• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM HERMENEUTIKA

A. Ruang Lingkup Hermeneutika

1. Definisi dan Sejarah Singkat Perkembangan Hermeneutika

Secara etimologis kata hermeneutika berasal dari kata kerja bahasa Yunani, yaitu hermeneuein yang umumnya diartikan

“menginterpretasi/menafsirkan” dan kata bendanya hermeneia, artinya interpretasi/tafsiran.1 Dan biasanya Yunani Kuno menggunakan kata hermeneuein tersebut pada tiga hal, yakni; to say (mengatakan), to explain (menjelaskan), dan terakhir to translate (menerjemahkan).2

Selain hermeneuein, kata tersebut diserap ke dalam bahasa Jerman, yakni Hermeneutik, dan hermeneutics dalam penulisan bahasa Inggris.3

1 Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger dan Gadamer, terj. Stephanus Aswar Herwinarko, (Yogyakarta: Ircisod, 2022), h. 39.

2 Edi Susanto, Studi Hermeneutika Kajian Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2016), h.

1.

3 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2017), h. 13.

Kemudian kata tersebut juga diungkapkan dengan kata “To Interpret”

(menafsirkan, mengartikan, menerjemahkan). Langkah interpretasi tersebut ditujukan pada tiga pokok; Pengucapan lisan/an oral recitation, Penjelasan yang masuk akal/a reasonable explanation, dan Terjemahan dari bahasa lain/a translation from another language, atau bisa disebut dengan mengutarakan/menerangkan.4

Menurut penuturan di atas, arti kata hermeneutika sendiri dapat dipahami sebagai usaha dalam mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan atau ketidakpahaman menjadi mengerti/paham. Kata tersebut sering kali diidentikkan dengan dewa Hermes, yakni seorang tokoh mitologis Yunani Kuno yang dianggap suci, dan dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia, seperti menyampaikan tujuan Tuhannya kepada manusia.5

Menurut tradisi Islam, Hermes kerap disamakan dengan Nabi Idris yang dikenal sebagai tukang tenun atau pemintal. Keduanya memiliki keterkaitan yang sama antara nabi Idris dan Hermes, apabila dilihat dari kata pemintal di atas. Memintal disini di artikan dengan merangkai kata yang berasal dari Tuhan yang kemudian diinterpretasikan agar dapat dipahami umat manusia. Dengan itu, seperti ada kesamaan antara hermeneutika dan ilmu tafsir, keduanya dapat dikorelasikan dan dipadupadankan.6

Sedangkan secara terminologi, pengertian kata hermeneutika sangatlah beragam dan bertingkat. Dalam artikel yang berjudul “Classical and Philosophical Hermeneutics”, Hans-Georg Gadamer mengemukakan

4 Edi Susanto, Studi Hermeneutika Kajian Pengantar, h. 1.

5 Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al- Qur’ān, (Depok: Gema Insani, 2007), h. 7.

6 Wahidatul Wafa dan Asep Supianudin, Masuknya Hermeneutika dalam Lingkup Ilmu Tafsir: Review atas Artikel Sofyan A.P. Kau, Jurnal al-Tsaqafa Volume 14, No. 01, (Januari 2017), h. 209.

keberagaman dan kebertingkatan definisi tersebut. Menurutnya, Hermeneutika adalah seni praktis dalam suatu teknik atau metode menafsirkan bahasa-bahasa lain, dan menjelaskan suatu teks yang maknaya tidak jelas”.7

Menurut Heidegger, hermeneutika yaitu berupa interpretasi yang diperdengarkan untuk sebuah pesan yang penting atau pemberitahuan yang sangat penting.8 Berangkat dari makna di atas, Friedrich Schlelermacher (cari pengertian dari FS) mendefinisikan kata hermeneutika sebagai ilmu seni dalam memahami bahasa orang lain secara benar, khususnya bahasa tulis. Selain Friedrich, ada beberapa pakar hermeneutika lain yang juga mengembangkan definisi hermeneutika, seperti Gadamer, Franz-Peter Burkard, Werner Jeanrond, Ben Vedder dan Mathias Jung.

Gadamer mengembangkan definisi hermeneutika yang tadinya diartikan sebagai art of exegesis (seni menafsirkan), menjadi disiplin illmu yang membahas aspek-aspek metodis yang secara teoritisnya dapat menjustifikasi aktivitas penafsiran. Karena menurutnya, hermeneutika modern tidak cukup dengan mengartikan hermeneutika sebagai seni menafsirkan saja, tetapi sebagai gabungan antara aktivitas dan metode penafsiran. Pendapat yang satu ini juga ditemukan dalam pengertian Franz.9

Selain itu, Werner Jeanrond mendefinisikan hermeneutika sebagai

‘teori penafsiran’. Lain halnya dengan pendapat Ben Vedder yang mendefinisikan hermeneutika secara jelas dan mendalam. Pendapat Mathias Jung di dalam karyanya yang berjudul Hermeneutik zur

7 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, h. 13.

8 Jens Zimmermann, Hermeneutics: A Very Short Introduction, terj. Leonart Maruli, (Yogyakarta: Ircisod, 2021), h. 19.

9 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, h. 14.

Einfuhrung. Adapun pengertian dari keempat definisi tersebut antara lain:

Pertama, Hermeneuse (act of interpreting; aktivitas dan produk penafsiran). Menurut Vedder dan Jung, istilah ini diartikan sebagai penjelasan, pemahaman, penafsiran dalam berbagai bentuk, contohnya dalam bentuk teks, karya seni maupun perilaku seseorang. Hermeneuse juga tidak terpaku dengan syarat-syarat penafsiran. Kedua, Hermeneutik (hermeneutika) adalah langkah-langkah dalam penafsiran, atau disebut juga metode penafsiran. Ketiga, Philosophische Hermeneutik (Hermeneutika Filosofis). Hermeneutika Filosofis ini lebih berbicara tentang realitas penafsiran. Keempat, Hermeneutische Philosophie (Filsafat Hermeneutis). Filsafat Hermeneutis merupakan bagian dari pemikiran-pemikiran filsafat dengan cara menafsirkan apa yang diterima oleh manusia dari sejarah dan tradisi.10

Kesimpulan dari definisi-definisi di atas yakni, bahwasanya hermeneutik merupakan cabang disiplin ilmu yang membahas tentang landasan-landasan penafsiran atau metode-metode penafsiran yang nantinya akan menghasilkan sebuah jawaban dari teks yang ditafsirkan tersebut secara logis dan realistis.

Demikian, tidak kalah pula dengan peradaban Islam yang maju akan ilmu pengetahuannya, terkhusus disiplin ilmu agama itu sendiri.

Aktivitas-aktivitas semacam interpretasi ini sudah tidak asing lagi didengar, bahkan eksistensinya berlangsung sejak lama mulai dari zaman Nabi dan masih berlanjut hingga saat ini. Seiring perkembangan zaman, metode penafsiran semakin berkembang, mulai dari penafsiran dengan metode bil-Ma’tsur sampai lahirlah metode bil-Ra’yi, atau gabungan dari keduanya (bil-Ma’tsur dan bil-Ra’yi).

10 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2017), h. 18.

Metode penafsiran bil-Ma’s|ur banyak digunakan oleh mufassir klasik dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Contohnya, Tafsir Al-T{abari, Tafsir Ibnu Kas|ir, Tafsir Jalalain, Tafsir Al-Munir dan masih banyak lagi.

Sedangkan kitab tafsir yang lahir pada abad modern-kontemporer ada Tafsir Al-Maragi, Tafsir Al-Manar, Mafatihul Ghaib, dan lain-lain.

Kegiatan penafsiran ini tidak hanya marak di tanah Arab saja, namun sudah banyak pula ulama-ulama yang telah melahirkan kitab-kitab tafsir salah satunya ulama-ulama Indonesia yang juga menaruh perhatian terhadap penafsiran Al-Qur’an, berikut beberapa karya Tafsir yang dilahirkan oleh mufassir Indonesia, seperti Tafsir Al-Misbah karya M.

Quraish Shihab dan Tafsir Al-Azhar karya buya Hamka, dan masih banyak lagi.

b. Sejarah Singkat Perkembangan Hermeneutika

Secara historis, terdapat beberapa pendapat yang membahas tentang tokoh pertama yang menggagas hermeneutika. Tiga tokoh ini seringkali mucul dalam sejarah hermeneutika, yakni Aristoteles, Homeros, dan juga Plato. Dari tiga pendapat tersebut, sebagian ada yang mengatakan bahwa embrio awal yang membahas hermeneutika adalah Aristoteles. Hal ini ditemukan dalam bukunya yang berjudul Peri Hermeneias. Di dalam bukunya, ia menjelaskan bahwa semua perkataan yang kita ucapkan merupakan simbol dari pengalaman mental kita. Adapun perkataan yang kita tulis adalah suatu tanda atau simbol dari perkataan yang kita ungkapkan.11

Selain Aristoteles, banyak juga yang berpendapat bahwa Homeroslah orang yang pertama kali menyuguhkan istilah hermeneutika. Ia adalah seorang pengarang epos terkenal pada abad ke-6 SM. Meskipun Homeros

11 Edi Susanto, Studi Hermeneutika Kajian Pengantar, h. 4-5.

orang yang pertama kali memperkenalkan istilah hermeneutika tersebut, namun tidak menutup kemungkinan bahwa Plato merupakan orang yang dikenal sebagai pengawas awal hermeneutika Klasik. Ia menerapkan istilah hermeneutika sebagai metode dan kaidah penafsiran yang didapatkan melalui proses pengilhaman setelah seseorang melakukan meditasi dan kontemplasi.12

Berbeda dengan yang lain, Sahiron Syamsuddin memetakan sejarah perkembangan hermeneutika yang ia tulis dalam bukunya dengan judul

“Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an”. Dalam bukunya itu, ia membagi perkembangan hermeneutika ke dalam tiga bagian, yakni;

Hermeneutika teks mitos, Hermeneutika teks kitab suci, dan Hermeneutika umum.13

Pertama, Hermeneutika teks mitos. Hermeneutika teks mitos merupakan embrio awal hermeneutika yang telah dibahas dalam Filsafat Antik di Yunani Kuno. Pada saat itu, yang menjadi obyek penafsirannya adalah teks-teks kanonik (telah dibukukan), baik berupa kitab suci, hukum, puisi ataupun mitos. Pada masa Yunani Kuno sudah banyak ditemukan teks-teks mitos dan epos, seperti yang ditulis oleh Homer dan Hesoid. Keduanya merupakan orang pertama yang membedakan antara makna hakiki (literal) dan makna majazi (allegoris) pada sebuah teks.

Pada abad ke-3 SM, para filosof Stoik menginterpretasikan kembali karya-karya tersebut secara allegoris (majazi). Aristoteles mengungkapkan pendapatnya dalam salah satu bab yang berjudul “On Interpretation”. Disana ia mengulas seputar kata (word), kalimat

12 Radita Gora, Hermeneutika Komunikasi, (Yogyakarta: Deepublish, 2014), h. 33.

13 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 20- 28.

(sentence), proposisi serta logika bahasa yang berkaitan dengan semua itu. Akan tetapi, ia hanya memahami teks dari segi bahasa saja.

Kedua, Hermeneutika teks kitab suci. Pada tahap kedua ini, penafsiran allegoris yang telah dilakukan pada masa Yunani Kuno dikembangkan kembali oleh para filosof Stoa, serta diterapkan oleh para teolog masa Patristik, seperti Philo Von Alexandrien (Abad ke-1 M).

Menurutnya, hubungan antara makna hakiki (literal) dengan makna majazi (allegoris) bagaikan badan dan jiwa, yang mana keduanya saling berkaitan satu sama lain. Dan berkat ketekunannya dalam bidang ini, ia dinobatkan sebagai bapak Penafsiran Allegoris / Vater der Allegoris.

Pada awal abad ke-3 M, Origenes termasuk salah satu tokoh yang berjasa dalam perkembangan pemikiran hermeneutis Bible. Dalam membedakan makna sebuah teks, ia mengadopsi serta mengembangkan dua terma yang diusungkan oleh Philo dengan menambahkan satu pengertian lain, yakni; literal, moral dan ruhani/spiritual. Ketiga macam tersebut dipahami sebagai urutan makna dalam mengkaji sebuah teks.

Yang mana makna literal ini ditujukan kepada orang awam atau umum.

Sedangkan makna moral lebih ditujukan kepada orang yang mendalami keagamaan/seperti alim ulama. Dan yang terakhir makna ruhani/spiritual ini lebih diperuntukan bagi orang yang lebih memahami dan mendalami keagamaannya/seperti sufi.

Akan tetapi menurut pemahaman Jung bahwasanya pemikiran yang berkaitan dengan penafsiran non-literal tersebut memiliki tujuan tertentu.

Artinya pemahaman tersebut bisa saja untuk membentengi tradisi-tradisi keagamaan yang telah ada, dan di satu sisi lainnya untuk memberikan kesadaran mengenai jarak historis antara teks-teks yang diturunkan dengan para penafsir yang pemikirannya terus berubah seiring berjalannya waktu.

Teori yang disuguhkan oleh Philo dan Origenes terus dikembangkan oleh para teolog Kristen abad pertengahan. Sampai pada abad ke-13 M, dikenal dengan empat macam makna; makna literal, allegoris, moral, dan anagogis/eksatologis.14 Dari keempat macam makna ini diringkas menjadi dua macam makna oleh sebagian sejarawan hermeneutika Bibel, yakni makna literal dan makna spiritual.

Selain Philo dan Origenes, Aurelius Agustinus (354-430 M) juga salah satu pemikir klasik yang mendapatkan penghargaan dari para ahli hermeneutika kontemporer seperti Heidegger dan Gadamer. Berbeda dengan yang lain, Aurelius justru menaruh ide pemikirannya ke dalam teori semiotic/ simbolik, filsafat bahasa, sastra dan hermeneutika.

Menurutnya, sebagian besar teks Bibel sangat jelas dan mudah dipahami, sebab itu lah ia menuturkan bahwa hermeneutika dikhususkan untuk memahami teks-teks yang sulit saja. Dan ayat atau teks-teks yang sulit dipahami tersebut, mengandung simbol-simbol yang tidak dikenal atau yang memiliki ragam makna. Selain itu, ia juga menaruh tiga prinsip dalam penafsiran, yakni: Keyakinan, harapan dan kecintaan.

Lain dengan Petrus Abaelardus (1079-1142), dalam pemikirannya ia lebih menitik beratkan pada problem internal teks-teks Bibel, seperti adanya teks-teks yang bertentangan. Oleh karena itu, Abaelardus mengusulkan beberapa metode, diantaranya: Meneliti keontetikan teks, meneliti waktu turunnya teks, meneliti keabsahan teks, memperhatikan keabsahan penafsiran-penafsiran, menguji suatu keputusan yang

14 Makna literal adalah makna kosa-kata asli dalam sebuah teks. Sedangkan makna allegoris adalah makna dasar terhadap makna majazi. Adapun makna moral adalah makna yang berkaitan dengan moralitas yang mesti diterapkan dalam kehidupan manusia. Dan yang terakhir yaitu makna anagogis/eksatologis adalah makna yang dikaitkan dengan kehidupan akhirat.

bertentangan, memperhatikan kata-kata umum, dan yang terakhir membandingkan derajat kekuasaan.

Berangkat dari pemikiran-pemikiran klasik yang masih terdoktrin oleh tradisi Kristen, kemudian berubah dengan lahirnya pemikiran baru yang disuguhkan oleh Martin Luther. Menurut Martin, Bibel tidak ditafsirkan hanya dengan tradisi klasik, akan tetapi penafsiran tersebut dapat dikembangkan dengan menggunakan berbagai pendekatan- pendekatan ilmu pengetahuan yang ada, seperti arkeologi, linguistic, sejarah budaya dan sebagainya.

Kemudian pada abad 19-20 M dijuluki sebagai sejarah kesuksesan yang fantastis dari kajian Bibel pada masa modern. Pada abad ke-19, kajian Bibel memiliki disiplin keilmuan tersendiri, yaitu ilmu kritis atas Bibel/dikenal dengan sebutan historical criticism (kritik historis). Kritik historis ini bertujuan untuk mencari keabsahan baik dari segi teks maupun dari segi pernyataannya. Menurut Fitzmyer, ada dua komponen dalam historical criticism ini, yakni: 1) Pertanyaan-pertanyaan dasar seputar teks/introductory questions yang meliputi otentitas teks, kesatuan tema teks, waktu dan tempat ditulisnya teks, struktur dan gaya bahasa teks, kondisi historis dan tujuan teks, serta latar belakang historis. 2) Kritik tekstual/textual criticism yang memuat tentang periwayatan teks dalam bahasa asli dan versi terkunonya.15

Ketiga, Hermeneutika Umum (Allgemeine Hermeneutik).

Perkembangan hermeneutika selanjutnya dikenal dengan Allgemeine Hermeneutik/general hermeneutics (hermeneutika umum). Pada fase ini, hermeneutika tidak hanya berbicara mengenai teori atau metode penafsiran teks-teks kitab suci saja melainkan sudah membahas teks-teks, gejala-gejala sosial dan simbol-simbol kultural. Hermeneutika umum ini

15 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, h. 33.

dipelopori oleh dua filosof dan teolog modern, yang pada tahap pertama dipelopori oleh Johann Conrad Danhauer (1603-1666), dan pada tahap kedua dipelopori oleh Ernst Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Akan tetapi, pada dasarnya bibit pemikiran ini sudah ada sejak masa filosof Yunani kuno, seperti karya Aristoteles yang berjudul “Peri Hermeneias”.

Dalam karyanya ini memuat pokok-pokok bahasan, seperti filsafat bahasa dan teori simbol/semiotic.

Berawal dari pemikiran Aristoteles yang kemudian terus dikembangkan oleh para ahli hermeneutika modern hingga saat ini, seperti Dannhauer, Wilhelm Dilthey dan Johann Heinrich Lambert.

2. Aliran-aliran Hermeneutika Umum/Modern dan Tipologi Tafsir