya menganalisa bahasa teks Al-Qur’an terlebih dahulu, baik dari kosa kata maupun struktur tata bahasanya.

Selain itu, penafsir juga harus memperhatikan bahwasanya bahasa yang digunakan dalam teks Al-Qur’an adalah bahasa Arab abad ke-7 M. yang memiliki karakteristiknya tersendiri dalam kosakata maupun struktur tata bahasanya. Oleh karena itu,

4 Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir se-Indonesia, Pendekatan Ma’na-Cum-Maghza atas Al-Qur’an dan Hadis Menjawab Problematika Sosial Keagamaan, (Bantul: Lembaga Ladang Kata, 2020), h. 9.

ketika hendak menerangkan atau menafsirkan kosakata dari Al- Qur’an, seorang mufassir harus memperhatikan dengan cermat penggunaan makna kosakata tersebut saat diturunkannya.

2) Kemudian guna mempertajam analisa ini, hendaknya penafsir melakukan intratektualitas/membandingkan serta menganalisa penggunaan kata yang sedang ditafsirkan tersebut dengan kata yang sama pada ayat-ayat yang lain. Jika diperlukan, penafsir mengelaborasikan sejauhmana kosa kata dalam Al-Qur’an itu memiliki makna dasar (basic meaning) dan mengalami dinamisasi makna (dalam bentuk relational meaning). Dan untuk memudahkan dalam mencari makna dasar kata, seorang penafsir hendaknya menggunakna kamus-kamus Arab klasik, seperti Lisan al-‘Arab karya Ibn Manzur. Dengan catatan setiap kata/istilah yang ingin ditafsirkan dianalisa secara sintagmatik dan paradigmatik.

3) Kemudian, apabila dibutuhkan dan memungkinkan, maka penulis hendaknya melakukan interteksutualitas/perbandingan antara ayat Al-Qur’an dengan teks-teks lain yang ada di sekitar/luar Al-Qur’an, seperti hadis Nabi, puisi Arab, dan teks- teks Yahudi dan Nasrani atau komunitas lain yang hidup semasa dengan pewahyuan Al-Qur’an. Hal ini untuk melihat sejauhmana makna suatu kosa kata dalam Al-Qur’an dapat diperkuat dengan teks-teks diluar Al-Qur’an, serta untuk melihat apakah konsep makna tersebut memiliki perkembangan atau dinamisasi atau tidak dari masa ke masa (pasca Qur’ani).

4) Penafsir harus memperhatikan konteks historis pewahyuan ayat- ayat Al-Qur’an, baik yang bersifat mikro ataupun makro.

Konteks historis makro adalah konteks yang mencakup situasi

dan kondisi di Arab pada masa pewahyuan Al-Qur’an.

Sedangkan konteks historis mikro adalah peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat/ sabab nuzulnya. Hal ini bertujuan untuk memahami makna hsitoris dari kosa kata dalam suatu ayat, serta menangkap “signifikansi fenomena historis”, atau maksud utama ayat (maqsad al-ayah) ketik diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

5) Setelah itu, penafsir mencoba menggali maqsad atau maghza al- ayah (tujuan/pesan utama ayat yang ditafsirkan).

b. Langkah-langkah dalam membangun/mengkontruksi signifikansi fenomenal dinamis (Al-Magza> al-mutaharrik)

Adapun langkah-langkah dalam mengkontruksi signifikansi fenomenal dinamisnya atau pesan utama dalam suatu ayat, yakni:

1) Penafsir harus menentukan kategori ayat. Sebagaimana ulama membagi kategori ayat menjadi tiga bagian besar, yakni: ayat- ayat tentang ketauhidan, ayat-ayat hukum, dan ayat-ayat tentang kisah nabi dan umat terdahulu. Terkait ayat-ayat hukum, Abdullah Said membagi ke dalam lima tingkatan: 1. Obligatory values (nilai-nilai kewahiban), seperti ayat-ayat shalat, puasa, zakat, dan haji, 2. Fundamental values (nilai-nilai dasar kemanusiaan), seperti ayat-ayat tentang perintah menjaga kehormatan manusia, menjaga jiwa dan harta, menunaikan keadilan dan berbuat baik kepada sesama manusia, 3.

Protectional values (nilai-nilai proteksi), seperti ayat-ayat yang berisi proteksi atas nilai-nilai fundamental, missal ayat yang berbicara tentang larangan membunuh orang, larangan mengurangi timbangan ketika berjualan, larang memakan dan

meminum yang dapat merusak akal serta pikiran, dan yang lain, 4. implementational values (nilai-nilai yang implementasikan), ayat-ayat yang berisi tentang pelaksanaan hukuman tertentu, missal ayat tentang hukum qisas bagi yang membunuh, 5.

instructional values (nilai-nilai intruksi), seperti ayat poligami yang diturunkan untuk mengatasi problem anak yatim dan problem ketidak adilan dalam keluarga.

2) Penafsir mengembangkan atau memperluas definisi dan cakupan

“signifikansi fenomenal historis” (al-magza> al-tarikhi>) untuk mendapatkan konteks kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat), dimana teks Al-Qur’an itu ditafsirkan.

3) Penafsir menangkap makna-makna simbolik ayat Al-Qur’an.

Sebagian ulama berpendapat bahwa makna lafal dalam Al- Qur’an itu memiliki empat macam, yakni: zahir (makna lahiriah/literal), makna batin (simbolik/batin), had (makna hukum), dan matla’ (makna puncak/spiritual).

4) Kemudian langkah terakhrir, yakni mengembangkan penafsirannya dengan menggunakan perspektif yang lebih luas, seperti dibantu dengan ilmu Psikologi, Sosiologi, Antropologi dan pendekatan-pendekatan ilmu lainnya.

3. Identifikasi Ideologis

Sama halnya dengan Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed, kajian Sahiron Syamsuddin berfokus pada pencarian pesan utama pada ayat Al- Qur’an ketika disampaikan pada era pewahyuan, kemudian dipahami dalam konteks kekinian.

Pendekatan ma’na>-cum-magz>a adalah pendekatan dimana seseorang menggali atau merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma’na>) dan pesan utama/signifikansi (magza>) yang mungkin

dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh audiens historis, dan kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut ke dalam konteks kekinian dan kedisinian. Dengan demikian, menurut Sahiron Syamsuddin ada tiga hal penting yang seyogyanya dicari oleh seorang penafsir, yakni (1) makna historis (al-ma’na> al-tarikh), (2) signifikansi fenomenal historis (al-magza> at-tarikh), (3) signifikansi fenomenal dinamis (al- magza> al-mutaharrik) untuk konteks ketika Al-Qur’an ditafsirkan.5

Dari ketiga aliran di atas, ia sepakat dengan aliran quasi-obyektivis- progresif dengan catatan bahwa signifikansi terbagi menjadi dua, yakni

‘signifikansi fenomenal’ dan ‘signifikansi ideal’, dari sinilah Sahiron Syamsuddin menekankan adanya perhatian pada makna dan signifikan secara bersamaan, yang kemudian melahirkan pendekatan Ma’na>-cum- Magza>. Dengan kata lain, Ma’na> merupakan pemahaman Al-Qur’an pada era pewahyuan, sementara Magza> merupakan pemahaman ideal atau petunjuk utama Al-Qur’an yang dapat diterapkan pada tempat dan konteks manapun. Sehingga, melalui pendekatan Ma’na>-Cum-Magz>a, Al- Qur’an selalu s{ahih li kulli zaman wa makan (cocok pada setiap waktu dan tempat).

Pembahasan pada bab 3 di akhiri dengan pengulasan identifikasi ideologisnya. Maka pada bab selanjutnya merupakan pembahasan inti dari penelitian ini, yakni analisis aplikasi pendeketan hermeneutika ma’na>-cum-magza> Sahiron Syamsuddin terhadap QS. Al-Nisa>’ [4]: 1. Hal ini untuk mengetahui serta menjawab rumusan masalah sebagaimana yang telah disebutkan pada bab pertama.

5 Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir se-Indonesia, Pendekatan Ma’na-Cum-Maghza atas Al-Qur’an dan Hadis Menjawab Problematika Sosial Keagamaan, (Bantul: Lembaga Ladang Kata, 2020), h. 9.

56 BAB IV

ANALISIS APLIKASI PENDEKATAN HERMENEUTIKA MA’NA<- CUM-MAGZA< SAHIRON SYAMSUDDIN ATAS QS. AN-NISA [4]: 1

Pada bab IV ini penulis akan membahas proses analisis aplikasi hermeneutika ma’na>-cum-magza> Sahiron Syamsuddin atas QS. Al-Nisa>’[4]:

1, di awali dengan pembahasan seputar penafsiran para mufasir klasik dan kontemporer terhadap QS. Al-Nisa>’[4]: 1. Kemudian pada poin berikutnya membahas tentang implementasi hermeneutika ma’na>-cum-magza> Sahiron Syamsuddin dengan terdiri dari beberapa langkah; langkah pertama dalam mencari makna historis ayat, maka penulis perlu menganalisis bahasanya terkebih dahulu, kemudian membandingkan/meintratekstualitas ayat yang ditafsirkan dengan penggunaannya di ayat-ayat lain, meintertekstualitas/membandingkan ayat dengan penggunaannya di luar ayat, kemudian mencari asbab al-nuzul (mikro) dan makronya sebagai makna historis ayat. Setelah mendapatkan itu semua, kemudian mencari signifikansi serta dinamisasi QS. Al-Nisa>’[4]: 1 dengan menentukkan jenis ayat yang ditafsirkan, mengembangkan signifikansi penafsirannya dengan menggunakan perpektif ilmu lainnya.

A. Penafsiran QS. Al-Nisa>’ [4]: 1 dalam Literatur Kitab Tafsir

Secara umum, periodesasi tafsir Al-Qur’an sudah muncul sejak masa Nabi saw. sebagaimana menurut Al-Zahabi yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Sementara, masa pembukuan tafsir dimulai sejak akhir masa Khalifah Bani Umayah sampai kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dimana terdiri dari; tafsir klasik, tafsir abad pertengahan, tafsir modern dan tafsir kontemporer. Di antara keempat periode tersebut, penulis hanya memamparkan pendapat mufasir klasik dan kontemporer saja dalam menafsirkan QS. Al-Nisa>’ [4]: 1. Hal ini untuk melihat dinamisasi

pemahaman antara mufasir klasik dan kontemporer yang konon memiliki kontroversi antara pemahaman keduanya.

1. Mufasir Klasik Terhadap QS. An-Nisa>’ [4]: 1

Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 1, sebagaimana berikut.

َا م هْن مَث ب وَا ه ج ْو زَا هْن مَ قل خ وَ ة د حا وََ سْ

ف نَ ْن مَْمكقل خَ ْي ذلاَ مك ب رَا ْوق تاَ سا نلاَا هُّيآٰي

َق تا وَ ًَءۤا س ن وَا ًرْي ثكَاً لا ج ر اًبْي ق رَْمك ْيل عَناكَ ٰ

للّاَن اَ َ ما ح ْراْ

لا وَ ه بَن ْول ءۤا ستَ ْي ذلاَ ٰ للّاَاو

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.143) Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”. (Al-Nisā' [4]:1)

Ibn Jarir Al-T}{abari di dalam kitab tafsirnya mengatakan, bahwasanya Allah swt. menciptakan seluruh umat manusia dari sosok yang satu, yakni Adam. Kemudian dari sosok itulah Allah ciptakan zauj-nya yang diartikan sebagai sosok kedua dari jiwa yang satu tersebut. Menurut pendapat ahli takwil, kata az-zauj disini diartikan sebagai istrinya, yaitu Hawa. Lalu dari kedua insan itulah Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan. Kemudian, pada kalimat berikutnya terjadi perbedaan qira’at dalam membaca kata َن ْول ءۤا ست. Mayoritas penduduk Madinah dan Basroh membaca

lafaz tersebut dengan tasydid pada huruf sin, sedangkan sebagian lain membacanya dengan bacaan sebagaimana orang-orang Kufah, yakni tidak memakai taysdid pada huruf sin-nya. Akan tetapi, menurut Abu Ja’far Al-T{abari hal demikian tentu tidak berpengaruh pada maknanya, sebab pengertian dari kedua bacaan tersebut tetap sama, yakni “Dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain”.1

Disisi lain, Ibn Kas|i>r menjelaskan bahwa Allah swt. berfirman memerintahkan makhluk-Nya untuk bertakwa kepada-Nya. Yaitu dengan beribadah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu bagi- Nya. Serta menyadarkan mereka tentang kekuasaan-Nya yang telah menciptakan mereka dari jiwa yang satu, yaitu Adam a.s. dan kata

ا ه ج ْو زَا هْن مَ قل خ و“Dan darinya Allah menciptakan istrinya”. Yaitu

Hawa a.s. yang diciptakan dari tulang rusuk Adam bagian kiri dari belakang.2 Pendapat beliau tentang penafsiran lafaz nafs wahidah merujuk pada salah satu hadits shahih yang menyatakan sebagaimana berikut:

َ ه م وق تَ تْب ه ذَْ

ن إفَ, هال ْعأَ عل ضلاَي فَ ئ ْي شَ ج و ْعأَن إ وَ, عل ضَ ْن مَ ْت ق ل خَ ةأ ْر مْ لاَن إ

َ ج و عَا هي ف وَا ه بَ ت ْع تْم ت ْساَا ه بَ ت ْع تْم ت ْساَ ن إ وَ, ه ت ْر سك

"Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian yang paling atas.

Jika engkau memaksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan

1 Muhammad bin Jari>r Al-Tabari>, Ja>mi’ al-Bayan fi>Ta’wi>l Al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), h. 565-570.

2 Ismāīl bin ‘Umar bin Katsīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm, (Al-Qahirah: Dār al-Hadīs, 774), h. 229-231.

mematahkannya. Tetapi jika engkau bersenang-senang dengannya, maka bersenang-senanglah dengannya, sedangkan padanya terdapat kebengkokan."

Kemudian, Al-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya Al-Kasyaf, menjelaskan ayat ini bahwasanya yang dimaksud kata “Ya> ayyuha al- Na>s” dalam ayat ini diartikan sebagai Bani Adam. Dan kamu berasal

dari satu cabang, yakni Adam ayahmu. Kemudian kalimat َا هْن مَ قل خ و

ا ه ج ْو ز disini memiliki dua sisi makna, salah satu artinya ada yang

terhapus, seolah-olah dikatakan: Dia menciptakan kamu dari satu jiwa atau memprakarsainya, dan menciptakan darinya pasangannya.

Sedangkan arti sebenarnya yang terhapus yaitu, “Umatmu berasal dari satu jiwa, ciri-cirinya yaitu, Dia menciptakannya dari tanah, dan pasangannya (Hawa) diciptakan dari salah satu tulang rusuknya.

Kemudian, Dia menciptakan kamu dari jiwa Adam, hal ini karena mereka merupakan bagian dari keturunan yang berjenis kelamin darinya (Adam), dan Dia juga menciptakan ibumu (Hawa) dari Adam. Dengan demikian, lahirlah dari mereka seorang laki-laki dan perempuan yang banyak, selain kamu dari bangsa-bangsa yang tak terhitung banyaknya.3

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwasanya penanfsiran-penafsiran dari muafsir klasik mengenai surah Al-Nisa>’

ayat 1 ini pendapatnya tidak jauh berbeda. Ketiganya sepakat bahwa manusia diciptakan dari satu diri/jiwa, yaitu Adam a.s. yang

3 Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad Al-Zamakhsyari>, Tafsi>r Al-Kasysyaaf, (Beirut:

Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006), h. 451-452.

kemudian diciptakannya Hawa sebagai pasangannya dari tulang rusuknya tersebut.

2. Penafsiran Mufasir Kontemporer Terhadap QS. Al-Nisa>’ [4]: 1 Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab tafsirnya menerangkan, bahwasanya dalam QS. Al-Nisa>’ [4]: 1 ini Allah memerintahkan kepada orang-orang yang berakal untuk senantiasa bertakwa kepada- Nya, dengan menjalakan perintah dan menjauhi larangannya.

Sebagai dzat yang maha kuasa, Dia mengingatkan kepada mereka atas kekuasan-Nya yang telah menciptakan mereka semua dari keturunan yang satu (Adam, yang diciptakan dari tanah). Dan daripadanya lah Allah ciptakan pasangannya (istrinya, yaitu Hawa yang diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam sebelah kiri).

Kemudian, lahirlah umat manusia yang banyak, baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian kata َ ما ح ْراْ

لا disini artinya adalah ikatan keluarga yang terbentuk dari ikatan silaturahim serta kekerabatan yang menjadikan mereka untuk saling mengasihi dan saling tolong menolong.4

Berbeda dengan pendapat Al-Zuhaili, Ahmad Mustafa Al- Maragi di dalam kitab tafsirnya, menerangkan makna nafs wa>hidah dalam ayat ini dengan menyebutkan bahwasanya Jumhur ulama telah sepakat bahwas lafaz nafs wa>hidah yang terdapat dalam surah An- Nisa’ ayat 1 ini diartikan sebagai Adam. Akan tetapi, Al-Maraghi membantah pendapat tersebut. Menurutnya, mereka yang menafsirkan nafs wahidah sebagai Adam itu tidak memahami nash

4 Wahbah Al-Zuh}aili>, Al-Tafsi>r Al-Muni>r, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2005), h. 554- 560.

ayat ini secara benar, hanya menafsirkan secara umum saja.

Kemudian Al-Qaffal mengartikan lafaz nafs wa>hidah adalah satu jiwa. Al-Maraghi memahami ayat ini ditujukan kepada kaum Quraisy yang hidup pada masa Nabi saw. Mereka adalah keluarga Qushay.

Dan yang dimaksud pada lafaz tersebut adalah Qushay sendiri.5 Sedangkan, Quraish Shihab yang merupakan ulama tafsir era kontemporer asal Indonesia. Ia memahami lafaz nafs wa>hidah dalam surah dan ayat ini diartikan sebagai Adam atau jenis yang sama.

Maksud jenis yang sama disini adalah bahwasanya tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara seorang manusia dan yang lain.6

"Dia telah menjadikan kamu dari satu diri." Maksud dari kalimat tersebut yang dipahami oleh Buya Hamka yang juga merupakan mufasir kontemporer asal Indonesia. Menurutnya, Allah telah menciptakan seluruh manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan yang tinggal disegala penjuru dunia, dengan bermacam- macam etnis, suku serta warna kulitnya, namun mereka semua itu diciptakan dari diri yang satu. Maksudnya adalah meskipun berbeda- beda, namun mereka tetap dari jenis yang satu, yakni sama-sama berakal, sama-sama menyukai keindahan dan dan tidak menyukai yang buruk. Kemudian dari diri yang satu itu dipecah, sehingga dari jenisnyalah diciptakan pasangannya (istrinya). Hal ini diibaratkan pada hari kejadian Alam semesta yang awalannya hanya satu, kemudian dibagi dua menjadi positif dan negatif. Demikian juga

5 Aḥmad Muṣṭafā Al-Maragī, Tafsīr Al-Maragī, (Beirut: Dār al-Fikr, 2006), h. 100- 102.

6 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati, 2009), h.

397.